FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM MEMBAYAR
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN
PERKOTAAN DI KECAMATAN WANASARI
KABUPATEN BREBES
SKRIPSI
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Universitas Negeri Semarang
Oleh Agus Nurfauzi NIM 7101411231
JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh Dosen Pembimbing untuk diajukan ke sidang
panitia ujian skripsi pada:
Hari : Senin
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Semarang pada:
Hari : Jum’at
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Apabila dikemudian hari
terbukti skripsi ini adalah hasil jiplakan dari karya tulis orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Semarang, Januari 2016
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
Pendidikan merupakan perlengkapan
paling baik untuk hari tua (Aristoteles).
Persembahan
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Allah SWT, Tuhan Semesta Alam.
2. Kedua Orang Tuaku yang selalu
mengajari berdoa dan bersemangat.
3. Adik-Adikku, Taufik dan Zulfa.
4. Guru-Guruku #TerimakasihGuru.
5. Almamaterku, Universitas Negeri
PRAKATA
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Semesta Alam,
Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Taufiq, Hidayah serta Inayah-Nya,
sehingga penulis dengan sabar dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor
-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Di Kecamatan Wanasari Kabupaten
Brebes” ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan
Ekonomi di Universitas Negeri Semarang.
Atas segala bantuan yang diberikan untuk penyelesaian penulisan skripsi
ini, maka penulis dengan tulus hati menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang
yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan studi
di Universitas Negeri Semarang.
2. Dr. Wahyono, M.M., Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi dan studi dengan baik.
3. Dr. Ade Rustiana, M.Si., Ketua Jurusan Pendidikan Ekonomi yang telah
memberikan bantuan dalam proses ijin penelitian.
4. Dra. Yustina Sri Aminah, Dosen Pembimbing yang tak terhingga
mengarahkan, dan membimbing penulis selama penyusunan skripsi.
5. Drs. Syamsu Hadi, M.Si., Dosen Penguji I yang telah memberikan kritik,
6. Dra. Harnanik, M.Si., Dosen Penguji II yang telah memberikan kritik, saran
dan arahan.
7. Bapak dan Ibu dosen serta seluruh staf Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Semarang yang telah memberikan bekal ilmu yang tak ternilai harganya.
8. Kepala DPPK Kabupaten Brebes beserta perangkatnya, yang telah
memberikan kemudahan administrasi dalam perijinan penelitian, khususnya
Mba Ian dan Mas Iwenk yang telah membantu kelengkapan data penelitian.
9. Camat Wanasari beserta perangkatnya yang telah memberikan kemudahan
ijin penelitian, khususnya Pak H. Casroni, Pak Heri, dan Pak Darmanto.
10.Keluarga besar Kopma Unnes, Teman-teman Pendidikan Ekonomi Koperasi
2011, Relawan Turun Tangan, Bapak/Ibu PPL SMANTANG 2014 (khusus
Trio PPL SMANTANG), KKN Ngempon 2014, Mataram Kos, serta
Sahabat-Sahabat Hebatku (Adi, Adit) terima kasih kebersamaannya selama ini.
11.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Harapan Penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri,
pembaca dan semua pihak yang memerlukan.
Semarang, Januari 2016
SARI
Nurfauzi, Agus. 2016. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaaan di
Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes”. Skripsi. Pendidikan Ekonomi. Fakultas
Ekonomi. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: Dra.Y.Sri Aminah.
Kata kunci: SPPT, Pelayanan Perpajakan, Kesadaran Wajib Pajak, Kepatuhan Wajib Pajak
Kepatuhan Wajib Pajak adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Faktor-fakor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak diantaranya SPPT, pelayanan perpajakan dan kesadaran wajib pajak. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: (1) Apakah SPPT mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan? (2) Apakah pelayanan perpajakan mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan? (3) Apakah kesadaran wajib pajak mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan? (4) Apakah SPPT, pelayanan perpajakan dan kesadaran wajib pajak secara simultan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan?
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 55.028 Wajib Pajak. Teknik pengambilan sampel adalah Proportionate Stratified Random Sampling dengan sampel 104 wajib pajak. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode kuesioner dan dokumentasi. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif persentase, uji asumsi klasik dan regresi linier berganda dengan bantuan program SPSS.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif persentase menunjukkan SPPT dalam kriteria kurang baik dengan persentase 67,83%, pelayanan perpajakan kriteria baik (68,46%), kesadaran wajib pajak kriteria baik (74,50%) dan kepatuhan wajib pajak kriteria baik(79,74%). Secara simultan ada pengaruh yang signifikan dari variabel SPPT, pelayanan perpajakan dan kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dengan kontribusi 58,5%. Hasil pengujian hipotesis secara simultan menunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima dengan harga signifikansi sebesar 0,000.
ABSTRACT
Nurfauzi, Agus. 2016. “Factors that Influence Taxpayer Complianc in Paying Land Taxes Rural and Urban Building in Wanasari Sub district Brebes Regency”. Final Project. Economic Education. Faculty of Economics. Semarang State University. Supervisor: Dra. Y. Sri Aminah.
Keywords: SPPT, Taxation Services, Taxpayer Awareness, Taxpayer Compliance.
Taxpayer Compliance is a condition in which the taxpayer fulfills all tax obligations and the right of taxation. The factors which affect the tax compliance are SPPT, taxation services and taxpayer awareness. The problems of this study are: (1) Does SPPT affect taxpayer compliance in paying rural and urban property tax? (2) Does the taxation service affect taxpayer compliance in paying rural and urban property tax? (3) Does the taxpayer awareness affect taxpayer compliance in rural and urban property tax? (4) Does the SPPT, taxation services and awareness simultaneously of taxpayers on tax compliance in paying rural and urban property tax?
The population in this study amounted to 55.028 taxpayers. The sampling technique which used is Proportionate Stratified Random Sampling with 104 samples of taxpayers. The method which is used to collect the data is a questionnaire method and documentation. The analysis method which used is descriptive analysis percentage, classical assumption test and multiple linear regression with SPSS.
