• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DIBANDINGKAN DENGAN PEMBERIAN MUPIROSIN PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DIBANDINGKAN DENGAN PEMBERIAN MUPIROSIN PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

(Skripsi)

Oleh ARDIANSYAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

HONEY COMPARED WITH GIVING MUPIROSIN IN WHITE MOUSE (RATTUS NORVEGICUS)

By

ARDIANSYAH

Using honey as good medicine is very popular to be used by society in this time. Several enzymes that detectable in honey arekatalase. With katalase enzyme give honey antioxidant. Nutrition on honey increases substrate at local environment so that speeds up process epitelisasi. The aimed of this research was to prove whether found description difference of histopathology skin mouse after giving honey during 14 days.

Experimental research used Post Test Only Controlled Group Design. Sample total 18 white mousses divided as random be 3 groups. Control group (K1) wasonly cleaned with aquades while group K2 (honey), K3 (kupirosin) was given by honey and mupirosin as topical as long as 14 days. Target was singe size changed and growth of epitelisasi in that mouse skin.

Research result showed that average ratio of skin covered as histopathology in treatment group K1, K2, K3 successively was 2.90±1.21, 4.26±0.63 and 3.93±0.69 with value P=0,000 in Kruskal-Wallis test. In analyses of Mann-Whitneytest value P in each group are: between K1 and K2 p=0.000 then K1 and K3 P=0.001, for group test K2 and K3 P=0.222. In clinical result test got average 50.70±15.28 in K1, 94.48±6.07 in K2 and 74.45±7.05 in K3. In ANOVA test got P=0.000 and continued with post hoct lsd test with value P=0.000 in K1 towards K2 and K3, while P=0.001 in K1 and K2 group.

The conclusions of this research are found difference in level covered singe clinically and histopathology between giving honey as topical compared with mupirosin in mouse.

(3)

PEMBERIAN MADU DIBANDINGKAN DENGAN PEMBERIAN MUPIROSIN PADA TIKUS PUTIH(Rattus norvegicus)

Oleh ARDIANSYAH

Penggunaan madu sebagai obat berkhasiat saat ini yang sangat populer digunakan oleh masyarakat. Beberapa enzim yang dapat ditemukan dalam madu salah satunya adalah katalase. Dengan adanya enzim katalase ini memberikan madu kandungan antioksidan. Nutrisi yang terdapat pada madu meningkatkan substrat di lingkungan setempat sehingga mempercepat proses epitelisasi. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah terdapat perbedaan gambaran histopatologi kulit tikus setelah pemberian madu selama 14 hari.

Penelitian eksperimental denganPost Test Only Controlled Group Design. Jumlah sampel 18 ekor tikus putih dibagi secara acak menjadi 3 kelompok. Kelompok kontrol (K1) hanya dibersihkan dengan aquades sedangkan kelompok K2 ( madu), K3 (kupirosin) diberi madu dan mupirosin secara topikal selama 14 hari. Sasaran yang akan diamati adalah perubahan ukuran luka bakar dan pertumbuhan epitelisasi pada kulit tikus tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata rasio kesembuhan kulit secara histopatologis pada kelompok perlakuan K1, K2, K3 secara berturut-turut adalah 2.90±1.21, 4.26±0.63 dan 3.93±0.69 dengan nilai P=0,000 pada uji Kruskal-Wallis. Pada analisis Mann-Whitney test nilai p pada tiap kelompok adalah : antara K1 dan K2 p=0.000 kemudian K1 dan K3 p=0.001, untuk uji kelompok K2 dan K3 p=0.222. Pada hasil uji klinis didapat rata-rata 50.70±15.28 pada K1, 94.48±6.07 pada K2 dan 74.45±7.05 pada K3. Pada uji ANOVA didapatkan p=0.000 dan dilanjutkan dengan uji post hoct lsd dengan nilai p=0.000 pada K1 terhadap K2 dan K3, sedangkan p=0.001 pada kelompok K1 dan K2

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna pada tingkat kesembuhan luka bakar secara klinis dan histopatologis antara pemberian madu secara topikal dibandingkan dengan mupirosin pada tikus.

(4)

PEMBERIAN MUPIROSIN SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH

Nama Mahasiswa : Ardiansyah

Nomor Pokok Mahasiswa : 0818011005

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

dr. Susianti, M. Sc dr. Evi Kurniawaty, M. Sc

NIP. 197808052005012003 NIP. 197601202003122001

2. Dekan Fakultas Kedokteran

(5)

1. Tim Penguji

Ketua :

dr. Susianti , M. Sc

Sekretaris :

dr. Evi Kurniawaty, M. Sc

Penguji

Bukan Pembimbing :

dr. Muhartono,M. Kes., Sp.PA

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed

NIP. 195704241987031001

(6)

Penulis dilahirkan di Rema pada tanggal 22 September 1990, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, dari Bapak H. Daudsyah dan Ibu Hj. Asmaidah.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD N Rema Kecamatan Kuta Panjang pada tahun 2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Pesantren Modern Darul Iman pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA N Seribu Bukit Gayo Lues Provinsi Aceh pada tahun 2008.

(7)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya dan kita selaku umatnya sampai akhir zaman.

