• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Asas Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Hukum Asas Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)”"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK PADA

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (

MONEY

LAUNDERING)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

NIM : 080200287 MELKY S. PARDEDE

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINJAUAN HUKUM ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

ABSTRAKSI

Melky S. Pardede* Liza Erwina**

Marlina***

Kejahatan pencucian uang tidak hanya merupakan permasalahan dalam penegakan hukum semata melainkan juga menyangkut pada keamanan nasional dan internasional. Sehubungan dengan hal tersebut Indonesia perlu suatu aturan yang mengatur tindak pidana pencucian uang mengingat dampak yang ditimbulkannya terhadap negara. Mengingat kejahatan pencucian uang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi dan jabatan sehingga sulit dalam memberantasnya, untuk itulah perlu adanya suatu upaya luar biasa dalam mengatasinya yang salah satu caranya adalah dengan menggunakan asas pembuktian terbalik. Permasalahannya bagaimana pengaturan asas pembuktian terbalik menurut ketentuan hukum di Indonesia serta bagaimana penerapan asas pembuktian terbalik dalam praktek peradilan perkara tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative yang menitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan kebijakan hukum pidana yang akan diambil dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang. Analitis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif.

Pengaturan mengenai asas pembuktian terbalik diterapkan dalam proses peradilan di Indoneia pada awalnya dilaksanakan karena sulitnya menangai kasus pencucian uang dan korupsi di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka pengaturan mengenai pembuktian terbalik mulai diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sampai pada Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 terhadap tindak pidana korupsi serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sampai pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 terhadap tindak pidana pencucian uang. Kedudukan asas pembuktian terbalik pada dasarnya tidak diatur dalam KUHAP, namun terdapat pengecualian terhadap tindak pidana tertentu. Pembuktian yang dianut dalam KUHAP yang diwajibkan terhadap beban pembuktian adalah Jaksa Penuntut Umum sedangkan dalam pembuktian terbalik selain Jaksa dibebani dalam hal pembuktian, terdakwa juga dibebani pembuktian terhadap harta kekayaannya.

Penerapan asas pembuktian terbalik yang dilaksanakan di Indonesia adalah pembukian terbalik yang berimbang

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Bapa, Tuhan Yesus Kristus

dan Roh Kudus atas berkat karunia yang diberikanNya kepada penulis selama

penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis dengan rendah hati

mempersembahkan skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Asas Pembuktian

Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)” kepada dunia pendidikan, guna menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan, khususnya

ilmu pengetahuan hukum.

Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat kelulusan guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Terimakasih tak terhingga kepada seluruh keluargaku, kedua Orang Tua

Tercinta, Ayahanda Lasma Pardede dan Ibunda Dra. Rumondang Siahaan,

mereka berdua adalah orang terhebat yang pernah aku kenal, kepada 3 (tiga)

saudaraku, yaitu Lewi Jeremia Pardede, S.E., Lady Andraneta Pardede,

Dita Margaretha Pardede, S.H., M.H.,. Kalian adalah anugerah Tuhan yang

sangat luar biasa bagi penulis dan kalian menjadi sumber semangat terbesar

bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Karya ini kupersembahkan

(4)

2. Keluarga Besar Pardede dan Siahaan, atas doa dan dukungannnya selama ini

kepada penulis selama kuliah;

3. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., Sekretaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Ibu Prof. Dr., Ningrum Natasya, S.H., MLI., selaku Dosen Penasehat

Akademik selama penulis duduk di bangku pendidikan pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

10.Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Liza

Erwina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dr. Marlina,

S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas kesediaan baik waktu

maupun tenaga dan kesabarannya membimbing, memberi saran, arahan dan

(5)

11.Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pensiun;

12.Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

13.Terimakasih untuk Sahabat-Sahabat Ku : Yusty Riana Purba, S.H., Ristama

Situmorang, S.H., Esteria Maya Rita Lingga, Riswendang Purba, S.H., yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini dan mengenal akan

arti sebuah integritas.

14.Terimakasih juga kepada yang telah mendoakan, membantu dan mendukung

penulis selama penulisan skripsi ini : Albert Lodewik S. Siahaan, Fachul Rozy

Affandi, S.H., Deby Aditya Putri, Singgih Elida Hulu, Berliana Nasution,

Kufner Ferdinan.

15.Terimakasih juga kepada Dorothy Rumapea, S.H., dan Fika Habbina, S.H.,

yang menjadi satu team penulis dalam perlombaan karya tulis, semoga hasil

yang telah kita terima dapat menjadi semangat baru bagi kita kedepannya.

16.Terimakasih juga kepada sahabat penulis : Conarky (Princess Connie Idola

Siahaan dan Arjuna Sirait) atas doa dan semangat yang selalu diberikan

kepada penulis.

17.Terimakasih juga kepada Adek-Adek yang telah mendoakan dan mendukung

penulis selama penulisan skripsi ini : Eko Pahala Naninggolan, Sapta Agung

Prasetya Tobing, Jhon Perdana Purba, Tulus Pardamean Nababan, Poltak

Sijabat, Firman Sanjaya Sinaga, Tri Yanto Jeremia Siagian, Edberg Bobby

(6)

18.Teman-Teman Seperjuangan Stambuk 2008 di Grup C (semester 1 dan 2),

Grup B (semester 3 dst) dan teman-teman Pecinta Departemen Pidana yang

tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu;

19.Seluruh Rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Hidup Mahasiswa!;

20.Para penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data

guna pengerjaan skripsi ini, dan

21.Seluruh orang yang Penulis kenal dan mengenal Penulis.

Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan hasil penulisan skripsi ini

karena kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang Maha Esa, oleh sebab itu besar

harapan Penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang

konstruktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan

sempurna, baik dari segi materi maupun cara penulisannya di masa mendatang.

Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Semoga

Tuhan selalu memberkati kita semua. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi

pembaca dan perkembangan hukum negara di Indonesia.

