• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kondisi Kerja Dan Karakteristik Individual Dengan Stres Kerja Pada Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kondisi Kerja Dan Karakteristik Individual Dengan Stres Kerja Pada Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam 2008"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KONDISI KERJA DAN KARAKTERISTIK

INDIVIDUAL DENGAN STRES KERJA PADA PEGAWAI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

LUBUK PAKAM 2008

TESIS

Oleh

TRI SUMARNI SIBORO

077010010/IKM

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN KONDISI KERJA DAN KARAKTERISTIK

INDIVIDUAL DENGAN STRES KERJA PADA PEGAWAI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

LUBUK PAKAM 2008

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Kekhususan Kesehatan Kerja pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

TRI SUMARNI SIBORO

077010010/IKM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN KONDISI KERJA DAN KARAKTERISTIK INDIVIDUAL DENGAN STRES KERJA PADA PEGAWAI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLS II B LUBUK PAKAM 2008

Nama Mahasiswa : Tri Sumarni Siboro Nomor Pokok : 077010010

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Kekhususan : Kesehatan Kerja

Mengetahui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Habibah. Nst, Sp. PD.K.Psi) Ketua

(Ferry Novliadi, S.Psi. M.Psi) Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 26 Mei 2009

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Habibah. Nst, Sp.PD.K.Psi

Anggota : 1. Ferry Novliadi, S.Psi. M.Psi

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM

(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN KONDISI KERJA DAN KARAKTERISTIK

INDIVIDUAL DENGAN STRES KERJA PADA PEGAWAI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

LUBUK PAKAM 2008

TESIS

Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Mei 2009

Penulis,

(6)

ABSTRAK

Pada umumnya pekerja akan mengalami stress kerja bila mereka berfikir bahwa bahwa pekerjaan itu mengancam, terlebih bagi mereka yang tidak mempunyai banyak peluang untuk bekerja di tempat lain. Pegawai Lembaga Pemasyarakatan sangat berperan dalam pelayanan dan pembinaan kepada masyarakat dan warga Binaan itu sendiri. Setiap kegiatan di dalam ruang kerja dapat menjadi stressor bagi pegawai, di mana pegawai Lapas selalu berinteraksi dengan tahanan/narapidana yang hampir seluruhnya mempunyai temperamen keras didukung dengan situasi Lembaga Pemasyarakatan yang dikelilingi tembok yang tinggi mengakibatkan pegawai Lembaga Pemasyarakatan merasa terasing.

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kondisi kerja dan karakteristik Individual (umur, masa kerja, status perkawinan, pendidikan) dengan stres kerja pegawai Lapas klas II B L. Pakam.

Penelitian ini adalah penelitian crossectional dengan sampel terdiri 86 orang pegawai analisa data dengan menggunakan Chi-Square.

Hasil uji Chi-Square antara kondisi kerja dengan stress kerja menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna di mana (P< 0,05) begitu juga dengan hubungan karakteristik individual masa kerja mempunyai hubungan yang bermakna dengan stres kerja sedangkan karakteristik Individual (umur, status perkawinan, pendidikan) dengan stres kerja tidak menunjukkan hubungan yang bermakna.

Stres kerja perlu dikendalikan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan dan pegawai Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri sebagai upaya pengendalian dengan pencegahan terhadap terjadinya penyakit akibat kerja.

(7)

ABSTRACT

Generally workers will experince work stress when they think that the work is theratening, especially for those who do not have many oppurtunities to work in the other places. The staff of Penitentiary (Lembaga Pemasyarakatan) do play their role in providing service and development for the community and the inmates that any activity occurs in their working places can be a stressor to them because the staff of Penitentiary always interact with the inmates who, almost all of them, are highly temperamental and situation in the Penitentiary which is surrounded by high wall makes the staff of Penitentiary feel isolated.

The purpose of the cross-sectional study is to analyze the relationship between work condition and individual characteristic (age, lenght of service, marital status, education) and the work stress esperienced by the staff of the Penitentiary class IIB Lubuk Pakam. The samples for study were 86 staff of the Penitentiary class IIB Lubuk Pakam and the data obtained were analyzed through Chi-square test.

The result of Chi-square test shows that there is a significant relationship between work condition and work stress (p<0,05) and in terms of the individual characteristic, lenght of service has a significant relationship with work stress while age, marital status, education do not have any significant relationship with work stress.

It is suggested that the management and the staff of the Penitentiary themselve need to control the existing work stress as and attempt to prevent the incident of any illness because of work stress.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan

kemurahan-NYA memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat

menyusun tesis ini dengan judul Hubungan Kondisi Kerja dan Karakteristik

Individual dengan Stres Kerja pada Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II B

Lubuk Pakam 2008. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

studi Strata 2 pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan

Kesehatan Kerja pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga

kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM selaku Ketua Program Studi Ilmu

Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan

sebagai Komisi Pembanding yang telah banyak memberi masukan dan saran

untuk penyempurnaan tesis ini.

3. Prof. Dr. Habibah Hanum, Sp.PD-K.Psi selaku Ketua Komisi Pembimbing

yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan

pemikiran dengan penuh kesabaran di tengah-tengah kesibukannya.

4. Ferry Novliadi, S.Psi, M.Psi selaku Anggota Pembimbing yang telah

memberikan saran-saran dan masukan serta dorongan dalam menyelesaikan

tesis ini.

5. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK selaku Komisi Pembanding yang banyak

memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan tesis ini.

6. Kalapas Klas II B Lubuk Pakam, yang memberi izin penelitian ini atas

informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tesis ini.

(9)

8. Orang tua, suami dan kedua ananda tercinta yang senantiasa memberikan

dukungan, dan memberi semangat belajar dan inspirasi serta mendoakan

selama penulis mengikuti perkuliahan hingga selesai pendidikan di Program

Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara.

9. Rekan-rekan Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2007 dan

teman lainnya yang telah banyak memberikan dukungan dan doa kepada

penulis dan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, dengan

demikian sumbangan saran untuk perbaikan sangat diharapkan.

Akhirnya penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi kesehatan masyarakat,

khususnya pada Lembaga Pemasyarakatan.

Medan, Mei 2009 Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

NAMA : TRI SUMARNI SIBORO

TEMPAT/TGL LAHIR : PADANG/23 SEPTEMBER 1971

AGAMA : KRISTEN

ALAMAT : JL. PERBATASAN NO. 53 A BAKARAN BATU

LUBUK PAKAM

RIWAYAT PENDIDIKAN

TAHUN 1978-1984 : SDN PEMATANG SIANTAR

TAHUN 1984-1987 : SMPN 4 PEMATANG SIANTAR

TAHUN 1987-1990 : SMA RK BUDI MULIA PEMATANG SIANTAR

TAHUN 1990-2000 : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

METHODIST INDONESIA

TAHUN 2007-2009 : PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN

MASYARAKAT KEKHUSUSAN KESEHATAN

KERJA SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RIWAYAT PEKERJAAN

TAHUN 2000-2003 : DOKTER PTT PUSKESMAS MAKARTI JAYA

PALEMBANG

(11)

DAFTAR ISI

1.4.Hipotesis Penelitian... 7

1.5.Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1. Stres Kerja... 8

2.3. Karakteristik Pekerja... 25

2.3.1. Umur ... 25

2.3.2. Masa Kerja ... 26

2.3.3. Pendidikan... 26

2.3.4. Status Perkawinan ... 27

2.4. Lembaga Pemasyarakatan... 27

2.4.1. Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi ... 28

2.5. Kerangka Konsep Penelitian.. ... 34

BAB III METODE PENELITIAN... 35

3.1. Jenis Penelitian ... 35

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.3. Populasi dan Sampel ... 35

