HUBUNGAN KONDISI KERJA DAN KARAKTERISTIK
INDIVIDUAL DENGAN STRES KERJA PADA PEGAWAI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B
LUBUK PAKAM 2008
TESIS
Oleh
TRI SUMARNI SIBORO
077010010/IKM
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN KONDISI KERJA DAN KARAKTERISTIK
INDIVIDUAL DENGAN STRES KERJA PADA PEGAWAI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B
LUBUK PAKAM 2008
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Kekhususan Kesehatan Kerja pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
TRI SUMARNI SIBORO
077010010/IKM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : HUBUNGAN KONDISI KERJA DAN KARAKTERISTIK INDIVIDUAL DENGAN STRES KERJA PADA PEGAWAI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLS II B LUBUK PAKAM 2008
Nama Mahasiswa : Tri Sumarni Siboro Nomor Pokok : 077010010
Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat
Kekhususan : Kesehatan Kerja
Mengetahui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Habibah. Nst, Sp. PD.K.Psi) Ketua
(Ferry Novliadi, S.Psi. M.Psi) Anggota
Ketua Program Studi Direktur,
(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal : 26 Mei 2009
PANITIA PENGUJI TESIS :
Ketua : Prof. Dr. Habibah. Nst, Sp.PD.K.Psi
Anggota : 1. Ferry Novliadi, S.Psi. M.Psi
2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM
PERNYATAAN
HUBUNGAN KONDISI KERJA DAN KARAKTERISTIK
INDIVIDUAL DENGAN STRES KERJA PADA PEGAWAI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B
LUBUK PAKAM 2008
TESIS
Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, Mei 2009
Penulis,
ABSTRAK
Pada umumnya pekerja akan mengalami stress kerja bila mereka berfikir bahwa bahwa pekerjaan itu mengancam, terlebih bagi mereka yang tidak mempunyai banyak peluang untuk bekerja di tempat lain. Pegawai Lembaga Pemasyarakatan sangat berperan dalam pelayanan dan pembinaan kepada masyarakat dan warga Binaan itu sendiri. Setiap kegiatan di dalam ruang kerja dapat menjadi stressor bagi pegawai, di mana pegawai Lapas selalu berinteraksi dengan tahanan/narapidana yang hampir seluruhnya mempunyai temperamen keras didukung dengan situasi Lembaga Pemasyarakatan yang dikelilingi tembok yang tinggi mengakibatkan pegawai Lembaga Pemasyarakatan merasa terasing.
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kondisi kerja dan karakteristik Individual (umur, masa kerja, status perkawinan, pendidikan) dengan stres kerja pegawai Lapas klas II B L. Pakam.
Penelitian ini adalah penelitian crossectional dengan sampel terdiri 86 orang pegawai analisa data dengan menggunakan Chi-Square.
Hasil uji Chi-Square antara kondisi kerja dengan stress kerja menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna di mana (P< 0,05) begitu juga dengan hubungan karakteristik individual masa kerja mempunyai hubungan yang bermakna dengan stres kerja sedangkan karakteristik Individual (umur, status perkawinan, pendidikan) dengan stres kerja tidak menunjukkan hubungan yang bermakna.
Stres kerja perlu dikendalikan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan dan pegawai Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri sebagai upaya pengendalian dengan pencegahan terhadap terjadinya penyakit akibat kerja.
ABSTRACT
Generally workers will experince work stress when they think that the work is theratening, especially for those who do not have many oppurtunities to work in the other places. The staff of Penitentiary (Lembaga Pemasyarakatan) do play their role in providing service and development for the community and the inmates that any activity occurs in their working places can be a stressor to them because the staff of Penitentiary always interact with the inmates who, almost all of them, are highly temperamental and situation in the Penitentiary which is surrounded by high wall makes the staff of Penitentiary feel isolated.
The purpose of the cross-sectional study is to analyze the relationship between work condition and individual characteristic (age, lenght of service, marital status, education) and the work stress esperienced by the staff of the Penitentiary class IIB Lubuk Pakam. The samples for study were 86 staff of the Penitentiary class IIB Lubuk Pakam and the data obtained were analyzed through Chi-square test.
The result of Chi-square test shows that there is a significant relationship between work condition and work stress (p<0,05) and in terms of the individual characteristic, lenght of service has a significant relationship with work stress while age, marital status, education do not have any significant relationship with work stress.
It is suggested that the management and the staff of the Penitentiary themselve need to control the existing work stress as and attempt to prevent the incident of any illness because of work stress.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan
kemurahan-NYA memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat
menyusun tesis ini dengan judul Hubungan Kondisi Kerja dan Karakteristik
Individual dengan Stres Kerja pada Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II B
Lubuk Pakam 2008. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
studi Strata 2 pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan
Kesehatan Kerja pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga
kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM selaku Ketua Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan
sebagai Komisi Pembanding yang telah banyak memberi masukan dan saran
untuk penyempurnaan tesis ini.
3. Prof. Dr. Habibah Hanum, Sp.PD-K.Psi selaku Ketua Komisi Pembimbing
yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan
pemikiran dengan penuh kesabaran di tengah-tengah kesibukannya.
4. Ferry Novliadi, S.Psi, M.Psi selaku Anggota Pembimbing yang telah
memberikan saran-saran dan masukan serta dorongan dalam menyelesaikan
tesis ini.
5. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK selaku Komisi Pembanding yang banyak
memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan tesis ini.
6. Kalapas Klas II B Lubuk Pakam, yang memberi izin penelitian ini atas
informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tesis ini.
8. Orang tua, suami dan kedua ananda tercinta yang senantiasa memberikan
dukungan, dan memberi semangat belajar dan inspirasi serta mendoakan
selama penulis mengikuti perkuliahan hingga selesai pendidikan di Program
Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
9. Rekan-rekan Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2007 dan
teman lainnya yang telah banyak memberikan dukungan dan doa kepada
penulis dan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, dengan
demikian sumbangan saran untuk perbaikan sangat diharapkan.
Akhirnya penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi kesehatan masyarakat,
khususnya pada Lembaga Pemasyarakatan.
