ANALISIS DETERMINAN PENDAPATAN USAHA KECIL
DI KABUPATEN LANGKAT
TESIS
Oleh
H. SALMAN
077018007/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS DETERMINAN PENDAPATAN USAHA KECIL
DI KABUPATEN LANGKAT
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
dalam Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
H. SALMAN
077018007/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS DETERMINAN PENDAPATAN USAHA KECIL DI KABUPATEN LANGKAT
Nama Mahasiswa : H. Salman Nomor Pokok : 077018007
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Dr. Rahmanta, M.Si)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal : 17 Februari 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : 1. Dr. Murni Daulay, M.Si
Anggota : 2. Drs. Iskandar Syarief, MA
3. Dr. Rahmanta, M.Si
4. Drs. Somad Zaino, MS
PERNYATAAN
ANALISIS DETERMINAN PENDAPATAN USAHA KECIL
DI KABUPATEN LANGKAT
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, atau kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 17 Februari 2009
ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh modal kerja, jumlah tenaga kerja, jam kerja dan tingkat pendidikan terhadap pendapatan usaha kecil di Kabupaten Langkat.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang
dikumpulkan dari lapangan. Teknik sampling yang digunakan adalah Simple Random
Sampling dengan mengambil 150 responden dari total populasi usaha kecil yang tersebar di kecamatan se-Kabupaten Langkat. Model yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah model ekonometrika dan menggunakan metoda Ordinary Least
Square (OLS).
Koefisien Determinasi (R²) menunjukkan bahwa semua variabel seperti pendidikan, modal kerja, jumlah tenaga kerja dan jam kerja dapat menjelaskan semua variasi dalam pendapatan yang diterima oleh pengusaha kecil sebesar 67% sementara
33% tidak dijelaskan didalam model. Kemudian uji serempak (F Test) menunjukkan
bahwa semua variabel independent dapat mempengaruhi Variabel terikat (Dependent
Variable) secara signifikan. Hasil menunjukkan bahwa variabel modal kerja secara signifikan berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima oleh pengusaha kecil pada = 5% sementara total tenaga kerja, jam kerja dan tingkat pendidikan signifikan pada = 10%.
ABSTRACT
The main objective of this study is to know or distinguishe factors which influence on small scale traders in the regency of Langkat.
Data employed in this research is secondary data which collected from the field. Sampling thecnique used is simple random sampling by taking 150 respondents from total population of small traders which spread all over sub-regency in Langkat Regency. The model used in this research is econometric model and the method employed is Ordinary Least Square (OLS).
The coefficient determination (R2) indicates that all variables like working capital, education level, total employers and hours of work can describe all variation in income received by small scale traders as amount of 67 percent, meanwhile 33 percent is not the model. Therefore, the F-test (all over test) indicates that all independent variables can influence on the dependent variable significantly.The result shows that variable working capital significantly influence on total income received by small scale traders at = 5 % level. Meanwhile, total of employers, hours of work, education level significant at = 10 %.
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta bimbingannya
selama mengikuti perkuliahan dan menyelesaikan tesis ini yang berjudul “ Analisis
Determinan Pendapatan Usaha Kecil di Kabupaten Langkat”. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah memberikan bantuan pemikiran
untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Karena tanpa bantuan dari semua pihak penulis
merasa mendapatkan kesulitan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang
tulus ikhlas kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada saya
untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, M.Sc selaku direktur dan Prof. Dr. Ir. A.
Rahim Matondang, MSIE dan Dr. Pandapotan Nasution, MS selaku wakil
Direktur I dan Wakil Direktur II Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara atas kesempatan saya menjadi mahasiswa program magister pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
3. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan
4. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si dan Bapak Drs. Iskandar Syarief, MA selaku
pembimbing yang telah memberikan perhatian dan dorongan melalui bimbingan
dan saran dalam penyelesaian tesis ini.
5. Seluruh Dosen dan Guru Besar pada Program Studi Magister Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana USU.
6. Sembah Sujud Penulis kepada Ayahanda Alm. H. Harmen Ishak dan Ibunda Hj.
Nahwiyah yang terus mendukung dan memberikan semangat untuk
menyelesaikan studi magister, Do’a dan kasih sayangnya kepada Saya.
7. Terima Kasih kepada Istri tercinta Dra. Hj. T. Rubi Auliani dan Ketiga Anakku
tersayang, Ahmad Fachri Salman, Muhammad Ridho Albi dan Siti Luthfiah
Nabila yang selalu memberikan do’a, motivasi dan dukungan baik berupa moral
maupun material, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.
8. Terima kasih kepda Bapak dan Ibu Mertua yang telah memberikan dorongan dan
motivasi dalam penyelesaian studi ini.
9. Terima Kasih kepada Pimpinan dan Staf Pemerintah Kabupaten Langkat yang
telah membantu penulis dalam menghimpun data di lapangan, sehingga
selesainya tesis ini.
10.Terima Kasih kepada rekan-rekan terdekat : Armauliza Septiawan, Rajanami Yun
Sukatami, M. Riza Aulia Matondang, Sujarno yang telah memberikan dukungan
kepada penulis untuk menyelesaikan studi ini.
Penulis menyadari bahwa dengan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan
dari pihak-pihak tersebut di atas. Karena itu dengan segala kerendahan hati yang tulus
ikhlas penulis menerima segala kritikan dan saran yang diberikan kepada penulis
dalam perbaikan hasil penelitian ini. Sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Harapan penulis tesis ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kabupaten
Langkat khususnya Kepada Pengusaha Kecil yang berada di kecamatan se-Kabupaten
Langkat.
Akhirnya kepada Allah SWT memohon ampun atas segala kekhilafan yang
disengaja maupun tidak disengaja dan kepada semua pihak yang telah membantu
penulis mengucapkan terima kasih dan mohon maaf bila terdapat kekhilafan. Sekian
dan terima kasih.
Medan, Maret 2009
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : H. Salman
2. Agama : Islam
3. Tempat/Tanggal lahir : Stabat, 24 April 1966
4. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
5. Nama Ayah : Alm. H. Harmen Ishaq
Nama Ibu : Hj. Nahwiyah
6. Pendidikan : a. SD Negeri 050656 Stabat, Lulus Tahun
b. SMP Negeri 1 Stabat, Lulus Tahun
c. SMA Negeri 1 Stabat, Lulus Tahun
d. Strata-1 IAIN Fakultas Tarbiyah Medan, Lulus
Tahun 1990
DAFTAR ISI
2.1 Kelangkaan Modal dan Minimnya Tabungan Pada Negara Berkembang ... .. 8
2.2 Peran Pemerintah Dalam Sebuah Perekonomian ... .. 11
2.3 Pendapatan, Konsumsi dan Tabungan ... .. 13
2.4 Pasar Kredit serta Kredit Modal kerja ... .. 16
2.5 Produksi Mencerminkan Tingkat Pendapatan ... .. 19
2.6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil 21
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1. Lingkaran Setan Ke-2 ... 10
2.2. Lingkaran Setan Ke-3 ... 11
2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian Determinan Pendapatan Usaha Kecil
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
3.1. Sample Size dan Lokasi Penelitian ... 27
4.1. Perkembangan dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Langkat selama 4 tahun (2004-2007) ... 36
4.2. Karakteristik Usia Responden di Wilayah Penelitian ... 38
4.3. Karakteristik Pendidikan Responden pada Wilayah Penelitian ... 39
4.4. Jumlah Anggota Keluarga Responden ... 40
4.5. Jenis Rumah Yang Dihuni Oleh Responden ... 41
4.6. Kondisi Lantai Rumah Tempat Tinggal ... 41
4.7. Kondisi Dinding Rumah Responden ... 42
4.8. Kondisi Atap Rumah Responden ... 42
4.9. Kondisi Alat Penerangan ... 43
4.10 Sumber Air Minum/MCK ... 44
4.11. Status Kepemilikan Rumah Responden ... 44
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Daftar Pertanyaan ... 55
2. Data Penelitian Lapangan ... 59
3. Input data Menggunakan Eviews 4,1 ... 64
4. Hasil Estimasi ... 68
5. Hasil Uji Multikolinearitas ... 69
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kendala klasik seputar usaha kecil dan rumah tangga di Indonesia yang sering
dibicarakan sampai saat ini adalah soal kekurangan modal, tenaga kerja, di samping
peralatan atau teknologi dan juga pemasaran. Sehingga muncul pertanyaan yang
paling esensial dari dampak permasalahan tersebut yaitu bagaimana sektor usaha
kecil dalam negeri dapat didorong menjadi sektor usaha berskala besar sehingga
memberikan tingkat pendapatan masyarakat yang cukup baik.
