• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Majakani (Quercus Infectoria G. Olivier) Terhadap Tikus Putih Yang Diinduksi Karagenan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Majakani (Quercus Infectoria G. Olivier) Terhadap Tikus Putih Yang Diinduksi Karagenan"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI

EKSTRAK ETANOL MAJAKANI

(

Quercus infectoria

G. Olivier)

TERHADAP

TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI KARAGENAN

SKRIPSI

OLEH:

KHAIRUNNISA RAMBE

NIM 091501008

PROGRAM SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI

EKSTRAK ETANOL MAJAKANI

(

Quercus infectoria

G. Olivier)

TERHADAP

TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI KARAGENAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

KHAIRUNNISA RAMBE

NIM 091501008

PROGRAM SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI

EKSTRAK ETANOL MAJAKANI (Quercus infectoria G. Olivier) TERHADAP TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI KARAGENAN

OLEH:

KHAIRUNNISA RAMBE NIM 091501008

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 31 Agustus 2013

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195504241983031003 NIP 194908111976031001

Pembimbing II, Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. NIP 195504241983031003

Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. NIP 195709091985112001 NIP 195107231982032001

Drs. Rasmadin Mukhtar, M.S., Apt. NIP 194909101980031002

Medan, Oktober 2013 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, yang senantiasa

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis berhasil

menyelesaikan penelitian skripsi ini dengan judul “Uji Aktivitas

Antiinflammasi Ekstrak Etanol Majakani (Quercus infectoria G. Olivier)

Terhadap Tikus Putih yang Diinduksi Karagenan”. Skripsi ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi pada Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan

ikhlas kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan

Fakultas Farmasi USU Medan yang telah memberikan fasilitas sehingga

penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga,

M.S., Apt., dan Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., selaku pembimbing

yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan nasehat selama penelitian

hingga selesainya penyusunan skripsi ini serta kepada Ibu Prof. Dr. Siti Morin

Sinaga, M.Sc, Apt., selaku penasehat akademik yang telah memberikan

bimbingan kepada penulis. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., Ibu Dra.

Suwarti Aris, M.Si., Apt., dan Bapak Drs. Rasmadin Mukhtar, M.S., Apt.,

selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas

(5)

Laboratorium Farmakologi yang telah memberikan bantuan dan fasilitas

selama penulis melakukan penelitian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada

terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, Bakhtiar Rambe dan

Elyawati, yang tiada hentinya berkorban dengan tulus ikhlas bagi kesuksesan

penulis, juga kepada abang Ilmansyah Rambe, S.Kom dan adik Nurhayati

Rambe yang selalu setia memberi doa, dukungan dan motivasi selama

melakukan penelitian.

Penulis menyadari skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu

diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaannya.

Harapan saya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan

kefarmasian.

Medan, Oktober 2013 Penulis

(6)

UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL MAJAKANI

(Quercus infectoria G. Olivier) TERHADAP TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI KARAGENAN

ABSTRAK

Obat-obat antiinflamasi non-steroid(OAINS) termasuk obat analgesik, antipiretik dan antiinflamasi yang mempunyai efek samping terhadap gastrointestinal, sehingga perlu dicari obat alami yang lebih aman. Majakani (Quercus infectoria G. Olivier) telah lama digunakan untuk pengobatan inflamasi secara tradisional yang diharapkan mempunyai efek yang sama dengan OAINS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek antiinflamasi ekstrak etanol majakani terhadap udem kaki tikus yang diinduksi karagenan 1%.

Ekstrak etanol majakani (EEM) dilakukan uji efek antiinflamasi menggunakan metode paw edema terhadap tikus jantan galur wistar sebanyak 30 ekor yang dibagi 5 kelompok. Kelompok kontrol (K) diberi Na CMC 0,5%, kelompok perlakuan (P) diberi EEM berturut-turut, dosis 200, 300, 400 mg/kg bb dan sebagai pembanding diberi Na-diklofenak dosis 2,25 mg/kg bb. Setelah 30 menit diinjeksikan 0,1 ml karagenan 1% secara subplantar pada telapak kaki tikus. Volume kaki tikus diukur secara berkala dengan pletismometer. Data yang diperoeh dianalisis secara statistik menggunakan ANAVA satu arah dan dilanjutkan dengan uji Duncan.

EEM memberikan efek antiinflamasi pada dosis 300 dan 400 mg/kg bb dengan nilai AUC secara berturut-turut 14025,74 dan 11040,34. Hasil uji

Duncan antara EEM dosis 300, 400 mg/kg bb dengan pembanding (AUC sebesar 13732,13) tidak berbeda nyata (p > 0,05), namun berbeda nyata dengan kontrol (AUC sebesar 22288,50) (p ≤ 0,05). EEM dosis 200 mg/kg bb (AUC sebesar 18537,98) dibandingkan dengan pembanding, EEM dosis 300 dan 400 mg/kg bb berbeda nyata (p ≤ 0,05), namun tidak berbeda nyata dengan kontrol (p > 0,05). Hasil yang dapat disimpulkan adalah EEM dosis 300 mg/kg bb mempunyai efek yang sama dengan Na-diklofenak.

(7)

TEST ETHANOL EXTRACT OF MAJAKANI (Quercus infectoria G. Olivier) AS ANTI-INFLAMMATORY ON WHITE RAT WHICH INDUCED WITH CARRAGEENAN

ABSTRACT

Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) including analgesic, antipyretic and anti-inflammatory that have adverse effects in gastrointestinal. It is necessary to find a natural medication that safer. Majakani (Quercus infectoria G. Olivier) had been long using for treatment of traditional inflammatory that expected to have same effect with NSAIDs. The purpose of this study is to determine the anti-inflammatory effects of majakani ethanol extract which induced to rat foot and become edema that caused by carrageenan 1%.

Ethanol extract of majakani (EEM) to test the anti-inflammatory effects using paw edema’s method on 30 male tail of rat in wistar ways which is devided into 5 groups. Control group (K) using 0.5% CMC Na, treatment group (P) using EEM respectively doses of 200, 300, 400 mg/kg bw, and as comparator using Na-diclofenac dose 2.25 mg/kg bw. After 30 minutes injected 0.1 ml of carrageenan subplantar in surface of the hind paw. The volume rat feet is measured regularly with pletismometer. The data has obtained statistically analyzed using one-way ANOVA, followed by Duncan test.

EEM provides anti-inflammatory effect on doses of 300 and 400 mg/kg bw with AUC values respectively 14025.70 and 11040.34. The results of Duncan test between EEM doses of 300 and 400 mg/kg bw with comparator (AUC amounted 13732.13) were not significantly different (p > 0.05), but they were significantly different with control (AUC amounted 22288.50) (p ≤ 0.05). EEM dose of 200 mg/kg bw (AUC amounted 18537.98) compared to comparator, EEM doses of 300 and 400 mg/kg bw was significantly different (p ≤ 0.05), but it was not significantly different with control (p > 0.05). The conclusion of the results is EEM dose of 300 mg/kg bw has the same effect with Na-diclofenac.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRAC ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian Tumbuhan ... 6

(9)

2.1.2 Jenis-jenis gal ... 8

2.1.3 Karakteristik makroskopik gal majakani ... 10

2.1.4 Karakteristik mikroskopik gal majakani ... 10

2.1.5 Kandungan kimia gal majakani ... 10

2.1.6 Uji kualitatif gal majakani ... 11

2.1.7 Kegunaan gal majakani ... 11

2.2 Simplisia ... 12

2.2.1 Tahap pembuatan simplisia ... 12

2.3 Ektrak dan Ekstraksi ... 16

2.3.1 Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut ... 16

2.3.2 Pengeringan ekstrak dengan metode freeze drying 18

2.4 Inflamasi ... 19

2.4.1 Definisi inflamasi ... 19

2.4.2 Mediator inflamasi ... 19

2.4.3 Sistem pertahanan tubuh pada inflamasi ... 22

2.4.4 Mekanisme terjadinya inflamasi ... 23

2.4.5 Macam-macam inflamasi ... 24

2.4.6 Golongan obat antiinflamasi ... 26

2.4.7 Natrium diklofenak ... 28

2.4.8 Beberapa metode uji antiinflamasi ... 30

2.4.9 Karagenan ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

(10)

