• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Higiene dan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru pada Warga Binaan Pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Higiene dan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru pada Warga Binaan Pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH HIGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU PADA WARGA

BINAAN PEMASYARAKATAN DI BLOK D RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS I

MEDAN

T E S I S

Oleh

MASDALENA 097032061/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH HIGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU PADA WARGA

BINAAN PEMASYARAKATAN DI BLOK D RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS I

MEDAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

MASDALENA 097032061/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENGARUH HIGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU PADA

WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI BLOK D RUMAH TAHANAN NEGARA

KLAS I MEDAN Nama Mahasiswa : Masdalena Nomor Induk Mahasiswa : 097032061

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H) (drh. Hiswani, M.Kes Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 9 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH HIGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU PADA WARGA

BINAAN PEMASYARAKATAN DI BLOK D RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS I

MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2012

(6)

ABSTRAK

Kasus tuberkulosis paru di Kota Medan tahun 2010 tercatat sebanyak 918 orang dengan prevalensi 45,9 per 100.000 penduduk. Berdasarkan survei pendahuluan di Rutan Klas I Medan tahun 2010 terdapat 59 orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menderita tuberkulosis paru dan 14 orang di antaranya menderita tuberkulosis paru setelah menjadi WBP.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh higiene dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru pada warga binaan pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan. Jenis penelitian survei analitik dengan desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2011- Januari 2012. Populasi penelitian adalah seluruh WBP di Blok D sebanyak 233 orang dan seluruhnya dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi, dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada pengujian α = 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel higiene per orangan (kebiasaan membuang ludah, batuk dan merokok), variabel sanitasi lingkungan (kapasitas hunian, ketersediaan air bersih, lingkungan Rutan dan kebersihan alat makan/minum) berpengaruh signifikan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru. Kapasitas hunian WBP merupakan faktor risiko paling besar menyebabkan terjadinya penularan penyakit tuberkulosis paru (Rasio Prevalen = 11,928).

Disarankan kepada: (1) Manajemen Rutan Klas I Medan perlu segera mengimplementasikan strategi penanggulangan tuberkulosis pada Lapas/Rutan, khususnya deteksi dini melalui screening pada tahanan yang baru masuk serta pengobatan bagi penderita tuberkulosis paru, perlu membuat ruang tahanan khusus bagi penderita tuberkulosis paru sehingga terpisah dari tahanan yang lain sebagai upaya mencegah penularan antar warga WBP, perlu menyesuaikan kapasitas hunian, menyediakan air bersih sesuai kebutuhan, menjaga sanitasi lingkungan Rutan dan menjaga kebersihan alat makan/minum yang digunakan warga binaan pemasyarakatan, (2) Petugas kesehatan pada Unit Pelayanan Tuberkulosis Paru Rutan Klas I Medan perlu melakukan pembinaan dan pengarahan kepada WBP untuk mengubah kebiasaan meludah, batuk dan merokok.

(7)

ABSTRACT

Cases of pulmonary tuberculosis in Medan City 2010 noted as 918 people with prevalence as 45,9/100,000 population. Based on preliminary surveys in the Class I State Penitentiary Medan in 2010, found 59 inmates suffering from lung tuberculosis and 14 of them suffering from lung tuberculosis after became inmates.

The purpose of this study was to analyze the influence of environmental sanitation and hygiene on the incident of lung tuberculosis in the inmates of Block D at the Class I State Penitentiary Medan. The type of this study is analytic survey with cross sectional design. The Study was conducted frome June 2011 until January 2012. The population of this study were all of the 233 inmates and all of them were selected to be sample. The data for this study were obtained through observation and questionnaire based interviews. The data obtained were analyzed with multiple regression test at α = 5%.

The result of this study showed that statistically the variables of personal hygiene (habits of spitting, coughing and smoking), and environmental sanitation (dwelling capacity, clean water availability, penitentiary environment and cleanliness of cutlery) had significant influence on the incident of lung tuberculosis. Dwelling capacity was the biggest influence on the incidenct of lung tuberculosis, and was the biggest risk factor causing the transmission of lung tuberculosis with prevalence ratio = 11.928.

It is recommended to: (1) management the Class I State Penitentiary Medan to immediately implement the tuberculosis prevention strategy in the State Penitentiary, especially the early detection by screening and treatment for those suffering from lung tuberculosis that they are separated from the other inmates. Immedelly dwelling capacity, to enough clean water availability, to sanitation environment and to cleanliness of cutlery, (2) Officer in Tuberculosis Unit Services inmates of the Class I State Penitentiary Medan need to be provided with guidance and direction to change their habits of spitting where they like caughing without covering their mouth and smoking in their detentiomn room that the level of lung tuberculosis transmission can be minimized.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan

rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Pengaruh Higiene dan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru pada Warga Binaan Pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk

menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat

Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,

M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

4. Dr. Ir. Evawany. Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

(9)

5. Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H, selaku ketua komisi pembimbing dan drh. Hiswani,

M.Kes, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan

kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing

penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

6. dr. Surya Dharma, M.P.H dan Ir. Indra Chahaya, M.Si selaku penguji tesis yang

dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan

meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga

penulisan tesis selesai.

7. Rektor Universitas Islam Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran UISU

beserta jajarannya yang telah berkenan memberikan dukungan baik moril dan

materil serta memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan

pendidikan dan sekaligus memberikan izin belajar pada Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera

Utara.

8. Kementerian Hukum dan HAM RI, wilayah Provinsi Sumatera Utara Rumah

Tahanan Negara Klas I Medan yang telah memberikan izin sebagai tempat

penelitian.

9. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat

Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

9. Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ayahanda H. Mahmud Nasution

(Alm) dan Ibunda Hj. Adawiyah Lubis atas segala jasa dan do’a restunya sehingga

(10)

10.Teristimewa buat suami tercinta Ir.H.Hasanuddin Siregar (Alm) dan anak-anakku

tercinta Hana Maulna Siregar, Manda Ananda Doli Siregar, Fahri Jogi Maulana

Siregar, Endang yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan serta do’a dan

cinta dalam memberikan motivasi dan dukungan moril agar bisa menyelesaikan

pendidikan ini tepat waktu.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang

membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan,

semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan

pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Januari 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Masdalena, lahir pada tanggal 08 Juni 1961 di Medan, anak keempat dari

enam bersaudara dari pasangan Ayahanda H.Mahmud Nasution (Alm) dan Ibunda

Hj. Adawiyah Lubis.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di SD

Negeri No.47 Medan selesai Tahun 1973, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri

XI Medan selesai Tahun 1976, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 6 Medan,

selesai tahun 1979, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) Medan

selesai Tahun 1989.

