LAMPIRAN
Lampiran 1. Nekromassa Serasah
Contoh: Plot I, Petak 1, Serasah Halus dan Nekromassa Berat Basah = 310 g/m2
27 SP3P6 4.156 64.888 32.521 128.761 430
28 SP3P6K 4.620 154.084 55.887 200.552 1600
29 SP4P6 4.336 94.577 50.223 106.108 350
30 SP5P6 4.214 62.341 28.621 155.423 560
Nekromassa (ton/ha) Serasah Kasar pada Arboretum dan Hutan Lindung
Lampiran 2. Karbon Serasah dan Nekromassa
Contoh: Plot I, Petak 1, Serasah Halus Massa Kering = 1,682 ton/ha
Karbon = (34,418 / 100 x 1,682) ton/ha = 0,579 ton/ha
Karbon(ton/ha) Serasah Halus dan Nekromassa pada Arboretum dan Hutan Lindung
16 SP5P4 24.4636 11.2739 0.112739351 32.8204 0.608669
17 SP1P5 28.1179 8.376 0.083764165 36.305 0.640407
27 SP3P6 26.2777 11.1940 0.111939581 31.7779 0.684847
28 SP3P6K 22.4854 11.829 0.118289728 31.548 1.83082
29 SP4P6 25.9233 12.3945 0.123945263 30.2802 0.562788
30 SP5P6 28.1764 7.682 0.076817168 36.077 0.927546
Karbon(ton/ha) Serasah Kasar pada Arboretum dan Hutan Lindung
12 SP2P3 11.99305124 12.8477 24.0426 2.883441
13 SP3P3 9.772600186 5.681 26.937 2.632473
14 SP4P3 10.68811745 13.8926 24.7473 2.645019
15 SP5P3 8.730979051 7.680 26.647 2.326578
16 SP1P4 8.345004669 9.708 25.820 2.154647
17 SP2P4 8.010430285 9.0370 23.8068 1.90703
18 SP3P4 7.877610925 8.866 24.086 1.89742
19 SP4P4 8.013897907 10.5337 24.1596 1.936126
20 SP5P4 10.01738399 6.625 26.929 2.697543
21 SP1P5 10.6702028 16.105 19.008 2.028174
22 SP2P5 8.119531998 10.9249 24.1631 1.961928
23 SP3P5 9.657154573 11.153 27.137 2.620682
24 SP4P5 11.44415963 13.6710 26.8552 3.073347
25 SP5P5 10.30483129 9.865 26.758 2.757393
26 SP1P6 7.602566356 6.934 24.491 1.861977
27 SP2P6 8.862293777 12.4106 24.4791 2.169406
28 SP3P6 8.380744114 14.267 23.681 1.984683
29 SP4P6 10.58171732 7.8688 26.6683 2.821963
30 SP5P6 3.639086107 8.809 25.326 0.921653
Lampiran 3. Hasil Uji Laboratorium Kimia Hasil Hutan IPB
Lampiran 4. Hasil Uji Independent Sample T Test Karbon Serasah dan Nekromassa Pada Tegakan Arboretum dan Hutan Lindung Hutan Diklat Pondok Buluh
T-Test
Group Statistics
TEGAKAN N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
KARBONSERASAHHALUS ARBORETUM 3 .96 .142 .
HUTANLINDUNG 3 .75 .090 .
KARBONSERASAHKASAR ARBORETUM 3 2.44 .892 .
HUTANLINDUNG 3 2.19 .276 .
KARBONNEKROMASSA ARBORETUM 3 1.62 1.401 .
HUTANLINDUNG 3 1.46 1.363 .
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances
KARBONSERASAHHALU
S
Equal variances assumed .620 .475 2.167 4
Equal variances not assumed 2.167 3.377
KARBONSERASAHKASA
R
Equal variances assumed 5.101 .087 .470 4
Equal variances not assumed .470 2.380
KARBONNEKROMASSA Equal variances assumed .050 .834 .139 4
Lampiran 5. Pengambilan Sampel
Gambar 1. Pengukuran Pengambilan Serasah dan nekromassa
Lampiran 6. Peta Lokasi Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Australian Greenhouse Office. 1999. National Carbon Accounting System, Methods for Estimating Woody Biomass. Technical Report No. 3, Commonwealth of Australia. Australia.
Balitbang, Dephut. 1989. Atlas Kayu Indonesia jilid II. Bogor. Indonesia
Budiman, M. , Gusti H., dan Herlina Darwati. 2015. Estimasi Biomassa Karbon Serasah dan Tanah pada Basal Area Tegakan Meranti Merah (Shorea macrophylla) di Areal Arboretum Universitas tanjungpura Pontianak. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Jurnal Hutan Lestari (2015) Vol. 3 (1) : 98 – 107
Departemen Kehutanan RI. 2007. Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Perubahan Iklim Global. Diakses: http://www.dephut.go.id. [16 September 2015]. Dinarto, Wafit. 2010.Pengaruh Kadar Air Dan Wadah Simpan Terhadap
Viabilitas Benih Kacang Hijau Dan Populasi Hama Kumbang Bubuk Kacang Hijau Callosobruchus chinensis L. Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Jurnal AgriSains Vol.1 No.1
Freedman B. 1989. Environmental ecology. Academic Press, San Diego, CA. 424 pp. Jurnal Ilmu KehutananVolume VI No. 2 - Juli-September 2012
Hairiah K., SM Sitompul, M van Noordwijk, C Palm. 2001b. Method For Sampling Carbon Stocks Above and Below Ground. ASB Lecture Note 4B. ICRAF, Bogor, 23 pp. Jurnal. Agroland 16 (2) : 110 - 117, Juni 2009
Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran „karbon tersimpan‟ di berbagai macam
penggunaan lahan. Bogor. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA.
Hairiah. K., Subekti R, 2007. Pengukuran ‘Karbon Tersimpan’ di Berbagai MacamPenggunaan Lahan. Bogor. Jurnal GAMMA Volume 6, Nomor 2, Maret 2011: 101 – 112
Hairiah K, Ekadinata A, Sari RR, Rahayu S. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon: dari tingkat lahan ke bentang lahan. Petunjuk praktis. Edisi kedua. Bogor, World Agroforestry Centre, ICRAF SEA Regional Office, University of Brawijaya (UB), Malang, Indonesia xx p.
Hairiah, k dan rahayu, s. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. world agroforestry centre icraf southeast asia regional office. Bogor. Jurnal Ilmu Lingkungan. vol. 12 Issue I 21-31: (2014) ISSN 1829-8907
Hamdan T. dan Upik Rosalina. 2002. Pendugaan Biomasa di atas tanah di Ekosistem Hutan Primer dan Hutan Bekas Tebangan (Studi Kasus Hutan Dusun Aro, Jambi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol.VIII No. 1 : 15-29 (2002).
Hanafi N, Bernardianto BR, 2012. Pendugaan Cadangan Karbon pada Sistem Penggunaan Lahan Di Areal PT. Sikatan Wana Raya.Media Sains 4 (2). Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta:Akademika Pressindo. Jurnal
Silvikultur TropikaVol. 03 No. 01 April 2012, Hal. 14 – 21ISSN: 2086-8227
Herawatiningsih, R., dan Hardiansyah, G. 2013. Pendugaan Biomassa Karbon Serasah Dan Tanah Pada Hutan Tanaman (Shorea leprosula Miq) Sistem
TPTII PT. Suka Jaya Makmur. Jurnal Hutan Lestari, 1(3)
Hidayah. N, 2011 . Daya sintas dan laju pertumbuhan Rasamala (Altingia excelsa Noronha), Puspa (Schima wallichii (DC.)Korth.), dan Jamuju (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub). Pada Lahan Terdegradasi Di Hulu DAS Cisadane. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 05 No. 3, Desember 2014, Hal 188-195.
Irawan, D.J. 2009. Pendugaan Kandungan Karbon Pada Tegakan Jati (Tectona Mangrove Forests. Working Paper 86. CIFOR, Bogor, Indonesia.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 1999. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang PokokKehutanan. Jakarta: Kemenhut. JURNAL SILVIKULTUR TROPIKAVol. 03 No. 01 April 2012, Hal. 14 – 2 ISSN: 2086-8227
Krisnawati, H., W.C. Adinugroho, dan R. Imanuddin. 2012. Monograf : Model-Model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Manuri, S, Chandra A.S. P, Agus D.S. 2011. Teknik Pendugaan Cadangan Karbon Hutan. Merang REDD Pilot Project – German International Cooperation (MRPP-GIZ). Palembang.
Masripatin N, Ginoga K, Pari G, Dharmawan SW, Siregar AC, Wibowo A, Puspasari D, Utomo SA, Sakuntaladewi N, Lugina M, Indartik, Wulandari W, Darmawan S, Heryansah I, Heriyanto NM, Siringoringo HH, Damayanti R, Anggraeni D, Krisnawati H, Maryani R, Apriyanto D, Subekti B, 2010.