Medan, April 2012

Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………..i

KATA PENGANTAR………...ii

DAFTAR ISI ………...vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………...1

B. Perumusan Masalah ………8

C. Tujuan Penulisan ………9

D. Manfaat Penulisan ………..9

E. Keaslian Penulisan ………...10

F. Tinjauan Kepustakaan ………..11

G. Metode Penulisan ……….21

H. Sistematika Penulisan ………...24

BAB II PENGATURAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DI INDONESIA A. Sejarah Lahirnya Asas Pembuktian Terbalik ………...27

B. Perbedaan Asas Pembuktian Terbalik dengan Asas Pembuktian di Indonesia ………..34

(8)

D. Asas Pembuktian Terbalik Sebelum Lahirnya Undang-Undang

Tindak Pidana Pencucian Uang ………49

E. Asas Pembuktian Terbalik Setelah Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ………56

BAB III PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Tindak Pidana Pencucian Uang Secara Umum ………59

1. Pengertian Pencucian Uang ………59

2. Tahap Pencucian Uang ………...63

3. Metode Praktek Pencucian Uang ………...67

4. Faktor Pendorong Pencucian Uang ………69

5. Akibat Pencucian Uang ………..72

B. Kedudukan Asas Pembuktian Terbalik dalam KUHAP…………...78

C. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang ………81

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ………...98

B. Saran ………...100

(9)

TINJAUAN HUKUM ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

ABSTRAKSI

Melky S. Pardede* Liza Erwina**

Marlina***

Kejahatan pencucian uang tidak hanya merupakan permasalahan dalam penegakan hukum semata melainkan juga menyangkut pada keamanan nasional dan internasional. Sehubungan dengan hal tersebut Indonesia perlu suatu aturan yang mengatur tindak pidana pencucian uang mengingat dampak yang ditimbulkannya terhadap negara. Mengingat kejahatan pencucian uang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi dan jabatan sehingga sulit dalam memberantasnya, untuk itulah perlu adanya suatu upaya luar biasa dalam mengatasinya yang salah satu caranya adalah dengan menggunakan asas pembuktian terbalik. Permasalahannya bagaimana pengaturan asas pembuktian terbalik menurut ketentuan hukum di Indonesia serta bagaimana penerapan asas pembuktian terbalik dalam praktek peradilan perkara tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative yang menitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan kebijakan hukum pidana yang akan diambil dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang. Analitis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif.

Pengaturan mengenai asas pembuktian terbalik diterapkan dalam proses peradilan di Indoneia pada awalnya dilaksanakan karena sulitnya menangai kasus pencucian uang dan korupsi di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka pengaturan mengenai pembuktian terbalik mulai diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sampai pada Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 terhadap tindak pidana korupsi serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sampai pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 terhadap tindak pidana pencucian uang. Kedudukan asas pembuktian terbalik pada dasarnya tidak diatur dalam KUHAP, namun terdapat pengecualian terhadap tindak pidana tertentu. Pembuktian yang dianut dalam KUHAP yang diwajibkan terhadap beban pembuktian adalah Jaksa Penuntut Umum sedangkan dalam pembuktian terbalik selain Jaksa dibebani dalam hal pembuktian, terdakwa juga dibebani pembuktian terhadap harta kekayaannya.

Penerapan asas pembuktian terbalik yang dilaksanakan di Indonesia adalah pembukian terbalik yang berimbang

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbuatan tindak pidana pencucian uang pada umumnya diartikan sebagai

suatu proses yang dilakukan untuk mengubah hasil kejahatan seperti hasil korupsi,

kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan, dan kejahatan serius lainnya,

sehingga hasil kejahatan tersebut menjadi nampak seperti hasil dari kegiatan yang

sah karena asal usulnya sudah disamarkan atau disembunyikan.

Menurut Sarah N. Welling, money laundering dimulai dengan adanya dirty

money atau “uang kotor” atau “uang haram”. Menurut welling, uang dapat

menjadi kotor dengan dua cara:1

1. Melalui pengelakan pajak (tax evasion). “Pengelakan pajak” ialah memperoleh uang secara legal atau halal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan pajak lebih sedikit daripada yang sebenarnya diperoleh.

2. Memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum. Teknik-teknik yang biasa dilakukan untuk hal itu antara lain ialah penjualan obat-obatan terlarang atau perdagangan narkoba secara gelap (drug sales atau drug trafficking), perjudian gelap (illegal gambling), penyuapan (bribery), terorisme (terrorism), pelacuran (prostitution), perdagangan senjata (arms trafficking), penyelundupan minuman keras, tembakau, dan pornografi (smuggling of contraband alcohol,

tobacco, pornography), penyelundupan imigran gelap (illegal

immigration rackets atau people smuggling), dan kejahatan kerah putih (white collar crime).

Sebagian besar tindak pidana yang terjadi khususnya pengelakan pajak,

korupsi, illegal logging dan narkoba pada dasarnya bermotifkan ekonomi. Tanpa

adanya suatu kepentingan ekonomi maka tindak pidana tersebut tidak akan terjadi.

1

(11)

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang semakin canggih,

berdampak pada modus operandi kejahatan yang semakin canggih juga. Pada

dasarnya kejahatan jenis ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang

mempunyai status sosial menengah ke atas dalam masyarakat, atau dapat

dikatakan sebagai suatu tindak kecurangan yang dilakukan oleh seseorang yang

bekerja pada pemerintahan maupun swasta, yang memiliki posisi dan wewenang

yang dapat mempengaruhi suatu kebijakan dan keputusan. Kejahatan seperti ini

dikenal dengan dengan istilah kejahatan kerah putih (White collar crime).

Memenuhi suatu upaya untuk mengetahui lebih lanjut karakter White

Collar Crime itu, barangkali dapat dicermati kerangka kejahatan kerah putih yang

diperkenalkan Laura Snider:2

1. Pelanggaran hukum yang dilakukan merupakan bagian atau terkait erat

dengan jabatan resmi. Hal ini diketahui sebagai instrumen pokok yang

memungkinkan kejahatan dapat dilaksanakan.

2. Melibatkan pelanggaran terhadap kepercayaan yang diberikan. Apa yang

dilakukan oleh para pelaku tersebut merupakan violation of public trust,

yaitu pengkhianatan atas kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.

Pelanggaran ini dapat diidentikan dengan penyalahgunaan kekuasaan

(abuse of power), dan cacat moral yang dapat menggoncangkan

sendi-sendi moralitas masyarakat.