Mulai bekerja sebagai dr. PTT di Puskesmas Batu Horpak, Tapanuli Selatan

dari Tahun 1992-1995. Karyawan PT. Jamsostek Medan Tahun 1995-2005. Pimpinan

Rumah Sakit Ibnu Saleh Tahun 2005-2011. Staff Pengajar di Fakultas Kedokteran

UISU Tahun 2008 sampai sekarang.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas

(12)

DAFTAR ISI

2.1 Penyakit Tuberkulosis Paru... 9

2.1.1. Definisi Penyakit Tuberkulosis Paru ... 9

2.1.2. Etiologi Penyakit Tuberkulosis Paru ... 9

2.1.3. Patogenesis Penyakit Tuberkulosis Paru ... 9

2.2 Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru ... 12

2.2.1 Pencegahan Primer ... 12

2.2.2 Pencegahan Sekunder ... 13

2.2.3 Pencegahan Tertier ... 17

2.3 Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru ... 18

2.3.1 Distribusi Penyakit Tuberkulosis Paru ... 18

2.3.2 Frekuensi Penyakit Tuberkulosis Paru ... 19

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan) Penyakit Tuberkulosis Paru... 22

2.4 Higiene (Kebersihan diri) ... 24

2.5 Sanitasi Lingkungan ... 27

2.5.1 Penyediaan Air Bersih ... 28

2.5.2 Pengelolaan Makanan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 29

2.6 Rumah Tahanan Negara ... 33

2.7 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) ... 34

2.8 Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru di Rutan dan Lapas .. 35

(13)

2.10 Landasan Teori ... 40

3.4.3. Validitas dan Reliabilitas ... 45

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 46

3.6. Metode Pengukuran ... 48

3.6.1. Pengukuran Variabel Independen ... 48

3.6.2. Pengukuran Variabel Dependen ... 50

3.7. Metode Analisis Data ... 50

4.5 Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru ... 58

4.6 Analisis Bivariat ... 58

4.7 Pengaruh Higiene Perorangan dan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 65

4.7.1 Pengaruh Lama dalam Tahanan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 67

4.7.2 Pengaruh Kebiasaan Meludah terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 68

4.7.3 Pengaruh Kebiasaan Batuk terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 68

4.7.4 Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 69

4.7.5 Pengaruh Kapasitas Hunian terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 69

4.7.6 Pengaruh Ketersediaan Air Bersih terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 69

(14)

4.7.8 Pengaruh Kebersihan Alat Makan/Minum terhadap Kejadian

Penyakit Tuberkulosis Paru... 70

BAB 5. PEMBAHASAN ... 72

5.1 Pengaruh Karakteristik terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 72

5.2 Pengaruh Higiene Perorangan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan 73 5.2.1 Pengaruh Kebiasaan Meludah terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 74

5.2.2 Pengaruh Kebiasaan Batuk terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 76

5.2.3 Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 77

5.3 Pengaruh Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan 79 5.3.1 Pengaruh Kapasitas Hunian terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 81

5.3.2 Pengaruh Ketersediaan Air Bersih terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 83

5.3.3 Pengaruh Lingkungan Rutan Tahanan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 83

5.3.4 Pengaruh Kebersihan Alat Makan/Minum terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 89

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

6.1 Kesimpulan ... 91

6.2 Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Distribusi Warga Binaan Pemasyarakatan menurut Ruang Tahanan ... 44

3.2 Pengukuran Variabel Independen ... 49

3.3 Aspek Pengukuran Variabel Dependen ... 50 4.1. Distribusi Karakteristik Individu Responden di Blok D Rumah Tahanan

Negara Klas I Medan ... 53 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Higiene Perorangan di Blok D Rumah

Tahanan Negara Klas I Medan ... 54 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Sanitasi Lingkungan Blok D Rumah

Tahanan Negara Klas I Medan ... 56 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru

di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 58 4.5. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Umur... 59 4.6. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Pendidikan ... 59 4.7. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Status Perkawinan ... 60 4.8. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Lama dalam

Tahanan ... 60 4.9. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Kebiasaan

Membuang Ludah ... 61 4.10. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Kebiasaan Menutup

Mulut saat Batuk ... 61 4.11. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Kebiasaan Merokok . 62 4.12. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Kapasitas Hunian ... 62 4.13. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Ketersediaan Air

(16)

4.14. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Lingkungan Rutan ... 64 4.15. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Kebersihan Alat

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Teori Simpul Kejadian Penyakit ... 40

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 98

2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 100

3. Uji Univariat ... 101

4. Uji Bivariat ... 105

5. Uji Multivariat ... 116

6. Dokumentasi Penelitian ... 117

7. Surat Izin Melaksanakan Penelitian dari Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 120

8. Surat Keterangan Telas Selesai Melaksanakan Penelitian dari Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 121

at Izin Penelitian dari Pascasarjana USU ... 155

(19)

ABSTRAK

Kasus tuberkulosis paru di Kota Medan tahun 2010 tercatat sebanyak 918 orang dengan prevalensi 45,9 per 100.000 penduduk. Berdasarkan survei pendahuluan di Rutan Klas I Medan tahun 2010 terdapat 59 orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menderita tuberkulosis paru dan 14 orang di antaranya menderita tuberkulosis paru setelah menjadi WBP.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh higiene dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru pada warga binaan pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan. Jenis penelitian survei analitik dengan desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2011- Januari 2012. Populasi penelitian adalah seluruh WBP di Blok D sebanyak 233 orang dan seluruhnya dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi, dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada pengujian α = 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel higiene per orangan (kebiasaan membuang ludah, batuk dan merokok), variabel sanitasi lingkungan (kapasitas hunian, ketersediaan air bersih, lingkungan Rutan dan kebersihan alat makan/minum) berpengaruh signifikan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru. Kapasitas hunian WBP merupakan faktor risiko paling besar menyebabkan terjadinya penularan penyakit tuberkulosis paru (Rasio Prevalen = 11,928).

Disarankan kepada: (1) Manajemen Rutan Klas I Medan perlu segera mengimplementasikan strategi penanggulangan tuberkulosis pada Lapas/Rutan, khususnya deteksi dini melalui screening pada tahanan yang baru masuk serta pengobatan bagi penderita tuberkulosis paru, perlu membuat ruang tahanan khusus bagi penderita tuberkulosis paru sehingga terpisah dari tahanan yang lain sebagai upaya mencegah penularan antar warga WBP, perlu menyesuaikan kapasitas hunian, menyediakan air bersih sesuai kebutuhan, menjaga sanitasi lingkungan Rutan dan menjaga kebersihan alat makan/minum yang digunakan warga binaan pemasyarakatan, (2) Petugas kesehatan pada Unit Pelayanan Tuberkulosis Paru Rutan Klas I Medan perlu melakukan pembinaan dan pengarahan kepada WBP untuk mengubah kebiasaan meludah, batuk dan merokok.

(20)

ABSTRACT

Cases of pulmonary tuberculosis in Medan City 2010 noted as 918 people with prevalence as 45,9/100,000 population. Based on preliminary surveys in the Class I State Penitentiary Medan in 2010, found 59 inmates suffering from lung tuberculosis and 14 of them suffering from lung tuberculosis after became inmates.