Cadangan Karbon pada berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Penerbit Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor. Jurnal Warta Rimba Volume 2, Nomor 1 Hal: 164-170 Juni 2014. ISSN: 2406-8373
Muhdi , Iwan Risnasari, Eva Sartini Bayu. 2015. Pendugaan Cadangan Biomassa di Atas Permukaan Tanah Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara. Universitas Sumatra Utara Press. Medan. Jurnal Bumi Lestari, Volume 15 No. 1, Pebaruari 2015, hlm. 40 – 46
Pamudji HW, 2011. Potensi Serapan Karbon pada Tegakan Akasia. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Jurnal Warta Rimba Volume 2, Nomor 1 Hal: 164-170 Juni 2014. ISSN: 2406-8373
Pananjung, W.G. 2014. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Pada Tegakan Sengon Buto (Enterolobium Cyclocarpum Griseb.) Dan Trembesi (Samanea Saman Merr.)Di Lahan Pasca Tambang Batubara PT Kitadin, Embalut, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Peace. 2007. Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya.
[www.peace.co.id]. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2010, hlm. 41-49 Vol. 15 No.1
Salim.,H.S.,S.H,M.S. 2004. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Sinar Grafika. Jakarta. Jurnal Gamma Volume 6, Nomor 2, Maret 2011: 101 - 112
Salisbury, F.B. dan Cleon, W.R. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung. Jurnal Info Teknis EBONI Vol. 12 No.1, Juli 2015: 1 – 12
Saragih. 2016. Pengaruh Struktur dan Komposisi Tegakan terhada Cadangan Karbon Tumbuhan Bawah Di Hutan Desa Simorangkir Julu Tarutung. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Universitas Sumatera Utara
Situmorang, F.R.D. 2011. Pendugaan Simpanan Karbon pada Tegakan
Eukalipthus hybrid pada Umur 0-3 Tahun di PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Tbk. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Universitas Sumatera Utara.
Sutaryo, D. 2009. Penghitungan Biomassa, sebuah pengantar untuk studi karbon dan perdaganga n karbon. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.1, No.4, September 2013 Whittaker RH & Marks PL. 1975. Methods of assessing terrestrial productivity.
Dalam Lieth H & Whittaker RH.(edisi), Primary productivity ofthe biosphere. Springer-Verlag, New York. Jurnal Ilmu KehutananVolume VI No. 2 - Juli-September 2012
Widyasari , N. A. E, Bambang Hero Saharjo, Solichin, Istomo. 2010. Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar di Sumatera Selatan.Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2010, hlm. 41-49
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan di Penelitian ini dilaksanakan di Hutan
Diklat Pondok Buluh Kabupaten Simalungun Sumatera Utara dan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2016.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, kantong
plastik, tali raffia, GPS (Global Positioning Systems), kompas, spidol permanen, ember, kertas label, ayakan dengan ukuran lubang 2 mm, sekop kecil, tally sheet, parang, kuadran kayu dan alat tulis. Sedangkan Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah nekromassa dan serasah di atas permukaan tanah Arboretum dan Hutan Lindung di Hutan Diklat Pondok Buluh.
Metode Penelitian
Penentuan Daerah Penelitian
Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sistematyc sampling with random start artinya dengan penentuan daerah dilakukan secara sengaja dan acak,
dengan intensitas sampling sebesar 0,1 % dan luas plot yang akan diteliti sebesar 1,2 ha. Daerah penelitian ini dilaksanakan pada kawasan Hutan Diklat Pondok
Desain plot penelitian
Penelitian dilakukan sebanyak 6 Sub plot utama pada 2 tegakan yang berbeda, ada kawasan Arboretum terdapat 3 plot dan pada kawasan Hutan
Lindung juga 3 plot, sub plot utama yang digunakan berukuran 20x100 m2. Pada setiap sub plot utama dibuat 5 petak contoh berukuran 1x1 m2, sehingga jumlah petak contoh yang diteliti sebanyak 30 petak contoh. Petak contoh pengamatan
diletakkan secara systematic sampling. Desain plot pengamatan dapat dilihat pada gambar .
Keterangan:
Petak 2x2 m : Inventarisasi Serasah dan Nekromassa Petak 5x5 m : Inventarisasi Pancang
Petak 10x10 m : Inventarisasi Tiang Petak 20x20 m : Inventarisasi Pohon
Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan yaitu pengukuran simpanan
karbon (C) pada kawasan Hutan Diklat Pondok Buluh serta menghitung berat
basah serasah kasar dan serah halus pada tiap sub plot serta pengukuran
keseluruhan data cadangan karbon. b. Data Sekunder
Data sekunder berupa data kondisi umum lokasi berupa peta lokasi, iklim dan topografi.
Batasan Penelitian
a. Nekromasa yang dianalisis ialah pohon mati yang sudah roboh, cabang dan ranting utuh yang berdiameter ≥5cm dengan panjang ≥0.5 m yang terdapat
dalam plot contoh.
b. Serasah yang dianalisis dibagi menjadi dua yaitu serasah kasar dan serasah halus, serasah kasar terdiri dari serasah daun yang masih utuh dan ranting yang
berdiameter ≤5cm dengan panjang ≤5m dan serasah halus terdiri dari bahan
organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian yang berukuran > 2 mm.
Prosedur Penelitian
Analisis Vegetatasi
Data vegetasi yang dikumpulkan dianalisis untuk mendapatkan nilai
Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif FR) , Doninansi Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) pada semai, pancang, tiang dan pohon. Rumus yang
digunakan mengacu kepada buku acuan Ekologi Hutan (Indriyanto, 2006).
Analisis vegetasi
a. Kerapatan
Kerapatan =
Kerapatan Relatif (KR) =
b. Frekuensi
Frekuensi =
Frekuensi Relatif (FR) =
×100%
c. Dominansi
Dominansi = Luas Bidang Dasar Suatu Jenis/ Luas Petak Contoh Dominansi Relatif = Dominansi Suatu Jenis/ Dominansi Total x 100%
d. Indeks Nilai Penting (INP)
INP = KR + FR (Untuk Semai dan Pancang) INP = KR + FR + DR (Untuk Tiang dan Pohon)
Prosedur Penelitian di Lapangan
Penelitian di lapangan yaitu pengambilan data dilakukan dengan
mengambil seluruh nekromassa berkayu berdiameter ≥5cm dengan panjang ≥0.5
m, serasah daun yang masih utuh (serasah kasar), ranting pohon dan bahan
organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian yang berukuran > 2 mm
(serasah halus) yang terdapat pada setiap petak contoh. Penentuan sampel plot
dilakukan dengan menggunakan metode sistematis dengan menggunakan petak
contoh dengan ukuran 1m x 1m (Hairiah, 2011). Pengumpulan Data Nekromasa di Lapangan
Cara pengambilan nekromasa
a. Diukur diameter atau lingkar batang dan panjang atau tinggi semua pohon mati
Pada pohon yang mati berdiri, diameter diukur pada 1,3 m di atas permukaan
tanah. Pada pohon yang mati rebah cabang, ranting dan tunggul, pengukuran
diameter dilakukan pada kedua ujungnya.
b. Dicatat dalam lembar pengukuran Tabel untuk nekromasa yangberdiameter >
30 cm dan Tabel untuk nekromasa yang berdiameterantara 5 – 30 cm.
c. Apabila dalam sub plot utama maupun plot terdapat batang roboh melintang ,
maka diukurlah diameter batang pada dua posisi (pangkal dan ujung) dan
panjang batang hanya diukur pada contoh yang masuk dalam sub plot utama
atau plot saja.
d. Diambil contoh kayu dari nekromasa yang diamati dengan ukuran 10 cm x
10 cm x 10 cm, ditimbang berat basahnya, dimasukkan dalam oven suhu 80 C
selama 48 jam untuk menghitung BJ nya.
e. Diduga persentase bagian nekromasa yang belum terlapuk, sebagai contoh
100% untuk nekromasa yang masih utuh dan 50% untuk nekromasa yang
setengah bagian terlapuk.
Pengumpulan Data Serasah Kasar di Lapangan
Cara mengambil contoh seresah kasar
a. Digunakan kuadran kayu/bambu/aluminium diambil contoh seresah kasar
langsung setelah pengambilan contoh biomasa tumbuhan bawah, dilakukan
pada sub plot dan luas kuadran yang sama dengan yang dipakai untuk
pengambilan contoh biomasa tumbuhan bawah.
b. Diambil semua sisa-sisa bagian tanaman mati, daun-daun dan ranting-ranting
gugur yang terdapat dalam tiap-tiap kuadran, dimasukkan ke dalam kantong
c. Untuk memudahkan penanganan, diikat semua kantong kertas berisi seresah
yang diambil dari satu plot. Dimasukkan dalam karung besar untuk
mempermudah pengangkutan ke laboratorium.
d. Dikeringkan semua serasah di bawah sinar matahari, bila sudah kering,
digoyang-goyangkan agar tanah yang menempel dalam serasah rontok dan
terpisah dengan serasah. Ditimbang contoh seresah kering matahari (g per 0,25
cm ).
e. Diambil sub-contoh seresah sebanyak 100-300 g untuk dikeringkan dalam oven
pada suhu 80 C selama 48 jam. Bila biomasa contoh yang didapatkan hanya
sedikit (< 100 g), maka ditimbang semuanya dan dijadikan sebagai sub contoh
f. Ditimbang berat keringnya dan catat dalam lembar pengamatan yang telah
disediakan.