Based on the descriptive analysis percentage, the result showed that the percentage of SPPT in not good criteria was 67.83%, a good tax service criteria (68.46%), awareness taxpayer in good criteria (74.50%) and tax compliance in good criteria (79.74 %). Simultaneously, there was a significant effect of the SPPT variable, taxation services and taxpayer awareness on taxpayer compliance with the contribution of 59.7%. Simultaneous hypothesis testing result showed that Ho is rejected and Ha is accepted with 0.000 significance.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN KEULUSAN... iii
PERNYATAAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
PRAKATA ... vi
SARI ... viii
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah... 13
1.3 Tujuan Penelitian... 13
1.4 Manfaat Penelitian... 14
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 14
1.4.2 Manfaat Praktis ... 14
BAB II LANDASAN TEORI ... 15
2.1 Teori Atribusi ... 15
2.2 Pajak ... 16
2.2.1 Pengertian Pajak ... 16
2.2.2 Fungsi Pajak ... 17
2.2.3 Syarat Pemungutan Pajak ... 17
2.2.4 Teori Pemungutan Pajak ... 18
2.2.5 Prinsip Pemungutan Pajak ... 19
2.2.7 Jenis Pajak ... 21
2.3 Pajak Bumi dan Bangunan ... 22
2.3.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan ... 22
2.3.2 Asas Pajak Bumi dan Bangunan ... 23
2.3.3 Subjek Pajak ... 23
2.3.4 Objek Pajak ... 24
2.3.5 DasarPengenaanPajak ... 25
2.3.6 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ... 26
2.3.7 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan ... 27
2.3.8 Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), dan Surat Keterangan Pajak Daerah (SKPD) ... 27
2.4 Kepatuhan Wajib Pajak ... 28
2.4.1 Pengertian Kepatuhan ... 28
2.4.2 Jenis-Jenis Kepatuhan ... 29
2.4.3 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak ... 30
2.5 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang ... 30
2.6 Pelayanan Perpajakan ... 32
2.7 Kesadaran WajibPajak ... 35
2.8 Penelitian Terdahulu ... 36
2.9 Kerangka Berfikir ... 38
2.10 Hipotesis Penelitian ... 42
BAB III METODE PENELITIAN... 43
3.1 Jenis dan Desain Penelitian ... 43
3.2 Populasi, dan Sampel Penelitian ... 43
3.2.1 Populasi Penelitian ... 43
3.2.2 Sampel Penelitian ... 44
3.3 Variabel Penelitian ... 46
3.3.1 Variabel Bebas atau Variabel Independen (X) ... 46
3.3.2 Variabel Terikat atau Variabel Dependen (Y) ... 49
3.4.1 Metode Dokumentasi ... 50
3.4.2 Metode Angket atau Kuesioner ... 50
3.5 Analisis Instrumen Penelitian... 52
3.5.1 Validitas Instrumen ... 52
3.5.2 Reliabilitas Instrumen ... 53
3.6 Metode Analisis Data ... 55
3.6.1 Analisis Statistik Deskriptif Persentase ... 55
3.6.2 Uji Asumsi Klasik ... 57
1. Uji Normalitas ... 57
2. Uji Multikolonieritas ... 58
3. Uji Heteroskedastisitas ... 58
3.6.3 Analisis Regresi Linier Berganda ... 59
3.6.4 Pengujian Hipotesis Penelitian ... 60
1. Uji Parsial (Uji t) ... 60
2. Uji Simultan (Uji F) ... 60
3. Koefisien Determinasi (Uji R2) ... 61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62
4.1 Hasil Penelitian ... 62
4.1.1 Analisis Statistik Deskriptif Persentase ... 62
1. Kepatuhan Wajib Pajak ... 62
2. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) ... 66
3. Pelayanan Perpajakan ... 74
4. Kesadaran Wajib Pajak ... 81
4.1.2 Uji Asumsi Klasik ... 87
1. Uji Normalitas ... 87
2. Uji Multikolinieritas ... 88
3. Uji Heteroskedastisitas ... 88
4.1.3 Analisis Regresi Linier Berganda ... 90
4.1.4 Pengujian Hipotesis Penelitian ... 91
1. Uji Signifikansi Parsial (Uji t) ... 91
3. Koefisien Determinasi (R2)... 94
4.2 Pembahasan ... 95
4.2.1 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ... 95
4.2.2 Pelayanan Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ... 97
4.2.3 Kesadaran Wajib Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ... 98
4.2.4 Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ... 99
BAB V PENUTUP ... 102
5.1 Simpulan... 102
5.2 Saran ... 103
DAFTAR PUSTAKA ... 104
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Realisasi Penerimaan Pajak 2011-2014 (triliun rupiah) ... 2
Tabel 1.2 Ketetapan dan Realisasi Penerimaan PBB Kabupaten Brebes... 6
Tabel 1.3 Daftar Penerimaan PBB-P2 Kecamatan Wanasari 2011-2015 ... 8
Tabel 2.1 PenelitianTerdahulu yang Relevan dengan Penelitian ... 35
Tabel 3.1 Populasi Penelitian Berdasarkan Buku Ketetapan Pajak ... 42
Tabel 3.2 Penentuan Sampel Penelitian Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ... 44
Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas Instrumen ... 52
Tabel 3.4 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 54
Tabel 3.5 Kriteria SPPT, Pelayanan Perpajakan, Kesadaran Wajib Pajak dan Kepatuhan Wajib Pajak ... 57
Tabel 4.1 Hasil Deskriptif Persentase Variabel Kepatuhan Wajib Pajak... 64
Tabel 4.2 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Membayar Pajak sesuai dengan Kewajiban/Jumlah Pajak Terutang ... 65
Tabel 4.3 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Tepat Waktu dalam Membayar Pajak Sebelum Jatuh Tempo ... 66
Tabel 4.4 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Tidak Mempunyai Tunggakan Pajak ... 67
Tabel 4.5 Hasil Deskriptif Persentase Varibel SPPT ... 68
Tabel 4.6 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Data Wajib Pajak pada SPPT . 69 Tabel 4.7 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Luas Tanah pada SPPT ... 70
Tabel 4.8 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Luas Bangunan pada SPPT .... 71
Tabel 4.9 Hasil Deskriptif Persentase Indikator NJOP Tanah pada SPPT ... 72
Tabel 4.11 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Tempat Pembayaran Pajak
yang Tertera di SPPT ... 74