2

(12)

3. Tidak ada paksaan fisik secara langsung, meskipun kerugian yang

ditimbulkan banyak mencederai fisik banyak orang. Dalam kasus-kasus

White Collar Crime yang kini sebagian menjalani proses hukum di

Indonesia, hampir dapat dipastikan tidak ada unsur paksaan secara fisik,

kendatipun kerugian negara secara fisik cukup luar biasa.

4. Tujuannya adalah uang, prestise, dan kekuasaan. Ketiga hal inilah menjadi

tujuan hampir semua tindak pidana korupsi, baik yang terorganisir maupun

tidak.

5. Secara khusus terdapat pihak-pihak yang sengaja diuntungkan dengan

kejahatan itu. Dilihat dari sifat terorganisirnya, maka sudah barang tentu

terdapat pihak-pihak yang secara strategis akan memperoleh keuntungan

lebih besar, dan oleh karenanya rela melakukan berbagai macam cara agar

kejahatan ini tidak terungkap.

6. Adanya usaha untuk menyamarkan kejahatan yang dilakukan, ada upaya

menggunakan kekuasaan untuk mencegah diterapkannya ketentuan hukum

yang berlaku.

Berjalannya kegiatan pencucian uang atau money laundering yang

dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan dan oleh para penjahat sangat

disadari oleh masyarakat luas akan membawa kerugian yang sangat besar bagi

masyarakat sendiri. Menurut Pemerintah Kanada dalam kertas kerja berjudul

Electonic Money Laundering: An Environmental Scan yang dikeluarkan oleh

(13)

yang ditimbulkan oleh kegiatan money laundering terhadap masyarakat.

Konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan itu dapat berupa:3

a. Money laundering memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba,

para penyelundup, dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas

kegiatan operasinya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan

hukum untuk memberantasnya dan biaya perawatan serta pengobatan

kesehatan bagi para korban atau para pecandu narkoba.

b. Kegiatan money laundering mempunyai potensi untuk merongrong

masyarakat keuangan (financial community) sebagai akibat demikian

besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi

untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran

jumlah uang haram yang besar.

c. Pencucian (laundering) mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak

dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur

dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.

d. Mudahnya uang masuk ke Kanada telah menarik unsur yang tidak

diinginkan melalui perbatasan, menurunkan tingkat kualitas hidup, dan

meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan nasional.

Kejahatan money laundering tidak hanya merupakan permasalahan dalam

bidang penegakan hukum semata, melainkan juga menyangkut pada keamanan

nasional dan internasional. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka

3

(14)

upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang telah menjadi

perhatian internasional. Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dari

pencucian uang ini sudah mencapai titik yang memprihatinkan, maka berdasarkan

hasil konvensi Vienna 1988 lahirlah United National Convention Agains Illicit

Traffic in Nacotics Drugs and Psyhotropics Substances (Vienna Drugs

Convention, 1988), yang merupakan tonggak awal dari upaya memberantas

pencucian uang dari kejahatan yang berkaitan dengan narkotika dan psikotropika.

Dan Indonesia merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi konvensi ini,

sehingga Indonesia memiliki keharusan untuk melakukan kriminalisasi pencucian

uang melalui hukum di Indonesia.

Berdasarkan hasil konvensi Vienna 1988 maka dikukuhkan gerakan

pemberantasan pencucian uang secara global dalam bentuk International Anti

Money Laundering Legal Regime. Sebagai tindak lanjut gerakan tersebut maka

pada KTT G-7 1989 di Prancis dibentuklah Financial Action Task Force (FATF),

yang merupakan komisi khusus dalam menjalankan tugas Rezin Anti Pencucian

Uang. Tugas utama dari FATF adalah memantau perkembangan teknik pencucian

uang, menganalisa kasus yang telah terjadi baik tingkat nasional maupun

internasional, serta menyusun suatu kerangka dasar tindakan dalam upaya

memerangi tindak pidana pencucian uang.4

Pada tahun 2000, FATF memasukkan Indonesia sebagai negara yang tidak

kooperatif dalam memberantas pencucian uang dan terdaftar dalam Non

4

(15)

Coorporation Countries or Territories (NCCT). Hal ini disebabkan karena sampai

saat itu Indonesia belum memiliki Undang-Undang Anti Pencucian Uang. Selain

itu juga disebabkan rentannya kebijakan pengaturan sektor industri keuangan dan

juga hasil tindak pidana dari korupsi, penyuapan, psikotropika dan narkotika serta

illegal logging juga cukup besar.

Akhirnya untuk menyikapi kondisi tersebut maka pada tahun 2002,

Indonesia telah menetapkan kriminalisasi pencucian uang dengan disahkannya

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 ini dianggap masih

memiliki banyak kelemahan sehingga Indonesia masih terdaftar dalam

Coorporation Countries or Territories (NCCT). Sehingga Indonesia

memperbaikinya dengan melakukan perubahan dan penambahan melalui

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang terutama ketentuan pasal 1

angka 4 dan angka 6 dan menambah 2 angka baru dengan harapan terhindar dari

sanksi FATF.

Perkembangan yang begitu pesat dalam berbagai segi kehidupan sehingga

membutuhkan perkembangan dalam segi penegakan hukumnya, maka Undang

Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ini diganti dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

(16)

Di Indonesia kejahatan pencucian uang merupakan kejahatan yang serius

dan sangat sulit dalam melakukan pembuktiannya. Hal ini disebabkan oleh

pelaku-pelaku yang melakukan pencucian uang merupakan orang-orang yang

memiliki pendidikan tingg, jabatan serta hubungan birokrasi dengan orang-orang

pemerintahan sehingga sangat sulit untuk menjerat para pelaku. Sehingga

dibutuhkan suatu upaya luar bisa untuk dapat menjerat para pelaku. Salah satu

cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan asas pembuktian terbalik.

Pada awalnya sistem pembuktian terbalik sudah dikenal dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi. Yang dalam hal pembuktian diletakkan

pada satu pihak, dimana pada umumnya diletakkan pada Penuntut Umum, namun

dalam perkara tindak pidana korupsi dan juga tindak pidana pencucian uang,

beban pembuktian tidal lagi pada Penuntut Umum melainkan pada terdakwa.