Pengumpulan Data Serasah Halus di Lapangan
Cara mengambil contoh serasah halus
a. Diambil semua seresah halus yang terletak di permukaan tanah yang terdapat
di dalam kuadran, biasanya setebal 5 cm, tetapi ketebalan ini bervariasi
tergantung pada pengelolaan lahannya. Dihentikan pengambilan serasah halus
bila telah sampai pada tanah mineral. Batas antara tanah mineral dan lapisan
seresah ditandai oleh perbedaan warna. Tanah mineral berwarna lebih terang.
b. Dimasukkan semua serasah halus yang terdapat pada kuadran ke dalam ayakan
dengan lubang pori 2 mm, diayaklah. Diambil seresah halus dan akar yang
tertinggal di atas ayakan, ditimbang berat basahnya (BB per kuadran). Diambil
selama 48 jam. Bila biomasa contoh yang didapatkan hanya sedikit (< 100 g),
maka ditimbang semuanya dan dijadikan sebagai sub-contoh.
c. Ditimbang berat keringnya dan dicatat dalam lembar pengamatan yang
disediakan.
d. Dimasukkan seresah halus ke dalam kantong plastik dan diberi label untuk
keperluan analisa kandungan karbon (C-organik).
e. Serasah halus yang lolos ayakan dikelompokkan sebagai contoh tanah, di ambil
50 gram untuk analisa kandungan karbon (C-organik) atau unsur hara lainnya
sesuai keperluan (Hairiah dkk, 2011)
Analisis di Laboratorium
Kadar air
Cara pengukuran kadar air contoh uji adalah sebagai berikut :
1. Contoh uji dikeringkan dalam tanur suhu 103 ± 2oC sampai tercapai berat konstan, kemudian dimasukkan ke dalam eksikator dan ditimbang berat keringnya.
2. Penurunan berat contoh uji yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur ialah kadar air contoh uji.
Pengukuran kadar karbon
Pengukuran kadar karbon dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Kadar zat terbang
Prosedur penentuan kadar zat terbang menggunakan American Society for Testing Material (ASTM) D 5832-98. Prosedurnya adalah sebagai berikut :
b. Sampel kemudian dioven pada suhu 80oC selama 48 jam.
c. Sampel kering digiling menjadi serbuk dengan mesin penggiling (willey mill). d. Serbuk hasil gilingan disaring dengan alat penyaring (mesh screen) berukuran
40-60 mesh.
e. Serbuk dengan ukuran 40-60 mesh dari contoh uji sebanyak ± 2 g, dimasukkan ke dalam cawan porselin, kemudian cawan ditutup rapat dengan penutupnya,
dan ditimbang dengan timbang Sartorius.
f. Contoh uji dimasukkan ke dalam tanur listrik bersuhu 950oC selama 2 menit.
Kemudian didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang.
g. Selisih berat awal dan berat akhir yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering contoh uji merupakan kadar zat terbang. Pengukuran persen zat terbang
terhadap sampel dari tumbuhan bawah dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. 2. Kadar abu
Prosedur penentuan kadar abu menggunakan American Society for Testing Material (ASTM) D 2866-94. Prosedurnya adalah sebagai berikut :
a. Sisa contoh uji dari penentuan kadar zat terbang dimasukkan ke dalam tanur
listrik bersuhu 900oC selama 6 jam.
b. Selanjutnya didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang untuk
mencari berat akhirnya.
c. Berat akhir (abu) yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur
3. Kadar karbon
Penentuan kadar karbon contoh uji dari nekromasa menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995, dimana kadar karbon contoh uji
merupakan hasil pengurangan 100% terhadap kadar zat terbang dan kadar abu.
Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan untuk memperoleh data kadar air (KA), biomassa, dan juga kadar karbon yang terdapat pada nekromassa. Analisis KA,
biomassa dan kadar karbon dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Rumus yang digunakan mengacu kepada buku pendugaan cadangan karbon tersimpan (Hairiah dan Rahayu, 2007).
1. Perhitungan Kadar Air
Perhitungan persentase kadar air dihitung dengan rumus:
Keterangan: % KA= Persentase Kadar Air (%)
BB = Berat Basah contoh sampel (g) BKT = Berat Kering Tanur (g) (Hairiah dan Rahayu, 2007).
2. Perhitungan Biomassa
Biomassa nekromasa dihitung dengan rumus:
Keterangan: B = Biomassa
A = Area Contoh (m2)
BK c = Berat kering contoh uji (g) BB c = Berat basah contoh uji (g)
(Hairiah dan Rahayu, 2007).
3. Perhitungan Karbon
Kadar zat terbang
Kadar zat yang mudah menguap dinyatakan dalam persen berat dengan rumus
sebagai berikut :
Dimana :
A = Berat kering tanur pada suhu 105OC
B = Berat contoh uji dikurangi berat berat cawan dan sisa contoh uji berat cawan
dan sisa contoh uji pada suhu 950OC
Kadar abu
Besarnya kadar abu dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kadar karbon
Penentuan kadar karbon terikat (fixed carbon) ditentukan berdasarkan
rumus berikut ini:
Analisis Data
Analisis data ini adalah untuk melihat perbedaan potensi karbon tumbuhan bawah pada kawasan Arboretum dan Hutan Lindung. Maka perlu dilakukan uji T
dengan menggunakan software SPSS. Uji T yang dilakukan adalah uji
independent sample t-test. Kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut:
Jika thitung< ttabel, maka H0 diterima (tidak berbeda secara signifikan)
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 6173/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002, Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Pematangsiantar
merupakan Unit Pelaksana Teknis Pusat Diklat Kehutanan yang mempunyai tugas melaksanakan Pendidikan dan pelatihan bagi pengawai dan Non Pegawai di
bidang Kehutanan. Sebelum penunjukan sebagai hutan diklat, areal dimaksud merupakan jatah arel Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) di Kabupaten Simalungun. Selanjutnya ditunjuk sebagai Hutan Diklat melalui SK Dirjen
Kehutanan No. 34/Kpts.DJ/I/1983 tanggal 8 Februari 1983 dengan luas 800 Ha dan pada tahun 1988 mendapat tambahan areal 300 Ha berdasarkan SK Menteri
Kehutanan No. 398/ Kpts/ II/ 1988 tanggal 4 Agustus 1988 ditetapkan Kawasan Hutan Diklat Pondok Buluh sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK).
Secara administratif hutan diklat Pondok Buluh masuk dalam wilayah Desa Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan Kabupaten Simalungun
Propinsi Sumatera Utara dan wilayah pengelolaan hutannya termasuk wilayah Resort Polisi Hutan Tiga Dolok Dinas Kehutanan Simalungun. Kawasan hutan diklat Pondok Buluh berbatasan dengan:
- Sebelah Utara : Enclave Buluh Malando
- Sebelah Timur : Jalan Trans Sumatera menuju ke Sumatera Barat,
Enclave Pondok Buluh , dan Enclave Huta Tonga-tonga
Kawasan Hutan Diklat Pondok Buluh terletak pada ketinggian 900- 1.100 meter
di atas permukaan laut dengan keadaan dari bergelombang sampai berbukit. Secara klimatologis, kawasan tersebut termasuk dalam tipe iklim sedang dan
curah hujan rata-rata 254 mm/thn dan jumlah hari hujan rata-rata 15hari/bulan (data tahun 2005) dengan temperature berkisar antara 22-280 C. Wilayah hutan diklat Pondok Buluh merupakan bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS),
Sungai sungai yang mengalir di wilayah ini adalah sungai Bah Panamburan, Bah Pogos, Bah Kasindir, dan Bah Lintong.
Hutan Diklat Pondok Buluh lokasinya dapat dijangkau dengan mudah karena terletak di pinggir jalan raya antar Kota Pematangsiantar dan Kota Parapat, tepatnya pada km 35. Untuk mencapai asrama telah tersedia jalan beraspal
(hotmix) sejauh 1,2 km dari jalan raya. Hutan Diklat Pondok Buluh merupakan tempat ideal untuk diklat bagi para pegawai maupun masyarakat pada umumnya
termasuk pelajar dan mahasiswa. Lokasi Hutan Diklat yang hanya berjarak ± 10 km dari Danau Toba, menawarkan alternatif wisata alam hutan sambil memperkaya pengetahuan tentang hutan hujan tropika yang sesungguhnya (the
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan yang dilakukan di Hutan Diklat Pondoh Buluh, Desa Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara pada areal Arboretum sebanyak 3 plot, yaitu Plot I (N 02046‟10,0‟‟: E098059‟00,2‟‟), Plot II (N02046‟13,8‟‟: E098059‟01,8‟‟), dan Plot
III (N 02046‟15,3‟‟: E098059‟02,8‟‟). Pada kawasan Hutan Lindung juga terdapat 3 plot, yaitu Plot I (N 02046‟03,1‟‟: E098058‟43,8‟‟), Plot II (N 02046‟02,5‟‟: E098058‟42,3‟‟) dan Plot III (N 02046‟01,8‟‟: E098058‟40,8‟‟).