Skripsi berjudul ” Perbandingan Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Antara Pemberian Madu dan Pemberian Mupirosin Secara Topikal Pada Tikus Putih ” ini disusun merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada semua pihak yang telah berperan atas dorongan, bantuan, saran, kritik dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan antara lain kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Hi. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

(8)

skripsi ini selesai.

4. dr. Susianti, M. Sc selaku Pembimbing Pertama atas semua bantuan, saran, bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

5. dr. Evi Kurniawaty, M. Sc selaku Pembimbing Kedua atas semua bantuan, saran, bimbingan, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

6. dr. Muhartono, M. Kes., Sp.PA selaku pembahas yang telah memberikan banyak masukan dan nasehat selama penyelesaian skripsi ini.

7. dr. Exsa Hadibrata selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Staff Administrasi PSPD Unila, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.

9. Ronalda, Arif MZ terima kasih atas kesempatan berharga yang kalian berikan untuk menjadi teman sepenelitian, untuk semua bantuan dan masukan.

10. Teman-teman Chairul, Reza, Akum, Emir, Rico, Bais, Malik, Rara, Martya, Cwi, Cici, Aryati, Adi, Doni, Mambo terima kasih atas keakraban yang telah kalian berikan.

(9)

Fikar, Saniman terima kasih atas cinta, persaudaraan, pengalaman dan dukungan.

13. Sahabat-sahabatku di Gayo Lues Pikal, Ipul, Doni, Bahar terima kasih atas dukungan dan do’a yang telah diberikan.

14. All 2008 Crew, teman-teman seperjuangan selama menuntut ilmu di FK Unila..SATU KEDOKTERAN SATU!!

15. Seluruh Civitas Akademika Program Studi Pendidikan Dokter yang tidak dapat disebutkan satu–persatu.

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Demikianlah, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Juli 2012

(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Luka merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter, jenis yang berat memperlihatkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibanding dengan cedera oleh sebab lain, biaya yang dibutuhkan dalam penanganan luka cukup tinggi. Jenis luka diantaranya adalah luka bakar, penyebab luka bakar selain terbakar api langsung atau tidak langsung, juga pejanan suhu yang tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tak langsung dari api misalnya tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga (Sjamsuhidajat, 2007).

(16)

menyembuhkan berbagai jenis luka, seperti luka bakar, luka paska-operasi, dan luka infeksi (Sjamsuhidajat, 2007).

Sejak puluhan ribu tahun yang lalu, madu banyak digunakan untuk mengobati beragam jenis penyakit, antara lain penyakit lambung dan batuk. Tidak hanya itu, banyak juga penelitian yang mengaitkan manfaat madu dengan berbagai terapi topikal untuk penyembuhan luka, seperti luka bakar, infeksi, luka paska-operasi, dan luka ulkus, baik luka ulkus kaki, dekubitus, maupun ulkus kaki diabetes. Selain itu manfaat dari madu, antara lain menyebutkan bahwa madu memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, serta mampu menyembuhkan berbagai luka dan penyakit infeksi yang serius (The National Honey Board, 2002).

Selain madu yang digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk penyembuhan luka bakar, secara farmakologi biasanya digunakan antibiotik untuk penyembuhan luka bakar khususnya untuk penyebaran infeksi. Antibiotik yang biasa dipakai adalah mupirosin.

Mupirosin adalah antibiotik Gram-positif yang bersifat bakteriostatis pada jumlah kecil dan menjadi bakterisidal apabila diberikan dalam jumlah besar. Mupirosin bekerja dengan menghambat sintesis protein dan RNA, serta merusak dinding sel bakteri. Selain itu mupirosin topikal diindikasikan untuk berbagai infeksi kulit yang disebabkan oleh S.aureus

(17)

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa madu dan mupirosin dapat digunakan dalam proses penyembuhan luka bakar. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar dengan pemberian madu dan mupirosin.

B. RUMUSAN MASALAH

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas maka penulis dapat merumusan masalah yaitu bagaimana perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar antara pemberian madu dengan pemberian mupirosin pada tikus putih (Rattus norvegicus) ?

C. TUJUAN

1. Tujuan umum

Mengetahui perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar antara pemberian madu dengan pemberian mupirosin pada tikus putih (Rattus norvegicus).

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui pengaruh madu terhadap proses penyembuhan luka bakar pada tikus putih (Rattus norvegicus).

(18)

D. MANFAAT

1. Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar antara pemberian madu dengan pemberian mupirosin

2. Menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan penulis terutama tentang perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar antara pemberian madu dengan pemberian mupirosin

(19)

E. KERANGKA TEORI

Madu mengandung beberapa enzim seperti diastase, invertase, glukosa oksidase, dan katalase. Selain itu juga mengandung vitamin A, betakaroten, vitamin B kompleks lengkap, vitamin C,D,E dan K. Kandungan yang terdapat dalam madu dapat bersifat antibakteri, antiseptik menjaga luka dan mempercepat proses penyembuhan luka bakar. Sifat antibakteri madu membantu mengatasi infeksi pada perlukaan dan anti inflamasinya sehingga dapat mengurangi rasa nyeri serta sirkulasi yang mempengaruhi proses penyembuhan dalam merangsang pertumbuhan jaringan baru sehingga mempercepat penyembuhan luka dan mengurangi jaringan parut atau bekas luka pada kulit (Suranto dkk., 2003).