3.2 Bahan ... 34

3.3 Pengolahan Sampel dan Pembuatan Ekstrak ... 34

3.3.1 Pengambilan sampel ... 35

3.3.2 Pembuatan ekstrak ... 35

3.4 Uji Efektivitas Antiinflamasi ... 35

3.4.1 Penyiapan hewan percobaan ... 35

3.4.2 Penyiapan bahan ... 36

3.4.2.1 Pembuatan larutan Na CMC 0.5% ... 36

3.4.2.2 Pembuatan suspensi EEM 5% ... 36

3.4.2.3 Pembuatan suspensi natrium diklofenak 0,25% 36 3.4.2.4 Pembuatan karagenan 1% ... 36

3.4.3 Pengujian efek antiinflamasi ... 36

3.5 Analisis Data ... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 Hasil Pengujian EEM Sebagai Antiinflamasi ... 39

4.1.1 Persentase radang ... 39

4.1.2 Persentase inhibisi radang ... 42

4.1.3. Area under the curve (AUC) ... 44

4.2 Analisis Data Secara Statistik ... 45

4.2.1 Analisis variansi satu arah persen radang ... 45

(11)

4.2.3 Uji rata-rata Duncan AUC persentase radang ... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

5.1 Kesimpulan ... 52

5.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan ekstrak

etanol majakani ... 40

Tabel 4.2 Persentase inhibisi radang tiap waktu pengamatan ekstrak

etanol majakani ... 43

Tabel 4.3 Hasil uji beda rata-rata Duncan antar kelompok pada menit

ke-225 ... 46

Tabel 4.4 Hasil uji beda rata-rata Duncan antar kelompok pada menit

ke-240 ... 47

Tabel 4.5 Hasil analisis variansi satu arah AUC persentase radang .... 48

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian ... 5

Gambar 2.1 Struktur kimia komponen gal majakani ... 11

Gambar 2.2 Patogenesis dan gejala peradangan ... 24

Gambar 2.3 Mekanisme system imun nonspesifik dan spesifik pada

inflamasi akut dan kronis ... 26

Gambar 2.4 Bagan penghambatan obat anti radang terhadap

pembentukan mediator radang ... 27

Gambar 2.5 Selektif penghambat COX2 dan beberapa OAINS

berdasarkan logaritmaperbandingan inhibitory concentration (IC80). Garis 0 menunjukkan potensi

yang sama dimana hasil perbandingan IC80 antara

COX-2 dan COX-1 adalah 1) (Kerr dan Gailer, 2010) ... 29

Gambar 4.1 Grafik rata-rata persen radang tiap waktu pengamatan ... 39

Gambar 4.2 Grafik inhibisi persen radang tiap waktu pengamatan ... 42

Gambar 4.3 Grafik hasil analisis data AUC persentase radang setiap

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil identifikasi sampel ... 59

Lampiran 2. Bagan kerja uji antiinflamasi ... 60

Lampiran 3. Contoh perhitungan dosis natrium diklofenak yang akan diberikan pada tikus secara per oral (p.o.) ... 61

Lampiran 4. Perhitungan dosis pemberian ekstrak etanol majakani (EEM) yang akan diberikan terhadap tikus secara peroral (p.o.) ... 62

Lampiran 5. Tabel volume maksimum larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada hewan uji ... 63

Lampiran 6. Tabel konversi dosis hewan dengan manusia ... 64

Lampiran 7. Contoh perhitungan persen radang, persen inhibisi radang dan AUC persentase radang ... 65

Lampiran 8. Data hasil pengukuran penambahan volume kaki tikus, persentase radang dan persentase inhibisi radang pada t (menit) setelah pemberian bahan uji dalam bentuk suspense dan penyuntikan karagenan ... 66

Lampiran 9. Data AUC persentase radang ... 77

Lampiran 10. Uji normalitas nilai persen radang dengan uji Kolmogorov-Smirnov ... 82

Lampiran 11. Hasil analisis deskriptif persen dengan SPSS ... 84

Lampiran 12. Hasil ANAVA secara SPSS persen radang ... 89

(15)

Lampiran 15. Gambar alat yang digunakan ... 94

(16)

UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL MAJAKANI

(Quercus infectoria G. Olivier) TERHADAP TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI KARAGENAN

ABSTRAK

Obat-obat antiinflamasi non-steroid(OAINS) termasuk obat analgesik, antipiretik dan antiinflamasi yang mempunyai efek samping terhadap gastrointestinal, sehingga perlu dicari obat alami yang lebih aman. Majakani (Quercus infectoria G. Olivier) telah lama digunakan untuk pengobatan inflamasi secara tradisional yang diharapkan mempunyai efek yang sama dengan OAINS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek antiinflamasi ekstrak etanol majakani terhadap udem kaki tikus yang diinduksi karagenan 1%.

Ekstrak etanol majakani (EEM) dilakukan uji efek antiinflamasi menggunakan metode paw edema terhadap tikus jantan galur wistar sebanyak 30 ekor yang dibagi 5 kelompok. Kelompok kontrol (K) diberi Na CMC 0,5%, kelompok perlakuan (P) diberi EEM berturut-turut, dosis 200, 300, 400 mg/kg bb dan sebagai pembanding diberi Na-diklofenak dosis 2,25 mg/kg bb. Setelah 30 menit diinjeksikan 0,1 ml karagenan 1% secara subplantar pada telapak kaki tikus. Volume kaki tikus diukur secara berkala dengan pletismometer. Data yang diperoeh dianalisis secara statistik menggunakan ANAVA satu arah dan dilanjutkan dengan uji Duncan.

EEM memberikan efek antiinflamasi pada dosis 300 dan 400 mg/kg bb dengan nilai AUC secara berturut-turut 14025,74 dan 11040,34. Hasil uji

Duncan antara EEM dosis 300, 400 mg/kg bb dengan pembanding (AUC sebesar 13732,13) tidak berbeda nyata (p > 0,05), namun berbeda nyata dengan kontrol (AUC sebesar 22288,50) (p ≤ 0,05). EEM dosis 200 mg/kg bb (AUC sebesar 18537,98) dibandingkan dengan pembanding, EEM dosis 300 dan 400 mg/kg bb berbeda nyata (p ≤ 0,05), namun tidak berbeda nyata dengan kontrol (p > 0,05). Hasil yang dapat disimpulkan adalah EEM dosis 300 mg/kg bb mempunyai efek yang sama dengan Na-diklofenak.

(17)

TEST ETHANOL EXTRACT OF MAJAKANI (Quercus infectoria G. Olivier) AS ANTI-INFLAMMATORY ON WHITE RAT WHICH INDUCED WITH CARRAGEENAN

ABSTRACT

Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) including analgesic, antipyretic and anti-inflammatory that have adverse effects in gastrointestinal. It is necessary to find a natural medication that safer. Majakani (Quercus infectoria G. Olivier) had been long using for treatment of traditional inflammatory that expected to have same effect with NSAIDs. The purpose of this study is to determine the anti-inflammatory effects of majakani ethanol extract which induced to rat foot and become edema that caused by carrageenan 1%.

Ethanol extract of majakani (EEM) to test the anti-inflammatory effects using paw edema’s method on 30 male tail of rat in wistar ways which is devided into 5 groups. Control group (K) using 0.5% CMC Na, treatment group (P) using EEM respectively doses of 200, 300, 400 mg/kg bw, and as comparator using Na-diclofenac dose 2.25 mg/kg bw. After 30 minutes injected 0.1 ml of carrageenan subplantar in surface of the hind paw. The volume rat feet is measured regularly with pletismometer. The data has obtained statistically analyzed using one-way ANOVA, followed by Duncan test.

EEM provides anti-inflammatory effect on doses of 300 and 400 mg/kg bw with AUC values respectively 14025.70 and 11040.34. The results of Duncan test between EEM doses of 300 and 400 mg/kg bw with comparator (AUC amounted 13732.13) were not significantly different (p > 0.05), but they were significantly different with control (AUC amounted 22288.50) (p ≤ 0.05). EEM dose of 200 mg/kg bw (AUC amounted 18537.98) compared to comparator, EEM doses of 300 and 400 mg/kg bw was significantly different (p ≤ 0.05), but it was not significantly different with control (p > 0.05). The conclusion of the results is EEM dose of 300 mg/kg bw has the same effect with Na-diclofenac.

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka

jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau

zat-zat mikrobiologik. Hal ini menyebabkan tubuh untuk menginaktivasi atau

merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan dan mengatur

derajat perbaikan jaringan. Inflamasi dicetuskan oleh p

Pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel

(Mycek, dkk., 2001; Corwin, 2008; Soenarto, 2010). Pada bentuk akut

inflamasi ditandai oleh adanya nyeri (dolor), panas (kalor), kemerahan (rubor),

bengkak (tumor) dan hilangnya fungsi (fungsiolesa) (Corwin, 2008; Soenarto,

2010)

Obat sintetis yang banyak digunakan untuk mengatasi inflamasi antara

lain kelompok obat-obat antiinflamasi non-steroid (OAINS). Diperkirakan

1,5% populasi dunia menggunakan OAINS yang dapat menimbulkan reaksi

obat tidak diinginkan contohnya penderita yang mengalami perporasi (71%)

dan pendarahan (50%) pada gastrointestinal (Tellez, et al., 2001). Penggunaan

OAINS pada anak yang kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi juga

dilaporkan dapat menyebabkan gagal ginjal akut (Cheri, et al., 2008).

