• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus, dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus, dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

YANG DIBERI EKSTRAK SAMBILOTO

REZI ZAHRA AZIZA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus, dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi atau kutipan yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2010

Rezi Zahra Aziza NRP B04051740

(3)

REZI ZAHRA AZIZA. B04051740. Histomorphological Aspect of Liver, Small Intestine, and Spleen of Diabetic Model Rat that was Treated with Sambiloto Extract. Under direction of ADI WINARTO and EKOWATI HANDHARYANI

The purpose of this study is to evaluate the histomorphological aspect of liver, small intestine, and spleen of diabetic model rats that were treated with sambiloto extract. Twenty-four male Spraque-Dawley rats were divided into 2 groups of models. Diabetic model group was induced by Streptozotocin (40 mg/kg BW) intra-peritonially, and a healthy group which recieved Phosphat Buffer Saline (PBS) pH 7.4 intra-peritonially. The both of groups were treated with sambioto daily within 4 weeks. Rat model of diabetes with low sugar levels and high at the time of sacrifice was observed as a distinct group. Observations on the liver, small intestine, and spleen of non-diabetic group showed that the provision does not affect the morphological sambiloto liver, small intestine, and spleen. Observations on liver of rat diabetic model with blood sugar levels are still high indicates a change in the form of congestion and degeneration, in the small intestine seen an increase in the number of Goblet cells and mitotic cells but did not find any picture of damage to the mucosal epithelium. Changes are seen in the spleen leads to degeneration until necrosa, and spleen increased with the emergence of readiness germinal centers. Evaluation of the liver, small intestine, and spleen model of diabetes with a decrease in blood sugar showed an improvement histomorfologis picture to approach the image on the non-diabetic group.

(4)

REZI ZAHRA AZIZA. B04051740. Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus, dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto. Dibimbing oleh ADI WINARTO dan EKOWATI HANDHARYANI

Perubahan gaya hidup masyarakat seperti meningkatnya konsumsi makanan cepat saji dan minuman ringan dapat memacu peningkatan berat badan. Individu yang memiliki kelebihan berat badan cenderung memiliki level antioksidan yang rendah dan produksi radikal bebas meningkat. Hal ini dapat menimbulkan resiko terjadinya Diabetes Mellitus (DM). DM sering dijumpai pada manusia, namun tidak jarang pula penyakit ini dapat dijumpai pada spesies lain seperti anjing dan kucing.

Pengobatan DM biasanya menggunakan insulin, tetapi karena harga insulin relatif mahal maka sebagian masyarakat mencari alternatif pengobatan lain dengan menggunakan bahan-bahan alami. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa sambiloto mengandung lakton, flavonoid dan andrographolid. Mekanisme kerja andrographolid dalam tubuh yaitu dapat menimbulkan efek anti inflamasi. Zat andrographolid dari tanaman sambiloto juga diketahui dapat meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel darah putih untuk menghancurkan bakteri dan benda asing lainnya, serta mengaktifkan sistem limpa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histomorfologi hati, usus halus, dan limpa tikus hiperglikemia yang diberi ekstrak sambiloto. Sebanyak 24 ekor tikus putih jantan galur Spraque-Dawley dibagi menjadi dua kelompok perlakuan. Kelompok pertama adalah kelompok model diabetes, diinduksi dengan streptozotosin dengan dosis 40 mg/kg BB secara intra-peritonial. Kelompok kedua sebagai kelompok non-diabetes diberi Phosphat Buffer Saline (PBS) dengan pH 7,4 secara intra-peritonial. Kedua kelompok selanjutnya diberi ekstrak sambiloto dengan dosis setara 25 mg/kg BB setiap hari selama 4 minggu. Tikus model diabetes dengan kadar gula rendah dan tinggi pada saat dikorbankan diamati sebagai kelompok yang berbeda.