(20)

F. KERANGKA KONSEP

Gambar 2.Kerangka konsep penelitian

G. HIPOTESIS

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan tingkat kesembuhan luka bakar antara pemberian madu dengan pemberian mupirosin pada tikus putih (Rattus norvegicus).

Mupirosin Topikal Kontrol

Madu Tikus dengan luka

bakar

• Gambaran klinis kulit tikus

• Gambaran

(21)

7 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MADU

1. Definisi Madu

Madu adalah cairan kental yang dihasilkan oleh lebah dari nektar bunga. Madu juga merupakan suatu campuran gula yang dibuat oleh lebah dari larutan gula alami hasil dari bunga yang disebut nektar. Madu hasil dari lebah yang ditampung dengan metode pengambilan moderen berupa cairan jernih dan bebas dari benda asing (Molan, 1999).

2. Jenis Madu

Madu digolongkan berdasarkan bunga sumber nektarnya yaitu :

a. Madu monoflora merupakan madu yang sumber nektarnya didominasi oleh satu jenis tanaman, contohnya madu kapuk, madu randu, madu kelengkeng, madu karet, madu jeruk, madu kopi dan madu kaliandra.

(22)

mengambil dari tanaman lain apabila belum mencukupi (Molan, 1999).

3. Kandungan madu murni terdiri dari:

Tabel 1. Kandungan madu dari Indonesia (Sihombing, 1994) Komposisi Rataan (meq) Kisaran nilai (meq)

Air 22,9 16,6-37

Fruktosa 29,2 12,2-60,7

Glukosa 18,6 6,6-29,3

Sukrosa 13,4 1,4-53

Asam bebas 41,31 10,33-62,21

pH 3,92 3,60-5,34

Madu juga mengandung enzim – enzim seperti diastase, glukosa oksidase, katalase serta vitamin A, betakaroten, vitamin B kompleks lengkap, vitamin C, D, E dan K. Selain itu juga dilengkapi mineral berupa kalium besi, magnesium, fosfor, tembaga, mangan, natrium dan kalsium. Bahkan terdapat hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh glukosa oksidase dan inhibin (Hamad, 2007).

4. Manfaat madu a. Antimikroba

(23)

b. Kemampuan penyembuh luka

Madu memiliki kemampuan untuk membersihkan luka, mengabsorbsi cairan edema di sekitar luka dan menambah nutrisi. c. Luka bakar

Membangkitkan reaksi pencegahan untuk menyembuhkan luka bakar.

d. Antioksidan

Kandungan plasma darah semakin bertambah untuk melawan oksidasi dengan kadar yang lebih tinggi setelah minum madu. Dan terdapat juga fenolik didalam madu yang sangat efektif untuk ketahanan tubuh melawan stres (Bangroo dkk, 2005; Khatri dkk, 2005).

B. Mekanisme aktivitas antimikroba pada madu 1. Hiperosmolar

(24)

2. Higroskopis

Madu juga bersifat higroskopis sehingga memungkinkan terjadinya dehidrasi mikroba yang mengakibatkan keadaan inaktif bahkan tanpa air mikroba tidak dapat bereplikasi atau bertahan hidup.

3. Kadar pH rendah

Dimana suatu kondisi lingkungan yang tidak menyokong untuk pertumbuhan mikroba.

4. Inhibin

Bahan termolabil ini diklaim oleh beberapa peneliti sebagai bahan antimikroba yang bertanggung jawab menghambat pertumbuhan organisme baik gram positif maupun gram negatif. Faktor inhibin ini kemudian menjadi efektif karena hidrogen peroksida.

5. Hidrogen Peroksida

Aktivitas antimikroba dari madu sebagian besar disebabkan oleh adanya hidrogen peroksida yang dihasilkan secara enzimatik pada madu. Kandungan hidrogen peroksida ini menghasilkan radikal bebas hidroksil dengan efek antimikroba.

6. Antimikroba

(25)

C. Berbagai Penelitian Terkait Madu untuk Penyembuhan Luka

Kandungan fisik dan kimia dalam madu seperti keasaman dan pengaruh osmotik, berperan besar dalam membunuh bakteri (Dixon, 2003). Madu memiliki sifat antibakteri yang membantu mengatasi infeksi pada luka dan anti inflamasinya dapat mengurangi nyeri serta meningkatkan sirkulasi yang berpengaruh pada proses penyembuhan (Ahmad, 2008).

DalamAnn Plastic Surgery edisi Februari 2003 dilakukan sebuah uji coba terhadap 60 orang yang terkena luka dengan berbagai jenis tipe luka yang menegaskan penggunaan madu efektif dalam kecepatan penyembuhan luka dan tidak menimbulkan efek samping (Syafaka, 2008). Penggunaan madu dalam proses penyembuhan luka lebih cepat dibandingkan dengan terapi farmakologis, terbukti dalam waktu kurang dari dua minggu jaringan granulasi tumbuh pada luka (JOFP, 2005).

Madu memiliki kandungan vitamin, asam, mineral, dan enzim yang sangat berguna bagi tubuh sebagai pengobatan tradisional, peningkatan antibodi, dan penghambat pertumbuhan sel kanker atau tumor. Madu mengandung asam amino yang berkaitan dengan pembuatan protein tubuh asam amino non essensial dan mengandung asam amino essensial seperti lisin, histadin dan triptofan (Wati, 2004).

