PENGETAHUAN LOKAL SUKU MORONENE
DALAM SISTEM PERTANIAN
DI SULAWESI TENGGARA
OLEH
:NUR ARAFAH
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
NUR ARAFAH. Pengetahuan Lokal Suku Moronene dalam Sistem Pertanian di Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh HAD1 S. ALIKODRA dan CECEP KUSMANA.
Penelitian ini dilaksanakan pada komunitas Suku Moronene mulai bulan Pebruari sampai Mei 2002. Tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah menggali pengetahuan lokal Suku Moronene dalam sistem pertanian dan mengkaji peranannya dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya dalam sistem pertanian berkelanjutan.
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan desain penelitian melalui studi orientasi, studi eksplorasi dan studi konfirmasi yang dipadukan dengan metode Partisipatory Local Appraisal (PLA) dengan teknik analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pertanian merupakan bagian integral dari sistem kehidupan (way of life) Suku Moronene baik secara ekonomi, sosial dan budaya, masih mempraktekan pengetahuan lokal secara masih turun temurun khususnya pada tanaman padi (Pae). Pengetahuan lokal tersebut dilakukan melalui upacara yang dipimpin oleh Tetua Adat atau Tompuroo (dukun obat tanaman) mulai dari penentuan lokasi (Mooto w ita, Mompaseki, Mekilala, Mo 'o oli); pembukaan lahan (Unlowu, Humuni, Mewale); penanaman (Tinao Molonu, Olimpopo); pemeliharaan (Mopupu, Mosie Manu-Manu); panen (Mobelai Pae, Moisa); pasca panen (Mewowosui);
Pengetahuan lokal Suku Moronene berperan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan khususnya dalam sistem pertanian, yaitu: secara ekologi mengkonservasi tanah dan air dari kerusakan dan pencemaran, pelestarian biodiversity, pemanfaatan sumberdaya lokal melalui konsepsi pemeliharaan hutan dan satwa. Secara Ekonomi, terpeliharanya cadangan dan sumber makanan, bahan baku obat-obatan, sumber utama pendapatan melalui pernungutan hasil hutan dan
.
kebun, alternatif pendapatan rumah tangga, pemeliharaan tanaman dan hewan dengan cara memanfaatkan hasil alam secara optimal; Secara Sosial Budaya adalah memelihara sistem nilai dan budaya melalui upacara dan interaksi sosial, tetap berfungsinya lembaga adat sebagai alat pengaturan sistem dan solidaritas sosial kemasyarakatan.Manifestasi falsafah Kototo dan Tanduale merupakan salah satu instrumen dalam mengatasi kecenderungan pergeseran fungsi pengetahuan lokal dalam masyarakat baik secara kultural maupun struktural yang berpotensi menimbulkan konflik.
PENGETAHUAN LOKAL SUKU MORONENE
DALAM SISTEM PERTANIAN
DI SULAWESI TENGGARA
OLEH r
NUR ARAFAH
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
PENGETAHUAN LOKAL SUKU MORONENE DALAM SISTEM PERTANIAN DI SULAWESI TENGGARA
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, September 2002 Yang membuat pernyataan,
Hai Manusia, sesunggulznya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di s k i Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesunggulznya Allalz Maka Mengetahui lagi Malza Mengenal.
(Q.S. Al Hujuraat : 13)
Katakanlah: "Dia-lah Allalz, Yang Malza Esa,
Allah adalalt Tulzan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan,
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia"
PENGETAHUAN LOKAL SUKU MORONENE
DALAM SISTEM PERTANIAN
DI SULAWESI TENGGARA
OLEH
:
NUR ARAFAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Pengetahuan Lokal Suku Moronene Dalam Sistem Pertanian di Sulawesi Tenggara
Nama : Nur Arafah
NRP : P10500002
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Menyetujui,
1 . Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. Ketua
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr.Ir. M. Sri Saeni, MS.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di gugusan Kepulauan Tukang Besi (Taman Nasional Wakatobi sekarang) tepatnya di Desa Mandati, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, tanggal 18 Oktober 1970 sebagai putra keempat dari lima bersaudara dari pasangan orang tua Haeruma dan Wamaria (almarhumah).
Pada tahun 1989 diterima di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo (Unhalu) Program Studi Agronomi dan menyelesaikan studi (Sl) tahun 1995. Sejak tahun 2000 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Pascasarjana (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor. Penulis mendapat sponsor pendidikan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Sejak tahun 1998, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Unhalu Kendari, Sulawesi Tenggara. Penulis juga aktif sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Unhalu, sehingga minat dan perhatian terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan terus terbina. Disamping itu mengikuti berbagai kursus dan pelatihan dibidang lingkungan.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, atas Ridha dan Hidayah-Nya penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
Keberhasilan penyusunan tesis ini berkat bantuan, dorongan dan motivasi dari berbagai pihak terutama dari Komisi Pembimbing. Untuk itu perkenankan saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra, MS dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS masing- masing sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah mengarahkan, mendorong dan membimbing penulis mulai penyusunan proposal sampai menjadi tesis sekarang ini.
2. Rektor dan Direktur Program Pascasarjana IPB serta seluruh pimpinan dan staf pengajar Program Studi PSL yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu pengetahuan dan pengalaman selama menjadi mahasiswa IPB. 3. Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo di Kendari atas izin
dan dorongan untuk melanjutkan studi PPS IPB.
4. Camat Rarowatu, Camat Rumbia dan aparatnya serta seluruh masyarakat Moronene, atas bantuan selama penelitian.
5. Orang Tua, Mertua dan isteri serta anak-anak tersayang kupersembahkan karya ini, atas dukungan dan do'a selama ini.
Disadari bahwa tesis ini pasti ada kekurangannya, sehingga saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan dikemudian hari. Semoga karya tulis ini dapat memenuhi fungsinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan bermanfaat bagi masyarakat khususnya bagi Suku Moronene di Suiawesi Tenggara.
Bogor, September 2002
DAFTAR IS1
Halaman
...
DAFTAR IS1 v
...
DAFTAR TABEL vii
...
DAFTAR LAMPIRAN i x
I
.
PENDAHULUAN...
1.1. Latar Belakang...
1.2. Rumusan Masalah...
1.3. Kerangka Pemikiran...
1.3.1. Kerangka Dasar Penelitian...
1.3.2. Kerangka Operasional Penelitian...
1.4. Tujuan dan Manfaat1.4.1. Tujuan
...
1.4.2. Manfaat...
I1
.
TINJAUAN PUSTAKA...
2.1. Pengetahuan Lokal...
2.2. Sistem Pertanian Berkelanjutan2.3. Masyarakat Lokal dan Pengelolaan Sumberdaya Alam ...
I11
.