Tabel 4.12 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Tanggal Jatuh Tempo yang Tertera pada SPPT ... 75
Tabel 4.13 Hasil Deskriptif Persentase Variabel Pelayanan Perpajakan ... 76
Tabel 4.14 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Mekanisme Penyampaian SPPT ... 77
Tabel 4.15 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Mekanisme Pembayaran SPPT ... 78
Tabel 4.16 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Pelayanan Petugas saat Wajib Pajak Membayar ... 79
Tabel 4.17 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Fasilitas Pendukung dalam Pembayaran ... 80
Tabel 4.18 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Kecapatan dan Ketanggapan Petugas Pajak dalam menghadapi Keluhan Wajib Pajak ... 81
Tabel 4.19 Hasil Deskriptif Persentase Variabel Kesadaran Wajib Pajak ... 82
Tabel 4.20 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Kesadaran akan Manfaat Pajak 83 Tabel 4.21 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Penundaan Pembayaran Pajakakan Sangat Merugikan Negara ... 84
Tabel 4.22 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Kesadaran Wajib Pajak Mengenai Pengenaan PBB-P2 ... 85
Tabel 4.23 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Kesadaran Wajib Pajak untuk Memenuhi Kewajiban Pajak ... 86
Tabel 4.24 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Pajak merupakan Bentuk Partisipasi Pembangunan Negara ... 87
Tabel 4.25 Uji Normalitas ... 88
Tabel 4.26 Uji Multikolinieritas ... 90
Tabel 4.27 Ikhtisar Output Regresi Linier Berganda ... 92
Tabel 4.28 Hasil Uji t ... 94
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir ... 39
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kisi-Kisi Kuesioner Penelitian ... 110
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian ... 111
Lampiran 3. Uji Validitas ... 115
Lampiran 4. Uji Reliabilitas ... 119
Lampiran 5. Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ... 120
Lampiran 6. Analisis Deskriptif Persentase Variabel ... 123
Lampiran 7. Tabulasi Skor Variabel Kepatuhan Wajib Pajak ... 126
Lampiran 8. Tabulasi Skor Variabel SPPT ... 129
Lampiran 9. Tabulasi Skor Variabel Pelayanan Perpajakan ... 132
Lampiran 10. Tabulasi Skor Variabel Kesadaran Wajib Pajak ... 135
Lampiran 11. Hasil Output SPSS ... 138
Lampiran 12. Surat Ijin Penelitian ... 142
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah salah satu negara yang dikategorikan sebagai negara
yang berkembang di dunia. Hal ini dapat dilihat dari beberapa sisi, diantaranya
pembangunan. Pembangunan ini bisa berupa pembangunan fisik dan
pembangunan non fisik. Dimana setiap pembangunan yang dilakukan pemerintah
tidak terlepas dari dana yang dimiliki oleh setiap negara ataupun daerah.
Pembiayaan pembangunan ini direalisasikan ke dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Pendapatan dalam negeri dalam struktur APBN terdiri
atas penerimaan pajak, dan PNBP, serta penerimaan hibah. Penerimaan bukan
pajak contohnya seperti pemanfaatan sumber daya alam (migas), pelayanan oleh
pemerintah, pengelolaan kekayaan negara, dan lain-lain yang perolehan dan
sifatnya tidak stabil serta terbatas sehinga tidak bisa menjadi penerimaan utama
oleh negara. Hal ini berbeda dengan pajak, sumber penerimaan ini mempunyai
umur yang tidak terbatas.
Penerimaan pajak merupakan pemasukan dana yang paling potensial bagi
negara karena pajak seiring dengan struktur dan kualitas penduduk,
perekonomian, stabilitas sosial ekonomi dan politik. Pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan negara yang paling penting selain sumber penerimaan
lainnya. Pajak mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi budgetair yang
regulerend yang digunakan untuk mengatur kebijakan pemerintah dalam bidang
sosial dan ekonomi. Hal ini menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan
negara dalam menunjang kegiatan perekonomian, menggerakkan roda
pemerintahan, dan penyedia fasilitas umum bagi masyarakat.
Kontribusi pajak dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup
pesat. Penerimaan pajak pada periode 2011-2014 mengalami peningkatan dari Rp
873,9 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp 1.143 triliun pada tahun 2014.
Peningkatan penerimaan pajak tahun 2011-2014 dapat dilihat pada Tabel 1.1
berikut ini:
Tabel 1.1
Realisasi Penerimaan Pajak 2011-2014 (triliun rupiah)
Tahun APBN-P Realisasi Persentase
2011 878,7 873,9 99,4%
2012 1.016,2 980,5 96,5%
2013 1.148,4 1.077,3 93,8%
2014 1.246,1 1,143,3 91,7%
Sumber: Nota Keuangan dan APBN 2012-2015
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan
pajak sampai 31 Desember 2014 dalam APBN-P 2014 realisasi mencapai Rp
1.143,3 triliun dari target Rp 1.246,1 triliun. Jika dilihat dari persentasenya,
realisasi ini menurun drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar
91,7%. Dibandingkan pencapaian APBN dalam kurun waktu tiga tahun terakhir
dimana realisasi APBN-P 2013 mencapai Rp 1.077,3 triliun dari target Rp 1.148,4
triliun dengan persentase 93,8%, realisasi APBN-P 2012 adalah Rp 980,5 triliun
dari target Rp 1.016,2 dengan persentase 96,5%, realisasi APBN-P 2011 adalah
Penentuan target penerimaan yang sangat tinggi dan selalu meningkat
secara signifikan dari tahun ke tahun merupakan salah satu bukti, bahwa pajak
merupakan primadona bagi sumber pendapatan Negara. Kita bisa lihat setiap
tahunnya, pajak menyumbang persentase paling besar. Dominasi pajak dari tabel
diatas sebagai sumber penerimaan merupakan satu hal yang sangat wajar, terlebih
ketika sumber daya alam, khususnya minyak bumi dan gas tidak lagi bisa
diandalkan.
