PUTROE NENG KARYA AYI JUFRIDAR:
KAJIAN STRUKTURALISME GENETIK
SKRIPSI
OLEH
CUT IDA AGUSTINA
080701038
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya ini bukanlah karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
oleh orang lain dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang diacu ditulis dalam naskah ini
dan dicantumkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini
tidak benar, saya bersedia menerima sanksi.
Medan, April 2013 Penulis,
Putroe Neng Karya Ayi Jufridar:
Kajian Strukturalisme Genetik
Cut Ida Agustina
Departemen Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya USU
ABSTRAK
Kisah sejarah bukanlah karya sastra tetapi karya sastra dapat kisah sejarah. Artinya karya sastra dapat kisah atau peristiwa yang benar-benar pernah terjadi. Begitulah makna mimetis secara sempit. Penelitian ini berjudul Putroe Neng Karya Ayi jufridar: Kajian Strukturalisme Genetik. Latar belakang penelitian ini beranjak dari ketertarikan terhadap karya sastra yang berlatar sejarah. Meskipun sejarah yang dimaksud tidak dapat dilacak dalam buku-buku sejarah namun dapat dilacak pada masyarakat pemilik sejarah itu. ada empat hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: (1) strukturasi, (2) subjek kolektif, (3) pandangan dunia, dan (4) fakta kemanusiaan. Tujuan penelitian adalah melacak, mengungkapkan, dan mendeskripsikan keempat masalah tersebut secara utuh. Adapun manfaatnya adalah memberikan gambaran yang padu mengenai keempat masalah sampai muncul gambaran genetis (asal-usul) lahirnya karya sastra berjudul Putroe Neng. Teori atau alat bedah penelitian ini adalah strukturalisme genetik yaitu gabungan antara struktural dan aspek eksternal yang diperkenalkan oleh Goldmann. Karya sastra di samping otonom juga memiliki latar belakang sejarah yang menjadi unsur ekstrinsik. Setelah membongkar unsur dalam baru beranjak ke pembedahan struktur luar karya sastra yang meliputi pengarang dan masyarakat yang disebutkan dalam karya sastra tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif, yaitu data-data berbentuk deskripsi dan bukan angka-angka. Hasil penelitian menunjukkan beberapa simpulan: (1) strukturasi novel Putroe Neng menunjukkan beberapa data yang merupakan fakta (dapat dilacak kebenaran dan keberadaannya) seperti subjek kolektif dan latar tempat, (2) subjek kolektif Putroe Neng ada masyarakat Peureulak, masyarakat Indra Purba, dan masyarakat keturunan Tiongkok (berkedudukan di Seudu), (3) ada tiga pandangan dunia yang dihadirkan oleh pengarang berdasarkan subjek kolektifnya, (4) ada nilai-nilai, norma, budaya, dan filosofi yang bergeser antara pandangan dunia dengan fakta kemanusiaan.
PRA KATA
Puji syukur kepada Allah Swt., atas berkah nikmat yang telah dilimpahkan-Nya
kepada penulis sehingga karya ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam kepada
Rasulullah Saw, atas suri teladannya memanusiakan manusia sebagaimana
tugasnya telah menghantarkan penulis pada titik manusia sesungguhnya.
Mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
mewujudkan impian saya menyelesaikan studi dengan baik, yaitu:
1. Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara beserta jajarannya yang telah memimpin dan membina
Fakultas Ilmu Budaya.
2. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si. selaku Ketua dan Drs. Haris Sutan
Lubis, M. SP. Selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara atas kontribusinya.
3. Drs. Isma Tantawi, M.A. selaku Dosen Pembimbing I dan Drs. Haris Sutan
Lubis, M.SP. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan
kritik, saran, dan ilmu yang sangat bermanfaat.
4. Alm. Drs. Ismed Nur dan Drs. Amhar Kudadiri selaku dosen pembina
akademik.
5. Staf Pengajar dan Administrasi di Departemen Sastra Indonesia dan
umumnya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
6. Orang tua tercinta Ayahanda Munir Syuib dan Ibunda Cut Fauziah S.Sos.
Kakanda Cut Aya Sophiati, S.Pd, Cut Ayi Wahyuni, S. Pd, Cut Ira Rizka,
dengan luar biasa telah mencurahkan segala asa, semangat, dorongan moril
dan materil demi mewujudkan cita-cita tertinggi saya menjadi seorang
sarjana.
7. Sahabat-sahabat saya di KBSI, Badan Ta’mirul Mushola (BTM) Al-Iqbal
FIB USU, Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) Ad-Dakwah USU
terutama Lembaga Jurnalistik (LJ), dan Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa
Tanah Rencong (IPTR) komisariat USU. Penulis banyak belajar
berdinamika. Keluarga besar kos 448 A , Murabbi saya Kak Linda Gustina,
S.S., Kak Renna Kinnara Arlotas, S.Psi., Kak Mimi, S.Sos, Kak Siti Aisyah
Siregar, S.S., Kak Wina, S.Kep., serta teman-teman liqo yang menginspirasi.
Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu,
semoga bantuan dan dukungannya mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT, namun penulis mengharapkan kritik dan
saran yang konstruktif demi perbaikan.
Medan, April 2013
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... ... i
PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK ... iii
PRA KATA ... iv
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang ... ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 3
1.3Batasan Masalah ... 4
1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4
1.4.1 Tujuan Penelitian ... 4
1.4.2 Manfaat Penelitian ... 4
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Konsep ... 6
2.1.1 Strukturasi ... 6
2.1.2 Subjek Kolektif ... 7
2.1.3 Pandangan Dunia ... 8
2.1.4 Fakta Kemanusiaan ... 8
2.2 Landasan Teori Strukturalisme Genetik ... 9
2.3 Tinjauan Pustaka .... ... 11
2.3.1 Putroe Neng antara Dongeng dan Mitos ... 11
BAB III METODE PENELITIAN ... 14
3.1 Metode ... 14
3.2 Sumber Data ... 15
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 15
3.3 Teknik Analisis Data ... 16
BAB IV ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK PUTROE NENG 17
4.1 Strukturasi Novel Putroe Neng ... 17
4.2 Subjek Kolektif ... 21
4.3 Pandangan Dunia ... 22
4.3.1 Pandangan Islam dan Masyarakat Peurelak ... 23
4.3.2 Pandangan Animisme Indra Purba ... 32
4.3.3 Pandangan Tiongkok Seudu ... 34
4.4 Fakta Kemanusiaan ... 36
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 41
5.1 Simpulan ... 41
5.2 Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA
Putroe Neng Karya Ayi Jufridar:
Kajian Strukturalisme Genetik
Cut Ida Agustina
Departemen Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya USU
ABSTRAK
Kisah sejarah bukanlah karya sastra tetapi karya sastra dapat kisah sejarah. Artinya karya sastra dapat kisah atau peristiwa yang benar-benar pernah terjadi. Begitulah makna mimetis secara sempit. Penelitian ini berjudul Putroe Neng Karya Ayi jufridar: Kajian Strukturalisme Genetik. Latar belakang penelitian ini beranjak dari ketertarikan terhadap karya sastra yang berlatar sejarah. Meskipun sejarah yang dimaksud tidak dapat dilacak dalam buku-buku sejarah namun dapat dilacak pada masyarakat pemilik sejarah itu. ada empat hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: (1) strukturasi, (2) subjek kolektif, (3) pandangan dunia, dan (4) fakta kemanusiaan. Tujuan penelitian adalah melacak, mengungkapkan, dan mendeskripsikan keempat masalah tersebut secara utuh. Adapun manfaatnya adalah memberikan gambaran yang padu mengenai keempat masalah sampai muncul gambaran genetis (asal-usul) lahirnya karya sastra berjudul Putroe Neng. Teori atau alat bedah penelitian ini adalah strukturalisme genetik yaitu gabungan antara struktural dan aspek eksternal yang diperkenalkan oleh Goldmann. Karya sastra di samping otonom juga memiliki latar belakang sejarah yang menjadi unsur ekstrinsik. Setelah membongkar unsur dalam baru beranjak ke pembedahan struktur luar karya sastra yang meliputi pengarang dan masyarakat yang disebutkan dalam karya sastra tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif, yaitu data-data berbentuk deskripsi dan bukan angka-angka. Hasil penelitian menunjukkan beberapa simpulan: (1) strukturasi novel Putroe Neng menunjukkan beberapa data yang merupakan fakta (dapat dilacak kebenaran dan keberadaannya) seperti subjek kolektif dan latar tempat, (2) subjek kolektif Putroe Neng ada masyarakat Peureulak, masyarakat Indra Purba, dan masyarakat keturunan Tiongkok (berkedudukan di Seudu), (3) ada tiga pandangan dunia yang dihadirkan oleh pengarang berdasarkan subjek kolektifnya, (4) ada nilai-nilai, norma, budaya, dan filosofi yang bergeser antara pandangan dunia dengan fakta kemanusiaan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Proses penciptaan karya sastra dipengaruhi oleh latar belakang zaman,
sejarah, dan sosial masyarakat. Keberadaan pengarang dalam suatu masyarakat
tertentu turut mempengaruhi karyanya sehingga lahirlah suatu karya sastra
tertentu pula. Suatu masyarakat yang telah melahirkan pengarang mampu
memengaruhi kepengarangan seseorang. Artinya masyarakat tempat pengarang
dan karya itu lahir turut andil dalam memengaruhi baik isi, bentuk atau struktur
karya sastra. Begitulah yang terjadi dengan novel Putroe Neng karya Ayi Jufridar.