Medan, Mei 2009 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
NAMA : TRI SUMARNI SIBORO
TEMPAT/TGL LAHIR : PADANG/23 SEPTEMBER 1971
AGAMA : KRISTEN
ALAMAT : JL. PERBATASAN NO. 53 A BAKARAN BATU
LUBUK PAKAM
RIWAYAT PENDIDIKAN
TAHUN 1978-1984 : SDN PEMATANG SIANTAR
TAHUN 1984-1987 : SMPN 4 PEMATANG SIANTAR
TAHUN 1987-1990 : SMA RK BUDI MULIA PEMATANG SIANTAR
TAHUN 1990-2000 : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
METHODIST INDONESIA
TAHUN 2007-2009 : PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN
MASYARAKAT KEKHUSUSAN KESEHATAN
KERJA SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RIWAYAT PEKERJAAN
TAHUN 2000-2003 : DOKTER PTT PUSKESMAS MAKARTI JAYA
PALEMBANG
DAFTAR ISI
1.4.Hipotesis Penelitian... 7
1.5.Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8
2.1. Stres Kerja... 8
2.3. Karakteristik Pekerja... 25
2.3.1. Umur ... 25
2.3.2. Masa Kerja ... 26
2.3.3. Pendidikan... 26
2.3.4. Status Perkawinan ... 27
2.4. Lembaga Pemasyarakatan... 27
2.4.1. Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi ... 28
2.5. Kerangka Konsep Penelitian.. ... 34
BAB III METODE PENELITIAN... 35
3.1. Jenis Penelitian ... 35
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35
3.3. Populasi dan Sampel ... 35
3.3.1. Populasi ... 35
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 36
3.4.1. Data Primer ... 36
3.4.2. Data Sekunder ... 36
3.5. Cara Pengumpulan Data... 36
3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 37
3.6.1. Variabel Penelitian... 37
3.6.2. Definisi Operasional.... ... 37
3.7. Metode Pengukuran... 38
3.7.1. Pengukuran variabel... ... 39
3.8. Tekhnik Pengolahan dan Analisa... 41
3.8.1. Pengolahan Data... .. ... 41
3.8.2. Analisa Data ... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN... 43
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 42
4.1.1. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam... 44
4.2. Karakteristik Sampel... 46
4.2.1. Umur... 46
4.2.2. Pendidikan... 47
4.2.3. Status Perkawinan... 48
4.2.4. Masa Kerja... 49
4.2.5. Tingkat Kondisi Kerja... 50
4.2.6. Tingkat Stres Kerja... 51
4.3. Hubungan Umur dengan Stress Kerja... 53
4.4. Hubungan antara Masa Kerja dengan Stres Kerja ... 54
4.5. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja... 55
4.6. Hubungan antara Status Perkawinan dengan Stres Kerja... 56
4.7. Hubungan antara Kondisi Kerja dengan Stres Kerja ... 57
BAB 5 PEMBAHASAN... 59
5.1. Hubungan Umur dengan Stres Kerja... 59
5.2. Hubungan Masa Kerja dengan Stres Kerja... 60
5.3. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja... 62
5.4. Hubungan antara Status Perkawinan dengan Stres Kerja... 63
5.5. Hubungan Kondisi Kerja dengan Stres Kerja... 65
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 67
6.1. Kesimpulan... 67
6.2. Saran... 67
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Pengukuran Variabel... 39
3.2. Pengkategorian Kondisi Kerja dan Stres Kerja... 40
4.1. Distribusi Pegawai Berdasarkan umur ... 46
4.2. Distribusi Pegawai Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan... 47
4.3. Distribusi Pegawai Berdasarkan Status Perkawinan... 48
4.4. Distribusi Pegawai Berdasarkan Masa Kerja... 49
4.5. Distribusi Pegawai Berdasarkan Kondisi Kerja... 50
4.6. Distribusi Pegawai Berdasarkan Tingkat Stres Kerja... 51
4.7. Hubungan Umur dengan Stres Kerja... 53
4.8. Hubungan Masa Kerja dengan Stres Kerja... 54
4.9. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja... 55
4.10. Hubungan Status Perkawinan dengan Stres Kerja... 56
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Kerangka Konsep Penelitian... 34
3.1. Kurve Distribusi Normal untuk Interval Kategori Ringan, Sedang dan Berat... 40
4.1. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam... 45
4.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur... 46
4.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Pendidikan... 47
4.4. Karakteristik Sampel Berdasarkan Status Perkawinan... 48
4.5. Karakteristik Sampel Berdasarkan Masa Kerja... 49
4.6. Skala Interval Kondisi Kerja pada Distribusi Normal... 50
4.7. Karakteristik Sampel Berdasarkan Kondisi Kerja... 51
4.8. Tingkat Stres Kerja... 52
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Karakteristik Individu... 71
2. Kuesioner... 72
3. Kuesioner Stres Kerja... 74
4. Master Data... 76
5. Tabel Frekuensi... 82
6. Master Tabel... 88
7. Surat Izin Penelitian... 94
8. Surat Izin Telah Melakukan Penelitian... 95
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengertian sehat adalah keseimbangan yang mencakup empat aspek yaitu:
fisik (badan), mental (jiwa), sosial dan ekonomi. Keempat dimensi tersebut saling
mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan pada seseorang, kelompok, atau
masyarakat dan menurut Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992,
memberikan batasan kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial dan
ekonomi yang memungkinkan orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi
(Notoatmodjo, 2004).
Kondisi kerja merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
semangat bekerja dan memungkinkan banyaknya terjadi bahaya bagi pekerja itu
sendiri. Kondisi kerja yang baik ditandai oleh peredaran udara yang baik, penerangan
lampu yang terang, jauh dari kebisingan, tata ruang yang baik. Kondisi kerja
mencakup lingkungan secara fisik dan sosial misalnya hubungan dengan teman
sekerja, hubungan atasan dengan bawahan, dan rasa aman bagi pekerja itu sendiri
saat melakukan pekerjaan (Anoraga, 2006).
Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada
tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka dikatakan
mengalami gangguan emosi karena adanya kondisi yang mempengaruhi dirinya yang
dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri seseorang (Ulhaq, 2008).
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan suatu institusi yang memiliki
tujuan membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab. Untuk mewujudkan hal tersebut maka petugas Lapas harus dapat
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara optimal. Kelebihan tingkat hunian
merupakan permasalahan utama yang dihadapi Lapas dan Rumah Tahanan (Rutan)
di seluruh Indonesia. Tingkat hunian yang melebihi daya tampung ini sangat
menyulitkan baik dalam segi pembinaan, pengawasan, maupun pemeliharaan sanitasi
para warga binaan itu sendiri.
Menurut Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiono, jumlah narapidana
di Indonesia mencapai 132.000 orang, sedangkan daya tampung maksimal Lapas
sebanyak 80.000 orang, data dari Registrasi Statistik Ditjen Pemasyarakatan, bahwa
sampai Januari 2007 kelebihan kapasitas Lapas/Rutan di Indonesia mencapai 54,73%
yaitu kapasitas hunian Lapas/Rutan yang hanya mampu menampung 76.550 orang
maka sampai Januari 2007 dihuni sebanyak 118.453 orang. Bahkan, beberapa
Lapas/Rutan ada over kapasitas sampai melebihi 100% (Hukum HAM, 2007).
Lembaga Pemasyarakatan Kls II B Lubuk Pakam mempunyai kapasitas 350 orang
Selain kapasitas yang melebihi daya tampung, maka usia dan lamanya
hukuman serta latar belakang penghuni penjara yang sangat bervariasi seperti
pencuri, perampok, penipu, pembunuh atau pemerkosa bahkan pengedar narkoba,
penjudi, bandar judi serta koruptor, menyebabkan pengelolaan lapas menjadi sangat
kompleks dan memerlukan penyesuaian ataupun perubahan. Permasalahan lain yang
perlu juga diperhatikan adalah kondisi lingkungan kerja dari Lapas itu sendiri,
di mana suasana kerja petugas pengaman yang monoton dan bergaul dengan
penghuni Lapas dengan temperamen yang keras, disertai dengan lingkungan yang
dikelilingi tembok yang tinggi, sehingga dengan cepat memicu terjadinya kebosanan.
Tingginya tembok Lapas yang berukuran tinggi ± 3 meter, mengakibatkan sirkulasi
udara tidak lancar menyebabkan temperatur udara yang panas dan pengap sehingga
menimbulkan stres dan berefek kepada kesehatan pekerja.