Hingga 31 Juli 2015, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 531,114
Triliun. Dari target penerimaan pajak yang ditetapkan sesuai ABPN-P 2015
sebesar Rp 1.294,258 Triliun, realisasi penerimaan pajak mencapai 41,04 %. Jika
dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2014, realisasi penerimaan
pajak di tahun 2015 ini mengalami pertumbuhan yang cukup baik di sektor
tertentu, namun juga mengalami penurunan pertumbuhan di sektor lainnya
(pajak.go.id 01/08/2015 diakses 15/08/2015).
Pemerintah pada tahun ini berupaya secara terus menerus untuk
meningkatkan penerimaaan dalam negeri dari sektor pajak untuk memenuhi
kebutuhan APBN-P 2015. Salah satu upaya pemerintah dalam hal ini adalah
menciptakan reformasi perpajakan yaitu dengan menetapkan tahun pembinaan
pajak. Pemerintah lewat Menteri Keuangan wawancara dengan Kompas, dilansir
Edisi 2 Mei 2015 Hal. 17 mengatakan bahwa “Kita sepakat tahun ini adalah tahun reformasi pajak. Tahun ini adalah tahun pembinaan, yaitu kita memberikan
insentif kepada wajib pajak. Kalau Anda membayar kekurangan pajak selama 5
sendiri akan tetapi perlu juga peran serta masyarakat sebagai wajib pajak. Peran
serta tersebut yakni dalam bentuk kepatuhan dalam membayar kewajiban
perpajakan.
Menurut Devano dan Rahayu (2006:112) menyatakan bahwa,
“Masalah kepatuhan wajib pajak adalah masalah penting di seluruh dunia, baik bagi negara maju maupun negara berkembang karena jika wajib pajak tidak patuh maka dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan, dan pelalaian pajak yang pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan pajak negara akan berkurang”.
Kesadaran untuk membayar pajak tidak tumbuh di masyarakat, disebabkan
adanya perbedaan kepentingan antara wajib pajak dengan pemerintah dalam
pelaksanaan perpajakan. Sampai sekarang masih banyak masyarakat yang
beranggapan bahwa pajak merupakan pungutan bersifat paksaan yang merupakan
hak istimewa pemerintah dengan tidak memberikan kontraprestasi langsung
kepada pembayar pajak. Menurut Machfud Sidik dalam Devano dan Rahayu
(2006:110): “Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary of compliance) merupakan tulang punggung sistem self assessment, di
mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan
dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya
tersebut”.
Dalam rangka meningkatkan penerimaan daerah dari sektor perpajakan,
maka pemerintah juga melakukan amandemen pada peraturan
perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah. Tindakan pemerintah tersebut
merupakan peran serta pemerintah pusat dan dukungan terhadap pelaksanaan
dengan pemerintah daerah menjadi lebih baik. Salah satunya adalah Pajak Bumi
dan Bangunan yang merupakan salah satu pajak pusat yang wewenangnya
dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Pernyataan tersebut diperkuat oleh
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
mengemukakan bahwa, “Pajak Buni dan Bangunan sektor perdesaan dan
perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah”. Pada saat Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dikelola oleh pemerintah Pusat, pemerintah
Kabupaten/Kota hanya mendapatkan 64,8% dari total peneriman daerah. Dengan
dijadikannya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak
daerah, maka penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan
asli daerah (PAD) yang menambah sumber pendapatan asli daerah dan
meningkatkan kemampuan daerah membiayai kebutuhan daerahnya sendiri yang
bersumber dari Pendapatan Asli Daerah. Pajak ini merupakan potensi yang harus
digali dalam menambah penerimaan daerah dikarenakan objek pajak ini adalah
bumi dan bangunan yang jelas sebagian besar masyarakat memilikinya.
Tahun 2013 Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes lewat Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan mulai berperan sebagai instansi yang
berwenang dalam kegiatan pendataan, penilaian, proses penetapan, kegiatan
administrasi hingga pemungutan atau penagihan dan pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan memiliki peluang untuk menambah
Pendapatan Asli Daerah dikarenakan luas wilayah Kabupaten Brebes mencapai
1.662,96 km2 dengan jumlah penduduk 1.764.648 jiwa yang merupakan
(dua) di Jawa Tengah setelah Kabupaten Cilacap (Kabupaten Brebes Dalam
Angka Tahun 2014). Praktiknya hingga saat ini permasalahan tingkat kepatuhan
Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan masih tetap menjadi sebuah permasalahan. Kepatuhan Wajib Pajak di Kabupaten Brebes masih bisa dikatakan struktuatif. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak selalu
realisasi penerimaan mencapai ketetapan pajak pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.2
Ketetapan dan Realisasi Penerimaan PBB Kabupaten Brebes (rupiah) No Tahun Ketetapan PBB Realisasi Penerimaan Sisa Baku 1 2011 21.690.218.422 20.987.005.160 703.213.262 2 2012 23.517.213.878 22.024.207.207 1.493.006.671 3 2013 25.422.463.065 21.847.764.925 3.575.698.140 4 2014 24.517.403.211 22.880.055.315 1.637.347.896 5 2015* 24.361.439.939 20.614.740.467 3.746.699.472 *(Data sampai dengan Bulan November 2015)
Sumber : Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kabupaten Brebes 2015
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan setiap
tahunya tidak selalu mencapai ketetapan PBB dengan sisa baku yang tidak sedikit.
Pada tahun 2011 sisa baku sebesar Rp 703.213.262, tahun 2012 sisa baku sebesar
Rp 1.493.006.671, tahun 2013 sisa baku sebesar Rp 3.575.698.140, tahun 2014
sisa baku sebesar Rp 1.637.347.896 sedangkan tahun 2015 sisa baku sampai
dengan bulan November 2015 sebesar Rp 3.746.699.472. Hal tersebut seharusnya
menjadi perhatian tersendiri bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes untuk
mengoptimalkan penerimaan di sektor pajak karena penerimaan hasil perpajakan
khususnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan memiliki
Pemerintah dalam hal ini telah berupaya untuk mewujudkan kenyamanan
bagi wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan dengan menggunakan sistem yang cukup memudahkan wajib pajak,
tidak seperti pajak lainnya yang secara umum menggunakan Self Assessment
System. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan merupakan pajak
dengan sistem pemungutan Semi Self Assesment System dimana pihak fiskus yang
lebih pro aktif dan kooperatif melakukan perhitungan, penetapan pajak yang
terutang, dan mendistribusikannya kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan berdasarkan Surat Pendaftaran Objek
Pajak (SPOP) yang diisi oleh Wajib Pajak atau verifikasi pihak fiskus di lapangan.