Karya sastra yang mengambil sebuah latar daerah dan latar waktu tertentu (fase
sejarah) ini dilahirkan dengan dominasi budaya suatu masyarakat yang begitu
kental.
Sejalan dengan Taine (dalam Fananie, 2001: 117) Sastra tidak hanya
sekadar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, melainkan dapat pula
merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu
pada saat karya itu dilahirkan. Selanjutnya karya sastra yang demikian itu dapat
dilakukan penelitian sebagaimana yang ditawarkan Lucien Goldmann, seorang
Marxis adalah orang yang kemudian mengembangkan fenomena hubungan
tersebut dengan teorinya yang dikenal dengan strukturalisme genetik (Fananie,
2001: 117).
Novel Putroe Neng karya Ayi Jufridar adalah sebuah novel yang lahir dari
cerita rakyat yang diyakini masyarakat pemiliknya (Aceh) sebagai kisah nyata,
beberapa tokoh sejarah adalah mitos itu jelas tidak dapat dibuktikan atau salah
penafsiran, di antaranya mengenai 100 suami Putroe Neng.
Adapun alasan peneliti mengangkat novel Putroe Neng sebagai objek
kajian, karena bagi peneliti kisah Putroe Neng akan memiliki fungsi dan manfaat
tersendiri bagi masyarakat pembaca khususnya masyarakat Aceh atau yang lebih
dikenal dengan sebutan ureung Aceh (orang Aceh), mengingat sebelumnya kisah
tersebut belum dibukukan, diperbanyak, dan disebarluaskan ke seantero negeri.
Padahal menurut beberapa tokoh sejarah (Aceh) kisah Putroe Neng adalah fakta
sejarah yang seharusnya diketahui oleh masyarakat luas. Meskipun kisah sejatinya
tidak seperti yang digambarkan Ayi Jufridar. Ironisnya masyarakat asal cerita
tersebut dewasa ini sudah banyak yang lupa dan tidak mengetahui kisah ini.
Sehingga patut untuk diapresiasi karya Ayi Jufridar tersebut sebagai salah satu
usaha melestarikan budaya jenis cerita rakyat dan dengan menilik strukturalisme
genetik pembangun karya sastra Putroe Neng sebagai alat bedah.
Selain itu, novel Putroe Neng juga inspiratif karena menggambarkan
eksistensi perempuan Aceh sejak dahulu sebagai (perempuan) yang diakui
keberadaannya, yaitu di antaranya digambarkan sebagai prajurit bahkan perwira
dalam organisasi kemiliteran dan dalam perang. Hal ini membuktikan bahwa
sosok perempuan Aceh adalah perempuan yang kuat dan tangguh.
Strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan
antara unsur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau
ideologi yang diekspresikan pengarang. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan
dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah
penelitian sastra menjadi pincang (Endraswara, 2008: 57). Beranjak dari pendapat
tersebut pula peneliti berpikir bahwa novel Putroe Neng sangat tepat dikaji
dengan strukturalisme genetik. Masyarakat Aceh sebagai pemilik kisah dan latar
novel tersebut sudah tentu akan mendapat porsi tersendiri dalam penelitian ini,
dan mengingat pengarangnya merupakan masyarakat tempat cerita tersebut lahir,
maka pengarang dapat mewakili pandangan dunia sosial masyarakat.
“Oleh karena pandangan dunia pengarang itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan inilah yang menentukan struktur suatu karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Keterikatan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan genetik, karenanya disebut strukturalisme genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus dipandang dari asalnya dan kejadiannya (Endraswara, 2008: 57).”
Dengan demikian, jelas bahwa strukturalisme genetik mengedepankan
aspek struktur, baik struktur dalam maupun struktur luar karya sastra, karena
keduanya dianggap sebagai unsur terpenting bagi proses memahami karya sastra.
Endraswara (2008: 60) mengemukakan bahwa penelitian strukturalisme genetik
meliputi tiga hal, yaitu: (1) aspek intrinsik teks sastra, (2) latar belakang pencipta,
dan (3) latar belakang sosial budaya serta sejarah masyarakatnya.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian adalah usaha memecahkan masalah, karena masalah adalah
sasaran penelitian. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah strukturasi novel Putroe Neng karya Ayi Jufridar?
2. Bagaimanakah subjek kolektif yang terdapat dalam novel Putroe Neng?
3. Bagaimanakah pandangan dunia dalam novel Putroe Neng ?
1.3Batasan Masalah
Penelitian yang baik adalah penelitian yang terfokus dan tidak kabur.
Salah satu upayanya adalah dengan membuat batasan masalah. Adapun batasan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Strukturasi novel Putroe Neng.
2. Deskripsi subjek kolektif dalam novel Putroe Neng.
3. Deskripsi pandangan dunia dalam novel Putroe Neng.
4. Deskripsi fakta kemanusian novel Putroe Neng.
1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian
Segala upaya yang dilakukan pasti memiliki tujuan dan manfaat yang
jelas. Adapun tujuan dan manfaat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1.4.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan strukturasi novel Putroe Neng.
2. Mengungkapkan subjek kolektif novel Putroe Neng.
3. Mengungkapkan pandangan dunia dalam novel Putroe Neng.
4. Mengungkapkan fakta kemanusiaan Putroe Neng.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan gambaran mengenai strukturasi dan pandangan dunia novel
2. Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca dalam memahami novel
Putroe Neng.
3. Memberikan gambaran genetik (asal usul) lahirnya novel Putroe Neng.
4. Menambah referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Penelitian membutuhkan pemahaman yang memadai mengenai
istilah-istilah yang dipakai di dalamnya. Istilah-istilah-istilah tersebut merupakan konsep
pedoman atau panduan bagi peneliti. Adapun konsep-konsep yang akan
dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
2.1.1 Strukturasi
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang
berarti bentuk atau bangunan (Ratna, 2008: 88). Selanjutnya strukturasi adalah
proses pembentukan struktur karya sastra menjadi bentuk baru yang utuh dengan
tidak menghilangkan makna sebenarnya. Bentuk yang baru tersebut memiliki
makna yang padu dan koheren, atau strukturasi adalah usaha membuat struktur
karya sastra menjadi ‘bangunan’ wacana baru yang memiliki makna yang tidak
berubah dengan karya sastra itu, karena strukturasi dibangun berdasarkan
unsur-unsur yang dikandung oleh karya sastra itu sendiri.
Struktur karya sastra terdiri atas struktur dalam atau intrinsik dan struktur
luar atau ekstrinsik. Unsur intrinsik sastra misalnya tulisan serta aspek bahasa dan
struktur wacana dalam hubungannya dengan kehadiran makna yang tersurat,
sedangkan unsur ekstrinsik antara lain berupa biografi pengarang, latar proses
kreatif penciptaan maupun latar sosial budaya yang menunjang kehadiran teks
2.1.2 Subjek Kolektif
Menurut Goldmann (Faruk, 1994: 15) Subjek kolektif itu dapat kelompok
kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial, dan sebagainya.
“Pengarang adalah bagian dari masyarakat. Dalam pandangan strukturalisme genetik individu bukanlah agen bebas dari masyarakatnya. Aspirasi, pendapat, maupun pandangan individu, termasuk pengarang, diikat oleh keberadaan kolektif masyarakatnya. Pengarang dengan demikian sebagai subjek sekaligus kolektifitas atau subjek kolektif. Pengarang sebagai individu dapat dipandang sebagai produk sosial dari kelompok sosialnya. Sebagai produk sosial dari kelompok sosial tertentu, pengarang dalam hidupnya cenderung mempresentasikan kelompok sosialnya. Karya sastra yang ditulisnya pun merupakan representase pengarang dalam memperjuangkan kelompok sosialnya di hadapan kelompok sosial yang lain. Kerja pengarang adalah kerja sosial sebagai perwujudan subjek kolektif seorang pengarang, (Sitepu, 2009: 38).”
Artinya bahwa apapun yang ditulis pengarang Putroe Neng adalah lahir
dari pengalamannya dalam suatu kelompok sosial masyarakat (Aceh) sekaligus
mewakili masyarakat itu. Konsep subjek kolektif dimanfaatkan dalam penelitian
ini untuk mengetahui latar kehidupan sosial pengarang (Ayi Jufridar) yang tampak
jelas mewakili masyarakat Aceh untuk menyampaikan pada dunia (pembaca)
mengenai sebuah kisah sejarah yang mereka yakini pernah ada. Tentu saja
pemikiran pengarang mengenai tujuannya membuat karya tersebut harus diselidiki
dengan cermat, mulai dari lingkungan keluarga, hobi, agama, prinsip hidupnya,
teman pergaulannya, buku-buku yang dibaca, dan pengalaman hidup yang telah
dilewatinya yang telah berkontribusi (berpengaruh) bagi proses kreatif penciptaan
2.1.3 Pandangan Dunia
Bagi Goldmann (Endraswara, 2008: 58) pandangan dunia merupakan
perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dan sesamanya
dengan alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan dunia adalah
sebuah kesadaran hakiki masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Ia juga
menambahkan (dalam Faruk, 1994: 16) pandangan dunia merupakan istilah yang
cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan
perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota
suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan
kelompok-kelompok sosial yang lain.