METODE PENELITIAN...
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian...
3.1.
1. Tempat Penelitian...
3.1.2. Waktu Penelitian...
3.2. Variabel yang Diamati...
3.3. Bahan dan Alat...
3.4. Desain Penelitian...
3.5. Jenis dan Sumber Data... 3.6. Metode Penarikan Sampel
... 3.7. Teknik Analisis dan Pengolahan Data
...
3.7.1. Teknik Analisis Data3.7.2. Pengolahan Data
...
VI
.
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN...
4.1. Asal Usul dan Perkembangan Suku Moronene 30
...
4.2. Sejarah Singkat Terbentuknya Kecamatan Rarowatu 33
...
4.3. Letak dan Luas Wilayah 35
...
4.3.1. Letak Wilayah 35
...
4.3.2. Luas Wilayah 36
...
4.4. Gambaran Umum Kawasan 37
... .
...
4.4.2. Sosial 41
...
4.4.3. Ekonomi 52
...
4.4.4. Budaya 60
V
.
HASIL DAN PEMBAHASAN...
5.1. Hasil 64
...
5.1.1. Karateristik Responden 64
5.1.2. Pengetahuan Lokal Suku Moronene dalam Sistem Pertanian
...
69...
5.2. Pembahasan 86
...
5.2.1. Kelestarian Ekologi 86
...
5.2.2. Kelestarian Ekonomi 94
5.2.3. Kelestarian Sosial Budaya
...
100VI
.
KESIMPULAN DAN SARAN6.1. Kesimpulan
...
108...
6.2.Saran 110
...
DAFTAR PUSTAKA 112
DAFTAR TABEL
Halaman
1
.
Luas Wilayah Kecamatan Rarowatu Menurut Desa dan...
Kelurahan 36
...
.
2 Topografi Kecamatan Rarowatu 37
...
.
3 Sungai dan Debit Air di Kecamatan Rarowatu 38
...
.
4 Pola Penggunaan Lahan Menurut Ekosistem 39
...
.
5 Luas Lahan Menurut Penggunaannya
6
.
Jumlah Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut JenisKelamin dan KK
...
...
.
7 Keadaan Penduduk Menurut Umur
8
.
Keadaan Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut Tingkat...
Pendidikan...
.
9 Keadaan Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut Pekerjaan
.
...
10 Keadaan Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut Suku
...
.
1 1 Keadaan Penduduk Kecamatan Rarowatu Menurut Agama
...
.
12 Banyaknya Lembaga Ekonomi Pertanian di Kecamatan Rarowatu 13
.
Banyaknya Sekolah Menurut Murid dan Guru di Kecamatan...
Rarowatu...
.
14 Banyaknya Transportasi di Kecamatan Rarowatu
15
.
Banyaknya Fasilitas dan Tenaga Kesehatan di Kecamatan...
Rarowatu16
.
Banyaknya Sarana Peribadatan di Kecamatan Rarowatu...
...
.
17 Komoditas Utama Menurut sub Sektor
.
...
18 Pola Usaha Tani di Kecamatan Rarowatu
19
.
Tingkat Penerapan Teknologi pada Petani di Kecamatan Rarowatu...
20.
Karateristik Kelompok Tani di Kecamatan Rarowatu...
21
.
Umur Responden...
64...
22
.
Jenis Kelamin Responden 6526
.
Status Tani Responden...
67...
27
.
Luas Lahan Garapan Responden 6828
.
Lama Usaha Tani Responden...
68...
29.
Penentuan Waktu Tanam Berdasarkan Posisi Bintang 78 30.
Nilai Usaha Tani Komoditas Utama di KecamatanDAFTAR LAMPIRAN
Halaman
...
.
1 Peta Sebaran Suku Moronene 1 15
...
.
2 Kuisioner Pedoman Wawancara Responden 1 16
...
.
3 Daftar Nama Informan Kunci (Key Informant) 12 1
...
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) telah menjadi perbincangan
dan kajian yang serius para ahli lingkungan sebagai suatu solusi dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang semakin parah akibat
kesalahan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan.
Masalah pengelolaan sumberdaya dan lingkungan adalah pencerminan dari
akibat adanya kerniskinan, keterbelakangan pembangunan dan sekaligus masalah
yang menyertai pelaksanaan pembangunan. Masalah ini telah menimbulkan
kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan secara kualitas dan kuantitas.
Sebagai contoh, di Indonesia laju kerusakan hutan tiap tahun mencapai 1,5 - 2,5
juta hektar, penyusutan danau akibat sedimentasi dari 774 ribu menjadi 308 ribu
hektar, dan terumbu karang yang masih bagus tinggal6,2 % (Alikodra, 2002).
Persoalan pengelolaan sumberdaya alam termasuk sistem pertanian adalah
penggunaan input tinggi seperti penggunaan pestisida, pemupukan berlebihan,
benih berherbisida, mekanisasi dengan memanfaatkan bahan bakar minyak,
pembukaan lahan secara tidak terkendali serta pengelolaan lahan yang melebihi
daya dukungnya. Akibatnya terjadi pencemaran tanah dan air, erosi dan terjadinya
degradasi lahan dan penggundulan tanah sehingga produktivitas pertanian
menurun dan kerusakan lingkungan semakin parah (Reijntjes, et. al., 1999;
Supriatna, 1998). Pertumbuhan populasi yang semakin besar dimana kebutuhan
lahan pertanian, pemukiman memaksa manusia menggunaan lahan tidak
2
Kemunduran kualitas dan kuantitas sumberdaya pertanian akan membawa
implikasi serius bagi kehidupan manusia saat ini maupun yang akan datang. Oleh
karena itu diperlukan berbagai upaya langkah tertentu yang secara alami tersedia
dalam bentuk kearifan atau nilai-nilai pengetahuan masyarakat untuk mendukung
sistem pertanian berkelanjutan agar dapat dimanfaatkan secara optimal dengan
tetap memperhatikan kelestarian dan daya dukung lingkungan.
Pemilihan pengetahuan lokal masyarakat didasarkan pada kenyataan
bahwa saat ini upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dengan
menggunakan berbagai instrumen teknologi, tidak saja diperhadapkan pada
sulitnya proses adaptasi bagi petani, akan tetapi terdapat kendala pada aplikasi
yang tidak sesuai dengan budaya maupun kemampuan masyarakat. Dilain pihak,
petani juga dihadapkan dengan berbagai kasus bahwa teknologi seringkali
membawa persoalan baru yang berakibat lebih buruk bagi kelangsungan
sumberdaya dan lingkungan hidup (Edmunds dan Letey, 1973). Sehingga pada
kondisi masyarakat petani yang relatif miskin dan terkebelakang, penggalian nilai-
nilai pengetahuan lokal sebagai bentuk kearifan masyarakat merupakan
pendekatan alternatif dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam sistem pertanian
secara berkelanjutan.