Ketentuan pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan

bahwa:

“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib

membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak

pidana”.5

Berdasarkan pernyataan diatas dapat terlihat bahwa beban pembuktian

tidak diberikan kepada Penuntut Umum melainkan kepada terdakwa sendiri.

Proses inilah yang disebut sebagai beban pembuktian terbalik.

5

(17)

Pada kenyataanya penggunaan beban pembuktian terbalik pada tindak

pidana pencucian uang belum dapat terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan

belum adanya pengaturan yang jelas mengenai penerapan beban pembuktian

terbalik serta argumentasi hukum yang diungkap oleh para pakar hukum yang

menganggap bahwa penggunaan beban pembukt ian terbalik bertentangan dengan

asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) juga akan mempengaruhi

sulitnya pelaksanaan beban pembuktian terbalik dalam sistem peradilan di

Indonesia.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat judul

“Tinjauan Hukum Asas Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana

Pencucian Uang (Money Laundering).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih

beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun

permasalahan yang akan dibahas, antara lain:

1. Bagaimana pengaturan asas pembuktian terbalik menurut ketentuan

hukum acara di Indonesia?

2. Bagaimana penerapan asas pembuktian terbalik dalam praktek peradilan

(18)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah penulis kemukakan di atas,

maka dapat diketahui bahwa tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan asas pembuktian terbalik menurut

ketentuan yang berlaku di Indonesia.

2. Untuk mengetahui penerapan asas pembuktian terbalik dalam praktek

peradilan perkara tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat teoritis:

a. Kiranya kehadiran skripsi ini mampu mampu memberikan sumbangan

pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai

penerapan asas pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana

pencucian uang

b. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para

pihak yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai tindak

pidana pencucian uang, baik itu mahasiswa, akademisi, maupun

masyarakat luas.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan informasi hukum kepada semua kalangan, terutama

penegak hukum tentang penerapan asas pembuktian terbalik pada tindak

(19)

b. Dapat memberi masukan bagi pembentuk undang-undang, aparat penegak

hukum, maupun pihak lain dalam menanggulangi kendala yang ditemukan

dalam penerapan asas pembuktian terbalik dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia tentang tindak pidana pencucian uang.

E. Keaslian Penulisan

Penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul

skripsi hukum pidana yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, sebelum melakukan penulisan skripsi berjudul “Tinjauan Hukum Asas

Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)”, guna mengetahui orisinalitas penulisan.

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat

tertanggal 22 Desember 2011 menyatakan ada beberapa judul yang memiliki

sedikit kesamaan, namum dinilai berbeda dengan judul-judul yang ada. Adapun

judul skripsi tersebut antara lain:

1. Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Menggunakan Uang Elektronik (

E-Money) Dan Upaya Pencegahannya. (Disusun oleh Indra Parluhutan S.

/060200027).

2. Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam Pencucian Uang

(Money Laundering). (Disusun oleh Khaerul H. Tanjung / 990200095).

3. Kejahatan Money Laundering Suatu Tinjauan Dalam Prespektif Hukum

Pidana Dan Kaitannya Dengan Rahasia Bank. (Disusun oleh Selamat Ell Gulo

(20)

4. Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang

Tindak Pidana Korupsi. (Disusun oleh Zulpadli / 920200257).

5. Kedudukan Asas Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam

Sistem HukumAcara Pidana Di Indonesia. (Disusun oleh Murehi /

000200119).

6. Tinjauan Yuridis Sistem Pembukt ian Terbalik Terhadap Gratifikasi Dalam

Tindak Pidana Korupsi. (Disusun oleh Bardixcon Tamba / 070200122).

Penulis juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media

internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, ada penulis lain yang

pernah mengangkat topik tersebut, namun substansinya berbeda dengan substansi

dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil

pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan

aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media

elektronik. Oleh karena itu, Penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya

asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

Penulisan skripsi ini membahas tentang Tinjauan Hukum Asas

Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering).

Adapun tinjauan kepustakaan yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini adalah

(21)

Pengertian Tindak Pidana

Di dalam KUHP (WvS) dikenal istilah “strafbaar feit”. Kepustakaan

tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat

undang-undang dalam merumuskan undang-undang mempergunakan istilah

peristiwa pidana, atau perbuatan pidana, atau tindak pidana.6

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan

yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah

strafbaar feit adalah:

Walaupun istilah ini

terdapat dalam Wetboek van Straftrecht (WvS) Belanda dengan demikian juga

WvS Hindia Belanda (KUHP), namum sampai sekarang belum ada penjelasan

resmi dari pengertian strafbaar feit tersebut. Karena itulah sehingga para ahli

hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah tersebut.

7

1. Tindak pidana, dapat dikatakan istilah resmi dalam

undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan

perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tantang Komisi Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi.

2. Peristiwa pidana, Pembentuk UU pernah menggunakan istilah

peristiwa hukum, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun

1950 pasal 14 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap orang jang dituntut karena

6

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993, halaman 90.

7

(22)

disangka melakukan sesuatu peristiwa pidana berhak dianggap tak

bersalah, sampai dibuktikan kesalahannja dalam suatu sidang

pengadilan, menurut aturan-aturan hukum jang berlaku, dan ia dalam

sidang itu diberikan segala djaminan jang telah ditentukan dan jang

perlu untuk pembelaan.”

Dalam hal ini ada beberapa ahli hukum yang mempergunakan istilah

peristiwa pidana, seperti:8

e. Utrecht, memakai istilah peristiwa pidana karena istilah peristiwa itu

meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen) atau suatu melalaikan

(verzuin atau nalaten) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan

oleh karena perbuatan atau melalaikan itu), dan peristiwa pidana

adalah suatu peristiwa hukum, yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan

yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.

f. Andi Zainal Abidin Farid, menggunakan istilah peristiwa pidana

dengan rumusan peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang

diancam pidana, melawan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh

orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan itu.

g. Demikian pula Rusli Effendy, memakai istilah peristiwa pidana yang

menyatakan bahwa peristiwa pidana haruslah dijadikan dan diartikan

sebagai kata majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lain, sebab

kalau dipakai perkataan peristiwa saja, maka hal ini dapat mempunyai

arti yang lain.