“Menurut Goldmann, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia pengarang atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang (Endraswara, 2008: 57).”
Ratna (2005: 166) berpendapat bahwa pandangan dunia harus dicari
dengan cara mengungkap pandangan dasar kelas sosial, menelusurinya ke masa
lampau, dengan cara melibatkan peranan multidisiplin.
2.1.4 Fakta Kemanusiaan
Menurut Faruk (1994: 12) fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas
atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha
tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni
rupa, seni patung, dan seni sastra. Goldmann (dalam Fananie, 2001: 117)
mengemukakan:
“... bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Semua aktifitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya. Dalam hal ini, manusia selalu mempunyai kecenderungan perilaku yang bersifat alami karena manusia berusaha untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang merupakan satu proses hubungan timbal balik.”
Selanjutnya Goldmann (dalam Faruk, 1994: 13) menganggap bahwa
semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti. Yang
dimaksudkannya adalah bahwa fakta-fakta itu sekaligus mempunyai sruktur
tertentu dan arti tertentu. Sehingga fakta-fakta kemanusiaan harus dipahami
dengan mempertimbangkan struktur dan artinya.
2.2 Landasan Teori Strukturalisme Genetik
Penelitian ini menggunakan landasan teori studi strukturalisme genetik.
Strukturalisme genetik (genetic structuralism) adalah cabang penelitian sastra
yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan
metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian struktural dengan
penelitian yang memperhatikan aspek-aspek eksternal karya sastra, dimungkinkan
lebih demokrat (Endraswara, 2008: 55).
Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu menekankan latar
belakang sejarah. Karya sastra, di samping memiliki unsur otonom juga tidak bisa
lepas dari unsur ekstrinsik. Teks sastra sekaligus merepresentasikan kenyataan
Menurut Goldmann, metode dan teori yang sesuai untuk menganalisis
karya sastra adalah strukturalisme genetik, sebab strukturalisme genetik
memandang karya sastra sebagai gejala-gejala kultural dalam pengertian yang
sesungguhnya, antar hubungan yang memiliki kualitas homologi dan simetri
(Ratna, 2002: 105). Selanjutnya Jabrohim (2001: 61-62) mengemukakan bahwa
strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang
lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan
kausal. Lalu, Ratna (2002: 123) menyebutkan secara definitif strukturalisme
genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul
karya dan sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan
ekstrinsik.
Dengan demikian peneliti tentu membutuhkan alat untuk membongkar
asal-muasal suatu karya sastra (genetik) dan alat itu adalah strukturalisme genetik,
setelah membongkar struktur dalam, selanjutnya strukturalisme genetik mengajak
membedah struktur luar pembangun karya sastra. Adapun struktur dalam itu
adalah segala unsur yang terdapat dalam karya sastra yang menjadikannya sebagai
sebuah karya otonom, meliputi tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, setting,
gaya bahasa, dan amanat. Adapun struktur luar itu adalah faktor luar yang
mempengaruhi dan melatarbelakangi penciptaan suatu karya sastra yang lahir di
luar dari karya itu sendiri, berupa kehidupan sosial pengarang, agama, falsafah
hidup, kondisi politik, norma, tradisi, budaya, profesi pengarang di samping
mengarang, motivasi, dan sebagainya. Sehingga struktur luar inilah yang memberi
2.3 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran peneliti novel Putroe Neng belum ada yang
meneliti secara ilmiah (penelitian kompleks), melainkan hanya penelitian
sederhana seperti resensi di surat kabar dan internet. Adapun beberapa di
antaranya adalah:
2.3.1 Putroe Neng antara Dongeng dan Mitos
Sebuah resensi berjudul Putroe Neng Antara Dongeng dan Mitos? dalam
harian Analisa (Minggu, 11 Maret 2012) adalah karya Idris Pasaribu. Menurutnya
kisah atau hikayat yang diceritakan secara turun temurun di Aceh ini adalah
sebuah fakta sejarah. Meskipun ada yang menyebut mitos, Idris bertahan mitos
tidak selamanya kebohongan. Hanya saja mitos selalu tak tertulis. Bagi Idris apa
yang ditulis oleh Ayi Jufridar adalah sebuah sejarah di Aceh ketika datangnya
bangsa-bangsa lain ke negeri Aceh dengan berbagai cara dan berbagai
kepentingan. Baik ekonomi dan politik serta kekuasaan. Hal yang menjadi
pertanyaan besar bagi Idris benarkah Putroe Neng berasal dari China? Bukankah
tak mungkin dia berasal dari Burma, Korea, Mongolia, Vietnam atau Kambodia?
Melihat namanya yang empat suku kata, Nian Nio Liang Khie adalah marga Nian
atau marga Nio bagi orang Tionghoa daratan, bahkan China dan Taiwan,
bukankah mereka memastikan diri, nama mereka hanya tiga suku kata. Kalau
Nian adalah sebuah gelar atau titel, maka dia adalah marga Nio?
Ayi Jufridar membawa alam pikiran pembaca berkelana mengitari wilayah
bekas berbagai kerajaan di Aceh. Secara lembut Ayi juga memaparkan bagaimana
kearifan lokal dari para genius lokal, terlebih mereka para tuan guru. Keislaman
Syiah Hudam, ternyata mampu melewati malam pertamanya di atas ranjang
bersama Putroe Neng, karena dia seorang ulama besar dari Peureulak. Islam
bukan agama yang mengandung makna kekerasan, namun Islam akan
mengulurkan tangannya dengan baik kepada siapa saja, termasuk non Islam jika
mereka memang membutuhkan uluran tangan Islam.
Kalau ada yang mengatakan Putroe Neng adalah pelengkap sejarah di
Aceh, bagi Idris novel Putroe Neng adalah bagian dari catatan sejarah Aceh itu
sendiri. Tiga kerajaan di Aceh yang cukup kuat yakni Kerajaan Indra Patra, Indra
Jaya, dan Indra Puri sekarang berada di dalam Aceh Besar dan ketiga benteng
bekas kerajaan itu masih ada, walau kurang terawat. Benteng kerajaan itu,
membuktikan kalau apa yang ditulis oleh Ayi Jufridar adalah sebuah sejarah
dengan pendekatan penulisannya gaya mitos. Selama ini di Aceh dalam hikayat,
selalu diceritakan tentang 100 orang suami Putroe Neng. Diceritakan tentang
kecantikan Putroe Neng dan keperkasaannya dalam peperangan. Ada yang
percaya ada yang tidak tentang ke 99 suami Putroe Neng. Sekali lagi, ke 99 suami
Putroe Neng adalah bumbu penyedap dalam hikayat. Ayi Jufridar justru
mengangkat bagaimana kehebatan peperangan di tiga kerajaan kecil di Aceh itu.
Ayi Jufridar mengangkat, bagaimana heroiknya putra-putri Aceh dalam berbagai
peperangan.
2.3.2 Putroe Neng, Pemakan ....
Artikel berjudul Putroe Neng, Pemakan ... (judul lengkapnya dapat dilihat
di laman
*
diposting oleh Dudi Rustandi dan
diakses oleh peneliti pada tanggal 11 Agustus 2012 pukul 12.20 WIB berisi
menyebutkan bahwa Aceh ternyata banyak menyimpan wanita-wanita perkasa.
Tidak hanya Syeikh Keumala Hayati yang mampu melawan merubuhkan 100
prajurit Portugis dalam medan pertempuran pada tahun 1600-an, juga ada wanita
perkasa lainnya yang kerap menjadi ikon pejuang wanita Indonesia, Cut Nyak
Dien dan Cut Meutia.
Membaca Novel ini kita akan diajak penulisnya berkeliling-keliling ke
wilayah kerajaan Aceh masa lampau, terutama menyampaikan pesan tentang
kearifan bangsawan Islam yang tumbuh di Aceh. Islam bukanlah agama perang,
bahkan seorang muslim akan mengulurkan tangannya kepada nonmuslim jika
benar-benar membutuhkannya seperti dilakukan oleh kerajaan Peureulak dan
Syeikh Syiah Hudam. Kearifan Islam inilah sesungguhnya yang menjadi daya
tarik bangsa lain terhadap Islam seperti ditunjukan oleh kerajaan Indra Purba.