Sejak tahun 1983, pemerintah secara konsisten telah melakukan berbagai
upaya deregulasi sebagai upaya penyesuaian struktural dan restrukturisasi
perekonomian. Kendati demikian, banyak yang mensinyalir deregulasi di bidang
perdagangan dan investasi tidak memberi banyak keuntungan bagi perusahaan kecil
dan menengah bahkan sebaliknya justru perusahaan besar dan konglomerat yang
mendapat keuntungan. Studi empiris membuktikan bahwa pertambahan nilai tambah
ternyata tidak dinikmati oleh perusahaan skala kecil, sedang, dan besar, namun justru
perusahaan skala konglomerat, dengan tenaga kerja lebih 100 orang yang menikmati
kenaikan nilai tambah secara absolut (Kuncoro & Abimayu, 1995).
Dalam konstelasi inilah perhatian untuk menumbuh kembangkan industri
kecil dan rumah tangga yang menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan
tangga juga intensif dalam menggunakan sumberdaya alam lokal. Apalagi lokasinya
banyak di pedesaan, pertumbuhan industri kecil akan menimbulkan dampak positif
terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan,
pemerataan dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di pedesaan
(Simatupang,et al, 1994; Kuncoro, 1996). Dari sisi kebijakan, industri rumah tangga
jelas perlu mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi
sebagian besar angkatan kerja, namun juga merupakan ujung tombak dalam upaya
mengentaskan kemiskinan. Di pedesaan, peran penting industri kecil dan rumah
tangga memberikan tambahan pendapatan (Sandee et all, 1994), merupakan seedbed
bagai pengembangan industri dan sebagai pelengkap produksi pertanian bagi
penduduk miskin (Weijland, 1999).
Dewasa ini salah satu upaya yang sudah dilakukan pemerintah sebagai suatu
strategi dalam pengembangan usaha kecil adalah dengan memperhatikan antara
keseimbangan, penguasaan teknologi dan meningkatkan peranan swasta. Strategi itu
ditunjang dengan kebijakan ekonomi yang dapat mendorong upaya tersebut, di
antaranya dengan sistem kemitraan antara industri besar, menengah dengan usaha
kecil/ industri rumah tangga dan koperasi. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan tiga
tahun belakangan ini, pertumbuhan unit usaha telah mencapai 61,5 ribu unit usaha,
dengan kapasitas penyerapan tenaga kerja tambahan mencapai 869,3 ribu orang.
).
Dampak dari bantuan yang diberikan oleh pengusaha besar atau menengah
barbagai pihak. Terutama pihak yang paling berkepentingan di sini, yaitu pengusaha
usaha kecil dan koperasi, yang langsung merasakan problematik tersebut.
Kondisi riil yang ditunjukkan oleh hampir seluruh daerah kabupaten/ Kota di
Indonesia menggambarkan bahwa kegiatan usaha kecil yang hampir seluruhnya
berada di daerah Kabupaten/Kota selalu dilanda fenomena sulit berkembang
dikarenakan banyaknya masalah yang mereka hadapi mulai dari permasalahan
ketersedian modal dan tingkat kemampuan SDM pekerja yang relatif kurang
memadai. Misalnya sektor industri kerajinan dan produksi hasil pertanian, seperti
kerajinan rotan, kayu, keramik gerabah, bata, dan mkanan, merupakan sektor industri
yang memiliki potensi ekspor, karena itu sangat berprospek apaila dapat
dikembangkan, terutama industri kerajinannya.
Dalam sebuah artikel (Budianto, 2007) dijelaskan bahwa dalam beberapa
tahun terakhir dapat dilihat banjirnya produk pangan dari luar negeri yang banyak
ragamnya, mulai yang bermitra dengan perusahaan di Indonesia atau lebih dikenal
dengan toll manufacturing, produk impor legal dan produk ilegal. Jika dicermati
dengan baik, ternyata produk tersebut tidak hanya dihasilkan oleh industri besar akan
tetapi juga dihasilkan oleh usaha kecil. Semuanya mempunyai kesamaan yaitu
memiliki penampilan produk yang prima, baik dari segi kemasan maupun kualitas
produknya. Kemasan produk impor tersebut mempunyai desain yang menarik dan
terbuat dari bahan yang baik sehingga dapat menarik minat konsumen untuk
Dengan demikian jelaslah bahwa sebelum pintu ”Pasar Bebas” secara resmi
dibuka industri-usaha kecil di Indonesia sudah mendapat persaingan yang cukup
berarti terutama dalam hal pemasaran. Sebagai konsekwensinya jelaslah bahwa dunia
Usaha kecil maupun mikro di Indonesia harus bergerak cepat demi mengimbangi
persaingan yang sudah pasti datang beberapa tahun ke depan.
Pada sisi lain, peran pemerintah yang ditunjukkan dalam pasal 25
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang usaha kecil dan menengah mencakup beberapa
bidang terutama dalam tujuannya memberikan dukungan dana maupun modal atau
aspek pembiayaan bagi usaha kecil yang ada di Indonesia yakni terdiri dari ;
Penyedian kredit perbankan, Pinjaman lembaga keuangan bukan bank, modal
ventura, pinjaman dari dana penyisihan laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
Hibah dan jenis pembiayaan lainnya. Ini berarti bahwa dalam perspektif formal,
Usaha Kecil seharusnya telah mendapatkan berbagai sumber modal yang mencukupi.
Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi
sumber daya alam yang cukup baik. Akan tetapi realita seperti masih rendahnya
pendapatan yang diperoleh oleh pelaku usaha kecil di kecamatan se-Kabupaten
Langkat masih banyak dijumpai, khususnya para pelaku usaha kecil yang tersebar di
sekitar ibu kota Kabupaten Langkat. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi karena
pelaku usaha kecil yang didominasi oleh keluarga masih belum menggunakan
teknologi yang efisien dan efektif sehingga produk yang dihasilkan pun belum dapat
menengah. Dengan kata lain keberadaannya dalam menghadapi persaingan di era
pasar bebas masih menjadi tanda tanya besar.
Dilatarbelakangi oleh permasalahan mengenai upaya meningkatkan
pendapatan usaha kecil di Kabupaten Langkat serta hubungannya dengan
pertumbuhan ekonomi daerah merupakan kajian yang menarik sehingga penulis
tertarik untuk menganalisis determinan pendapatan usaha kecil di Kabupaten langkat.
1.2 Perumusan Masalah
Sejalan dengan latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya maka
perumusan masalah penelitian tentang Determinan Pendapatan Usaha Kecil di
Kabupaten Langkat adalah sebagai berikut :
1. Apakah Modal Kerja berpengaruh terhadap Pendapatan Usaha Kecil di
Kabupaten Langkat ?
2. Apakah Jumlah Tenaga Kerja berpengaruh terhadap Pendapatan Usaha Kecil di
Kabupaten Langkat ?
3. Apakah Lama Berusaha berpengaruh terhadap Pendapatan Usaha Kecil di
Kabupaten Langkat ?
4. Apakah Tingkat Pendidikan berpengaruh terhadap Pendapatan Usaha Kecil di
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini juga menggambarkan tentang upaya peningkatan
pendapatan usaha kecil melalui penelaahan terhadap determinannya yakni sebagai
berikut :
1. Untuk menganalisis pengaruh Modal Kerja terhadap Pendapatan Usaha Kecil di
Kabupaten Langkat.
2. Untuk menganalisis pengaruh Jumlah Tenaga Kerja terhadap Pendapatan Usaha
Kecil di Kabupaten Langkat.
3. Untuk menganalisis pengaruh Jam Kerja terhadap Pendapatan Usaha Kecil di
Kabupaten Langkat.
4. Untuk menganalisis pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Pendapatan Usaha
Kecil di Kabupaten Langkat.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak–pihak yang ingin mengetahui faktor –
faktor yang mempengaruhi Usaha Kecil di Kabupaten Langkat pada Tahun 2008.
2. Sebagai masukan/input bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat dalam
mengambil keputusan mengenai Rencana Pengembangan Usaha Kecil di
Kabupaten Langkat pada khususnya dan di Provinsi Sumatera Utara pada
3. Sebagai bahan acuan atau referensi untuk penelitian selanjutnya terutama yang
berminat meneliti masalah pengembangan dan peningkatan bidang usaha kecil
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelangkaan Modal dan Minimnya Tabungan Pada Negara Berkembang
Ciri-ciri pokok negara terbelakang seperti kelangkaan modal serta sangat
minimnya tingkat tabungan yang dimiliki masyarakat khususnya dalam rangka
pembangunan investasi dianggap sebagai hambatan bagi perkembangan ekonomi.
