• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Perilaku Ibu Yang Memiliki Anak Balita Usia 2 -5 Tahun Terhadap Kejadian Diare Di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2006

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Perilaku Ibu Yang Memiliki Anak Balita Usia 2 -5 Tahun Terhadap Kejadian Diare Di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2006"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PERILAKU IBU YANG MEMILIKI ANAK BALITA USIA 2 -5 TAHUN TERHADAP KEJADIAN

DIARE DI KECAMATAN SUKA MAKMUR KABUPATEN ACEH BESAR

TAHUN 2006

TESIS

Oleh

SITI RAHMAH 047023027/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRACT

The incident rate of diarrhea in Indonesia in 2000 was 301 per 1000 population including all age groups and it can result in an extraordinary incident with high mortality frequency. While in Suka Makmur subdistict, Aceh Besar district, the province of Nanggroe Aceh Darussalam, the incident of diarrhea reached 24,9%.

The incident of diarrhea in children under five years old is closely related to the role of risk factor especially the one related to the interaction of mother’s behavior in nursing her child/children and her environment. In addition, mother’s behavior belongs to the risk factor which plays a part in the incident of diarrhea case. In this study, risk factor includes self-hygiene, clean water supply, human waste disposal, liquid waste disposal, garbage disposal, food sanitation, home cleanliness and social activity.

The purpose of this analytical study with case-control design is to examine mother’s action toward self-hygiene, clean water supply, human waste disposal, liquid waste disposal, garbage disposal, food sanitation, home cleanliness an d social activity related to the incident of diarrhea in children of two to five years old in Suka Makmur subdistrict, Aceh Besar district, province of Nanggroe Aceh Darussalam.

The result of this study shows that mother’s action has no influence (p>0,05) on self-hygiene either in case group (92,2%) or control group (87,8%) in terms of clean water supply 67,8% and 78,9% human waste disposal 83,3% and 76,7%, liquid waste disposal 61,1% and 60,0%, garbage disposal 100,0% and 97,8%, home cleanliness 66,7% and 58,9%, and in terms of food sanitation 81,1% and 81,1%. Mother’s social activity is significantly different between case group and control group of children under five years old who were not suffering from diarrhea in the last three months. The risk of mother’s social activity is lower than that of the children under five years old suffering from diarrhea with the value of 63,3%, 43,3% with p<0,05 and OR 0.44, CI 95%.

In general, the behavior of the group of mothers with children of 2-5 years old in Suka Makmur subdistrict in preventing the incident of diarrhea is good even though their social activities are different.

It is suggested that the government need to do a to improve mother’s knowledge of minimizing the risk of the incident of diarrhea in children under five years old especially when doing social activities.

(3)

ABSTRAK

Insiden Rate diare di Indonesia pada tahun 2000 adalah 301 per 1000 penduduk meliputi semua golongan umur dan dapat menimbulkan Kejadia Luar Biasa (KLB) dengan frekuensi kematian tinggi. Angka insiden diare mencapai 24,9% di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Terjadinya kasus diare pada balita tidak terlepas dari peran faktor risiko terutama yang berhubungan dengan interaksi perilaku ibu dalam mengasuh anak dan lingkungannya. Selain itu perilaku ibu termasuk faktor risiko yang ikut berperan dalam terjadinya kasus diare. Faktor risiko dalam penelitian ini meliputi kebersihan diri, penyediaan air bersih, pembuangan tinja, pembuangan limbah cair, pembuangan sampah, sanitasi makanan dan kebersihan rumah serta aktivitas sosial.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan perilaku ibu terhadap kebersihan diri, penyediaan air bersih, pembuangan tinja, pembuangan limbah cair, pembuangan sampah, sanitasi makanan, kebersihan rumah serta pengaruh perilaku aktivitas sosial ibu terhadap kejadian diare pada anak balita usia 2 – 5 tahun di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Metode dalam penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan rancangan Case control.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan perilaku ibu terhadap kebersihan diri dengan kejadian diare balita antara kasus dan kontrol dengan nilai 92,2% dan 87,8% (p>0,05). Tidak ada hubungan perilaku ibu dalam penyediaan air bersih dengan kejadian diare balita antara kasus dan kontrol nilai 67,8% dan 78,9% (p>0,05). Tidak ada hubungan perilaku ibu terhadap pembuangan tinja dengan kejadian diare balita antara kasus dan kontrol nilai 83,3% dan 76,7% (p>0,05). Tidak ada hubungan perilaku ibu terhadap pembuangan limbah cair dengan kejadian balita nilai 61,1% dan 60,0% (p>0,05). Tidak ada hubungan perilaku terhadap pembuangan sampah dengan kejadian diare balita antara kasus dan kontrol nilai 100.0% dan 97,8% (p>0,05). Tidak ada hubungan perilaku terhadap kebersihan rumah dengan kejadian diare balita antara kasus dan kontrol nilai 66,7% dan 58,9% (p>0,05). Tidak ada hubungan perilaku terhadap sanitasi makanan dengan kejadian diare balita antara kasus dan kontrol nilai 81,1% dan 81,1% (p>0,05). Ada hubungan Aktifitas sosial ibu secara bermakna antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dari balita tanpa diare dalam tiga bulan terakhir. Risiko aktivitas sosial ibu lebih rendah dibandingkan balita yang menderita diare yaitu dengan nilai 63,3% : 43,3% dengan (p < 0,05) dan OR 0,44, CI 95%.

Kelompok ibu yang memiliki anak balita usia 2 – 5 tahun secara umum di Kecamatan Suka Makmur perilaku dalam pencegahan kejadian diare sudah baik sedangkan aktivitas sosial berbeda.

Pemerintah perlu melakukan peningkatkan pengetahuan ibu dalam menurunkan risiko kejadian penyakit diare pada balita terutama pada saat melakukan kegiatan aktivitas sosial.

(4)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai “Negara tropis” merupakan kawasan endemik berbagai penyakit menular, seperti malaria, TBC, filariasis, diare dan sebagainya (Achmadi, 2005). Salah satu penyakit menular yang endemis adalah diare yang merupakan penyakit saluran pencernaan. Diare adalah sindroma klinik yang penyebabnya berbeda-beda dan berhubungan dengan sering buang air besar, kehilangan cairan, muntah dan demam. Keadaan ini merupakan gejala infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit maupun intoksikasi bahan kimia (Benenson, 1990).

Di Indonesia diare merupakan masalah utama pada anak, sekitar empat miliar kasus diare di dunia tahun 1996, ada sekitar 2,5 juta kasus berakhir dengan kematian utamanya di negara berkembang pada kelompok usia dibawah dua tahun. Kematian akibat diare pada anak di dunia mencapai 6000 kematian per hari dan satu kematian per 1 detik (Yasmar, 2003). Kejadian diare kira-kira 70% - 80% muncul secara sporadis apabila tersedia fasilitas laboratorium mutakhir untuk menentukan diagnosa secara tepat mengenai diare. Penyakit ini lebih sering berhubungan dengan makanan, minuman, dan hygiene perorangan serta sanitasi lingkungan bersifat akut dan dapat disertai dengan gejala yang lainnya (Kandun, 2000).

(5)

terbatas pada kelompok umur, gender maupun sosial. Berdasarkan laporan kader kesehatan dan fasilitator kesehatan tahun 1998, cause specific death rate diare pada penduduk mencapai 23,57 per 1000 penduduk, dan pada orang dewasa menyebabkan hilangnya hari kerja sehingga produktifitas menurun (Depkes RI, 2000).

Berdasarkan waktu, diare sering terjadi pada saat musim kemarau bahkan dapat menjadi wabah. Hal tersebut berkaitan erat dengan kondisi kesehatan lingkungan yang tidak baik, mengingat pada kondisi tersebut keberadaan air bersih baik kuantitas maupun kualitas menurun, sehingga untuk kepentingan yang menyangkut kebutuhan primer terganggu. Dilain pihak, pada kondisi kemarau atau musim panas populasi vektor penyebar penyakit perut antara lain lalat cenderung naik. Insiden rate diare di Indonesia pada tahun 2000 adalah 301 per 1000 penduduk meliputi semua golongan umur dan 55% terjadi pada balita (Depkes RI, 2003) dan sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan frekuensi dan kematian cukup tinggi. Untuk penyakit diare, faktor risiko yang sangat berperan utamanya interaksi perilaku penduduk dengan lingkungannya. Hasil penelitian Krisnawan (1996) mengatakan bahwa tidak adanya sarana air bersih berperan dalam kejadian diare. Penelitian Nendrosuwito (1996) mengatakan bahwa tidak memiliki jamban keluarga merupakan faktor risiko terjadinya diare. Disamping itu, kondisi fisik rumah yang tidak baik juga merupakan faktor risiko terjadinya diare (Warouw, 2002).