(5)

sampel. Perubahan gambaran pada jaringan hati seperti sinusoid berisi darah dan degenerasi hepatosit masih dapat ditemukan namun dalam jumlah yang sudah jauh menurun. Gambaran sel dengan batas antar sel yang menghilang tidak banyak ditemukan. Sebagian besar lapang pandang dipenuhi dengan gambaran hepatosit yang mendekati pada tikus model non-diabetes.

Pengamatan pada usus halus tikus dilakukan dengan melihat perbandingan jumlah sel Goblet dan sel mitotik dalam kripta Lieberkuhn pada kelompok non-diabetes dan kelompok non-diabetes baik yang rendah maupun yang tinggi. Hasil penghitungan menunjukkan jumlah sel Goblet pada 10 kripta usus kelompok non-diabetes adalah 93 buah, pada kelompok gula yang rendah sebanyak 103 buah dan pada kelompok gula yang tinggi sebanyak 108 buah. Penghitungan tersebut memperlihatkan adanya penambahan jumlah sel Goblet pada kelompok diabetes namun tidak terlalu nyata. Penghitungan sel mitosis pada 10 kripta dalam setiap perlakuan menunjukkan sel mitosis pada kelompok non-diabetes berjumlah 15, pada kelompok gula yang rendah 26 dan pada kelompok gula yang tinggi sebanyak 25 sel. Terlihat adanya peningkatan jumlah sel mitosis yang cukup nyata pada kelompok non-diabetes jika dibandingkan dengan kelompok diabetes. Pengamatan pada limpa memperlihatkan limpa pada tikus kelompok non-diabetes mengalami perubahan yaitu terjadi hiperplasia pulpa putih dengan munculnya pusat germinal pada daerah tepi. Perubahan yang terjadi disebabkan karena andrographolida yang terkandung dalam sambiloto bersifat meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel-sel darah putih untuk menghancurkan bakteri dan benda asing, serta mengaktifkan sistem limpa. Limpa pada tikus kelompok gula darah yang tinggi memperlihatkan adanya hemoragi parah pada daerah pulpa merah sehingga terjadi peningkatan jumlah hemosiderin di dekat daerah perdarahan. Sel limpa banyak yang berdegenerasi, nekrosa bahkan hingga lisis. Selain itu terlihat pula peningkatan jumlah sel megakaryosit pada jaringan limpa. Limpa pada tikus kelompok gula yang rendah terlihat mengalami gangguan, ditandai adanya hemoragi, jumlah pulpa putih menurun, bahkan ditemukan adanya sel yang berdegenerasi. Menurunnya jumlah pulpa putih menandakan bahwa limpa mengalami degenerasi.

Evaluasi pada organ hati, usus halus, dan limpa model diabetes dengan gula darah yang menurun menunjukkan adanya perbaikan gambaran histomorfologis hingga mendekati gambaran pada kelompok non-diabetes.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(7)

YANG DIBERI EKSTRAK SAMBILOTO

REZI ZAHRA AZIZA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Skripsi : Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus, dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto

Nama : Rezi Zahra Aziza

NRP : B04051740

Disetujui,

Drh. Adi Winarto, Ph.D Drh. Ekowati Handharyani, MSi. Ph.D

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Nastiti Kusumorini 1962 1205 1987 03 2 001

(9)

Alhamdulillah, puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala petunjuk dan kemudahan yang diberikan sehingga karya ilmiah ini dapat penulis selesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan ummatnya hingga akhir zaman.

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2008 ini ialah hiperglikemia, dengan judul “Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto” yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedoktteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada :

1. Ayah Muzaki Yusya (alm) dan Ibu Na’imatul Munawaroh, serta Aa Arvan, Teh Muftiri, dan Mba Reza yang selalu memberikan dukungan, do’a, semangat dan kasih sayang yang tak pernah terputus kepada penulis.

2. Drh. Adi Winarto, Ph.D dan drh. Ekowati Handharyani, MSi. Ph.D sebagai dosen pembimbing yang telah sabar meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan, didikan, dan perhatian kepada penulis hingga terselesainya skripsi ini.