3.3.1. Populasi ... 35

(12)

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 36

3.4.1. Data Primer ... 36

3.4.2. Data Sekunder ... 36

3.5. Cara Pengumpulan Data... 36

3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 37

3.6.1. Variabel Penelitian... 37

3.6.2. Definisi Operasional.... ... 37

3.7. Metode Pengukuran... 38

3.7.1. Pengukuran variabel... ... 39

3.8. Tekhnik Pengolahan dan Analisa... 41

3.8.1. Pengolahan Data... .. ... 41

3.8.2. Analisa Data ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN... 43

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 42

4.1.1. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam... 44

4.2. Karakteristik Sampel... 46

4.2.1. Umur... 46

4.2.2. Pendidikan... 47

4.2.3. Status Perkawinan... 48

4.2.4. Masa Kerja... 49

4.2.5. Tingkat Kondisi Kerja... 50

4.2.6. Tingkat Stres Kerja... 51

4.3. Hubungan Umur dengan Stress Kerja... 53

4.4. Hubungan antara Masa Kerja dengan Stres Kerja ... 54

4.5. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja... 55

4.6. Hubungan antara Status Perkawinan dengan Stres Kerja... 56

4.7. Hubungan antara Kondisi Kerja dengan Stres Kerja ... 57

BAB 5 PEMBAHASAN... 59

5.1. Hubungan Umur dengan Stres Kerja... 59

5.2. Hubungan Masa Kerja dengan Stres Kerja... 60

5.3. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja... 62

5.4. Hubungan antara Status Perkawinan dengan Stres Kerja... 63

5.5. Hubungan Kondisi Kerja dengan Stres Kerja... 65

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 67

6.1. Kesimpulan... 67

6.2. Saran... 67

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Pengukuran Variabel... 39

3.2. Pengkategorian Kondisi Kerja dan Stres Kerja... 40

4.1. Distribusi Pegawai Berdasarkan umur ... 46

4.2. Distribusi Pegawai Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan... 47

4.3. Distribusi Pegawai Berdasarkan Status Perkawinan... 48

4.4. Distribusi Pegawai Berdasarkan Masa Kerja... 49

4.5. Distribusi Pegawai Berdasarkan Kondisi Kerja... 50

4.6. Distribusi Pegawai Berdasarkan Tingkat Stres Kerja... 51

4.7. Hubungan Umur dengan Stres Kerja... 53

4.8. Hubungan Masa Kerja dengan Stres Kerja... 54

4.9. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja... 55

4.10. Hubungan Status Perkawinan dengan Stres Kerja... 56

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Kerangka Konsep Penelitian... 34

3.1. Kurve Distribusi Normal untuk Interval Kategori Ringan, Sedang dan Berat... 40

4.1. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam... 45

4.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur... 46

4.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Pendidikan... 47

4.4. Karakteristik Sampel Berdasarkan Status Perkawinan... 48

4.5. Karakteristik Sampel Berdasarkan Masa Kerja... 49

4.6. Skala Interval Kondisi Kerja pada Distribusi Normal... 50

4.7. Karakteristik Sampel Berdasarkan Kondisi Kerja... 51

4.8. Tingkat Stres Kerja... 52

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Karakteristik Individu... 71

2. Kuesioner... 72

3. Kuesioner Stres Kerja... 74

4. Master Data... 76

5. Tabel Frekuensi... 82

6. Master Tabel... 88

7. Surat Izin Penelitian... 94

8. Surat Izin Telah Melakukan Penelitian... 95

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengertian sehat adalah keseimbangan yang mencakup empat aspek yaitu:

fisik (badan), mental (jiwa), sosial dan ekonomi. Keempat dimensi tersebut saling

mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan pada seseorang, kelompok, atau

masyarakat dan menurut Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992,

memberikan batasan kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial dan

ekonomi yang memungkinkan orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi

(Notoatmodjo, 2004).

Kondisi kerja merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap

semangat bekerja dan memungkinkan banyaknya terjadi bahaya bagi pekerja itu

sendiri. Kondisi kerja yang baik ditandai oleh peredaran udara yang baik, penerangan

lampu yang terang, jauh dari kebisingan, tata ruang yang baik. Kondisi kerja

mencakup lingkungan secara fisik dan sosial misalnya hubungan dengan teman

sekerja, hubungan atasan dengan bawahan, dan rasa aman bagi pekerja itu sendiri

saat melakukan pekerjaan (Anoraga, 2006).

Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada

tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka dikatakan

(17)

mengalami gangguan emosi karena adanya kondisi yang mempengaruhi dirinya yang

dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri seseorang (Ulhaq, 2008).

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan suatu institusi yang memiliki

tujuan membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,

menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga

dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung

jawab. Untuk mewujudkan hal tersebut maka petugas Lapas harus dapat

melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara optimal. Kelebihan tingkat hunian

merupakan permasalahan utama yang dihadapi Lapas dan Rumah Tahanan (Rutan)

di seluruh Indonesia. Tingkat hunian yang melebihi daya tampung ini sangat

menyulitkan baik dalam segi pembinaan, pengawasan, maupun pemeliharaan sanitasi

para warga binaan itu sendiri.

Menurut Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiono, jumlah narapidana

di Indonesia mencapai 132.000 orang, sedangkan daya tampung maksimal Lapas

sebanyak 80.000 orang, data dari Registrasi Statistik Ditjen Pemasyarakatan, bahwa

sampai Januari 2007 kelebihan kapasitas Lapas/Rutan di Indonesia mencapai 54,73%

yaitu kapasitas hunian Lapas/Rutan yang hanya mampu menampung 76.550 orang

maka sampai Januari 2007 dihuni sebanyak 118.453 orang. Bahkan, beberapa

Lapas/Rutan ada over kapasitas sampai melebihi 100% (Hukum HAM, 2007).

Lembaga Pemasyarakatan Kls II B Lubuk Pakam mempunyai kapasitas 350 orang

(18)

Selain kapasitas yang melebihi daya tampung, maka usia dan lamanya

hukuman serta latar belakang penghuni penjara yang sangat bervariasi seperti

pencuri, perampok, penipu, pembunuh atau pemerkosa bahkan pengedar narkoba,

penjudi, bandar judi serta koruptor, menyebabkan pengelolaan lapas menjadi sangat

kompleks dan memerlukan penyesuaian ataupun perubahan. Permasalahan lain yang

perlu juga diperhatikan adalah kondisi lingkungan kerja dari Lapas itu sendiri,

di mana suasana kerja petugas pengaman yang monoton dan bergaul dengan

penghuni Lapas dengan temperamen yang keras, disertai dengan lingkungan yang

dikelilingi tembok yang tinggi, sehingga dengan cepat memicu terjadinya kebosanan.

Tingginya tembok Lapas yang berukuran tinggi ± 3 meter, mengakibatkan sirkulasi

udara tidak lancar menyebabkan temperatur udara yang panas dan pengap sehingga

menimbulkan stres dan berefek kepada kesehatan pekerja.