(6)

budaya disuatu wilayah. Perilaku yang berbeda bersama lingkungannya akan menghasilkan pola pemajanan yang berbeda pula yang menghasilkan behavioral exposure yang berbeda satu sama lain. Dengan kata lain bahwa penyakit pada dasarnya merupakan hasil atau outcome dari hubungan interaktif antara manusia dengan perilaku dan kebiasaannya disatu pihak dan komponen lingkungan di lain pihak (Achmadi, 2005).

Perilaku merupakan faktor yang sangat penting di dalam turut mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat setelah faktor lingkungan. Pada kasus penyakit diare biasanya faktor perilaku selalu dihubungkan dengan aspek “personal higiene”. Penyakit diare merupakan penyakit saluran pencernaan, yang penyebarannya lebih sering akibat konsumsi makanan maupun minuman, sehingga masyarakat dengan kondisi personal higiene yang buruk akan berpotensi dalam menimbulkan dan penyebaran diare. Di samping itu, faktor perilaku berupa pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang terhadap diare dan upaya penanganannya maupun terhadap faktor risiko lainnya.

Pemahaman terhadap faktor risiko penyakit dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit itu sendiri. Perbaikan dan peningkatan penyediaan air bersih dan sanitasi dalam dua puluh tahun belakangan ini telah membantu mengurangi angka penderita penyakit diare, dimana teknologi sanitasi dapat memberikan dampak positif yang memungkinkan orang untuk mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat.

(7)

Besar rawan dengan kejadian kasus diare. Data pada tahun 2005, dari 22 kecamatan ada 6 kecamatan merupakan endemis diare dengan insiden anak usia 2 - 5 tahun adalah Kecamatan Darussalam sebanyak 16.3%, Kecamatan Lombaro sebanyak 16.4%, Kecamatan Indrapuri sebanyak 17.4%, Kecamatan Montasik sebanyak 19,1%, Kecamatan Kuta Baro sebanyak 21,5%, dan Kecamatan Suka Makmur merupakan kecamatan yang tinggi insidennya yaitu sebesar 24,9% namun belum pernah terjadi KLB, jika dibandingkan dengan kondisi rumah sehat di Kecamatan Suka Makmur 63,1% dari jumlah rumah yang diperiksa, proporsi rumah sehat berdasarkan jumlah seluruh rumah untuk daerah endemis 27,9% angka ini juga masih jauh dari target Indonesia sehat 2010 yaitu persentase rumah sehat sebesar 80%. Tingginya kasus diare di Kecamatan Suka Makmur, di asumsikan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor perilaku individu faktor sanitasi rumah yang mana pada saat habis sunami banyak keluarga yang kehilangan rumah menumpang dirumah sanak saudara yang ada di Kecamatan Suka Makmur. Kepadatan hunian rumah sangat berpengaruh terhadap bakteri penyebab penyakit penular seperti TBC, gangguan saluran pernapasan, dan diare (Depkes.RI, 2002). Dari hasil penelitian Wibowo (2002) menunjukkan bahwa kejadian diare pada balita berasal dari keluarga dengan sanitasi dasar lingkungan yang buruk memiliki Odds Ratio (OR) sebesar 2,55.

(8)

pembuangan sampah, masyarakat umumnya membuang di kebun milik tetangga yang tidak ada bangunan rumah, sementara ada sebagian masyarakat dengan mengumpulkan baru di tanam. Kebiasaan dalam pembuangan tinja umumnya masyarakat memanfaatkan jamban yang terdapat di rumah, langgar (mushola), kecuali untuk anak-anak biasanya buang tinja di kebun. Namun ada beberapa masyarakat yang berusaha membangun jamban milik sendiri.

(9)

menjalankankan kegiatan PKK yang diisi dengan bermacam-macam kegiatan seperti perkumpulan wirit, belajar dan mengajar menyulam dan menjahit semakin banyak ibu mengikuti aktivitas sudah barang tentu lebih lama meninggalkan rumah dan balitanya karena waktu banyak tersita untuk kegiatan.

Berdasarkan permasalahan adanya pengaruh perilaku ibu dengan kejadian penyakit diare pada anak usia 2 – 5 tahun. Perilaku yang berkaitan dengan penyakit diare adalah kebersihan diri, penyediaan air bersih, pembuangan tinja, pembuangan air limbah, pembuangan sampah, kebersihan rumah, sanitasi makanan dan aktivitas sosial.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka perumusan masalah yang dapat dikembangkan adalah bagaimana hubungan antara kebersihan diri, penyediaan air bersih, pembuangan tinja, pembuangan air limbah, pembuangan sampah, kebersihan rumah, sanitasi makanan dan aktivitas sosial terhadap perilaku ibu yang mempunyai anak balita usia 2 – 5 tahun dengan kejadian diare.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Untuk menganalisis hubungan perilaku ibu terhadap kebersihan diri dengan kejadian diare balita usia 2-5 tahun.

1.3.2 Untuk menganalisis hubungan perilaku ibu terhadap penyediaan air bersih dengan kejadian diare balita usia 2-5 tahun

(10)

1.3.4. Untuk menganalisis hubungan perilaku ibu terhadap pembuangan air limbah dengan kejadian diare balita usia 2-5 tahun

1.3.5. Untuk menganalisis hubungan perilaku ibu terhadap pembuangan sampah dengan kejadian diare balita usia 2-5 tahun

1.3.6. Untuk menganalisis hubungan perilaku ibu terhadap kebersihan rumah dengan kejadian diare balita usia 2-5 tahun

1.3.7. Untuk menganalisis hubungan perilaku ibu terhadap sanitasi makanan dengan kejadian diare balita usia 2-5 tahun

1.3.8. Untuk menganalisis hubungan perilaku ibu terhadap aktifitas sosial ibu balita usia 2-5 tahun.

1.4. Hipotesis

1.4.1. Ada hubungan kebersihan diri dengan perilaku ibu yang memiliki balita usia 2 – 5 tahun.

1.4.2. Ada hubungan penyediaan air bersih dengan perilaku ibu yang memiliki balita usia 2 – 5 tahun.

1.4.3. Ada hubungan pembuangan tinja dengan perilaku ibu yang memiliki balita usia 2 – 5 tahun.

1.4.4. Ada hubungan pembuangan air limbah dengan perilaku ibu yang memiliki balita usia 2 – 5 tahun.

(11)

1.4.6. Ada hubungankebersihan rumah dengan perilaku ibu yang memiliki balita usia 2 – 5 tahun.

1.4.7. Ada hubungan sanitasi makanan dengan perilaku ibu yang memiliki balita usia 2 – 5 tahun.

1.4.8. Ada hubungan aktivitas sosial dengan perilaku ibu yang memiliki balita usia 2 – 5 tahun.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi : Sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan suatu perencanaan pencegahan penyakit diare

2. Bagi Masyarakat : Agar masyarakat mengetahui lebih jelas faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian diare, sehingga diharapkan dapat berperan aktif dalam melaksanakan budaya hidup bersih dan sehat.

3. Bagi Peneliti : Menambah wawasan tentang perilaku masyarakat dalam menyikapi suatu penyakit, sehingga dapat dibuat suatu rancangan intervensi dan dapat mengetahui pengaruh perilaku ibu/pengasuh pada diare di daerah endemis.

(12)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Diare

Diare merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran pencernaan. Sampai saat ini penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, baik apabila ditinjau dari angka kesakitan maupun kematian yang ditimbulkannya. Secara operasional, diare adalah buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (3 kali atau lebih dalam sehari). Berdasarkan karakteristiknya, diare dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu diare akut, disentri, diare persisten dan diare dengan masalah lain (Depkes. RI, 2000).

2.1.1. Diare akut

Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari dan umumnya kurang dari 7 hari. Diare akut dapat mengakibatkan dehidrasi sebagai penyebab utama kematian.

2.1.2. Disentri

(13)

2.1.3. Diare persisten

Diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus disebut dengan diare persisten. Diare ini dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.

2.1.4. Diare dengan masalah lain

Diare jenis ini merupakan diare (akut maupun persisten) yang juga disertai dengan penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lain.

2.2. Kejadian Diare

Secara garis besar penyebab diare dikelompokkan menjadi 6 golongan yaitu infeksi seperti (Rota virus, E.Coli, V.cholerae, Salmonela, Shingela, Parasit), malabsorbsi, alergi, keracunan, immuno defisiensi dan sebab lain. Namun berdasarkan kejadian yang sering ditemukan di lapangan, diare lebih banyak disebabkan karena infeksi dan keracunan, baik disebabkan oleh virus, bakteri maupun parasit (Depkes RI, 2000).