(26)

yang mempengaruhi proses penyembuhan dalam merangsang pertumbuhan jaringan baru sehingga mempercepat penyembuhan luka dan mengurangi jaringan parut atau bekas luka pada kulit (Saptorini, 2003).

Fakta nutrisional madu rata-rata tersusun atas 17,1% air, 82,4% karbohidrat total, 0,5% protein, asam amino, vitamin dan mineral. Sebagai agen penyembuh luka, madu memiliki empat karakteristik yaitu tinggi kandungan gula, kadar kelembaban rendah, asam glukonik (lingkungan asam pH 3,2-4,5) dan hidrogen peroksida. Kadar gula yang tinggi dan kadar kelembaban yang rendah akan membuat madu memiliki osmolaritas yang tinggi dan akan menghambat pertumbuhan bakteri (Khan et al., 2007).

Penyembuhan luka yang dirawat dengan madu lebih cepat empat kali dari pada waktu penyembuhan luka yang dirawat dengan obat lain (Yapucu,

2007). Sebagai lapisan pada luka, madu menyediakan lingkungan lembab, membantu pembersihan infeksi, menghilangkan bau busuk, mengurangi inflamasi, edema, eksudasi, dan meningkatkan proses penyembuhan oleh stimulasi angiogenesis, granulasi, dan epitelisasi sehingga tidak diperlukan pencakokan kulit dan memberikan hasil kosmetik yang sangat baik (Molan, 2001).

(27)

setempat mempercepat proses epitelisasi dan angiogenesis (Bangroo et al., 2005).

D. Anatomi Kulit

1. Epidermis(tebal 0,05 mm, pada telapak tangan/ kaki 1,5 mm) terdiri : a. Berlapis, berkeratin, dan avascular.

b. Stratum korneum, lapisan keratin yang hampir aseluler. c. Stratum lusidum, lapisan sel-sel mati tanpa inti sel.

d. Stratum granulosum, sitoplasma mengandung granula yang akan berkontribusi dalam pembentukan keratin.

e. Stratum spinosum, desmosom menghubungkan sel-selnya sehingga tampak seperti duri.

f. Stratum germinativum (lapisan basal).

1. Hemidesmosom menghubungkan sel-sel basal dengan membran basal.

2. Melanosit menghasilkan melanin yang akan difagosit oleh keratinosit sekitarnya.

2. Dermis(tebalnya sekitar 3 mm) terdiri dari:

a. Papilla dermis, lapisan tipis superfisial yang terdiri atas jaringan vaskuler longgar.

b. Retikular dermis, lapisan tipis yang lebih dalam, vaskuler mulai berkurang.

(28)

d. Terdapat kelenjar keringat, folikel rambut, kelenjar sebasea, ujung saraf, dan pembuluh darah.

e. Pembuluh darah berasal dari arteri perforator keluar dari otot menembus fasia atau langsung sebagai pembuluh arteri kulit direkta.

3. Adneksa

Terdiri dari kelenjar sebasea, kelenjar keringat eksokrin dan apokrin. Merupakan sumber epitelisasi pada luka dengan kehilangan sebagian ketebalan kulit.

Gambar 3.Struktur kulit dan jaringan subkutan (Moore,2002)

E. Fase Penyembuhan Luka 1. Fase inflamasi

(29)

b. Diawali dengan vasokontriksi untuk mencapai hemostasis (efek epinefrin dan tromboksan).

c. Trombus terbentuk dan rangkaian pembentukan darah diaktifkan, sehingga terjadi deposisi fibrin.

d. Keping darah melepaskanplatelet-derived growth factor(PDGF) dan

transforming growth factor β (TGF-β) yang menarik sel-sel inflamasi, terutama makrofag.

e. Setelah hemostasis tercapai, terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah.

f. Jumlah neutrofil memuncak pada 24 jam dan membantu debridement. g. Monosit memasuki luka, menjadi makrofag, dan jumlahnya

memuncak dalam 2-3 hari.

h. Makrofag menghasilkan PDGF dan TGF-β yang akan menarik fibroblast dan merangsang pembentukan kolagen.

2. Fase Proliferasi

a. Dimulai pada hari ke-3, setelah fibroblast datang dan bertahan hingga 3 minggu.

b. Fibroblast ditarik dan diaktifkan oleh PDGF dan TGF-β, memasuki luka pada hari ke-3, mencapai jumlah terbanyak pada hari ke-7. c. Terjadi sintesis kolagen (terutama tipe III), angiogenesis, dan

epitelisasi.

(30)

3. Fase Remodelling

a. Peningkatan produksi maupun penyerapan kolagen berlangsung 6 bulan sampai 1 tahun, dapat lebih lama bila dekat sendi.

b. Kolagen tipe I menggantikan kolagen tipe III sampai perbandingan 4:1 (seperti kulit normal dan jaringan parut matang).

c. Kekuatan luka meningkat sesuai dengan reorganisasi kolagen sepanjang garis tegangan kulit, terjadi pembentukan ikatan kolagen yang berseberangan (cross-link kolagen).

d. Penurunan vaskularitas (De Jong, 2007).

F. Luka Bakar 1. Definisi

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut (De Jong, 2007).

2. Etiologi

(31)

luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:

a. Paparan api

b. Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.

c. Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.

d. Scalds(air panas)

(32)

Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.

f. Gas panas

Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan nafas akibat edema.

g. Aliran listrik

Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.