Efek samping OAINS lain yang dilaporkan, seperti turunan asam

(19)

turunan asam propionate (ibuprofen) menyebabkan nyeri kepala dan pusing.

Turunan asam indolasetat (indometasin) menyebabkan mual, muntah,

anoreksia, diare, dan nyeri abdomen. Turunan oksikam (piroksikam)

menyebabkan gangguan saluran cerna. Turunan fenamat (asam mefenamat)

menyebabkan diare, peradangan abdomen serta anemia hemolitik (Mycek,

dkk., 2001). Obat-obat AINS tersebut ternyata banyak menimbulkan reaksi

yang merugikan dan sering terjadi gangguan pada saluran cerna (Wilmana dan

Gan, 2007).

Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian untuk mencari

terapi alternatif yang lebih aman, terutama dari bahan alam yang berkhasiat

obat. Salah satu bahan alam yang telah dikenal sejak jaman kuno dan

berkhasiat obat adalah majakani (Quercus infectoria G. Olivier) yang

digunakan dalam perawatan pasca persalinan (Soon, et al., 2007; Satirapathkul,

et al., 2011). Orang Arab, Persia, India, Malaysia serta Cina menggunakannya

secara tradisional setelah melahirkan untuk mengobati keputihan yang terkait

dengan infeksi pada pasca persalinan (Soon, et al., 2007).

Di negara-negara Asia, rebusan majakani telah digunakan sebagai obat

kumur yang efektif untuk melawan inflamasi tonsil, juga efektif

menyembuhkan pembengkakan atau inflamasi pada kulit serta salep serbuk

simplisia majakani dapat menyembuhkan pendarahan yang disebabkan oleh

inflamasi pada kulit (Aroonrerk, et al., 2009; Pithayanukul, et al., 2009).

Majakani (Quercus infectoria G. Olivier) juga mempunyai aktifitas

(20)

terhadap respon imun mencit (Sinaga, 2012) dan antidiare dengan metode

transit intestinal (Sihombing, dkk., 2012). Ekstrak metanol kulit kayu Quercus

infectoria G. Olivier dapat menghambat inflamasi akut yang diinduksi

karagenan dan inflamasi kronik yang diinduksi formalin pada hewan

percobaan (Khauzami, et al., 2008). Majakani merupakan obat tradisional

sebagai astringen alami yang terdiri atas komponen-komponen antiseptik dan

antioksidan (Pratt, et al., 1956; Pin, et al., 2006; Soon, et al., 2007; Hapidin, et

al., 2012).

Komponen utama majakani adalah tanin (50-70%) terutama asam

galotanin yang merupakan asam tanin, asam galat (2-4%), asam elagat, asam

siringat, kalsium oksalat, resin dan pati (Rangari, 2007; Claus, 1962). Hasil

skrining fitokimia ekstrak etanol majakani (EEM) dijumpai adanya tanin,

alkaloid, flavonoid, dan glikosida (Sihombing, dkk., 2012).

Majakani putih adalah salah satu jenis majakani yang banyak dijual di

pasaran dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan majakani

jenis lainnya. Gal ini mempunyai lubang yang menandakan serangga telah

keluar. Melalui lubang ini, oksigen dan kelembaban udara mempunyai akses

langsung dengan jaringan gal sebelah dalam dan ini menyebabkan hidrolisis

tanin. Karenanya, terjadi peningkatan jumlah asam galat dan terbentuknya

senyawa phlobotanin yang tidak larut (Claus, 1962; Trease, et al., 1983).

Soon, et al., (2007), menyebutkan bahwa majakani aman untuk

digunakan sehingga peneliti tertarik untuk menguji efek antiinflamasi dari

(21)

diperoleh dianalisis dengan ANAVA satu arah dan dilanjutkan dengan uji

Duncan untuk melihat perbedaan nyata antar perlakuan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah pada penelitian

ini adalah:

a. Apakah EEM mempunyai efek antiinflamasi terhadap udem kaki tikus

yang diinduksi karagenan 1%?

b. Apakah EEM mempunyai efek antiinflamasi yang sebanding dengan

natrium diklofenak terhadap udem kaki tikus yang diinduksi karagenan

1%?

c. Berapakah dosis terapi optimum EEM sebagai antiinflamasi?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian

ini adalah:

a. EEM diduga mempunyai efek terhadap udem kaki tikus yang diinduksi

karagenan 1%.

b. EEM diduga mempunyai efek antiinflamasi yang sebanding dengan

natrium diklofenak.

c. Diperoleh dosis terapi optimum EEM sebagai antiinflamasi.

1.4 Tujuan Penelitian

(22)

b. Mengetahui perbandingan efek antiinflamasi EEM dengan natrium

diklofenak.

c. Mengetahui dosis terapi optimum EEM sebagai antiinflamasi.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

efek antiinflamasi dari EEM terhadap udem kaki tikus putih yang diinduksi

karagenan 1%. Sehingga menambah khasanah obat antiinflamasi alami yang

diperoleh dari bahan tumbuhan.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap tikus putih jantan Galur Wistar

menggunakan metode paw edema. Dalam penelitian ini yang disebut variabel

bebas (X) yaitu pengaruh pemberian EEM dosis 200, 300, 400 mg/kg bb,

pembanding (Na diklofenak dosis 2,25 mg/kg bb) dan kontrol (Na CMC 0,5%)

sedangkan variabel terikat (Y) adalah udem seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 1.1.

Parameter Y1

Udem (ml) Tikus sehat

Karagenan

Udem

Y2

Y3

Y4

Y5 ↓Udem

↓Udem

↓Udem

↓Udem

X1

X5

X4

X3

X2

EEM400 Kontrol

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Uraian Tumbuhan

Tumbuhan majakani pada dasarnya berasal dari daerah Allepo di

Asiatic Turkey, juga ditemukan di Syria, Iran, Cyprus, dan Yunani (Claus,

1962; Rangari, 2007).

Gal majakani bukan merupakan jenis buah-buahan atau bagian

tumbuhan lainnya tetapi merupakan pertumbuhan abnormal (pembesaran

menjadi bongkol) dari ranting tumbuhan Quercus infectoria G. Olivier atau

disebut majakani.

Sinonim : Nutgall,Aleppo gall, Smyrna gall, Turkey

gall, Oak warts, Mad-Apple, Dead Sea-Apple,

Apple of Sodom, Dyers’ Oak.

Tumbuhan asli : Quercus infectoria G.Olivier

Famili : Fagaceae

Bagian yang digunakan : gal yang diperoleh dari ranting muda (Rangari,

2007) dan disebut juga “cecidia” atau “galla”

(Tjitrosoepomo, 1994).

Majakani dalam taksonomi tumbuhan dliklasifikasikan sebagai:

Devisi

Sub devisi

(24)

Suku : Fagaceae

Marga : Quercus

Jenis : Quercus infectoria G.Olivier (EOL, 2013)

2.1.1 Proses pembentukkan gal

Gal merupakan perkembangan patologi yang dibentuk pada ranting

pohon. Gal timbul sebagai reaksi akibat tusukan serangga kecil pada kulit

rantingnya (Claus, 1962). Serangga tersebut adalah Cynips gallaetinctoria

Hartig atau Adleria galaetinctoriae Olivier, famili Cynipidae (Rangari, 2007).

Serangga lain yaitu Aphis (kutu tanaman), dan beberapa oleh jamur.