(14)

Hasil penelitian yang dilakukan Sulastri (2001) menyatakan bahwa kejadian diare mencapai 50% atau lebih di negara berkembang seperti Indonesia dan disebabkan oleh Shigella (Wibowo, 2002).

2.3. Faktor-Faktor Risiko yang Mempengaruhi terjadinya Penyakit Diare

Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya diare antara lain, sanitasi lingkungan, perilaku, status gizi, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, dan pemberian ASI eksklusif (Suharyono, 1991).

2.3.1 Sanitasi Lingkungan

(15)

2.3.1.1 Penanganan sampah

Penanganan sampah yang tidak benar dapat menyebabkan timbulnya penyakit diare, karena sampah yang dibiarkan membusuk tanpa ada tempat penampungan. Upaya yang dilakukan seseorang terhadap sampah rumah tangga mulai dari fase

penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir. a. Penyimpanan sampah

Penyimpanan sampah adalah tempat sampah sementara, sebelum sampah tesebut dikumpulkan, untuk kemudian diangkut serta dibuang (dimusnahkan). Dalam penyimpanan sampah yang bersifat sementara ini sebaiknya disediakan tempat sampah yang berbeda untuk macam dan jenis sampah tertentu. Idealnya sampah basah hendaknya dikumpulkn bersama sampah basah. Demikian pula sampah kering, sampah mudah terbakar,dan sebagainya, hendaknya ditempatkan sendiri secara terpisah. Maksudnya dari pemisahan penyimpanan ini ialah untuk memudahkan pemusnahannya kelak (Azwar, 1995).

Adapun syarat-syarat tempat sampah yang dianjurkan ialah :

1. Konstuksinya kuat, tidak mudah bocor, penting untuk mencegah berserakan sampah.

2. Tempat sampah mempunyai tutup, dan mudah dibuka, dikosongkan isinya serta dibersihkan. Dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori tangan.

(16)

b. Pengumpulan sampah

Pengumpulan sampah tanggung jawab dan masing-masing rumah tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu setiap rumah tangga harus mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) sampah, dan selanjutnya ke Tempat Penampungan Akhir (TPA).

Mekanisme, sistem atau cara pengangkutannya untuk daerah perkotaan adalah tanggung jawab pemerintah daerah setempat, yang didukung oleh partisipasi masyarakat produksi sampah, khususnya dalam hal pendanaan. Sedangkan untuk daerah pedesaan pada umumnya sampah dapat dikelola oleh masing-masing keluarga, tanpa memerlukan TPS, maupun TPA, sampah rumah tangga daerah pedesaan umumnya dibakar atau dijadikan pupuk (Notoatmodjo, 2003).

c.Pemusnahan atau pengolahan sampah

Ada beberapa cara yang dilakukan dalam pemusnahan sampah diantaranya : (Notoatmodjo, 2003)

1. Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang diatas tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbundengan tanah.

2. Dibakar (inceneration), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar didalam tungku pembakaraan (incenerator).

(17)

Apabila setiap rumah tangga dibiasakan untuk memisahkan sampah organik dan sampah anorganik kemudian sampah organik diolah menjadi pupuk tanaman dapat dijual dipakai sendiri. Sedangkan sampah anorganik dibuang, dan akan segera dipungut oleh para pemulung, dengan demikian maka masalah sampah akan berkurang.

2.3.1.2 Pembuangan tinja

Pembuangan tinja merupakan upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam mengelola tinja agar tidak menimbulkan masalah kesehatan. Ada beberapa persyaratan dalam pembuangan tinja, antara lain meliputi konstruksi jamban harus kuat, harus dihindari kontak tinja dengan vektor dan tidak menimbulkan bau yaitu dengan leher angsa serta lobang penampungan tinja harus tidak menimbulkan pencemaran pada sumber air bersih atau memiliki jarak 11 meter. Persyaratan tersebut dapat dipenuh dengan memperhatikan antara lain sebaiknya jamban tersebut artinya bangunan jamban terlindung dari panas dan hujan, serangga dan binatang-binatang lain, terlindung dari pandangan orang (privacy).

1. Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat, tempat berpijak yang kuat.

2. Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau.

(18)

memenuhi persyaratan jamban sehat, juga harus didasarkan pada sosial budaya dan ekonomi masyarakat pedesaan. Jenis-jenis jamban yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah (Notoatmodjo, 2003).

1. Jamban cemplung (pit privy)

2. Jamban cemplung berventilasi (ventilation improved pit privy) 3. Jamban leher angsa (angsa latrine)

Berdasarkan pola pencemaran yang dapat sebagai jalur penularan penyakit dapat digambarkan seperti berikut : (Wagner & Lanoix, 1958)

Tinja

Air

Tangan

Tanah Lalat

Makanan

Mulut

Gambar 2.1. : Jalur Penularan Penyakit Diare melalui mulut dari Tinja Manusia

(19)

dunia sampai dengan tahun 2015 (Val Curtis and Sandy Cairncross 2003). Perlu diperhatikan oleh keluarga adalah harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh seluruh anggota keluarga jamban dibersihkan secara teratur bila tidak ada jamban jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan tempat anak-anak bermain serta ± 10 meter dari sumber air minum; buang air besar menggunakan alas kaki.

Di sisi lain banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi tidak berbahaya, hal ini tidak benar. Karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang tuanya. Tinja harus dibuang secara bersih dan benar, yang harus diperhatikan keluarga adalah kumpulkan segera tinja bayi atau anak kecil dan buang ke jamban, bantu anak-anak buang air besar di tempat yang bersih dan mudah dijangkau olehnya. Bila tidak ada jamban pilih tempat untuk membuang tinja anak seperti dalam lobang atau di kebun kemudian ditimbun, bersihkan dengan benar setelah buang air besar dan cuci tangan dengan sabun (Depkes RI, 2003).

2.3.1.3 Pembuangan air limbah

(20)

Menurut Kusnoputranto (2000) pengelolaan air buangan yang tidak baik akan berakibat buruk terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Beberapa akibat buruk yang timbul adalah :

1. Akibat terhadap lingkungan

Air buangan antara lain mempunyai sifat fisik, kimiawi dan bakteriologis yang dapat menjadi sumber pengotoran, sehingga bila tidak dikelola dengan baik akan dapat menimbulkan bau yang tidak enak serta pemandangan yang tidak menyenangkan. 2. Akibat terhadap kesehatan masyarakat

Lingkungan yang tidak sehat akibat tercemar air buangan dapat menyebabkan gangguaan terhadap kesehatan masyarakat. Air buangan dapat menjadi media tempat berkembang biaknya mikroorganisme patogen, larva nyamuk ataupun serangga lainnya, dan dapat menjadi media trasmisi penyakit, terutama penyakit-penyakit yang penularannya melalui air yang tercemar seperti cholera, thiplus abdominalis, disentri

baciler dan sebagainya. Sesuai dengan zat-zat yang terkandung dalam air limbah, maka air limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan berbagai gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup, antara lain (Notoatmodjo, 2003).

1. Menjadi transmisi atau media penyebaran berbagai penyakit, terutama kholera,

typhus abdominalis, desentri baciler.

2. Menjadi media berkembang biaknya mikroorganisme patogen.

(21)

5. Merupakan sumber pencemaran air permukaan, tanah, dan lingkungan hidup lainnya.

6. Mengurangi produktivitas manusia, karena orang bekerja dengan tidak nyaman, dan sebagainya.

Menurut Kusnoputranto (2000), untuk mencegah akibat-akibat buruk tersebut diperlukan kondisi dan persyaratan agar pembuangan air buangan termasuk tinja dengan upaya-upaya sedemikan rupa sehingga air limbah tersebut :

1. Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber air minum. 2. Tidak mengakibatkan pencemaran terhadap permukaan tanah.

3. Tidak menyebabkan pencemaran atas air untuk mandi, perikanan, air sungai, atau tempat-tempat rekreasi.

4. Tidak dapat dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit dan vektor.

5. Tidak terbuka kena udara luar jika tidak diolah serta tidak dapat dicapai oleh anak-anak.

6. Baunya tidak mengganggu.

(22)

Saluran terbuka seperti parit, selokan, jelas akan dapat mempengaruhi lingkungan yang dilaluinya, dipandang cara ini kurang baik. Saluran tertutup (riol) dapat dipandang lebih baik karena tidak langsung mempengaruhi lingkungan yang dilalui, akan tetapi tempat penampung /pembuangannya jangan mengotori tempat sumber air minum dan tempat lainnya.

2.3.1.4 Penyediaan Air Bersih

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia untuk kelangsungan hidupnya dan merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang kesehatan. Dalam penyehatan telah banyak upaya penyehatan air sesuai dengan tanggung jawab Departemen Kesehatan yaitu program penyehatan air, pengawasan kualitas air, perbaikan kualitas air, dan pembinaan pemakai air. Upaya-upaya penyediaan air bersih akan mengarah pada pemberian dampak kondisi lingkungan yang menjadi lebih baik, sehingga dapat mencegah penyebaran berbagai penyakit akibat air terutama penyakit diare.