8

(23)

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit.

4. Pelanggaran pidana,

5. Perbuatan yang boleh dihukum,

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk

Undang-Undang dalam Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata

Api dan Bahan Peledak.

7. Perbuatan pidana, Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana,

yang didefenisikan beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”. Istilah

perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut :9

1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia,

yaitu semua kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan

orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya.

Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman

pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat.

Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian

yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang

yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

9

(24)

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih

tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak

yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama adanya

kejadian tertentu (perbuatan); dan kedua, adanya orang yang

berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

Perkataan “feit” itu sendiri didalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari

suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar”

berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” itu

dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat

dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita

ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi

dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.10

Vos terlebih dahulu mengemukakan arti delict sebagai

“Tatbestandmassigheit” dan delik sebagai “Wesenschau”. Makna

tatbestandmassigheit” merupakan kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan

yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka di situ telah ada

delik. Sedangkan makna “Wesenschau” merupakan kelakuan yang mencocoki

ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka baru

merupakan delik apabila kelakuan itu “dem Wesen nach” yaitu menurut sifatnya

cocok dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang

bersangkutan. Seperti misalnya kejahatan penadahan di situ tidak mungkin

dimaksudkan seseorang yang telah membeli barangnya sendiri dari orang lain

10

(25)

yang berhasil mencuri barang tersebut karena hakikat penadahan mempunyai

makna yang tidak untuk mengancam pidana seseoarng yang membeli barangnya

sendiri meskipun nampaknya kelakuannya telah mencocoki rumusan

undang-undang.11

Menurut Pompe pengertian strafbaar feit dibedakan:12

a. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah

suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si

pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata

hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;

b. Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar

feit” adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang

dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Sejalan dengan defenisi yang membedakan antara pengertian menurut

toeri dan menurut hukum positif itu, juga dapat dikemukakan pandangan dari

J. E. Jonkers yang telah memberikan defenisi “strafbaar feit” menjadi dua

pengertian :13

a. Defenisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu

kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang;

b. Defenisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian

strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum

berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan.

11 Bambang Poernomo, Op. Cit.

12

Ibid, halaman 91.

(26)

Pengertian “strafbaar feit” menurut Simons dalam rumusannya adalah

tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun

tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas

tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang

dapat dihukum.14

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa

tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan.

1. Pengertian Asas Pembuktian Terbalik

Pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dalam proses

pemeriksaan sidang di pengadilan. Dengan adanya proses pembuktian maka dapat

ditentukan seseorang bersalah dan dapat dihukum apabila proses pembuktian telah

sesuai dengan alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Dan

sebaliknya, apabila dalam proses pembuktian tidak memenuhi dengan alat-alat

bukti yang ada maka pelaku dapat dibebaskan dari hukum.

Pembuktian dalam sidang pengadilan merupakan titik sentral pemeriksaan

perkara dalam sidang pengadilan. M. Yahya Harahap memberikan pengertian

pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman

tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang

14

(27)

mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh

dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.15

M Yahya Harahap menyebutkan ada beberapa teori yang berhubungan

dengan sistem pembuktian yaitu:16

1. Teori Conviction-in Time

Sistem pembukt ian conviction-in time menentukan salah tidaknya

seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan”

hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan

terdakwa. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari

alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil

pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik

keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.

2. Teori Conviction-Raisonce

Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap

memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya

terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan

hakin “dibatasi”. Dalam sistem pembuktian ini keyakinan hakim harus

didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib

menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari

keyakinannya atas kesalahan terdakwa.

15

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, halaman 273.

16

(28)

3. Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan

pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian

menurut keyakinan atau conviction-in time.

Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan hakim

tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa.

Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan menentukan

salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip

pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang.

Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata

“digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi

syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang,

sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan

keyakinan hakim.

4. Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief

Wettelijk Stelsel).

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan

teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif

dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.

Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak

belakang itu, terwujudlah suatu “sistem pembuktian menurut

(29)

terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada

cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan

yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus

keterbuktian kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim.

Pembalikan beban pembuktian sering juga disebut dengan beban

pembuktian terbalik dalam bahasa Belanda disamakan dengan omkering van het

bewejslast. Selain itu, beberapa kalangan yang menyamakan istilah pembalikan

beban pembuktian dengan beban pembuktian yang dipandang dalam bahasa

Inggris dengan shifting burden of proof. Menurut legal dictionary, shifting burden

of proof diartikan sebagai: “process of transferring the obligation to affirmatively

prove a fact in controversy or an issue brought during a lawsuit from one party in

a legal controversy to the other party”(proses pemindahan kewajiban untuk

menguatkan pembuktian suatu fakta yang bertentangan atau suatu isyu yang

diajukan dalam gugutan diajukan oleh salah satu pihak yang menjadi pertentangan

hukum dengan pihak yang lain).17

Menurut Indriyanto Seno Adji “pembalikan beban pembuktian yang total

atau absolut” adalah kewajiban bagi penyelenggara negara yang ditetapkan oleh

undang-undang dikhususkan untuk gratifikasi dan pelaporan harta kekayaan.18

17

Marwan Effendy, Korupsi dan Pencegahan, Timpani Publishing, Jakarta, 2010, halaman 141.

Menurut Simon Cooper, “reversal burden of proof disprove at least one element

of the offence.” (pembalikan beban pembuktian adalah bilamana terdakwa

18

(30)

diwajibkan untuk membuktikan elemen / unsur yang didakwakan padanya atau

untuk tidak membuktikan setidak-tidaknya satu elemen / unsur dari terdakwa)

lebih lanjut dikatakan bahwa: “ifthe defendant has such a burden and fails to

persuade the jury (or magistrates) that his defence is more probably true than not,

he will stand convicted” (apabila terdakwa mempunyai pembalikan beban

pembuktian dan ia gagal untuk meyakinkan juri atau majelis hakim bahwa

pembelaannya itu benar adanya, maka ia menghadapi pemidanaan.)19

Sistem pembuktian terbalik ini merupakan sistem pembuktian diluar dari

kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana, karena pada hukum

acara pidana di Indonesia beban pembuktian diserahkan kepada penuntut umum

bukan kepada terdakwa.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian diperlukan sebagai suatu tipe pemikiran secara

sistematis yang dipergunakan dalam penelitian yang berguna untuk mencapai

keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang

penulis pakai adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian

hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai

penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder.20

19

Ibid.