Namun tidak semua ciri umum tersebut dapat terlihat pada setiap negara terbelakang
akan tetapi terkandung jawaban atas pertanyaan mendasar, mengapa negara miskin
melarat. Sebagian dari ciri tersebut merupakan penyebab sekaligus membawa akibat
kepada kemiskinan. Dengan demikian terdapat hubungan melingkar, yang terkenal
sebagai lingkaran setan kemiskinan, yang melanggengkan rendahnya tingkat
pembangunan di negara seperti itu. Hubungan sebab-akibat seperti ini terlihat pada
berapa faktor di bawah ini.
Negara terbelakang umumnya terjerat ke dalam apa yang disebut ”lingkaran
setan kemiskinan”. Nurkse (Dalam M.L. Jhingan; 2007) menjelaskan bahwa
lingkaran setan mengandung arti deretan melingkar kekuatan-kekuatan yang satu
sama lain beraksi dan bereaksi sedemikian rupa sehingga menempatkan suatu negara
miskin tetap berada dalam keadaan melarat. Si miskin misalnya, selalu kurang
makan; karena kurang makan, kesehatannya menjadi buruk; karena fisiknya lemah
kapasitasnya kerjanya rendah; karena kapasitas kerjanya rendah penghasilnya pun
seterusnya. Bila keadaan seperti ini dikaitkan dengan negara secara keseluruhan dapat
di kemas ke dalam dalil kuno yakni ’suatu negara miskin karena Ia miskin”.
Lingkaran setan pada pokoknya berasal dari fakta bahwa produktifitas total di
negara terbelakang sangat rendah sebagai akibat kekurangan modal, pasar yang tidak
sempurna dan keterbelakangan perekonomian. Lingkaran setan tersebut jika dilihat
dari sudut permintaan dapat dijelaskan sebagai berikut; rendahnya tingkat pendapatan
nyata menyebabkan tingkat permintaan menjadi rendah, sehingga pada gilirannya
tingkat investasi pun rendah. Tingkat investasi yanng rendah kembali menyebabkan
modal kurang dan produktifitas rendah. Inilah yang di tunjukan pada gambar 2.1.
Produktifitas rendah tercermin di dalam pendapatan nyata yang rendah. Pendapatan
nyata berarti tingkat tabungan juga rendah. Tingkat tabungan yang rendah
menyebabkan tingkat investasi rendah dan modal kurang. Kekurangan modal pada
gilirannya bermuara pada produktivitas yang rendah. Dengan demikian lingkaran
setan itu lengkaplah pula kalau dilihat dari sudut penawaran. Lingkaran ini dilukiskan
dalam gambar 2.2. Tingkat pendapatan rendah, yang mencerminkan rendahnya
investasi dan kurangnya modal, merupakan ciri umum yang ke dua lingkaran setan
Sumber : M.L. Jhingan (Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, 2007; 34)
Gambar 2.1. Lingkaran Setan Ke-2
Lingkaran setan yang ketiga menyangkut keterbelakangan manusia dan
sumber alam. Pengembangan alam pada suatu negara tergantung pada kemampuan
produktif manusianya. Jika penduduknya terbelakang dan buta huruf, rendahnya
angka keterampilan teknik, pengetahuan dan aktifitas kewiraswastaan, maka
sumber-sumber alam akan tetap terbengkalai, usang atau bahkan salah guna. Pada pihak lain,
keterbelakangan sumber alam ini menyebabkan keterbelakangan manusia.
Keterbelakangan sumber alam, karena itu merupakan sebab dan sekaligus akibat
keterbelakangan manusia, hal ini di jelaskan dalam gambar 2.2 di bawah ini.
Sumber : M.L. Jhingan (Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, 2007)
Gambar 2.2. Lingkaran Setan Ke-3
Kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi tidak lain merupakan dua istilah
yang sinonim. Suatu negara di katakan miskin karena ia terbelakang. Ia terbelakang
karena Ia miskin dan tetap terbelakang karena tidak mempunyai sumber yang
diperlukan untuk meningkatkan pembangunan.
2.2 Peran Pemerintah Dalam Sebuah Perekonomian
Semua ahli ekonomi klasik meyakini adanya perekonomian dengan
persaingan sempurna, pasar bebas yang secara otomatis bebas dari segala campur
tangan pemerintah yang akan memaksimumkan pendapatan nasional adalah tangan–
tangan tak kelihatan (invisible hand) akan memandu semua pelaku ekonomi untuk
mencapai alokasi sumber daya secara efesien (Jhingan, 2007).
Keterbatasan sistem mekanisme pasar ini mulai disadari terutama setelah
terjadinya depresi perekonomian pada tahun 1929–1930. Kegagalan pasar ternyata
Ketidaksempurnaan Pasar
Keterbelakangan Sumber Alam
menyebabkan pasar tidak selalu dapat menciptakan alokasi sumber daya secara
efesien.
Beberapa kalangan ekonom membuat penilaian kritis terhadap teori klasik
dengan mengatakan bahwa perekonomian tidak memerlukan sentuhan tangan
pemerintah untuk mengatur kegiatan ekonomi. Pemerintah perlu ikut campur dalam
kegiatan-kegiatan ekonomi karena mekanisme pasar mengalami kelemahan atau
kegagalan. Kegagalan pasar timbul karena adanya unsur ketidaksempurnaan pasar,
adanya barang publik, adanya ekternalitas, adanya pasar tidak penuh, adanya
kegagalan imformasi dan adanya tenaga kerja pengangguran (Mangkoesubroto,
2001).
Selanjutnya Sukirno (2005) menyatakan beberapa alasan perlunya campur
tangan pemerintah dalam perekonomian antara lain adalah : Menstabilkan tingkat
harga dan mencegah inflasi, mengukuhkan pertumbuhan ekonomi dan menjaga
kestabilan sektor luar negeri.
Sementara itu kegiatan pemerintah dalam perekonomian menurut
Suparmoko (2000), Mangkoesoebroto (2001) secara garis besar dapat diklasifikasikan
atas :
1. Kegiatan dalam mengalokasikan faktor–faktor produksi maupun barang– barang
dan/jasa untuk memuaskan masyarakat (peranan alokasi).
2. Kegiatan dalam mengadakan redistribusi pendapatan atau mentransfer
penghasilan (peran distribusi).
4. Kegiatan yang mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Konsekuensi keterlibatan pemerintah di bidang ekonomi menyebabkan
pemerintah membutuhkan aparat, investasi, sarana dan prasarana yang berarti harus
melakukan pengeluaran untuk mencapai tujuan pembangunan. Guna membiayai
pengeluaran tersebut, maka pemerintah harus mencari sumber dana/penerimaan.
Rincian tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah setiap tahunnya akan
nampak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Disamping itu
melalui peran pemerintah sangat diharapkan untuk menciptakan distribusi pembagian
pendapatan nasional yang lebih adil (Basri,2003)
2.3 Pendapatan, Konsumsi dan Tabungan
Teori ekonomi keynes ialah kecenderungan mengkonsumsi yang menyoroti
hubungan antara kecendrungan mengkonsumsi dan pendapatan. Bila pendapatan
meningkat, konsumsi juga meningkat, tetapi kenaikan ini tidak sebanyak kenaikan
pada pendapatan tersebut. Tingkah-laku konsumsi ini selanjutnya menjelaskan
mengapa ketika pendapatan naik, tabungan juga naik.
Di negara terbelakang hubungan antara pedapatan, konsumsi dan tabungan
ini tidak ada. Rakyat sangat miskin dan jika pendapatan mereka meningkat, mereka
mempergunakannya lebih banyak pada barang konsumsi karena mereka cenderung
ingin memenuhi keinginan mereka yang tak terpenuhi. Kecenderungan marginal
mengkonsumsi sangat tinggi di negara tersbut sedangkan kecenderungan marginal
bilamana kecenderugan marginal mengkonsumsi tinggi, maka permintaan konsumsi,
output dan pekerjaan meningkat dengan laju yang lebih cepat daripada kenaikan
pendapatan.tetapi negara terbelakang tidak mungkin meningkatkan produksi barang
konsumsi karena kekurangan faktor pendukung, walaupun konsumsi meningkat
sebagai akibat kenaikan pendapatan. Akibatnya, harga naik sedangkan pekerjaan
tidak naik.