Akibat kompleksnya permasalahan yang timbul dalam kondisi kerja lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan, berakibat pada tuntutan tugas yang melebihi
kemampuan dari para Pegawai Lapas dan Pegawai Rutan tersebut. Pegawai Lapas
mempunyai beban dan tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya,
karena yang dibina para pelanggar hukum. Resiko kerja yang dialami oleh para
pegawai sangat berat dan tidaklah seimbang dengan kesejahteraan yang diterima oleh
pegawai Lapas, sehingga memungkinkan terjadinya pungutan liar oleh pegawai
terhadap warga binaan atau masyarakat yang ingin menjenguk keluarganya (Rohimat,
Permasalahan tersebut menjadi pemicu dari peningkatan premanisme,
pelarian, perkelahian, pemberontakan, kerusuhan, huru hara dan penyebaran penyakit
menular di Lapas. Kurangnya jumlah pegawai Lapas secara kuantitatif dan kualitatif
merupakan faktor pendukung terjadinya hal-hal tersebut di atas (Rachmayanthy,
2007). Beratnya beban kerja yang dialami pegawai Lapas terutama pegawai Lapas
harus membina para tahanan dari segi fisik, psikis dan spiritual dapat menyebabkan
timbulnya stres. Sesuai dengan penelitian Firmanto (2006) bahwa sebanyak 85%
pegawai Lapas Klas I Surabaya mengalami stres kerja karena adanya ketidaksesuaian
antara tuntutan yang berkaitan dengan tugas pokok pegawai dan peraturan yang
berlaku serta situasi, kondisi dan fasilitas lingkungan kerja tersebut, sehingga memicu
terjadinya stres fisiologis dan psikologis. Adapun gejala stres di tempat kerja meliputi
kepuasan kerja yang rendah, kinerja yang menurun, semangat dan energi menjadi
hilang, komunikasi tidak lancar pengambilan keputusan jelek dan kreativitas dan
inovasi kurang serta bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif.
Keith Davis (1985) mengatakan bahwa stres sebagai suatu kondisi ketegangan
yang mempengaruhi emosi, proses pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang
dialami seseorang tentunya akan mengganggu kesehatannya. Hasil Penelitian Plaut
dan Friedman (1981), Baker (1985) menyatakan bahwa stres yang dialami seseorang
akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara
menurunkan jumlah fighting desease cells, sehingga seseorang lebih mudah terinfeksi
penyakit, terkena alergi dan untuk menyembuhkannya memerlukan waktu yang lama
Penurunan status kesehatan ini tentunya akan menurunkan kinerja yang pada
akhirnya juga menurunkan produktivitas kerja. Kondisi tersebut akan mempengaruhi
perusahaan tempat bekerja, di mana perusahaan akan mengalami kerugian finansial
karena tidak seimbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk
membayar gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya. Banyak karyawan yang tidak masuk
kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya karena
kelambanan ataupun kesalahan yang berulang (Rini, 2002).
Pegawai Lapas kemungkinan besar mengalami stres kerja, stress kerja adalah
suatu perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan
yang disebabkan oleh stressor dari lingkungan kerja seperti faktor lingkungan
fisik, faktor organisasional dan faktor individu (Sasono, 2008).
Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu panas, terlalu
dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas
menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu
juga ruangan yang terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur
udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi
andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada
kebisingan dibanding yang lain (Margiati, 1999).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja Jepang
terhadap 12.000 perusahaan yang melibatkan sekitar 16.000 pekerja di negara
tersebut yang dipilih secara acak telah menunjukkan hasil bahwa ditemukan sebanyak
merasa tersisihkan (Rahmad, 2001). Faktor individual adalah mencakup faktor-faktor
dalam kehidupan pribadi karyawan seperti persoalan keluarga, masalah ekonomi
pribadi dan karakteristik kepribadian bawaan. Survei nasional secara konsisten
menunjukkan bahwa orang menganggap hubungan pribadi dan keluarga sangat
berharga. Kesulitan pernikahan, pecahnya suatu hubungan dan kesulitan disiplin pada
anak-anak merupakan contoh masalah hubungan yang menciptakan stres bagi para
karyawan dan terbawa ke tempat kerja (Sasono, 2008).
Pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam berjumlah 86 orang dengan 55 orang
bagian penjagaan, 31 orang bagian administrasi, yaitu: bagian Register 12 orang,
bagian perawatan 4 orang, bagian bimbingan kerja 4 orang, bagian Tata Usaha 11
orang. Penjagaan dibagi dalam tiga shif, yaitu: pagi dari jam 07.00 WIB s/d 13.30
WIB, siang dari 13.30 WIB s/d 19.00 WIB, malam dari jam 19.00 WIB s/d 07.00
WIB. Hal ini berlaku juga bila tahanan/narapidana ada yang dirawat di rumah sakit.
Bila ada tahanan/narapidana dirawat di rumah sakit yang bertanggung jawab untuk
keamanannya adalah petugas pengamanan sehingga petugas harus benar-benar
waspada terhadap tahanan/narapidana yang terkadang mengambil kesempatan
untuk melarikan diri. Hasil wawancara pada uji pendahuluan yang dilakukan pada
petugas pengaman Lapas di klinik Lapas Klas II B Lubuk Pakam, di mana pegawai
mengeluhkan mengalami gangguan tidur sebanyak 15%, menurunnya nafsu makan
dan gangguan pencernaan sebanyak 40%, keseimbangan kadar gula darah bagi yang
Untuk mencegah keluhan yang ada maka perlu adanya suatu penelitian yang
berkaitan dengan hubungan kondisi kerja dan karakteristik individual dengan stres
kerja pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam.
1.2. Permasalahan
Bagaimana hubungan kondisi kerja dan karakteristik individu dengan stres
kerja pegawai Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Lubuk Pakam 2008.
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kondisi kerja dan karakteristik individual pegawai Lapas Klas II
B Lubuk Pakam 2008.
2. Mengetahui hubungan kondisi kerja dan karakteristik individual pegawai
Lapas Klas II B Lubuk Pakam 2008.
1.4. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan kondisi kerja dan karakteristik individu dengan stres kerja pada
pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam 2008.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan pada Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam tentang
kondisi kerja dan karakteristik individual pegawai Lapas dengan stres kerja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stres Kerja
Stres Kerja (Hans Selye, 1950) adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik
terhadap setiap tuntutan beban atasnya, misalnya bagaimana respon tubuh seseorang
manakala yang bersangkutan mengalami pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup
mengatasinya artinya tidak ada gangguan fungsi organ tubuh, maka dikatakan yang
bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ternyata ia mengalami
gangguan pada satu atau lebih fungsi organ tubuh mengakibatkan seseorang tidak lagi
dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka ia disebut distres (Hawari, 2004).
Stres kerja dikatagorikan apabila seseorang mengalami stres dan melibatkan
pihak organisasi tempat orang yang bersangkutan bekerja (Rice, 1992). Setiap aspek
dari lingkungan kerja dapat dirasakan sebagai stres oleh tenaga kerja, tergantung dari
persepsi tenaga kerja terhadap lingkungannya, apabila ia merasakan adanya stres atau
tidak.
Luthans (2000) mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam
menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis,
sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu
banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Oleh karena itu dapatlah
disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan
Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada
lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang
menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stressor. Pendekatan ini
memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan
dengan respon individu. Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai
konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres
dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan
hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu
untuk memberikan tanggapan.