(23)

didalam suatu wadah agar tidak masuk kotoran. Tercukupi dari segi kuantitas baik untuk mandi, mencuci, maupun memasak dan air minum serta hindari kontak bak penampungan agar tidak tercemar.

Beberapa persyaratan dalam penyediaan air bersih, khususnya untuk kebutuan air minum meliputi : (Notoatmodjo, 2003)

a. Syarat fisik

Persyaratan fisik untuk ai minum yang sehat adalah bening (tidak berwarna), tidak berasa, tidak berbau, suhu di bawah suhu udara luar. Dalam kehidupan sehari-hari kondisi air yang demikian tidak sulit untuk mengenalinya.

b. Syarat bakteriologis

Air untuk keperluan air minum yang sehat harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri patogen. Cara untuk mengetahui apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri patogen adalah dengan memeriksa sampel (contoh) air tersebut. Bila dari pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang dari 4 bakteri E. Coli, maka air tersebut memenuhi syarat kesehatan.

c. Syarat kimia

(24)

1. Lokasi

- Jarak minimum10 meter dari sumber pencemaran misalnya jamban, tempat pembuangan air kotor, lobang resapan, tempat pembuangan sampah, kandang ternak dan tempat-tempat pembuangan kotoran lainnya.

- Pada tempat-tempat yang miring misalnya pada lereng pegunungan, letak sumur gali harus di atas dari sumber pencemaran.

- Lokasi sumur gali harus terletak pada daerah yang lapisan tanahnya mengandung air sepanjang musim.

- Lokasi sumur gali agar diusahakan pada daerah yang bebas banjir. 2. Konstruksi

- Dinding sumur harus kedap air sedalam 3 meter dari permukaan tanah untuk mencegah rembesan dari air permukaan

- Bibir sumur harus kedap air minimal setinggi 0,7 meter dari permukaan tanah untuk mencegah rembesan air bekas pemakaian ke dalam sumur.

- Cara pengambilan air dari dalam sumber sedemikian rupa sehingga dapat mencegah masuknya kembali melalui alat yang digunakan misalnya pompa tangan, timba dengan gerekan dan sebagainya.

- Lantai harus kedap air dengan jarak antara tepi lantai dengan tepi luar dinding minmal 1 meter dengan kemiringan ke arah tepi lantai.

- Saluran pembuangan air kotor atau air bekas harus kedap air sepanjang minimal 10 meter dihitung dari tepi sumur

(25)

2.3.1.5. Kebersihan rumah

Berdasarkan laporan dari Save the Children (1996), menyimpulkan bahwa dalam suatu keluarga beserta dengan segala lingkungannya untuk tumbuh kembang anak, maka lingkungan rumah harus ramah anak, dalam arti bahwa lingkungan rumah yang menyediakan fasilitas yang sesuai kebutuhan anak untuk perkembangannya, sesuai usia dan gender, rumah yang aman dan terlindungi dari perlakuan salah, kekerasan dan kejahatan, kesempatan untuk bermain dan belajar, tersedia ruang pribadi. Konstruksi rumah yang memadai dari bahan bangunan yang tidak terkontaminasi dengan bahan beracun berbahaya. Akses ke air, listrik, pengaturan air buangan, terlindungi dari kemacetan dan bahaya kendaraan, polusi udara dan racun serta kebisingan dan kepadatan permukiman. Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia selain kebutuhan sandang dan pangan. Rumah berfungsi pula sebagai tempat tinggal serta digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu suatu rumah yang sehat dan nyaman merupakan sumber inspirasi penghuninya untuk berkarya, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya.

(26)

a. Kelembaban

Kelembaban sangat berperan dalam pertumbuhan kuman penyakit. Kelembaban yang tinggi dapat menjadi tempat yang disukai oleh kuman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Keadaan yang lembab dapat mendukung terjadinya penularan penyakit. Kelembaban didalam rumah disebabkan oleh 3 faktor : 1. Kelembaban yang baik dari tanah

2. Merembes melalui dinding 3. Bocor melalui atap

Usaha-usaha untuk mencegah tejadinya hal ini adalah drainase (saluran air) yang baik disekitar rumah, lantai kedap air dan membuat lapisan yang menahan lembab (damp prop course) (Lubis, 1985).

Menurut keputusan Menteri Kesehatan No.829 tahun 1999 persyaratan kesehatan rumah, kelembaban udara yang diperbolehkan antara 40 - 70% .

b. Ventilasi/ penghawaan

Ventilasi adalah sarana untuk memelihara kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Suatu ruangan yang terlalu padat penghuninya dapat memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan penghuni rumah tersebut, untuk itu pengaturan sirkulasi udara sangat diperlukan (Lubis, 1985). Menurut Permenkes No.829 tahun 1999 persyaratan kesehatan perumahan, luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. c. lantai

(27)

perlu dilapisi dengan yang kedap air (disemen, dipasang tegel, teraso) atau lainnya. Selain itu lantai rumah harus mudah dibersihkan (Depkes RI, 1989).

d. Pencahayaan

Salah satu syarat rumah sehat adalah tersedianya cahaya yang cukup, karena suatu rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya, selain dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat menimbukan penyakit. Sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan bakteri dan organisme lain yang terdapat dilingkungan rumah, khususnya sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembang biakan bakteri. Dengan demikian sinar matahari sangat diperlukan didalam ruangan rumah terutama ruangan tidur, sinar matahari sebaiknya tidak terhalang oleh pepohonan maupun tembok yang tinggi (Azwar, 1989).

e. Kepadatan hunian

Kepadatan hunian sangat berpengaruh terhadap jumlah bakteri penyebab penyakit menular, seperti TBC, gangguan saluran pernafasan dan diare, selain itu kepadatan hunian dapat mempengruhi kualitas udara di dalam rumah. Dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara dalam rumah mengalami pencemaran oleh karena CO2 dalam rumah akan cepat meningkatkan dan akan

menurunkan kadar O2 yang ada diudara. Kepadatan dapat dilihat dari :

(28)

2. Kepadatan hunian ruang tidur

Luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang dalam suatu ruang tidur, kecuali anak dibawah usia 5 tahun (Permenkes No. 829 / 1989).

2.3.1.6. Sanitasi makanan

Sanitasi makanan merupakan suatu upaya penyehatan makanan yang meliputi pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan, penyimpanan makanan jadi, penyajian makanan (Depkes RI, 1997).

Pemilihan bahan baku makanan untuk mendapatkan bahan baku makanan yang baik maka perlu memperhatikan :

1. Sumber pemasok makanan yang baik. Hal ini sulit dilakukan mengingat perjalanan yang panjang.

2. Umur makanan, karena makanan jika ditahan atau disimpan dalam waktu yang lama pada suhu yang tidak memadai akan meningkatkan terjadinya kerusakan. 3. Penampilan makanan seperti tekstur dan bau yang tidak normal berati telah

menjadi kontaminasi yang disebabkan oleh benda asing atau bahan yang menginfeksi.

(29)

makhluk hidup termasuk manusia. Zat gizi selain diperlukan oleh manusia juga dibutuhkan oleh bakteri, karena itu makanan yang tercemar oleh bakteri mudah menjadi rusak. Semangkin lama bahan makanan disimpan risiko kerusakan semakin besar. Penyimpanan bahan makanan sebaiknya dipisahkan dengan makanan jadi, mencegah tejadinya kontaminasi silang.

Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah menjadi bahan yang siap santap, yang baik adalah mengikuti kaidah dari prinsip-prinsip hygienis dan sanitasi, dengan sebutan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau Good Manufacturing Practrice (GMP).

(30)

Pengangkutan makanan yang sehat untuk mencegah terjadinya pencemaran makanan. Pencemaran pada makanan masak lebih tinggi risikonya dari pada pencemaran pada bahan makanan dalam proses pengangkutan makanan perlu diperhatikan mulai dari persiapan, pewadahan, orang, suhu dan kendaraan pengangkut.

Penyajian makanan matang merupakan rangkaian akhir dari perjalanan makanan. Makanan yang disajikan adalah makanan yang siap dan layak santap perlu diperhatikan adalah, tempat, cara dan prinsip penyajian yang harus memenuhi persyaratan kesehatan. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan adalah menyimpan makanan ditempat yang bersih, meletakkan makanan dalam wadah yang bersih dan tertutup, menyimpan makanan dalam ditempat yang dingin dan tehindar dari matahari langsung, menjaga makanan agar tidak dijamah oleh hewan dan anak-anak, menjaga piring, panci masak dan peralatan makanan agar selalu tetap bersih, mencuci tangan dengan sabun dan air bersih sebelum memasak dan menyajikan makanan.