Beberapa contoh pengetahuan lokal seperti Sasi (sistem penangkapan ikan di Maluku); Tondoa, Ompo, Kolo, Kaindea dan Motika (sistem penangkapan ikan dan pertanian) pulau-pulau kecil di Sulawesi Tenggara, merupakan sistem
pengetahuan lokal disamping menjamin kelestarian sumberdaya alam, juga
menjamin kehidupan dan masyarakat setempat, karena dengan sistem tersebut,
1.2. Perurnusan Masalah
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi disamping berdampak
positif juga berdampak negatif yaitu terkurasnya sumberdaya alam dan
terancamnya kualitas lingkungan. Lebih menyedihkan adalah tergusurnya
masyarakat lokal dengan nilai-nilai pengetahuan yang selama ini sebagai
instrumen pendukung lestarinya sumberdaya alam (Gunawan et al., 1998). Inovasi pada prinsipnya merupakan suatu keharusan bagi perkembangan dan produktifitas
pertanian, namun dalam prakteknya terdapat kendala seperti sulitnya proses
adaptasi dan aplikasinya yang terbatas bagi pengetahuan masyarakat.
Suku Moronene saat ini mempunyai persoalan dalam akses sumberdaya
alam terutama yang bermukim di sekitar Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
(TNRAW). Pengetahuan lokal sebagai bagian dari sistem budaya yang mereka
anut tidak cukup meyakinkan pemerintah setempat untuk melestarikan
sumberdaya di sekitarnya, sehingga seringkali timbul konflik (Tekad, 2000;
Anonim, 2002). Pemerintah setempat tidak cukup informasi dan metode
komunikasi mengenai pengetahuan lokal masyarakat setempat yang dipandang
"arif" sehingga perlu dipelihara sebagai aset dalam pembangunan nasional dan
daerah. Permasalahannya adalah :
1. Pengetahuan lokal apa yang dianut Suku Moronene dalam sistem
pertaniannya.
2. Bagaimana peranan pengetahuan lokal tersebut dalam pengelolaan
1.3. Kerangka Pemikiran
1.3.1. Kerangka Dasar Penelitian
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup memberikan perhatian yang cukup besar pada peran serta dan tanggung
jawab masyarakat dalam pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan
karena persoalan lingkungan sangat terkait dengan interaksi manusia sebagai
mahluk sosial. Sumaatmadja, (1989) mengatakan interaksi yang bersifat positif
dalam mengembangkan daya dukung lingkungan seperti simbiosis mutualisme
antara manusia dan lingkungannya. Tetapi interaksi yang negatif dapat
menimbulkan masalah sosial yaitu terjadinya eksploitasi dalam pemanfaatan
sumberdaya secara berlebihan yang tidak memperhatikan daya dukung
lingkungan.
Pertumbuhan dan pertambahan populasi manusia telah menimbulkan
perilaku yang tidak serasi dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik, sosial
budaya maupun politik. Kebutuhan akan bahan pangan sebagai kebutuhan fisik
yang mendesak, rasa ingin berkuasa dan dihargai sebagai kebutuhan batiniah
dapat mendesak lingkungan melalui berbagai tekanan baik itu hutan yang
dikonversi sebagai lahan pertanian, merebut pengaruh melalui budaya dan partai
politik, padahal secara ekologi tidak serasi karena terjadinya dominasi oleh unsur
lingkungan terhadap lingkungan lainnya.
Persoalan lingkungan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan
biofisik semata, akan tetapi dipengaruhi pula oleh faktor manusia sebagai subyek
di dalamnya.' Ini berarti bahwa penanganan persoalan lingkungan harus dimulai
melalui pola-pola kebudayaannya secara turun temurun maupun dari berbagai
pengalaman dalam hidup bermasyarakat.
Selama ini masyarakat lokal dipandang sebagai mahluk yang bodoh dan
tertinggal serta bahkan mengancam kelestarian pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan sehingga harus diarahkan sesuai dengan program yang telah
direncanakan. Pandangan seperti ini jelas harus segera ditinggalkan mengingat
akan berdampak buruk bagi partisipasi dan eksistensi masyarakat setempat.
Padahal pada masyarakat terasing secara nyata telah membuktikan keberadaan
mereka selama ini justru telah memelihara dan melestarikan sumberdaya alam
disekitarnya melalui pola kebiasaan atau kearifannya. Kerusakan lingkungan pada
kawasan adat terjadi setelah masuknya pendatang dari luar yang mengeksploitasi
sumberdaya setempat (Poenvanto, 2000).
1.3.2. Kerangka Operasional Penelitian
Teknologi masyarakat (indigenous technology) sebagai bagian dari
pengetahuan lokal hasil karya masyarakat yang secara turun temurun
dilaksanakan, sebenarnya merupakan aset intelektual bangsa Indonesia yang
banyak tersebar di seluruh penjuru tanah air. Namun perhatian terhadap
pengetahuan lokal seperti ini masih sangat kurang atau bahkan cenderung tidak
ada. Justru yang terjadi adalah memberi perhatian yang lebih besar kepada
teknologi impor yang acap kali tidak terintegrasi dengan penguasaan dan
pengembangan teknologi impor itu sendiri. Sehingga bukan saja kita cenderung
inemiliki ketergantungan yang tinggi atas impor teknologi seperti bahan baku
teknologi yang kita tiru dari luar pada kenyataannya tidak men~perkuat
berkembang dan menguatnya kemampuan teknologi sendiri (Taufik, 2002).
Perkembangan pengetahuan masyarakat diakui relatif sangat lambat
dibandingkan dengan pesatnya teknologi asing yang dikembangkan oleh negara
maju. Walaupun teknologi tersebut makin lama makin tertinggal sehingga perlu
ada penyesuaian yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ironisnya,
pengetahuan lokal melalui teknologi masyarakat yang dinilai "kuno" oleh
masyarakat kita sendiri, kini ditenggarai mulai banyak yang dicuri oleh bangsa
asing untuk dikembangkan dan dimiliki. Untuk itu, pemahaman masyarakat dan
kepedulian pemerintah atas konteks legal hak kepemilikan intelektual memang
perlu ditingkatkan menjadi kekayaan budaya bangsa yang tidak temilai harganya
sehingga dapat dimanfaatkan terus menerus menjadi sumber devisa bagi negara
dan pendapatan daerah sejalan dengan semangat otonomi.