Pada kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan
kesamaan persepsi tentang batasan stres. Baron dan Greenberg dalam Margiati,
(1999), mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi emosional dan psikologis yang
terjadi pada situasi di mana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa
mengatasinya. Aamodt dalam Margiati (1999) memandang stres sebagai respon
adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan tindakan
eksternal, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis.
Berbeda dengan pakar di atas, Landy dalam Margiati (1999), memahami stres
sebagai ketidakseimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga
menimbulkan konsekuensi penting bagi dirinya. Robbins memberikan definisi stres
sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan,
Stres kerja dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara karakteristik
kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat
terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat
mempengaruhi daya tahan stres seorang karyawan. Masalah Stres kerja di dalam
organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya
tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu
orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan
pada emosi, proses berfikir dan gangguan fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari
adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam
dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresif, tidak
dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak
mampu terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur.
2.1.1. Faktor-faktor yang Menimbulkan Stres Kerja
Faktor-faktor yang menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke dalam lima
kategori besar yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi,
pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi
Hurrel (Munandar, 2001).
1. Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan
Termasuk dalam kategori ini tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik
misalnya faktor kebisingan. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup: kerja malam,
a. Tuntutan fisik:
Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap faal dan psikologis diri
seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres (stressor).
Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat
pendengaran kita, juga dapat merupakan sumber stres yang menyebabkan
peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis kita. Kondisi demikian
memudahkan timbulnya kecelakaan, misalnya tidak mendengar suara-suara
peringatan sehingga timbul kecelakaan, bising yang berlebih (sekitar 80 desibel) yang
berulangkali didengar, untuk jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan stres.
Dampak psikologis dari bising yang berlebih ialah mengurangi toleransi dari tenaga
kerja terhadap pembangkit stress yang lain, dan menurunkan motivasi kerja
(Anonymous, 2008).
b. Tuntutan tugas:
Penelitian menunjukkan bahwa shift kerja malam merupakan sumber utama
dan stres bagi para pekerja pabrik. Para pekerja shift malam lebih sering mengeluh
tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/siang dan dampak
dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan
sistem pencernaan. Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan
pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam beban kerja
berlebih/terlalu sedikit kuantitatif, yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang
tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas yang tidak menggunakan
ketrampilan dan atau potensi dari tenaga kerja. Di samping itu beban kerja berlebih
kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan jam kerja yang berlebihan, yang
merupakan sumber tambahan dari stress, di mana beban berlebih secara fisikal
ataupun mental, yang harus melakukan terlalu banyak hal, memungkinan sumber
stress dari pekerjaan tersebut.
Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah desakan waktu,
yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan
cermat sehingga meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi.
Karena desakan waktu menyebabkan banyaknya kesalahan dan menyebabkan kondisi
kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih
secara kuantitatif. Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat mempengaruhi
kesejahteraan psikologis seseorang. Pada pekerjaan yang sederhana, di mana banyak
terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam
kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus
dilakukan, dapat menghasilkan berkurangnya perhatian. Hal ini, secara potensial
membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat.
Beban berlebihan kualitatif merupakan pckerjaan yang dilakukan oleh manusia makin
beralih titik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk.
Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan
memerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang
dimiliki.
Pada titik tertentu kemajemukan pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi menjadi
destruktif. Pada titik tersebut kita telah melewati kemampuan kita untuk memecahkan
masalah dan menalar dengan cara yang konstruktif. Timbullah kelelahan mental dan
reaksi-reaksi emosional dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa kelelahan mental,
sakit kepala, dan gangguan pada sistem pencernaan merupakan hasil dari kondisi
kronis dari beban berlebih kualitatif. Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan
keadaan di mana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan ketrampilan
yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara
penuh. Beban terlalu sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke
semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia
tidak maju-maju, dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan
ketrampilannya (Anonymous, 2008).
2. Peran Individu dalam Organisasi
Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya
setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai
dengan aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Tenaga
kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah.
Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres yaitu meliputi
a. Konflik peran
Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya:
1) Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab.
2) Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan
merupakan bagian dari pekerjaannya.
3) Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang
lain yang dinilai penting bagi dirinya.
4) Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan
tugas pekerjaannya.
b. Ketatalaksaan peran: jika seorang pekerja tidak memiliki cukup informasi
untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi
harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan
ketatalaksanaan meliputi ketidakjelasan dari tujuan-tujuan kerja.
1) Kesamaran tentang tanggung jawab.
2) Ketidakjelasan tentang prosedur kerja.
3) Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain.
4) Kurang adanya ketidakpastian tentang produktivitas kerja.
Stres yang timbul karena ketidakjelasan sasaran akhirnya mengarah
ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan diri, rasa tak berguna, rasa
harga diri menurun, tidak ada motivasi kerja, peningkatan tekanan darah dan denyut
nadi bertambah cepat, dan kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan, bila
3. Pengembangan karir
Unsur-unsur penting pengembangan karir meliputi:
1) Peluang untuk menggunakan ketrampilan jabatan sepenuhnya.
2) Peluang mengembangkan ketrampilan yang baru.
3) Penyuluhan karir untuk memudahkan keputusan yang menyangkut karir.
4) Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup
ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.
4. Hubungan dalam Pekerjaan
Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya
kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam
organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketatalaksana peran
yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara
pekerja dan ketegangan psikologikal dalam bcntuk kepuasan pekerjaan yang rendah,
penurunan dari kodisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan
kerjanya (Munandar, 2001).
5. Struktur dan iklim organisasi
Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini adalah terpusat pada sejauh
mana tenaga kerja dapat terlihat atau berperan serta pada support sosial.
Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan
2.1.2. Proses Stres
Dalam peristiwa terjadinya stres, ada tiga hal yang saling terkait satu dengan
yang lainnya (Nasution, 2000) yakni:
1. Hal, peristiwa, keadaan, orang yang menjadi sumber stres (stressor) jika
dipandang secara umum, hal-hal yang menjadi sumber stres dipahami sebagai
rangsangan (stimulus).
2. Orang yang mengalami stres (the stressed), kita dapat memusatkan perhatian
pada tanggapan (respons) orang tersebut terhadap hal-hal yang dinilai
mendatangkan stres. Tanggapan orang tersebut terhadap sumber stres dapat
dipengaruhi pada psikologis dan fisiologis. Tanggapan ini disebut strain, yaitu
tekanan atau tanggapan yang dapat membuat pola pikir, emosi dan perilakunya
kacau, dapat membuat gugup dan gelisah. Secara fisiologis kegugupan dan
kegelisahan itu dapat menyebabkan denyut jantung yang cepat, perut mual,
mulut kering, banyak keringat dan lain-lain.
3. Hubungan antara orang yang mengalami stres dengan hal yang menjadi
penyebab (transaction). Hubungan itu merupakan proses, yaitu ada penyebab
stres dan pengalaman individu yang terkena stres saling terkait.
Perbedaan cara, kemampuan dan keberhasilan seseorang dalam menanggapi
hal-hal yang mendatangkan stres tersebut, maka orang dapat mengalami stres yang
berbeda-beda (ada yang tidak terkena, ada yang terkena sedikit dan waktunya singkat,
Dadang Hawari (2001) menyatakan bahwa tahapan stres sebagai berikut:
a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu
bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa
memperhitungkan tenaga yang dimiliki dan penglihatan menjadi tajam.
b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak
segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah
makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel
discomfort), jantung berdebar dan otot kaku. Hal tersebut karena cadangan
tenaga tidak memadai.
c. Stres tahap ketiga, yaitu stres dengan keluhan seperti defekasi tidak teratur
(kadang-kadang diare), otot kaku, emosional, insomnia, mudah dan sulit tidur
kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur, gangguan
pernafasan, sering berkeringat, gangguan kulit, kepala pusing, migran, kanker,
ketegangan otot.
d. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu
bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan
menjemuhkan, respon tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola
tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta
timbul ketakutan dan kecemasan.
e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik
menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan
berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik.
f. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda
seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin dan banyak
keluar keringat, loyo, pingsan atau kolaps.