Akibat kompleksnya permasalahan yang timbul dalam kondisi kerja lembaga

pemasyarakatan dan rumah tahanan, berakibat pada tuntutan tugas yang melebihi

kemampuan dari para Pegawai Lapas dan Pegawai Rutan tersebut. Pegawai Lapas

mempunyai beban dan tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya,

karena yang dibina para pelanggar hukum. Resiko kerja yang dialami oleh para

pegawai sangat berat dan tidaklah seimbang dengan kesejahteraan yang diterima oleh

pegawai Lapas, sehingga memungkinkan terjadinya pungutan liar oleh pegawai

terhadap warga binaan atau masyarakat yang ingin menjenguk keluarganya (Rohimat,

(19)

Permasalahan tersebut menjadi pemicu dari peningkatan premanisme,

pelarian, perkelahian, pemberontakan, kerusuhan, huru hara dan penyebaran penyakit

menular di Lapas. Kurangnya jumlah pegawai Lapas secara kuantitatif dan kualitatif

merupakan faktor pendukung terjadinya hal-hal tersebut di atas (Rachmayanthy,

2007). Beratnya beban kerja yang dialami pegawai Lapas terutama pegawai Lapas

harus membina para tahanan dari segi fisik, psikis dan spiritual dapat menyebabkan

timbulnya stres. Sesuai dengan penelitian Firmanto (2006) bahwa sebanyak 85%

pegawai Lapas Klas I Surabaya mengalami stres kerja karena adanya ketidaksesuaian

antara tuntutan yang berkaitan dengan tugas pokok pegawai dan peraturan yang

berlaku serta situasi, kondisi dan fasilitas lingkungan kerja tersebut, sehingga memicu

terjadinya stres fisiologis dan psikologis. Adapun gejala stres di tempat kerja meliputi

kepuasan kerja yang rendah, kinerja yang menurun, semangat dan energi menjadi

hilang, komunikasi tidak lancar pengambilan keputusan jelek dan kreativitas dan

inovasi kurang serta bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif.

Keith Davis (1985) mengatakan bahwa stres sebagai suatu kondisi ketegangan

yang mempengaruhi emosi, proses pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang

dialami seseorang tentunya akan mengganggu kesehatannya. Hasil Penelitian Plaut

dan Friedman (1981), Baker (1985) menyatakan bahwa stres yang dialami seseorang

akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara

menurunkan jumlah fighting desease cells, sehingga seseorang lebih mudah terinfeksi

penyakit, terkena alergi dan untuk menyembuhkannya memerlukan waktu yang lama

(20)

Penurunan status kesehatan ini tentunya akan menurunkan kinerja yang pada

akhirnya juga menurunkan produktivitas kerja. Kondisi tersebut akan mempengaruhi

perusahaan tempat bekerja, di mana perusahaan akan mengalami kerugian finansial

karena tidak seimbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk

membayar gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya. Banyak karyawan yang tidak masuk

kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya karena

kelambanan ataupun kesalahan yang berulang (Rini, 2002).

Pegawai Lapas kemungkinan besar mengalami stres kerja, stress kerja adalah

suatu perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan

yang disebabkan oleh stressor dari lingkungan kerja seperti faktor lingkungan

fisik, faktor organisasional dan faktor individu (Sasono, 2008).

Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu panas, terlalu

dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas

menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu

juga ruangan yang terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur

udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi

andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada

kebisingan dibanding yang lain (Margiati, 1999).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja Jepang

terhadap 12.000 perusahaan yang melibatkan sekitar 16.000 pekerja di negara

tersebut yang dipilih secara acak telah menunjukkan hasil bahwa ditemukan sebanyak

(21)

merasa tersisihkan (Rahmad, 2001). Faktor individual adalah mencakup faktor-faktor

dalam kehidupan pribadi karyawan seperti persoalan keluarga, masalah ekonomi

pribadi dan karakteristik kepribadian bawaan. Survei nasional secara konsisten

menunjukkan bahwa orang menganggap hubungan pribadi dan keluarga sangat

berharga. Kesulitan pernikahan, pecahnya suatu hubungan dan kesulitan disiplin pada

anak-anak merupakan contoh masalah hubungan yang menciptakan stres bagi para

karyawan dan terbawa ke tempat kerja (Sasono, 2008).

Pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam berjumlah 86 orang dengan 55 orang

bagian penjagaan, 31 orang bagian administrasi, yaitu: bagian Register 12 orang,

bagian perawatan 4 orang, bagian bimbingan kerja 4 orang, bagian Tata Usaha 11

orang. Penjagaan dibagi dalam tiga shif, yaitu: pagi dari jam 07.00 WIB s/d 13.30

WIB, siang dari 13.30 WIB s/d 19.00 WIB, malam dari jam 19.00 WIB s/d 07.00

WIB. Hal ini berlaku juga bila tahanan/narapidana ada yang dirawat di rumah sakit.

Bila ada tahanan/narapidana dirawat di rumah sakit yang bertanggung jawab untuk

keamanannya adalah petugas pengamanan sehingga petugas harus benar-benar

waspada terhadap tahanan/narapidana yang terkadang mengambil kesempatan

untuk melarikan diri. Hasil wawancara pada uji pendahuluan yang dilakukan pada

petugas pengaman Lapas di klinik Lapas Klas II B Lubuk Pakam, di mana pegawai

mengeluhkan mengalami gangguan tidur sebanyak 15%, menurunnya nafsu makan

dan gangguan pencernaan sebanyak 40%, keseimbangan kadar gula darah bagi yang

(22)

Untuk mencegah keluhan yang ada maka perlu adanya suatu penelitian yang

berkaitan dengan hubungan kondisi kerja dan karakteristik individual dengan stres

kerja pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam.

1.2. Permasalahan

Bagaimana hubungan kondisi kerja dan karakteristik individu dengan stres

kerja pegawai Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Lubuk Pakam 2008.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kondisi kerja dan karakteristik individual pegawai Lapas Klas II

B Lubuk Pakam 2008.

2. Mengetahui hubungan kondisi kerja dan karakteristik individual pegawai

Lapas Klas II B Lubuk Pakam 2008.

1.4. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan kondisi kerja dan karakteristik individu dengan stres kerja pada

pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam 2008.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan pada Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam tentang

kondisi kerja dan karakteristik individual pegawai Lapas dengan stres kerja.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stres Kerja

Stres Kerja (Hans Selye, 1950) adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik

terhadap setiap tuntutan beban atasnya, misalnya bagaimana respon tubuh seseorang

manakala yang bersangkutan mengalami pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup

mengatasinya artinya tidak ada gangguan fungsi organ tubuh, maka dikatakan yang

bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ternyata ia mengalami

gangguan pada satu atau lebih fungsi organ tubuh mengakibatkan seseorang tidak lagi

dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka ia disebut distres (Hawari, 2004).

Stres kerja dikatagorikan apabila seseorang mengalami stres dan melibatkan

pihak organisasi tempat orang yang bersangkutan bekerja (Rice, 1992). Setiap aspek

dari lingkungan kerja dapat dirasakan sebagai stres oleh tenaga kerja, tergantung dari

persepsi tenaga kerja terhadap lingkungannya, apabila ia merasakan adanya stres atau

tidak.

Luthans (2000) mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam

menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis,

sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu

banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Oleh karena itu dapatlah

disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan

(24)

Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada

lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang

menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stressor. Pendekatan ini

memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan

dengan respon individu. Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai

konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres

dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan

hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu

untuk memberikan tanggapan.

Pada kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan

kesamaan persepsi tentang batasan stres. Baron dan Greenberg dalam Margiati,

(1999), mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi emosional dan psikologis yang

terjadi pada situasi di mana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa

mengatasinya. Aamodt dalam Margiati (1999) memandang stres sebagai respon

adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan tindakan

eksternal, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis.