Struktur dan Komposisi Tegakan pada Arboretum
A.Tingkat Pohon
Kondisi tegakan yang masih relatif utuh dengan pohon-pohon alami
berdiameter besar berbagai jenis (puspa, rasamala, sampinur dan lainnya) serta berbagai jenis rotan dan bambu. Keadaan tegakan di lapangan sudah mengalami sedikit perubahn karena sudah ada sebagian yang telah mengalami perubahan
dimana hasil hutan sudah ada digunakan untuk keperluan masyarakat sehari-hari.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi dilapangan dapat dilhat pada Tabel 2.
Tabel 2. Indeks Nilai Penting Pohon pada Tegakan Arboretum
Sesuai dengan data tabel diatas bahwa pohon yang mendominasi pada
areal Arboretum adalah pohon Puspa (Schima wallichii) dengan nilai INP 56.03 dan jenis yang paling rendah yaitu Durian (Durio zibethinus) dengan nilai INP
2.96. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa jenis yang paling dominan adalah puspa. Hal ini menunjukkkan bahwa jenis tersebut merupakan jenis yang lebih adaptif terhadap kondisi lingkungan atau jenis ini lebih mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan hidupnya. Dalam hal ini, jenis puspa lebih mampu bertahan karena kondisi tempat hidupnya sangat mendukung tumbuh di daerah yang agak
kering. Menurut Balitbang (1989), Puspa tumbuh pada tanah kering serta jenis ini memerlukan iklim basah sampai agak kering dengan tipe curah hujan A-C, pada dataran rendah sampai di dataran pegunungan dengan ketinggian sampai 1000 m
di atas permukaan laut.
Untuk mengetahui jenis-jenis dominan digunakan parameter Indeks Nilai
Penting (INP), dimana jenis yang memiliki INP paling tinggi merupakan jenis yang paling dominan dalam suatu komunitas. Tingginya nilai INP suatu jenis dipengaruhi oleh faktor kerapatan jenis per satuan luas dan nilai frekuensi
ditemukannya jenis dalam plot pengamatan. Kuantitas nilai INP suatu plot pengamatan juga ditentukan kesuburan tanah dan ketersediaan air sehingga
tumbuhan pun dapat hidup dengan subur. Penelitian Saragih (2016) di wilayah Hutan Desa Simorangkir Julu Tarutung ketersediaan air cenderung untuk
reproduksi yang lebih baik dibandingkan dengan tumbuhan lain dalam suatu areal
(Soerianegara dan Indrawan, 1988). B.Tingkat Tiang
Pada areal Arboretum, jenis tiang yang mendominasi adalah medang (Phoebe hunanensis.) dengan INP 107.4 dan jenis yang paling rendah durian (Durio zibethinus) dengan INP sebesar 10.5. Hasil analisis vegetasi tingkat tiang
dibawah areal Arboretum diperoleh data yang tercantum dalam Tabel 3. Tabel 3. Indeks Nilai Penting Tiang pada Areal Arboretum
No Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR D DR INP Dominansi; DR : Dominansi Relatif; INP : Indeks Nilai Penting
Meskipun pada tingkat pohon pada areal Arboretum, tanaman puspa
sangat mendominasi namun berbeda pada tingkat tiang. Medang mendominasi tingkat tiang pada areal Arboretum kemungkinan akibat adanya proses invasi kedalam lokasi tersebut. Umumnya invasi terjadi karena suatu kompetisi. Setiap
spesies selalu berkompetisi dengan spesies lain untuk mendapatkan sumber daya sebanyak-banyaknya sehingga salah satu caranya adalah dengan tumbuh dan
kompetisi memperebutkan sumber daya. Selain dengan tumbuh dan berkembang
dengan cepat, mereka juga melakukan interaksi yang kompleks dengan spesies asli (Pananjung, 2014).
C.Tingkat Pancang
Pada areal Arboretum, hasil analisis vegetasi tingkat pancang di areal Arboretum diperoleh data yang tercantum dalam Tabel 4.
Tabel 4. Indeks Nilai Penting Pancang pada Areal Arboretum
No
Keterangan : K : Kerapatan; KR : Kerapatan Relatif; F : Frekuensi; FR : Frekuensi Relatif; INP : Indeks Nilai Penting
Berdasarkan hasil analisis vegetasi jenis yang paling banyak yaitu Medang
dengan INP 43.6 dan jenis yang paling rendah yaitu damar, meranti, mayang bolon, sampinur dengan nilai INP 7.86. Medang masih mendominasi tingkat
(1988), secara umum tumbuhan dengan INP yang tinggi mempunyai daya
adaptasi, daya kompetisi, dan kemampuan reproduksi yang lebih baik dibandingkan dengan tumbuhan lain dalam suatu areal tertentu.
D.Tingkat Semai
Pada areal Arboretum, jenis semai yang mendominasi yaitu medang ((Phoebe hunanensis.) dengan nilai INP 30.46 dan jenis yang paling rendah yaitu Mayang
Bolon, Porporan, Jangkang, Meranti, Lampisi, dan Bonang Sakkuppal dengan nilai INP 3.1. Berikut hasil analisi vegetasi tingkat semai.
Tabel 5. Indeks Nilai Penting Semai pada Areal Arboretum
No
Nama lokal Nama ilmiah K KR F FR INP
1
Medang* Phoebe hunanensis 2166.67 14.77 0.53 15.69 30.46 2
Sampinur bunga Dacrycarpus imbricartus 666.67 4.54 0.13 3.92 8.47 10
Sampinur Podocarpus imbricartus 666.67 4.55 0.07 1.96 6.51 11
Sipiok Meliosma nitida 333.33 2.27 0.13 3.92 6.19 12
Kaliandra Calliandra haematocephala 500 3.41 0.07 1.96 5.37 13
Tungir tungir Decaspermum fruticosum 333.33 2.27 0.07 1.96 4.23 17
Bonang sakkuppal Alstonia angustifolia 166.67 1.14 0.07 1.96 3.1 18
Medang masih mendominasi tingkat semai pada areal Arboretum
kemungkinan akibat penyebaran yang cepat serta adaptasi yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soerianegara dan Indrawan (1988), secara umum
tumbuhan dengan INP yang tinggi mempunyai daya adaptasi, daya kompetisi, dan kemampuan reproduksi yang lebih baik dibandingkan dengan tumbuhan lain dalam suatu areal tertentu.
Struktur dan Komposisi Tegakan pada Areal Hutan Lindung
A.Tingkat Pohon
Tegakan yang ada dalam Hutan Lindung ini merupakan tanaman yang asli belum ada ikut campur tangan masyarakat atau pihak yang berkewajiban untuk menjaga hutan tersebut. Hutan Lindung ini dimanfaatkan sebagai areal untuk
diklat para pegawai atau non pegawai dalam hal penelitian dan pelatihan khusus dalam bidang tertentu.
Berdasarkan data analisis vegetasi tingkat pohon dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 .Indeks Nilai Penting Pohon Pada Hutan Lindung
No Nama Lokal Nama Ilmiah K KR F FR D DR INP Dominansi; DR : Dominansi Relatif; INP : Indeks Nilai Penting
lebih stabil dan lebih lengkap pada setiap tingkatan yaitu semai, pancang, tiang
dan pohon.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat pohon dapat kita ketahui
bahwapohon yang mendominasi pada areal Hutan Lindung adalah pohon Hoting dengan nilai INP 34.32 dan jenis yang paling rendah yaitu Sitarak dengan nilai INP 2.43. Besarnya indeks nilai penting pohon Hoting menunjukkan bahwa pada
areal Hutan Lindung ini memiliki peranan yang penting dalam membentuk suatu komunitas hutan atau tegakan. Jenis Hoting merupakan jenis yang dominan dalam
tegakan tersebut. Kemampuan Medang dalam menempati sebagian besar lokasi areal penelitian baik pada areal Arboretum maupun Hutan Lindung menunjukkan bahwa pohon tersebut memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi
lingkungan tersebut. Selain Hoting terdapat pula jenis tanaman lain yang tumbuh bersamaan dengan membentuk interaksi dengan pohon Hoting seperti
Kemenyan, Puspa, Rasamala, Sorpa hudon, Pitu arus dan lain-lain.