Pemerintah Daerah melalui Kecamatan, Kelurahan/Desa bahkan mendistribusikan
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sampai ketangan Wajib Pajak dan
juga menerima pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
Data yang diperoleh Dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan
Kabupaten Brebes menyatakan persentase pajak dan besarnya pajak yang
diperoleh di wilayah Kecamatan Wanasari selama 5 (lima) Tahun yakni tahun
2011-2015. Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di
Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes tahun 2011-2015 dapat dilihat sebagai
Tabel 1.3
Daftar Penerimaan PBB-P2 Kecamatan Wanasari 2011-2015 Tahun Ketetapan
PBB-P2
Realisasi
Penerimaan Persentase Sisa Baku 2011 1.777.487.394 1.752.573.161 98,6% 24.914.233 2012 1.882.634.389 1.876.785.839 99,69% 5.848.550 2013 2.165.132.326 2.124.674.864 98,13% 40.457.462 2014 2.028.165.438 2.015.666.454 99,38% 12.498.984 2015* 2.026.355.478 832.174.484 40,97% 1.194.180.994 *(Data sampai tanggal 29 Juni 2015)
Sumber : Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kabupaten Brebes, 2015
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan PBB-P2
di Kecamatan Wanasari tiap tahunnya tidak selalu sesuai ketetapan pokok dapat
dikatakan jumlah wajib pajak yang patuh dalam membayar PBB-P2 belum
mencapai 100% dan masih menjadi permasalahan. Dari data tersebut, diperoleh
pada tahun 2011 tingkat persentase realisasi PBB-P2 hanya 98,60% dengan sisa
baku Rp 24.914.233. Pada tahun 2012, tingkat persentase realisasi PBB-P2 hanya
99,69% dengan sisa baku Rp 5.848.550. Tahun 2013 tingkat persentase realisasi
PBB-P2 hanya 98,13% dengan sisa baku Rp 40.457.462. Sedangkan pada tahun
2014 tingkat persentase realisasi PBB-P2 hanya 99,38% dengan sisa baku Rp
12.498.984.
Berdasarkan wawancara awal dengan Bapak H. Casroni, Sie
Pemberdayaan Masyarakat mengatakan bahwa, “salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak membayar Pajak Bumi dan Bangunan
terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dimana SPPT merupakan media untuk
mengetahui kebenaran pajak yang harus dibayar di dalam SPPT”.
Variabel SPPT sangat mungkin terkait terhadap kepatuhan wajib pajak
karena SPPT merupakan media untuk mengetahui kebenaran pajak yang harus
dibayar melalui penetapan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang tertera dalam
SPPT. Menurut Amin (2014) menjelaskan bahwa, “SPPT merupakan surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak
yang terutang kepada wajib pajak dan SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data
objek pajak yang ada pada Direkorat Jenderal Pajak”. Dalam wawancara langsung dengan beberapa wajib pajak memang mengeluhkan tentang data yang tertera
dalam SPPT terkadang kurang akurat/update seperti nama dan alamat wajib pajak,
sering terjadi kekeliruan data salah satunya penagihan dilakukan kepada pemilik
lama padahal objek pajak tersebut telah berganti dan telah dilaporkan sebelumnya.
Hal ini dapat dikatakan ketidaktepatan dalam penyampaian SPPT. Selain itu
beberapa wajib pajak memiliki anggapan bahwa penetapan NJOP yang dilakukan
oleh petugas kurang akurat, hal tersebut sering menjadi masalah karena penilaian
NJOP seringkali mengabaikan kondisi tanah dan bangunan dalam beberapa kasus
penilaian dilakukan secara pukul rata dalam suatu daerah sehingga hal ini
menjadikan wajib pajak merasa keberatan. Dari penjelasan tersebut, variabel
SPPT dijadikan masalah dalam penelitan ini dan menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Penelitian Kessi Rosiana (2009) diperkuat
positif dan siginifkan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam melakukan
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan”.
Faktor lain yang sangat mungkin berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan
wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah Pelayanan Perpajakan. Pelayanan Perpajakan berpengaruh karena
pemberian pelayanan yang baik, maka wajib pajak akan merasa senang dan
merasa dimudahkan serta terbantu dalam penyelesaian kewajiban perpajakannya,
hal ini berlaku untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan.
Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan disampaikan
melalui SPPT yang didistribusikan mulai dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan kemudian disampaikan ke petugas kecamatan, kelurahan/desa baru
diterima oleh wajib pajak, dalam praktiknya salah satu kendala dalam hal
pelayanan SPPT adalah waktu penerimaan SPPT kepada wajib pajak, yang
seharusnya wajib pajak berkeinginan membayar saat panen/awal-awal tahun
namun belum mendapatkan SPPT sehingga harus menundanya padahal SPPT itu
dicetak dan disebarkan pada awal tahun. (Berdasarkan wawancara dengan Bapak
Iwan Setiawan pegawai Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kabupaten
Brebes)
Sejauh ini di kabupaten Brebes pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan hanya dapat dilakukan di Bank Jateng dan kantor
kelurahan/desa, di Kecamatan Wanasari hanya terdapat 1 bank Jateng hal ini agak
merepotkan bagi wajib pajak yang jaraknya jauh dari kantor kecamatan karena
kantor kelurahan/desa seringkali kurang maksimal yaitu pada kenyataannya saat
wajib pajak membayar petugas pajak/pamong tidak selalu ada ditempat sehingga
wajib pajak tidak cukup leluasa dalam melakukan pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan Pedesaan dan Perkotaan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari
Christian Danang (2013) menyimpulkan bahwa, “pelayanan perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak”.
Faktor lain yang juga mempengaruhi kepatuhan dalam membayar pajak
adalah kesadaran wajib pajak. Faktor kesadaran wajib pajak sangat mungkin
dikaitkan dengan kepatuhan membayar pajak. Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Johan Yusnindar dkk (2014) yang menyebutkan bahwa, ”variabel kesadaran wajib pajak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak”.