2.3.2. Faktor perilaku

(31)

maupun terhadap faktor risiko lainnya.ada 3 jenis perilaku sanitasi yang dapat melindungi anak dari diare adalah mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan atau sesudah dari WC, pengelolaan faeces bayi, pengamanan penyimpanan air di rumah (Susan, 2004).

Ada beberapa usaha yang dapat dilakukan dari pada perilaku hygiene

perorangan yaitu mencuci tangan untuk melindungi kebersihan tangan setelah buang air sebelum menyiapkan makanan dan mensuapi anak ; kebersihan pakaian atau mengganti pakaian, mandi dua kali sehari, cuci piring untuk melindungi kebersihan piring, kebersihan kuku atau memotong kuku serta menyikat gigi. Pada hygiene

perorangan termasuk juga memelihara kebersihan penyiapan makanan, bahwa sesungguhnya makanan dapat tercemar melalui air, tangan yang tidak bersih, lalat/serangga, apabila makanan tersebut terkontaminasi maka dapat meyebabkan diare. Cara-cara terjadinya pengotoran terhadap makanan berhubungan dengan kejadian diare adalah dalam mengolah atau menjamah makanan (Depkes RI,2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi pencemaran makanan dapat disebabkan oleh tangan penjamah makanan tidak bersih, makanan berasal dari binatang yang sakit sepeti susu dan daging, dapur dan peralatan yang kotor, pemakaian lap secara bersamaan untuk makanan mentah, matang dan peralatan dan makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (Suhardi, 2000).

2.4. Konsep Perilaku Kesehatan

(32)

dan minuman serta lingkungan. Perilaku kesehatan diklasifikasikan menjadi 3 kelompok (Notoatmodjo, 2005) yaitu :

2.4.1. Perilaku pemeliharaan kesehatan

Usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek :

a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Dalam arti bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu, orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin. c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara

dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.

2.4.2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan selanjutnya.

2.4.3. Perilaku kesehatan lingkungan

(33)

lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan kata lain bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah dan sebagainya.

2.5. Perubahan Perilaku dan Indikatornya

Perubahan perilaku baru adalah suatu proses yang komplek dan memerlukan waktu yang relatif lama. Secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 tahap (Notoatmodjo, 2003) yaitu :

2.5.1. Pengetahuan

Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi :

a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit, yang meliputi : - Penyebab penyakit

- Gejala atau tanda-tanda penyakit

- Bagaimana cara pengobatan atau kemana mencari pengobatan - Bagaimana cara penularan

- Bagaimana cara pencegahannya termasuk imunisasi dan sebagainya. b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat.

- Jenis-jenis makanan yang bergizi

(34)

- Pentingnya olahraga bagi kesehatan

- Bahaya merokok, minum minuman keras, narkoba dan sebagainya - Pentingnya istirahat cukup, rekreasi dan sebagainya bagi kesehatan - Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan

- Manfaat air bersih

- Cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk pembuangan kotoran yang sehat dan sampah

- Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat - Akibat polusi

2.5.2. Sikap

Sikap adalah penilaian seseorang terhadap stimulus atau objek. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, proses selanjutnya akan menilai atau berpendapat terhadap stimulus atau objek kesehatan tersebut. Oleh sebab itu indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan kesehatan seperti di atas, yakni :

a. Sikap terhadap sakit dan penyakit adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap gejala atau tanda-tanda penyakit, penyebab penyakit, cara penularan penyakit, cara pencegahan penyakit dan sebagainya.

(35)

c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Misalnya pendapat atau penilaian terhadap air bersih, pembuangan limbah, polusi dan sebagainya.

2.5.3.Tindakan

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan akan melaksanakan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah yang disebut perilaku kesehatan, indikator praktek kesehatan ini mencakup antara lain :

a. Tindakan sehubungan dengan penyakit

b. Tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan c. Tindakan kesehatan lingkungan

2.6. Aktivitas Sosial

(36)

3 wujud yaitu tata kelakuan, komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia, dan sebagai benda hasil karya manusia.

Aktivitas sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya (Ahmadi, 1999).

Interaksi antar individu, maka manusia sebagai makhluk hidup akan selalu melakukan aktivitas sosial untuk saling mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kehidupannya. Bentuk-bentuk aktivitas sosial yang dilakukan oleh individu, dapat berupa organisasi formal, organisasi non formal maupun tanpa suatu organisasi apa pun. Namun semua bentuk aktivitas sosial tersebut, merupakan suatu gambaran dari interaksi sosial individu dengan lingkungan sekitarnya (Gerungan, 1991). Aktivitas sosial individu dipengaruhi oleh asfek sosial budaya yang dapat mempengaruhi status kesehatan antara lain umur, jenis kelamin, pekerjaan, sosial ekonomi. Selanjutnya Notoatmojo (2005), mengatakan ”model-model aktivitas sosial yang sering dilakukan oleh masyarakat desa adalah aktivitas sosial tanpa organisasi antara lain dapat berupa, perkumpulan desa, acara keagamaan, arisan perkumpulan suku, pesta adat perkawinan, berjualan, bersawah, berkebun”, sedangkan aktivitas sosial yang organisasi non formal adalah seperti PKK dan karang taruna.

2.7. Landasan Teori

(37)

Host Agent

- Usia - Rota Virus

- Jenis kelamin - E.Coli

- Ras - V.Cholerae

- Nutrisi - Salmenella - Status perkawinan - Shingolla

- Immunisasi - Parasit

Lingkungan

- Lingkungan Biolog

- Lingkungan Fisika - Lingkungan Sosial Gambar 2.2

Model Tuas (Lever Theory) untuk menggambarkan interaksi antara Agent, Host dan Lingkungan.

a. Faktor agent (penyebab suatu penyakit) adalah semua unsur yang hidup maupun tidak yang kehadirannya atau ketidak hadirannya, bila diikuti dengan kontak dengan manusia yang rentan dalam keadaan yang memungkinkan akan terjadinya stimulus untuk menginisiasi dan memindahkan terjadinya suatu penyakit. Interaksi

agent lingkungan adalah keadaan dimana agent mempengaruhi secara langsung oleh lingkungan (tanpa menghiraukan karakteristik dari host), biasanya pada priode Keadaan tersebut misalnya, ketahanan suatu bakteri terhadap sinar

prepatogenesa yang sering kali dilanjutkan sampai tahap patogenesa. matahari, stabilitas vitamin didalam lemari pendingin.

(38)

c. Faktor lingkungan, faktor agent, host tidak terlepas dari pada paktor lingkungan yang terdiri dari tiga sektor yaitu lingkungan biologi, lingkungan sosial dan lingkungan fisik perubahan dari sektor ini akan mempengaruhi terjadinya penyakit. Interaksi agent-host-lingkungan adalah dimana agent, host, dan lingkungan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dan menginisiasi timbulnya suatu proses penyakit, terjadinya baik tahap prepatogenesa maupun patogenesa. Misalnya pada kontaminasi feises dari penderita diare pada sumber air minum.

2.8. Kerangka Konsep

Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan terutama menyangkut penyediaan air bersih dan pembuangan tinja. Apabila kedua faktor tersebut berinteraksi bersama dengan perilaku manusia yang tidak sehat melalui

KEJADIAN DIARE

Kebersihan diri

PERILAKU SANITASI LINGKUNGAN

(39)
(40)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi penelitian yang bersifat analitik mengenai pengaruh perilaku ibu terhadap kejadian diare di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar tahun 2006, sedangkan rancangan yang digunakan merupakan Case Control Study.

KASUS

PERILAKU

PERILAKU

PERILAKU

PERILAKU KONTROL

3.2. Lokasi Penelitian

(41)

3.3. Waktu Penelitian

Waktu penelitian selama 4 (empat) bulan mulai bulan September 2006 sampai dengan Desember 2006. Waktu yang digunakan adalah untuk kegiatan penelusuran data sekunder, uji coba instrumen, pengambilan data, pengolahan dan analisa data serta penyusunan hasil penelitian.

3.4. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah seluruh ibu yang memiliki anak balita usia 2 - 5 tahun di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar. Dipilihnya kelompok usia tersebut karena pada usia tersebut anak telah dapat diajari untuk berperilaku hidup bersih.

3.5. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak balita usia 2 - 5 tahun di Kecamatan Suka Makmur yang sekaligus sebagai responden, mengingat ibu balita adalah orang yang paling sering berada di rumah sehingga perilaku ibu dalam melakukan kegiatan memungkinkan berpotensi sebagai pencetus atau pencegah timbulnya kejadian diare.