B.Tingkat Tiang
Pada tegakan Hutan Lindung, jenis tiang yang mendominasi adalah Losa
dengan nilai INP 48.9 dan jenis yang paling rendah yaitu Habung-habung dengan nilai INP 5.22. Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada areal Hutan
Lindung diperoleh data yang tercantum dalam Tabel 7. Tabel 7. Indeks Nilai Penting Tiang pada Hutan Lindung
Lanjutan Tabel 7 Dominansi; DR : Dominansi Relatif; INP : Indeks Nilai Penting
Jenis tiang yang mendominasi pada areal Hutan Lindung ini adalah Losa
yang berbeda dengan tingkat pohon, hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya proses invasi kedalam lokasi tersebut. Umumnya invasi terjadi karena suatu
kompetisi.
C.Tingkat Pancang
Pada areal Hutan Lindung, jenis pancang yang mendominasi adalah Jilok
Tabel 8. Indeks Nilai Penting Pancang pada Hutan Lindung
Keterangan : K : Kerapatan; KR : Kerapatan Relatif; F : Frekuensi; FR : Frekuensi Relatif; INP : Indeks Nilai Penting
Pohon Jilok mendominasi tingkat pancang pada areal Hutan Lindung
kemungkinan akibat penyebaran yang cepat serta adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan, dengan kata lain jenis ini mampu menyesuaikan diri dengan
daya adaptasi, daya kompetisi, dan kemampuan reproduksi yang lebih baik
dibandingkan dengan tumbuhan lain dalam suatu areal tertentu. D.Tingkat Semai
Pada areal Hutan Lindung, jenis semai yang paling dominan adalah Sabal dengan nilai INP 49.8 dan jenis yang memiliki nilai INP yang lebih rendah 3.39 adalah Simaremare, Tungir-tungir ,Sitarak, Tulason, dan Lampisi. Berdasarkan
hasil analisis vegetasi tingkat semai diperoleh data yang tercantum dalam Tabel 9. Tabel 9. Indeks Nilai Penting Semai pada Hutan Lindung
No 10 Habung-habung Pterospermum polyantha 333.33 2.44 0.13 4.35 6.79 11 Dosi Alstonia angustiloba 500 3.66 0.07 2.17 5.83 12 Sampinur bunga Dacrycarpus imbricartus 333.33 2.44 0.07 2.17 4.61 13 Sampinur Podocarpus imbricartus 333.33 2.44 0.07 2.17 4.61 14 Medang landit Knema mandarahan 333.33 2.44 0.07 2.17 4.61 15 Bedi bedi Linociera 333.33 2.44 0.07 2.17 4.61 16 Simarjambu-jambu Cinnamomum parthenoxilom 166.67 1.22 0.07 2.17 3.39 17 Tungir-tungir Decaspermum fruticosum 166.67 1.22 0.07 2.17 3.39 18 Sitarak Macaranga peltata 166.67 1.22 0.07 2.17 3.39 19 Tulason Altingia excels 166.67 1.22 0.07 2.17 3.39 20 Lampisi Macaranga maingayi 166.67 1.22 0.07 2.17 3.39 21 Simareme Schefflera aromatic 166.67 1.22 0.07 2.17 3.39
Total 13666.7 100 3.07 100 200
Meskipun pada tingkat pohon tanaman Medang sangat mendominasi namun
berbeda pula pada tingkat semai. Sabal merupakan jenis yang mendominasi pada tingkat semai, hal ini mungkin akibat adanya proses invasi ke areal tersebut. Jenis
ini hampir ditemukan pada setiap plot pengamatan, dimana frekuensinya sebesar 0,67. Oleh karena itu, tanaman ini mampu tumbuh baik ditempat ini dan penyebarannya hampir merata di seluruh plot.
Kadar Air
Berdasarkan hasil uji analisis laboratorium kadar air serasah halus, serasah kasar serta nekromassa pada masing-masing areal plot pengamatan berbeda. Dari hasil pengamatan laboratorium diperoleh kandungan kadar air serasah halus,
serasah kasar dan nekromassa pada kedua tegakan yang disajikan dalam tabel 10. Tabel 10. Rekapitulasi Kadar Air pada areal Arboretum dan Hutan Lindung
No No Plot
*Keterangan : SH (Serasah Halus); SK (Serasah Kasar);N (Nekromassa)
Lindung sebesar 169.84% sedangkan kadar air yang lebih kecil yaitu pada areal
Arboretum sebesar 162.41%.
Adanya perbedaan kadar air baik pada serasah halus, serasah kasar
maupun nekromassa, itu disebabkan oleh perbedaan kondisi lantai hutan setiap tegakan yang berpengaruh terhadap kadar air pada kedua tegakan tersebut. Kadar air tumbuhan merupakan perbandingan berat air yang terkandung pada tumbuhan
dengan berat kering tumbuhan tersebut. Perbandingan dari pengurangan berat dan berat awal inilah yang kemudian diubah menjadi persen dan kadar air ditemukan.
Pada organ tumbuhan, kadar air sangat bervariasi, tergantung dari jenis tumbuhan, stuktur dan usia dari jaringan organ. Fluktuasi kadar air yang meningkat melebihi dari 100% hal ini disebabkan oleh keadaan lingkungan seperti kelembaban dan
daya serap cahaya matahari serta suhu sekitar. Menurut Dinarto (2010), kelembaban relatif yang tinggi merupakan faktor luar sebagai penyebab utama
menurunnya bahkan hilangnya viabilitas selama dalam penyimpanan. Kadar air suatu tumbuhan merupakan suatu fungsi dari kelembaban relatif udara sekitarnya dan kadar air bergantung pada kelembaban relatif udara sekitarnya. Pada saat
kelembaban relatif udara sekitar tumbuhan meningkat (tinggi), maka kadar air tumbuhan akan meningkat pula sampai terjadi nilai keseimbangan antara kadar air
dengan kelembaban relatif udara sekitarnya.
Massa Kering Serasah dan Nekromassa
Tabel 11. Rekapitulasi Massa Kering Serasah dan Nekromassa (ton/ha) pada areal Arboretum dan Hutan Lindung
Serasah PadaTegakan Plot
Massa Kering (ton/ha) Total Massa Kering (ton/ha)
*Keterangan : SH (Serasah Halus); SK (Serasah Kasar);N (Nekromassa)
Perbedaan serasah nekromassa setiap objek ini adalah diakibatkan perbedaan
lantai hutan atau penutupan tajuk serta keadaan lingkungan tempat hidupnya yang sudah signifikan berubah. Menurut Tresnawan (2002), jumlah biomassa serasah kasar dan serasah halus terdapat perbedaan yang cukup besar antara hutan primer
dan hutan bekas tebangan. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan perlakuan dan intensitas tebangan. Kerusakan hutan alam lebih banyak
disebabkan oleh fenomena alam seperti pohon tua mati, pohon tumbang oleh angin dan hujan lebat, dan kerusakan hutan bekas tebangan sangat besar akibat dari intenistas tebangan yang cukup tinggi ditambah oleh kegiatan pencurian dan
perambahan hutan.
Hal ini juga dipengaruhi oleh tutupan tajuk yang menghambat pertumbuhan
serasah halus, serasah kasar dan nekromassa di Hutan Lindung. Menurut Hanafi (2012) semakin rapat tajuk pohon penyusun suatu lahan maka biomassa tumbuhan bawah akan semakin berkurang karena kurangnya cahaya matahari yang mencapai
tertekan. Hal ini akan berpengaruh pada besarnya cadangan karbon dan biomassa
serasah halus, serasah kasar dan nekromassa.
Cadangan Karbon
Cadangan karbon serasah halus,serasah kasar dan nekromassa pada tegakan Arboretum lebih tinggi dibandingkan dengan tegakan di Hutan Lindung.
Hal ini disebabkan karena biomassa serasah halus, serasah kasar dan nekromassa pada kawasan Arboretum juga lebih besar dari pada biomassa serasah halus,
serasah kasar dan nekromassa kawasan Hutan Lindung.
Berdasarkan hasil analisis laboratorium yang dilakukan diperoleh kandungan karbon serasah halus, serasah kasar dan nekromassa pada kedua
tegakan pada Tabel 12.
Tabel 12. Rekapitulasi Karbon (ton/ha) pada areal Arboretum dan Hutan Lindung
Plot
*Keterangan : SH (Serasah Halus); SK (Serasah Kasar);N (Nekromassa)
Komposisi dan kerapatan tegakan pada kawasan Arboretum lebih tinggi
daripada tegakan pada kawasan Hutan Lindung, maka jumlah karbon yang tersimpan pada serasah halus, serasah kasar dan nekromassa kawasan Hutan
pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanah serta cara
pengelolaannya.
Berdasarkan Tabel 12, nilai nekromassa dan karbon pada tegakan
Arboretmum dan tegakan di Hutan Lindung lebih kecil dibandingkan dengan beberapa penelitian lain. Hal ini dikarenakan jumlah serasah dan nekromassa yang didapat pada penelitian ini lebih sedikit dibandingkan beberapa penelitian
lain.