3. Dr. drh. Nurhidayat, MS. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dan nasehat selama masa perkuliahan serta Dr. Drh. Sri Murtini, MSi. selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan guna memperbaiki skripsi ini.

4. Departemen Agama (Depag) RI yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama menjalani masa perkuliahan di IPB.

5. Pak Soleh, Pak Kasnadi, Pak Maman, serta Pak Iwan selaku staf Laboratorium Patologi dan Histologi yang telah banyak membantu selama penulis melakukan penelitian.

(10)

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam tulisan ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2010

(11)

YANG DIBERI EKSTRAK SAMBILOTO

REZI ZAHRA AZIZA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus, dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi atau kutipan yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2010

Rezi Zahra Aziza NRP B04051740

(13)

REZI ZAHRA AZIZA. B04051740. Histomorphological Aspect of Liver, Small Intestine, and Spleen of Diabetic Model Rat that was Treated with Sambiloto Extract. Under direction of ADI WINARTO and EKOWATI HANDHARYANI

The purpose of this study is to evaluate the histomorphological aspect of liver, small intestine, and spleen of diabetic model rats that were treated with sambiloto extract. Twenty-four male Spraque-Dawley rats were divided into 2 groups of models. Diabetic model group was induced by Streptozotocin (40 mg/kg BW) intra-peritonially, and a healthy group which recieved Phosphat Buffer Saline (PBS) pH 7.4 intra-peritonially. The both of groups were treated with sambioto daily within 4 weeks. Rat model of diabetes with low sugar levels and high at the time of sacrifice was observed as a distinct group. Observations on the liver, small intestine, and spleen of non-diabetic group showed that the provision does not affect the morphological sambiloto liver, small intestine, and spleen. Observations on liver of rat diabetic model with blood sugar levels are still high indicates a change in the form of congestion and degeneration, in the small intestine seen an increase in the number of Goblet cells and mitotic cells but did not find any picture of damage to the mucosal epithelium. Changes are seen in the spleen leads to degeneration until necrosa, and spleen increased with the emergence of readiness germinal centers. Evaluation of the liver, small intestine, and spleen model of diabetes with a decrease in blood sugar showed an improvement histomorfologis picture to approach the image on the non-diabetic group.

(14)

REZI ZAHRA AZIZA. B04051740. Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus, dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto. Dibimbing oleh ADI WINARTO dan EKOWATI HANDHARYANI

Perubahan gaya hidup masyarakat seperti meningkatnya konsumsi makanan cepat saji dan minuman ringan dapat memacu peningkatan berat badan. Individu yang memiliki kelebihan berat badan cenderung memiliki level antioksidan yang rendah dan produksi radikal bebas meningkat. Hal ini dapat menimbulkan resiko terjadinya Diabetes Mellitus (DM). DM sering dijumpai pada manusia, namun tidak jarang pula penyakit ini dapat dijumpai pada spesies lain seperti anjing dan kucing.

Pengobatan DM biasanya menggunakan insulin, tetapi karena harga insulin relatif mahal maka sebagian masyarakat mencari alternatif pengobatan lain dengan menggunakan bahan-bahan alami. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa sambiloto mengandung lakton, flavonoid dan andrographolid. Mekanisme kerja andrographolid dalam tubuh yaitu dapat menimbulkan efek anti inflamasi. Zat andrographolid dari tanaman sambiloto juga diketahui dapat meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel darah putih untuk menghancurkan bakteri dan benda asing lainnya, serta mengaktifkan sistem limpa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histomorfologi hati, usus halus, dan limpa tikus hiperglikemia yang diberi ekstrak sambiloto. Sebanyak 24 ekor tikus putih jantan galur Spraque-Dawley dibagi menjadi dua kelompok perlakuan. Kelompok pertama adalah kelompok model diabetes, diinduksi dengan streptozotosin dengan dosis 40 mg/kg BB secara intra-peritonial. Kelompok kedua sebagai kelompok non-diabetes diberi Phosphat Buffer Saline (PBS) dengan pH 7,4 secara intra-peritonial. Kedua kelompok selanjutnya diberi ekstrak sambiloto dengan dosis setara 25 mg/kg BB setiap hari selama 4 minggu. Tikus model diabetes dengan kadar gula rendah dan tinggi pada saat dikorbankan diamati sebagai kelompok yang berbeda.