Tahap pembentukkan gal (Pratt dan Herber, 1956):

a. Pada awal musim semi, serangga meletakkan telur-telurnya pada

ranting

b. Larva menetas dari telur dan mensekresikan enzim yang menghidrolisis

pati di daerah ranting tersebut sehingga dihasilkan gula dan

peninggkatan potensial energi.

c. Hal ini memicu pertumbuhan larva dan pembelahan sel di daerah

ranting

d. Pada tahap pupa, terbentuk komponen polifenol dari tanin berupa asam

tanat pada jaringan gal sebelah luar dan asam galat pada jaringan gal

disebelah dalam.

e. Kemudian rongga tengah terbentuk dimana pupa tumbuh dan menjadi

serangga dewasa

(25)

2.1.2 Jenis-jenis gal

Gal merupakan pertumbuhan abnormal pada tanaman akibat

pertumbuhan telur serangga yang diletakkan oleh induknya pada pada bagian

tanaman tertentu. Gal terdapat di beberapa negara, perbedaan gal dari

negara-negara ini terletak pada jenis serangga yang menginduksi ataupun berbeda

pada jenis tanamannya. Berdasarkan hal ini gal dapat dibedakan menjadi:

a. Gal Cina dan Jepang

Gal ini dihasilkan oleh induksi kutu (Schlechtendalia chinensis), pada

tangkai daun Rhus chinensis family Anacardiaceae. Banyak terdapat

dipasaran mengandung 55-77% tanin dan digunakan sebagai astringen

juga obat anti pendarahan (Claus, 1962; Trease, et al., 1983).

b. Gal Aleppo atau gal Turki

Gal ini diinduksi oleh serangga Adleria gallaetinctoriae Olivier (=

Cynips gallaetinctoriae Hartig) pada ranting muda Quercus infectoria

G. Olivier (majakani)

c. Gal mahkota Aleppo

Gal ini berasal dari Aleppo Syiria utara, berukuran seperti kacang dan

memiliki mahkota tertegak mengarah ke pucuk. Serangga yang

menginduki adalah Cynips polycera (Trease, et al., 1983).

d. Gal Amerika

Dibentuk oleh Quercus coccinea dan Quercus imbricaria oleh Cynips

aciculate berdiameter 1,5-3 cm, berbintik-bintik dan berwarna

(26)

kecoklatan dan banyak kerutan. Gal Texas dibentuk pada oak Quercus

virens dan menghasilkan 40% asam tanat. Gal California dibentuk pada

Quercus lobata dan banyak mengadung asam tanat (Claus, 1962).

e. Gal Hungaria

Gal ini diinduksi oleh serangga Cynips lignicola pada Quercus robur

yang tumbuh di Yugoslavia dan digunakan untuk penyamakan (Trease,

et al., 1983).

f. Gal oak Inggris

Gal ini diinduksi oleh Adleria kollari pada Quercus robur, berisi

15-20% tanin (Trease, et al., 1983).

Menurut kandungan tanin gal dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Gal biru

Gal ini sebenarnya berwarna abu-abu atau abu-abu kehitaman (Trease,

et al., 1983) sehingga juga disebut gal hitam, mempunyai kandungan

tanin yang tinggi dan masih terdapat serangga didalamnya. Kandungan

tanin pada gal ini tergantung pada pertumbuhan serangga. Jika telur

gagal menetas, tidak ada tanin yang dihasilkan dan gal tidak terbentuk.

Jika larva mati maka produksi tanin terhenti juga. Serangga mengalami

masa pertumbuhan didalam gal selama 5-6 bulan (Walis, 1955).

b. Gal putih

Gal ini mempunyai lubang yang menandakan serangga telah keluar.

Melalui lubang ini, oksigen dan kelembaban udara mempunyai akses

(27)

oksidasi tanin sehingga kandungan tanin pada gal ini lebih sedikit dari

gal biru (Claus, 1962; Trease, et al., 1983).

2.1.3Karakteristik makroskopik gal majakani

Bentuk gal bulat dan berdiameter 10-25 mm, memiliki tangkai yang

pendek, batang bebentuk basal, dan mempunyai banyak tonjolan pada

permukaanya. Gal ini berat dan biasanya tenggelam dalam air. Beberapa

memiliki lubang yang melingkar untuk serangga keluar (Trease, et al., 1983).

2.1.4Karakteristik mikroskopik gal majakani

Penampang melintang gal menunjukkan parenkim berdinding tipis di

sebelah luar lebih banyak dibandingkan sebelah dalam. Setelah parenkim,

kemudian diikuti oleh sebuah cincin sklerenkim yang terdiri atas satu atau dua

lapis sel. Bagian dalam terdiri atas jaringan parenkim berdinding tebal yang

mengelilingi rongga tengah. Jaringan parenkim berisi banyak pati, gumpalan

tanin, kristal dalam bentuk rose atau prisma dari kalsium oksalat (Trease, et al.,

1983)

2.1.5Kandungan kimia gal majakani

Gal terdiri atas 50 – 70% tanin terutama asam galotanin yang merupakan

tanin. Selain itu juga terdapat 2 – 4% asam galat, asam elagit, sitosterol, metil

belulat dan metil oleanolat yang merupakan ester dari betulit dan asam

oleanolit. Baru-baru ini beberapa komponen seperti asam niktantik, asam

roburit, asam siringat dan pati (Rangari, 2007).Rumus struktur komponen gal

(28)

OH HO HO

OH O

O O

HO

OH

OH OH

O

O

H H

H

HO

H

Asam galat asam elagit sitosterol

Gambar 2.1 Rumus struktur komponen gal majakani (Pratt dan Herber, 1956)

2.1.6 Uji kualitatif gal majakani

Campuran air dengan serbuk gal (1:10.000) menunjukkan endapan biru

gelap dengan 5% larutan feri sulfat, endapan berwarna coklat gelap dengan 1%

larutan feri asetat, warna orange kecoklatan dan sedikit endapan dengan kalium

dikromat jenuh ditambah sedikit asam asetat; serta coklat kekuningan dan

endapan dengan 1% larutan natrium karbonat (Claus, 1962).

2.1.7Kegunaan gal majakani

Secara tradisional gal majakani (Quercus infectoria G.Olivier)

digunakan sebagai bahan astringen alami yang mengandung komponen

antiseptik dan antioksidan (Pratt dan Herber, 1956). Beberapa penelitian juga

telah membuktikan beberapa efek farmakologinya seperti sebagai antidiabetes

(Hwang, et al., 2000), anastetik lokal, antivirus (Hussein, et al., 2000), dan

antibakteri (Fatima, et al., 2001).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji manfaat gal majakani

(Quercus infectoriaG. Olivier), seperti khasiatnya sebagai obat luka bakar

(Umachigi, et al., 2008) dan penelitian tentang daya antibakteri ekstrak alkohol

gal majakani terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Leela dan

(29)

2.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain

simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia

nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelican atau mineral. Simplisia nabati

adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat

tanaman. Yang dimaksud dengan eksudat tanaman ialah isi sel yang secara

spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari

selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari

tanamannya. Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun

kegunaannya, maka simplisia harus memenuhi persyaratan minimal. Dan untuk

dapat memenuhi persyaratan minimal tersebut, ada beberapa faktor yang

berpengaruh, antara lain bahan baku simplisia, proses pembuatan simplisia

(termasuk cara penyimpanan simplisia), cara pengepakan dan penyimpanan

simplisia (Depkes, 1985).

2.2.1 Tahap pembuatan simplisia

Agar simplisia memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan, maka

dilakukan tahapan kegiatan berikut ini.

a. Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau

bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya simplisia

yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti

(30)

pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah mengandung

bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan

simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba

awal (Depkes, 1985).

b. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran

lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan

dengan air bersih, misalnya air dari mata air, air sumur atau air PAM.

Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut di dalam air

yang mengalir, pencucian hendaknya dilakukan dalam waktu yang

sesingkat mungkin (Depkes, 1985).

c. Perajangan

Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan.

Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses

pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang

akan dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat

waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga dapat

menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah

menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang

diinginkan (Depkes, 1985).

(31)

Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak

mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.

Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan

dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia. Air yang masih

tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat merupakan media

pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya. Proses pengeringan sudah

dapat menghentikan proses enzimatik dalam sel bila kadar airnya dapat

mencapai kurang dari 10%. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama

proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembapan udara, aliran

udara, waktu pengeringan, dan permukaan bahan. Suhu yang terbaik

dalam pengeringan adalah tidak melebihi 60°C, tetapi bahan aktif yang

tidak tahan panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu

serendah mungkin, misalnya 30°C sampai 45°C. Terdapat dua cara

pengeringan yaitu pengeringan alamiah (dengan panas sinar matahari

langsung atau dengan diangin-anginkan) dan pengeringan buatan

(menggunakan instrument). Dengan menggunakan pengeringan buatan

dapat diperoleh simplisia dengan mutu yang lebih baik karena

pengeringan akan lebih cepat dan merata, tanpa dipengaruhi cuaca

(Depkes, 1985).

e. Sortasi Kering

Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir

pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda

(32)

pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada

simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus

untuk kemudian disimpan. Pada simplisia bentuk rimpang, sering

jumlah akar yang melekat pada rimpang terlampau besar dan harus

dibuang. Demikian pula adanya partikel-partikel pasir, besi dan

benda-benda tanah lain yang tertinggal harus dibuang sebelum simplisia

dibungkus (Depkes, 1985).

f. Penyimpanan

Selama penyimpanan ada kemungkinan terjadi kerusakan pada

simplisia. Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan kemunduran mutu,

sehingga simplisia bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat yang

diperlukan atau yang ditentukan. Oleh karena itu pada penyimpanan

simplisia perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat mengakibatkan

kerusakan simplisia, yaitu cara pengepakan, pembungkusan, dan

pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan

mutu, serta cara pengawetannya. Penyebab kerusakan pada simplisia

yang utama adalah air dan kelembapan. Cara menyimpan simplisia

yang kurang tepat akan menyebabkan rusaknya simplisia akibat hewan

pengerat. Cara pengemasan simplisia tergantung pada jenis simplisia

dan tujuan penggunaan pengemasan. Bahan dan bentuk pengemasan

harus sesuai. Wadah harus bersifat tidak beracun dan tidak bereaksi

(33)

serta penyimpanan warna, rasa, bau, dan sebagainya pada simplisia

(Depkes, 1985).