Tabel 13. Perbandingan Nilai Nekromassa dan Karbon Areal Arboretum dan Hutan Lindung dengan Penelitian Lain.
No. pohon maupun tiang yang sedikit menyebabkan jumlah serasah yang dihasilkan
relatif sedikit. Hal ini tentunya berbanding lurus dengan jumlah kandungan karbon serasah yang tersimpan. Disamping itu produksi serasah sangat
tergantung pada jenis pohon dan juga kemampuan dekomposisi serasah, serta keadaan lingkungan suhu dan juga bahan organik lainnya.
Suatu lokasi atau areal yang memiliki kandungan nekromassa yang cukup besar menandakan bahwa kondisi tegakan di lokasi tersebut sudah banyak
disebabkan kondisi cuaca maupun iklim yang menunjukkan adanya peningkatan
intensitas hujan dan curah hujan. Selain itu, penyebab lainnya adalah adanya serangan hama atau penyakit tumbuhan. Faktor alam pun juga bisa menjadi
penyebab terjadinya pelapukan. Petir atau banjir yang melanda suatu areal akan dapat menyebabkan suatu pohon atau tumbuhan rebah dan mati dan secara perlahan mengalami pelapukan.
Berdasarkan hasil uji Independent Sample T Test pada selang kepercayaan 95 % diperoleh nilai signifikansinya untuk serasah halus 0,048, serasah kasar
0,2215 dan nekromassa 0,448. Nilai signifikansi dibawah 0,05 menunjukkan bahwa struktur dan komposisi vegetasi atas berpengaruh nyata terhadap kadar karbon serasah dan nekromassa. Namun, untuk serasah kasar dan nekromassa
struktur dan komposisi vegetasi tidak menunjukkan berbeda nyata. Berdasarkan hasil analisis data statistik, tampak bahwa kandungan karbon pada Arboretum
maupun pada Hutan Lindung tidak dipengaruhi struktur dan komposisi tegakan yang ada diatasnya. Hal ini mungkin diakibatkan kondisi tegakan dimana tidak adanya kegiatan penebangan, iklim, faktor lingkungan. Sedangkan untuk serasah
halus itu itu sendiri tampak bahwa kandungan karbon pada Arboretum maupun pada Hutan Lindung sangat dipengaruhi struktur dan komposisi tegakan yang ada
diatasnya. Serasah halus yang berada pada kawasan Arboretum dan Hutan Lindung telah mengalami perombakan bahan organik dan juga kadar biomassa
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Jumlah spesies dalam setiap plot pengamatan , Pohon Medang merupakan pohon yang paling dominan yang terdiri atas 78 jenis. Berdasarkan besarnya
indeks nilai penting setiap spesies, maka Schiima walliichi merupakan jenis yang paling dominan, setelah pohon Medang.
2. Jenis yang mendominasi pada tegakan areal Arboretum adalah pohon Puspa dengan nilai INP sebesar 56,03 % dan jenis yang mendominasi pada tegakan areal Hutan Lindung adalah pohon Hoting dengan nilai INP sebesar 34,32%.
3. Nilai karbon pada tegakan pada Arboretum adalah serasah halus 0,96 ton/ha, serasah kasar 2,44 ton/ha , nekromassa 1,61 ton/ha sedangkan pada Hutan
Lindung adalah serasah halus 0,75 ton/ha, serasah kasar 2,18 ton/ha, nekromassa 1,46 ton/ha. Rata-rata karbon pada Arboretum yang diuji yaitu 5,02 ton/ha dan pada tegakan Hutan Lindung sebesar 4,407 ton/ha.
Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan untuk menghitung besarnya kandungan karbon pada tingkat pohon pada Hutan Diklat Pondok Buluh dan
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan
Hutan merupakan sumber utama penyerap gas karbondioksida di atmosfer selain fitoplankton, ganggang, padang lamun, dan rumput laut di lautan. Peranan
hutan sebagai penyerap karbondioksida diawali dari proses fotosintesis. Jumlah karbondioksida yang diserap dari proses fotosintesis ini setiap tahunnya
diperkirakan sebesar 70-120 trilyun ton dan diperkirakan dua pertiganya berasal dari daratan (Salisbury dan Cleon, 1995).
Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional dan konservasi pada iklim yang ada di dunia. Hal ini disebabkan hutan sangat bermanfaat bagi kehidupan yang saling terkait
didalamnya, manfaat hutan secara langsung yakni penghasil kayu mempunyai nilai tinggi, serta hasil hutan antara lain rotan, getah, buah-buahan, madu dan yang
lainnya. Hutan juga bermanfaat terhadap pengaturan tata air, mencegah erosi, memberikan efek kesehatan terhadap lingkungan, memberikan rasa keindahan, sektor pariwisata, mengurangi pengangguran, dan menambah devisa negara
(Salim, 2004).
Kemampuan hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon tidak sama
baik di hutan alam, hutan tanaman, hutan payau, hutan rawa maupun di hutan rakyat tergantung pada jenis pohon, tipe tanah dan topografi. Oleh karena itu,
informasi dan data mengenai cadangan karbon dari berbagai tipe hutan, jenis pohon, jenis tanah dan topografi di Indonesia sangat penting. Cadangan karbon pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam berkisar antara 7,5 – 264,70
ton C/ha (Masripatin dkk, 2010).
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Selain itu, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem yang erat kaitannya dengan proses alam
yang saling berhubungan antar komponen penyusun ekosistem. Komponen ekosistem terdiri atas komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik merupakan
komponen makhluk hidup, misalnya binatang, tetumbuhan, dan mikroba. Sedangkan komponen abiotik merupakan komponen benda mati atau fisik dan kimia yang terdiri atas tanah, air, udara, sinar matahari, dan lain sebagainya yang
berupa medium atau substrat untuk berlangsungnya kehidupan. Dari komponen ekosistem ini, hutan tersebut memiliki peranan dan fungsi. Peranan hutan
diantaranya yaitu menjaga stabilitas iklim global. Hutan mempunyai peranan penting sebagai sumber emisi karbon (source) dan juga dapat menjadi penyerap
karbon dan menyimpannya (sink) (Kemenhut,1999).
Peranan dan fungsi hutan adalah sebagai proteksi atau menjaga stabilitas lapisan tanah hutan. Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi
organik, air dan udara, dan merupakan media untuk tumbuhnya tanaman. Tanah
memiliki karakteristik atau sifat tanah yang terdiri atas sifat fisika, kimia, dan biologi tanah. Karakteristik tanah ini dapat dijadikan parameter kesuburan tanah
dan pertumbuhan vegetasi. Semakin besar kesuburan tanah maka semakin besar pertumbuhan vegetasi sehingga diduga akan semakin besar karbon yang akan tersimpanpada tegakan maupun tumbuhan bawah atau serasah. Oleh karena itu,
diperlukan pengetahuan untuk mengetahui karakteristik tanah dominan yang mempengaruhi tinggi rendahnya karbon yang diserap dari atmosfer dan tersimpan
di dalam vegetasi hutan (Hardjowigeno,2007).
Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup (2003), sekitar 24 milyar ton karbon (MC) tersimpan pada tanaman dalam tanah dan 80% dari jumlah
tersebut berada di hutan, atau sekitar 19 miliar ton karbon. Diantara 108 juta hektar luas hutan di Indonesia, hampir setengahnya berada pada kondisi yang
rusak dan terdegradasi (Departemen Kehutanan 2006).
Perubahan tata guna lahan dan deforestrasi diperkirakan mencapai 2 juta hektar yang dapat menyebabkan pelepasan simpanan karbon Indonesia dalam
jumlah yang besar. Emisi karbon dioksida paling besar disumbangkan oleh sektor kehutanan. Sekitar 75% berasal dari deforestrasi dan konversi lahan, diikuti 23%
dari penggunaan energi di sektor kehutanan dan 2% dari proses industri di sekitar kehutanan. Kebakaran hutan adalah kontributor utama deforestrasi dan konversi
Biomassa
Biomassa merupakan material tanaman, tumbuh-tumbuhan atau sisa hasil pertanian yang digunakan sebagai bahan bakar atau sumber bahan bakar.
Biomassa adalah total berat atau volume organisme dalam suatu area atau volume tertentu. Biomassa juga didefenisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per
satuan-luas (Sutaryo, 2009).
Biomasa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam
siklus karbon. Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) per satuan unit area. Biomassa bisa dinyatakan dalam ukuran berat, seperti berat kering dalam satuan gram, atau dalam kalori. Oleh
karena kandungan air yang berbeda setiap tumbuhan, maka biomassa diukur berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa adalah g / m2 atau ton/ ha.
Biomassa juga didefenisikan sebagai total berat kering dari bahan oganik dinyatakan dalam satuan kilogram atau ton (Krisnawati dkk, 2012).