The purpose of this study was to analyze the influence of environmental sanitation and hygiene on the incident of lung tuberculosis in the inmates of Block D at the Class I State Penitentiary Medan. The type of this study is analytic survey with cross sectional design. The Study was conducted frome June 2011 until January 2012. The population of this study were all of the 233 inmates and all of them were selected to be sample. The data for this study were obtained through observation and questionnaire based interviews. The data obtained were analyzed with multiple regression test at α = 5%.

The result of this study showed that statistically the variables of personal hygiene (habits of spitting, coughing and smoking), and environmental sanitation (dwelling capacity, clean water availability, penitentiary environment and cleanliness of cutlery) had significant influence on the incident of lung tuberculosis. Dwelling capacity was the biggest influence on the incidenct of lung tuberculosis, and was the biggest risk factor causing the transmission of lung tuberculosis with prevalence ratio = 11.928.

It is recommended to: (1) management the Class I State Penitentiary Medan to immediately implement the tuberculosis prevention strategy in the State Penitentiary, especially the early detection by screening and treatment for those suffering from lung tuberculosis that they are separated from the other inmates. Immedelly dwelling capacity, to enough clean water availability, to sanitation environment and to cleanliness of cutlery, (2) Officer in Tuberculosis Unit Services inmates of the Class I State Penitentiary Medan need to be provided with guidance and direction to change their habits of spitting where they like caughing without covering their mouth and smoking in their detentiomn room that the level of lung tuberculosis transmission can be minimized.

(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri penyebab penyakit tuberkulosis paru

mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam, oleh karena itu disebut juga

sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, 2007).

Berdasarkan Global Report WHO (2010) jumlah penderita tuberkulosis paru

di dunia sebanyak 14,4 juta kasus. Penderita tuberkulosis paru terbanyak terdapat

pada lima negara yaitu : India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia. Pada

Di Indonesia, prevalensi penderita tuberkulosis paru sebesar 102 per 100.000

penduduk atau sekitar 236.029 kasus tuberkulosis paru dengan BTA positif, dari

jumlah tersebut terdapat

negara-negara miskin, tingkat kematian akibat penyakit tuberkulosis atau case fatality

rate (CFR) sebesar merupakan 25% dari seluruh kematian. Wilayah Asia Tenggara

menanggung bagian yang terberat dari beban tuberkulosis paru global yakni sekitar

38% dari kasus tuberkulosis paru dunia. Penyakit tuberkulosis paru merupakan

penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit

saluran pernapasan dan merupakan nomor satu terbesar penyebab kematian dalam

kelompok penyakit infeksi.

169.213 merupakan kasus tuberkulosis paru baru (insidensi).

(22)

penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe tuberkulosis. Jumlah kematian akibat

penyakit tuberkulosis sebanyak 91.339 kasus (CFR sebesar 39 per 100.000

penduduk.) (Laporan Subdit TB Ditjen PP&PL Depkes RI, 2010).

Penderita penyakit tuberkulosis di Provinsi Sumatera Utara tahun 2010

tercatat sebanyak 15.614 orang. Dari jumlah tersebut terdapat kasus tuberkulosis

paru sebanyak 12.145 orang dengan angka kesembuhan 67,07% (8.145 orang).

Kabupaten/kota dengan penderita penyakit tuberkulosis paru terbanyak berada di

Kabupaten Tapanuli Selatan dengan jumlah kasus sebanyak 5.303 orang (Dinkes

Prop. Sumatera Utara, 2010).

Kasus tuberkulosis paru di Kota Medan tahun 2010 tercatat sebanyak 918

orang dengan prevalensi 45,9 per 100.000 penduduk. Dibandingkan seluruh

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, jumlah penderita tuberkulosis paru di

Kota Medan cukup tinggi, hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti

perilaku masyarakat, keluarga, penderita, lingkungan dan kondisi rumah (Dinkes

Prop.Sumatera Utara, 2010).

Jumlah kasus tuberkulosis paru di Lapas/Rutan di Indonesia merupakan

institusi dengan penderita tuberkulosis paling tinggi. Tahun 2010 tercatat penderita

tuberkulosis paru pada 207 Lapas dan 190 Rutan di Indonesia sebanyak 17.714 orang,

Namun data tersebut mencakup penderita tuberkulosis paru keseluruhan, karena

belum seluruh Lapas/Rutan memberikan laporan secara rutin (Ditjen Pemasyarakatan,

(23)

Berdasarkan data Direktorat Bina Perawatan Ditjen Pemasyarakatan

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM), selama Januari hingga

Agustus 2007, dari 132.000 napi/tahanan di Indonesia, 312 napi dan 128 tahanan

meninggal akibat sakit. Penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian adalah

penyakit pernapasan sebanyak 92 orang; HIV/AIDS 88 orang; penyakit tuberkulosis

atau tuberkulosis paru sebanyak 75 orang; dan penyakit pencernaan 74 orang (Ditjen

Pemasyarakatan, Kemkumham, 2008).

Infeksi oportunistik yang paling banyak terjadi pada penderita HIV/AIDS

adalah tuberkulosis yaitu mencapai 41% dari seluruh kasus infeksi oportunistik,

kemudian diare kronis (21%) dan kandidiasis (21%). Infeksi oportunistik ini

menyebabkan kematian pada penderita HIV/AIDS (Balitbang Depkes, 2010).

Survei yang dilaksanakan oleh Balitbang Depkes (2003) menunjukkan bahwa

pasien dengan koinfeksi tuberkulosis paru dengan HIV pada umumnya ditemukan di

Rumah Tahanan Negara (Rutan)/Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di beberapa

propinsi dan tuberkulosis paru ditemukan sebagai infeksi oportunis utama pada

pasien AIDS di rumah sakit. Sampai saat ini belum ada angka nasional yang

menunjukkan gambaran HIV di antara pasien tuberkulosis paru. Studi pertama

tentang sero prevalensi dengan meneliti serum darah penderita tuberkulosis paru yang

positif HIV yang dilaksanakan di Yogyakarta menunjukkan angka 2%. Data dari

rumah sakit propinsi di Jayapura menunjukkan pada triwulan pertama 2007,

ditemukan 13 di antara 40 pasien tuberkulosis paru ternyata positif HIV. Data dari

(24)

- 2007 menunjukkan prevalensi HIV pada suspek tuberkulosis paru dengan faktor

risiko antara 3-5% dan prevalensi pada pasien tuberkulosis paru antara 5-10% dengan

kecenderungan meningkat setiap tahunnya. (Balitbang Depkes, 2010).

Jumlah kasus tuberkulosis paru meningkat dan banyak yang tidak berhasil

disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan

masalah tuberkulosis paru besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut

WHO mencanangkan tuberkulosis paru sebagai kedaruratan dunia (global

emergency), sehingga pada tahun 2001, dibentuklah Global Fund Fight for AIDS,

Tuberculosis and Malaria (GF–ATM) (Balitbang Depkes, 2003).