Berbeda dengan pakar di atas, Landy dalam Margiati (1999), memahami stres

sebagai ketidakseimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga

menimbulkan konsekuensi penting bagi dirinya. Robbins memberikan definisi stres

sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan,

(25)

Stres kerja dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara karakteristik

kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat

terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat

mempengaruhi daya tahan stres seorang karyawan. Masalah Stres kerja di dalam

organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya

tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu

orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan

pada emosi, proses berfikir dan gangguan fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari

adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam

dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresif, tidak

dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak

mampu terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur.

2.1.1. Faktor-faktor yang Menimbulkan Stres Kerja

Faktor-faktor yang menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke dalam lima

kategori besar yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi,

pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi

Hurrel (Munandar, 2001).

1. Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan

Termasuk dalam kategori ini tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik

misalnya faktor kebisingan. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup: kerja malam,

(26)

a. Tuntutan fisik:

Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap faal dan psikologis diri

seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres (stressor).

Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat

pendengaran kita, juga dapat merupakan sumber stres yang menyebabkan

peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis kita. Kondisi demikian

memudahkan timbulnya kecelakaan, misalnya tidak mendengar suara-suara

peringatan sehingga timbul kecelakaan, bising yang berlebih (sekitar 80 desibel) yang

berulangkali didengar, untuk jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan stres.

Dampak psikologis dari bising yang berlebih ialah mengurangi toleransi dari tenaga

kerja terhadap pembangkit stress yang lain, dan menurunkan motivasi kerja

(Anonymous, 2008).

b. Tuntutan tugas:

Penelitian menunjukkan bahwa shift kerja malam merupakan sumber utama

dan stres bagi para pekerja pabrik. Para pekerja shift malam lebih sering mengeluh

tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/siang dan dampak

dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan

sistem pencernaan. Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan

pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam beban kerja

berlebih/terlalu sedikit kuantitatif, yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang

(27)

tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas yang tidak menggunakan

ketrampilan dan atau potensi dari tenaga kerja. Di samping itu beban kerja berlebih

kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan jam kerja yang berlebihan, yang

merupakan sumber tambahan dari stress, di mana beban berlebih secara fisikal

ataupun mental, yang harus melakukan terlalu banyak hal, memungkinan sumber

stress dari pekerjaan tersebut.

Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah desakan waktu,

yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan

cermat sehingga meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi.

Karena desakan waktu menyebabkan banyaknya kesalahan dan menyebabkan kondisi

kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih

secara kuantitatif. Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat mempengaruhi

kesejahteraan psikologis seseorang. Pada pekerjaan yang sederhana, di mana banyak

terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam

kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus

dilakukan, dapat menghasilkan berkurangnya perhatian. Hal ini, secara potensial

membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat.

Beban berlebihan kualitatif merupakan pckerjaan yang dilakukan oleh manusia makin

beralih titik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk.

Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan

(28)

memerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang

dimiliki.

Pada titik tertentu kemajemukan pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi menjadi

destruktif. Pada titik tersebut kita telah melewati kemampuan kita untuk memecahkan

masalah dan menalar dengan cara yang konstruktif. Timbullah kelelahan mental dan

reaksi-reaksi emosional dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa kelelahan mental,

sakit kepala, dan gangguan pada sistem pencernaan merupakan hasil dari kondisi

kronis dari beban berlebih kualitatif. Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan

keadaan di mana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan ketrampilan

yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara

penuh. Beban terlalu sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke

semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia

tidak maju-maju, dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan

ketrampilannya (Anonymous, 2008).

2. Peran Individu dalam Organisasi

Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya

setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai

dengan aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Tenaga

kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah.

Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres yaitu meliputi

(29)

a. Konflik peran

Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya:

1) Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab.

2) Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan

merupakan bagian dari pekerjaannya.

3) Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang

lain yang dinilai penting bagi dirinya.

4) Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan

tugas pekerjaannya.

b. Ketatalaksaan peran: jika seorang pekerja tidak memiliki cukup informasi

untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi

harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan

ketatalaksanaan meliputi ketidakjelasan dari tujuan-tujuan kerja.

1) Kesamaran tentang tanggung jawab.

2) Ketidakjelasan tentang prosedur kerja.

3) Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain.

4) Kurang adanya ketidakpastian tentang produktivitas kerja.

Stres yang timbul karena ketidakjelasan sasaran akhirnya mengarah

ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan diri, rasa tak berguna, rasa

harga diri menurun, tidak ada motivasi kerja, peningkatan tekanan darah dan denyut

nadi bertambah cepat, dan kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan, bila

(30)

3. Pengembangan karir

Unsur-unsur penting pengembangan karir meliputi:

1) Peluang untuk menggunakan ketrampilan jabatan sepenuhnya.

2) Peluang mengembangkan ketrampilan yang baru.

3) Penyuluhan karir untuk memudahkan keputusan yang menyangkut karir.

4) Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup

ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.

4. Hubungan dalam Pekerjaan

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya

kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam

organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketatalaksana peran

yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara

pekerja dan ketegangan psikologikal dalam bcntuk kepuasan pekerjaan yang rendah,

penurunan dari kodisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan

kerjanya (Munandar, 2001).

5. Struktur dan iklim organisasi

Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini adalah terpusat pada sejauh

mana tenaga kerja dapat terlihat atau berperan serta pada support sosial.

Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan

(31)

2.1.2. Proses Stres

Dalam peristiwa terjadinya stres, ada tiga hal yang saling terkait satu dengan

yang lainnya (Nasution, 2000) yakni:

1. Hal, peristiwa, keadaan, orang yang menjadi sumber stres (stressor) jika

dipandang secara umum, hal-hal yang menjadi sumber stres dipahami sebagai

rangsangan (stimulus).

2. Orang yang mengalami stres (the stressed), kita dapat memusatkan perhatian

pada tanggapan (respons) orang tersebut terhadap hal-hal yang dinilai

mendatangkan stres. Tanggapan orang tersebut terhadap sumber stres dapat

dipengaruhi pada psikologis dan fisiologis. Tanggapan ini disebut strain, yaitu

tekanan atau tanggapan yang dapat membuat pola pikir, emosi dan perilakunya

kacau, dapat membuat gugup dan gelisah. Secara fisiologis kegugupan dan

kegelisahan itu dapat menyebabkan denyut jantung yang cepat, perut mual,

mulut kering, banyak keringat dan lain-lain.

3. Hubungan antara orang yang mengalami stres dengan hal yang menjadi

penyebab (transaction). Hubungan itu merupakan proses, yaitu ada penyebab

stres dan pengalaman individu yang terkena stres saling terkait.

Perbedaan cara, kemampuan dan keberhasilan seseorang dalam menanggapi

hal-hal yang mendatangkan stres tersebut, maka orang dapat mengalami stres yang

berbeda-beda (ada yang tidak terkena, ada yang terkena sedikit dan waktunya singkat,

(32)

Dadang Hawari (2001) menyatakan bahwa tahapan stres sebagai berikut:

a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu

bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa

memperhitungkan tenaga yang dimiliki dan penglihatan menjadi tajam.

b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak

segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah

makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel

discomfort), jantung berdebar dan otot kaku. Hal tersebut karena cadangan

tenaga tidak memadai.

c. Stres tahap ketiga, yaitu stres dengan keluhan seperti defekasi tidak teratur

(kadang-kadang diare), otot kaku, emosional, insomnia, mudah dan sulit tidur

kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur, gangguan

pernafasan, sering berkeringat, gangguan kulit, kepala pusing, migran, kanker,

ketegangan otot.

d. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu

bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan

menjemuhkan, respon tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola

tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta

timbul ketakutan dan kecemasan.

e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik

(33)

menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan

berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik.

f. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda

seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin dan banyak

keluar keringat, loyo, pingsan atau kolaps.