Biomasa tumbuhan merupakan material kering dari suatu organisme hidup
(tumbuhan) pada waktu, tempat dan luasan tertentu, sehingga satuan biomasa tumbuhan biasanya dinyatakan dalam kg/m2 atau ton/ha. Biomasa pohon dalam
penelitian ini dinyatakan dalam berat kering yang merupakan gabungan dari organ tanaman hidup yang berada di atas tanah (total aboveground biomass) yang
komponen utamanya terdiri dari organ batang, cabang/ranting dan daun (Whittaker et al, 1975).
Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer (CO2) melalui proses
karbon tersebut mengalami siklus kembali ke atmosfer, karbon tersebut akan
menempati salah satu dari sejumlah kantong karbon. Semua komponen penyusun vegetasi baik pohon, semak, liana dan epifit merupakan bagian dari biomassa atas
permukaan. Di bawah permukaan tanah, akar tumbuhan juga merupakan penyimpan karbon selain tanah itu sendiri. Pada tanah gambut, jumlah simpanan karbon mungkin lebih besar dibandingkan dengan simpanan karbon yang ada
diatas permukaan. Karbon juga masih tersimpan pada bahan organik mati dan produk-produk berbasis biomassa seperti produk kayu baik ketika masih
dipergunakan maupun sudah berada di tempat penimbunan. Karbon dapat tersimpan dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau hanya sebentar. Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan dalam karbon pool ini mewakili
jumlah carbon yang terserap dari atmosfer (Sutaryo, 2009).
Dalam suatu ekosistem hutan, masyarakat tumbuh-tumbuhan berhubungan
erat satu sama lain dengan lingkungannya. Hubungan ini terlihat dengan adanya variasi dalam jumlah masing-masing jenis tumbuhan dan terbentuknya struktur masyarakat tumbuh-tumbuhan tersebut. Terbentuknya pola keanekaragaman dan
struktur spesies vegetasi hutan merupakan proses yang dinamis, erat hubungannya dengan kondisi lingkungan (Soerianegara dan Indrawan 2008).
Pengukuran biomassa total tanaman akan merupakan parameter yang paling baik digunakan sebagai indikator pertumbuhan tanaman, alasan pokok lain
global pertumbuhan tanaman dengan segala peristiwa yang dialaminya
(Sitompul dan Guritno, 1995).
Biomassa tumbuhan bawah, serasah kasar, dan serasah halus memberikan
sumbangan biomasa yang relatif kecil dibandingkan dengan pohon. Secara umum dapat dikatakan bahwa biomasa tumbuhan bawah di ketiga kondisi hutan relatif tidak jauh berbeda, sedangkan jumlah biomasa serasah kasar dan serasah halus
terdapat perbedaan yang cukup besar antara hutan primer dan hutan bekas tebangan. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan perlakuan dan
intensitas tebangan. Kerusakan hutan alam lebih banyak disebabkan oleh fenomena alam seperti pohon tua mati, pohon tumbang oleh angin dan hujan lebat, sedangkan kerusakan hutan bekas tebangan sangat besar akibat dari
intensitas tebangan yang cukup tinggi ditambah oleh kegiatan pencurian dan perambahan hutan (Hamdan dan Tresnawan, 2002).
Biomassa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon. Tanaman atau pohon di hutan dianggap berfungsi sebagai tempat penimbunan atau pengendapan karbon (rosot karbon atau carbon sink).
Besarnya kandungan karbon dan biomasa pohon bervariasi berdasarkan bagian tumbuhan yang diukur, growth stage, tingkatan tumbuhan dan kondisi
lingkungannya. Kandungan karbon dan biomasa tumbuhan bawah dipengaruhi oleh jenis-jenis tumbuhan penyusun. Lapisan serasah atau lantai hutan merupakan
seluruh bahan organik mati yang berada di atas permukaan tanah. Beberapa material organik ini masih dapat dikenali atau masih sedikit terdekomposisi. Mikroorganisme tanah sangat berperan terhadap dekomposisi bahan organik tanah
mengukur jumlah karbon dalam biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan
banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman, dan pengukuran karbon
dalam bagian tanaman yang telah mati (nekromassa) dapat menggambarkan CO2
yang tidak dilepaskan ke udara melalui pembakaran (Yuanita dkk, 2012).
Terdapat 4 cara utama untuk menghitung biomassa yaitu sampling dengan pemanenan (destructive sampling) secara in situ;(ii) sampling tanpa pemanenan
(non-destructive sampling) dengan data pendataan hutan secara in situ; (iii) Pendugaan melalui penginderaan jauh; dan (iv) pembuatan model. Untuk masing
masing metode di atas, persamaan allometrik digunakan untuk mengekstrapolasi cuplikan data ke area yang lebih luas. Penggunaan persamaan allometrik standard yang telah dipublikasikan sering dilakukan, tetapi karena koefisien persamaan
allometrik ini bervariasi untuk setiap lokasi dan spesies, penggunaan persamaan standard ini dapat mengakibatkan galat yang signifikan dalam mengestimasikan
biomassa suatu vegetasi (Australian, 1999).
Menurut Sutaryo (2009) biomassa dapat dihitung dengan 4 cara, yaitu : 1. Sampling dengan pemanenan (destructive sampling) secara in situ.
Metode ini dilaksanakan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan termasuk akarnya, mengeringkannya dan menimbang berat biomassanya.
2. Sampling tanpa pemanenan (non destructive sampling) dengan data pendataan hutan secara in situ
Metode ini merupakan cara sampling dengan melakukan pengukuran tanpa melakukan pemanenan. Metode ini antara lain dilakukan dengan mengukur tinggi atau diameter pohon dan menggunakan persamaan alometrik untuk
3. Pendugaan melalui penginderaan jauh
Penggunaan teknologi penginderaan jauh umumnya tidak dianjurkan terutama untuk proyek-proyek dengan skala kecil. Untuk mendapatkan estimasi
biomassa dengan tingkat keakuratan yang baik memerlukan hasil penginderaan jauh dengan resolusi yang tinggi, tetapi hal ini akan menjadi metode alternatif dengan biaya yang besar.
4. Pembuatan model.
Model digunakan untuk menghitung estimasi biomassa dengan frekuensi
dan intensitas pengamatan in situ atau penginderaan jauh yang terbatas. Umumnya, model empiris ini didasarkan pada jaringan dari sampel plot yang diukur berulang, yang mempunyai estimasi biomassa yang sudah menyatu atau
melalui persamaan alometrik yang mengkonversi volume menjadi biomassa.
Karbon (C)
Pengurangan CO2 di udara oleh tanaman hidup tersebut dinamakan proses
sekuentrasi (C-sequentration). Proses sekuentrasi C ini terjadi untuk kelangsungan hidup tumbuhan, dimana diperlukan sinar matahari, gas asam arang
(CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah.
Melalui proses fotosintesis, CO2 diudara diserap oleh tanaman dan diubah
menjadi karbohidrat, selajutnya disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun diseluruh bagian tubuh tanaman. Dengan demikian mengukur
jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfir yang diserap oleh tanaman.
Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang
dilepaskan ke udara lewat pembakaran. Oleh karena itu untuk mengetahui peran
lahan dalam mengurangi gas CO2 di atmosfir, dapat dilakukan dengan jalan
mengukur jumlah C yang tersimpan dalam biomassa pohon dan tumbuhan bawah,
C dalam lapisan organik dan C di dalam tanah, karena pengukuran tersebut relatif lebih sederhana dan mudah dilakukan (Hairiah et al., 2001b).
Karbon merupakan salah satu unsur yang mengalami daur dalam
ekosistem. Di dalam atmosfer, karbon terikat dan membentuk senyawa CO2 juga
dapat membentuk persediaan karbon organik dalam proses fotosintesis. Karbon
organik ini akan tetap berada di dalam tubuh produsen (tumbuhan) atau pun konsumen (manusia dan hewan) sampai mati. Setelah produsen/konsumen mati, karbon organik akan terurai melalui proses dekomposisi dan CO2 akan terlepas
kembali ke atmosfer. Penguraian bahan organik ini ada yang berlangsung cepat adapula yang berlangsung sangat lama.(Killham 1996; Vickery 1984; Gopal dan
Bhardwaj 1979 dalam Indriyanto 2010).
Karbon merupakan salah satu unsur alam yang memiliki lambang “C”
dengan nilai atom sebesar 12. Karbon juga merupakan salah satu unsur utama
pembentuk bahan organik termasuk makhluk hidup. Hampir setengah dari organisme hidup merupakan karbon. Karenanya secara alami karbon banyak
tersimpan di bumi (darat dan laut) dari pada di atmosfer. Karbon tersimpan dalam daratan bumi dalam bentuk makhluk hidup (tumbuhan dan hewan), bahan organik
mati ataupun sediment seperti fosil tumbuhan dan hewan. Sebagian besar jumlah karbon yang berasal dari makhluk hidup bersumber dari hutan. Seiring terjadinya kerusakan hutan, maka pelepasan karbon ke atmosfir juga terjadi sebanyak tingkat
Potensi massa karbon dapat dilihat dari biomassanya tegakan yang ada.