Tingginya persentase infeksi oportunistik tuberkulosis menjadi dasar dibuat

kebijakan nasional layanan terpadu tuberkulosis paru -HIV adalah layanan dalam satu

atap bagi pasien (one stop service). Skrining tuberkulosis paru (paru dan ekstra paru)

perlu dilakukan secara rutin untuk setiap HIV/AIDS. Prosedur skrining harus standar

dengan menggunakan alat skrining (kuesioner) yang sederhana terhadap tanda dan

gejala (penilaian risiko terhadap tuberkulosis paru). Skrining dikerjakan oleh

konselor, manajer kasus atau para medis lainnya, dan harus dilakukan pada semua

HIV/AIDS setelah KTS (Konselling Post Test) dan secara berkala selama pelayanan

HIV. Dalam kasus dengan gejala tuberkulosis paru, pasien harus diperiksa sesegera

mungkin oleh dokter untuk segera didiagnosis dan diterapi. Harus dibentuk

mekanisme rujukan antara layanan konseling dan testing HIV dengan unit DOTS

(25)

Skrining tuberkulosis paru juga harus dilakukan pada kontak serumah, pada

kelompok dengan resiko HIV dan pada kondisi khusus seperti di Rutan/Lapas.

Berkaitan dengan prevalensi tuberkulosis paru yang tinggi di antara pengguna napza

suntik (Injecting drug users), pelayanan harm reduction dan pusat rehabilitasi harus

melakukan skrining tuberkulosis paru secara rutin dan segera merujuk ke UPK.

Diagnosis tuberkulosis paru dan diagnosis HIV harus sesuai Pedoman Nasional

Depkes yang berlaku (Depkes RI, 2007).

Berdasarkan data Program tuberkulosis paru Rutan Klas I Medan tahun 2010

diketahui bahwa pasien penderita penyakit tuberkulosis paru merupakan urutan ketiga

terbesar dari seluruh penderita yang menjalani rawat inap, dengan jumlah pasien

sebanyak 16 orang (Laporan Rutin Program Tuberkulosis Paru Rutan Kelas I Medan,

2010)

Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) baru yang menjalani skrining

tuberkulosis paru di Rutan Klas I Medan pada tahun 2010 sebanyak 1.675 orang.

Berdasarkan hasil skrining ditetapkan yang menjadi suspek tuberkulosis paru,

kemudian dilakukan diagnosis untuk menetapkan sebagai penderita tuberkulosis paru.

Hasil Program Tuberkulosis Paru di Rutan Kelas I Medan tahun 2010

menunjukkan bahwa Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan baru yang di skrining

(pemeriksaan terhadap tahanan yang baru masuk ke rutan) tahun 2010 pada 1.675

orang, Jumlah suspek tuberkulosis paru dari WBP baru yang diskrining sebanyak 136

orang, Jumlah pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif dari WBP baru sebanyak

(26)

sebanyak 14 orang dengan jumlah terbanyak pada Blok D yaitu sebanyak 35 orang

(Laporan Rutin Program tuberkulosis paru Rutan Kelas I Medan, 2011).

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa jumlah penderita baru yang positif

tuberkulosis paru sebanyak 59 orang, namun terdapat 14 orang WBP yang menderita

tuberkulosis paru setelah menjadi tinggal di Rutan Kelas I Medan, artinya telah

terjadi penularan dari WBP penderita tuberkulosis paru kepada WBP yang

sebelumnya tidak menunjukkan gejala tuberkulosis paru. Terjadinya penularan

penyakit tuberkulosis paru antar WBP, diakibatkan ruang tahanan (kamar) bagi

penderita tuberkulosis paru tidak terpisah dengan WBP lainnya.

Keberadaan penderita tuberkulosis paru di Rutan Klas I Medan sangat

berpotensi menjadi penular bagi WBP yang tinggal satu ruang tahanan (kamar).

Kondisi tersebut semakin diperparah dengan keadaan atau sanitasi lingkungan Rutan

yang buruk akibat kelebihan penghuni (over capacity), hal ini sesuai dengan

ketahanan hidup bakteri tuberkulosis paru yang dapat bertahan hidup beberapa jam

di tempat yang gelap dan lembab.

Survei pendahuluan yang dilakukan di Rutan Klas I Medan, ditemukan bahwa

warga binaan yang tinggal di dalam setiap ruang tahanan melebihi kapasitas yang

ditetapkan. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (2010), kondisi

Rutan/Lapas yang over kapasitas hampir terjadi di seluruh Indonesia. Kapasitas ideal

seluruh Rutan/Lapas di Indonesia adalah 73.000 orang, namun saat ini jumlah warga

binaan sebanyak 111.357 orang, dengan demikian terdapat kelebihan penghuni

(27)

Akibat kelebihan kapasitas tersebut, setiap warga binaan yang tinggal di

Rutan/Lapas akan mengalami keterbatasan ketersediaan sarana sanitasi lingkungan

seperti air bersih, luas ruang tahanan yang tidak sesuai dengan jumlah penghuni,

pencahayaan yang tidak memenuhi syarat. Akibat keterbatasan sanitasi lingkungan

tersebut menyebabkan penghuni Rutan/Lapas mengalami keterbatasan untuk menjaga

kebersihan diri (higiene). Kondisi yang demikian akan meningkatkan risiko

terjadinya penularan tuberkulosis paru antar warga binaan. Menurut Achmadi (2008)

risiko terjadinya penyakit dipengaruhi oleh tingkat keberadaan agent penyebab

penyakit serta perilaku pemajanan (behavioural exposure).

Berdasarkan kondisi Rutan Klas I Medan tersebut maka perlu dilakukan

penelitian untuk mengkaji pengaruh higiene dan sanitasi lingkungan terhadap

kejadian penyakit tuberkulosis pada warga binaan pemasyarakatan di Blok D Rumah

Tahanan Negara Klas I Medan.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, maka ditemukan

permasalahan adalah tingginya penderita tuberkulosis paru di Blok D Rumah

Tahanan Negara Klas I Medan, maka perlu diteliti pengaruh faktor higiene dan

sanitasi lingkungan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru pada warga binaan

(28)

1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis pengaruh higiene dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian

penyakit tuberkulosis paru pada warga binaan pemasyarakatan di Blok D Rumah

Tahanan Negara Klas I Medan.

1.4 Hipotesis

Higiene dan sanitasi lingkungan berpengaruh terhadap kejadian penyakit

tuberkulosis paru pada warga binaan pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan

Negara Klas I Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Bagi pengembangan Ilmu Administrasi Kebijakan Kesehatan yang berkaitan

dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit tuberkulosis paru di lembaga

pemasyarakatan.

2. Bagi Rutan Klas I Medan, sebagai masukan dalam rangka penyusunan

program kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit tuberkulosis paru

pada warga binaan pemasyarakatan.

3. Bagi warga binaan pemasyarakatan, sebagai informasi untuk melakukan atau

meningkatkan kebersihan diri (higiene) dan menjaga sanitasi lingkungan

(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Tuberkulosis Paru

2.1.1 Definisi Penyakit Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang bersifat menahun,

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis, yang sering dihinggapi adalah

paru-paru (Depkes RI, 2002).