Dapat dikatakan bahwa pendekatan yang bersifat yuridis normative adalah dengan

mengkaji, menganalisis data sekunder berupa bahan-bahan hukum terutama bahan

20

(31)

hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai

seperangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam suatu sistem

perundangan-undangan yang mengatur kehidupan manusia.

Penelitian hukum normatif menurut Soerjono Soekanto terdiri dari :21

a. penelitian terhadap asas-asas hukum;

b. penelitian terhadap sistematika hukum;

c. penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;

d. penelitian sejarah hukum; dan

e. penelitian perbandingan hukum.

2. Data dan Sumber Data

Penelitian hukum yang bersifat normatif selalu menitikberatkan pada data

sekunder. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari

objek penelitian. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tertier.

Data sekunder pada penelitian dapat dibedakan menjadi :

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait,

antara lain: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian dan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP).

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku yang berkaitan dengan

21

(32)

judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan

sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media

elektronik.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus

hukum, jurnal ilmiah, dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat

dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan

skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi

pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu

internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini digunakan dengan memadukan,

mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang

berhubungan dengan bahasan dari judul ini.

4. Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka

biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya. Metode analisis

data yang dilakukan penulis adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan:22

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan

dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas

agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

22

(33)

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari

permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif,

yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

Analisa data yang digunakan dalam skripsi ini adalah kualitatif yang

berarti bahwa penelitian dilakukan dengan mengikhtisarkan hasil pengumpulan

data selengkap mungkin serta memilahnya menjadi suatu konsep, kategori, atau

tema tertentu sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam

skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Pembahasan dan Penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar

terciptanya karya ilmiah yang baik. Maka dari itu, penulis membagi skripsi ini

dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain.

Adapun sistematika penulisan yang terdapat di dalam skripsi ini adalah

sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan

Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan

Sistematika Penulisan.

BAB II : PENGATURAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DI

(34)

Pada bab ini akan membahas mengenai sejarah lahirnya

pembuktian terbalik, perbedaan asas pembuktian terbalik dengan

asas pembuktian di Indonesia, penerapan asas pembuktian terbalik

di beberapa negara, serta penerapan asas pembuktian terbalik

sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

BAB III : PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Pada bab ini akan membahas mengenai pengertian pencucian

uang, tahap pencucian uang, metode praktek pencucian uang,

faktor pendorong pencucian uang, serta dampak dari pencucian

uang, sistem pembuktian yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga membahas masalah

pembuktian terbalik seperti yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang serta penerapan pembuktian

terbalik dalam perkara tindak pidana pencucian uang.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab terakhir ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian

awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan

dari substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis

(35)

BAB II

PENGATURAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DI INDONESIA

A. Sejarah Lahirnya Asas Pembuktian Terbalik

Pembuktian terbalik secara kronologis bermula dari sistem pembuktian

yang dikenal dari negara yang menganut rumpun Anglo-Saxon dan hanya terbatas

pada “certain cases” khususnya terhadap tindak pidana “gratification” atau

pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” (suap).23

Perkembanganyang ada di beberapa negara telah menerapkan sistem

pembuktian terbalik ini seperti di United Kingdom of Great Britain, Republik

Singapura, Malaysia, Hongkong, Pakistan, India, dan lain sebagainya. Di United

Kingdom of Great Britain atas dasar “Prevention of corruption Act 1916”

terdapat pengaturan apa yang dinamakan “Praduga korupsi untuk kasus-kasus

tertentu” (Presumption of corruption in certain cases).

Hal ini dimungkinkan

karena hampir tidak mungkin kejahatan tersebut dibuktikan dengan sistem

pembuktian biasa.

24

Di Hongkong misalnya,

pembuktian terbalik ini diatur dalam Pasal 10 (1b) Prevention of Corruption

Ordonance 1970, Added 1974: Pasal 11 ayat (1) Hong Kong Bill of Right

Ordonance 1991. Di India pembalikan beban pembuktian diatur berdasarkan

ketentuan Pasal 4 ayat (1) of The Prevention of Corruption Art (II of 1947).25

23 Lilik Mulyadi,

Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 11.

Di

Malaysia, atas dasar Pasal 42 Akta Pencegahan Rasuah 1997 (“Anti Corruption

24

Ibid.

25

Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 8. No. 2-Juni 2011.

(36)

Act 1997 (Act 575)”) yang mulai berlaku sejak tanggal 8 Januari 1998, dan di

Singapura atas dasar “Prevention of Corruption Act (Chapter 241)”.26

Praktek di beberapa negara di atas, penggunaan pembuktian terbalik

tersebut dilakukan secara seimbang, hal ini terjadi karena pembuktian terbalik

tidak boleh melanggar hak terdakwa sehingga dalam prakteknya beban

pembuktian yang digunakan menjadi beban pembuktian yang seimbang.

Pembuktian terbalik untuk menetapkan perampasan aset tindak pidana di

Amerika sejak tahun 2000, telah dipraktikkan dalam sistem hukum perampasan

aset tindak pidana melalui sarana hukum keperdataan (civil based forfeiture atau

non-conviction based forfeiture / NCB). Sebagaimana diketahui, sejak lama

diakui sistem hukum perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana

(criminal based forfeiture/CB) yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.27

Perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana yang

dilaksanakan dalam sistem hukum di Indonesia memerlukan waktu yang relatif

lama untuk sampai pada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Berbeda

dengan perampasan aset melalui sarana hukum pidana yang memerlukan waktu

yang lama, perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum keperdataan

yang relatif lebih cepat karena penuntut umun dapat segara membawa terdakwa ke

pengadilan dengan cara pembuktian terbalik atas aset terdakwa yag diduga berasal

dari tindak pidana.