Timbulnya stres kerja pada seorang tenaga kerja melalui tiga tahap (Nasution,
2000) yaitu:
a. Reaksi awal yang merupakan fase inisial dengan timbulnya beberapa gejala/
tanda, namun masih dapat diatasi oleh mekanisme pertahanan diri.
b. Reaksi pertahanan yang merupakan adaptasi maksimum dan pada masa
tertentu dapat kembali kepada keseimbangan. Bila stres ini terus berlanjut dan
mekanisme pertahanan diri tidak sanggup berfungsi lagi maka berlanjut ke
fase ketiga.
c. Kelelahan yang timbul akibat mekanisme adaptasi telah kolaps (layu).
2.1.3. Gejala Stres
Herry Beehr dan Newman, 1987 membagi gejala dan tanda stres menjadi tiga
gejala yakni: gejala fisik, gejala psikologis dan gejala perilaku.
a. Gejala fisik
Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, gangguan lambung, mudah
b. Gejala psikologis
Kecemasan, ketegangan, bingung, marah, sensitif, memendam perasaan,
komunikasi tidak efektif, menurunnya fungsi intelektual, mengurung diri,
ketidakpuasan kerja, kebosanan, lelah mental, mengasingkan diri, kehilangan
konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas, kehilangan semangat hidup,
menurunnya harga diri dan rasa percaya diri merupakan gejala dari depresi.
c. Gejala perilaku
Menunda atau menghindari pekerjaan, penurunan prestasi dan produktivitas,
minuman keras dan mabuk, perilaku sabotase, sering mangkir kerja, kehilangan nafsu
makan, penurunan berat badan, ngebut dijalan, meningkatnya agresivitas dan
kriminalitas, penurunan hubungan interpersonal dengan keluarga serta teman serta
kecenderungan bunuh diri. Selama stres berlangsung, akan menimbulkan reaksi
kimiawi dalam tubuh yang mengakibatkan perubahan-perubahan, antara lain
meningkatnya tekanan darah dan metabolisme (Anoraga, 2006).
Hubungan stres dengan gangguan emosional yang mempengaruhi otak,
melalui sistem neurohormonal menyebabkan gejala-gejala badaniah yang dipengaruhi
oleh hormon adrenalin dan sistem saraf otonom. Adrenalin yang meningkat
menimbulkan kadar asam lemak bebas meningkat dan ini merupakan persediaan
sumber energi ekstra. Bilamana peningkatan ini tidak disertai kegiatan fisik, energi
ekstra ini tidak dibakar habis, akan diproses hati menjadi lemak kolesterol dan
kenaikan tekanan darah, denyut jantung yang bertambah, dan keduanya
mengakibatkan gangguan pada kerja jantung bahkan mudah menimbulkan kematian
mendadak atau serangan jantung (MCI) (Anonymous, 2008).
Gangguan sistem saraf otonom, menimbulkan gejala seperti keluarnya
keringat dingin (keringat pada telapak tangan), badan terasa panas dingin, asam
lambung yang meningkat (sakit maag), kejang lambung dan usus, mudah kaget,
gangguan seksual dan lain-lain. Gejala stres yang berat dapat menyebabkan hilangnya
kontak sama sekali dengan lingkungan sosial. Dalam perkembangan selanjutnya
ternyata dampak stres tidak hanya mengenai gangguan fungsional berupa kelainan
organ tubuh, tetapi juga berdampak pada bidang kejiwaan (psikiatrik) yaitu
kecemasan atau depresi.
Lingkungan kerja, sebagaimana lingkungan lainnya, juga menuntut adanya
penyesuaian diri dari individu yang menempatinya. Dalam lingkungan kerja ini
individu memiliki kemungkinan untuk mengalami keadaan stres. Secara umum
terdapat tiga buah pendekatan untuk membahas masalah stres dalam ruang lingkup
organisasi. Pendekatan pertama berorientasi pada karakteristik obyektif dari berbagai
situasi kerja yang dapat menimbulkan stres. Pendekatan kedua mengacu pada
karakteristik individu sebagai penyebab utama stres. Pendekatan ketiga melalui acuan
interaksi antara situasi obyektif dan karakteristik individu (Anonymous, 2008).
2.1.4. Dampak Stres Kerja
a. Pada Perusahaan
Rini, (2002) mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang
berpengaruh terhadap organisasi. Stres yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi
dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja serta tendesi
mengalami kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan
oleh stres kerja adalah:
1) Terhambatnya manajemen maupun operasional kerja.
2) Mengganggu kenormalan aktivitas kerja.
3) Menurunkan tingkat produktivitas.
4) Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan.
b. Pada Karyawan
Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi
perusahaan. Pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan
diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan
sebaik-baiknya. Reaksi terhadap stres dapat merupakan gangguan bersifat psikis
maupun fisik. Pekerja atau karyawan yang stres akan menunjukkan perubahan
perilaku. Perubahan perilaku terjadi pada diri manusia sebagai usaha mengatasi stres.
Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres (flight) atau freeze
(berdiam diri). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini biasanya dilakukan
Perubahan-perubahan ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala individu
yang mengalami stres antara lain (Margiati, 1999).
a. bekerja melewati batas kemampuan.
b. Sering terlambat masuk kerja.
c. Sering absen atau tidak hadir.
d. Sulit membuat keputusan.
e. Lalai menyelesaikan pekerjaan.
f. Lupa akan janji yang telah dibuat dan kegagalan diri sendiri.
g. Sulit berhubungan dengan orang lain.
h. Risau tentang kesalahan yang dibuat.
i. Menunjukkan gejala fisik yaitu gangguan pada sistem pencernaan, sistem
cardiovasculer, kulit lebih rentan dan gangguan sistem pernafasan.
Dewasa ini konsep tentang stres kerja telah menjadi perhatian nasional bahkan
dunia, karena peningkatan jumlah klaim ketidakmampuan berdasarkan faktor-faktor
terkait stres. Kemajuan teknologi tampaknya memperlambat kemampuan kita untuk
mempertahankan produktivitas, dan merasa hanya memiliki sedikit kendali bahkan
tidak memiliki kendali sama sekali. Pekerja menjadi lebih rentan terhadap bahaya
stres kerja, karena menghabiskan sebagian besar waktu di tempat kerja dan stres kerja
dengan cepat menjadi isu pelayanan kesehatan nasional, strategi managemen stres
sangat penting untuk membantu menjaga kesehatan optimum pekerja di setiap sudut
Stres mempengaruhi orang dengan cara yang berbeda dan jika dibiarkan tidak
ditangani akan menimbulkan kegelisahan di tempat kerja. Kegelisahan itu terpendam
jauh di dalam hati, seringkali tersembunyi, tetapi tetap ada dan membebani individu.