2.1.2 Etiologi Penyakit Tuberkulosis Paru

Bakteri ini berbentuk batang, mampunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap

asam. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri

tuberkulosis paru cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan

hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh bakteri

ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002).

2.1.3 Patogenesis Penyakit Tuberkulosis Paru

Patogenesis penyakit tuberkulosis paru berawal dari penderita tuberkulosis

paru BTA positif sebagai sumber penularan. Pada waktu batuk atau bersin, penderita

menyebarkan bakteri dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang

mengandung bakteri dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.

Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan.

Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang

(30)

Patogenesis penyakit tuberkulosis paru dibedakan berdasarkan proses

terjadinya, sebagai berikut:

a. Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi pada seseorang yang terpapar pertama kali dengan

bakteri tuberkulosis paru. Droplet yang terhisap sangat kecil ukurannya sehingga

dapat melewati sistem pertahanan mukosiller broncus dan terus berjalan sampai di

alveolus terminalis dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat bakteri tuberkulosis

paru berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru yang

mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa bakteri

tuberkulosis paru ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai

kompleks primer. Waktu antara terjadi infeksi sampai pembentukan kompleks primer

adalah 4-6 minggu (Depkes RI, 2006).

b. Tuberkulosis Paru Pasca Primer (Post Primary Tuberculosis)

Tuberkulosis paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau

tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat

terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paru pasca

primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura

(Depkes RI, 2002).

c. Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis Paru

1) Pneumutoraks spontan terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah

(31)

2) Cor pulmonale adalah gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat

kerusakan paru, dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang amat luas.

3) Aspergilomata dimana kavitas tuberkulosis paru yang sudah diobati dengan

baik dan sudah sembuh kadang-kadang tinggal terbuka dan dapat terinfeksi

dengan jamur Aspergillus fumigatus.

4) Hemoptis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan

nafas.

5) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkhial.

6) Bronkhiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan

jaringan ikat pada proses pemulihan) pada paru.

7) Insufisiensi Cardio Pulmoner.

8) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan

sebagainya (Depkes RI, 2002).

Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular

penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat bakteri), maka

penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB

Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara

(32)

2.2 Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru

Dalam program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara

berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan

pencegahan tertier, sebagai berikut:

2.2.1 Pencegahan Primer

Konsep pencegahan primer penyakit tuberkulosis paru adalah mencegah

orang sehat tidak sampai sakit. Upaya pencegahan primer sesuai dengan rekomendasi

WHO dengan pemberian vaksinasi Bacille Calmette-Guérin (BCG) segera setelah

bayi lahir. Walaupun BCG telah diberikan pada anak sejak tahun 1920-an,

efektivitasnya dalam pencegahan TB masih merupakan kontroversi karena kisaran

keberhasilan yang diperoleh begitu lebar (antara 0-80%). Namun ada satu hal yang

diterima secara umum, yaitu BCG memberi perlindungan lebih terhadap penyakit

tuberkulosis yang parah seperti tuberkulosis milier atau meningitis tuberkulosis.

Karena itu kebijakan pemberian BCG disesuaikan dengan prevalensi tuberkulosis di

suatu negara. Di negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, BCG harus

diberikan pada semua anak kecuali anak dengan gejala HIV/AIDS, demikian juga

anak dengan kondisi lain yang menurunkan kekebalan tubuh. Tidak ada bukti yang

menunjukkan bahwa vaksinasi BCG ulangan memberikan tambahan perlindungan,

dan karena itu hal tersebut tidak dianjurkan. Sebagian kecil anak (1-2%) dapat

mengalami efek samping vaksinasi BCG seperti pembentukan kumpulan nanah

(abses) lokal. Selain pemberian imunisasi BCG, pencegahan primer juga dapat

(33)

2.2.2 Pencegahan Sekunder

Upaya pencegahan sekunder pada penyakit tuberkulosis paru perlu dilakukan

dengan skrining (screaning), yaitu pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila

hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan

Isoniazid (INH) dengan dosis 5–10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut

belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah

pengobatan pencegahan selesai (Depkes, 2006).

Upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan pemeriksaan

laboratorium terhadap penderita tuberkulosis paru. Laboratorium tuberkulosis paru

merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai peran penting

dalam Penanggulangan Tuberkulosis paru berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien

tuberkulosis paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir

pengobatan (Depkes RI, 2007).

Diagnosis tuberkulosis paru melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak

merupakan metode baku emas (gold standard). Namun, pemeriksaan kultur

memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal.

Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan

pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis

merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif

dan dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium (Depkes RI, 2007).

Untuk mendukung kinerja penanggulangan, diperlukan ketersediaan

(34)

terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia. Tujuan manajemen

laboratorium tuberkulosis paru adalah untuk meningkatkan penerapan manajemen

laboratorium tuberkulosis paru yang baik di setiap jenjang laboratorium dalam upaya

melaksanakan pelayanan laboratorium yang bermutu dan mudah dijangkau oleh

masyarakat (Depkes RI, 2007).

Ruang lingkup manajemen laboratorium tuberkulosis paru meliputi beberapa

aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium tuberkulosis paru, sumber daya

laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium tuberkulosis

paru, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan

evaluasi (Depkes RI, 2007).

Selanjutnya upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan kegiatan diagnosis

penderita tuberkulosis paru dengan mengkaji:

(1) Gejala-gejala Tuberkulosis Paru

Menurut Mason et al (2005) dalam textbook of respiratory medicine,

disebutkan bahwa batuk adalah gejala yang paling umum dari TB paru. Peradangan

pada parenkim paru yang berdekatan dengan permukaan pleura dapat menyebabkan

nyeri pleuritik tanpa penyakit pleura jelas. Pneumotoraks spontan juga dapat terjadi,

sering dengan nyeri dada dan mungkin dyspnea bahwa hasil dari keterlibatan

parenkim tidak biasa kecuali ada penyakit yang lain.

Menurut Muherman, dkk dalam Retno (2007) gejala-gejala tuberkulosis paru

yaitu : batuk, sering flu, berat badan turun, sakit dinding dada, demam dan

(35)

Utama dalam Retno (2007), bahwa gejala-gejala yang terbanyak adalah : demam,

sesak napas, batuk, batuk berdarah dan nyeri dada.

(2) Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru

1) Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa

Penemuan penderita tuberkulosis paru dilakukan secara pasif, artinya

penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang

berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut

didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun

masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Selain

itu semua kontak penderita tuberkulosis paru BTA positif dengan gejala sama,

harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka penderita diperiksa 3 spesimen

dahak dalam waktu 2 hari berturut-berturut, yaitu Sewaktu–Pagi–Sewaktu /SPS

(Depkes RI, 2002).

2) Penemuan Penderita Pada Anak

Penemuan penderita tuberkulosis paru pada anak merupakan hal yang sulit.