Sedangkan pada sisi tabungan, Keynes (Dalam Jhingan; 2007) menganggap
tabungan sebagai sifat sosial yang buruk karena kelebihan tabungan menyebabkan
berkurangnya permintaan agregat. Sekali lagi, gagasan ini tidak dapat diterapkan
pada negara terbelakang karena tabungan merupakan obat mujarab bagi
keterbelakangan ekonomi mereka. Pembentukan modal adalah kunci pembangunan
ekonomi, dan pembentukan modal dimungkinkan melalui tabungan masyarakat yang
meningkat. Berbeda dengan pandangan keynes, negara terbelakang dapat
berkembang dengan cara membatasai konsumsi dan meningkatkan tabungan. Bagi
negara terbelakang, tabungan tidak merupakan hal yang buruk, tetapi merupakan
sesuatu yang baik.
Selanjutnya Keynesian menjelaskan pentingnya faktor penentu investasi
adalah kecenderungan marginal dari modal. Terdapat hubungan terbalik antara
investasi dan kecenderungan marginal dari modal. Bila investasi meningkat
kecenderungan marginal modal turun dan bila investasi berkurang, kecenderungan
marginal modal naik. Akan tetapi hubungan ini tidak dapat diterapkan di negara
rendah dan kecenderungan marginal modal juga rendah. Hal yang paradoks ini
disebabkan oleh kurangnya modal dan sumber lainnya, kecilnya pasar, rendahnya
pendapatan, rendahnya permintaan, tingginya harga, terbelakangnya pasar uang dan
modal, ketidakmenentuan, dan lain sebagainya.seluruh faktor ini membuat
kecenderungan marginal modal (harapan laba) dan investasi pada tingkat yang
rendah.
Untuk memperjelas hal tersebut, Keynesian mengangkat sebuah contoh yaitu;
misalkan 10.000 pekerja penganggur itu di gunakan pada 100 pabrik (kebalikan dari
100 pekerja dalam 1 pabrik) yang memproduksi bermacam-macam barang konsumsi
dan para pekerja membelanjakan gaji mereka untuk membeli barang-barang tersebut.
Produsen-produsen baru itu akan saling menjadi langganan satu sama lain dan ini
menciptakan bagi barang-barang mereka. Saling melengkapi dalam permintaan
mengurangi resiko dalam mendapatkan pasar dan meningkatkan rangsangan untunk
investasi. Dengan kata lain, syarat mutlak minimal pada permintaan inilah yang
memerlukan adanya suatu jumlah minimum investasi dalam industri yang berkaitan
untuk mengatasi kecilnya pasar dan rendahnya dorongan berinvestasi di negara
terbelakang.
Selain itu Rosenstein (Dalam Jhingan, 2007) menjelaskan tentang suatu
jumlah minimum investasi membutuhkan suatu jumlah tertentu tabungan. Jumlah
tabungan ini tidak mudah dicapai oleh negara terbelakang yang miskin karena sangat
rendahnya tingkat pendapatan.untuk mengatasi hal ini, maka ketika pendapatan
lebih tinggi dari pada tingkat rata-rata tabungan. Tapi tidak ada satu negarapun yang
pernah mempunyai tabungan marginal yang lebih tinggi dari pada tingkat rata-rata
tabungan sebelumnya.
2.4 Pasar Kredit serta Kredit Modal Kerja
Bila membahas mengenai persoalan kredit, maka pandangan kita tidak lepas
dari pembahasan mengenai pasar kredit. Secara singkat pasar kredit dapat diartikan
sebagai pertemuan antara penjual dan pembeli yang ada di pasar kredit, atau dengan
kata lain terjadinya transaksi kredit antara pemberi kredit (kreditor) dengan penerima
kredit (debitor). Dalam hal ini pihak kreditor menawarkan sejumlah uang tertentu,
dan pihak distributor akan menerima sejumlah uang tertentu. Selanjutnya besarnya
jumlah dana yang dapat di pinjamkan oleh Si pemberi kredit ini disebut dengan
loanable funds (Harunnurrasyid; 2002).
Dalam teori pasar kredit, keseimbangan pasarnya terjadi bila pertemuan antara
pemerintah dan penawaran kredit. Menurut George N. Halm (Dalam Farid Wijaya,
1999), faktor-faktor utama yang mempengaruhi penawaran loanable funds yaitu
saving, hoarding, dishoarding, amortization quotas, turnover of working capital dan
berbagi kebijaksanaan ekonomi (antara lain kebijaksanaan perpajakan atau tax
policies). Selanjutnya dari segi permintaan loanable funds dipengaruhi oleh interest
rate (tingkat bunga) dan dependent on the anticipated profitability of the planed
invesment (kemampuan antisipasi perilaku keuntungan dari investasi yang di
Sedangkan menurut Charles L. Prather (Dalam Wayne, 1997) dijelaskan pula
kredit memperkaya konsumsi masyarakat melalui kelonggaran yang dimilikinya
untuk memiliki tempat tinggal, mobil, peralatan dan perlengkapan serta
barang-barang elektronik, dan barang-barang-barang-barang tahan lama lainnya pada masa sekarang, dengan
janji untuk membayarnya di masa datang (intern for promises to pay in future). Di
samping itu, menurutnya kredit memungkinkan individu-individu untuk membeli
barang-barang dan jasa-jasa untuk mengatasi kebutuhan finansial darurat pada saat
kelahiran anak, sakit, dan musibah kematian. Kredit juga membantu memperluas
kegiatan produksi dalam bentuk peningkatan besarnya unit proses produksi dalam
bentuk peningkatan besarnya unit proses produksi dan efisiensi pengolahan produksi.
Namun demikian, kenyamanan memiliki barang-barang konsumsi yang relatif
jauh berada di bawah kemampuan pendapatan sebenarnya dapat menimbulkan beban
dan kerugian konsumsi bagi masyarakat di masa datang dan menimbulkan tabungan
yang dipaksakan. Suatu motif yang diharapkan dapat timbul dari kenaikan produksi
tidaklah mungkin dapat menjadi kenyatan, sehingga dapat menenggelamkan Si
penerima kredit dalam kewajiban-kewajiban besar yang harus di penuhi. Di samping
itu, Si penerima kredit dapat secara terpaksa mengurangi kegiatan-kegiatannya di
masa datang karena sebagian besar pendapatnnya terpaksa harus digunakan untuk
melunasi hutang dan bunga pinjaman.
Apalagi dalam keadaan pinjaman yang di terima oleh si penerima kredit
tenggang waktu transaksinya relatif cukup pendek, hal ini dapat menimbulkan
harus melunasi hutang yang diperolehnya yang harus dibayarnya dalam jumlah yang
cukup besar sehingga cenderung menyebabkan perubahan yang tajam dalam belanja
pendapatannya terhadap rasional harga-harga dan volume sumber-sumber daya atau
input yang dipakai.
Tak dapat disangkal lagi, bahwa keberadaan lembaga perkereditan, bank yang
bersifat formal maupun informal telah ikut membawa pengaruh positif namun negatif
bagi pembangunan masyarakat pedesaan. Dalam kondisi terjepit di mana lembaga
keuangan formal mengalami krisis keuangan, maka masyarakat pedesaan mencari
alternatif lain memanfaatkan lembaga kredit pedesaan informal. Sebagai akibatnya,
masyarakat pedesaan banyak yang terperangkap dalam genggaman praktek lintah
darat (rentenir). Proses industrialisasi yang terus berjalan baik di daerah pedesaan
maupun di daerah perkotaan. Meskipun dengan corak yang berbeda-beda di masing
wilayah-wilayah indonesia, maka lembaga keuangan akan memegang peranan dalam
memenuhi dana untuk pengembangan industri.
Dalam penjelasan lain Nurimansyah Hasibuan (2003) menegaskan bahwa
95% pengrajin di daerah pedesaan yang tidak pernah dapatkan fasilitas kredit akan
menyebabkan usaha kerajinan usaha di desa sulit berkembang. Sehingga upaya untuk
meningkatkan efisiensi industri banyak mengalami rintangan. Oleh karena itu
keberadaan suatu lembaga dalam perkereditan di daerah perdesaan baik yang bersifat
formal maupun informal terlihat saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Disamping itu, pemberian kredit yang dilakukan oleh lembaga-lembaga perbankan
ada yang tidak dapat secara langsung melakukan transaksi kredit pada bank,
melainkan melalui lembaga-lembaga non bank tertentu yang terkadang belum
mendapat pengakuan yang sah. Keadaan seperti ini pada gilirannya dapat
menghambat proses transaksi kredit, sehingga proses pendistribusian kredit kepada
masyarakat dapat berlangsung relatif lambat dan tak merata.