3.5.1. Kelompok kasus

(42)

Sebagai kriteria inklusi adalah ibu rumah tangga yang berdomisili di Kecamatan Suka Makmur dan mau diwawancarai. Sedangkan kriteria eksklusi apabila tidak memenuhi kriteria inklusi di atas.

3.5.2. Kelompok kontrol

Kelompok kontrol adalah ibu yang memiliki anak balita usia 2 - 5 tahun yang tidak pernah mengalami diare 3 (tiga) bulan terakhir yang diambil dari tetangga kasus terpilih. Kriteria inklusi kelompok kontrol pada penelitian adalah ibu rumah tangga yang memiliki anak balita usia 2 – 5 tahun yang tidak pernah mengalami diare. Sedangkan kriteria eksklusi adalah apabila kelompok kontrol tidak memenuhi kriteria inklusi termasuk bila tidak berdomisili di Kecamatan Suka Makmur. Kedua kriteria tersebut sebagai matching antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol.

3.5.3 Besar sampel

Besar sampel didasarkan pada data proporsi ibu yang memiliki anak balita, menggunakan formulasi dengan tingkat kemaknaan 95% ( = 0,05) (Murti,1997)

(

)(

)

(43)

(

)

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, diperoleh besar sampel (n) dalam penelitian ini sebesar 90 orang, kasus dan kontrol 1 : 1, maka besar sampel secara keseluruhan adalah 180 orang.

3.6. Teknik pengumpulan data

(44)

3.6.2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dinas kesehatan tentang kecamatan yang endemis diare. Data sekunder diperoleh dari Puskesmas tentang balita menderita diare.

3.7. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

3.7.1. Uji validitas

Kuisioner pada penelitian ini telah diuji pada 20 orang responden dan diperoleh hasil seluruh item dinyatakan sudah valid dan reliabel dan nilai r = 0,529.

Pengujian validitas intrumen diperlukan untuk mendapatkan intrumen sebagai alat ukur yang dapat mengukur dengan valid dalam arti terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Azwar, 3003, menyatakan bahwa teknik korelasi untuk menentukan validitas item sampai sekarang merupakan teknik yang paling banyak digunakan. Item yang mempunyai korelasi positif dengan kriteria (skor total) serta korelasinya yang tinggi, menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang lebih tinggi pula. Syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat kalau r = 0,1.

3.7.2. Uji reliabilitas

Pengujian reliabilitas digunakan agar alat ukur yang digunakan dapat menunjukkan hasil yang sama pada saat berulang kali untuk waktu sekarang maupun yang akan datang. Pengujian reliabilitas intrumen dilakukan dengan internal

(45)

3.8. Analisa Data

3.8.1. Analisa univariat

Untuk melihat distribusi variabel independen meliputi perilaku hygiene perorangan (kebersihan diri, kebersihan penyiapan makanan), perilaku sanitasi lingkungan, penanganan sampah, pembuangan tinja, pembuangan air limbah, penyediaan air bersih, serta sanitasi makanan, dan aktivitas sosial yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

3.8.2. Analisa bivariat

(46)

Tabel 3.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

NO VARIABEL DEFINISI CARA

UKUR

Tindakan yang dilakukan individu untuk menghindari kontak dengan penyebab penyakit diare

Upaya yang dilakukan dalam penyediaan dan pemanfaatan air bersih untuk minum, mandi dan mencuci agar tidak menjadi faktor risiko diare

Upaya yang dilakukan terhadap tinja meliputi sarana, tindakan sebelum dan setelah buang air besar

Upaya yang dilakukan terhadap air limbah rumah tangga agar tidak menjadi faktor risiko diare yang meliputi cara membuang dan sarananya

Upaya yang dilakukan terhadap sampah rumah tangga mulai dari fase storage sampai disposal untuk mencegah timbulnya diare

Wawancara

Upaya yang dilakukan oleh seseorang terhadap kebersihan dan kesehatan rumah yang berkaitan dengan kejadian diare.

Upaya yang dilakukan dalam menangani makanan utamanya pada penyimpanan makanan jadi dan penyajian makanan agar makanan tidak menjadi faktor risiko diare

Wawancara

Kegiatan ibu di luar rumah yang berhubungan dengan kegiatan sosial baik bersifat formal maupun non formal.

Kejadian buang air besar dengan konsistensi lembek hingga cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali sehari

Wawancara •Ya

(47)

- Kebersihan diri adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu untuk menghindari kontak dengan bibit penyakit. Skala ukur yang digunakan ordinal. Kebersihan diri dikatakan baik bila mencapai skor > 50% dari nilai maksimal yang diperoleh dari 31 poin.

- Sanitasi makanan adalah tindakan –tidakan yang dilakukan oleh

ibu/pengasuh anak balita terhadap makanan anak agar makanan terhindar dari bibit penyakit penyebab diare dan binatang pembawa bibit penyakit. Skala ukur yang digunakan ordinal. Sanitasi makanan dikatakan baik bila mencapai skor > 50% dari nilai maksimal yang diperoleh dari 16 poin.

- Penanganan Sampah adalah upaya yang dilakukan seseorang terhadap sampah rumah tangga mulai dari fase penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir. Skala ukur yang digunakan skala ordinal. Penanganan sampah dikatakan baik bila mencapai skor > 50% dari nilai maksimal yang diperoleh dari 11 poin.

- Pembuangan Tinja adalah upaya yang dilakukan seseorang dalam buang air besar sesuai dengan persyaratan kesehatan. Skala ukur yang digunakan ordinal. Pembuangan tinja dikatakan baik bila mencapai skor > 50% dari nilai maksimal yang diperoleh dari 19 poin.

(48)

- Penyediaan Air Bersih adalah upaya yang dilakukan seseorang dalam menyediakan, dan memanfaatkan air bersih untuk kebutuhan mandi, cuci dan minum sesuai dengan persyaratan kesehatan. Skala ukur yang digunakan ordinal. Penyediaan air bersih dikatakan baik bila mencapai skor > 50% dari nilai maksimal yang diperoleh dari 30 poin.

- Kebersihan Rumah adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang terhadap kebersihan dan kesehatan rumah yang berkaitan dengan kejadian diare. Skala ukur yang digunakan ordinal. Kebersihan rumah dikatakan baik bila mencapai skor > 50% dari nilai maksimal yang diperoleh dari 20 poin.

(49)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Kecamatan Suka Makmur secara administrasi berbatasan sebelah barat dengan Kecamatan Ingin Jaya, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kuta Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Simpang Tiga dan sebelah utara dengan Kecamatan Montasik.

Luas Wilayah Kecamatan Suka Makmur 98,51 Km2 dengan jumlah kelurahan sebanyak 34 desa dan 1 kelurahan. Penduduk Kecamatan Suka Makmur berjumlah 12.506 jiwa yang terbagi dalam 3039 rumah tangga dengan kepadatan penduduk sebesar 123,20 jiwa/Km2. Berdasarkan jenis kelamin, penduduk Kecamatan Suka Makmur terdiri dari 6.134 laki-laki dan 6.372 perempuan.

4.2. Analisa univariat

4.2.1. Karakteristik ibu

(50)

Tabel 4.1. Karakteristik Ibu yang Memiliki Anak Usia 2 – 5 tahun di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Kasus Kontrol X Usia berisiko (36 <)

30

Sumber : Data Primer Diolah, 2007

(51)

Minang masing-masing 1,1% untuk kasus dan 3,3% kelompok kontrol. Analisis terhadap suku bangsa, menunjukkan tidak adanya perbedaan antara kasus dan kontrol. Jumlah anak lahir hidup yang dimiliki responden yaitu antara 1 – 2 orang anak pada kelompok kasus sebesar 50% dan 61,1% pada kontrol. Kepemilikan jumlah anak lahir hidup lebih dari 2 orang pada kelompok kasus adalah 50% dan 38,9% pada kontrol. Dari hasil uji chi-square ternyata tidak ada perbedaan jumlah anak yang dimiliki responden antara kelompok kasus dan kontrol. Pada tabel 4.1 di atas juga menggambarkan bahwa umur ibu saat melahirkan merupakan umur yang sesuai dengan kedewasaan berkeluarga yaitu antara 21 – 35 tahun sebagai usia aman (65,6%) untuk kelompok kasus dan 73,3% untuk kelompok kontrol. Namun dari hasil uji bivariat ternyata tidak ada perbedaan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol pada taraf signifikan.