Semangat otonomi daerah sangat relevan, dan bahkan kunci untuk
mendorong pengembangan aset pengetahuan lokal dan upaya perlindungan
hukumnya. Kerjasama sinergis antara stakeholders perlu ditumbuhkan bagi proses kreatif dan inovatif setempat untuk mendorong pengembangan dan pengelolaan
yang lebih efektif atas potensi indigenous knowledge di setiap daerah, sebab kekhasan potensi dan karakteristik lokal menjadi salah satu faktor penting
pembangunan daya saing ekonomi (Arifin, 2001).
Kini makin disadari bahwa pemecahan terhadap persoalan akses
sumberdaya produktif (termasuk teknologi) dan pemberdayaan biasanya akan
efektif dilakukan pada tataran terdekat dengan kehidupan masyarakat baik politik, .
8
itu, potensi modal sosial pada tingkat lokal merupakan faktor yang tidak dapat
diabaikan. Pengalaman empirik negara maju menunjukan bahwa investasi dalam
pengetahuan dan teknologi acap kali paling efektif dan efisien pada tataran
komunitas lokal atau daerah, sehingga perlu didorong terciptanya lingkungan
yang mendukung pengembangan pengetahuan lokal di setiap daerah.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan kerangka pemikiran,
maka tujuan peneiitian ini adalah :
1. Menggali pengetahuan lokal Suku Moronene dalam sistem pertanian di
Sulawesi Tenggara.
2. Mengkaji peranan pengetahuan lokal Suku Moronene dalam pengelolaan
sumberdaya alam, khususnya dalam sistem pertanian berkelanjutan.
1.4.2. Manfaat
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Dapat mengiventarisir jenis-jenis pengetahuan lokal Suku Moronene dalam
sistem pertanian di Sulawesi Tenggara.
2. Diketahui peranan pengetahuan lokal Suku Moronene dalam sistem pertanian
berkelanjutan.
3. Masukan bagi pemerintah dalam mendayagunakan potensi masyarakat lokal
dan strategi operasional dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan,
khususnya dalam sistem pertanian berkelanjutan di Sulawesi Tenggara.
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan Lokal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) dijelaskan bahwa
pengetahuan berasal dari kata tahu yang berarti mengerti sesudah melihat atau menyaksikan atau mengalami. Jadi pengetahuan adalah segala sesuatu yang
diketahui berkenan dengan sesuatu ha1 dan merupakan kumpulan pengalaman
dalam kurun waktu yang lama.
Konsep pengetahuan lokal menurut Mitchell et a1 ., (2000) berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Pengetahuan lokal
adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan
suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu
yang lama (Babcock 1999). Sedangkan menurut Zakaria (1994), pada dasarnya
pengetahuan lokal (local knowledge) atau kearifan tradisional dapat didefinisikan
sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu
yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenan dengan model-
model pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Kearifan
tersebut berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan
tentang hal-ha1 yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan,
reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, dan hubungan-hubungan yang
sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya. Kearifan
dalam banyak kasus sangat erat kaitannya dengan agama misalnya Agama Katolik
banyak mengilharni kearifan budaya masyarakat Timor-Timur (Baramuli, 1996),
10
Kearifan lokal itu merupakan hasil pengamatan dan pengalaman
masyarakat di dalam proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan yang
ada di sekitarnya. Oleh karena kearifan lingkungan itu merupakan pengetahuan
yang ada di dalam suatu kebudayaan tertentu, maka corak suatu kearifan
tradisional itu dicirikan oleh corak kebudayaan dimana kearifan lingkungan
(ecological wisdom) menjadi bagian darinya. Sehingga citra lingkungan dapat
saja didasarkan pada ilmu pengetahuan yang bercorak rasionalistik dan
intelektualistik maupun pada sistem religi yang bercorak kosmis magis (Zakaria,
1994). Pengetahuan lokal masyarakat pada dasarnya adalah hasil dari berbagai
proses coba-coba yang dilakukan secara turun-temurun dan apa yang terbukti
berhasil, itu yang dikembangkan untuk mendukung lestarinya kehidupan.
Lestarinya kehidupan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan terjadi karena mereka telah menerapkan sistem pengelolaan yang
memperhatikan aspek konservasi baik didasari ataupun tidak. Salah satu
pengelolaan sumberdaya alam bagi masyarakat lokal adalah sistem konservasi
pertanian (Manik, 2000)
Dalam banyak masyarakat, pengetahuan lokal sebagai bentuk kearifan
bukan satu komoditas (seperti disiplin ilmu tertentu di universitas), tetapi
merupakan bagian integral indentitas sosiokultural kelompok masyarakat yang
mempunyai kaitan erat sekali dengan identitas etnis (Babcock, 1999). Dijelaskan
pula bahwa di Indonesia terdapat banyak kasus penggunaan kearifan masyarakat
dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan, seperti sistem produksi ikan air
1 1
pantai timur Sumatera yang mengolah daerah pasang surut yang ditanami padi dan
kelapa jika hasil padi mulai menurun.
Penerapan kearifan masyarakat, ada beberapa ha1 yang perlu ditegaskan,
yaitu pertama, bahwa kearifan masyarakat tidak perlu dibatasi hanya pada
masyarakat tradisional, pinggiran, terasing, miskin dan sebagainya. Kearifan
tersebut terdapat dimana-mana. Kedua, kita tidak perlu mempertentangkan antara
ilmu yang serba logis, rasional dan terstruktur, dengan kearifan atau pengetahuan
mereka yang tidak logis, tidak rasional dan sebagainya, karena pada dasarnya,
setiap manusia mempunyai kapasitas yang sama untuk bertindak rasional dan
logis berdasarkan fakta, asumsi-asumsi, peluang, hambatan dan nilai-nilai yang
mereka pegang (Babcock, 1999).
Pengetahuan lokal dalam pengelolaan lingkungan dan pertanian
merupakan koreksi psikologis terhadap dampak negatif dari revolusi hijau yang
ditandai dengan perkembangan teknologi pertanian. Akibanya dari penerapan
teknologi tersebut adalah, ternyata signifikan dalam penurunan daya dukung
lingkungan bagi kehidupan di muka bumi (Haryadi, 1999). Untuk menanggulangi
ha1 tersebut, diperlukan kajian mengenai kearifan tradisional masyarakat yang
secara turun temurun terbukti dapat menyelamatkan lingkungan dan kehidupan
masyarakat itu sendiri. Seperti pengetahuan lokal sistem produksi sapi di Malang
Selatan telah memperkaya khasanah teknologi produksi ternak sapi dalam
pemanfaatan kawasan pertanian konservasi (Subagiyo et. al., 1999). Bahkan dengan mengabaikan pengetahuan lokal ini, Pemerintah Kanada pada bulan juli
1992 mengumumkan penutupan tempat penangkapan ikan cod selama dua tahun
12
kehilangan lapangan kerja. Hal ini terjadi menurut Mitchell, et. al., (2000) karena
pemerintah mengabaikan peringatan pengetahuan nelayan setempat tentang
habitat dan migrasi ikan serta waktu penangkapan yang tepat.