Dampak keadaan tersebut pada akhirnya memungkinkan masyarakat sebagian
terpaksa lari ke lembaga perkereditan informal, sehingga banyak di antaranya yang
terperangkap ke dalam kehidupan yang memprihatinkan. Dengan tingkat suku bunga
yang harus mereka bayar relatif tinggi, dan ditambah lagi beban tanggungan keluarga
yang relatif besar menyebabkan mereka semakin menghadapi krisis keuangan yang
parah. Akhirnya, mereka terpaksa melepas sebagian dari harta pribadi yang mereka
miliki yang akhirnya menyebabkan mereka sulit keluar dari lembah kemiskinan.
2.5 Produksi Mencerminkan Tingkat Pendapatan
Dalam Proses produksi, perusahaan mengubah masukan (input), yang juga
disebut sebagai faktor produksi (factors of production) termasuk segala sesuatunya
yang harus digunakan perusahaan sebagai bagian dari proses produksi, menjadi
keluaran (output). Misalnya sebuah pabrik roti menggunakan masukan yang
mencakup tenaga kerja, bahan baku seperti; terigu, gula dan modal yang telah
diinvestasikan untuk panggangan, mixer serta peralatan lain yang digunakan. Tentu
Pyndick (2001) menjelaskan bahwa hubungan antara masukan pada proses
produksi dan hasil keluaran dapat digambarkan melalui fungsi produksi. Fungsi ini
menunjukkan keluaran Q yang dihasilkan suatu unit usaha untuk setiap kombinasi
masukan tertentu. Untuk menyederhanakan fungsi tersebut dapat dituliskan sebagai
berikut :
Q = f{K, L} ... 2.1
Persamaan ini menghubungkan jumlah keluaran dari jumlah kedua masukan yakni
modal dan tenaga kerja.
Cobb-Douglas adalah salah satu fungsi produksi yang paling sering digunakan
dalam penelitian empiris. Fungsi ini juga meletakkan jumlah hasil produksi sebagai
fungsi dari modal (capital) dengan faktor tenaga kerja (labour). Dengan demikian
dapat pula dijelaskan bahwa hasil produksi dengan kuantitas atau jumlah tertentu
akan menghasilkan taraf pendapatan tertentu pula. Secara sederhana fungsi produksi
Cobb-Douglas tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
Q = ALαKβ ... 2.2
Dimana Q adalah output dan L dan K masing-masing adalah tenaga kerja dan
barang modal. A, (alpha) dan (beta) adalah parameter-parameter positif yang
dalam setiap kasus ditentukan oleh data. Semakin besar nilai A, barang teknologi
semakin maju. Parameter mengukur persentase kenaikan Q akibat adanya kenaikan
satu persen L sementara K dipertahankan konstan. Demikian pula parameter ,
dipertahankan konstan. Jadi, dan masing-masing merupakan elastisitas output
dari modal dan tenaga kerja. Jika + = 1, maka terdapat tambahan hasil yang
konstan atas skala produksi; jika + > 1 terdapat tambahan hasil yang meningkat
atas skala produksi dan jika + < 1 maka artinya terdapat tambahan hasil yang
menurun atas skala produksi. Pada fungsi produksi Cobb-Douglas (Dominic
Salvatore, 2008; 147).
Berdasarkan penjelasan fungsi produksi Cobb-Douglas di atas, dapat
dirumuskan bahwa faktor-faktor penentu seperti tenaga kerja dan modal merupakan
hal yang sangat penting diperhatikan terutama dalam upaya mendapatkan cerminan
tingkat pendapatan suatu usaha produksi seperti usaha kecil. Ini berarti bahwa jumlah
tenaga kerja serta modal peralatang yang merupakan input dalam kegiatan produksi
usaha kecil dapat memberikan beberapa kemungkinan tentang tingkat pendapatan
yang mungkin diperoleh.
2.6 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil
Di Indonesia berlaku suatu konsep keteraturan berupa perangkat
undang-undang yang mengatur tentang keberadaan usaha kecil adapun undang-undang-undang-undang
tersebut yakni Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 yang juga merupakan suatu
peran pemerintah dalam perekonomiaan selayaknya negara yang menganut sistem
perekonomian campuran.
Pada tubuh undang-undang ini terdapat beberapa hal yang menekankan
tersebut menjadi sebuah usaha yang tangguh dan mandiri.ini berarti bahwa seiriing
dengan berjalannya waktu,usaha kecil melalui program dan kegiatan-kegiatan
pemberdayaan pengembangan usaha kecil tersebut dapat meningkatkan pendapatan
usahanya tersebut yang merupakan aspek terpenting bagi tercapainya tujuan menjadi
suatu usaha yang tangguh dan mandiri.
Terdapat beberapa hal yang penting harus di bahas dalam Undang-undang
Nomor 9 tahun 1995 terutama tentang keterkaitannya dengan peningkatan pendapatan
yaitu sebagai berikut:
1. Adanya dukungan modal yang diusahakan oleh pemerintah.dukungan modal ini
berupa bantuan modal kerja melalui lembaga keuangan rakyat lainnya (pasal 21).
2. Menfasilitasi pengembangan usaha kecil melalui pelatihan-pelatihan serta
pengenalan teknologi baru yang lebih efisien (pasal 14)
3. Penjaminan dan pembinaan yang di lakukan oleh lembaga-lembaga penjamin
yang di miliki oleh pemerintah dan swasta.
4. Adanya kemitraan yang di ciptakan antara pengusaha kecil,pengusaha menengah
dan pengusaha besar.hal ini di-tujukan untuk memudahkan asaha kecil memasuki
persaingan pada pasar yang ada di seluruh indonesia.
5. Adanya mekanisme kordinasi yang di usahakan oleh pemerintah melalui suatu ke
mitraan di dalam susunan kabinet yang juga di pimpin oleh seorang mentri
sebagai kordinator dan pengendalian dalam pengembangan suatu usaha kecil di
2.7 Penelitian Sebelumnya
Mendorong tingkat pendapatan usaha kecil merupakan permasalahan yang
cukup mendapatkan perhatian bagi kalangan akademisi. Hal ini dapat diketahui
melalui penelaahan terhadap berbagai penelitian tentang pendapatan usaha kecil
dengan tujuan secara khusus memberikan gambaran pada penelitian ini tentang
dimensi-dimensi yang memiliki keterkaitan dengan upaya meningkatkan pendapatan
usaha kecil sebagai salah satu pilar dalam perekonomian masyarakat.
Mudrajad Kuncoro pada tahun 2001 melakukaan penelitian tentang usaha
kecil di Indonesia yang menurutnya sangat berkaitan dengan keberadaan usaha rumah
tangga. Fokus utama penelitian ini yakni mengenai profil usaha kecil serta masalah
utama yang dihadapi Usaha kecil dan rumah tangga di Indonesia. Hasil penelitian ini
menjelaskan bahwa program kemitraan dan keterkaitan antara usaha besar dan kecil
ternyata masih dalam tahap embrionik. Implikasinya, agaknya sudah saatnya
diperlukan reorientasi prinsip kemitraan. Jalinan kemitraan harus didasarkan atas
prinsip sinergi, yaitu saling membutuhkan dan saling membantu. Prinsip saling
membutuhkan akan menjamin kemitraan berjalan lebih langgeng karena bersifat
"alami" dan tidak atas dasar "belas kasihan".
Di sisi lain, Juardi pada tahun 2005 meneliti tentang usaha kecil dan
menengah serta keterkaitannya terhadap pembiayaan usaha kecil dan menengah
melalui kredit pada Bank Muamalat Indonesia. Adapun judul penelitian tersebut
yakni Pengaruh Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah terhadap Pendapatan Bank
penelitian ini yaitu meliputi ; (1) Perhatian Bank Muamalat Indonesia dalam
memberikan pembiayaan terhadap UKM semakin meningkat, (2) Pengaruh
pembiayaan untuk UKM dan non UKM terhadap pendapatan Bank Muamalat relatif
sama dan (3) Pembiayaan terhadap UKM tidak dapat dijadikan indikator bahwa Bank
Muamalat telah menjalankan fungsi sosialnya.
Selanjutnya pada tahun 2004 sebuah penelitian yang dilakukan oleh Elfindri
Nasri yang mengangkat tema tentang Nilai Ekonomis Pendidikan Menengah bagi
pengembangan tingkat pendapataan masyarakat. Demikian pula halnya dengan aspek
Indeks Pengembalian Pendidikan Menengah sebagai fokus dalam penelitiannya.