Mengenai kesadaran wajib pajak, Menteri Keuangan mengatakan bahwa,
“Masalah perpajakan kita bukan masalah di pertumbuhan ekonomi, logikanya
kalau ekonomi tumbuh, penerimaan pajak harus tumbuh lebih tinggi namun
kenyataannya pertumbuhan di bawah normal dan produk domestik bruto juga
turun. Rasio pajak yang beberapa tahun lalu 12%, kini hanya 11%. Artinya
masalah pepajakan kita bukan masalah di pertumbuhan ekonomi melainkan
tingkat kesadaran dan kepatuhan yang rendah, dari 250 juta penduduk Indonesia
hanya 900.000 yang Wajib Pajak orang pribadi dan yang mempunyai nomor
pokok wajib pajak (NPWP) hanya 10% berkisar 26-27 juta orang’’ (Dalam Kompas Edisi 2 Mei 2015, Hal 17).
Kesadaran wajib pajak akan perpajakan adalah rasa yang timbul dari
adanya unsur paksaan. Kesadaran membayar pajak dapat diartikan juga sebagai
suatu bentuk sikap moral yang memberikan sebuah kontribusi kepada negara
untuk menunjang pembangunan negara dan berusaha untuk mentaati semua
peraturan yang telah ditetapkan oleh negara serta dapat dipaksakan kepada wajib
pajak. Dalam wawancara langusng kepada wajib pajak, penulis menemukan wajib
pajak yang memiliki kesadaran tinggi tidak mengangap bahwa membayar pajak
adalah suatu beban namun mereka menganggap hal ini adalah suatu kewajiban
dan tanggung jawab mereka sebagai Warga Negara sehingga mereka tidak
keberatan untuk membayar pajaknya dengan sukarela. Hal ini terjadi karena
mereka memilki pandangan bahwa membayar pajak merupakan salah satu cara
untuk berpartisipasi dalam pembangunan melalui pajak sehingga mendukung
kebijakan pajak oleh pemerintah namun mereka juga memiliki harapan bahwa
pajak yang mereka bayar harus dipertanggungjawabkan dengan pengelolaan yang
baik. Penulis dalam wawancara langsung beberapa wajib pajak juga menemukan
wajib pajak yang beranggapan bahwa hasil pemunggutan pajak tersebut tidak
langsung dinikmati oleh para wajib pajak. Masyarakat tidak pernah tahu wujud
konkret imbalan dari uang yang dikeluarkan untuk membayar pajak.
Dari pemaparan diatas, maka penulis mempunyai keinginan untuk meneliti
lebih lanjut tentang “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM MEMBAYAR PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DI KECAMATAN
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini yang dapat diidentifikasi dari surat
pemberitahuan pajak terutang (SPPT), pelayanan perpajakan dan kesadaran wajib
pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah sebagai berikut:
1. Apakah SPPT berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan?
2. Apakah pelayanan perpajakan berpengaruh kepatuhan wajib pajak dalam
membayar Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan?
3. Apakah kesadaran Wajib Pajak berpengaruh kepatuhan wajib pajak dalam
membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan?
4. Apakah SPPT, pelayanan perpajakan, dan kesadaran wajib pajak secara
simultan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan yang ingin diperoleh dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis:
1. Pengaruh SPPT terhadap kepatuhan wajib pajak membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
2. Pengaruh pelayanan perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak membayar
3. Pengaruh kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam
membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
4. Pengaruh SPPT, pelayanan perpajakan dan kesadaran wajib pajak secara
simultan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh pada penelitian ini adalah:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dalam penelitian ini yaitu dapat menambah ilmu
pengetahuan tentang pengaruh dari SPPT, pelayanan perpajakan dan kesadaran
wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu:
1. Dapat memberikan masukan atau sumbangan pemikiran dan informasi yang
bermanfaat dan bersifat positif sebagai alat bantu dalam peningkatan
kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan.
2. Sebagai landasan bagi peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan masalah
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Teori Atribusi
Teori atribusi menyatakan bahwa bila individu-individu mengamati
perilaku seseorang, mereka mencoba untuk menentukan apakah itu ditimbulkan
secara internal atau eksternal (Robbins, 1996 dalam Riana, 2014:18). Menurut
Harold Kelley, (1972-1973) dalam Tristiana, (2015:13) mengemukakan bahwa:
“Teori Atribusi memandang individu sebagai psikologi amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya. Teori atribusi mencoba menemukan apa yang menyebabkan apa, atau apa yang mendorong siapa melakukan apa. Respon yang kita berikan pada suatu peristiwa bergantung pada interprestasi kita tentang peristiwa itu”.
Perilaku yang disebabkan secara internal adalah perilaku yang diyakini
berada di bawah kendali pribadi individu itu sendiri atau berasal dari faktor
internal seperti ciri kepribadian, kesadaran, dan kemampuan, sedangkan perilaku
yang disebabkan secara eksternal adalah perilaku yang disebabkan secara
eksternal adalah perilaku yang dipengaruhi dari luar, artinya individu akan
terpaksa berperilaku karena situasi.
Kesediaan wajib pajak dalam membayar pajak terkait dengan sikap wajib
pajak dalam membuat penilaian terhadap pajak itu sendiri. Persepsi seseorang
untuk membuat penilaian mengenai orang lain sangat dipengaruhi oleh kondisi
internal maupun eksternal orang tersebut. Teori atribusi sangat relevan untuk
Relevansi teori atribusi dengan penelitian ini adalah bahwa seseorang
dalam menentukan perilaku patuh atau tidak patuh untuk membayar pajak
dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang
mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak adalah kesadaran
wajib pajak. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan wajib
pajak dalam membayar pajak adalah SPPT dan pelayanan perpajakan.
2.2 Pajak
2.2.1 Pengertian Pajak
Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam Mardiasmo (2011:01)
mendefinisikan bahwa:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Menurut Mardiasmo (2011:01) dari defenisi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaanya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan
membiayai semua kegiatan pemerintahan maupun yang dipergunakan untuk
kepentingan pembangunan.