4.2.2. Kebersihan diri

Tabel 4.2. perilaku yang Dilakukan Ibu Agar Anak Tetap Sehat Di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

Kasus Kontrol Tindakan agar anak tetap sehat

jlh % Jlh % Total a. Memberikan makanan yang cukup

b. Memberi imunisasi

c. Memandikan anak setiap hari d. Mengajak anak bermain

(52)

Tabel 4.3. perilaku yang Dilakukan Ibu Setelah Anak Bermain di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

Kasus Kontrol Tindakan yang dilakukan setelah anak

bermain

jlh % Jlh % Total a. Memandikan anak

b. Mencuci kaki dan tangan

c. Memandikan dan menggantikan pakaian

Tabel 4.4. Kategori Kebersihan Diri Ibu Yang Memiliki Anak Usia 2 – 5 tahun di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

(53)

4.2.3. Penanganan sampah

Tabel 4.5. Tempat Penampungan Sampah Dalam Rumah yang Dimiliki Oleh Ibu Di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

Tabel 4.6. Kategori Tempat Pembuangan Sampah Yang Dimiliki Oleh Ibu di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

Tabel 4.7. Ketersediaan Tempat Pembuangan Tinja di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

(54)

Tabel 4.8. Kebiasaan Anak Buang Air Besar di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

Kasus Kontrol Kebiasaan anak dalam buang air besar

jlh % Jlh % Total a. Dikemas lalu dibuang dalam

jamban

b. Berak sendiri di jamban

c. Buang air besar disembarangan d. Dibuang sembarangan

Tabel 4.9. Kategori Tempat Pembuangan Tinja Dimiliki Oleh Ibu di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

(55)

4.2.5. Pembuangan air limbah

Tabel 4.10. Kategori Tempat Pembuangan Limbah di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

Pembuangan limbah cair yang dilakukan oleh kelompok kasus maupun kelompok kontrol sudah baik (61,1% kasus) dan 60,0% kontrol).

4.2.6. Penyediaan air bersih

Tabel 4.11. Sarana Air Bersih Yang Dimiliki Oleh Ibu di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

b. Sumur gali bercincin c. Sumur gali tidak bercincin

8

Tabel 4.12. Keadaan Sarana Tempat Penyimpanan Air Berih yang Dilakukan Oleh Ibu Di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar

Tahun 2007

Identitas

Kasus Kontrol Keadaan sarana air bersih

jlh % Jlh % Total a. Bersih dan tertutup

b. Kotor dan tidak bertutup

(56)

Tabel 4.13. Kategori Tempat Penyimpanan Air Bersih Di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

Penyimpanan air bersih yang dilakukan oleh ibu-ibu di Kecamatan Suka Makmur kelompok kasus maupun kelompok kontrol kurang baik yaitu sebanyak 67,8%.

4.2.7. Kebersihan rumah

Tabel 4.14. Kebersihan Rumah Ibu Yang Memiliki Anak Usia 2 – 5 Tahun di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

Kasus Kontrol Cara membersihkan lantai rumah

Jlh % jlh %

Tabel 4.15. Rentan Waktu Membersihkan Rumah yang Dilakukan Oleh Ibu Di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

(57)

Tabel 4.16. Kategori Kebersihan Rumah di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

Kebersihan yang berkaitan dengan kejadian penyakit diare di Kecamayan Suka Makmur kelompok kasus 66,7% sidah baik, dan pada kelompok kontrol 58,9% baik namun masih dijumpai yang kurang, baik pada kelompok kasus maupun pada kelompok kontrol.

4.2.8. Sanitasi makanan

Tabel 4.17. perilaku Tentang Sanitasi Makanan Yang Dilakukan Oleh Ibu Di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

c. Menyimpan makanan ditempat tertutup

d. Mencuci tangan dengan sabun

5

Tabel 4.18. perilaku yang Dilakukan Ibu Bila Ada Makan Yang Tersisa di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

Kasus Kontrol Makan yang tersisa

Jlh % jlh % Total a. Makanan dibuang

b. Makanan disimpan untuk besok c. Makan dipanaskan baru disimpan d. Dibiarkian membusuk

(58)

Tabel 4.19. Kategori Sanitasi Makanan Yang Dilakukan Oleh Ibu Di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

Sanitasi makanan merupakan yang yang berkaitan dengan resiko terhadap kejadian penyakit diare, kelompok masus maupun kelompok kontrol masing-masing 81,1% sudah baik.

4.2.9. Aktifitas sosial

Tabel 4.20. Kategori Aktivitas Sosial Ibu Di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

Identitas

Aktivitas sosial dalam masyarakat Kecamatan Suka Makmur, didapatkan pada kelompok kasus 63.3% aktif dan pada kelompok kontrol 43,3% aktif.

4.3. Analisis Bivariat

4.3.1. hubungan Variabel Independen terhadap Kejadian Diare

(59)

dilakukan tentang variabel independen terhadap kejadian diare antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.21. Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Variabel Independen, Nilai p, Odd Rasio dengan 95% CI pada ibu anak Balita di

Kecamatan Suka makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

(60)

4.3.2. hubungan Perlaku Ibu Terhadap kebersihan diri Dengan kejadian

diare

Berdasarkan (tabel 4.2) di atas terlihat bahwa proporsi kebersihan diri yang dilakukan oleh ibu 7,8% dari kasus dan 12,2% dari kontrol berperilaku kurang. Namun demikian setelah dilakukan uji X2 ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0,05) dan OR diperoleh 0,6 dengan (CI 95% ; 0,22-1,64).

4.3.3. Hubungan Perilaku Ibu Terhadap penyediaan air bersih dengan

kejadian diare

Proporsi ibu dalam penyediaan air bersih 67,8% dari kasus dan 78,9% dari kontrol berperilaku kurang. Namun demikian setelah dilakukan uji X2 ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0,05) dan OR diperoleh 0,56 dengan (CI 95% ; 0,28-1,10).

4.3.4. Hubungan Perilaku Ibu Terhadap pembuangan tinja dengan kejadian

diare

(61)

4.3.5. Hubungan Perilaku Ibu Terhadappembuangan air limbah dengan

kejadian diare

Proporsi ibu dalam pembuangan air limbah 38,9% dari kasus dan 40% dari kontrol berperilaku kurang. Namun demikian setelah dilakukan uji X2 ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0,05) dan OR diperoleh 0,95 dengan (CI 95% ; 0,52-1,73).

4.3.6. Hubungan Perilaku Ibu Terhadap pembuangan sampah dengan

kejadian diare

Proporsi ibu dalam pembuangan sampah 0% dari kasus dan 2,2% dari kontrol berperilaku kurang. Dengan demikian nilai X2 dan OR tidak dapat dihitung, ini berarti bahwa antara keluarga yang menderita diare dengan yang tidak menderita diare memiliki perilaku yang baik.

4.3.7. Hubungan Perilaku Ibu Terhadap kebersihan rumah dengan kejadian

diare

(62)

4.3.8. Hubungan Perilaku Ibu Terhadap sanitasi makanan dengan kejadian

diare

Proporsi ibu dalam praktek sanitasi makanan 18,9% dari kasus, dan 18,9% dari kontrol berperilaku kurang. Namun demikian setelah dilakukan uji X2 ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0,05) dan OR diperoleh 1,0 dengan (CI 95% ; 0,47-2,10).

4.3.9. Hubungan perilaku Aktivitas sosial Ibu Terhadap kejadian diare

Proporsi ibu dalam aktivitas sosial 36,7% dari kasus dan 56,7% dari kontrol berperilaku aktivitas sosial kurang. Setelah dilakukan uji X2 ternyata ada perbedaan yang signifikan (p < 0,05) dan OR diperoleh 0,44 dengan (CI 95% ; 0,24-0,80). Ini berarti bahwa anak balita usia 2 - 5 tahun yang menderita diare risikonya 0,44 kali aktivitas sosial ibunya kurang aktif dibandingkan dengan anak balita usia 2 - 5 tahun yang tidak menderita diare.

(63)

4.5. Hasil dari Wawancara Mendalam (Indepth Interview)

Dari hasil wawancara mendalam data dikumpulkan diklasifikasikan berdasarkan variabel penelitian yaitu tindakan kebersihan diri, tindakan terhadap penanganan sampah, tindakan terhadap pembuangan tinja, tindakan terhadap pembuangan air limbah, tindakan terhadap penyediaan air bersih, tindakan terhadap kebersihan rumah, tindakan terhadap sanitasi makanan dan pengaruh aktivitas sosial, hasil analisanya berdasarkan tabel dalam lampiran.

Karakteristik informan umur menunjukkan 25 – 38 tahun semua berstatus sebagai ibu rumah tangga dengan pendidikan terendah SLTP dan tertinggi SLTA, semua beragama Islam dan suku Aceh, jumlah anak yang dimiliki anak terbanyak 4 orang serta umur pertama kali melahirkan 20 tahun, tabel dalam lampiran.