2.3 Ekstrak dan Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang

sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau

serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang

telah ditetapkan (Depkes, 1995).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.

Simplisia yang akan diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan

senyawa yang tidak dapat larut dan mempunyai struktur kimia yang

berbeda-beda yang dapat mempengaruhi kelarutan dan stabilitas senyawa-senyawa

tersebut terhadap suhu, udara, cahaya, dan logam berat (Depkes, 2000).

2.3.1 Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut

a. Cara dingin

i. Maserasi

Maserasi adalah suatu metode ekstraksi menggunakan pelarut dengan

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan

(kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode

pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti

(34)

dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan

penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Depkes, 2000).

ii. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada

temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,

tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh

ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bertahan (Depkes, 2000).

b. Cara panas

i. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses

pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses

ekstraksi sempurna (Depkes, 2000).

ii.Soxhlet

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi

kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin

(35)

iii. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu

secara umum dilakukan pada temperature 40 – 50°C (Depkes, 2000).

iv. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur

96-98°C selama waktu tertentu (15 – 20 menit) (Depkes, 2000).

v. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama ≥ 30 °C dan temperatur

sampai titik didih air (Depkes. 2000).

2.3.2 Pengeringan ekstrak dengan metode freeze drying

Pengeringan secara umum bermaksud untuk menghilangkan pelarut

dari material yang akan dikeringkan. Salah satu tipe pengeringan yaitu

freeze-drying. Pengeringan-beku adalah proses pengeringan di mana pelarut dan atau

media suspensi yang mengkristal pada temperatur rendah dan sesudahnya

mensublimasi dari padat langsung ke fase uap. Pengeringan-beku lebih banyak

dilakukan dengan air sebagai pelarut. Pengeringan mengubah es atau air dalam

fase amorf menjadi uap. Karena tekanan uap es rendah, volume uap menjadi

besar. Tujuan pengeringan-beku adalah untuk memproduksi suatu substansi

dengan stabilitas yang baik dan tidak berubah setelah rekonstitusi dengan air,

meskipun hal ini sangat tergantung juga pada langkah terakhir proses

(36)

2.4 Inflamasi

2.4.1 Definisi inflamasi

Inflamasi adalah respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh

cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi,

atau mengurung suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Pada

bentuk akut ditandai oleh tanda klasik yaitu: nyeri (dolor), panas (kalor),

kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi (fungsiolesa).

Secara histologis, menyangkut rangkaian kejadian yang rumit, yaitu mencakup

dilatasi arteri, kapiler dan venula, disertai peningkatan permeabilitas aliran

darah, eksudasi cairan, termasuk protein plasma dan migrasi leukosit kedalam

fokus peradangan. Respon ini disebabkan oleh pembebasan mediator

(histamin, serotonin, prostaglandin, kinin) yang berperan mengatur,

mengaktifkan sel-sel, baik dari darah maupun jaringan dan kemudian dapat

timbul gelaja dari jaringan yang cidera (Soenarto, 2007).

2.4.2Mediator inflamasi

Banyak substansi endogen yang ditemukan dikenal sebagai mediator

peradangan di antaranya adalah histamin, bradikinin, kalidin, serotonin,

prostaglandin, dan leukotrien. Histamin merupakan mediator pertama yang

dilepaskan dari sekian banyak mediator lain dan segera muncul dalam

beberapa detik setelah diinduksi yang berperan meningkatkan permeabilitas

kapiler. Histamin merupakan produk dekarboksilasi asam amino histidin yang

terdapat dalam semua jaringan tubuh. Konsentrasi tertinggi terdapat dalam

(37)

basofil adalah dalam bentuk tak aktif secara biologik dan tersimpan terikat

pada heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel tersebut pada

reaksi hipersensitivitas, kerusakan sel (misalnya pada luka) serta akibat

senyawa kimia pembebas histamin (Mutschler, 1999).

Bradikinin dan kalidin adalah mediator radang yang secara lokal

menimbulkan rasa nyeri, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan

berperan meningkatkan potensi prostaglandin (Mansjoer, 2003). Serotonin

(5-hidroksitriptamin, 5-HT), berasal dari asam amino esensial triptamin melalui

hidroksilasi dan dekarboksilasi, terdapat dalam platelet darah, mukosa usus dan

di beberapa bagian otak dengan konsentrasi tinggi. Serotonin disimpan dalam

granula, terikat dengan ATP serta protein dan dibebaskan jika sel dirangsang

melalui eksositosis dan mengaktifkan reseptor spesifik. Pada trombosit,

serotonin berfungsi meningkatkan agregasi dan mempercepat penggumpalan

dara sehingga mempercepat hemostasis (Mutschler, 1999).

Asam arakhidonat merupakan precursor sejumlah besar mediator

inflamasi. Senyawa ini merupakan komponen utama lipid seluler dan hanya

terdapat dalam keadaan bebas dalam jumlah kecil, sebagian besar berada dalam

bentuk posfolipid membrane sel. Bila membran sel kerusakan oleh suatu noksi

(rangsangan kimiawi, fisis atau mekanis) maka enzim posfolipase akan

diaktifasi untuk mengubah posfolipid menjadi asam arakhidonat. Asam lemak

C20 ini selanjutnya akan diubah menjadi senyawa mediator melalui dua alur

(38)

Pada alur siklooksigenase sebagian asam arakhidonat akan diubah oleh

enzim siklooksigenase menjadi endoperoksida dan seterusnya menjadi

prostaglandin (PG), prostasiklin dan tromboksan, sebagian lagi asam

arakhidonat akan diubah menjadi enzim lipooksigenase menjadi asam

hidroperoksida dan seterusnya menjadi leukotrien yang disebut juga Slow

Reacting Subtances of Anaphilaxis (SRSA). Baik prostaglandin maupun

leukotrien, bertanggung jawab bagi sebagian besar gejala peradangan

(Mutschler, 1999).

Prostaglandin bekerja lemah, berpotensi kuat setelah bergabung dengan

mediator atau subtansi lain yang dibebaskan secra lokal seperti histamin,

serotonin dan leukotrien. Prostaglandin mampu menginduksi vasodilatasi

pembuluh darah dalam beberapa menit dan terlibat menjadi nyeri, radang,

demam dan diare. Dari alur lipooksigenase dihasilkan mediator leukotrien.

Mediator LTB4 potensial kemotaktik terhadap leukosit polimorfonuklear,

eosinofil dan monosit. Pada konsentrasi tinggi, LTB4 menstimulasi agregasi

leukosit polimorfonuklear. Selain itu LTB4 mempunyai kemampuan

meningkatkan eksudasi plasma dan mengakibatkan hiperalgesia. Kombinasi

dua senyawa leukotrien yaitu LTC4 dan LTD4 dapat menyebabkan peradangan,

reaksi anafilaksis, reaksi alergi dan asma. LTE4 menyebabkan gejala

hipersensitifitas, bronkokronstriksi, kontraksi otot polos dan permeabilitas

vascular. Aktivitasnya jauh lebih kecil dari prazatnya yaitu LTC4 dan LTD4

(39)

2.4.3Sistem pertahanan tubuh pada inflamasi

Pertahanan tubuh dapat dibagi menjadi dua:

a. Sistem imun nonspesifik (bawaan)

Sel-sel dari sistem ini adalah neutrofil fagositosis, makrofag, basofil, sel-sel

mast, eosinofil, trombosit, monosit dan sel-sel pembunuh alami (Natural

Killer (NK) sel). Faktor-faktor yang larut adalah lisozim sitokin, INF,

komplemen, protein fase akut (Soenarto, 2010).

b. Sistem imun spesifik (penyesuaian)

Zat yang larut termasuk pada sistem ini adalah antibody, immunoglobulin

yang dihasilkan oleh limposit B dan sel plasma, dan limpokin-limpokin

yang kebanyakan diproduksi oleh limposit T. Sedangkan faktor-faktor yang

larut lainya adalah lisosim, interferon, sitokin, komplemen protein fase akut

(Soenarto, 2010).