Namun kearifan masyarakat ini mulai cenderung hilang seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat, yang disinyalir oleh Babcock
(1999) bahwa hilangnya tersebut diakibatkan secara dominan oleh adanya
paradigma sains. Pendekatan ini sangat erat kaitannya dengan paradigma
pembangunan yang menganggap bahwa segala yang bersifat kecil, sederhana,
alami, pedesaan harus dirubah menjadi besar, kompleks, buatan manusia, dan
kekotaan. Demikian pula dengan sistem pendidikan dan kebijakan pemerintah
yang cenderung mengabaikan hak-hak adat masyarakat. Oleh karena itu
inventarisasi pengetahuan lokal merupakan agenda utama dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan seiring dengan kompleksnya persoalan
pembangunan dalam berbagai dimensi kehidupan sosial ekonomi, budaya dan
bahkan politik.
Untuk menerapkan pengetahuan lokal secara baik, maka perlu diadakan
pendekatan dan kerjasama dengan berbagai pihak. Mitchell, at. al., (2000)
menyarankan agar diadakan pendekatan kemitraan dan partisipasi yang lebih
sistemik dalam pengelolaan lingkungan agar kegagalan yang telah dicontohkan
oleh sistem penangkapan ikan cod di Lautan Atlantik oleh Pemerintah Kanada dan
kegagalan pemberantasan hama wereng di Indonesia tidak perlu terjadi karena
model yang dikembangkan ilmuwan seringkali tidak tepat. Sebab selaina ini
13
pengetahuan lokal dapat memberikan "kebenaran mendasar" untuk membantu
mengkaj i asumsi dasar atau model bagi para pengelola atau penganalisa.
Apabila pengetahuan lokal dipahami oleh ilmuwan, banyak metode sosial
tradisional dalam mengumpulkan informasi terutama pemakaian survey dengan
kuisioner dan survey sosial mengantarkan apa yang disebut partisipasi lokal.
Tujuan partisipasi lokal adalah untuk membantu memberdayakan masyarakat
lokal, dan membimbing mereka dalaln menentukan, memahami dan
menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Teknik ini dapat diterapkan bukan
hanya di negara berkembang akan tetapi juga di negara maju. (Mitchell, at. al., 2000)
2.2. Sistem Pertanian Berkelanjutan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) dijelaskan bahwa sistem
adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas. Sedangkan pertanian adalah suatu kegiatan proses
hayati pada areal (lahan) tertentu dengan memanfaatkan anasir iklim (Reijntjes, et.
al., 1999).
Jadi sistem pertanian merupakan seperangkat gagasan, elemen-elemen
kebudayaan, keterampilan, teknik, praktek, prasangka dan kebiasaan yang
terintegrasi secara fungsional dalam suatu masyarakat, berkaitan dengan
hubungan mereka dengan tanah dan pertaniannya (Rahardjo, 1999). Reijntjes, et. al. (1999) mendefinisikan sistem pertanian adalah suatu susunan khusus kegiatan usaha tani yang dikelola berdasarkan kemampuan fisik, biologis dan sosial
14
Pembahasan mengenai sistem pertanian telah dilakukan D. Whittlesey
dalam Rahardjo, (1 999) mengemukakan ada sembilan corak sistem pertanian, yakni : ( 1 ) bercocok tanam di ladang ; (2) bercocok tanam tanpa irigasi ; (3)
bercocok tanam menetap dengan irigasi sederhana berdasarkan tanaman pokok
padi; (4) bercocok tanam menetap dengan irigasi sederhana tanpa tanaman padi ;
(5) bercocok tanam lautan tengah ; (6) pertanian buah-buahan ; (7) pertanian
komersial ; (8) pertanian komersial dengan mekanisasi ; dan (9) pertanian
perkebunan mekanisasi. Sedangkan Smith dan Zofp dalam Rahardjo (1999) mengemukakan bahwa sistem pertanian terdiri atas : (1) cocok tanam tepian
sungai ; (2) sistem bakar ; (3) sistem tajak ; (4) sistem bajak bersahaya ; (5) sistem
bajak yang telah maju ; dan (6) pertanian yang sistem pertanian mekanik.
Sistem pertanian sebagai proses hayati yang terjadi menunjukkan campur
tangan manusia atau hewan terhadap tanaman yang dibudidayakan. Campur
tangan tersebut dapat dilakukan dalam pengelolaan tanah, pemupukan,
pemberantasan hama dan penyakit, pemupukan, penggunaan bibit unggul dan
pengairan yang tepat. Campur tangan manusia dalam sistem pertanian tradisional,
petani jarang atau tidak pernah mensuplai hara yang berasal dari pupuk kimia.
Ketersediaan hara terpenuhi melalui daur ulang hara dengan pengembalian sisa
tanaman atau ternak kedalam tanah. Artinya bahwa pertanian terutama di daerah
tropis sangat bergantung pada sumberdaya alam, pengetahuan, keterampilan dan
institusi lokal (Budianta, 1996). Sistem pertanian ini berkembang melalui proses
panjang secara coba-coba dimana akhirnya ditemukan keseimbangan antara
masyarakat dan basis sumberdaya. Sistem pengelolaan tradisional memiliki
hubungan komunikasi terus terjalin karena dikelola oleh lembaga adat atau desa
(Mardiyanto, 1997). Inilah yang kemudian memungkinkan sistem pertanian
tradisional disebut sistem pertanian berkelanjutan sebab seluruh kegiatan
pertanian selalu didasarkan pada proses yang alami dan berusaha menghindari
sesuatu yang mempunyai resiko diluar pengetahuan mereka (Manik, 2000).
Kata "keberlanjutan" sekarang ini digunakan secara meluas dalam lingkup
prorgram pembangunan dan pengelolaan sumberdaya. Menurut Reijntjes, et. al.,
(1999) keberlanjutan dapat diartikan sebagai "menjaga agar suatu upaya terus
berlangsung, kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot".
Dalam konteks pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk
tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis sumberdaya. Sedangkan
Technical Advisory Committee of the CGIAR dalam Reijntjes, et. al., (1999),
mendefinisikan bahwa "pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya
yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang
berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan
melestarikan sumberdaya alam".
Jika dikaitkan dengan pertanian berkelanjutan, maka pertanian tradisional
yang menggunakan hasil adaptasi dengan alam lingkungannya, maka sistem
pertanian tradisional sesungguhnya merupakan sistem pertanian berkelanjutan.