Timbulnya stres kerja pada seorang tenaga kerja melalui tiga tahap (Nasution,

2000) yaitu:

a. Reaksi awal yang merupakan fase inisial dengan timbulnya beberapa gejala/

tanda, namun masih dapat diatasi oleh mekanisme pertahanan diri.

b. Reaksi pertahanan yang merupakan adaptasi maksimum dan pada masa

tertentu dapat kembali kepada keseimbangan. Bila stres ini terus berlanjut dan

mekanisme pertahanan diri tidak sanggup berfungsi lagi maka berlanjut ke

fase ketiga.

c. Kelelahan yang timbul akibat mekanisme adaptasi telah kolaps (layu).

2.1.3. Gejala Stres

Herry Beehr dan Newman, 1987 membagi gejala dan tanda stres menjadi tiga

gejala yakni: gejala fisik, gejala psikologis dan gejala perilaku.

a. Gejala fisik

Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, gangguan lambung, mudah

(34)

b. Gejala psikologis

Kecemasan, ketegangan, bingung, marah, sensitif, memendam perasaan,

komunikasi tidak efektif, menurunnya fungsi intelektual, mengurung diri,

ketidakpuasan kerja, kebosanan, lelah mental, mengasingkan diri, kehilangan

konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas, kehilangan semangat hidup,

menurunnya harga diri dan rasa percaya diri merupakan gejala dari depresi.

c. Gejala perilaku

Menunda atau menghindari pekerjaan, penurunan prestasi dan produktivitas,

minuman keras dan mabuk, perilaku sabotase, sering mangkir kerja, kehilangan nafsu

makan, penurunan berat badan, ngebut dijalan, meningkatnya agresivitas dan

kriminalitas, penurunan hubungan interpersonal dengan keluarga serta teman serta

kecenderungan bunuh diri. Selama stres berlangsung, akan menimbulkan reaksi

kimiawi dalam tubuh yang mengakibatkan perubahan-perubahan, antara lain

meningkatnya tekanan darah dan metabolisme (Anoraga, 2006).

Hubungan stres dengan gangguan emosional yang mempengaruhi otak,

melalui sistem neurohormonal menyebabkan gejala-gejala badaniah yang dipengaruhi

oleh hormon adrenalin dan sistem saraf otonom. Adrenalin yang meningkat

menimbulkan kadar asam lemak bebas meningkat dan ini merupakan persediaan

sumber energi ekstra. Bilamana peningkatan ini tidak disertai kegiatan fisik, energi

ekstra ini tidak dibakar habis, akan diproses hati menjadi lemak kolesterol dan

(35)

kenaikan tekanan darah, denyut jantung yang bertambah, dan keduanya

mengakibatkan gangguan pada kerja jantung bahkan mudah menimbulkan kematian

mendadak atau serangan jantung (MCI) (Anonymous, 2008).

Gangguan sistem saraf otonom, menimbulkan gejala seperti keluarnya

keringat dingin (keringat pada telapak tangan), badan terasa panas dingin, asam

lambung yang meningkat (sakit maag), kejang lambung dan usus, mudah kaget,

gangguan seksual dan lain-lain. Gejala stres yang berat dapat menyebabkan hilangnya

kontak sama sekali dengan lingkungan sosial. Dalam perkembangan selanjutnya

ternyata dampak stres tidak hanya mengenai gangguan fungsional berupa kelainan

organ tubuh, tetapi juga berdampak pada bidang kejiwaan (psikiatrik) yaitu

kecemasan atau depresi.

Lingkungan kerja, sebagaimana lingkungan lainnya, juga menuntut adanya

penyesuaian diri dari individu yang menempatinya. Dalam lingkungan kerja ini

individu memiliki kemungkinan untuk mengalami keadaan stres. Secara umum

terdapat tiga buah pendekatan untuk membahas masalah stres dalam ruang lingkup

organisasi. Pendekatan pertama berorientasi pada karakteristik obyektif dari berbagai

situasi kerja yang dapat menimbulkan stres. Pendekatan kedua mengacu pada

karakteristik individu sebagai penyebab utama stres. Pendekatan ketiga melalui acuan

interaksi antara situasi obyektif dan karakteristik individu (Anonymous, 2008).

(36)

2.1.4. Dampak Stres Kerja

a. Pada Perusahaan

Rini, (2002) mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang

berpengaruh terhadap organisasi. Stres yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi

dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja serta tendesi

mengalami kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan

oleh stres kerja adalah:

1) Terhambatnya manajemen maupun operasional kerja.

2) Mengganggu kenormalan aktivitas kerja.

3) Menurunkan tingkat produktivitas.

4) Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan.

b. Pada Karyawan

Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi

perusahaan. Pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan

diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan

sebaik-baiknya. Reaksi terhadap stres dapat merupakan gangguan bersifat psikis

maupun fisik. Pekerja atau karyawan yang stres akan menunjukkan perubahan

perilaku. Perubahan perilaku terjadi pada diri manusia sebagai usaha mengatasi stres.

Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres (flight) atau freeze

(berdiam diri). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini biasanya dilakukan

(37)

Perubahan-perubahan ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala individu

yang mengalami stres antara lain (Margiati, 1999).

a. bekerja melewati batas kemampuan.

b. Sering terlambat masuk kerja.

c. Sering absen atau tidak hadir.

d. Sulit membuat keputusan.

e. Lalai menyelesaikan pekerjaan.

f. Lupa akan janji yang telah dibuat dan kegagalan diri sendiri.

g. Sulit berhubungan dengan orang lain.

h. Risau tentang kesalahan yang dibuat.

i. Menunjukkan gejala fisik yaitu gangguan pada sistem pencernaan, sistem

cardiovasculer, kulit lebih rentan dan gangguan sistem pernafasan.

Dewasa ini konsep tentang stres kerja telah menjadi perhatian nasional bahkan

dunia, karena peningkatan jumlah klaim ketidakmampuan berdasarkan faktor-faktor

terkait stres. Kemajuan teknologi tampaknya memperlambat kemampuan kita untuk

mempertahankan produktivitas, dan merasa hanya memiliki sedikit kendali bahkan

tidak memiliki kendali sama sekali. Pekerja menjadi lebih rentan terhadap bahaya

stres kerja, karena menghabiskan sebagian besar waktu di tempat kerja dan stres kerja

dengan cepat menjadi isu pelayanan kesehatan nasional, strategi managemen stres

sangat penting untuk membantu menjaga kesehatan optimum pekerja di setiap sudut

(38)

Stres mempengaruhi orang dengan cara yang berbeda dan jika dibiarkan tidak

ditangani akan menimbulkan kegelisahan di tempat kerja. Kegelisahan itu terpendam

jauh di dalam hati, seringkali tersembunyi, tetapi tetap ada dan membebani individu.