2.2.2 Fungsi Pajak
Fungsi pajak berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dari pemungutan
pajak, setidaknya ada dua fungsi pajak, yaitu :
1) Fungsi penerimaan (Budgeter)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan
pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh, dimasukannya pajak dalam
APBN sebagai penerimaan dalam negeri. Sebagai fungsi penerimaan, pajak
merupakan sumber penerimaan pemerintah yang dominan karena persentase
penerimaan dari sektor ini sangat besar jika dibandingkan dengan penerimaan dari
sektor-sektor lainnya.
2) Fungsi mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai fungsi mengatur, pajak bukan saja
merupakan alat untuk mengurangi kesenjangan sosial tetapi juga mengarah pada
pemerataan dalam masyarakat, karena secara tidak langsung pajak merupakan
pembebanan pada barang publik.
2.2.3 Syarat Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada
negara yang hasilnya juga akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh sebab itu,
jenis pajak apa saja yang akan dipungut, serta berapa besarnya pemungutan pajak
(Mardiasmo, 2002 dalam Ernawati, 2014).
Menurut Mardiasmo (2011:2), agar pemungutan pajak tidak menimbulkan
hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, Undang-Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-perundangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merat, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Adil dalam pelaksanaanya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (Syarat Yuridis) Pajak diatur dalam UU Pajak pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan baik bagi negara maupun warganya. 3. Tidak menganggu perekonomian (Syarat Ekonomi)
Pemungutan tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
2.2.4 Teori Pemungutan Pajak
Dalam pemungutan pajak, menurut Mardiasmo (2011:3) terdapat beberapa
teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara
untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah :
1. Teori Asuransi
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu :
a. Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
b. Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
2.2.5 Prinsip Pemungutan Pajak
Adam Smith (1723-1790) dalam Siti Kurnia Rahayu (2013:63),
memberikan pedoman bagi peraturan perpajakan, di mana pemungut pajak dalam
memungut pajaknya harus membuat peraturan dan mengikuti peraturan tersebut
yang memenuhi rasa keadilan, yaitu dengan memenuhi prinsip Certainty,
Equality, Convenience, dan Economic (Efisiensi). Keempat prinsip tersebut
disebut sebagai “The four cannons of Adam Smith” atau sering juga disebut “The
four Maxims” dengan uraian sebagai berikut:
1. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus jelas (certain), dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam prinsip certainty ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.
perlindungan pemerintah. Dalam prinsip ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.
3. Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most
likely to be convenient for the contributor to pay it. Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (convenience of payment) menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
4. Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the
pockets of the people as little as possible over and above what it brings into
to public treasury of the state. Prinsip ini menetapkan bahwa pemungutan
pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya, jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya (R. Santoso Brotodihardjo).
Dari keempat prinsip yang dikemukakan oleh Adam smith, Siti Kurnia
Rahayu (2013) menyimpulkan masing-masing prinsip tersebut sebagai berikut:
1. Prinsip Keadilan dan Pemerataan (Equality).
Equality mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Equality atau kesamaan dalam sistem perpajakan lazimnya disebut nondiscrimination sehingga orang asing dan Warga Negara Indonesia yang berada dalam keadaan yang sama akan diperlakukan sama dan dikenakan pajak yang sama besar.
2. Prinsip Kepastian Hukum (Certainty)
Dalam prinsip pemungutan pajak yang dikemukan oleh Adam Smith, kaidah
certainty dimaksudkan supaya pajak yang harus dibayar seseorang harus
terang dan pasti tidak dapat dimulur-mulur atau ditawar-tawar. 3. Prinsip Convenience
Prinsip ini dimaksudkan supaya dalam memungut pajak, pemerintah hendaknya memperhatikan saat-saat yang paling baik bagi si pembayar pajak. 4. Prinsip Efisiensi Economic
2.2.6 Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2013:7), sistem pemungutan pajak antara lain:
1. Official Assesment System
Suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak melalui ditjen pajak.
Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus b. Wajib Pajak bersifat pasif
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus
2. Self Assesment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri
b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung , menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi
3. With Holding System
Suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya: wewenang mentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.2.7 Jenis Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:5-6), terdapat berbagai macam jenis pajak yang
dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu penggolongan menurut golongannya,
menurut sifatnya, dan menurut lembaga pemungutnya.
a. Menurut golongannya
1. Pajak langsung, adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh; Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan
2. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga.
Contoh; Pajak Pertambahan Nilai b. Menurut sifatnya, terdiri dari:
Contoh: Pajak Penghasilan
2. Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
c. Menurut lembaga pemungutannya, terdiri dari:
1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusatdan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Bea Materai.
2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah terdiri atas:
Pajak Propinsi antara lain, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Pajak Kabupaten/Kota antara lain, Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.
2.3 Pajak Bumi Dan Bangunan
2.3.1 Pengertian Pajak Bumi Dan Bangunan
Definisi Bumi dan Bangunan menurut Mardiasmo (2011:331-223),
mengemukakan bahwa:
“Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah jalan lingkungan dalam satu kesatuan kompleks bangunan, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal, dermaga, taman mewah, tempat penampungan minyak, fasilitas lain yang memberikan manfaat”.
Menurut Suandy dalam Asy Shidiq (2011), “Pajak Bumi dan Bangunan
adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh
keadaan objek yaitu bumi, tanah dan tau bangunan”. Pengertian Pajak Bumi dan
Bangunan menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 adalah pajak atas bumi
atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan dan pertambangan.
2.3.2 Asas Pajak Bumi dan Bangunan
Menurut Mardiasmo (2011:331), asas Pajak Bumi dan Bangunan adalah:
a. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
b. Adanya kepastian hukum
c. Mudah dimengerti dan adil
d. Menghindari pajak berganda
2.3.3 Subjek Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:336), berikut yang menjadi subjek pajak yaitu :
1. Yang menjadi Subjek pajak dalam PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
2. Subjek pajak yang dimaksud dalam no. 1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. 1 sebagai wajib pajak. Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan subjek wajib pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas wajib pajaknya.
4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no. 3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud.
5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam no. 4 disetujui, maka Direktorat Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaiana dalam no. 3 dalam jangak waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.
6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Dirjen Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya. 7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan
sebagaimana no. 4 Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusana maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.
ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.