Hanya persoalannya bahwa sistem pertanian tradisional pada masa sekarang
kurang begitu menarik karena hasil yang dicapai dalam pertanian tidak besar
dibanding dengan memakai teknologi dan input yang tinggi. Reijntjes, et. al.,
(1999) mengatakan, sistem pertanian tradisional yang terus dikembangkan dalam
dan nilai-nilai asing, maka sistem tersebut akan sangat n~embantu dalaln
produktifitas pertanian, tapi kalau tidak maka akan terjadi kerusakan sumberdaya
alam dan desintegrasi masyarakat lokal.
Namun demikian penerapan sistem pertanian berkelanjutan menurut
Budianta, (1996) bukan berarti sama sekali tidak menggunakan pupuk kimiawi
atau pupuk organik dan pertisida buatan, tetapi membatasi pemakaian berlebihan.
Model pertanian berkelanjutan memilih, menggunakan cara yang tepat dan praktis
melalui pengelolaan tanaman dan tanah yang efisien dan ekonomis. Pengelolaan
pertanian berkelanjutan disamping peningkatan produksi diperhatikan, sistem
ekologi tetap diperhatikan sebagai suatu konsep dinamis yang terhadap
kemungkinan perubahan kebutuhan populasi global yang terus meningkat,
sehingga pengelolaan sumberdaya merupakan perpaduan dari maksimalisasi
ekonomi dan minimalisasi ekologi. Artinya secara ekonomi sumberdaya alam
dapat dimanfaatkan secara optimal namun tetap memperhatikan kesimbangan
ekologi dan kelestarian sumberdaya tersebut agar dapat dimanfaatkan anak cucu
kita dimasa yang akan datang (Soemarwoto, 1997).
Sistem pertanian tradisional merupakan kebudayaan tradisional yang
mengacu pada cara hidup (way of life) masyarakat desa yang belum dirasuki oleh penggunaan teknologi modern serta sistem ekonomi uang. Atau dengan rumusan
lain, pola kebudayaan tradisional adalah produk dari besarnya pengaruh alam
terhadap masyarakat yang hidup bergantung pada alam. Besarnya pengaruh alam
terhadap pola kebudayaan masyarakat desa akan ditentukan oleh ; ( I ) sejauhmana
ketergantungan mereka terhadap pertanian ; (2) tingkat teknologi ; dan (3) sistem
17
menjadi faktor determinan bagi terciptanya kebudayaan tradisional, yakni
kebudayaan tradisional akan tercipta apabila masyarakat amat tergantung kepada
pertanian, tingkat teknologi rendah dan produksi hanya untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
Kebudayaan tradisional biasanya identik dengan perladangan berpindah
sehingga terkadang dituding sebagai penyebab terjadinya degradasi lahan.
Argumentasi ini didasarkan bahwa dengan penghasilan yang pas-pasan
memungkinkan mereka (petani) hanya mengandalkan jagung dan ubi kayu serta
petani sayur-sayuran di lereng-lereng bukit yang rentan terhadap laju degradasi
lahan, sehingga perlu ada konservasi. Namun program konservasi lahan bukan
satu-satunya jalan menanggulangi masalah degradasi lahan, terutama di lahan
kering, karena degradasi lahan sangat berkaitan dengan isu ekonomi secara
keseluruhan. Beberapa rekomendasi makro yang mungkin efektif untuk
menurunkan tingkat degradasi lahan, pengurangan tekanan penduduk, dan
peningkatan serta pemantapan strategi yang mampu meningkatkan pendapatan
petani seperti pembatasan luas lahan, diversifikasi tanaman dan lapangan kerja
serta agroindutri (Arifin,200 1).
Sebenarnya masyarakat telah mempraktekkan beberapa cara pertanian
konservasi yang disamping dapat mencegah degradasi lahan juga menambah
pendapatan keluarga seperti agroforestri yaitu perpaduan antara tanaman
kehutanan dan pertanian (Budianta, 1996). Aplikasi sistem pertanian-kehutanan
(agroforestry) sebenarnya telah banyak diterapkan di beberapa lokasi lahan kering
yang memiliki tingkat kemiringan curam, sekaligus sebagai pelengkap teknologi
18
Tulang Bawang di Lampung dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, kombinasi
pohon durian dan kayu karet tua berada di puncak gunung, lalu tanaman mangga,
pohon cengkah dan lada tua serta kopi di bagian agak bawah. Pada bagian datar
petani umumnya menanam tanaman pangan dan palawija, yang biasanya juga
ditutupi rumput gajah untuk makanan ternak dan beberapa kayu bakar
disekitarnya (Arifin, 2001). Dijelaskan pula bahwa walaupun sistem pertanian
kehutanan masih menganut pola tradisional dalam kaidah sistem pertanian
berkelanjutan, akan tetapi sistem ini petani umumnya dapat memperoleh
pendapatan yang tidak kalah besar dibandingkan dengan petani lahan sawah tadah
hujan atau yang beririgasi seadanya yang hanya berproduksi tidak lebih dari dua
ton perhektar. Artinya bahwa, disana masih banyak kemungkinan untuk
meningkatkan pendapatan petani melalui sistem agroforestri dengan mengganti
tanaman keras dan buah-buahan dengan variaetas yang lebih baik dan
berproduktifitas tinggi.
Dalam kebijakan pembangunan pertanian 2001 -2004, digariskan beberapa
kebijakan umum dalam menentukan langkah-langkah pembangunan sektor
pertanian yang berhubungan dengan masyarakat pedesaan yang masih tradisional
yaitu mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman
sumberdaya pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam rangka menjamin
tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada
tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan tingkat pendapatan petani
19
2.3. Masyarakat Lokal dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Masyarakat lokal didefinisikan cukup beragam, namun beberapa elemen
dasar biasanya termasuk antara lain : (1) keturunan penduduk asli suatu daerah
yang kemudian dihuni oleh sekelompok masyarakat luar yang lebih kuat, (2)
sekelompok orang yang mempunyai bahasa, tradisi, budaya dan agama yang
berbeda dengan kelompok yang dominan, (3) selalu diasosiasikan dengan
beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat, (4) keturunan masyarakat pemburu,
nomadik, peladang berpindah, (5) masyarakat dengan hubungan sosial yang
menekankan pada kelompok, pengambilan keputusan dan pengelolaan
sumberdaya secara bersama (Mitchell, et. al., 2000).