Besarnya massa karbon tiap bagian pohon dipengaruhi oleh massa biomassa vegetasi. Oleh karena itu setiap peningkatan terhadap biomassa akan diikuti oleh
peningkatan massa karbon. Hal ini menunjukkan besarnya biomassa berpengaruh terhadap massa karbon. Besarnya potensi massa karbon sangat dipengaruhi diameter pohon (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Kontribusi gas karbon dioksida di atmosfer bumi adalah yang paling dominan sebagai akibat peningkatan aktivitas manusia terhadap hutan yang pada
akhirnya dapat menyebabkan pengaruh rumah kaca (greenhouse effect) yang bisa mempengaruhi bahkan mengubah pola dan jumlah curah hujan, naiknya air laut dan timbulnya berbagai pengaruh aspek ekologi lainnya yang bisa membahayakan
kehidupan manusia di muka bumi. Freedman et al. (1992) melaporkan bahwa perubahan kadar gas CO2 di atmosfer diyakini sebagai akibat akitivitas manusia
dalam hal emisi gas CO2 melalui: (i) pembakaran material yang mengandung
karbon (C) untuk menghasilkan energi dan (ii) konversi ekosistem alamiah yang mengandung material karbon tinggi yaitu hutan menjadi ekosistem dengan
kandungan/kadar karbon yang lebih rendah yaitu ekosistem pertanian. Perubahan ekosistem dari lahan hutan menjadi lahan pertanian sangat berpengaruh terhadap
kadar CO2 di atmosfer bumi karena sebagaian besar material organik C dari hutan
pada akhirnya akan dioksidasi menjadi CO2 di saat kegiatan pembersihan lahan
(land clearing) dan penebangan hutan ( Freedman, 1989).
Salah satu faktor yang dapat menurunkan akumulasi karbondioksida (CO2) di atmosfer adalah penyerapan oleh vegetasi. CO2 di atmosfer dapat diserap
sebagai tempat penimbunan dan pengendapan karbon dan istilah ini disebut rosot
karbon. Proses penyimpanan karbon di dalam tanaman yang sedang tumbuh disebut sebagai sekuestrasi karbon (carbon sequestration). Jumlah karbon yang
ditimbun dalam tanaman sangat bergantung pada jenis dan sifat tanaman itu sendiri (Pamudji, 2011).
Cadangan karbon adalah kandungan karbon tersimpan baik itu pada
permukaan tanah sebagai biomasa tanaman, sisa tanaman yang sudah mati (nekromassa), maupun dalam tanah sebagai bahan organik tanah. Perubahan
wujud karbon ini kemudian menjadi dasar untuk menghitung emisi, dimana sebagian besar unsur karbon (C) yang terurai ke udara biasanya terikat dengan O2
(oksigen) dan menjadi CO2 (karbon dioksida). Itulah sebabnya ketika satu hektar
hutan menghilang (pohon-pohonnya mati), maka biomasa pohon-pohon tersebut cepat atau lambat akan terurai dan unsur karbonnya terikat ke udara menjadi
emisi. Dan ketika satu lahan kosong ditanami tumbuhan, maka akan terjadi proses pengikatan unsur C dari udara kembali menjadi biomasa tanaman secara bertahap ketika tanaman tersebut tumbuh besar (sekuestrasi). Ukuran volume tanaman
penyusun lahan tersebut kemudian menjadi ukuran jumlah karbon yang tersimpan sebagai biomasa (cadangan karbon). Sehingga efek rumah kaca karena pengaruh
unsur CO2 dapat dikurangi, karena kandungan CO2 di udara otomatis menjadi
berkurang. Namun sebaliknya, efek rumah kaca akan bertambah jika
tanaman-tanaman tersebut mati (Kauffman dan Donato, 2012).
Nekromassa dan Serasah
Serasah adalah kumpulan bahan organik di lantai hutan yang belum atau
mempertahankan bentuk aslinya (belum hancur). Serasah memiliki peran penting
karena merupakan sumber humus, yaitu lapisan tanah teratas yang subur. Serasah merupakan bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-rantingnya
yang terletak dipermukaan tanah serta tumbuhan yang telah mati. Serasah juga menjadi rumah dari serangga dan berbagai mikroorganisme lain. Uniknya, para penghuni justru memakan serasah, rumah mereka itu menghancurkannya dengan
bantuan air dan suhu udara sehingga tanah humus terbentuk. Di bawah lantai hutan, kita dapat melihat akar semua tetumbuhan, baik besar maupun kecil, dalam
berbagai bentuk. Sampai kedalaman tertentu, kita juga dapat menemukan tempat tinggal beberapa jenis binatang, seperti serangga, ular, kelinci, dan binatang pengerat lain (Sutaryo, 2009).
NekromasSa dibagi menjadi nekromassa berkayu dan nekromassa tidak berkayu. Nekromasa bekayu : pohon mati yang masih berdiri maupun yang roboh,
tunggul-tunggul tanaman, cabang dan ranting yang masih utuh yang berdiameter lebih besar 5 cm. Nekromasa tidak berkayu : serasah daun yang masih utuh (serasah kasar), dan bahan organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian
dan berukuran >2 mm (serasah halus) (Hairiah dan Rahayu 2007).
Penelitian Terkait
Beberapa penelitian mengenai Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon
Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar di Sumatera Selatan (Widyasari dkk, 2010). Salah satu penelitian ini bertujuan untuk membuat model penduga biomassa dan kandungan karbon terikat pada hutan
ranting dan daun), membuat model hubungan antara biomassa dengan karbon
terikat pada setiap bagian pohon serta menghitung potensi biomassa dan karbon terikat pada hutan gambut merang bekas terbakar.
Total nekromasa di lokasi penelitian sebesar 64.366,98 kg/ha yang terdiri atas nekromasa bagian batang sebesar 58.862,07 kg/ha (91,45%), diikuti oleh nekromasa cabang sebesar 3.844,68 kg/ha (5,97%) dan terendah pada nekromasa
ranting sebesar 1.660,23 kg/ha (2,58%). Besarnya kandungan nekromasa tersebut, mengindikasikan bahwa terjadi penurunan pada jumlah biomassa tersimpan pada
tegakan di areal tersebut. Semakin menurunnya jumlah biomassa tersebut akan membawa dampak negatif terhadap kelangsungan ekosistem hutan dan berpengaruh terhadap siklus karbon di atmosfer karena hampir 50% biomassa
tumbuhan terdiri dari unsur karbon dan unsur tersebut dapat lepas ke atmosfer (Brown, 1997).
Penelitian mengenai Estimasi Biomassa Karbon Serasah dan Tanah pada Basal Area Tegakan Meranti merah (Shorea macrophylla) di Areal Arboretum Universitas Tanjungpura Pontianak (Budiman dkk, 2015). Hasil kadar air serasah
memiliki nilai yang bervariasi antara 41,86-43,72 %. Rata-rata kadar air serasah dari 4 plot mencapai 42,85% yang terlihat pada Gambar 1.
Hasil Kadar air serasah Shorea macrophylla pada areal Arboretum relatif
lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Siarudin (2008). Berdasarkan penelitian Siarudin (2008) diperoleh hasil kadar air serasah berkisar antara 60,50 -
84,49 %. Kondisi fisik seperti kadar air pada serasah cenderung berbeda tiap tahunnya hal ini juga disebabkan karena pada serasah potensi air yang ada telah menguap karena dipengaruhi faktor suhu dan sinar matahari. Kondisi ini
meyebabkan kandungan air yang tersimpan pada serasah menjadi lebih sedikit. Penelitian Muhdi (2015) yang berjudul Pendugaan Cadangan Biomassa di
Atas Permukaan Tanah Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara bahwa serasah dan nekromassa di perkebunan sawit masing-masing petak sebesar 10,53 ton/ha, 4,89 ton/ha dan 7,38 ton/ha, seperti yang tercantum pada tabel berikut :
Tabel 1. Hasil Perhitungan serasah dan nekromassa Petak Biomassa (ton/ha)
Serasah Nekromassa Total I 6,00 4,53 10,53 II 3,11 1,77 4,89 III 3,38 4,01 7,38
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada petak I memiliki serasah dan nekromassa paling tinggi dibandingkan di petak lainnya, yakni sebesar
10,53ton/ha yang terdiri dari serasah 6,00 ton/ha dan nekromassa sebesar 4,53 ton/ha. Tabel ini menunjukkan bahwa rata-rata biomassa serasah dan nekromassa
pada petak I dan petak II sebagian besar berasal dari serasah sebesar 6,00 ton/ha dan 3,11 ton/ha 55,83 ton/ha atau sebesar 56,97 % dan 63,71%. Sedangkan pada petak III sebagian besar biomassa berasal dari nekromassa yakni sebesar 4,01