1. Zat kimia (asam atau basa) 2. Radiasi

3. Sinar matahari dan terapi radiasi (De Jong, 2007).

G. Klasifikasi Luka Bakar

(33)

kedalaman luka bakar. Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I, II, dan III:

1. Luka Bakar Derajat I

Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan hipersensitivitas lokal. Pada luka bakar derajat I tidak menimbulkan kehilangan cairan, sehingga tidak dihitung. Contoh luka bakar derajat I adalahsunburn.

A B.

Gambar 4. Luka Bakar derajat I A. Gambaran mikroskopis

(34)

2. Luka Bakar Derajat II

Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih “sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu.

Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri disebutsuperficial partial- thickness burn

atau luka bakar derajat IIa. Apabila luka bakar derajat IIa yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi deep partial-thickness burnatau luka bakar derajat IIb.

A B

Gambar 5. Luka bakar derajat II A. Gambaran mikroskopis

(35)

3. Luka Bakar Derajat III

Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak. Pada perabaan teraba keras karena terdapat jaringan eskar akibat denaturasi protein pada dermis, jaringan ikat, fasia, dan otot (De Jong, 2007).

A B.

Gambar 6. Luka bakar derajat III A. Gambaran mikroskopis

(36)

H. Berat dan Luas Luka Bakar

Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka bakar. Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46◦C. Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak.

Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok, tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.

Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.

(37)

kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.

A. B. C.

Gambar 7. Rumus untuk menentukan luas luka bakar A.Rumus 10 untuk bayi.

B.Rumus 10-15-20 untuk anak.

C.Rumus 9 untuk orang dewasa (De Jong, 2007).

(38)

Tabel 2. Penilaian luas area tubuh (Browder, 2007).

Age In Years

1 1 to 4 5 to 9 10 to 14 15 Adult

Area Burned Percentage of Total Body Surface

Head 19 17 13 11 9 7

Neck 2 2 2 2 2 3

Anterior Trunk 13 13 13 13 13 13

Posterior Trunk 13 13 13 13 13 13

Left Buttock 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5

Right Buttock 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5

Genitals 1 1 1 1 1 1

1. Luka bakar berat (major burn)

a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun

(39)

c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum

d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka bakar

e. Luka bakar listrik tegangan tinggi f. Disertai trauma lainnya

g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi.

2. Luka bakar sedang (moderate burn)

a. Luka bakar dengan luas 15–25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %

b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 % c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa

yang tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum.

3. Luka bakar ringan

a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa

b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut

c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum (De Jong, 2007).

J. Patofisiologi Luka Bakar

(40)

menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler.

Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat dua, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat tiga. Apabila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang.

Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.

(41)

serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah ini ditandai dengan meningkatnya diuresis.

Terjadinya kontaminasi pada kulit mati yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman sehingga mempermudah terjadinya infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita sendiri juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit.

Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif, Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dari toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar.

(42)

III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis.

Bila luka bakar dibiopsi biasanya ditemukan kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya luka bakar yang demikian disebut luka bakar septik. Bila disebabkan kuman Gram positif seperti stafilokokus atau basil Gram negatif dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus, Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.

Bila penderita dapat mengatasi infeksi luka bakar derajat II dapat sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut (De Jong, 2007).

K. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan: 1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah. 2. Urinalisis.

3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit. 4. Analisis gas darah.

5. Radiologi jika ada indikasi ARDS.

(43)

L. Penatalaksanaan Luka Bakar

Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak.

Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih dari pada trakeostomi. Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas ‘tersembunyi’. Oleh karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menatalaksana jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa.

(44)

Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan pengiriman pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan melepas dari eskar yang mengkonstriksi (David,

2006).

M. Prognosis

Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan penyembuhan. Penyulit yang timbul pada luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan kontraktur (Subrahmanyam, 1998).

N. Komplikasi

1. Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multy-system Organ Dysfunction(MODS) dan Sepsis.

SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi atau non infeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis dan pankreatitis.

(45)

faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi) menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ.

SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian paska trauma dan dapat dibuktikan juga bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.

Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS yaitu : a.Infection.

b. Injury.

c. Inflamation.

d. Inadequate blood flow.

e. Ischemia-reperfusion injury.

Kriteria klinik yang digunakan mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine

tahun 1991, yaitu apabila ditemukan 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari yaitu:

a. Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C) b. Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)

(46)

d. Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000 sel/mm3) atau ditemukan > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).

Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah atau bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS. Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS (Ahmadsyah, 2005).

O. Antibiotik Topikal

Mupirosin adalah antibiotik Gram-positif yang bersifat bakteriostatis pada jumlah kecil dan menjadi bakterisidal apabila diberikan dalam jumlah besar.

1. Cara Kerja Obat

(47)

Mupirosin tidak menunjukkan adanya resistensi silang dengan antibiotik lainnya.

Mupirosin adalah antibiotik topikal yang aktif terhadap Staphylococcus aureus(termasukstrainyang resisten terhadapmethicillin),S. epidermidis,

danbeta-haemolytic Streptococcus.

2. Indikasi

Indikasi Mupirosin krim adalah untuk pengobatan topikal lesi traumatik (luka) yang terjadi infeksi sekunder seperti laserasi kecil, abrasi, atau kulit yang dijahit.