Sebagian besar tuberkulosis paru anak didasarkan atas gambaran klinis,

gambaran radiologis, dan uji tuberkulin (Depkes RI, 2002).

Berdasarkan penemuan penderita tuberkulosis paru, maka dilakukan klasifikasi

penyakit dan tipe penderita tuberkulosis paru sebagai berikut:

1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis paru yang menyerang

jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil

(36)

a. Tuberkulosis paru BTA Positif. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak

SPS hasilnya BTA positif atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan

foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis paru aktif.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif. Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya

BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan tuberkulosis paru aktif.

Tuberkulosis paru negatif tetapi rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat

keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan.

2) Tuberkulosis Paru Ekstra Paru

Tuberkulosis paru ekstra paru adalah tuberkulosis paru yang menyerang organ

tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar

limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan

lain-lain. Tuberkulosis paru ekstra paru dibagi lagi pada tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu tuberkulosis paru ekstra paru ringan dan tuberkulosis paru

ekstra paru berat (Depkes RI, 2002).

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Menurut Tjokronegoro dan Utama dalam Retno (2007), Tipe penderita dibagi dalam :

1) Kasus Baru adalah penderita yang tidak mendapat Obat Anti Tuberkulosis paru

(OAT) lebih dari satu bulan.

2) Kasus Kambuh (relaps) adalah penderita yang pernah dinyatakan sembuh dari

tuberkulosis paru tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis paru aktifnya.

3) Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi

(37)

Gagal adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA

positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

4) Kasus Kronik adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah mendapat

pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.

Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita dibagi ke dalam beberapa tipe,

yaitu kasus baru; kambuh (relaps); pindahan (transfer in); setelah lalai (drop-out);

gagal dan kasus kronik.

2.2.3 Pencegahan Tertier

Sasaran dari pencegahan tertier dilakukan pada penderita yang telah parah,

misalnya penderita tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan

atau tahun sesudah infeksi primer, yang terjadi karena daya tahan tubuh menurun

akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca

primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase: intensif dan lanjutan. Fase intensif

ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah

resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang

tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih sedikit obat karena sebagian besar

bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap

pengobatan menjadi kecil (WHO, 2003).

Pengobatan TB umumnya dilakukan dengan rawat jalan (outpatient basis),

(38)

tersebut seperti : meningitis dan tuberkulosis milier, anak dengan gangguan

pernapasan dan tuberkulosis tulang belakang.

Setelah pengobatan dimulai, kadang gejala tuberkulosis atau gambaran X-ray

dada menjadi lebih parah. Hal ini umumnya terjadi seiring peningkatan kekebalan

tubuh karena perbaikan gizi, pengobatan tuberkulosis itu sendiri, atau terapi antiviral

pada anak dengan HIV.

Efek samping pengobatan TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan

pada pasien dewasa. Efek samping yang paling penting diperhatikan adalah

keracunan pada hati (hepatotoksisitas) yang dapat disebabkan oleh isoniazid,

rifampicin, dan pyrazinamide. Tidak ada anjuran untuk memeriksa kadar enzim hati

secara rutin karena peningkatan enzim yang ringan. Isoniazid dapat menyebabkan

defisiensi vitamin B6 (pyridoxine) pada kondisi tertentu sehingga suplemen vitamin

B6 direkomendasikan pada anak yang kurang gizi, anak yang terinfeksi HIV, bayi

yang masih menyusu ASI, dan remaja yang hamil (WHO, 2006).

Menurut Maher et al (2008) dalam Oxford Textbook of Public Health

disebutkan bahwa konsep pengobatan anti-TB kemoterapi sebagai latar belakang

untuk pengembangan dan implementasi dari strategi untuk penanggulangan TB yang

dikenal sebagai DOTS (Directly Observed Treatment, Short-Course). Penilaian

terhadap kemajuan yang telah dilakukan terhadap target internasional untuk

penanggulangan TB tahun 2005, dan kemudian respon internasional yang

berkembang untuk tantangan TBC, termasuk pengembangan Strategi Stop TB dan

(39)

tuberkulosis di masa depan, melihat ke depan untuk 2015 (tahun target Millenium

Development Goals) dan kemudian tahun 2050 (tahun target untuk penghapusan TB

sebagai masalah kesehatan publik secara global).

2.3 Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru

Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mengkaji

frekuensi, distribusi serta determinan. Kajian tersebut menyangkut interaksi antara

Mycobacterium Tuberculosis sebagai bakteri (agent), manusia (host) dan lingkungan

(environment). Disamping itu mencakup perkembangan dan penyebarannya,

termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang

timbul dari populasi yang tertular (Depkes RI, 2006).

2.3.1 Distribusi Penyakit Tuberkulosis Paru

Penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia yang mengeluarkan

basil tuberkel dari saluran pernafasan. Kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga)

menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui droplet. Kerentanan penderita

tuberkulosis paru meliputi risiko memperoleh infeksi dan konsekuensi timbulnya

penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin negatif

risiko memperoleh basil tuberkel bergantung pada kontak dengan sumber-sumber

bakteri penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis paru dengan BTA

positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi aktif penduduk, tingkat

kepadatan penduduk, keadaan sosial ekonomi yang merugikan dan perawatan

(40)

Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi dimungkinkan adanya

faktor komponen genetik yang terbukti pada hewan dan diduga terjadi pada manusia,

hal ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan kenyataan status immunologik

serta penyakit yang menyertainya.

2.3.2 Frekuensi Penyakit Tuberkulosis Paru

Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)

di Indonesia bervariasi, antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti

setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari

orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita tuberkulosis paru (Depkes RI,

2002).

a. Berdasarkan host

1. Umur

Insidens tertinggi biasanya mengenai usia dewasa muda. Informasi dari Afrika

dan India menunjukkan pola yang berbeda, dimana prevalensi meningkat seiring

dengan peningkatan usia (Albert, 2006). Di Indonesia, dengan angka risk of infection

2%, maka sebagian besar masyarakat pada usia produktif telah tertular (Aditama,

2010). Penelitian dengan pendekatan prospektif observasional analitik di RS

Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa usia produktif (≤ 55 tahun) 0,9 kali lebih

sulit untuk sembuh dari pada usia yang non produktif pada penderita TB Paru

(Firdaus, 2005).