Uraian informasi ringkas dari informan mengenai tindakan yang dilakukan tentang kebersihan diri terhadap pencegahan kejadian diare pada balita. Dari uraian tabel. 2 dalam lampiran, menunjukkan bahwa kedelapan informan yang terpilih dari kelompok kontrol sudah melakukan tindakan membersihkan diri anak dengan menggunakan sabun, dan mengajari anak berperilaku hidup bersih dengan cara yang berbeda-beda. Tindakan ini sudah merupakan salah satu dari faktor pencegahan kejadian diare.

(64)

memenuhi syarat kesehatan serta tindakkan-tindakkan yang lainnya sudah merupakan pencegahan kejadian diare.

Semua informan sudah melakukan buang hajad di WC walaupun mereka belum punya WC sendiri tetapi mereka tetap berusaha mencari ketempat lain dan tidak buang air besar disembarang tempat, tindakan ini sudah merupakan salah satu faktor pencegahan diare.

Uraian ringkas tindakan yang dilakukan tentang pembuangan air limbah terhadap pencegahan diare pada balita, bahwa informan sudah melakukan penanganan air limbah sedemikian rupa untuk mencegah kejadian diare. Semua informan sudah membuat tempat penampungan sampah sementara didalam rumah dengan bermacam tempat, melakukan pengumpulan sampah agar tidak berserakan yang pada akhirnya sampah dibakar, tindakan ini merupakan salah satu faktor mencegah kejadian diare.

Uraian ringkas tindakan yang dilakukan tentang kebersihan rumah terhadap pencegahan diare pada balita bahwa semua informan sudah melakukan tindakkan membersihkan rumah dengan baik, dan bahkan hampir semua informan menyediakan air untuk cuci kaki didepan pintu masuk kerumah, tindakkan ini sudah merupakan salah satu faktor mencegah kejadian diare.

(65)

Uraian ringkas tindakan yang dilakukan tentang aktivitas sosial terhadap pencegahan diare pada balita, bahwa informan menunjukan perhatian pada anak sehingga anak tidak merasa kehilangan dan dibengkalaikan seperti yang dilakukan informan 1 yaitu pada saat mau pergi anak ditidurkan dulu dalam ayunan jika anak menangis kepergian di batalkan, informan 2 walau ada dua kegiatan yang di ikuti tetapi yang rutin di ikuti hanya satu saja, dan saat pergi anak ditinggalkan bersama kakak atau di antar kerumah neneknya, lain lagi dengan informan 3 yang mana pada saat ibu pergi, bapak dapat menggantikan memberikan perhatian pada anak dan ibu mempunyai ide menyuruh bapak untuk melalaikan anak sehinnga anak tidak stres ditinggalkan ibunya. Informan 3 dan 4 saat ibu pergi menjalankan aktivitas anak ditinggalkan di rumah tidak sendirian tetap saja ada yang menemani anggota keluarga terdekat seperti kakanya atau nenek atau bapak. Inforeman 5 aktivitas ibu berjualan dipasar dan anak ditinggalkan di rumah bersama neneknya, akan tetapi ibu tetap pulang-pulang menjenguk anak yang ditinggalkan dirumah karena rumah tidak berpa jauh dari pasar. Informan 6, 7, dan 8 ibu tidak meninggalkan anak di rumah karena merasa tidak aman dan anak selalu dibawa ke tempat kemana kegiatan dilakukan sehingga gerak anak bisa langsung dipantau oleh ibu, tentunya dalam hal ini merawat anak sudah merupakan pekerjaan sehari-hari agar anak tidak bergerak bebas, ini salah satu faktor mencegah kejadian diare pada anak.

(66)

paling sedikit 2 orang dan yang terbanyak 5 orang, umur yang terendah pertama kali melahirkan adalah umur 20 tahun.

Uraian ringkas tindakan yang dilakukan tentang kebersihan diri terhadap pencegahan diare pada balita, menunjukkan bahwa tindakkan informan 1 membiarkan anak kadang-kadang mencuci tangan kadang-kadang tidak, informan 2 anak dibiarkan makan sendiri meskipun menggunakan sendok, informan 3 dan 6 membersihkan badan anak tidak tentu kalau sudah kotor baru anak dimandikan, memberi makanan anak kalau anak sudah lapar, informan 4 tidak diberi makan ikan karena alergi bahkan sering diberi makan dengan minyak bekas gorengan ikan, informan 5 anak lebih sering diberi makan jajanan dan kuku anak di buang kalau sudah kelihatan hitam, informan 7 anak diberi makan dibawa jalan-jalan, informan 8 anak dibiarkan makan sendiri bersama-sama kawannya, jadi hal-hal yang dilakukan informan 1 sampai dengan 8 inilah yang mungkin menimbulkan diare pada balita.

(67)

Uraian ringkas informan tentang pembuangan sampah sementara semua telah memiliki tempat penampungan didalam rumah, sampah yang dikumpulkan dibuang dan dibakar setiap hari, kecuali informan 4 yang membuang sampah 2 hari sekali.

Uraian ringkas tindakan yang dilakukan tentang pembuangan tinja terhadap pencegahan diare pada balita, menunjukkan bahwa informan 1 tidak punya WC dan anggota keluarga buang air besar di sungai, 2 informan anaknya buang air besar sering ditemani oleh kakak, informan 3, 6 dan 8 anak buang air besar di halaman belakang rumah, informan 4 dan 7 WC sering tidak disiram, informan 5 mengatakan karena WC terpisah dengan kamar mandi maka sering tidak cuci tangan dengan sabun karena sabun hanya ada dikamar mandi, informan 6 jika malam hari, anak buang air besar di ujung dapur, maka diperkirakan tindakan inilah yang dapat menimbulkan kejadia diare.

Uraian ringkas tindakan yang dilakukan tentang penyediaan air limbah terhadap pencegahan diare pada balita, menunjukkan bahwa seluruh informan tidak memiliki tempat penampungan kusus air limbah dan dalam hal penanganan air limbah tiap-tiap informan tidak jauh berbeda, dan semua saluran limbah informan kondisinya terbuka, diperkirakan hal-hal semacam inilah yang dapat menimbulkan kejadian diare.

(68)

membuang sampah dihalaman rumah dibiarkan berserakan sampai dicakar-cakar ayam, informan 4 tempat sampah dalam rumah timba bocor, informan 6 sampah dibuang setelah dua hari dan sampah basah dan kering dicampur, informan 7 membuang sampah kedalam lobang galian sehingga kalau hari hujan sampah mengapung, informan 8 membuang sampah sembarangan kekebun orang, dalam hal ini diperkirakan tindakkan seperti inilah yang dapat menimbulkan kejadian diare pada balita.

Uraian ringkas tindakan yang dilakukan tentang kebersihan rumah terhadap pencegahan diare pada balita menunjukkan bahwa informan kurang memperhatikan kebersihan rumah yang dilakukan informan 1, 2, 4, 6 dan 7 rumah jarang dibersihkan kecuali sudah kelihatan kotor, informan 3 rumah disapu tetapi tidak setiap hari dan tidak pernah dipel kecuali mau hari lebaran, sedangkan informan 8 rumah dibersihkan seminggu sekali. Tindakan tersebut diatas diperkirakan merupakan salah satu penyebab kejadian diare.

(69)

informan 7 menggunakan peralatan makan yang tidak kering atau masih basah, diperkirakan tindakan semacam inilah yang menimbulkan kejadian diare.

Gambar

Gambar 2.1. :  Jalur Penularan Penyakit Diare melalui mulut dari Tinja Manusia
Gambar 2.2
Tabel 3.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Tabel 4.1. Karakteristik Ibu yang Memiliki Anak Usia 2 – 5 tahun di Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ruang lingkup pada penelitian ini dibatasi pada pembahasan mengenai hubungan sanitasi lingkungan yang meliputi sumber air, jenis jamban, kebersihan jamban, pembuangan

Populasi ibu dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat kategori tidak baik 13 (34,2%), sedangkan Ibu yang mempunyai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat baik 25 (65,8%)Selanjutnya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan sanitasi lingkungan (sarana air bersih, sarana jamban keluarga, sarana pembuangan air limbah, dan

Hasil penelitian ini adalah ditemukan bahwa faktor lingkungan seperti sarana air bersih, sarana jamban, pengelolaan sampah rumah tangga, pengelolaan limbah cair,

Kesimpulannya adalah terdapat hubungan yang nyata antara sarana air bersih, sarana pembuangan sampah, keberadaan jamban, saluran pembuangan air limbah dan personal

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagian besar ibu-ibu yang mempunyai balita Di Puskesmas Grogol Petamburan Jakarta Barat sudah melakukan perilaku hygiene dan sanitasi

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan perilaku penggunaan jamban, perilaku penggunaan air bersih, perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun, Sarana pengelolaan sampah,

Penyediaan air bersih, pembuangan air limbah, pembuangan sampah, pemberantasan vector serta penyediaan makanan yang baik dapat mencapai hygiene dan sanitasi pelabuhan yang