Pengusaha seringkali membiarkan dan mengabaikannya. Stres dapat berasal dari
peristiwa kehidupan pribadi kita atau ditempat kerja, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi kita ditempat kerja. Semakin lama hal itu diabaikan, semakin besar
dampaknya. Stres kerja perlu sedini mungkin diatasi oleh pimpinan agar hal yang
merugikan perusahaan dapat diatasi. Orang-orang yang mengalami stres menjadi
nervous dan merasakan kekuatiran kronis. Sering menjadi marah-marah atau, agresif,
tidak dapat rileks atau memperlihatkan sikap yang tidak kooperatif. Stres kerja dapat
terjadi hampir pada semua pekerja, baik tingkat pimpinan maupun staff. Kondisi kerja
yang lingkungannya tidak baik sangat pontesial untuk menimbulkan stres kerja
(Anonymous, 2008).
2.2. Kondisi kerja
a. Lingkungan kerja
Kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah sakit,
mudah stres, sulit berkonsentrasi menyebabkan menurunnya produktif kerja.
Lingkungan kerja yang kurang nyaman, misalnya: panas, berisik, sirkulasi udara
kurang, lingkungan kerja yang kurang bersih, membuat pekerja mudah menderita
suhu, penerangan, suara dan ciri-ciri arsitektur tempat kerja. Dan dapat dijelaskan
bahwa variabel tadi mempengaruhi sikap dan perilaku pekerja (Supardi, 2007).
Kondisi lingkungan kerja, dapat menyebabkan ketidaknyamanan seseorang
dalam menjalankan pekerjaannya misalnya suhu udara dan kebisingan, karena
beberapa orang sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan (Margiati, 1999).
Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja, yaitu
faktor lingkungan kerja dan faktor personal. Faktor lingkungan kerja dapat berupa
kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan.
Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa atau pengalaman
pribadi maupun kondisi sosial ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan
mengembangkan diri. Faktor kedua tidak secara langsung berhubungan dengan
kondisi pekerjaan, namun karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar,
maka faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres.
(Dwiyanti, 2001).
Kondisi kerja yang lingkungannya tidak baik sangat pontesial untuk
menimbulkan stres kerja. Stres di lingkungan kerja tidak dapat dihindari, yang dapat
dilakukan adalah bagaimana mengelola, mengatasi atau mencegah terjadinya stres
kerja tersebut, sehingga tidak mengganggu pekerjaan (Notoatmodjo, 2003).
b. Overload
Overload dapat dibedakan menjadi kuantitatif dan kualitatif. Overload secara
kuantitatif, bila target kerja melebihi kemampuan pekerja yang bersangkutan
tinggi. Overload kualitatif, bila pekerja memiliki tingkat kesulitan atau kerumitan
yang tinggi. Overload pada pekerja merupakan hal paling utama karena over
kapasitas dari lapas itu sendiri, di mana 1 petugas pengamanan mengawasi 93
tahanan atau narapidana (Supardi, 2007).
c. Pekerjaan yang sederhana
Pekerjaan yang tidak menantang dan kurang menarik bagi pekerja, pekerjaan
yang rutinitas sehingga menimbulkan kebosanan, ketidakpuasan dan sebagainya.
Perasaan bosan dan jenuh inilah yang membuat seorang pekerja tidak menyenangi
pekerjaannya atau terasing dari kerja (Supardi, 2007).
d. Pekerjaan berisiko tinggi
Pekerjaan yang beresiko tinggi dan berbahaya bagi keselamatan jiwanya.
Kebutuhan akan rasa aman merupakan faktor utama di dalam diri seseorang. Bila
seseorang merasa dirinya tidak aman, maka timbul reaksi-reaksi kejiwaan seperti
cemas, takut tanpa alasan dan sebagainya (Anoraga, 2006). Peneliti merasa pegawai
lapas selalu berinteraksi dengan tahanan dan narapidana untuk mengawasi tahanan
dan narapidana mempunyai pekerjaan yang beriko tinggi bagi keselamatannya dan
pekerjaannya.
2.3. Karateristik Pekerja
2.3.1. Umur
terhadap lingkungan sehingga dapat menurunkan produktivitas. Sedangkan pada
pekerja usia tua sering terjadi gangguan fisik seperti tremor (tangan yang gemetar).
Di mana tremor pada tenaga kerja dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja
perusahaan yang memerlukan produktivitas tenaga kerja perusahaan yang
memerlukan ketrampilan tangan (Oslida, 2001).
2.3.2. Masa Kerja
Masa kerja berkaitan dengan kepuasan kerja. Berdasarkan tenaga kerja
mempunyai kepuasan kerja yang terus meningkat sampai masa kerja lima tahun dan
kemudian mulai terjadi penurunan sampai lama kerja delapan tahun. Tetapi kemudian
setelah tahun kedelapan kepuasan kerja secara perlahan-lahan akan meningkat lagi.
Selain itu tenaga kerja yang telah lama bekerja mempunyai dorongan untuk hadir
lebih besar karena mempunyai harapan memperoleh keuntungan dari kesenioritasnya
(Budiono, 1990).
2.3.3. Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi seseorang dalam cara berpikir dan bertindak dalam
menghadapi pekerja. Indonesia sebagian besar adalah tenaga pelaksana yang berada
dalam keadaan sosial ekonomi lemah, yang disebabkan antara lain rendahnya tingkat
pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki. Pekerja dengan dasar pendidikan
dan ketrampilan yang sangat terbatas serta kondisi kesehatan yang buruk cenderung
2.3.4. Status Perkawinan
Adalah keterangan yang menunjukkan riwayat pernikahan tenaga kerja yang
terdapat pada kartu identitas pekerja, dan dikategorikan atas kawin dan tidak kawin.
2.4. Lembaga Pemasyarakatan
Secara umum Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan terhadap orang-orang yang dijatuhi hukuman penjara atau
kurungan (hukuman badan) berdasarkan keputusan pengadilan, dengan kata lain
pelaku kejahatan tersebut terbukti telah melakukan kejahatan atau pelanggaran.
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat pembinaaan terhadap orang-orang terhukum
agar mereka dapat kembali ke dalam masyarakat dan diterima sebagaimana
masyarakat lainnya maka proses pembinaan dan berbagai fasilitas penunjang lainnya
perlu dilihat relevansinya sesuai dengan pencapaian tujuan pembinaan itu sendiri.
Visi Lembaga Pemasyarakatan adalah memulihkan kesatuan hubungan hidup,
kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai individu,
anggota masyarakat dan Makhluk Tuhan Yang Maha Esa (membangun manusia
mandiri). Misi Lembaga Pemasyarakatan yaitu melaksanakan perawatan tahanan,
pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan
benda sitaan Negara dalam kerangka penegakan hukum, pencegahan dan
penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
2.4.1. Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi
Dasar pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan struktur organisasi adalah Surat
Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor: M.05.PR.07.03 Tahun 2003
tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan, yaitu:
Kepala Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS), tugas dan fungsi Kepala
Lembaga Pemasyarakatan adalah menyelenggarakan tugas pokok pemasyarakatan
antara lain: melakukan pembinaan terhadap narapidana, memberikan bimbingan,
mempersiapkan sarana, pengolahan hasil kerja, melakukan pemeliharaan keamanan
dan ketertiban. Lembaga Pemasyarakatan dalam melaksanakan urusan tata usaha
serta rumah tangga, melakukan bimbingan sosial atau rohani terhadap narapidana
serta bertanggung jawab penuh pada keseluruhan aktivitas sehari-hari di Lembaga
Pemasyarakatan baik yang meliputi kegiatan narapidana maupun kegiatan
kepegawaian.