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berbasis masyarakat,
tidak terlepas dari pandangan manusia yang menempatkan kepentingan manusia
sendiri disebut antroposentrisme (Soemanvoto, 2001). Hal ini didasarkan pada
kenyataannya bahwa berbagai kegiatan manusia seperti ekonomi, telah
mempengaruhi lingkungan hidup karena penggunaan sumberdaya, produksi
limbah dan modifikasi lingkungan hidup. Dengan berbagai kerusakan ini
menyebabkan kepentingan manusia terganggu. Namun kemudian pandangan ini
mendapat kritikan dari berbagai pihak karena melihat bahwa persoalan lingkungan
bukan hanya kepentingan manusia sebab lingkungan hidup mempunyai nilai
(value) sebab kepentingan lingkungan juga mencangkup eksistensi mahluk lain
yang harus dihormati. Sebab dalam ha1 ini, pandangan antroposentris justru akan
mengabaikan kepentingan masyarakat tradisional yang kehidupannya sangat
20
Meskipun masyarakat lokal (petani) sudah menerapkan sistem modern
dalam pengelolaan sumberdaya alam dengan penggunaan input luar dan teknologi
yang tinggi, namun ciri pengelolaan lokal masih sering dijumpai. Ciri tersebut
menurut Subagiyo, et al., (1999) terlihat dalam sistem pertanian yang memiliki prinsip: pandangan holistik, dimana ulnumnya petani masih percaya bahwa alam
memiliki suatu kekuatan gaib sehingga alam harus diperlakukan dengan hati-hati;
pertanian berdasarkan masyarakat seperti penggunaan tenaga kerja maupun dalam
pengelolaan berdasarkan sistem sosial budaya; pemanfaatan sumberdaya lokal
secara optimal; perlindungan tanah dan daur ulang unsur alami dan peminimalan
resiko; serta teknik-teknik yang khas setempat; masih kuatnya sistem budaya
dalam pengambilan keputusan bersama.
Dalam konteks partisipasi masyarakat setempat, pengelolaan sumberdaya
dapat dipandang sebagai proses belajar baik bagi masyarakat itu sendiri maupun
pada orang luar (modern) yang perlu mencontoh kearifan masyarakat setempat.
Artinya bahwa berbagai kepentingan dalarn pengelolaan sumberdaya dapat
dipertemukan guna menserasikan antara kebutuhan pembangunan dan
kepentingan lingkungan dimana manusia itu berada harus dilindungi. Sistem
pengetahuan lokal akan mendorong terjadinya pendekatan kemitraan dan
partisipasi yang lebih sistemik dalam pengelolaan sumberdaya (Mitchell, et. a!.,
2000).
Pada masyarakat modern, bila dikaji pentingnya lingkungan bagi
kehidupannya, sebenarnya kearifan ini pasti secara ekonomis menguntungkan.
Misalnya pada masyarakat kota yang telah terlatih dengan pola kebersihan,
2 1
kebiasaan menabung dan mencari penghasilan merupakan suatu upaya ekonomis
dalam mempertahankan eksistensinya (Babcock, 1999). Secara ekologis kearifan
masyarakat jelas mempertahankan eksistensi kelestarian sumberdaya alam baik
yang bersifat biotik maupun abiotik. Maka sebaiknya dalam melihat persoalan
lingkungan harus terkait antara tiga ha1 yang disingkat sebagai pendekatan ABC
(abiotic, biotic, cultural) sebagai konsep ekologi dalam pengelolaan sumberdaya
dan lingkungan. Secara ekologi kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan
memungkinkan pemeliharaan komunitas alami dan adanya konservasi yang secara
ekonomi tetap dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan
tanpa perlu melakukan pemenuhan dari sumber lainnya dalam mendukung sistem
kehidupan dan pranata budaya masyarakat (Manan dan Arafah, 2000).
Namun demikian bahwa perbedaan pandangan dalam pengelolaan
sumber >days alam antara pemerintah dengan masyarakat lokal kerap terjadi, dan bahkan antara petani tradisional dan modern. Seperti yang kemukakan oleh
Poenvanto (2000) bahwa pada masyarakat yang menerapkan sistem pertanian di
padang rumput yang sedikit agak intensif dan semi permanen, alang-alang
(Imperata cylindrica) sering dianggap sebagai penutup tanah, sumber pakan
ternak murah, tempat perburuan binatang dan bahan pembuat atap rumah.
Sebaliknya dalam pandangan pemerintah atau petani ekstensif, alang-alang adalah
jenis tanaman pengganggu, yang dapat merusak keadaan tanah, sumber utama
bahaya kebakaran dan saingan tanaman budidaya.
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan termasuk pembangunan
sistem pertanian dan usaha agribisnis yang menggunakan sumberdaya alam
22
Oleh karena itu upaya pelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati perlu
ditempatkan sebagai bagian dari pembangunan sistem pertanian yang
berkelanjutan. Upaya pelestarian itu dikembangkan dalam bentuk-bentuk kebun
koleksi plasma nutfah maupun pelestarian habitat alami (asli) ekosistem tanaman
disetiap daerah dengan menumbuhkembangkan kelembagaan lokal dan
melegalisasi hak ulayat masyarakat lokal (Anonim, 200 1).
Sehingga dalam berbagai studi etnografi, perbedaan cara memandang
persoalan masyarakat lokal harus didasarkan kepentingan apa yang harus
dilakukan dalam pembinaan dan pemberdayaan oleh pemerintah. Sebab
masyarakat lokal tentu lebih tahu apa yang terbaik bagi mereka berdasarkan
pengalaman, sehingga orang luar dapat secara jernih mendeskripsikan secara tepat
serangkaian prilaku pada kejadian-kejadian dimana mereka berpartisipasi
111. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
3.1.1. Tempat Penelitian
Dari 7 (tujuh) kecamatan sebaran komunitas Suku Moronene di Sulawesi
Tenggara, Kecainatan Rarowatu, Kabupaten Buton dipilih sebagai lokasi
penelitian. Untuk memperoleh informasi dan data'yang dibutuhkan ditetapkan
empat desa sebagai tempat pengambilan sampel yaitu Desa Rau-Rau, Desa
Rarowatu, Desa Wumbubangka dan Desa Ladumpi. Untuk jelasnya lokasi
penelitian di Kecamatan Rarowatu dapat dilihat pada peta lokasi (Gambar 1).
Pemilihan daerah tersebut sebagai pengambilan sampel didasarkan pada
pertimbangan bahwa :
a. Kecamatan Rarowatu merupakan pusat kebudayaan dan daerah penyebaran
Suku Moronene.
b. Sebahagian besar Suku Moronene yang hidup dari pertanian dan masih
mempraktekkan sistem pertanian tradisional.
c. Kondisi demografi dan georafis serta sosial ekonomi dan budaya yang
-
Jalan raya I-..-..-
Batas kabupaten-...-
Batas kecamatan4
Sungai & anak sungai0 lbukota kecamatan I
-4
Lokasi penelitian2 5
3.1.2. Waktu Penelitian
Jadwal kegiatan dibagi dalam dua tahap. Pertama adalah penelitian
lapangan berlangsung selama 4 (empat) bulan (Pebruari
-
Mei 2002). Tahap keduaselama 2 (dua) bulan (Juni-Juli 2002) untuk penyusunan laporan (tesis).