26

Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 12.

27

(37)

Praktik NCB di Amerika Serikat dan Inggris, juga di beberapa negara Uni

Eropa, berhasil mengembalikan keuangan secara signifikan dari organisasi

kejahatan, terutama yang berasal dari kejahatan narkotika dan pencucian uang.28

Lahirnya konsep NCB disebabkan perkembangan organisasi kejahatan

transnasional pasca perang dingin telah meningkatkan aset organisasi kejahatan

tiga kali APBN negara berkembang, terutama diperoleh dari kejahatan narkotika

dan pencucian uang. Perkembangan itu dipandang sebagai ancaman terhadap

ketenteraman dan ketertiban dunia. Fakta tersebut membuktikan bahwa efek jera

penghukuman tidak cukup dan tidak berhasil secara tuntas memerangi kejahatan

transnasional. Bahkan, di dalam penjara sekalipun, organisasi kejahatan dapat

mengendalikan aktivitas kejahatannya, sedangkan ancaman hukuman mati dalam

sistem hukum negara maju telanjur tidak diakui.

Model perampasan aset NCB dengan pembuktian terbalik tidak melanggar HAM

karena didasarkan pada teori balanced probability principle, yang memisahkan

antara aset tindak pidana dan pemiliknya. Hal itu didasarkan premis bahwa

perlindungan hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah (praduga tak bersalah)

dan prinsip non-self incrimination harus diimbangi kewajiban terdakwa

membuktikan asal-usul aset yang dimilikinya. Teori ini masih memberikan

jaminan perlindungan hak asasi tersangka untuk dianggap tidak bersalah,

sebaliknya tidak memberikan jaminan perlindungan hak kepemilikan terdakwa

atas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, kecuali yang bersangkutan dapat

membuktikan sebaliknya.

28

(38)

Beranjak dari kenyataan tersebut, terjadi perubahan drastis dalam

kebijakan kriminal, khususnya di negara maju, yaitu strategi perampasan aset

organisasi kejahatan atau yang diduga berasal dari kejahatan terbukti lebih ampuh

sehingga dapat ”mematikan” kehidupan organisasi kejahatan. Pengalaman Drug

Enforcement Admistration (DEA) menggunakan cara perampasan melalui sarana

hukum perdata (civil based forfeiture) berhasil secara signifikan membekukan dan

merampas aset organisasi kejahatan. Langkah hukum pembuktian terbalik dengan

NCB, di Amerika Serikat berdasarkan UU Pembaruan tentang Perampasan Aset

melalui Keperdataan (Civil Asset Forfeiture Reform Act/ CAFRA) Tahun 2000

dan di Inggris dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Proceed of Crime Act)

Tahun 2002.29

Dasar lahirnya konstruksi beban pembuktian terbalik dalam sistem hukum

acara pidana di Indonesia pada awalnya dilatarbelakangi dari problem penegakan

hukum dalam kasus korupsi. Korupsi kerap dilakukan secara sistematis, terencana

oleh oknum yang berpendidikan, birokrat dan pengusaha yang secara politis dan

ekonomi amat kuat, sehingga gampang mempengaruhi jalannya proses peradilan.

Akibatnya, pembuktian kasus tindak pidana korupsi di Indonesia sulit dilakukan.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut, salah satu upayanya adalah memformulasikan

ulang pemenuhan beban pembuktian dalam proses peradilan yang dilakukan

aparat penegak hukum, yakni dengan mengenalkan sistem beban pembuktian

terbalik yang seimbang.

29

(39)

Diharapkan dengan menggunakan beban pembuktian terbalik (omkering

van het bewijslat atau reversal burden of proof/onus of proof) yang berasumsi

dengan pembuktian terbalik maka diharapkan sebuah kasus dapat diberantas

dengan maksimal. Pembalikan beban pembuktian dalam peraturan

perundang-undangan korupsi pada awalnya tidak ada diatur karena perspektif kebijakan

legislasi memandang perbuatan korupsi sebagai delik biasa sehingga

penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak

memerlukan perangkat hukum yang luar biasa (extra ordinary measures).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, secara eksplisit telah diatur mengenai pembalikan beban pembuktian.

Peraturan selanjutnya, pembalikan beban pembuktian juga tetap diatur dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Kemudian beberapa ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang memiliki kelemahan selanjutnya

telah diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.30

Secara eksplisit ketentuan Pasal 12 B UU Nomor 20 Tahun 2001

selengkapnya berbunyi:31

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaraan negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Yang bernilai Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakuakn oleh penerima gratifikasi;

b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

30

Jurnal Legislasi Indonesia, Op. Cit.

31

(40)

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian secara terbatas di dalam

pasal 12 B ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dianggap

sebagai instrument luar biasa disebabkan karena cara ini menyimpang dari prinsip

umum hukum pidana yang dirumuskan dalam KUHAP.32

Selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, sebagai

instrument hukum ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, Pemerintah

Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan penting yaitu:33

Pertama, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tipikor yang

mencantumkan kriminalisasi atas perbuatan (baru) tertentu ke dalam lingkup

tindak pidana korupsi yaitu antara lain, perbuatan memperkaya diri sendiri secara

ilegal (illicit enrichment); suap terhadap pejabat publik asing atau pejabat

organisasi internasional (Bribery of Foreign Public Officials and Officials of

Public International Organization), dan suap dikalangan sektor swasta (Bribery in

the Private Sector); penyalahgunaan wewenang (Abuse of Function). Langkah

kriminalisasi dalam naskah Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (RUU TIPIKOR) dipersiapkan untuk mengganti dan

mencabut pemberlakuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

32

H. Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 78.

33

(41)

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut memuat ketentuan

mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat dalam pasal 12B ayat (1) huruf a

dan b, Pasal 3734, Pasal 37A35 dan Pasal 38B36

Kedua, pasca ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, adalah

pemberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk mengganti Undang-Undang

Tindak Pidana Pencucian Uang sebelumnya. Di dalam undang-undang tersebut .