3. Kontraindikasi

Mupirosin krim jangan diberikan kepada penderita yang hipersensitif atau alergi terhadap komponen krim.

4. Efek Samping

(48)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang menggunakan metode rancangan acak terkontrol dengan pola post test only controlled group design. Sebanyak 9 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) betina dewasa galur Sprague Dawley berumur 3-4 bulan yang dipilih secara

random yang dibagi menjadi 3 kelompok, Adapun kelompok perlakuannya yaitu :

1). Kelompok kontrol yaitu tikus yang diberi luka bakar derajat II dengan diameter 2 cm yang akan dibiarkan sembuh secara normal tanpa pemberian zat aktif.

2). Kelompok tikus yang diberi luka bakar derajat II dengan diameter 2 cm, selama proses kesembuhan akan dilakukan dressing menggunakan madu 100% (Subrahmanyam, 2001) dengan nama dagang madu apriari.

(49)

Tabel 3.Jenis perlakuan penelitian dan dosis yang diberikan pada setiap perlakuan. No. Hewan Percobaan Jenis Perlakuan Dosis

1 Tikus dengan Luka bakar -

-2 Tikus dengan Luka Bakar Madu SNI 100% 3 Tikus dengan Luka Bakar Mupirosin

-B. Waktu dan Tempat Penelitian

Perlakuan hewan coba dilakukan di dua tempat yaitu Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, sedangkan pembuatan preparat dan pengamatannya dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan (April-Juni 2012)

C. Alat dan Bahan

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pisau cukur dan gagangnya, sarung tangan steril, bengkok, kom steril, perlak, besi solder yang dimodifikasi ujungnya dengan plat, besi aluminium dengan diameter 2 cm, jas lab, gunting plester, pinset anatomis, aquades, spuit dan jarum, kassa steril, alkohol, dan arloji. Pada penelitian ini dubutuhkan bahan berupa madu SNI, mupirosin salep, obat anastesi, dan tikus putih.

D. Subyek Penelitian 1. Populasi

(50)

adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina dewasa galurSprague Dawley

berumur 3 - 4 bulan.

2. Sampel

Menurut Frederer (1967), rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental adalah :

( 1) 15

Dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini akan menggunakan 3 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi :

3( 1) 15

3 3 15

3 18

6

Jadi sampel yang akan digunakan tiap kelompok percobaan sebanyak 6 ekor ( >6) dan jumlah kelompok yang akan digunakan adalah 3 kelompok sehingga penelitian ini menggunakan 18 ekor tikus putih dari populasi yang ada.

E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Inklusi :

(51)

2. Memiliki berat badan sekitar 150-180 gram. 3. Berjenis kelamin betina.

4. Berusia sekitar 3 - 4 bulan. Ekslusi :

1. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboratorium.

2. Mati selama masa pemberian perlakuan.

F. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Independent variable)

Zat aktif yang diberikan pada tikus putih yaitu : a. Madu

b. Mupirosin

2. Variabel Terikat (Dependent variable)

Tingkat kesembuhan kulit tikus dengan luka bakar derajat II yaitu : a. Gambaran histopatologi kulit tikus

b. Gambaran klinis kulit tikus

G. Prosedur Penelitian

(52)

1. Pembuatan Luka Bakar derajat II

Cukur bagian punggung dari tikus putih. Lakukan anestesi pada area kulit yang akan dibuat luka bakar dengan dosis 0,2 cc lidokain dalam 2 cc aquades (Handian, 2006). Kulit diinduksi dengan logam berdiameter dua sentimeter bersuhu tinggi. Tempelkan besi pada kulit tikus yang telah disiapkan selama 2 detik.

2. Prosedur penanganan Luka Bakar Derajat II

Penanganan dilakukan sebanyak dua kali sehari (Handian, 2006) dan selalu dibersihkan sebelum mengaplikasikan madu dan mupirosin ke tikus putih dengan cara, membersihkanya dengan air aquades. Berikut runtutan prosedur penanganan luka bakar yang akan di aplikasikan.

a. Tempatkan perlak yang dilapisi kain di bawah luka yang akan dirawat. b. Pakai sarung tangan steril.

c. Siapkan kasa.

d. Olesi bagian luka dengan kasa yang telah dibasahi dengan madu SNI setebal 2 mm hingga menutup seluruh permukaan luka atau menggunakan mupirosin untuk kelompok perlakuan mupirosin.

e. Tutup luka dengan kasa steril

f. Untuk kelompok kontrol balutan tanpa diberikan apapun. 3. Prosedur operasional pembuatan slide

(53)

a. Prosedur pembuatan slide :

1) Organ telah dipotong secara melintang dan telah difiksasi menggunakan formalin 10% selama 3 jam.

2) Bilas dengan air mengalir sebanyak 3-5 kali. 3) Dehidrasi dengan :

a) Alkohol 70% selama 0,5 jam b) Alkohol 96% selama 0,5 jam c) Alkohol 96% selama 0,5 jam d) Alkohol 96% selama 0,5 jam e) Alkohol absolut selama 1 jam f) Alkohol absolut selama 1 jam g) Alkohol absolut selama 1 jam h) Alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam 4) Clearingdengan menggunakan:

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearingdengan xilol I dan II masing-masing selama 1 jam.