Dalam perspektif pemenuhan pemerataan pendidikan, target tingkat pendidikan
menengah masyarakat haruslah cukup baik. Hal ini dikarenakan perlunya program
perluasan sarana dan prasarana pendidikan yang dapat menampung masyarakat agar
sekurang-kurangnya lulusan pendidikan menengah yang dihasilkan mampu secara
langsung terjun ke dunia kerja atau menciptakan lapangan kerja sendiri. Dengan
demikian diharapkan melalui output pendidikan yang cukup memadai dapat pula
menjadi potensi bagi peningkatan pendapatan masyarakat.
Berdasarkan perumusan masalah, tinjauan kepustakaan dan dari berbagai hasil
kajian empiris yang telah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya, maka dapat
dirumuuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut :
1. Modal Kerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap Pendapatan Usaha Kecil
di Kabupaten langkat, Ceteris Paribus.
2. Jumlah Tenaga Kerja mempunyai pengaruh positif terhadap Pendapatan Usaha
Kecil di Kabupaten langkat, Ceteris Paribus.
3. Jumlah Jam kerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap Pendapatan Usaha
Kecil di Kabupaten langkat, Ceteris Paribus.
4. Tingkat Pendidikan mempunyai pengaruh yang positif terhadap Pendapatan
Usaha Kecil di Kabupaten langkat, Ceteris Paribus.
Tingkat Pendidikan
Modal Kerja
Jumlah Tenaga Kerja
Jumlah Jam kerja
Pendapatan Usaha Kecil
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian Determinan Pendapatan Usaha Kecil Di Kabupaten Langkat
BAB III
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian tentang determinan pendapatan usaha kecil ini dilakukan di
Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan
karakter usaha kecil di Kabupaten Langkat yang cukup banyak dan beragam jenisnya.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini meliputi keseluruhan Usaha Kecil yang tersebar di
kecamatan se-Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Usaha Kecil tersebut juga
merupakan salah satu sektor informal yang memberikan tingkat pendapatan yang
cukup baik bagi masyarakat di Kabupaten Langkat.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan
menggunakan metode Purposive Sampling dengan beberapa pertimbangan kriteria
usaha kecil yang berkaitan dengan penelitian ini. Penetapan teknik pengambilan
sampel ini didasarkan karena belum tersedianya data atau informasi mengenai jumlah
usaha kecil yang tersebar pada 23 wilayah kecamatan di Kabupaten Langkat.
Dalam penelitian ini akan ditentukan besaran sampel (sample size) yang
diperoleh dengan teknik sampling yang telah disebutkan di atas. Adapun distribusi
Tabel 3.1. Sample Size dan lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan data Primer yang diperoleh dari sejumlah
responden yang merupakan pelaku pada usaha kecil yang tersebar di kecamatan
se-Kabupaten Langkat. Data ini diperlukan untuk menganalisis Determinan Pendapatan
Usaha Kecil yang meliputi data: Tingkat Pendidikan Responden, Jumlah Kredit
Modal Kerja yang pernah didapat responden, Jumlah Tenaga Kerja, Jumlah jam kerja
Usaha Kecil tersebut serta Tingkat Pendidikan.
3.4 Model Analisis
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan Usaha
Kecil di kabupaten Langkat digunakan persamaan regresi linier berganda (multiple
lenear regression). Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah
Tingkat Pendidikan, Kredit Modal Kerja, Jumlah Tenaga Kerja dan Lama Bekerja.
Untuk itu fungsi persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Y = f { MK, TK, LB, TP } ... (3.1)
Selanjutnya fungsi tersebut dispesifikasikan ke dalam model logaritma sebagai
berikut :
Log Y = 0 + 1 Log MK + 2 Log TK
+
3 Log LB + 4 Log TP +µ
.. (3.2) Dimana :Y = Pendapatan Usaha Kecil (Rp)
MK = Modal Kerja (Rp)
TK = Jumlah Tenaga Kerja (Orang)
LB = Lama Bekerja (Jam)
TP = Tingkat Pendidikan (Tahun)
µ = Kesalahan Pengganggu
0, 1 , 2 3 , 4 = Koefisien Regresi
3.5 Defenisi Operasional
Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dan variabel yang digunakan
dalam penelitian ini perlu diberikan batasan operasional sebagai berikut :
1. Tingkat Pendidikan adalah Jenjang Pendidikan Formal yang pernah diikuti oleh
responden (dalam Tahun).
2. Jumlah Tenaga Kerja adalah keseluruhan individu yang bekerja pada usaha kecil
3. Jumlah jam kerja adalah lamanya waktu Usaha Kecil tersebut beroperasi
dinyatakan dalam (satuan jam perhari).
4. Pendapatan Usaha Kecil adalah total pendapatan bersih (netto) yang diperoleh
dalam waktu 1 bulan dan dinyatakan dalam (satuan rupiah).
3.6 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan Metode
Ordinary Least Square (OLS). Hal ini digunakan untuk melihat elastisitas Variabel
Independen terhadap Variabel Dependen Penelitian ini. Dan sebagai alat analisis
untuk mengolah data adalah dengan menggunakan program Eviews versi 4,1. Metode
ini banyak digunakan karena ;
1. Pengestimasian parameter dengan menggunakan metode ini akan menghasilkan
parameter yang bersifat optimum.
2. Perhitungan dengan menggunakan metode ini cukup mudah jika dibandingkan
dengan metode ekonometrika yang lain dan metode ini tidak membutuhkan
banyak data.
3. Metode Kuadrat Terkecil ini banyak digunakan secara luas dalam hubungan
ekoomi dan banyak menghasilkan keputusan ekonomi yang baik. Dengan
demikian metode ini banyak digunakan pada waktu mengestimasi hubungan
dalam metode Ekonometrika.
4. Teknik-teknik dalam metode kuadrat terkecil sangat mudah dipahami.
3.7 Test Goodness of Fit
Estimasi terhadap model dilakukan dengan menggunakan metode enter yang
tersedia pada program statistik Eviews Versi 4,1. Koefisien yang dihasilkan dapat
dilihat pada output regresi berdasarkan data yang dianalisis untuk kemudian
diinterpretasikan serta dilihat signifikansi tiap-tiap variabel yang diteliti.
Pengujian statistik dilakukan dengan menggunakan uji statistik Uji-t (t-test) dan
Uji – F (F-test). Uji – t dimaksudkan untuk mengetahui signifikasi variabel secara
partial, sementara Uji – F mengetahui signifikasi statistik secara serentak, Uji R2
bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kekuatan variabel bebas menjelaskan
variabel terikat.
3.7.1 Uji Validitas Data
Uji validitas data dapat dilakukan terhadap pengujian validitas konstruksi,
validitas isi dan validitas eksternal. Validitas konstruksi adalah aspek-aspek yang
akan diukur berlandaskan teori tertentu. Hal ini dapat dikonsultasikan dengan para
ahlinya. Setelah pengujian dilakukan kepada ahli kemudian akan dilanjutkan kepada
anggota sampel sekitar 30 orang. Pengujian validitas konstruksi dilakukan dengan
mengkorelasikan antar score item instrument. Apabila korelasinya rendah dan tidak
signifikan maka instrumen dianggab tidak valid. Uji validitas ini dapat diukur dengan
teknik korelasi product moment.
Sedangkan pengujian validitas isi adalah membandingkan antara isi instrumen
ditetapkan, berarti instrumen ujian tersebut tidak valid. Pengujian ini dapat dilakukan
kepada para ahli. Sedangkan validitas eksternal adalah cara membandingkan antara
kriteria yang ada pada instrumen dengan fakta-fakta empiris yang terjadi di lapangan.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengujicobakan kepada sampel, kalau ditemukan
perbedaan yang terlalu mencolok maka instrumen harus disesuaikan.
3.7.2 Uji Reliabilitas Data
Pengujian reliabilitas digunakan untuk menguji hasil pengukuran angket dapat
dilakukan baik secara eksternal maupun internal. Secara ekternal dilakukan dengan
test-retest, equivalen dan gabungannya. Test-retest dilakukan dengan cara
mencobakan instrumen beberapa kali kepada responden, jadi dalam hal ini
instrumennya sama, respondennya sama dan waktunya yang berbeda. Reliabilitas
diukur dari koefisien korelasi antara percobaan pertama dan yang berikutnya. Bila
koefisien positif dan signifikan maka instrumen tersebut dinyatakan reliable.
Sedangkan dengan pendekatan equivalen adalah pernyataan yang secara bahasa
berbeda tetapi maksudnya sama. Pengujian reliabilitas instrumen untuk ini dapat
dilakukan dengan cara mengkorelasikan hasil data yang diperoleh dari responden
yang sama, waktunya sama, tetapi instrumennya berbeda. Pengujian validitas dan
3.8 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Ada beberapa permasalahan yang bisa terjadi dalam model regresi linier, yang
secara statistik permasalahan tersebut dapat mengganggu model yang telah dilakukan,
bahkan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang terbentuk.