Penulis dengan baik berhasil menggambarkannya. Novel ini pun mengajarkan
bahwa sebuah do’a akan terkabul jika dibarengi dengan ikhtiar fisik sehingga
mendapat hasil yang sempurna seperti dilakukan oleh murid dan guru (Syeikh
Syiah Hudam) saat melewati malam pertamanya. Jika salah-salah membaca, novel
ini akan dianggap sebagai sejarah Aceh pada masa lampau dengan menjadikan
Putroe Neng sebagai pelengkap cerita belaka sebagai salah satu daya tariknya.
Kedua tinjauan di atas telah melengkapi penelitian ini. Namun, yang
membedakannya adalah penelitian ini lebih komplek membahas dari dua sudut
pandang yaitu struktur dalam dan struktur luar (genetiknya). Penelitian ini
menjabarkan struktur pembangun karya sastra dan asal-usul lahirnya Putroe Neng
karya Ayi Jufridar dengan mengkaji strukturasi, subjek kolektif, fakta
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dipadu dengan
metode wawancara. Metode kualitatif deskriptif berupa data-data yang diperoleh
dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara
holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah
(Moleong, 2005: 6)
Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat pecandraan secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau
daerah tertentu. Secara harfiah penelitian deskriptif adalah penelitian yang
bermaksud untuk membuat pecandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau
kejadian-kejadian. Sekaligus merupakan akumulasi data dasar dengan cara
deskriptif (lihat Suryabrata, 1994: 18)
Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya jawab
lisan yang berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak yang
mewawancarai dan jawaban diberikan oleh yang diwawancara (Fathoni, 2006:
105). Selanjutnya data-data wawancara diolah, dideskripsikan, dan dianggap
3.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini ada dua, yaitu sumber data primer dan
sekunder. Sumber data primer, yaitu buku yang secara langsung berkaitan dengan
objek material penelitian, sedangkan sumber data sekunder, yaitu sumber data
yang berupa buku-buku serta kepustakaan yang berkaitan dengan objek material
(Kaelan, 2005: 148).
Data primer :
Judul Novel : Putroe Neng
Pengarang : Ayi Jufridar
Penerbit : PT Grasindo
Jumlah Hlm : xvi+384 halaman (terdiri atas 27 bagian + epilog)
Cetakan : Pertama
Tahun Terbit : 2011
Sampul : Warna Merah dominan
Desain Sampul: Hagung Sihaq
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
membaca heuristik. Rahmat Djoko Pradopo (dalam Jabrohim, 2001: 84)
menjelaskan, metode membaca heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan
pembacaan berdasarkan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan novel dari awal
sampai dengan akhir cerita secara berurutan. Cerita yang memiliki alur sorot balik
dapat dibaca secara alur lurus. Hal ini dipermudah dengan dibuatnya sinopsis
cerita dari novel yang dibaca tersebut. Pembacaan heuristik itu adalah penerangan
juga diterapkan pada penelitian ini, yaitu peneliti melakukan kegiatan membaca
dan menyimak dengan teliti kemudian mencatat hal-hal yang penting dan
disimpulkan. Teknik simak dan catat lebih dikenal dengan istilah teknik pustaka
(lihat Subroto, 1992: 42)
3.4 Teknik Analisis Data
Penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua sudut
yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan
dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan
menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya. Karya dipandang
sebagi sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan
dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Endraswara,
2008: 56).
Secara sederhana penelitian dengan metode strukturalisme genetik dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan unsur intrinsik karya sastra, baik parsial maupun secara
keseluruhan berupa: tema, plot, setting, serta tokoh dan penokohan.
2. Mendeskripsikan latar belakang kehidupan sosial pengarang.
3. Mendeskripsikan latar belakang sosial dan sejarah yang turut andil
mengkondisikan karya sastra saat diciptakan. (lihat Jabrohim, 2001:
BAB IV
ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK PUTROE NENG
4.1 Strukturasi Novel Putroe Neng
Putroe Neng sebagai karya yang lahir dengan latar belakang sebuah subjek
kolektif di ujung barat Indonesia telah tercipta dengan tema yang memadukan
berbagai sisi kehidupan baik percintaan, nasionalisme, religi, norma, sejarah,
feminisme, bahkan mitos. Novel Putroe Neng sejatinya beralur maju dengan
mengawali kisah kematian tragis Meurah Johan sebagai bagian prolog. Diangkat
dari sebuah cerita rakyat Putroe Neng terdiri atas puluhan nama tokoh dengan
klasifikasi tertentu. Ada sekitar 55 tokoh yang terdapat dalam novel Putroe Neng
dan ada sejumlah tokoh yang paling berpengaruh dengan klasifikasi
penokohan/perwatakan yang berbeda, setidaknya ada sekitar sebelas nama yang
dipaparkan berikut.
Pertama, tentu saja sang tokoh utama yaitu Putroe Neng dengan nama asli
Nian Nio Liang Khie putri seorang Laksamana Liang Khie yang berasal dari
Tiongkok berlayar menuju pulau seberang lautan (Aceh) dengan harapan dapat
menaklukkannya dan mendirikan kerajaan baru. Tidak lama berada di pulau yang
baru mereka tempati Laksamana Liang Khie meninggal dan meregenerasi
kepemimpinan pada putrinya Nian Nio Liang Khie. Nian Nio Liang Khie adalah
wanita berparas cantik, berkulit putih seperti sutra, ditakuti lawan dan disegani
kawan, cerdas, tangkas, ambisius, dan cukup bijaksana. Memiliki 100 orang
suami dengan suami pertama adalah Meurah Johan diikuti Sambo, Ahmadi
Samarkilang, Aman Lebuh, Gundala Pati, Utih Jebing dan seterusnya sampai
“Militer laut Kerajaan Seudu dipimpin oleh Laksamana Nian Nio Liang Khie, putri dari Maharani Liang Khie yang masih sangat muda. Seperti ibundanya, Nian Nio Liang Khie adalah seorang perempuan berkulit kuning lembut seperti sutra. Di bawah sinar matahari, kulitnya terlihat berkilauan oleh keringat yang membuat prajurit muda itu seperti hendak menetes air liurnya” (hlm. 85)
“Kita semua tahu, Nian Nio seorang bekas maharani dengan wilayah kekuasaan yang luas. Dia juga memiliki kemampuan tempur yang tidak ada tandingannya. Dia sudah merobohkan seratus laki-laki di medan perang.” (hlm. 278)
Bersama seorang sepupu yang ahli mengayun pedang Perwira Kun Khie
berusia 21 tahun, berambut panjang, memiliki pedang yang paling mematikan
yang diberi nama Shiwu, Kun Khie sangat ditakuti. Dengan kepribadiannya
pemimpin pasukan Tiongkok itu dan ribuan pasukan terlatih lain tidak heran
mampu melumpuhkan kerajaan Indra Jaya dengan mudah. Kemudian Indra Jaya
diberi nama Kerajaan Seudu dengan Panton Bie sebagai pusat pemerintahan.
Ketiga, Meurah Johan anak ketiga raja Lingga dan keempat, Syekh
Abdullah Kana’an atau Syekh Syiah Hudam. Meurah Johan adalah pria yang
memiliki kecerdasan yang tinggi, tampan, menawan, ahli pedang dan siasat, taat
beribadah, dan awalnya dipersiapkan sebagai penerus Kerajaan Lingga. Namun
perjuangannya menghantarkan dirinya menjadi raja Kerajaan Darut Donya Aceh
Darussalam.
“Wakil pasukan tersebut bernama Meurah Johan yang dilukiskan sebagai seorang perwira gagah perkasa arif bijaksana.” (hlm. 166)
“Tapi, otot-ototnya kuat. Urat-urat di tangannya terlihat menonjol seperti akar-akar pohon jalar. Dia menguasai ilmu pedang dengan baik dan mengajarkannya kepada para prajurit kita. Dia bisa bertarung pedang di atas punggung kuda sebaik bertarung di atas tanah. Kata Bitra, Pangeran Meurah Johan bisa memainkan pedang dengan tangan kanan dan kiri sekaligus atau memadukannya dengan tombak. Jarang sekali ada prajurit yang memiliki kemampuan seperti itu.” (hlm. 168-169)
pertama pada hari pertama bulan Ramadan dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah.” (hlm. 280)
Syekh Syiah Hudam adalah guru Meurah Johan keturunan Arab,
berjanggut, tinggi, bijaksana, sangat disegani karena ilmunya yang tinggi, ahli
siasat, bijaksana, dan seorang alim.
“Menurut kabar yang dibawa utusan, pasukan tersebut dipimpin Syekh Abdullah Kana’an yang juga seorang guru besar di Zawiyah cot Kala.” (hlm. 166)
“Syekh Syiah Hudam bukan hanya memperkenalkan dan mengajarkan cara menanam, tetapi juga mengisahkan sejarah penemuan berbagai tanaman tersebut sehingga rakyat Indra Purba menjadi terang benderang pengetahuannya seperti bulan purnama.” (hlm. 194)
“Ia dikabarkan datang dari sebuah negeri di Timur Tengah bersama 100 orang dalam sebuah rombongan yang dipimpin nakhoda khalifah. Rombongan tersebut terdiri dari orang Persia, Arab, dan Gujarat.” (hlm. 182)
Kelima, Raja Indra Sakti (raja Kerajaan Indra Purba) memiliki seorang
permaisuri dan dua orang putri yang cantik. Salah satu putrinya yaitu Putri Indra
Kesuma adalah istri pertama Meurah Johan. Raja Indra Sakti adalah seorang yang
disegani oleh rakyatnya, cerdas, tanggap, dan cukup bijak.