Fungsi makrofag, sel mast, neutrofil dan limposit dalam proses

inflamasi yaitu menangkap, menghalau, memangsa, membersihkan dan

berusaha menyingkirkan antigen pada jaringan cidera. Usaha tersebut dapat

dilaksanakan karena sel-sel yang berfungsi melawan antigen atau protogen

telah memiliki zat-zat yang ada dalam sel yang telah siap dibentuk sebelum ada

rangsang atau pacu. Kemudian dapat dikeluarkan dan berfungsi dalam

pertahanan tubuh untuk mengatasi inflamasi, dengan zat atau bahan yang

(40)

Sel-sel pemangsa (fagosit) merupakan pertahanan dalam lini pertama

guna membinasakan zat-zat pathogen. Dan yang berfungsi dalam hal ini

termasuk makrofag dan neutrofil (Soenarto, 2010).

Sel-sel yang ada didalam tubuh dilengkapi dengan reseptor-reseptor

yang ada dipermukaan sel. Disamping itu dari sel-sel dilengkapi pula zat yang

dapat dikeluarkan dengan fungsi untuk pengaktifan atau pemicu terhadap sel

lain agar menjadi aktif. Zat-zat tersebut merupakan mediator (Soenarto, 2010).

2.4.4Mekanisme terjadinya inflamasi

Inflamasi terjadi dengan diawali adanya stimulus yang merusak

jaringan (noksi), baik karena bakteri, trauma, bahan kimiawi, panas atau

fenomena lainnya, mengakibatkan sel mast pecah dan terlepasnya

mediator-mediator inflamasi. Kemudian terjadi vasodilatasi dari seluruh pembuluh darah

pada daerah inflamasi sehingga aliran darah meningkat. Perubahan volume

darah dalam kapiler dan venula, yang menyebabkan sel-sel endotel pembuluh

darah meregang dan kemudian meningkatkan permeabilitas pembuluh darah,

protein plasma keluar dari pembuluh darah lalu menimbulkan udem. Infiltrasi

leukosit ke tempat inflamasi, pada tingkat awal infiltrasi oleh neutrofil,

selanjutnya infiltrasi oleh sel monosit. Sel monosit akan berubah menjadi

makrofag. Baik neutrofil maupun makrofag dapat melepaskan enzim lisosom

untuk membantu mencerna eksudat radang. Bila tidak terjadi resolusi, maka

dapat meningkat menjadi inflamasi kronik (Underwood, 1999). Patogenesis

(41)
[image:41.595.116.496.92.326.2]

Gambar 2.2 Patogenesis dan gejala peradangan (Mutschler,1999)

2.4.5Macam-macam inflamasi

Berdasarkan waktu kejadiannya, inflamasi terbagi atas 2 macam:

a. Inflamasi Akut

Inflamasi ini merupakan respon langsung dari tubuh terhadap cedera atau

kematian sel. Tanda-tanda pokok peradangan akut mencakup kemerahan

(rubor), panas (kalor), rasa sakit (dolor), pembengkakan (tumor), dan

perubahan fungsi (fungsio laesa). Peristiwa penting pada peradangan akut

adalah dilatasi pembuluh darah dan perubahan permeabilitas

pembuluh-pembuluh yang sangat kecil yang mengakibatkan kebocoran protein,

sehingga terjadi pembentukan eksudat seluler berupa emigrasi neutrofil

polimmorf ke dalam rongga ekstravaskuler yang kemudian menimbulkan

pembengkakan jaringan (Price dan Wilson, 1995; Underwood, 1999). Emigrasi

Leukosit

Proliferasi sel Noksi

Kerusakan Jaringan

Pembebasan Mediator

Gangguan sirkulasi lokal

Eksudasi Perangsangan reseptor nyeri

(42)

b. Inflamasi kronik

Inflamasi kronik didefinisikan sebagai proses radang dimana limfosit, sel

plasma, dan makrofag lebih banyak ditemukan, dan biasanya disertai pula

dengan pembentukan jaringan granulasi, yang menghasilkan fibrosis.

Radang akut dapat menjadi radang kronik apabila pusat membentuk rongga

abses yang terletak di dalam, dan pembuangannya berlangsung lama atau

tidak lancar, sewaktu proses pembuangan berlangsung, terbentuk pula

penebalan dinding abses yang terdiri dari jaringan granulasi dan jaringan

ikat fibrosa. Oleh karena itu dinding abses yang kaku menyebabkan tidak

terjadinya penyatuan sewaktu pembuangan berlangsung, dan sisa pus di

dalam rongga abses mengalami organisasi dengan tumbuhnya jaringan

granulasi, yang pada akhirnya akan diganti dengan jaringan parut fibrosa.

Contoh inflamasi kronik adalah inflamasi akibat tuberkolosis (Underwood,

1999).

Inflamasi akut secara normal terjadi apabila faktor-faktor yang

mempengaruhi dapat dihilangkan oleh respon imun nonspesifik (respon imun

bawaan), maka inflamasi terhenti, jika tidak maka respon imun spesifik akan

diaktifkan untuk mengatasinya. Inflamasi kronis dapat terjadi karena

faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut tidak dapat dihilangkan oleh respon imun

spesifik, dikarenakan faktor-faktor tersebut melengkapi diri atau mengekalkan

diri, atau melalui mekanisme tubuh yang gagal dalam proses inflamasi.

Kemudian proses inflamasi akan berubah bentuk dari mekanisme protektif, dan

(43)

normal (Santoso, 1999; Soenarto, 2010). Mekanisme sistem imun nonspesifik

[image:43.595.113.490.159.386.2]

dan spesifik pada inflamasi akut dan kronis dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Mekanisme sistem imun nonspesifik dan spesifik pada inflamasi akut dan kronis (Santoso, 1999; Soenarto, 2010).

2.4.6Golongan obat antiinflamasi

Obat-obat antiinflamasi memiliki aktivitas menekan atau mengurangi

peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui berbagai cara yaitu

menghambat pembentukan mediator radang prostaglandin, menghambat

migrasi sel-sel leukosit ke daerah radang, menghambat pelepasan

prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya. Bagan penghambatan

obat-obat antiradang terhadap pembentukan mediator radang dapat dilihat pada

Gambar 2.4.

Rangsang

Sistem imun nonspesifik (bawaan)

diaktifkan

INFLAMASI AKUT Rangsang

dihilangkan

KESEMBUHAN

Ransang dihilangkan

Ransang tak dihilangkan

Sistem imun spesifik diaktifkan

Menghasilkan sel-sel pengingat

spesifik

Amplifikasi/ pengerasan

INFLAMASI KRONIS

(44)
[image:44.595.112.477.91.346.2]

Gambar 2.4 Bagan penghambatan obat anti radang terhadap pembentukan mediator radang (Mansjoer, 2003).

Keterangan: = efek penghambatan LTB4 = dihidroksi leukotrien B4,

LTC4 = leukotrien C4

LTD4 = leukotrien D4

LTE4 = leukotrien E4

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi terbagi ke dalam

golongan:

a. Antiinflamasi Steroid

Obat ini bekerja dengan cara menghambat posfolipase, suatu enzim yang

bertanggung jawab terhadap pelepasan asam arakidonat dari membran lipid.

Termasuk golongan obat ini adalah prednison, hidrokortison, deksametason,

dan betametason (Katzung, 1996).

Pospolipase Posfolipid

Asam arakhidonat Kortikosteroid

Endoperoksida Asam hidroperoksida

Tromboksan

Prostaglandin Prostasiklin LTBLeukotrien: 4, LTC4,

LTD4 LTE4 Siklooksigenase

OAINS Lipooksigenase

Noksi

(45)

b. Antiinflamasi Non Steroid

Obat ini bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga

konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Termasuk golongan

obat ini adalah ibuprofen, indometasin, diklofenak, fenilbutazon, dan

pirosikam (Wilmana dan Gan, 2007).

2.4.7Natrium diklofenak

Natrium diklofenak merupakan obat antiinflamasi nonsteroid. Obat ini

bekerja menghambat aktivitas enzim siklooksigenase yang berperan dalam

metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan salah

satu mediator inflamasi (Kertia, 2009). Natrium diklofenak merupakan derivat

fenilasetat yang termasuk NSAID yang daya antiradangnya paling kuat dengan

efek samping yang kurang dibandingkan dengan obat lainnya (seperti

indometasin, piroxicam) (Tjay dan Raharja, 2002).