Pengusaha seringkali membiarkan dan mengabaikannya. Stres dapat berasal dari

peristiwa kehidupan pribadi kita atau ditempat kerja, yang pada akhirnya akan

mempengaruhi kita ditempat kerja. Semakin lama hal itu diabaikan, semakin besar

dampaknya. Stres kerja perlu sedini mungkin diatasi oleh pimpinan agar hal yang

merugikan perusahaan dapat diatasi. Orang-orang yang mengalami stres menjadi

nervous dan merasakan kekuatiran kronis. Sering menjadi marah-marah atau, agresif,

tidak dapat rileks atau memperlihatkan sikap yang tidak kooperatif. Stres kerja dapat

terjadi hampir pada semua pekerja, baik tingkat pimpinan maupun staff. Kondisi kerja

yang lingkungannya tidak baik sangat pontesial untuk menimbulkan stres kerja

(Anonymous, 2008).

2.2. Kondisi kerja

a. Lingkungan kerja

Kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah sakit,

mudah stres, sulit berkonsentrasi menyebabkan menurunnya produktif kerja.

Lingkungan kerja yang kurang nyaman, misalnya: panas, berisik, sirkulasi udara

kurang, lingkungan kerja yang kurang bersih, membuat pekerja mudah menderita

(39)

suhu, penerangan, suara dan ciri-ciri arsitektur tempat kerja. Dan dapat dijelaskan

bahwa variabel tadi mempengaruhi sikap dan perilaku pekerja (Supardi, 2007).

Kondisi lingkungan kerja, dapat menyebabkan ketidaknyamanan seseorang

dalam menjalankan pekerjaannya misalnya suhu udara dan kebisingan, karena

beberapa orang sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan (Margiati, 1999).

Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja, yaitu

faktor lingkungan kerja dan faktor personal. Faktor lingkungan kerja dapat berupa

kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan.

Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa atau pengalaman

pribadi maupun kondisi sosial ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan

mengembangkan diri. Faktor kedua tidak secara langsung berhubungan dengan

kondisi pekerjaan, namun karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar,

maka faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres.

(Dwiyanti, 2001).

Kondisi kerja yang lingkungannya tidak baik sangat pontesial untuk

menimbulkan stres kerja. Stres di lingkungan kerja tidak dapat dihindari, yang dapat

dilakukan adalah bagaimana mengelola, mengatasi atau mencegah terjadinya stres

kerja tersebut, sehingga tidak mengganggu pekerjaan (Notoatmodjo, 2003).

b. Overload

Overload dapat dibedakan menjadi kuantitatif dan kualitatif. Overload secara

kuantitatif, bila target kerja melebihi kemampuan pekerja yang bersangkutan

(40)

tinggi. Overload kualitatif, bila pekerja memiliki tingkat kesulitan atau kerumitan

yang tinggi. Overload pada pekerja merupakan hal paling utama karena over

kapasitas dari lapas itu sendiri, di mana 1 petugas pengamanan mengawasi 93

tahanan atau narapidana (Supardi, 2007).

c. Pekerjaan yang sederhana

Pekerjaan yang tidak menantang dan kurang menarik bagi pekerja, pekerjaan

yang rutinitas sehingga menimbulkan kebosanan, ketidakpuasan dan sebagainya.

Perasaan bosan dan jenuh inilah yang membuat seorang pekerja tidak menyenangi

pekerjaannya atau terasing dari kerja (Supardi, 2007).

d. Pekerjaan berisiko tinggi

Pekerjaan yang beresiko tinggi dan berbahaya bagi keselamatan jiwanya.

Kebutuhan akan rasa aman merupakan faktor utama di dalam diri seseorang. Bila

seseorang merasa dirinya tidak aman, maka timbul reaksi-reaksi kejiwaan seperti

cemas, takut tanpa alasan dan sebagainya (Anoraga, 2006). Peneliti merasa pegawai

lapas selalu berinteraksi dengan tahanan dan narapidana untuk mengawasi tahanan

dan narapidana mempunyai pekerjaan yang beriko tinggi bagi keselamatannya dan

pekerjaannya.

2.3. Karateristik Pekerja

2.3.1. Umur

(41)

terhadap lingkungan sehingga dapat menurunkan produktivitas. Sedangkan pada

pekerja usia tua sering terjadi gangguan fisik seperti tremor (tangan yang gemetar).

Di mana tremor pada tenaga kerja dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja

perusahaan yang memerlukan produktivitas tenaga kerja perusahaan yang

memerlukan ketrampilan tangan (Oslida, 2001).

2.3.2. Masa Kerja

Masa kerja berkaitan dengan kepuasan kerja. Berdasarkan tenaga kerja

mempunyai kepuasan kerja yang terus meningkat sampai masa kerja lima tahun dan

kemudian mulai terjadi penurunan sampai lama kerja delapan tahun. Tetapi kemudian

setelah tahun kedelapan kepuasan kerja secara perlahan-lahan akan meningkat lagi.

Selain itu tenaga kerja yang telah lama bekerja mempunyai dorongan untuk hadir

lebih besar karena mempunyai harapan memperoleh keuntungan dari kesenioritasnya

(Budiono, 1990).

2.3.3. Pendidikan

Pendidikan mempengaruhi seseorang dalam cara berpikir dan bertindak dalam

menghadapi pekerja. Indonesia sebagian besar adalah tenaga pelaksana yang berada

dalam keadaan sosial ekonomi lemah, yang disebabkan antara lain rendahnya tingkat

pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki. Pekerja dengan dasar pendidikan

dan ketrampilan yang sangat terbatas serta kondisi kesehatan yang buruk cenderung

(42)

2.3.4. Status Perkawinan

Adalah keterangan yang menunjukkan riwayat pernikahan tenaga kerja yang

terdapat pada kartu identitas pekerja, dan dikategorikan atas kawin dan tidak kawin.

2.4. Lembaga Pemasyarakatan

Secara umum Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan terhadap orang-orang yang dijatuhi hukuman penjara atau

kurungan (hukuman badan) berdasarkan keputusan pengadilan, dengan kata lain

pelaku kejahatan tersebut terbukti telah melakukan kejahatan atau pelanggaran.

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat pembinaaan terhadap orang-orang terhukum

agar mereka dapat kembali ke dalam masyarakat dan diterima sebagaimana

masyarakat lainnya maka proses pembinaan dan berbagai fasilitas penunjang lainnya

perlu dilihat relevansinya sesuai dengan pencapaian tujuan pembinaan itu sendiri.

Visi Lembaga Pemasyarakatan adalah memulihkan kesatuan hubungan hidup,

kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai individu,

anggota masyarakat dan Makhluk Tuhan Yang Maha Esa (membangun manusia

mandiri). Misi Lembaga Pemasyarakatan yaitu melaksanakan perawatan tahanan,

pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan

benda sitaan Negara dalam kerangka penegakan hukum, pencegahan dan

penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.

(43)

2.4.1. Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi

Dasar pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan struktur organisasi adalah Surat

Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor: M.05.PR.07.03 Tahun 2003

tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan, yaitu:

Kepala Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS), tugas dan fungsi Kepala

Lembaga Pemasyarakatan adalah menyelenggarakan tugas pokok pemasyarakatan

antara lain: melakukan pembinaan terhadap narapidana, memberikan bimbingan,

mempersiapkan sarana, pengolahan hasil kerja, melakukan pemeliharaan keamanan

dan ketertiban. Lembaga Pemasyarakatan dalam melaksanakan urusan tata usaha

serta rumah tangga, melakukan bimbingan sosial atau rohani terhadap narapidana

serta bertanggung jawab penuh pada keseluruhan aktivitas sehari-hari di Lembaga

Pemasyarakatan baik yang meliputi kegiatan narapidana maupun kegiatan

kepegawaian.