5) Impregnansi dengan parafin selama 1 jam dalamovensuhu 65oC. 6) Pembuatan blok parafin:

Sebelum dilakukan pemotongan blok parafin, parafin didinginkan dalam lemari es. Pemotongan menggunakan rotary microtome

(54)

b. Prosedur pulasan HE :

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, memilih slide yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut.

1) Dilakukan deparafinisasi dalam : a) LarutanxylolI selama 5 menit b) LarutanxylolII selama 5 menit c) Ethanol absolut selama 1 jam 2) Hydrasidalam:

a) Alkohol 96% selama 2 menit b) Alkohol 70% selama 2 menit c) Air selama 10 menit

3) Pulasan inti dibuat dengan menggunakan : a) Haris hematoksilin selama 15 menit b) Air mengalir

c) Eosin selama maksimal 1 menit

4) Lanjutkan dehidrasi dengan menggunakan a) Alkohol 70% selama 2 menit

b) Alkohol 96% selama 2 menit c) Alkohol absolut 2 menit 5) Penjernihan:

a) XylolI selama 2 menit b)XylolII selama 2 menit

(55)

Berat badan tikus ditimbang

Tikus 1 Tikus 2 Tikus 3

Diadaptasi selama 7 hari

Diberi luka bakar dengan logam panas berdiameter 2 cm Diberi perawatan selama 14 hari

Hari ke 1

Hitung Dibersihkan dengan dibersihkan dengan dibersihkan dengan diameter aquades 1 x sehari aquades dan dressing aquades dan dressing hari 2,6, madu SNI 100% tebal mupirosin tebal 8,10,12, 2mm 2 x sehari 2mm 2 x sehari 14

Hari ke 14

Tikus dinarkosis dengan klorofom Diambil sampel biopsi pada daerah luka bakar

Sampel dikirim ke laboratorium Histologi dan Patologi Fakultas Kedoteran Unila untuk pembuatan sediaan preparat

Pengamatan sediaan histopatologi dilakukan menggunakan mikroskop cahaya Interpretasi hasil

(56)

H. Definisi Operasional Tabel 4. Definisi Operasional

Variabel Definisi Skala

Dosis madu yang diberikan

kepada tikus percobaan

Dosis madu yang diberikan adalah dosis dressing

topikal yang dipakai pada manusia yaitu madu

dengan konsentrasi 100% yang diaplikasikan

secukupnya terhadap luka.

Numerik

Gambaran histopatologi

kulit tikus

Sediaan histopatologi dilihat dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40x dalam 5 lapang pandang dan diamati reepitelisasi, sel radang , pus dan scap pada daerah luka

Kategorik

Gambaran klinis kulit tikus Gambaran klinis didapat dengan menghitung rata-rata diameter penyembuhan luka yang dihitung pada hari ke 2,6,8,10,12, dan 14

Dressing Menutupi dan melindungi luka menggunakan mupirosin atau madu SNI

Madu SNI Madu yang sudah terstandarisasi sesuai dengan kriteria pada BSN (Badan Standarisasi Nasional) yaitu dengan kandungan aktifitas enzim diastase 3 DN, Hidroksimetilfurfural 50 Mg/kg, Air 22 %b/b, Gula Pereduksi 65 %b/b, Sukrosa 5 %b/b, Keasaman 50 ml NaOH 1 N/kg, Padatan yang tak larut dalam air 0,5 %b/b, Abu 0,5 %b/b, Timbal 1,0 Mg/kg, Tembaga 5,0 Mg/kg, Cemaran Arsen 0,5 mg/kg

Luka Bakar Derajat II Lesi merusak epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya. Pada penelitian ini luka berdiameter 2 cm.

(57)

I. Cara Pengumpulan Data 1. Klinis

Dalam penelitian ini digunakan teknik observasi eksperimen, dimana sampel dibagi menjadi 3 kelompok kemudian dilakukan dua hari sekali untuk melihat penyembuhan secara makroskopis. Pengamatan ini dilakukan mulai awal dari mulai pemberian terapi sampai hari terakhir penyembuhan untuk mengetahui perubahannya dengan batas waktu penelitian selama 14 hari. Diameter luka bakar rata-rata dihitung dengan cara (Suratman dkk., 1996).

Gambar 9. Diameter Luka Bakar.

Diameter luka didapat dengan rumus:

= 1 + 2 + 3 + 4 4

Dimana :

= Diameter hari ke x

1 = Diameter 1

2 = Diameter 2

3 = Diameter 3

4 = Diameter 4

d4 d2

d1

(58)

Lalu untuk mengukur persentase kesembuhan dilakukan dengan menggunakan rumus

= 1

1 × 100%

Dimana :

= Persentase hari ke

1= diameter hari ke 1 = diameter hari ke

2. Histopatologi

Penyembuhan luka bakar diobservasi pada fase proliferasi. Sampel biopsi diambil satu kali dan serentak pada hari ke 14. Gambaran yang dinilai adalah panjang repitelisasi dengan sistem skoring pada pembesaran 40x yaitu :

Skor 5 : Jika ada repitelisasi

Skor -1 : Jika masih didapat sel radang dan kropeng Skor -2 : Jika didapat pus

Hasil diamati dalam 5 lapang pandang dan diambil reratanya.