Penghambatan OAINS terhadap enzim COX dapat ditunjukkan dengan

logaritma perbandingan IC80 COX-2/COX-1. Inhibitory concentration 80

(IC80) adalah konsentrasi yang dapat menghambat 80% aktivitas COX.

Berdasarkan logaritma perbandingan tersebut diklofenak mempunyai nilai

logaritma perbandingan IC80 COX-2 /COX-1 lebih kecil dari 0 dan lebih besar

dari -1, hal ini berarti diklofenak lebih cenderung menghambat aktivitas

COX-2 tetapi juga masih mempengaruhi aktivitas COX-1 pada konsentrasi yang

lebih besar, sehingga efek samping pada gastrointestinal lebih kecil (Kerr dan

Gailer, 2010). Tingkat selektivitas dari diklofenak dan beberapa OAINS dapat

(46)
[image:46.595.142.466.92.345.2]

Gambar 2.5 Selektif penghambat COX2 dan beberapa OAINS berdasarkan

logaritmaperbandingan inhibitory concentration (IC80). Garis 0

menunjukkan potensi yang sama dimana hasil perbandingan IC80 antara COX-2 dan COX-1 adalah 1) (Kerr dan Gailer,

2010).

Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap

yang terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek lintas awal

(first-pass) sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, Na

diklofenak diakumulasi di cairan sinovilia yang menjelaskan efek terapi di

sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Efek samping yang

lazim terjadi ialah mual, gastritis, eritema kulit, dan sakit kepala. Dosis orang

(47)

2.4.8Beberapa metode uji antiinflamasi

a. Metode pembentukan udem buatan

Salah satu teknik yang paling umum digunakan berdasarkan

kemampuan agen tersebut untuk menghambat produksi udem di kaki belakang

tikus setelah injeksi agen radang yang kemudian diukur volume radang.

Volume udem diukur sebelum dan sesudah pemberian zat yang diuji. Beberapa

iritan yang dipakai sebagai penginduksi udem antara lain formalin, kaolin, ragi,

dan dekstran. Iritan yang umum digunakan dan memiliki kepekaan yang tinggi

adalah karagen (Vogel, 2008).

b. Metode pembentukan eritema

Metode ini berdasarkan pengamatan secara visual terhadap eritema

pada kulit hewan yang telah dicukur bulunya. Marmot secara kimiawi

dihilangkan bulunya dengan suspense barium sulfat, 20 menit kemudian

dibersihkan dengan air hangat. Hari esoknya senyawa uji disuspensikan dan

setengah dosisnya diberikan 30 menit sebelum pemaparan UV. Setengahnya

lagi setelah 2 menit berjalan pemaparan UV. Eritema dibentuk akibat iritasi

sinar UV berjarak 20 cm diatas marmot. Eritema dinilai 2 dan 4 jam setelah

pemaparan (Vogel, 2008).

c. Metode iritasi dengan panas

Metode ini berdasarkan pengukuran luas radang dan berat udem yang

terbentuk setelah diiritasi dengan panas. Mula-mula hewan diberi zat warna

tripan biru yang disuntik secara IV, dimana zat ini akan berikatan dengan

(48)

dengan panas yang cukup tinggi. Panas menyebabkan pembebasan histamin

endrogen sehingga timbul inflamasi. Zat warna akan keluar dari pembuluh

darah yang mengalami dilatasi bersama-sama dengan albumin plasma sehingga

jaringan yang meradang kelihatan berwarna. Penilaian derajat inflamasi

diketahui dengan mengukur luas radang akibat perembesan zat ke jaringan

yang meradang. Pengukuran juga dapat dilakukan dengan menimbang udem

yang terbentuk, dimana jaringan yang meradang dipotong kemudian ditimbang

(Vogel,2008).

d. Metode pembentukan kantong granuloma

Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang terbentuk di

dalam kantong granuloma. Mula-mula benda terbentuk pellet yang terbuat dari

kapas yang ditanam di bawah kulit abdomen tikus menembus lapisan linia

alba. Respon yang terjadi berupa gejala iritasi, migrasi leukosit dan makrofag

ke tempat radang yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan timbul

granuloma (Vogel, 2008).

e. Metode iritasi pleura

Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang terbentuk

karena iritasi dengan inductor radang. Adanya aktivitas obat yang diuji

ditandai dengan berkurangnya volume eksudat. Obat diberikan secara oral.

Satu jam kemudian disuntik dengan inductor radang seperti formalin secara

intra pleura. Setelah 24 jam, hewan dibunuh dengan eter lalu rongga pleura

(49)

f. Metode induksi oxazolon udem telinga mencit

Pada percobaan ini tikus telinga tikus diinduksi 0.01 ml 2% larutan

oxazolon ke dalam telinga kanan. Inflamasi terjadi dalam 24 jam. Kemudian

hewan dikorbankan dibawah anastesi lalu dibuat preparat dengan 8 mm dan

perbedaan berat preparat menjadi indicator inflamasi udem (Vogel, 2008).

2.4.9Karagenan

Karagenan diperoleh dari ekstrak rumput laut merah (Rhodopyceace).

Penggunaan karagenan sebagai penginduksi radang memiliki beberapa

keuntungan antara lain tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan

kerusakan jaringan dan memberikan respon yang lebih peka terhadap obat

antiinflamasi dibanding senyawa iritan lain seperti dextran 1% dan egg white

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

eksperimental (experimental research). Metode penelitian ini adalah

suatu=bservasi yang dilakukan di laboratorium dengan kondisi buata (artificial

condition), yang diatur oleh peneliti. Metode eksperimental dimaksudkan

untuk mengetahui pengaruh atau hubungan antara variabel bebas (X) yang

disebut faktor perlakuan dengan variabel terikat (Y) yang disebut faktor

pengamatan (Hanafiah, 2005). Dalam penelitian ini yang disebut variabel

bebas yaitu pengaruh pemberian EEM dosis 200, 300, 400 mg/kg bb, Na

diklofenak dosis 2,25 mg/kg bb, Na CMC 0,5%, dan tikus sedangkan variabel

terikat adalah udem. Dengan cara memberikan perlakuan pada kelompok

eksperimen menggunakan kontrol dan pembanding akan dapat diramalkan efek

bahan yang diuji. Pengujian ekstrak etanol majakani terhadap efek

antiinflamasi menggunakan metode paw edema. Hasil yang diperoleh diolah

homogenitas variannya dengan uji Kolmogorof-Smirnov, analisis variansi

(ANAVA) satu arah dengan taraf kepercayaan 95%. Selanjutnya dilanjutkan

uji beda rata-rata Duncan . Jika data tidak terdistribusi normal dan tidak

homogen dilanjutkan uji Kruskall Wallis dan Mann-Whitney. Analisis data

dikerjakan dengan program Statistical Product and Service Solution SPSS

versi 16 utnuk menyatakan secara signifikan atau tidak parameter-parameter

(51)

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas,

neraca listrik, stopwatch, neraca hewan (Presica Geniweigher, GW-1500), Rat

strainer, kandang tikus, spuit, spatula dan pletismometer. Alat-alat yang

digunakan dapat dilihat pada Lampiran 15, halaman 94.

3.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol

majakani (Quercus infectoria G. Olivier), natrium diklofenak, Na CMC, λ

-karagenan, larutan fisiologis (natrium klorida 0.9%) dan akuades.

3.3 Pengolahan Sampel dan Pembuatan Ekstrak

Ekstrak etanol majakani yang digunakan dalam penelitian ini dari

peneliti sebelumnya yaitu Sihombing, dkk., (2012). Cara yang dilakukannya

adalah sebagai berikut:

3.3.1 Pengambilan sampel

Pengambilan sampel majakani (Quercus infectoria G. Olivier)

dilakukan secara purposif yang diperoleh dari toko obat tradisional di Pasar

Sambu, Medan. Jenis majakani yang diteliti adalah majakani putih dari Turki.

Identifikasi sampel majakani dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang

Botani Pusat, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(52)

3.3.2 Pembuatan ekstrak

Pembuatan ekstrak etanol majakani (EEM) dilakukan secara maserasi

menggunakan etanol 80% Depkes, (1979), dilakukan oleh Sihombing, dkk.,

(2012).

Cara kerja:

Sebanyak 1800 g serbuk simplisia majakani dimasukkan ke dalam wadah kaca

berwarna gelap, kemudian dituangi dengan 7500 ml etanol 80%. Ditutup dan

dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, diserkai

dan diperas. Ampas dicuci dengan 1500 ml etanol 80%, dipindahkan ke dalam

bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2

hari, selanjutnya disaring. Maserat etanol yang diperoleh diuapkan dengan

menggunakan rotary evaporator pada temperatur ± 40oC sampai diperoleh

ekstrak kental kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer.