Berdasarkan struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk

Pakam bahwa Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagai pimpinan membawahi:

1) Kepala Sub Bagian Tata Usaha

Tugas dan fungsinya adalah melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga

Lembaga Pemasyarakatan yang dibantu oleh 2 sub urusan, yaitu:

a) Urusan Kepegawaian dan Keuangan mempunyai tugas melakukan urusan

kepegawaian dan keuangan.

b) Urusan Umum mempunyai tugas melakukan urusan surat menyurat,

(44)

2) Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik dan Kegiatan Kerja

Tugas dan fungsinya adalah memberikan bimbingan pemasyarakatan

Narapidana/Anak Didik dan Bimbingan Kerja. Untuk menyelenggarakan tugas

tersebut dibantu 3 (tiga) kepala Sub Seksi, yaitu:

a) Kepala Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan mempunyai

tugas melakukan pencatatan, membuat statistik, dokumentasi sidik jari, serta

memberikan bimbingan, penyuluhan rohani, memberikan latihan olah raga,

peningkatan pengetahuan, asimilasi, cuti dan pelepasan Narapidana/Anak

Didik.

b) Kepala Sub Seksi Perawatan Narapidana/Anak Didik mempunyai tugas

mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi Narapidana/Anak

Didik.

c) Kepala Sub Seksi Kegiatan Kerja mempunyai tugas memberikan bimbingan

kerja, mempersiapkan fasilitas, sarana dan mengelola hasil kerja.

3) Kepala Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib

Mempunyai tugas dan fungsi mengatur jadwal tugas, penggunaan

perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan, penerima laporan harian, dan berita

acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta menyusun laporan berkala

di bidang keamanan dan menegakkan tata tertib. Untuk menyelenggarakan tugas

tersebut dibantu dua Kepala Sub Seksi, yaitu:

(45)

b) Kepala Sub Seksi Pelaporan dan Tata tertib mempunyai tugas menerima

laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta

mempersiapkan laporan berkala di bidang keamanan dan menegakkan tata

tertib.

4) Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan

Mempunyai tugas dan fungsi:

a) Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap narapidana/anak didik.

b) Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban.

c) Melakukan pengawalan, penerimaan, penempatan dan pengeluaran

Narapidana/anak didik.

d) Melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran keamanan.

e) Membuat laporan harian dan Berita Acara Pelaksanaan Pengamanan.

Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan bertanggung jawab

langsung kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan membawahi tugas

pengamanan Lembaga Pemasyarakatan.

Untuk melaksanakan tugas penjagaan, regu penjagaan melakukan tugas secara

bergilir. Penggantian regu penjagaan diatur menurut keadaan dan keperluan setempat

dan dalam pelaksanaannya, penggantian jaga regu lama tidak boleh meninggalkan

Lapas sebelum timbang terima dengan regu baru selesai dengan sempurna. Tugas

Penjagaan secara umum dapat dijelaskan antara lain harus datang selambat-lambatnya

15 menit sebelum jam dinasnya, jika berhalangan harus memberitahukan sebelumnya

(46)

penghubung dari dan untuk penghuni Lapas untuk keperluan apapun secara tidak sah,

dilarang bertindak sewenang-wenang terhadap penghuni Lapas, memahami dan

mengerti cara menggunakan perlengkapan keamanan/ketertiban, merawat

perlengkapan keamanan/ketertiban sebaik-baiknya, mempersiapkan buku jaga untuk

mencatat kegiatan atau peristiwa, pergantian tugas jaga dengan menjaga narapidana

dan tahanan dan jumlah keadaan senjata api serta situasi khusus yang perlu diketahui

oleh petugas jaga berikutnya, harus selalu waspada dalam melaksanakan tugas

penjagaan, terutama pada waktu malam hari atau pada waktu hujan, apabila terjadi

pelarian narapidana, tahanan maka petugas bertanggung jawab dan segera

melaporkan kepada atasannya. Atasan yang menerima laporan tersebut segera

mengambil langkah/tindakan yang lebih lanjut, serta melakukan kewajiban-kewajiban

lain menurut peraturan yang berlaku bagi Lapas.

Sasaran keamanan diarahkan pada:

a. Segenap penghuni Lapas.

b. Pegawai dan para pengunjung Lapas.

c. Bangunan dan perlengkapannya.

d. Lingkungan sosial/masyarakat lainnya.

e. Aspek ketatalaksanaan.

Selain itu, ditambah dengan Tenaga Pengamanan pada Pintu Gerbang (Portir)

yang memiliki fungsi dan tugas:

(47)

b. Mengenali lebih dahulu (tamu, pegawai maupun penghuni) yang akan masuk

Lapas.

c. Menjaga jangan ada penghuni Lapas keluar dari Lapas dengan tidak sah.

d. Menerima penghuni Lapas yang masuk dan menyerahkan kepada Komandan

jaga.

e. Menjaga agar jumlah penghuni Lapas yang diterima di ruang portir seimbang

dengan kekuatan penjagaan portir.

Mengingat tugas dan tanggung jawab pegawai Lembaga Pemasyarakatan

cukup berat dan mengandung resiko, maka setiap pegawai diberikan tunjangan

petugas Pemasyarakatan sesuai dengan Peraturan Presiden RI Nomor 21 Tahun 2006

tentang Tunjangan Petugas Pemasyarakatan. Besarnya tunjangan petugas

Pemasyarakatan setiap bulannya sebagai berikut:

Golongan II sebesar Rp. 240.000,-

Golongan III sebesar Rp. 265.000,-

Sesuai Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor:

M.02-KP.08.10 tahun 2006 tanggal 06 November 2006 tentang Tunjangan Resiko Bahaya

Keselamatan dan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Pegawai Negeri Sipil yang

diangkat sebagai Petugas Pemasyarakatan. Selain itu, dengan pertimbangan besarnya

resiko dari tugas-tugas yang dihadapi oleh Petugas Pemasyarakatan, Pemerintah juga

memberikan tambahan tunjangan resiko sebagai akibat dari pelaksanaan tugas

sehari-hari yang dibagi berdasarkan tingkat resiko bahaya yang dihadapi (Ring I, II dan III)

(48)

1. Ring I di mana tingkat resiko besar karena petugas langsung berhadapan

dengan Narapidana dan Tahanan, dan berada dalam lingkungan Narapidana

dan Tahanan. Untuk tugas ini diberikan tunjangan resiko sebesar

Rp. 600.000,- per bulan. Petugas Penjagaan berada dilingkup Ring I ini.

2. Ring II, tingkat resiko yang dihadapi oleh petugas tidak begitu besar dan

hanya menghadapi tahanan di luar dari blok dan sel tahanan serta narapidana.

Dalam hal ini, Petugas Lembaga Pemasyarakatan lebih banyak memerlukan

data dan keterangan dari tahanan, serta berhubungan dengan data dan angka.

Petugas pada sub Seksi Pembinaan, Pendidikan Narapidana/Tahanan dan

Kegiatan Kerja berada pada ring kedua ini. Besarnya tunjangan resiko yang

diberikan sebesar Rp. 450.000,- per orang per bulan.