2. Jenis Kelamin

(41)

Paru. Hal ini disebabkan laki-laki lebih banyak melakukan mobilisasi dan

mengkonsumsi alkohol dan rokok (Depkes RI, 2005). Penelitian dengan pendekatan

prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa

laki-laki 0,5 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada wanita pada penderita TB Paru.

c. Status Gizi

Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan

timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk

keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk dapat mempermudah terkena penyakit

infeksi (Supariasa, 2001). Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya kasus penyakit

tuberkulosis karena daya tahan tubuh yang rendah (Girsang, 2000). Penelitian Firdaus

(2005) dengan desain prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun

2005 melaporkan bahwa status gizi buruk 9,59 kali lebih sulit untuk sembuh dari

pada status gizi baik pada penderita TB Paru.

d. Status Imunisasi BCG

Salah satu upaya pengendalian infeksi Mycobacterium Tuberculosis (M.tb)

adalah dengan imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG). Imunisasi BCG

meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi bakteri. Imunitas yang terbentuk

dengan imunisasi BCG untuk mencegah penyebaran TB secara hematogen bukan

mencegah penyebaran secara perkontinuitatum dan limfogen.

e. Sosial ekonomi

Banyaknya penderita tuberkulosis paru terjadi pada masyarakat kelas ekonomi

(42)

pengetahuan tentang penyakit menular juga rendah. WHO (2003) menyebutkan 90%

penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang pada kelompok dengan sosial

ekonomi yang lemah atau miskin (Achmadi dkk, 2005)

2.3.3 Faktor Penyebab (Determinan) Penyakit Tuberkulosis Paru

Menurut teori Gordon dalam Soemirat (2000), mengemukakan bahwa

timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit

(agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini

disebut segi tiga epidemiologi (epidemiologi triangle), hubungan ketiga faktor

tersebut digambarkan secara sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab

penyakit pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai

penumpunya.

Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam keadaan

seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat, perubahan keseimbangan

akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit, penurunan daya tahan tubuh akan

menyebabkan bobot agent penyebab menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi

sakit, demikian pula bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas sedangkan

faktor penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat. Sebaliknya

bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam keadaan sehat

(Soewasti, 2000).

Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan agent

penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya seseorang menjadi sakit

(43)

a. Agent

Mycobacterium Tuberculosis adalah suatu anggota dari famili

Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium

tuberculosis menyebabkan penyakit pada manusia dan sering menyebabkan infeksi.

Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya Mycobacterium Leprae,

Mycobacterium paratuberkulosis paru dan Mycobacterium yang dianggap sebagai

Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan (Depkes, RI.

2006).

Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit timbul

atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi syarat untuk

menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit

dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru

adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa

faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi (Soewasti, 2000).

Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit

pada host. Pathogenitas agent dapat berubah dan tidak sama derajatnya bagi berbagai

host. Berdasarkan sumber yang sama pathogenitas bakteri tuberkulosis paru termasuk

pada tingkat rendah (Depkes, RI. 2006).

Infektifitas adalah kemampuan suatu mikroba untuk masuk ke dalam tubuh

host dan berkembang biak didalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas

bakteri tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah

(44)

tuberkulosis paru termasuk tingkat tinggi, jadi bakteri ini tidak dapat dianggap remeh

begitu saja (Soewasti, 2000).

b. Host

Manusia merupakan reservoar untuk penularan bakteri Mycobacterium

Tuberculosis, bakteri tuberkulosis paru menular melalui droplet nuclei. Seorang

penderita tuberkulosis paru dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).

Menurut penelitian Pusat Ekologi Kesehatan (1991), menunjukkan tingkat penularan

tuberkulosis paru di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang

penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam

rumah dengan ventilasi baik, bakteri ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih

baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa

menangkap bakteri penyebab tuberkulosis.

Faktor risiko terjadinya penyakit tuberkulosis paru secara umum terkait

dengan faktor bakteri penyebab penyakit (agent), yang telah diuraikan sebelumnya.

Faktor lainnya adalah yang terdapat pada individu (host) yang dalam penelitian ini di

ukur dari kebersihan diri, sedangkan faktor lingkungan (environment) di ukur dari

sanitasi (Depkes, RI. 2006).

2.4 Higiene (Kebersihan Diri)

Menurut Nemberini (2007) pengelolaan higiene atau kebersihan diri terhadap

tahanan pada lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan perlu memperhatikan

(45)

kesehatan tahanan. Pedoman tentang sanitasi dan higiene serta lingkungan lembaga

pemasyarakatan dan rumah tahanan merupakan acuan yang diharapkan mampu

meningkatkan kemampuan pihak berwenang di lapas dan rutan serta pihak-pihak lain

yang bertanggung jawab untuk mengidentifikasi, memahami kompleksitas dan

menganalisis permasalahan yang dihadapi.

Kebersihan diri atau higiene perorangan yang buruk merupakan cerminan dari

kondisi lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat (Brown dalam Soemirat,

2000). Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh

kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit

karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan

sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan (Depkes RI, 2006).

Menurut Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (higiene perorangan) adalah

upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya

sendiri meliputi : memelihara kebersihan, makanan yang sehat, cara hidup yang

teratur, meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani, menghindari

terjadinya penyakit, meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah, melengkapi rumah

dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat, serta pemeriksaan kesehatan

Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena

pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan

sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan (Depkes RI, 2006). Pada

(46)

mendidih dengan suhu 100°C selama 5 menit, mandi dua kali sehari agar badan selalu

bersih dan segar, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang

makanan atau minuman, mengambil makanan dengan memakai alat seperti sendok

atau penjepit dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang.

Dalam konteks penularan penyakit tuberkulosis, perilaku adalah kebiasaan

yang dilakukan warga binaan pemasyarakatan yang tinggal di Lapas atau Rutan yang

memungkinkan terjadinya penularan penyakit tuberkulosis paru dari penderita kepada

orang yang belum menderita, antara lain disebabkan kebiasaan membuang ludah

sembarangan sehingga bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang terdapat pada ludah

dapat menyebar kepada orang lain, demikian juga perilaku pada saat batuk apabila

tidak menutup mulut dapat menyebarkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Faktor

lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit tuberkulosis adalah merokok

(Ditjen Pemasyarakatan, 2007).

Menurut Widoyono (2005) upaya pencegahan penyakit tuberkulosis paru

dapat dilakukan dengan : (a) menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan

sapu tangan atau tissu, (b) tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah

yang diberi lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.

Strategi penanggulangan tuberkulosis pada lembaga pemasyarakatan dan

rumah tahanan negara di Indonesia (2007) melalui implementasi strategi DOTS

menyatakan bahwa sebagian besar bakteri penyakit tuberkulosis menyerang paru,

(47)

melalui udara oleh droplet penderita tuberkulosis ketika batuk, bersin atau bicara.

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis

adalah daya tahan tubuh yang rendah.

Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga

Pemasyarakatan menentukan bahwa warga binaan pemasyarakatan mempunyai hak

untuk : (a) mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani serta

(b) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

Higiene dan sanitasi mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat

dipisahkan antara satu dengan yang lain. Higiene dan sanitasi merupakan usaha

kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit pada

manusia. Usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi

lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena

pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan yang

sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan lingkungan disebut

higiene (Depkes RI, 2009).

2.5 Sanitasi Lingkungan

Sanitasi atau kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau

keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap

terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Adapun yang dimaksud dengan

(48)

mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk

terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup di dalamnya.