Untuk itu maka perlu melakukan uji penyimpangan asumsi klasik, yang terdiri dari
(Insukindro, 2000).
3.8.1 Uji Normalitas
Pengujian Normalitas Data bertujuan untuk mengetahui apakah suatu variabel
normal atau tidak. Normal disini dalam arti mempunyai distribusi data yang normal.
Normal atau tidaknya berdasar patokan distribusi normal dari data dengan mean dan
standar deviasi yang sama. Jadi uji normalitas pada dasarnya yakni melakukan
perbandingan antara data yang kita miliki dengan data berdistribusi normal yang
memiliki mean dan standardeviasiyang sama dengan data yang kita pakai.
Data yang mempunyai distribusi yang normal merupakan salah satu syarat
dilakukannya parametric-test. Untuk data yang tidak mempunyai distribusi normal
tentu saja analisisnya harus menggunakan non parametric test. Selain itu data yang
mempunyai distribusi secara normal berarti mempunyai sebaran yang normal pula.
Dengan profil data semacam ini maka data tersebut dianggap bisa mewakili populasi.
Untuk mengetahui apakah data yang kita miliki normal atau tidak, secara
kasat mata kita bisa melihat histogram dari data yang dimaksud, apakah membentuk
Uji normalitas data yang digunakan di sini adalah uji Jarque Bera. Tahap uji
Jarque Bera dengan menggunakan Eviews secara ringkas adalah sebagai berikut :
a. Formulasi hipotesis
H0 : distribusi ut normal
HA : distribusi ut tidak normal
b. Menentukan tingkat signifikansi (a)
c. Menentukan kriteria pengujian
H0 ditolak jika prob. JB £ a, H0diterima jika prob. JB > a .
d. Kesimpulan
3.8.2 Uji Multikolinieritas
Interprestasi persamaan regresi linier secara implisit bergantung pada asumsi
bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi.
Jika dalam sebuah persamaan terdapat multikolinieritas akan menimbulkan beberapa
akibat, untuk itu perlu pendektesian multikolinieritas dengan besaran-besaran regresi
yang di dapat, yakni :
1. Variasi besar (dari taksiran OLS)
2. Interval kepercayaan lebar (karena variasi besar maka standar error besar
sehingga interval kepercayaan lebar).
3. Uji t (t-rasio) tidak signifikan, suatu variabel bebas yan signifikan baik secara
signifikan karena variasi besar akibat kolinieritas. Bila standar error terlalu besar
maka besar pula kemungkinan taksiran koefesien regresi (a1 – a4) tidak signifikan.
4. R2 tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari Uji t
5. Terkadang nilai taksiran koefesien yang didapat akan mempunyai nilai yang tidak
sesuai dengan substansi, sehingga dapat menyesatkan interprestasi.
3.8.3 Uji Heterokedastisitas
Salah satu asumsi pokok dalam model regresi linear klasik adalah
homokedastisitas atau varian yang sama. Salah satu metode yang dapat digunakan
ada tidaknya heterokedastisitas dalam satu varian error term suatu model regresi
adalah metode Park. Heterokedastisitas dalam penelitian ini dideteksi dengan
mengamati tampilan grafik (scatterplot). Tidak terdapatnya pola yang jelas dan
titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y menunjukkan tidak
terjadinya heterokedastisitas pada model regresi. Sedangkan adanya gejala
heterokedastisitas ditunjukkan dengan adanya pola scatterplot yang dapat terlihat
jelas. Jika model estimasi memiliki gejala heterokendastisitas maka kita dapat
membuat kesimpulan yang salah dari interpretasi, karena estimasi OLS yang ada
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian
4.1.1 Wilayah dan Iklim
Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah yang berada di Sumatera
Utara. Secara geografis Kabupaten Langkat berada pada 3o 14” – 4o 13” Lintang
Utara, 97o52” – 98o 45” Bujur Timur dan 4 – 105 m dari permukaan laut. Kabupaten
Langkat menempati area seluas 6.263,29 km2 yang terdiri dari 23 Kecamatan dan
226 Desa serta 34 Kelurahan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut ;
Sebelah Utara : Kabupaten Aceh Tamiang dan Selat Melaka
Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang
Sebelah Selatan : Kabupaten Karo
Sebelah Barat : Kabupaten Aceh Tenggara/Tanah Alas
Berdasarkan luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten langkat,luas daerah
terbesar adalah kecamatan Bohorok dengan luas 955,10 km2 atau 12,25 persen diikuti
Kecamatan Batang Serangan dengan luas 934,90 km2 atau 14,93%. Sedangkan luass
daerah terkecil adalah Kecamatan Binjai dengan luas 49,55 km2 atau 8,79 persen
dari total luas wilayah Kabupaten langkat ( BPS, Kabupaten Langkat Dalam Angka,
4.1.2 Kependudukan
Berdasarkan data BPS tahun 2007, penduduk Kabupaten Langkat berjumlah
1.027.414 jiwa terdiri dari laki-laki 513.651 jiwa dan perempuan 513.763 jiwa.
Kepadatan penduduk 164 jiwa/km2. Sedangkan pertumbuhan penduduk dari tahun ke
tahun sampai dengan tahun 2005 diperkirakan sebesar 2.46 persen dan rata-rata
hunian setiap rumah tangga ± 5 jiwa.
Tabel 4.1. Perkembangan dan kepadatan penduduk Kabupaten Langkat
selama 4 tahun ( 2004- 2007)
No Tahun Jumlah Penduduk Pertumbuhan Kepadatan Penduduk
(Jiwa ) (%) (jiwa/Km2)
1 2004 935.349 - 153
2 2005 970.433 1,58 155
3 2006 1.013.849 4,47 162
4 2007 1.027.414 1,34 164
Sumber : BPS Kabupaten Langkat, 2007
4.1.3 Ketenagakerjaan
Jumlah pencari kerja yang terdaftar di Kabupaten Langkat pada tahun 2007
sebanyak 2.772 orang, yang terdiri dari 1,220 tenaga kerja laki-laki dan 1.552 orang
perempuan. Pencari kerja yang terdaftar tersebut paling banyak mempunyai tingkat
pendidikan tamat SLTA umum/kejuruan lainnya yaitu 1.663 orang atau 59,99 persen,
orang atau 5,05 persen dan sisanya tamat DII/DIII 409 orang atau 14,75 persen dan
tamat SD 62 orang atau 2,24 persen.
4.2 Karakteristik Responden dalam wilayah penelitian
Karakteristik responden yang dibahas dalam penelitian ini menyangkut
karakter sosial ekonomi pengusaha kecil yang dijadikan sebagai sampel peneltian ini
yang berjumlah 150 orang. Adapun cakupan dari karakteristik yang dibahas meliputi ;
usia responden, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga dan kondisi tempat
tinggal.