J. Pengolahan dan Analisis Data

Hasil penelitian lalu akan dianalisis apakah memiliki distribusi normal (p>0,05) atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk

(59)

homogen, akan dilanjutkan dengan metode uji parametrik one way ANOVA. Apabila tidak memenuhi syarat uji parametrik, akan dilakukan transformasi. Jika pada uji ANOVA menghasilkan nilai p<0,05 maka akan dilanjutkan dengan melakukan analisis post hoc LSD untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan. Apabila hasil transformasi tidak memenuhi syarat digunakan uji Kruskal-Wallis dan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.

(60)

Ahmad, T. 2002. Alasan yang mempengaruhi orang minum madu pada konsumen madu di Kota Depok dan sekitarnya Skripsi. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Ahmadsyah I, T.O.H. Prasetyono. 2005. Luka Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 73-5 hlm.

Aiman BAF. 2004.Pengobatan dan Penyembuhan Menurut Wahyu Nabi. Jakarta: Pustaka Assabil.

Bangroo AK, R. Khatri, S. Chauhan. 2005.Honey Dressing in Pediatric Burns. Department of paediatric surgery, vol 10, issue 3, 172-5 hlm.

Cooper RA, PC. Molan, and KG. Harding .1999. Antibacterial activity of honey against strain of Staphylococcus aureus from infected wounds. J R Soc Med 92:283-5. Diakses dari:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1297205.

David S. Perdanakusuma. 2006. Penanganan Luka bakar. Surabaya: Airlangga University Press.

Dewan Standardisasi Nasional. 1994. SNI 01-3545-1994 : Madu, Departemen perindustrian, Jakarta.

Dixon, B. 2003.Bacteria Can’t Resist Honey. Jakarta : EGC, 2001

Djuanda, A. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p, 342-52 hlm.

Hamad, S. 2007.Terapi Madu. Jakarta: Pustaka Iman. 30 hlm.

(61)

terhadapbakteri-staphylococcus-aureus/.

Hotnida CH. 2002. Pengaruh metode penurunan kadar air, suhu dan lama penyimpanan terhadap kualitas madu randu Thesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Kartini. 1986. Komosisi madu Indonesia. Prosiding lokakarya pembudidayaan lebah madu untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, 20 – 22 mei 1986, Suka Bumi.

Khan, FR, ZU Abadin, and N. Rauf. 2007. Honey: Nutritional and Medicinal Value.International Journal of Clinical Practice 61: 1705-1707.

Moenadjat Y. 2003.Luka Bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Molan PC. 1999. The Role of Honey in The Management of Wound. Journal of wound care. 8(8). 423-26.

Molan PC. 2001. Potential of Honey in The Treatment of Wounds and Burns.

American Journal of Clinical Dermatology, Volume 2, Number 1, 13-19(7 )hlm.

.

Moore, L. Keith . 2002.Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates, 2002. 8 hlm.

Mycek, M.J., Harvey, R.A., Pamela, C.C., dan Fisher, B.D. 2001. Farmakologi Ulasan BergambarEdisi 2. Jakarta : Widya Medica.

Sihombing, D.T.H.1997. Ilmu dan Ternak Lebah Madu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sjaifudin M. 2006. Penanganan Luka Bakar. Surabaya: Airlangga University Press.

Sjamsuhidajat R, Wim De Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta : EGC.

Smeltzer, Suzzanne C. 2001. Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Volume 1. Jakarta : EGC

(62)

Waili, Saloom.1999. Effects of Topical Honey on Post-Operative Wound Inféctions due to Gram Positive and Gram Negative Bacteria Following Caesarean Sections and Hysterectomies, European. Journal of Medical Research, Volume 4, Issue 3, The Cochrane Database of Systematic Review.

Yapucu. 2007. Effectiveness of a Honey Dressing for Healing Pressure Ulcers.

Gambar

Gambar 1. Krangka Teori
Tabel 1. Kandungan madu dari Indonesia (Sihombing, 1994)
Gambar 3.Struktur kulit dan jaringan subkutan (Moore, 2002)
Gambar 4.Luka Bakar derajat I
+7

Referensi

Dokumen terkait

In other words, the study wanted to evaluate the use of schoology as the medium of learning in an argumentative writing class.. Argumentative writing class was chosen due to its

The study showed the lecturer had good response to the development of using poetry group investigation in writing a report of poetry class. The lecturer viewed that poetry

Orang yang qana'ah selalu bersyukur dalam hidupnya. Contohnya, walaupun hanya makan dengan garam, ia akan merasa nikmat tiada terhingga, karena ia tidak pernah berpikir tentang daging

Kepentingan non pengendali m encerminkan bagian atas laba atau rugi dan aset neto dari entitas anak yang tidak dapat diatribusikan secara langsung maupun tidak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh outboundmanagement training dalam menurunkan stress pada karyawan bank. Hipotesis yang diajukan adalah Outbound

Merupakan suatu hal yang sangat fundamental bagi seorang yang mempelajari ilmu arsitektur untuk memahami benar mengenai faktor-faktor eksternal yang dapat

Gambar 2.25 Wortel berkembang biak dengan umbi akar.. Jika umbi akar ditanam, maka akan tumbuh tunas baru dari bagian yang merupakan sisa batang. Contoh tumbuhan yang berkembang

Hasil dari penelitian ini cukup berbeda dengan apa yang dihasilkan para peneliti lain dimana tidak terdapat hubungan yang nyata antara mata kuliah kewirausahaan