Menurut Riyadi (1984) sanitasi lingkungan adalah prinsip-prinsip untuk

meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi faktor-faktor pada lingkungan yang

dapat menimbulkan penyakit, melalui kegiatan-kegiatan yang ditunjukkan untuk

mengendalikan: sanitasi air, sanitasi makanan, pembuangan kotoran, air buangan dan

sampah, sanitasi udara, vektor dan binatang pengerat.

2.5.1 Penyediaan Air Bersih

Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara, sekitar

¾ bagian tubuh kita terdiri atas air, tidak seorang pun dapat bertahan hidup lebih dari

4-5 hari tanpa minum air. Selain itu, air juga di pergunakan untuk memasak, mandi,

mencuci, dan membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah.

Ditinjau dari ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air bersih harus

dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air bersih yang terbatas

memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat. Volume rata-rata kebutuhan air

setiap individu perhari berkisar antara 150-200 liter/35-40 galon.kebutuhan air

tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan, dan

kebiasaan masyarakat. Berdasarkan analisis WHO (2006), pada negara-negara maju,

setiap orang memerlukan air antara 120 liter per hari, sedangkan pada negara

(49)

2.5.2 Pengelolaan Makanan Warga Binaan Pemasyarakatan

Pengelolaan makanan di Rutan dan Lapas sehingga setiap warga binaan

dimungkinkan mendapatkan makanan yang layak adalah :

1) Penetapan menu makanan bagi tiap-tiap narapidana dalam satu hari ditetapkan

oleh menteri kehakiman.

2) Besarnya kalori tidak boleh kurang dari :

a. 2.500 kalori perhari bagi orang dewasa

b. Tambahan 300 kalori per hari bagi wanita yang sedang hamil

c. Tambahan 800 – 1000 kalori per hari bagi wanita yang sedang menyusui.

3) Menu makanan bagi narapidana yang sedang ditetapkan oleh dokter lembaga

pemasyarakatan.

4) Tanpa saran/nasehat dokter lembaga pemasyarakatan, perubahan menu makanan

bagi narapidana yang sakit tidak diperbolehkan.

Beberapa faktor pada sanitasi lingkungan sebagai determinan penyakit

tuberkulosis paru adalah :

a. Penghuni Rumah

Penghuni rumah dapat mempengaruhi kualitas udara didalam rumah. Adapun

hal-hal yang menyebabkan menurunnya kualitas udara ini dapat dibedakan menjadi 2

hal hal pokok :

1) Kepadatan hunian. Semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat

udara didalam rumah mengalami pencemaran. Manusia dalam kehidupan

(50)

liter itu jumlah oksigen yang diambil adalah sebanyak 2 liter dan akan

menghasilkan 1,7 liter gas asam arang . Dengan Demikian akan meningkatkan

kadar CO2

2) Kesehatan para penghuni. Kesehatan penghuni juga memegang peranan

penting dalam mempengaruhi kualitas udara terutama ditinjau dari segi

bakteriologisya. Hal itu akan lebih nyata apabila penghuni rumah tersebut,

ialah mereka yang mempunyai penyakit saluran pernapasan, dan bila mereka

mengeluarkan bakteri melalui pernapasannya maka akan ditularkan kepada

penghuni lainnya melalui udara yang kotor tersebut.

yang telah ada di dalam rumah dan akan menurunkan kadar oksigen

di dalam udara. Konsep Departemen Kesehatan RI yang menggunakan luas

lantai kamar menimal sebesar 4,5 m² dan anak-anak usia 1–10 tahun

memerlukan 1,5 m², sedangkan ketentuan luas ruangan untuk setiap orang di

Lapas menurut Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan tahun 2005 adalah 1,80 x

3,00 m/orang.

Sebenarnya udara bukanlah merupakan habitat atau tempat hidup bakteri. Oleh

karena itu bakteri di udara hanya kejadian yang sewaktu-waktu terkontaminasi.

Bakteri pathogen dapat ditularkan melalui udara dalam bentuk partikel debu

dan pengeringan dari drooplet liur. Meskipun demikian pada dasarnya

perjalanan bakteri di udara mempunyai pola umum berupa garis lurus yang

terus menerus jumlahnya sesuai dengan lamanya waktu di udara.

Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi

(51)

akan menyebabkan berjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena

disamping menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu

anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah

menular kepada anggota keluarga yang lain, dimana seorang penderita rata-rata

dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Kepadatan merupakan

faktor awal yang berperan (pre-requisite) dalam proses penularan penyakit,

semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara

akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah

tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian tuberkulosis

b. Ventilasi.

Udara segar diperlukan dalam rumah untuk mengganti udara ruangan yang

yang sudah terpakai. Udara segar diperlukan untuk menjaga temperatur dan

kelembaban udara dalam ruangan. Sebaiknya temperatur udara dalam ruangan harus

lebih rendah paling sedikit 4ºC dari temperatur udara luar untuk daerah tropis.

Umumnya temperatur kamar 22 ºC – 30 ºC sudah cukup segar. Pergantian udara

bersih untuk orang dewasa adalah 33 m³/orang/jam. Kelembaban udara berkisar 50 –

75 % optimum. Untuk memperolah kenyamanan udara seperti dimaksud di atas

diperlukan adanya ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik dalam ruangan harus

memenuhi syarat lainnya. Untuk luas lubang ventilasi tetap, minimum 5 % dari luas

lantai ruangan. Sedangkan luas lubang insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum

Gambar

Gambar 2.1  Teori Simpul Kejadian Penyakit
Gambar 2.2  Kerangka Konsep
Tabel 3.1 Distribusi Warga Binaan Pemasyarakatan menurut Ruang Tahanan
Tabel 3.2  Pengukuran Variabel Independen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Posyandu (Pos Layanan Terpadu) Joko Tingkir VIII merupakan pelayanan masyarakat yang bergerak pada bidang kesehatan balita. Pencatatan posyandu menggunakan media

Berdasarkan kesimpulan dan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, beberapa saran yang dapat sampaikan antara lain (1) perlunya dilakukan penelitian lebih

berbasis web menggunakan framework CodeIgniter dan Materialize CSS sesuai perancangan proses pada tahap kedua. 4) Tahap keempat: Pengujian sistem dan Analisis

Uji normalitas data kadar albumin pada kelompok perlakuan pra maupun pasca menunjukkan tidak berdistribusi normal, setelah dilakukan transform data dengan log 10 hasilnya

hubungan dukungan suami dengan keberhasilan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan di Dusun II desa Bandar Setia Kecamatan Percut Sei Tuan Medan6. Kesimpulan: Dari

TC and LDL-C baseline levels were significantly different among the apo-E genotypes, yet there were no significant effects on lipid and lipoprotein dietary response..

SURAT TUGAS Nomor: 814/IV/SD.05/II/2015 Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala SD Negeri Mancagahar 1 UPTD Pendidikan Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut dengan ini menugaskan kepada :

4 Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Dewan Pimpinan Partai Politik atau Tim Kampanye dalam melaksanakan kampaye pemilihan umum bertanggung jawab terhadap