“Namun di dalam istana, Raja Indra Sakti membuat kebijakan khusus. Ia memerintahkan lumbung selalu penuh untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. (PN: 29)”
““Dengan cara demikian gudang makanan akan tetap aman,” tegas Raja Indra Sakti yang tidak terbantahkan. (PN: 30)”
“Raja Indra Sakti mengingatkan kepala tukang istana agar tidak ada korbandalam pembangunan lumbung tersebut. (PN: 31)”
“Raja Indra Sakti mempersilakan seluruh keluarga istana dan rakyat Indra Purba untuk memegang keyakinannya msing-masing, tetapi tetap menghargai dan menghormati keyakinan kaum yang lain. (PN: 202)”
Keenam, Barata Yudha seorang prajurit terbaik Kerajaan Indra Purba. Dia
juga pemimpin rombongan perwira Kerajaan Indra Purba yang dilatih di
Peureulak sekaligus suami putri sulung Raja Indra Sakti yaitu Putri Nila Kesuma.
Tertarik pada Islam dan kemudian menjadi muallaf.
“Maaf Baginda Raja. Sejak beberapa bulan lalu, saya dan sejumlah prajurit kita sudah memeluk agama mereka. Saya mohon Baginda tidak murka dengan pilihan kami ini,” ujar Barata Yudha.... (PN: 197)”
Ketujuh, Annisa adalah prajurit wanita rombongan Laskar Syiah Hudam
yang berasal dari Peureulak yang tidak lain adalah keponakan Raja Peureulak
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah. Annisa adalah wanita yang
cerdas, taktis, dan berani.
“Sementara Annisa bersama sejumlah perwira lainnya, mengajarkan ilmu pengobatan dengan memanfaatkan berbagai tumbuhan yang ada di sekitar. (PN: 195)”
“Bagaimanapun juga Annisa adalah keponakan Sultan. (PN: 208)”
“Selama ini Annisa ternyata bukan diculik. Mereka sengaja menyusup ke wilayah Indra Patra justru untuk menawan Sri Ranarendra.... Pertempuran akan berlangsung lebih lama lagi seandainya Annisa gagal menyusup ke istana Indra Patra dan menawan Sri Ranarendra. (PN: 224)”
Selanjutnya Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah, yaitu
Raja Kerajaan Peureulak. Dikenal sangat bijaksana, hangat, dan alim. Ada pula
Yupie Tan seorang tangan kanan Putroe Neng yang paling setia menemaninya
hingga akhir cerita. Yupie Tan juga mencatat seluruh perjalanan Putroe Neng.
Namun sayang catatan tersebut jatuh ke tengah samudera dalam badai di
perjalanan laut mereka. Kesepuluh, ada Latifah sahabat Annisa yang termasuk
dalam laskar Syiah hudam. Kesebelas, Lilian Chen. Dia adalah prajurit
perempuan Putroe Neng. Lilian Chen adalah pengkhianat bagi Putroe Neng. Ia
berdusta kepada Kun Khie sehingga pihak Seudu mengalami kekalahan.
Kesebelas tokoh di atas telah mewarnai cerita Putroe Neng dengan
penokohan yang sangat detil dan beragam. Tokoh-tokoh tersebut sejatinya adalah
tokoh utama yang kerab disebut-sebut sepanjang alur novel. Meskipun memiliki
watak atau karakter yang berbeda, namun para tokoh tersebut telah membuat
Ada hal menarik lain yang perlu dibicarakan yaitu latar. Latar tempat dan
nama kerajaan yang disebutkan pengarang sebagian besar dapat ditelusuri
keberadaannya, seperti Kerajaan Lingga, Lamuri, Indra Jaya, Kerajaan Seudu,
Panton Bie, Kerajaan Indra Purba, Indra Patra, Indra Puri, Kerajaan Samaindra,
dan Kerajaan Samudra Pasai, Gunung Geureutee, Lingga atau Linge, Gunung
Burni Telong dan Danau Laut Tawar, Negeri Saba, Seureule, Peunaron, Isaq,
Sungai Jemer, Kuala Naga, Benteng Indra Kesumba, Rima, Lambaro Nejib,
Ateuk, Lampeuneureut, Bukit Barisan Eumpe Awee, Blang Bintang, Lambaro,
Lamsayun, Lamgarot, Ketapang Dua, Puni, Peunayong, Lamprik, dan Lingke,
Neusu, Lamseupeung, Lung Bata, Lambhuk, Lampineung, Kuta Podiamat,
Krueng Naga, dan Kuta Raja.
Selain itu ada pula nilai-nilai penting yang digambarkan pengarang
sebagai amanat, yaitu nilai-nilai religius dan kemanusiaan, toleransi beragama,
kesetaraan gender, ilmu pengetahuan dan penyebaran peradaban, strategi perang,
kebijaksanaan, dakwah dan sebagainya. Semua nilai ini digambarkan dalam diri
atau sosok yang heroik dan patut diteladani pada diri sang tokoh.
4.2 Subjek Kolektif
Strukturalisme genetik memandang pengarang sebagai wakil dari subjek
kolektif atau bagian dari masyarakat yang dibicarakannya. Ia adalah hasil dari
kelompok sosial yang melahirkan dan telah mempengaruhi kepengarangannya.
Sehingga karyanya merepresentasikan diri dan kelompok sosialnya. Aspirasi atau
ide-ide yang dituangkan pengarang dalam karyanya bukanlah semata-mata lahir
Subjek kolektif yang melahirkan gagasan-gagasan yang digambarkan
pengarang yang terdapat dalam novel Putroe Neng secara garis besar ada tiga
kelompok. Meskipun ketiganya pada kenyataannya pula, dan pada akhirnya
melahirkan sebuah kelompok besar yang kini menjadi kelompok sosial tempat
pengarang berada. Ketiganya diklasifikasikan berdasarkan keyakinan, budaya, dan
latar tempat mereka berada. Hingga akhirnya keyakinan, budaya, dan latar tempat
mereka lahir dan ada melahirkan sebuah sistem, gagasan, aspirasi, perasaan,
falsafah kehidupan yang mereka jalani secara bersama-sama sesuai kelompoknya.
Adapun ketiganya adalah masyarakat Peureulak dengan Islamnya, Indra Purba
dengan Animismenya, dan Seudu dengan gagasan Tiongkoknya.
4.3 Pandangan Dunia
Karya sastra menunjukkan nilai-nilai yang dikandungnya melalui
pandangan dunia dan sekaligus menyampaikan maknanya. Disamping itu pula
pandangan dunia adalah identitas suatu kolektif dengan kesadaran tertentu.
Meskipun demikian pandangan dunia bukanlah suatu fakta empiris melainkan
terdiri atas gagasan, aspirasi, dan perasaan yang menyebabkan bersatunya suatu
kelompok sosial masyarakat tertentu.
Novel dianggap sebagai genre yang paling memadai untuk
menerjemahkan kompleksitas struktur sosial (Ratna, 2002: 104). Merujuk pada
pernyataan Ratna tersebut sesuai dengan situasi yang terdapat dalam novel Putroe
Neng Ayi Jufridar menggambarkan begitu banyak situasi yang menunjukkan
pandangan dunia sebuah subjek kolektif. Pandangan dunia yang dimaksud adalah
pemaparan situasi cerita dengan menghadirkan nilai-nilai religi, pendidikan, pesan
subjek kolektifnya digambarkan oleh pengarang baik eksplisit maupun inplisit
atau baik dalam bentuk narasi maupun dalam bentuk dialog para tokohnya.
Pandangan dunia yang dimiliki oleh subjek kolektif satu dengan yang
lainnya menjalankan aspirasi, gagasan, dan apa yang mereka yakini secara
bersama-sama sesuai kelompoknya. Antara masyarakat Peureulak dalam hal ini
adalah masyarakat penganut Islam (sebagai gagasan yang diyakini) dengan ilmu
agamanya dan masyarakat Indra Purba penganut Hindu (dimungkinkan menganut
agama Hindu karena tidak disebut secara eksplisit, namun Dewa yang disebut
yaitu Dewa Baruna adalah Dewa Hindu yaitu Dewa penjaga laut, ditambah pula
dengan tradisi sesajen) (lihat PN: 12-19), serta masyarakat Tiongkok (diwakili
oleh sekitar dua ribu orang) dengan filosofi, kemajuan seni dan kerajinannya.