2.3.4 Objek Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:333) yang menjadi objek pajak adalah bumi
atau bangunan. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan menurut
nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan
penghitungan pajak yang terutang.
Dalam menentukan klasifikasi bumi atau tanah diperhatikan faktor-faktor
sebagai berikut:
a. Letak b. Peruntukan c. Pemanfaatan
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor
sebagai berikut:
a. Bahan yang digunakan b. Rekayasa
c. Letak
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain
Menurut Mardiasmo (2011:333-334), objek Pajak yang tidak dikenakan
Pajak Bumi dan Banguan adalah objek pajak yang:
a. Digunakan semata-semata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain:
1). Di bidang Ibadah, contoh: masjid, gereja, vihara 2). Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit
3). Dibidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren 4). Di bidang sosial, contoh: panti asuhan
5). Di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan atau tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
d. Digunakan perwakilan diplomatik, konsulat berdasaarkan asas perlakuan timbal balik.
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
2.3.5 Dasar Pengenaan Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:337), dasar pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun sekali oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat
Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan
asas self assement. Yang dimaksud (assessment value) adalah nilai jual yang
dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu
dari nilai jual sebenarnya. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan
serendah-rendahnya 20% dan setingi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objak Pajak
(NJOP).
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi
jual beli. Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui:
a. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah
pendekatan/metode penentuan jual suatu objek pajak dengan cara
membandingkannya dengan objek lain yang sejenis, yang letaknya
b. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual
suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang
dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
c. Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penetuan nilai jual suatu
objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani
wajib pajak di daerah pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan,
khususnya bagi Pemerintah Daerah, maka telah ditetapkan besarnya persentase
untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu:
1. Sebesar 40% dari NJOP untuk:
a. Objek Pajak perkebunan
b. Objek Pajak Kehutanan
c. Objek Pajak lainnya, yang Wajib Pajaknya perorangan dengan NJOP atas
bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari 1 Miliar rupiah.
2. Sebesar 20% dari NJOP untuk:
b. Objek Pajak Pertambangan
c. Objek Pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp 1.000.000.000,00
2.3.6 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) adalah batas NJOP
atas bumi dan atau bangunan yang tidak kena pajak. Berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 67/PMK.03/2011 Tentang
1 Januari 2012 pada pasal 2 ayat (2) dijelaskan NJOPTKP untuk setiap Wajib
Pajak ditetapkan paling tinggi sebesar Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah) (Isnanto,2014:11).
Menurut undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRB),
besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tdak Kena Pajak ditetapkan paling rendah
sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak dan
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
2.3.7 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikenakan atas Objek Pajak
adalah tarif tunggal yaitu sebesar 0,5%. Dalam Undang-undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3%. Tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan
dan perkotaan ditetapkan dengan peraturan daerah.
2.3.8 Surat Pemberitahuan Obejk Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Dan Surat Keterangan Pajak Daerah (SKPD) Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya
dengan mengisi SPOP. Wajib Pajak akan diberikan SPOP diisi dan dikembalikan
kepada Kepala Daerah. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat
waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada Kepala Daerah yang wilayah
kerjanya meliputi objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
tanggal diterimanya SPOP oleh subjek Pajak. Berdasarkan SPOP, Kepala Daerah
menerbitkan SPPT. Kepala Daerah dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal
a) SPOP tidak disampaikan dan dan setelah wajib pajak ditegur secara tertulis
oleh Kepala Daerah sebagaimana dalam Surat Teguran.
b) Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, ternyata jumlah pajak
yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP
yang disampaikan oleh wajib pajak. (UU No 28 Pasal 83 dan 84 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).
2.4 Kepatuhan Wajib Pajak 2.4.1 Pengertian Kepatuhan
“Kepatuhan secara umum adalah tunduk atau patuh pada suatu aturan yang
telah ditetapkan. Kepatuhan adalah motivasi seseorang, kelompok, atau organisasi
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan”, (Dewinta, 2012 dalam Widiastuti 2014). Sedangkan menurut Safri Nurmantu
dalam Siti Kurnia Rahayu (2013:138), “Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua kewajiban
perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya”.
Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa Kepatuhan
perpajakan merupakan ketaatan, tunduk dan patuh serta melaksanakan ketentuan
perpajakan. Wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi
serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan daan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu
negara. Wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan patuh serta tidak
Nasucha (Seftiawan, 2009 dalam Danang, 2013), “Kepatuhan Wajib Pajak dapat didefinisikan dari kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan
untuk menyetor kembali surat pemberitahuan, kepatuhan dalam perhitungan dan
pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan”.
2.4.2 Jenis-Jenis Kepatuhan
Menurut Safri Nurmantu dalam Siti Kurnia Rahayu (2013:138), ada dua
macam kepatuhan yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Selanjutnya
kepatuhan formal dan kepatuhan material diuraikan sebagai berikut:
a. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan.
Dalam hal ini kepatuhan formal meliputi:
a. Wajib pajak membayar dengan tepat waktu
b. Wajib pajak membayar dengan tepat jumlah
c. Wajib pajak tidak memiliki tanggungan pajak bumi dan bangunan
b. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara
substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan,
yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan.
Dalam hal ini, penjelasan mengenai kepatuhan material adalah:
a. Wajib pajak bersedia melaporkan informasi tentang pajak apabila
petugas pajak membutuhkan informasi
b. Wajib pajak bersikap kooperatif (tidak menyusahkan) petugas pajak
c. Wajib pajak berkeyakinan bahwa melaksanakan kewajiban perpajakan
merupakan tindakan sebagai warga Negara yang baik.
2.4.3 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak
Merujuk pada kriteria wajib pajak patuh menurut keputusan Menteri
Keuangan No.544/KMK.04/2000 dalam Siti Kurnia Rahayu (2013:139) bahwa
kriteria kepatuhan wajib pajak adalah:
a. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terakhir
b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
d. Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk jenis pajak yang terutang paling banyak 5%. e. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh
akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba/rugi fiskal.
Kepatuhan wajib pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak (Siti Kurnia
Rahayu 2013) sebagai “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan
kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana:
i.Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
ii.Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas iii.Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar iv.Membayar pajak terutang tepat pada waktunya
2.5 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
“Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan
DPJ untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada wajib pajak. SPPT