4.2.1 Usia Responden
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa paling banyak ditemukan
responden yang berusia diantara 30 – 39 tahun sebanyak 60 orang ataun 40 persen,
dibawah 30 tahun sebanyak 32 orang atau 21 persen, usia 40– 40 tahun berjumlah
sebanyak 34 orang atau 23 persen dan kemudian diikuti oleh kelompok usia antara
50 – 60 tahun sebanyak 13 orang atau 9 persen serta yang berusia di atas 60 tahun
sebanyak 11 orang atau 7 persen. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas para
pengusaha kecil di daerah ini pada umumnya berada dalam usaha produkstif dalam
melakukankan kegiatan ekonomi. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.2 di
Tabel 4.2. Karakteristik Usia Responden di Wilayah Penelitian
No U s i a Frekuensi Persentase (%)
1 20 - 29 32 21
2 30 - 39 60 40
3 40 - 49 34 23
4 50 - 59 13 9
5 > 60 11 7
J u m l a h 100
Sumber : Hasil Penelitian Lapangan, 2008
4.2.2 Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari segi
pendidikan yag pernah diikuti oleh responden dari 150 sampel, dijumpai rata
pendidikan pengusaha kecil di daerah ini antara lain yang menamatkan sekolah dasar
(SD) sebanyak 37 orang atau 25 persen, tamat Sekolah Menengah Pertama (SLTP)
sebanyak 40 orang atau 27 persen, yang menamatkan SLTA dan sederajat sebanyak
48 orang atau 32 persen dan responden yang menamatkan DIII dan Sarjana sebanyak
Tabel 4.3. Karakteristik Pendidikan Responden Pada Wilayah Penelitian
Tingkat Pendidkan Frekuensi Persentase (%)
Tamat SD 37 25
Tamat SMP/Sederajat 40 27
Tamat SLTA/Sederajat 48 32
DIII /Sarjana 25 16
J u m l a h 100
Sumber : Penelitian Lapangan, 2008
4.2.3 Jumlah Anggota Keluarga
Dari segi jumlah tanggungan keluarga, pada umumnya pengusaha kecil di
daerah ini rata-rata memiliki tanggungan keluarga yang relatif bervariasi. Jumlah
anggota keluarga responden dapat dilihat pada Tabel 4.4 yang menunjukkan bahwa
junlah anggota keluarga yang dimiliki responden dimana jumlah anggota keluarga
sampai dengan 2 orang sebanyak 39 orang atau 26 persen, dan jumlah anggota
keluarga 3 orang sebanyak 48 orang atau 32 persen, dan sedangkan jumlah anggota
Tabel 4.4. Jumlah Anggota Keluarga Responden
Jumlah Anggota Rumah Tangga Frekuensi Persentase (%) ( orang )
1 -
2 39 26
3 48 32
4 57 38
≥ 5 6 4
J u m l a h 100
Sumber : Penelitian lapangan, 2008
4.2.4 Jenis rumah
Berdasarkan jenis rumah yang dimiliki oleh responden beraneka ragam mulai
dari rumah papan, semi permanen dan permanen. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa jenis rumah yang dimiliki oleh responden antara lain; rumah permanen
sebanyak 48 buah atau 32 persen, kemudian rumah semi permanen sebanyak. 65
buah atau 43 persen merupakan jenis rumah yang paling banyak dimiliki oleh
responden. Sedangkan rumah papan sebanyak. 37 buah atau 25 persen. Gambaran
mengenai jenis rumah yang dihuni oleh responden dapat dilihat pada tabel 4.5 di
Tabel 4.5. Jenis Rumah Yang Dihuni oleh Responden
Jenis Rumah Frekuensi Persentase (%)
Papan 37 25
Semi Permanen 65 43
Permanen 48 32
J u m l a h 100
Sumber : Penelitian lapangan, 2008.
4.2.5 Lantai Rumah
Kondisi lantai rumah yang dimiliki oleh responden antara lain sebagian
besar tempat tinggal memiliki lantai semen sebanyak 89 buah atau 59 persen dan
lantai traso/keramik sebanyak 49 orang atau 33 persen, sedangkan yang memiliki
lantai papan sebanyak 12 rumah atau 33 persen. Untuk jelasnya dapat dilihat pada
tabel 4.6 di bawah ini.
Tabel 4.6. Kondisi Lantai Rumah Tempat Tinggal
Jenis Lantai Frekuensi Persentase (%)
Papan 12 8
Semen 89 59
Keramik /traso 49 33
J u m l a h 100
4.2.6 Dinding Rumah
Dari hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa jenis dinding rumah
yang dimiliki oleh responden sebagian besar adalah dinding batu sebanyak 113
buah atau 25 persen, sedangkan dinding yang terbuat dari papan sebanyak 37 buah
atau 25 persen. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7. Kondisi Dinding Rumah Responden
Jenis Dinding Frekuensi Persentase (%)
Papan 37 25
Batu 113 75
J u m l a h 100
Sumber: Penelitian Lapangan, 2008
4.2.7 Atap Rumah
Tabel 4.8. Kondisi Atap Rumah Responden
Jenis Atap Frekuensi Persentase (%)
Atap Rumbia 5 3
Seng 117 78
Genteng 28 19
J u m l a h 100
4.2.8 Alat Penerangan
Jenis alat penerangan yang digunakan paling banyak oleh responden adalah
listrik/PLN sebanyak 115 orang atau 77 persen. Kemudian diikuti oleh penggunaan
lampu petromak sebanyak 24 orang atau 16 persen dan menggunakan generator
sebanyak 11 orang atau 7 persen.
Tabel 4.9. Kondisi Alat Penerangan
Alat Penerangan Frekuensi Persentase (%)
Petromak 24 16
Mesin Listrik/Generator 11 7
PLN 115 77
J u m l a h 100
Sumber: Penelitian Lapangan,Diolah 2008
4.2.9 Sumber Air Minum/mandi/MCK
Sumber air minum yang digunakan oleh responden terdiri dari air sumur,
air ledeng dan sumur pompa. Responden yang menggunakan air sumur sebanyak 11
orang atau 7 persen, air ledeng merupakan sumber air minum yang paling banyak
digunakan yakni sebanyak 126 orang atau 84 persen. Sedangkan yang menggunakan
sumur pompa sebanyak 13 orang atau 9 persen. Untuk jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 4.10. Sumber Air Minum/MCK
Sumber Air Minum Frekuensi Persentase (%)
Air Sumur 11 7
Air Ledeng 126 84
Sumur Pompa 13 9
J u m l a h 100
Sumber : Penelitian Lapangan, 200
4.2.10 Status Kepemilikan Rumah
Mengenai status kepemilikan rumah yang dimiliki oleh responden
diketahui bahwa sebanyak 92 orang atau 61 persen dari responden memiliki status
rumah milik sendiri, dan sebanyak 31 orang responden atau 21 persen masih
menempati rumah milik keluarga. Sedangkan yang menyewa sebayak 27 orang atau
18 persen.
Tabel 4.11. Status Kepemilikan Rumah Responden
Status Kepemilikan Frekuensi Persentase (%)
Sewa 27 18
Milik Sendiri 92 61
Milik Keluarga 31 21
J u m l a h 100
4.3 Hasil Estimasi Model Penelitian
Estimasi untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (independent variable)
terhadap variabel terikat (dependent variable) dilakukan dengan menggunakan
menggunakan logaritma terhadap model regresi berganda . Hasil estimasi sebagai
mana disajikan di bawah ini. D
Log Y = 24.908 + 1.900 Log MK + 0.96 4 Log TK + 0.437 Log LB + 0.651 Log TP
Std Error (0.935) (0.523) (0.652) ( 0.672)
t-statistic (2.031) ** (1.844)* ( 1.662)* (1.673)*
R2 = 0.676 F-Statistic = 13.87430
R2 = 0.657 Prob-Stat = 0.00000
Keterangan :
**) signifikan pada = 5 persen
*) signifikan pada = 10 persen
Sumber : Lampiran : 3
Berdasarkan hasil estimasi di atas dapat menujukan bahwa R2 = 0.676
yang bermakna bahwa variabel independen modal kerja, tenaga kerja, lama bekerja
dan tingkat pendidikan mampu menjelaskan variasi pendapatan pengusaha kecil
sebesar 67.6 % dan sisanya sebesar 32.4 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
dimasukkan dalam modal estimasi.
Dari hasil uji simulatan (serempak) yang dilakukan melihat signifikansi secara
variable). Dari estimasi tersebut diperoleh nilai F-Statistik sebesar 13.874 yang
berarti secara bersama-sama (modal kerja, tenaga kerja , lama bekerja dan tingkat
pendidikan) dapat mempengaruhi tingkat pendapatan pengusaha kecil di daerah ini
dengan selang keyakinan 95%.
Pengujian dilakukan dengan membandingkan nilai F-tabel dengan F-hitung.
Untuk degree of Freedom pada pengujian F adalah v1 = (k-1) = 5-1= 4 ) dan v2 =
(n-k)= ( 150- 4 = 146) , dijumpai F-tabel ; pada = 0.05 sebesar 4,02.
Sebagaimana yang telah dirumuskan pada bab sebelumnya, bahwa pengujian
secara partial dilakukan dengan membandingkan nilai t- hitung dengan nilai t-tabel.
Selain itu juga dilihat berdasarkan nilai signifikansi (sig) pada hasil estimasi.
Berdasarkan uji partial (Uji t-statistik) dapat diketahui variabel-variabel yang
berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan pengusaha kecil di daerah ini.
Pada jumlah sampel (n)=150, variabel bebas (k)=5. Koutsoyiannis,(1981)
menjelaskan bahwa besarnya k adalah variabel bebas termasuk konstanta. Dengan
demikian k = 5 dijumpai Degree of Freedom (DF) = 150-5 = 145. Pada DF = 145
dijumpai t-tabel pada pengujian dua ekor; = 0.005 sebesar 2,576 dan pada = 0.05
sebesar 1,1960.
Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai t-hitung variabel modal kerja
sebesar 2.031 lebih besar dibandingkan 1.917 yang bermakna bahwa variabel modal
kerja berpengaruh signifikan ( pada ; = 0.05 ) terhadap pendapatan pengusaha kecil
atau memiliki elastisitas lebih besar >1. Hal ini disebabkan bahwa mayoritas