3.4 Uji Efektivitas Antiinflamasi

Pengujian efek antiinflamasi ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu

penyiapan hewan percobaan, penyiapan bahan, dan pengujian efek

antiinflamasi.

3.4.1 Penyiapan hewan percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jantan putih galur

Wistar dengan berat badan 150-200 g sebanyak 30 ekor, dibagi dalam 5

kelompok, setiap kelompok terdiri dari 6 ekor. Dua minggu sebelum pengujian

(53)

mempunyai ventilasi baik dan selalu dijaga kebersihannya. Hewan yang sehat

ditandai dengan pertumbuhan normal dan suhu badan normal (Depkes, 1979).

3.4.2 Penyiapan bahan

Penyiapan bahan-bahan meliputi larutan suspensi CMC 0,5%,

karagenan sebagai penginduksi, suspensi Na-diklofenak dosis 2,25 mg/kg bb,

suspensi ekstrak etanol majakani (Quercus infectoria G.Olivier).

3.4.2.1 Pembuatan larutan Na CMC 0,5%

Sebanyak 0,5 g Na CMC ditaburkan ke dalam lumpang berisi air suling

panas sebanyak 10 ml, ditutup dan dibiarkan selama 30 menit hingga diperoleh

massa yang transparan, digerus lalu diencerkan dengan air suling hingga 100

ml (Anief, 1999).

3.4.2.2 Pembuatan suspensi EEM 5%

Ditimbang 500 mg EEM kemudian disuspensikan dengan larutan Na

CMC 0,5% sehingga didapat volume 10 ml.

3.4.2.3 Pembuatan suspensi natrium diklofenak 0,25%

Satu tablet natrium diklofenak yang mengandung 25 mg natrium

diklofenak dilarutkan dalam 10 ml suspensi Na CMC 0,5%.

3.4.2.4 Pembuatan karagenan 1%

Ditimbang 0,05 g karagenan kemudian dilarutkan dengan larutan garam

fisiologis (NaCl 0,9%) sehingga didapat volume 5 ml.

3.4.3 Pengujian efek antiinflamasi

Pengujian efek antiinflamasi ini menggunakan metode paw edema.

(54)

diberi minum secukupnya. Perlakuan diberikan pada tikus secara peroral

dengan bahan uji sebagai berikut: Kontrol (K): Na CMC 0,5 %, Perlakuan (P)I:

EEM dosis 200 mg/kg bb, PII: EEM dosis 300 mg/kg bb, PIII: EEM dosis 400

mg/kg bb dan Pembanding: Na-diklofenak 2,25 mg/kg bb. Bagan kerja uji

antiinflamasi dapat dilihat pada Lampiran 2. Contoh perhitungan dosis sediaan

uji terhadap tikus secara peroral dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Tiga

puluh menit setelah perlakuan, masing-masing hewan uji diinduksi dengan

larutan 0,1 ml karagenan 1% diberikan secara subplantar pada telapak kaki

tikus. Sesaat setelah penyuntikan karagenan diukur volume kaki dengan cara

dicelupkan ke dalam kolom air raksa pada pletismometer sampai batas yang

telah ditandai yaitu pada ruas kaki tikus. Kemudian volume udem kaki tikus

diukur selama 6 jam setiap 15 menit sekali. Setiap kelompok tikus dihitung

persentase radang rata-rata dengan rumus dibawah ini (Vogel, 2008):

% 100 Vo

Vo -Vt

%R = x

Keterangan:

%R = persentase radang Vo = volume kaki mula-mula

Vt = volume udem kaki pada waktu ke-t

Persentase inhibisi radang (%IR) dapat dihitung menggunakan rumus sebagai

berikut (Turner, 1965):

% 100 a

b -a

%IR= x

Keterangan:

%IR = persentase inhibisi radang

a = persentase radang rata-rata kelompok kontrol

(55)

Setelah diperoleh kurva persentase radang versus waktu, selanjutnya

digunakan untuk menghitung AUC (Area Under the Curve), Rumus yang

digunakan untuk menghitung AUC adalah sebagai berikut (Prayoga, 2008):

[ ]

(

)

2

%

%R

1 1

-n

1 −

+

=

n n

n t

t

t

t

R

AUC

n

n

Keterangan:

[AUC] = Area under the curve

tn = waktu pengamatan dari persentase radang ke n

tn-1 = waktu pengamatan sebelumnya yang berhubungan dengan

persentae radang ke n-1 %Rn-1 = persen radang ke n-1

%Rn = persen radang ke n

3.5 Analisis Data

Data hasil persen radang dan AUC persen radang dianalisis secara

ANAVA pada tingkat kepercayaan 95% dilanjutkan dengan uji Duncan untuk

melihat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan. Analisis statistik ini

menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS ) versi

(56)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengujian EEM Sebagai Antiinflamasi

Hasil identifikasi sampel yang digunakan pada penelitian ini

menunjukkan bahwa sampel adalah benar majakani (Quercus infectoria G.

Olivier) (Sihombing, dkk., 2012), hasil dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman

59. Pengujian efek antiinflamasi digunakan alat pletismometer dengan prinsip

hukum Archimedes yaitu benda yang dimasukkan kedalam zat cair akan

memberikan gaya atau tekanan keatas sebesar volume yang dipindahkan. Data

hasil pengukuran penambahan volume kaki tikus, persen radang dan persen

inhibisi radang dapat dilihat pada Lampiran 8, halaman 67.

4.1.1 Persentase radang

Hasil persentase radang rata-rata yang terjadi dapat dilihat pada Gambar

[image:56.595.113.494.514.684.2]

4.1 dan Tabel 4.1.

(57)
[image:57.595.114.496.139.502.2]

Tabel 4.1. Persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan ekstrak etanol majakani

Waktu (menit)

Perlakuan

K Pembanding PI PII PIII

15 6,72 2,67 5,95 4,77 2,96

30 9,02 2,67 8,53 7,00 2,96

45 24,19 5,06 17,03 10,27 5,06

60 36,43 13,84 26,37 13,76 10,36

75 47,96 22,59 33,72 22,99 17,33

90 60,72 30,79 46,81 27,44 23,10

105 70,94 34,33 56,23 33,65 32,41

120 81,07 40,08 66,66 39,22 38,65

135 84,02 48,51 71,13 49,18 44,34

150 89,08 52,33 74,99 56,43 48,46

165 89,08 58,78 76,18 58,81 47,65

180 89,30 62,25 72,53 60,96 46,87

195 85,06 62,25 66,77 60,96 44,72

210 82,58 61,98 64,19 59,85 43,79

225 71,06 44,97 57,05 47,21 36,14

240 68,28 44,97 56,17 47,21 36,14

255 67,10 42,54 57,05 47,21 36,14

270 68,28 44,97 56,17 47,21 36,14

285 67,10 42,54 57,05 44,90 34,94

Gambar

Gambar 1.1.
Gambar 2.1 Rumus struktur komponen gal majakani (Pratt dan Herber, 1956)
Gambar 2.2 Patogenesis dan gejala peradangan (Mutschler,1999)
Gambar 2.3 Mekanisme sistem imun nonspesifik dan spesifik pada inflamasi akut dan kronis (Santoso, 1999; Soenarto, 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembelajar an Paket Tr acer Cr eated by: Admin-TKJ-SMKN1 MOJOKERTO Page 24  Setelah Router yang anda konfigurasi maka langkah berikutnya adalah melakukan konfigurasi untuk

Pembuatan kurva selisih serapan - (AA) terhadap panjang gelombang- untuk penentuan panjang gelombang terpilih Teofilina dan Fenobarbi­ tal .... Penentuan nilai selisih kpefisien

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita usia 12

dirongga paru, penurunan ekspansi paru, yang kedua Resiko hipotermi berhubungan dengan jaringan subkotis tipis, yang ketiga Ketidakefektifan nutrisi : kurang dari

EVALUASI ALTERNATIF MERUPAKAN SUATU PROSES DIMANA SUATU ALTERNATIF PILIHAN DIEVALUASI DAN DIPILIH OLEH KONSUMEN. Menentukan kriteria yang akan digunakan untuk menilai alternatif,

Skripsi Evaluasi APBD Kota Surabaya Dengan Menggunakan.. Mochammad

Skripsi PENGARUH KUALITAS KEHIDUPAN KERJA ..... ADLN Perpustakaan

Adapun judul penelitian ini adalah “ Hegemoni Tengkulak Terhadap Petani Lada Putih ( Muntok White Pepper ) Di Desa Ranggas Kecamatan Air Gegas Kabupaten Bangka