1. Pandangan Islam dan Masyarakat Peureulak
Salah satu subjek kolektif yang paling dominan dalam Putroe Neng adalah
masyarakat Kerajaan Peureulak yang menganut sistem Islam sekaligus merupakan
komunitas yang memengaruhi lahirnya masyarakat pribumi Aceh sekarang
dengan pola pikir, filosofi, karakter, pendidikan, keyakinan, dan sistem atau cara
hidup yang mereka lakukan. Karena memiliki karakter keislaman dan keyakinan
yang kuat terhadap Islam masyarakat Peureulak pun hidup dengan petunjuk
Islam. Sehingga pandangan Islam memenuhi ruang gerak masyarakat Peurelak
termasuk pendidikan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007: 262) pendidikan
berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan
(ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan latihan, proses perbuatan, dan cara mendidik. Dalam hal pendidikan Islam
mengenal sistem dakwah yaitu menyampaikan ilmu pengetahuan dan
mensyiarkan syariat Islam itu sendiri kepada setiap manusia.
Sebagai subjek kolektif yang menganut sistem Islam dan sudah mengenal
dunia luar masyarakat Peureulak ditampilkan begitu bersahaja, cerdas, religius,
dan disiplin. Hal tersebut tergambarkan dalam novel Putroe Neng sebagai
berikut:
Data 1
“Laskar Syiah Hudam tidak saja mengajarkan ilmu peparangan kepada prajurit dan pemuda Indra Purba, tetapi mereka mengajarkan ilmu pertanian terutama menanam lada. (PN: 194)”
Data 2
“Selain lada, Laskar Syiah Hudam juga mengajarkan rakyat Indra Purba menanam kopi di daerah-daerah yang tanahnya cocok, kelapa, pala, dan sebagai tanaman lainnya yang sebagian besar tidak pernah diketahui rakyat Indra Purba. Bahkan, ada yang tidak tahu bahwa di dunia ini terdapat tanaman-tanaman tersebut, yang bermanfaat untuk berbagai kebutuhan. (PN: 194)”
Dalam cuplikan narasi di atas mengungkapkan dengan jelas bahwa
masyarakat Peureulak adalah telah berperadaban yang cukup tinggi dan berilmu
pengetahuan setidaknya kemampuan untuk bertahan dengan ilmu perang dan
bertahan dengan bercocok tanam. Mengingat tanaman yang diajarkan untuk
ditanami adalah tanaman rempah yang pada masa lalu adalah harta karun negeri
yang berada di daratan Asia. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Peureulak
menyadari potensi dari tanaman seperti rempah dan kopi untuk kesehatan dan
perdagangan internasional.
Data 3
tanaman tersebut sehingga rakyat Indra Purba menjadi terang benderang pengetahuannya seperti bulan purnama. (PN: 194-195)”
“Laskar Syiah Hudam juga mengajarkan bahasa Arab kepada rakyat Indra Purba baik secara tutur maupun dalam bentuk tulisan. Sementara Annisa bersama sejumlah perwira lainnya, mengajarkan ilmu pengobatan dengan memanfaatkan berbagai tumbuhan yang ada di sekitar. (PN: 195)”
Selanjutnya dakwah adalah metode pendidikan Islam yaitu menyampaikan
pengetahuan walau satu ayat yang coba diterapkan oleh pengarang.
Memperkenalkan dan mengajarkan cara menanam dan ilmu pengobatan adalah
bentuk dakwah, yaitu menyampaikan ilmu pengetahuan dan kebaikan.
Data 4
“Ketaatan Laskar Syiah Hudam juga membuat kagum seluruh rakyat Indra Purba. Ketika mereka sedang berlatih di lapangan dan sudah tiba waktu asar, maka serta-merta latihan dihentikan dan seluruh prajurit mendirikan salat dengan Syiah Hudam sebagai imamnya yang kadang bergantian dengan Meurah Johan. (PN: 196)”
Islam mengajarkan disiplin. Ibadah wajib dan beberapa ibadah sunnah telah diatur
cara dan waktu pelaksanaannya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah sebuah
agama dengan tingkat kompleksitas yang tinggi. Karena sedari awal
kemunculannya Islam sudah memperkenalkan yang disebut dengan ‘jadwal’.
Sehingga masyarakat Peureulak (dalam hal ini adalah salah satu subjek kolektif
yang terdapat dalam novel Putroe Neng) memiliki atau menganut budaya disiplin
karena pengaruh Islam. Seperti ibadah shalat yang sudah diatur cara dan waktu
pelaksanaannya. Bagi yang melanggar tentu ada sanksi yang harus diterima.
Selain shalat, Islam mendefinisikan ibadah secara lebih luas dan universal
menembus batas perbedaan suku, agama, dan ras. Namun, tetap ada aturan
mainnya, ada batas-batas yang harus dijaga. Sebagaimana uraian dialog yang
disampaikan Barata Yudha berikut.
““... Sesungguhnya, semua perbuatan baik yang kita lakukan di dunia ini termasuk ibadah. Itulah mengapa Kerajaan Peureulak bersedia membantu kita meskipun kita menyembah Tuhan yang berbeda.” (PN: 197)”
Islam memandang setiap manusia adalah sama, yang membedakannya adalah
keimanannya kepada Tuhan Allah Swt. Sehingga tidak ada batas atau jarak antara
manusia yang satu dengan yang lainnya. Seperti raja dengan rakyat, komandan
dengan anggotanya, pemimpin dengan bawahannya, dan lain-lain.
Data 6
“Mereka sangat bangga bisa menyentuh tangan kokoh itu karena dengan Raja Indra Sakti saja mereka tidak pernah merasakan keakraban seperti itu. mereka seperti diingatkan bahwa tiada batas antara seorang raja dengan prajurit biasa. (PN: 186)”
Data 7
““Sampaikan persembahan ini kepada Raja Indra Purba....,” katanya sembari menyerahkan kotak kayu berukir dan gulungan surat.... Biasanya, raja yang lebih kecil yang menyerahkan persembahan kepada raja yang lebih kuat sebagai bentuk penghormatan atau kadang sebagai bentuk rasa takluk. Namun kalau sekarang Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah menyerahkan sesuatu kepada Raja Indra Sakti― selain penyerahan pasukan bantuan ― tentulah itu bukan isyarat takluk. Hanya penguasa yang berjiwa besar yang mampu melakukan itu dengan sebuah keyakinan hanya Allah saja Penguasa sekalian alam sehingga seluruh makhluk ciptaan-Nya tidak harus menyombongkan diri. (PN: 186-187)”
Di samping nilai-nilai di atas, Islam telah mendidik umatnya dengan penuh
kesahajaan, cerdas, dan bermartabat. Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Muhammad Syah dari Peureulak digambarkan sebagai sosok yang sangat
mewakili seorang muslim yang memiliki karakter muslim sejati. Layaknya apa
yang dipikirkan oleh Barata Yudha berikut:
Data 8
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah pun menunjukkan kebesaran
hatinya sebagai seorang raja yang penuh perhatian bahkan kepada prajurit biasa
sekalipun.
Data 9
““Berjuanglah untuk Indra Purba kalau ingin membalas jasa rakyat Peureulak. Pertahankan Indra Purba, dan tegakkan agama Allah dan jadilah syuhada di jalan Allah. Jangan takut mati, sebab seorang mujahid yang terbunuh di jalan Allah bukan mati. Pada hakikatnya mujahid tetap hidup,” Sultan Makhdum Alaiddin menepuk-nepuk bahu Barata Yudha seolah sedang melepaskan putranya di medan pertempuran. (PN: 186)”
Selanjutnya, toleransi adalah kata yang tepat bagi masalah yang
dipaparkan di atas. Sejalan dengan yang pengarang sebutkan bahwa salah satu
nilai yang ia ingin perkenalkan bagi pembaca adalah nilai toleransi. Toleransi
antar agama, toleransi antar budaya yang tentunya berakar dari toleransi terhadap
perbedaan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ibadah dalam Islam
terdefinisi secara luas namun ada batas-batas dan aturan yang berlaku bagi
terlaksananya ibadah yang dimaksud. Misalnya, ketika Kerajaan Peureulak
memutuskan untuk membantu Kerajaan Indra Purba yang notabene berbeda
keyakinan dan budaya hal ini merupakan ibadah yaitu “menolong atau
membantu” sesama dan yang demikian disebut bentuk toleransi. Sehingga
toleransi menjadi bagian dari ibadah dalam Islam. Dalam bertoleransi juga ada
hal-hal yang perlu diperhatikan, salah satu contohnya seperti kutipan berikut.
Data 10
Karena kita berbeda agama, mungkin budaya kita juga berbeda. Kami akan menghargai dan menghormati agama yang dianut prajurit Indra Purba, dan kami berharap prajurit Indra Purba bersikap sama.” (PN: 129-130)”
Sikap-sikap toleransi dan bertanggung jawab adalah sikap yang sangat dibutuhkan
pada masa itu sehingga mampu meredam gejolak dalam masyarakat.
Data 11
“Misalnya ketika mereka meminta semua prajurit Indra Purba menghormati orang tua kendati beberapa di antaranya bersikap menjengkelkan, mereka menunjukkan contoh bagaimana seharusnya menghadapi orang yang lebih tua usianya. Dengan cara seperti itulah para prajurit Peureulak membangun kehormatannya sehingga membuat prajurit Indra Purba yang berguru kepada mereka menjadi lebih patuh. (PN: 196)”
Selanjutnya pendidikan akhlak adalah poin penting lainnya dalam Islam.