Berdasarkan struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk
Pakam bahwa Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagai pimpinan membawahi:
1) Kepala Sub Bagian Tata Usaha
Tugas dan fungsinya adalah melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga
Lembaga Pemasyarakatan yang dibantu oleh 2 sub urusan, yaitu:
a) Urusan Kepegawaian dan Keuangan mempunyai tugas melakukan urusan
kepegawaian dan keuangan.
b) Urusan Umum mempunyai tugas melakukan urusan surat menyurat,
2) Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik dan Kegiatan Kerja
Tugas dan fungsinya adalah memberikan bimbingan pemasyarakatan
Narapidana/Anak Didik dan Bimbingan Kerja. Untuk menyelenggarakan tugas
tersebut dibantu 3 (tiga) kepala Sub Seksi, yaitu:
a) Kepala Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan mempunyai
tugas melakukan pencatatan, membuat statistik, dokumentasi sidik jari, serta
memberikan bimbingan, penyuluhan rohani, memberikan latihan olah raga,
peningkatan pengetahuan, asimilasi, cuti dan pelepasan Narapidana/Anak
Didik.
b) Kepala Sub Seksi Perawatan Narapidana/Anak Didik mempunyai tugas
mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi Narapidana/Anak
Didik.
c) Kepala Sub Seksi Kegiatan Kerja mempunyai tugas memberikan bimbingan
kerja, mempersiapkan fasilitas, sarana dan mengelola hasil kerja.
3) Kepala Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib
Mempunyai tugas dan fungsi mengatur jadwal tugas, penggunaan
perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan, penerima laporan harian, dan berita
acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta menyusun laporan berkala
di bidang keamanan dan menegakkan tata tertib. Untuk menyelenggarakan tugas
tersebut dibantu dua Kepala Sub Seksi, yaitu:
b) Kepala Sub Seksi Pelaporan dan Tata tertib mempunyai tugas menerima
laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta
mempersiapkan laporan berkala di bidang keamanan dan menegakkan tata
tertib.
4) Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan
Mempunyai tugas dan fungsi:
a) Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap narapidana/anak didik.
b) Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban.
c) Melakukan pengawalan, penerimaan, penempatan dan pengeluaran
Narapidana/anak didik.
d) Melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran keamanan.
e) Membuat laporan harian dan Berita Acara Pelaksanaan Pengamanan.
Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan bertanggung jawab
langsung kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan membawahi tugas
pengamanan Lembaga Pemasyarakatan.
Untuk melaksanakan tugas penjagaan, regu penjagaan melakukan tugas secara
bergilir. Penggantian regu penjagaan diatur menurut keadaan dan keperluan setempat
dan dalam pelaksanaannya, penggantian jaga regu lama tidak boleh meninggalkan
Lapas sebelum timbang terima dengan regu baru selesai dengan sempurna. Tugas
Penjagaan secara umum dapat dijelaskan antara lain harus datang selambat-lambatnya
15 menit sebelum jam dinasnya, jika berhalangan harus memberitahukan sebelumnya
penghubung dari dan untuk penghuni Lapas untuk keperluan apapun secara tidak sah,
dilarang bertindak sewenang-wenang terhadap penghuni Lapas, memahami dan
mengerti cara menggunakan perlengkapan keamanan/ketertiban, merawat
perlengkapan keamanan/ketertiban sebaik-baiknya, mempersiapkan buku jaga untuk
mencatat kegiatan atau peristiwa, pergantian tugas jaga dengan menjaga narapidana
dan tahanan dan jumlah keadaan senjata api serta situasi khusus yang perlu diketahui
oleh petugas jaga berikutnya, harus selalu waspada dalam melaksanakan tugas
penjagaan, terutama pada waktu malam hari atau pada waktu hujan, apabila terjadi
pelarian narapidana, tahanan maka petugas bertanggung jawab dan segera
melaporkan kepada atasannya. Atasan yang menerima laporan tersebut segera
mengambil langkah/tindakan yang lebih lanjut, serta melakukan kewajiban-kewajiban
lain menurut peraturan yang berlaku bagi Lapas.
Sasaran keamanan diarahkan pada:
a. Segenap penghuni Lapas.
b. Pegawai dan para pengunjung Lapas.
c. Bangunan dan perlengkapannya.
d. Lingkungan sosial/masyarakat lainnya.
e. Aspek ketatalaksanaan.
Selain itu, ditambah dengan Tenaga Pengamanan pada Pintu Gerbang (Portir)
yang memiliki fungsi dan tugas:
b. Mengenali lebih dahulu (tamu, pegawai maupun penghuni) yang akan masuk
Lapas.
c. Menjaga jangan ada penghuni Lapas keluar dari Lapas dengan tidak sah.
d. Menerima penghuni Lapas yang masuk dan menyerahkan kepada Komandan
jaga.
e. Menjaga agar jumlah penghuni Lapas yang diterima di ruang portir seimbang
dengan kekuatan penjagaan portir.
Mengingat tugas dan tanggung jawab pegawai Lembaga Pemasyarakatan
cukup berat dan mengandung resiko, maka setiap pegawai diberikan tunjangan
petugas Pemasyarakatan sesuai dengan Peraturan Presiden RI Nomor 21 Tahun 2006
tentang Tunjangan Petugas Pemasyarakatan. Besarnya tunjangan petugas
Pemasyarakatan setiap bulannya sebagai berikut:
Golongan II sebesar Rp. 240.000,-
Golongan III sebesar Rp. 265.000,-
Sesuai Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor:
M.02-KP.08.10 tahun 2006 tanggal 06 November 2006 tentang Tunjangan Resiko Bahaya
Keselamatan dan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Pegawai Negeri Sipil yang
diangkat sebagai Petugas Pemasyarakatan. Selain itu, dengan pertimbangan besarnya
resiko dari tugas-tugas yang dihadapi oleh Petugas Pemasyarakatan, Pemerintah juga
memberikan tambahan tunjangan resiko sebagai akibat dari pelaksanaan tugas
sehari-hari yang dibagi berdasarkan tingkat resiko bahaya yang dihadapi (Ring I, II dan III)
1. Ring I di mana tingkat resiko besar karena petugas langsung berhadapan
dengan Narapidana dan Tahanan, dan berada dalam lingkungan Narapidana
dan Tahanan. Untuk tugas ini diberikan tunjangan resiko sebesar
Rp. 600.000,- per bulan. Petugas Penjagaan berada dilingkup Ring I ini.
2. Ring II, tingkat resiko yang dihadapi oleh petugas tidak begitu besar dan
hanya menghadapi tahanan di luar dari blok dan sel tahanan serta narapidana.
Dalam hal ini, Petugas Lembaga Pemasyarakatan lebih banyak memerlukan
data dan keterangan dari tahanan, serta berhubungan dengan data dan angka.
Petugas pada sub Seksi Pembinaan, Pendidikan Narapidana/Tahanan dan
Kegiatan Kerja berada pada ring kedua ini. Besarnya tunjangan resiko yang
diberikan sebesar Rp. 450.000,- per orang per bulan.