3.2. Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini difokuskan pada :
1. Pengetahuan lokal masyarakat dalam sistem usaha tani tradisional seperti
penentuan dan pembukaan lokasi; pengolahan lahan; penanaman;
pemeliharaan tanaman; dan panen.
2. Peranan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya
dalam sistem pertanian berkelanjutan meliputi aspek-aspek: ekologi yang
berhubungan dengan konservasi; ekonomi berupa inanfaat sosial ekonomi;
dan sosial budaya berupa sistem sosial budaya (Reijntjes, et. al., 1999;
Budianta, 1996; Babcock, 1999).
3.3. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis
menulis, rol film, kamera, alat perekam (tape recorder), kompas, peta bumi dan
kuisioner.
3.4. Desain Penelitian
Karena fenomena yang diteliti bersifat kualitatif, maka desain penelitian
dilakukan melalui studi orientasi yaitu studi pengenalan lapangan dan data
eksplorasi yaitu memahami fenomena dan gejala lapangan untuk pengumpulan
data yang relevan dengan tujuan penelitian. Kemudian kebenarannya dicek di
lapangan melalui studi konzrmasi yaitu wawancara langsung dengan masyarakat
(Soehartono, 1999; Sitorus, 1998).
Penelitian ini kualitatif karena berangkat dari asumsi dasar bahwa realitas
sosial adalah fakta subyektif mengenai perilaku manusia yang harus dipahami dari
sisi pandang subyek yang diteliti serta bersifat naturalistik yaitu memahami
peristiwa yang terjadi secara alami dalam konteks yang alami tanpa memanipulasi
setting penelitian (Taylor dan Bondan, 1984; Patton, 1990; Denzin dan Lincoln,
1994, dalam Sitorus, 1998).
3.5. Jenis dan Sumber Data
Data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data
yang berasal langsung dari masyarakat seperti hasil wawancara, diskusi
mendalam, dan pengamatan lapangan. Data sekunder adalah data yang diambil
dari intansi pemerintah, swasta. seperti kondisi geografis, demografi, sarana dan
prasarana, sosial budaya, ekonomi dan lingkungan hidup.
Untuk memperoleh data primer dilakukan dengan cara:
1. Wawancara dengan menggunakan kuisioner tidak terstruktur dan diskusi
mendalam secara informal maupun formal. Model kuisioner yang digunakan
lnengacu pada model kuisioner perencanaan pengelolaan lingkungan hidup
daerah (PPLHD) (Anonim, 1999).
2. Observasi lapangan yaitu dengan melakukan pengamatan lapangan di daerah
27
Untuk kemantapan data yang diperoleh, peneiitian ini dipadukan dengan
metode Partisipatory Local Appraisal (PLA) yaitu metode identifikasi masyarakat
lokal untuk mendapatkan informasi atau tindakan lokal yang terus-menerus dan
pengembangan institusi (Mitchell et al., 2000; Chambers, 1996). Metode ini
terdiri atas sumber sekunder (majalah, buku, jurnal, peta, dokumen, koran),
wawancara, observasi langsung, diskusi dan lokakarya.
Contoh populasi penelitian (responden) adalah masyarakat Kecamatan
Rarowatu dan dipilih 4 desa sebagai sampel. Responden adalah masyarakat lokal
Suku Moronene yang dianggap mewakili dan mengetahui masalah yang diteliti
dengan kriteria responden adalah kepala keluarga (KK) mempunyai mata
pencaharian pokok sebagai petani, khususnya petani yang mengusahakan tanaman
padi. Pertimbangannya bahwa tanaman padi merupakan tanaman yang diusahakan
sebagian besar oleh masyarakat dan tanaman padi merupakan tanaman yang
mempunyai nilai sosial dan budaya bagi Suku Moronene.
3.6. Metode Penarikan Sampe
Metode pengambilan sampel dibagi kedalam dua tahapan yakni : pertama,
mencari informasi awal sebagai arah atau pedoman dalam pengumpulan data yang
berasal dari masyarakat setempat dan mengetahui pengetahuan lokal. Penarikan
sampel pada tahap ini dilakukan secara sengaja (non probability) berdasarkan
purposive sampling yaitu sampel yang diambil secara sengaja berdasarkan tujuan
penelitian dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan alokasi sampel yang
berimbang (Soehartono, 1999), yaitu menetapkan 10 orang informan kunci (key
2 8
Moronene seperti Kepala Wilayah Kecamatan 1 (satu) orang ; Kepala Desa 2
(dua) orang; Pemangku Adat Suku Moronene 1 (satu) orang, Tokoh Masyarakat
Moronene 3 (tiga) orang; Dukun Pengobatan Tanaman (Tompuroo) 2 (dua) orang;
Kepala Pertanian Kecamatan 1 (satu) orang;
Kedua, pengambilan data di lapangan dengan tujuan mengetahui praktek
pengetahuan lokal dan peranannya dalam sistem pertaniannya. Penarikan sampel
dilakukan dengan acak sederhana (simple random sampling) dengan
pertimbangan kondisi populasi homogen (Soehartono, 1999).
Jumlah responden diambil 15 % dari jumlah KK tiap desa (lihat Tabel 6), dengan rincian sebagai berikut; Desa Rau-Rau 15 responden, Desa Rarowatu 28
responden, Desa Ladumpi 15 responden dan Desa Wumbubangka 12 responden,
sehingga responden berjumlah 70 orang. Sampel 15 % didasarkan bahwa populasi
mempunyai kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang homogen (Singarimbun dan
Effendi, 1989; Soehartono, 1999) dan pada penelitian kualitatif yang diutamakan
adalah ketepatan informasi bukan pada besarnya sample (Sitorus, 1998)
3.7. Teknis Analisis dan Pengolahan Data
3.7.1. Teknis Analisis Data
Berhubung fenomena yang diamati adalah bersifat kualitatif, maka analisis
data dilakukan secara deslwiptzf yaitu memberikan gambaran tentang urutan
kegiatan masyarakat (petani) dalarn sistem pertanian dan menjelaskan peranan
pengetahuan lokal masyarakat tersebut dalam pengelolaan sisteln pertanian
29
Teknik ini dipakai dengan pertimbangan bahwa aspek etnografi
(kebudayaan suatu etnis) yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan aka