Akhlak adalah kata yang sepadan dengan etika atau moral, begitulah yang
dipaparkan oleh Dr. Mohd. Harun, M.Pd. (dosen sastra di UNSYIAH sekaligus
pemerhati sastra dan budaya Aceh) dalam wawancaranya kepada penulis. Hal ini
menegaskan bahwa masyarakat Peureulak hadir dengan Islamnya yang bersahaja.
Mereka dituntun menjadi jujur, berbudi pekerti luhur, taat dan bertoleransi tinggi
terhadap perbedaan khususnya perbedaan keyakinan dan budaya.
Data 12
“Selain kemiliteran dan siasat perang, seluruh prajurit juga dibekali dengan pelajaran akhlak sebagai bekal menjdi prajurit sejati. Seluruh prajurit dididik bersikap jujur kepada diri sendiri, jujur kepada orang lain, dan jujur kepada Allah. Pendidikan akhlak itu bukan bagian dari penyebaran agama, tetapi merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan militer di Zawiyah Cot Kala. (PN: 180)”
Disamping toleransi harus diingat bahwa Islam adalah agama dengan misi
dakwah dalam arti bahwa Islam wajib disebarluaskan kepada seluruh umat
manusia, namun penyebarannya tidak dilakukan dengan paksaan melainkan
yang menentukan dengan hidayah. Itulah yang dijelaskan tokoh Syekh Syiah
Hudam dalam data 13 dan 14.
Data 13
“Syekh Syiah Hudam sejak awal mengingatkan bahwa tempat pelatihan para prajurit dan rakyat Indra Sakti tersebut bukan tempat penyebaran agama. “Namun, bila mendapat hidayah dari Allah untuk memeluk keyakinan yang sama dengan kami, maka kami akan menerimanya dengan tangan terbuka sebagaimana Raja Indra Sakti menyambut kami dulu, ... (PN: 202)”
Data 14
““Kalaupun sebagian besar prajurit Indra Purba kemudian memutuskan menjadi saudara seiman dengan kita, itulah hidayah dari Allah dan tidak ada paksaan untuk itu. sejak zaman Rasulullah, Islam disebarkan dengan cara damai, bukan dengan pedang seperti fitnah yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam!” (PN: 180)”
Perang acapkali menjadi jalan keluar terakhir bagi dua pihak yang bertikai.
Perang pun dimaknai berbeda-beda sesuai konteks dan bentuknya. Namun yang
jelas perang dengan menggunakan senjata dan menelan korban jiwa adalah perang
yang sesungguhnya. Perang terjadi tentu ada sebab dan akibatnya. Misalnya,
sebab terjadinya perang adalah sengketa atau perebutan dan perluasan wilayah
layaknya yang terjadi dalam Putroe Neng. Akibat yang ditimbulkan ada yang
positif dan ada yang negatif tergantung dari sisi mana kita berpihak. Hal ini
sejalan dengan apa yang disampaikan tokoh Panglima Qaid Amm Asaduddin:
Data 15
“Namun, ia mengingatkan bahwa peperangan adalah jalan terakhir yang harus ditempuh dalam menyelesaikan sebuah masalah kerajaan. Peperangan bukan untuk harta dan kekuasaan, tetapi untuk menegakkan kebenaran. Dia meminta seluruh prajurit untuk mencintai sesama, termasuk kepada musuh-musuh dalam peperangan. Membunuh untuk melampiaskan nafsu sangat dilarang. (PN: 180-181)”
Pola berperang yang semacam itu adalah pola perang yang lahir dalam sistem
pun menerapkan pola atau strategi perang ala Islam. Dalam wawancara singkatnya
Dr. Harun pun mempunyai pandangan yang sama terkait perang.
“... jadi kalau dibilang berperang di jalan Allah ya di jalan Allah tidak ada misalnya untuk mencuri atau untuk mendapat harta rampasan itu tidak ada. Apalagi orang-orang yang berperang itu orang kecil. Memang Lillahita’ala mereka. Kalau sekarang mungkin ada beberapa orang yang los. Begitu kan.”
Selain itu, ada pula perihal keikutsertaan perempuan dalam perang.
Kerajaan Peureulak yang notabene adalah kerajaan Islam mempunyai prajurit
perempuan dalam angkatan perangnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan gender bagi siapa saja yang hendak menjadi pasukan atau prajurit
keamanan negara (kerajaan). Begitu pula tambahan Dr. Harun terkait
keikutsertaan perempuan dalam perang. Menurut Dr. Harun silakan saja bagi
perempuan yang bersedia ikut berperang selama bukan paksaan. Tetapi apabila
negara dalam keadaan darurat atau terdesak maka semua orang harus ikut
berjuang.
Ayi Jufridar mencoba menyeimbangkan kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam novel ini dengan menunjukkan keceerdasan dan kecekatan
Annisa dalam strategi melumpuhkan lawan. Meskipun isu gender bukanlah hal
yang utama dalam novel ini namun isu gender cukup menarik, karena pengarang
mampu memaparkan peran laki-laki dan perempuan disesuaikan dengan
kapasitasnya bukan disesuaikan dengan gender semata. Lebih lanjut Dr. Harun
menyampaikan bahwa setiap orang harus diberikan posisi dia sebagaimana
kemampuannya. Kalau perempuan bisa jadi pemimpin dan sanggup apa salahnya,
bahkan jadi komandan perang sekalipun.
Data 16
akan berlangsung lebih lama lagi seandainya Annisa gagal menyusup ke istana Indra Patra dan menawan Sri Ranarendra. (PN: 224)”
Apa yang dilakukan Annisa di atas menunjukkan bahwa Annisa adalah
perempuan yang cerdas, memiliki strategi, berani, dan bertanggung jawab
terhadap apa yang diembankan kepadanya. Artinya Annisa telah diberikan porsi
yang sepadan dengan potensi dirinya. Memang Annisa bukanlah satu-satunya
perempuan dalam novel Putroe Neng yang menjadi prajurit perang. Ada Latifah
sahabatnya dan ada pula sekitar 18 perwira dan 75 prajurit perempuan lainnya
(Data 17) yang memiliki bakat kemiliteran dan profesi yang sama dengan Annisa.
Data 17
““Sultan melepaskan Laskar syiah Hudam dengan doa dan lambaian tangan yang luput dari pandangan Latifah… Laskar tersebut terdiri dari 400 prajurit dan 100 perwira, termasuk di antaranya 18 perwira dan 75 prajurit perempuan….” (PN: 189)”
Setelah membicarakan pandangan Islam yang diyakini masyarakat Peureulak
pembahasan berikutnya beranjak ke watak atau karakter orang Aceh yang dalam
Putroe Neng diwakili juga oleh masyarakat Peureulak. Dr. Harun memaparkan
watak dasar orang Aceh salah satunya seperti yang digambarkan Ayi Jufridar pada
data 18 berikut:
Data 18
“Banyak hal dari mereka yang membuat kagum rakyat, bahkan penghuni istana Lamuri. Salah satunya adalah kesesuaian kata dan perbuatan. Ketika prajurit Peureulak mengatakan satu hal, mereka juga berbuat dan bersikap seperti itu. (PN: 195-196)”
Berikut kutipan wawancaranya:
“Tapi saya mengatakan prototype orang Aceh watak dasar orang Aceh itu bagaimana mereka mengatakan begitulah mereka akan mengerjakan sesuatu,....”
2. Pandangan Animisme Indra Purba
Ketiga subjek kolektif yang disebutkan dalam Putroe Neng tidak
kolektif mengenai karakter ketiganya tidak dapat dihadirkan secara imbang. Pada
sub ini akan dibahas masyarakat Kerajaan Indra Purba dengan filosofi dan
karakter kelompok yang dimilikinya. Seperti yang telah disebutkan di awal bahwa
masyarakat Kerajaan Indra Purba bisa jadi adalah penganut Hindu. Meskipun
tidak disebutkan secara tersurat hal tersebut dapat terlihat pada ciri-ciri tradisi dan
pandangan hidup yang mereka terapkan. Pada data 18 berikut dapat dilihat
ciri-ciri yang dimaksud.
Data 19
“Satu kepala kerbau sudah disiapkan dalam wadah yang dianyam dari kulit bambu (PN: 12).”
“Di belakang kepala kerbau terdapat wadah lain berisi beras ketan yang dimasak dengan kunyit hingga berubah warna menjadi kuning dan mengeluarkan aroma khas setelah ditambahkan beberapa helai daun pandan... (PN: 13).”
“Paling akhir adalah berbagai jenis buah-buahan...(PN: 13).”
“Sebelum Dewa Baruna murka karena isi laut dikuras sepanjang hari sepanjang zama, mereka menggelar upacara persembahan untuk menyeimbangkan alam. (PN: 13).”