3. Ring III. Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang berada pada Ring III ini
hampir dapat dikatakan jauh dari resiko kerja yang dihadapi, namun tidak
mengurangi kemungkinan akan timbulnya bahaya dan resiko dari pekerjaan
yang dihadapinya. Umumnya, Petugas pada bagian Ring III ini lebih sering
berhadapan dengan Pegawai daripada berhubungan dengan tahanan dan
narapidana. Besarnya tunjangan resiko yang diberikan sebesar Rp. 350.000,-
2.5. Kerangka Konsep Penelitian
STRES KERJA
Karekteristik Pekerja
• Umur
• Masa kerja
• Pendidikan
• Status perkawinan Kondisi kerja
• F i s i k
• P s i k i s
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan konsep di atas dapat dijelaskan bahwa definisi konsepnya adalah
sebagai berikut:
1. Variabel independen adalah variabel bebas yaitu kondisi kerja dan
karakteristik individual.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian berupa penelitian analitik dengan disain cross sectional
(potong lintang) untuk mengetahui hubungan kondisi kerja dan karakteristik
individual dengan stres kerja pada pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II B
Lubuk Pakam.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk
Pakam.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian direncanakan selama 6 bulan dari bulan September 2008 sampai
dengan Maret 2009.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah semua pegawai Lembaga Pemasyarakatan
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian adalah seluruh populasi dijadikan sampel sebanyak
86 orang.
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Data Primer
Data primer diperoleh langsung dari responden menggunakan alat bantu
kuesioner. Data primer berupa data kondisi kerja dan data stres kerja dan karakteristik
individual yaitu: umur, masa kerja, pendidikan, status perkawinan.
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data-data yang mendukung data primer diperoleh dari
dokumen yang ada di Lapas Klas II B Lubuk Pakam yaitu gambaran umum lokasi
penelitian dan karakteristik individual responden dari masing-masing sampel
penelitian.
Dalam pengumpulan data primer dan sekunder, peneliti dibantu oleh 2 orang
enumerator yang telah dilatih dan mempunyai persepsi yang sama dalam penelitian
ini.
3.5. Cara pengumpulan data
Dengan memberikan kuesioner atau daftar pertanyaan kepada responden
untuk dijawab atau dicontreng yaitu karakteristik individual (Lampiran 2), kondisi
3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.6.1. Variabel Penelitian
a. Variabel terikat yaitu keadaan stres kerja yang dialami oleh pegawai Lapas.
b. Variabel bebas yaitu:
1) Kondisi kerja yaitu lingkungan kerja, overload, pekerjaan yang sederhana,
pekerjaan yang beresiko tinggi.
2) Karakteristik individual (umur, masa kerja, pendidikan, status
perkawinan).
3.6.2. Definisi Operasional
a. Stress Kerja adalah adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan
adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis yang mempengaruhi emosi, proses
berpikir dan kondisi seseorang pekerja.
b. Kondisi Kerja meliputi variabel lingkungan kerja, situasi kerja, kondisi yang
ada baik fisik berupa kebisingan, penataan peralatan dan ruangan, maupun
psikis berupa peraturan, keluhan dan tuntutan, serta hubungan sosial dan
memakai alat bantu kuesioner yang terdiri dari 16 buah pertanyaan.
c. Karakteristik Individual meliputi umur, masa kerja, pendidikan, status
3.7. Metode Pengukuran
a. Stres kerja
Pembobotan (skoring) dengan menggunakan skala Likert. Nilai stres kerja
diperoleh dari jawaban yang diberikan melalui 50 pertanyaan yang diajukan dan
jawaban disusun denganbobot penilaian untuk setiap pertanyaan diberi nilai terendah
dengan skor 1 dan nilai tertinggi dengan skor 5, selanjutnya nilai skoring
dikategorikan sebagai berikut: modifikasi Rice, 1987 dan Davis, 1995.
1) Stres ringan artinya jika seorang pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya
merasakan adanya sedikit tekanan, di mana rentang skor ≤ µ - SD.
2) Stres sedang artinya jika seorang pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya
merasakan adanya tekanan dalam jumlah optimal dan dapat memacu dalam
melaksanakan pekerjaan, di mana rentang skor ≤ µ ± SD.
3) Stres berat artinya jika seorang pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya
merasakan tekanan yang berada di luar kemampuannya untuk
menghadapinya, di mana rentang skor ≥ µ + SD.
b. Kondisi kerja
Pembobotan (skoring) dengan menggunakan skala Likert. Diperoleh dari
jawaban yang diberikan melalui 16 pertanyaan, di mana 5 pertanyaan untuk kondisi
kerja secara fisik dan 11 pertanyaan untuk kondisi kerja secara psikis dan jawaban
disusun denganbobot penilaian untuk setiap pertanyaan diberi nilai terendah dengan
skor 1 dan nilai tertinggi dengan skor 5, selanjutnya nilai skoring dikategorikan
Hasil pengukuran dikelompokkan menjadi:
Tidak Menyenangkan : ≤ µ - SD
Kurang Menyenangkan : antara µ ± SD
Menyenangkan : ≥ µ + SD
3.7.1. Pengukuran Variabel
Pengukuran variabel dilakukan dengan menggunakan skala likert, di mana
responden hanya memberikan tanda (√) pada kolom angka pada masing-masing butir
pertanyaan yang dianggap sesuai dengan responden.
Tabel 3.1. Pengukuran Variabel
Bobot Nilai Satu Indikator
No Variabel Jlh.
Pertanyaan Tidak
pernah Jarang
Kadang-
kadang Biasanya Selalu
Bobot
Selanjutnya skor-skor yang diperoleh dari setiap pertanyaan pada responden
dikonversikan ke dalam tiga skala interval (ringan, sedang, berat) dengan
Rendah Tinggi Sedang
µ µ + µ -
Gambar 3.1. Kurve Distribusi Normal untuk Interval Kategori Ringan, Sedang dan Berat
dari sebaran distribusi normal tersebut dilakukan pengkategorian untuk
masing-masing variabel penelitian sebagai berikut:
Tabel 3.2. Pengkategorian Kondisi Kerja dan Stress Kerja
Variabel Kategori Rentang Skor
3.8. Tekhnik Pengolahan dan Analisa
3.8.1. Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan dengan komputer memakai metode statistik dan
dianalisa menggunakan uji chi-square untuk mengetahui adanya hubungan kondisi
kerja dan karakteristik Individual (umur, masa kerja, status perkawinan, pendidikan)
dengan stres kerja pada pegawai Lembaga Pemasyarakatan dengan menggunakan
software SPSS.
3.8.2. Analisa data
Data yang diperoleh dianalisa melalui proses pengolahan data yang mencakup
kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Editing, penyuntingan data yang dilakukan untuk menghindari kesalahan atau
kemungkinan adanya kuesioner yang belum terisi.
b. Coding, pemberian kode dan scoring pada tiap jawaban untuk memudahkan
proses entry data.
c. Entry Data, setelah proses coding dilakukan pemasukan data ke komputer.
d. Cleaning, sebelum analisa data dilakukan pengecekan dan perbaikan terhadap
data yang sudah masuk.
e. Analisa data diperoleh dengan menggunakan perhitungan uji statistik
memakai bantuan program komputer.
f. Analisa data Univariat, untuk melihat gambaran dan karakteristik setiap
g. Analisa data Bivariat, untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan
variabel terikat, yaitu hubungan kondisi kerja dan karakteristik individual
dengan stres kerja pegawai Lembaga Pemasyarakatan dengan uji Kai