34

Pasal 37: (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

35

Pasal 37 A: (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

36

(42)

telah dicantumkan ketentuan pembuktian terbalik dalam beberapa pasal yaitu

pasal 7737, pasal 7838, dan pasal 8139.

B. Perbedaan Asas Pembuktian Terbalik dengan Asas Pembuktian di

Indonesia

Perbedaan asas pembuktian terbalik dengan asas pembuktian yang dalam

KUHAP di Indonesia adalah dengan mengetahui tentang beban pembuktian.

Beban pembuktian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada salah

satu pihak untuk memberikan suatu fakta di depan sidang pengadilan untuk

membuktikan kebenaran atas suatu tuduhan atau pernyataan. Untuk dapat

menbedakan pembuktian biasa dengan pembuktian terbalik dapat dilihat dari

macam-macam pembuktian yang ada, yaitu:

1. Beban Pembuktian Biasa.

Pembuktian dalam hukum pidana pada hakikatnya merupakan sesuatu

yang sangat penting, hal ini dikarenakan pembuktian merupakan suatu proses

dalam menentukan dan menyatakan tentang kesalahan seseorang. Proses

pembuktian harus dilakukan melalui proses peradilan sehingga akan menentukan

apakah seseorang dapat dijatuhi pidana yang dalam hal ini melalui hasil

37

Pasal 77: Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

38

Pasal 78 ayat (1): Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Ayat (2): Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.

39

(43)

pemeriksaan dalam persidangan terbukti secara sah dan menyakinkan pelaku

melakukan tindak pidana, selain itu pelaku dapat juga dibebaskan dari segala

tuntutan hukum apabila apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan tersebut

bukan merupakan suatu tindak pidana.

Dikaji secara umum, kata pembuktian berasal dari kata “bukti” yang

berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan

kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut).40 Pembuktian adalah perbuatan

membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi (memperhatikan) bukti,

melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan

dan meyakinkan.41

Menurut M. Yahya Harahap, memberikan pengertian pembuktian adalah:42

Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kasalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.

Sedangkan membuktikan itu sendiri mengandung pengertian:

“memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa

perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran

peristiwa yang diajukan.”43

40

Lilik Mulyadi, Op. Cit., halaman 84.

41

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 207.

42

M. Yahya Harahap, Op. Cit., halaman 273.

43

(44)

Proses pelaksanaan pembuktian pada dasarnya sudah dapat dilaksanakan

sejak proses penyidikan terhadap suatu perkara pidana dilakukan. Tindakan

penyidikan yang dilakukan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang

diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan,

dalam hal ini telah dilakukan suatu tahap pembuktian. Sama halnya dengan proses

penyidikan, dalam melakukan penyidikan oleh penyidik untuk mencari serta

mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Proses pembuktian pada dasarnya memang lebih dominan pada sidang

pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan

memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat

memberikan putusan seadil mungkin.

Proses pembukt ian harus ada hubungan yang saling terkait mengenai apa

yang akan diterapkan oleh hakim dalam menentukan kebenaran materiil melalui

tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek

sebagai berikut:44

a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti.

b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya.

c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu.

d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.

Berhubungan dengan yang telah diuraikan di atas, dalam proses

pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksa yang dilakukan oleh majelis

hakim dalam menangani perkara tersebut, kemudian ada penuntut umum yang

44

(45)

melakukan penuntutan dan terdakwa beserta penasehat hukumnya. Pada majelis

hakim melalui kegiatan memeriksa perkara melakukan kegiatan pembuktian

dengan memeriksa fakta dan sekaligus menilai menyatakan kesalahan atau

ketidaksalahan terdakwa tersebut dalam vonisnya. Penuntut umum maupun

terdakwa dan penasehat hukum melakukan kegiatan pembuktian juga, hanya saja

perspektif penuntut umum membuktikan keterlibatan dan kesalahan terdakwa

dalam melakukan suatu tindak pidana, tetapi dari pihak terdakwa dan penasehat

hukumnya melakukan suatu pembuktian yang berbanding terbalik dengan yang

dilakukan oleh penuntut umum.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui apa yang menjadi tujuan

dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan

persidangan, yaitu:45

1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk

meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar

menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau

catatan dakwaan. Dalam hal ini pandangan penuntut umum adalah

pandangan subjektif dari posisi yang objektif.

2. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha

sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti

yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari

tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau

penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang

45

(46)

menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut

disebut bukti kebalikan. Dalam hal ini pandangan terdakwa adalah

pandangan subjektif dari posisi yang objektif.

3. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya

alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut

umum atau penasihat hukum / terdakwa dibuat dasar untuk membuat

keputusan. Dalam hal ini pandangan hakim dinyatakan sebagai

pandangan objektif dari sisi yang objektif pula.

Penjatuhan pidana oleh hakim melalui proses hukum pembukt ian ini

secara umum berorientasi kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang

menentukan:46

“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Pada hakikatnya hukum pembuktian dapat dikategorikan kedalam hukum

pembuktian yang bersifat umum/konvensional dan khusus. Proses dari hukum

pembuktian yang bersifat umum/konvensional, termasuk dalam Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP). Dalam hal ini, hukum pembukt ian yang dilaksanakan dalam proses

persidangan dilakukan secara aktif oleh jaksa penuntut umum untuk menyatakan

kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam surat

46

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Pasal 35 Undang-undang 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mengatur mengenai Pembuktian Terbalik, bahwa dalam sidang pengadilan terdakwa wajib

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,.. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang perubahan

Tindak pidana pencucian uang : yaitu tindakan untuk menempatkan, mentransfer, membayar/membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan

Modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia secara umum dilakukan adalah placement (upaya

Dengan demikian dapat terlihat bahwa pembuktian terbalik merupakan suatu penyimpangan dari hukum pembuktian yang diterapkan terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kejahatan Korporasi pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) tetap dapat dipidana sebagaimana diatur oleh

Pencucian uang (Sinar Grafika Jakarta 2014) 54.. harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. kalimat dalam Pasal ini sama dengan kalimat pada Undang-Undang sebelumnya

13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum khususnya hukum acara pidana dalam penanganan perkara