“Setelah membasahi ujung tangkai bunga dan rerumputan dengan air, tetua mencipratinya ke barisan para keluarga istana. (PN: 14)”
Dari data 18 dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indra Purba adalah
masyarakat dengan kepercayaan animisme. Mereka percaya bahwa laut yang telah
memberikan makanan melimpah bagi mereka ada yang menjaganya yaitu Dewa
Baruna. Menurut penjelasan pengarang Dewa Baruna adalah dewa penjaga laut
yang diyakini umat Hindu berdasarkan observasinya pada penganut Hindu.
Selanjutnya ada upacara persembahan sesajen kepada dewa, dan adat yang biasa
disebut tepung tawar juga dilakukan masyarakat Indra Purba. Hal ini
membuktikan bahwa tradisi pada data 18 adalah tradisi dari Hindu. Sejalan
dengan sejarah nusantara bahwa sebelum Islam menduduki nusantara Hindu telah
Masyarakat Indra Purba juga sering kali mengaitkan setiap peristiwa aneh
yang terjadi di sekeliling mereka dengan perubahan cuaca. Kemudian meminta
tetua agama untuk melangsungkan upacara tolak bala dan meditasi guna
mendapatkan tanda-tanda apa yang akan terjadi di masa depan (lihat PN: 20-25).
Data 20
“Namun, hujan yang turun membuat jalanan menjadi licin sehingga seorang prajurit di sebelah kanan depan tergelincir.... Alat itupun sujud dan tubuh Indra Sakti meluncur ke luar disusul permaisuri. Terdengar teriakan kemarahan Raja Indra Sakti disertai jeritan permaisuri. (PN: 20)” “Tapi, lebih banyak yang percaya bahwa kejadian tersebut merupakan sebuah pertanda kurang baik dari dewa terhadap Raja Indra Sakti bahkan Kerajaan Indra Purba. (PN: 21)”
“Mereka mengaitkan kejadian itu dengan cuaca yang berubah buruk setelah upacara selesai. (PN: 21)”
“Pemangku adat mengatakan mereka akan melakukan upacara untuk menolak bala. Mereka juga akan bersemadi untuk mendapatkan wangsit. (PN: 23)”
“Upacara tolak bala hanya berlangsung sesaat. Tetapi, semadi berlangsung berhari-hari. Pemuka agama tidak akan berhenti sebelum mereka mendapatkan petunjuk. (PN: 23)”
““Akan ada bencana besar, mungkin semacam gempa bumi....” (PN: 23)”
Selain itu, ada pemandangan berbeda dan unik yang tidak disadari atau
mungkin bisa jadi sangat disadari oleh masyarakat Indra Purba namun mereka
mengabaikannya. Dalam prosesi persembahan kepada dewa laut tepatnya saat
sesajen dilarungkan ke tengah-tengah lautan, ternyata sesajen itu diambil oleh
manusia bukan dewa.
Data 21
“Ketiga lelaki yang mencuri sesajen, juga tidak kalah cemas dengan kejadian tersebut. “Mungkin dewa marah terhadap kita, dan menimpakan kemarahannya kepada seluruh rakyat Lamuri,” kata lelaki penyelam.
“Kita sudah mengambil sesajen berkali-kali. Tapi, dewa tidak pernah marah. Kenapa harus kali ini ia marah?” kata lelaki berparut dan temannya yang seorang lagi mengangguki.
Masyarakat Indra Purba cukup terbuka dan memiliki pola pikir yang cukup
dinamis. Mereka dapat menerima perbedaan dengan baik dan memiliki toleransi
yang cukup tinggi. Ketika masyarakat Peureulak datang ke Indra Purba mereka
menyambutnya dengan baik dan memaklumi perbedaan kebudayaan di antara
mereka. Terlebih lagi ada yang bisa menerima pemahaman masyarakat Peureulak
dengan mengikuti dan menganut keyakinan dan pandangan dunia yang sama.
Meskipun demikian tradisi lain yang dirasa sulit ditinggalkan masih tetap
dijalankan setelah berislam. Misal prosesi pernikahan yang diisi dengan kegiatan
adat, padahal Islam tidak memperkenalkan tradisi apapun selain ijab kabul dan
syarat sahnya dalam prosesi pernikahan.
Data 22
“Namun ketika malam menjelang, mereka ternyata masih sibuk dengan berbagai upacara yang menjadi tradisi di Indra Purba yang belum sepenuhnya hilang karena dianggap bagian dari budaya. Misalnya, Meurah Johan harus melalui jembatan merah untuk sampai di pelaminan tempat Indra Sakti duduk menantinya. (PN: 258)”
3. Pandangan Tiongkok Seudu
Setelah membicarakan pandangan dunia masyarakat Peureulak dan Indra
Purba selanjutnya pandangan dunia masyarakat keturunan Tiongkok Kerajaan
Seudu. Berbeda dengan dua kerajaan lain bekas Kerajaan Indra Jaya ini dikuasai
oleh pasukan yang datang dari Tiongkok dan pusat pemerintahannya terletak di
Panton Bie. Pemimpin pasukannya seorang perempuan bernama Laksamana
Liang Khie. Pasukan dari Tiongkok itu membawa hal-hal baru ke dalam
lingkungan Kerajaan Seudu, baik berupa barang, aktifitas ekonomi (barter), seni,
perbaikan sarana, ilmu bela diri/pedang, berbagai bentuk latihan kemiliteran, dan
Data 23
“Perempuan itu tidak hanya mengubah gaya pemerintahan, tetapi juga mengubah wajah Panton Bie. Mulanya istana dipercantik dengan lampu lilin yang bercahaya kemerahan akibat pantulan dari penutup kain tipis berwarna merah menyalaa dengan garis-garis hitam di sekitarnya. (PN: 52)”
“Demam lampu juga membuka lahan baru. Seorang warga Tiongkok yang ikut bersama rombongan Laksamana Liang Khie membuat lampu itu dalam jumlah banyak untuk ditukarkan dengan berbagai hasil bumi yang ada di Seudu. (PN: 53)”
“Kemajuan peradaban lainnya yang dibawa Maharani Liang Khie ke Seudu adalah bunga-bungaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal rakyat Kerajaan Indra Jaya. (PN: 54)”
“Namun, dari seluruh kemajuan, yang paling dirasakan rakyat adalah perbaikan dan pembukaan jalan-jalan baru di beberapa wilayah Seudu. Rakyat seperti disadarkan oleh sebuah kenyataan. Ternyata, jalan baru tersebut tidak harus menunggu tercipta secara alamiah seperti yang mereka ketahui secara turun-temurun. (PN: 54)”
“Kemudian, dia membuat maklumat baru. Para pemuda dan pemudi berusia antara 17 hingga 35 tahun, wajib mengikuti pelatihan militer. (PN: 55)”
“Kekuatan militer Kerajaan Seudu dibangun berlapis. (PN: 80)”
“Pelatihan militer meliputi memanah, latih pedang, dan berkuda. (PN: 82)”
Data di atas menjelaskan bahwa rombongan yang datang dari Tiongkok itu adalah
kelompok masyarakat yang memiliki peradaban yang cukup tinggi. Bahkan
mampu menyebrang lautan dengan visi memperluas daerah kependudukan
mereka. Orang-orang yang mampu memikirkan hal semacam perluasan daerah
adalah orang yang berpola pikir dinamis. Optimisme, kecerdasan, kesetiaan dan
kepercayaan diri yang tinggi adalah modal utama bagi mereka untuk bertahan.
Mereka juga tidak akan segan mengayunkan pedang bagi siapapun yang
melanggar perjanjian dan aturan. Pengkhianatan adalah hal terburuk yang mampu
Data 24
“Nian Nio sangat terpukul sekaligus marah dengan kenyataan tersebut. (PN: 246)”
“Namun, semua bayangan tersebut sirna oleh sebuah pengkhianatan.... Membuat keringat yang menetes dari tubuhnya seperti tetesan darah yang mengalir dari ulu hati. (PN: 247)”
Itulah yang bagi Goldmann (dalam Faruk, 1994: 16) disebut pandangan
dunia yang berisi gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang
menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial
tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang
lain.
4.4 Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja secara
alamiah, melainkan hasil dari aktifitas dan interaksi manusia sebagai pelaku atau
subjek. Subjek fakta kemanusiaan dapat individu maupun kolektif. Untuk individu
dapat diwakili oleh Syekh Syiah Hudam dan Meurah Johan bagi kolektif Islam
Peureulak, Nian Nio Liang Khie bagi masyarakat Tiongkok Seudu, dan Raja Indra
Sakti bagi penganut Animisme Indra Purba. Pandangan-pandangan dunia yang
mereka lahirkan telah disebutkan di awal, baik secara individu maupun secara
kolektif.
kesatuan seluruh subjek kolektif yang terdapat dalam novel Putroe Neng
adalah cikal bakal terbentuk sebuah komunitas yang disebut Aceh. Artinya
Kerajaan Indra Sakti, Kerajaan Peureulak, Kerajaan Seudu, dan kerajaan kecil
lainnya telah menyatu dan membentuk Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam
(lihat PN: 279-280) yang merupakan cikal bakal lahirnya Aceh. Di samping