3. Ring III. Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang berada pada Ring III ini

hampir dapat dikatakan jauh dari resiko kerja yang dihadapi, namun tidak

mengurangi kemungkinan akan timbulnya bahaya dan resiko dari pekerjaan

yang dihadapinya. Umumnya, Petugas pada bagian Ring III ini lebih sering

berhadapan dengan Pegawai daripada berhubungan dengan tahanan dan

narapidana. Besarnya tunjangan resiko yang diberikan sebesar Rp. 350.000,-

(49)

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

STRES KERJA

Karekteristik Pekerja

• Umur

• Masa kerja

• Pendidikan

• Status perkawinan Kondisi kerja

• F i s i k

• P s i k i s

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan konsep di atas dapat dijelaskan bahwa definisi konsepnya adalah

sebagai berikut:

1. Variabel independen adalah variabel bebas yaitu kondisi kerja dan

karakteristik individual.

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian berupa penelitian analitik dengan disain cross sectional

(potong lintang) untuk mengetahui hubungan kondisi kerja dan karakteristik

individual dengan stres kerja pada pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II B

Lubuk Pakam.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk

Pakam.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian direncanakan selama 6 bulan dari bulan September 2008 sampai

dengan Maret 2009.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah semua pegawai Lembaga Pemasyarakatan

(51)

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian adalah seluruh populasi dijadikan sampel sebanyak

86 orang.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh langsung dari responden menggunakan alat bantu

kuesioner. Data primer berupa data kondisi kerja dan data stres kerja dan karakteristik

individual yaitu: umur, masa kerja, pendidikan, status perkawinan.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data-data yang mendukung data primer diperoleh dari

dokumen yang ada di Lapas Klas II B Lubuk Pakam yaitu gambaran umum lokasi

penelitian dan karakteristik individual responden dari masing-masing sampel

penelitian.

Dalam pengumpulan data primer dan sekunder, peneliti dibantu oleh 2 orang

enumerator yang telah dilatih dan mempunyai persepsi yang sama dalam penelitian

ini.

3.5. Cara pengumpulan data

Dengan memberikan kuesioner atau daftar pertanyaan kepada responden

untuk dijawab atau dicontreng yaitu karakteristik individual (Lampiran 2), kondisi

(52)

3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.6.1. Variabel Penelitian

a. Variabel terikat yaitu keadaan stres kerja yang dialami oleh pegawai Lapas.

b. Variabel bebas yaitu:

1) Kondisi kerja yaitu lingkungan kerja, overload, pekerjaan yang sederhana,

pekerjaan yang beresiko tinggi.

2) Karakteristik individual (umur, masa kerja, pendidikan, status

perkawinan).

3.6.2. Definisi Operasional

a. Stress Kerja adalah adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan

adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis yang mempengaruhi emosi, proses

berpikir dan kondisi seseorang pekerja.

b. Kondisi Kerja meliputi variabel lingkungan kerja, situasi kerja, kondisi yang

ada baik fisik berupa kebisingan, penataan peralatan dan ruangan, maupun

psikis berupa peraturan, keluhan dan tuntutan, serta hubungan sosial dan

memakai alat bantu kuesioner yang terdiri dari 16 buah pertanyaan.

c. Karakteristik Individual meliputi umur, masa kerja, pendidikan, status

(53)

3.7. Metode Pengukuran

a. Stres kerja

Pembobotan (skoring) dengan menggunakan skala Likert. Nilai stres kerja

diperoleh dari jawaban yang diberikan melalui 50 pertanyaan yang diajukan dan

jawaban disusun denganbobot penilaian untuk setiap pertanyaan diberi nilai terendah

dengan skor 1 dan nilai tertinggi dengan skor 5, selanjutnya nilai skoring

dikategorikan sebagai berikut: modifikasi Rice, 1987 dan Davis, 1995.

1) Stres ringan artinya jika seorang pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya

merasakan adanya sedikit tekanan, di mana rentang skor ≤ µ - SD.

2) Stres sedang artinya jika seorang pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya

merasakan adanya tekanan dalam jumlah optimal dan dapat memacu dalam

melaksanakan pekerjaan, di mana rentang skor ≤ µ ± SD.

3) Stres berat artinya jika seorang pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya

merasakan tekanan yang berada di luar kemampuannya untuk

menghadapinya, di mana rentang skor ≥ µ + SD.

b. Kondisi kerja

Pembobotan (skoring) dengan menggunakan skala Likert. Diperoleh dari

jawaban yang diberikan melalui 16 pertanyaan, di mana 5 pertanyaan untuk kondisi

kerja secara fisik dan 11 pertanyaan untuk kondisi kerja secara psikis dan jawaban

disusun denganbobot penilaian untuk setiap pertanyaan diberi nilai terendah dengan

skor 1 dan nilai tertinggi dengan skor 5, selanjutnya nilai skoring dikategorikan

(54)

Hasil pengukuran dikelompokkan menjadi:

Tidak Menyenangkan : ≤ µ - SD

Kurang Menyenangkan : antara µ ± SD

Menyenangkan : ≥ µ + SD

3.7.1. Pengukuran Variabel

Pengukuran variabel dilakukan dengan menggunakan skala likert, di mana

responden hanya memberikan tanda (√) pada kolom angka pada masing-masing butir

pertanyaan yang dianggap sesuai dengan responden.

Tabel 3.1. Pengukuran Variabel

Bobot Nilai Satu Indikator

No Variabel Jlh.

Pertanyaan Tidak

pernah Jarang

Kadang-

kadang Biasanya Selalu

Bobot

Selanjutnya skor-skor yang diperoleh dari setiap pertanyaan pada responden

dikonversikan ke dalam tiga skala interval (ringan, sedang, berat) dengan

(55)

Rendah Tinggi Sedang

µ µ + µ -

Gambar 3.1. Kurve Distribusi Normal untuk Interval Kategori Ringan, Sedang dan Berat

dari sebaran distribusi normal tersebut dilakukan pengkategorian untuk

masing-masing variabel penelitian sebagai berikut:

Tabel 3.2. Pengkategorian Kondisi Kerja dan Stress Kerja

Variabel Kategori Rentang Skor

(56)

3.8. Tekhnik Pengolahan dan Analisa

3.8.1. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan dengan komputer memakai metode statistik dan

dianalisa menggunakan uji chi-square untuk mengetahui adanya hubungan kondisi

kerja dan karakteristik Individual (umur, masa kerja, status perkawinan, pendidikan)

dengan stres kerja pada pegawai Lembaga Pemasyarakatan dengan menggunakan

software SPSS.

3.8.2. Analisa data

Data yang diperoleh dianalisa melalui proses pengolahan data yang mencakup

kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Editing, penyuntingan data yang dilakukan untuk menghindari kesalahan atau

kemungkinan adanya kuesioner yang belum terisi.

b. Coding, pemberian kode dan scoring pada tiap jawaban untuk memudahkan

proses entry data.

c. Entry Data, setelah proses coding dilakukan pemasukan data ke komputer.

d. Cleaning, sebelum analisa data dilakukan pengecekan dan perbaikan terhadap

data yang sudah masuk.

e. Analisa data diperoleh dengan menggunakan perhitungan uji statistik

memakai bantuan program komputer.

f. Analisa data Univariat, untuk melihat gambaran dan karakteristik setiap

(57)

g. Analisa data Bivariat, untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan

variabel terikat, yaitu hubungan kondisi kerja dan karakteristik individual

dengan stres kerja pegawai Lembaga Pemasyarakatan dengan uji Kai

Gambar

Tabel Frekuensi..............................................................................
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Pengukuran Variabel
Tabel 3.2. Pengkategorian Kondisi Kerja dan Stress Kerja
+7

Referensi

Dokumen terkait