(15)

sampel. Perubahan gambaran pada jaringan hati seperti sinusoid berisi darah dan degenerasi hepatosit masih dapat ditemukan namun dalam jumlah yang sudah jauh menurun. Gambaran sel dengan batas antar sel yang menghilang tidak banyak ditemukan. Sebagian besar lapang pandang dipenuhi dengan gambaran hepatosit yang mendekati pada tikus model non-diabetes.

Pengamatan pada usus halus tikus dilakukan dengan melihat perbandingan jumlah sel Goblet dan sel mitotik dalam kripta Lieberkuhn pada kelompok non-diabetes dan kelompok non-diabetes baik yang rendah maupun yang tinggi. Hasil penghitungan menunjukkan jumlah sel Goblet pada 10 kripta usus kelompok non-diabetes adalah 93 buah, pada kelompok gula yang rendah sebanyak 103 buah dan pada kelompok gula yang tinggi sebanyak 108 buah. Penghitungan tersebut memperlihatkan adanya penambahan jumlah sel Goblet pada kelompok diabetes namun tidak terlalu nyata. Penghitungan sel mitosis pada 10 kripta dalam setiap perlakuan menunjukkan sel mitosis pada kelompok non-diabetes berjumlah 15, pada kelompok gula yang rendah 26 dan pada kelompok gula yang tinggi sebanyak 25 sel. Terlihat adanya peningkatan jumlah sel mitosis yang cukup nyata pada kelompok non-diabetes jika dibandingkan dengan kelompok diabetes. Pengamatan pada limpa memperlihatkan limpa pada tikus kelompok non-diabetes mengalami perubahan yaitu terjadi hiperplasia pulpa putih dengan munculnya pusat germinal pada daerah tepi. Perubahan yang terjadi disebabkan karena andrographolida yang terkandung dalam sambiloto bersifat meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel-sel darah putih untuk menghancurkan bakteri dan benda asing, serta mengaktifkan sistem limpa. Limpa pada tikus kelompok gula darah yang tinggi memperlihatkan adanya hemoragi parah pada daerah pulpa merah sehingga terjadi peningkatan jumlah hemosiderin di dekat daerah perdarahan. Sel limpa banyak yang berdegenerasi, nekrosa bahkan hingga lisis. Selain itu terlihat pula peningkatan jumlah sel megakaryosit pada jaringan limpa. Limpa pada tikus kelompok gula yang rendah terlihat mengalami gangguan, ditandai adanya hemoragi, jumlah pulpa putih menurun, bahkan ditemukan adanya sel yang berdegenerasi. Menurunnya jumlah pulpa putih menandakan bahwa limpa mengalami degenerasi.

Evaluasi pada organ hati, usus halus, dan limpa model diabetes dengan gula darah yang menurun menunjukkan adanya perbaikan gambaran histomorfologis hingga mendekati gambaran pada kelompok non-diabetes.

(16)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(17)

YANG DIBERI EKSTRAK SAMBILOTO

REZI ZAHRA AZIZA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)

Judul Skripsi : Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus, dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto

Nama : Rezi Zahra Aziza

NRP : B04051740

Disetujui,

Drh. Adi Winarto, Ph.D Drh. Ekowati Handharyani, MSi. Ph.D

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Nastiti Kusumorini 1962 1205 1987 03 2 001

(19)

Alhamdulillah, puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala petunjuk dan kemudahan yang diberikan sehingga karya ilmiah ini dapat penulis selesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan ummatnya hingga akhir zaman.

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2008 ini ialah hiperglikemia, dengan judul “Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus dan Limpa pada Tikus Hiperglikemia yang Diberi Ekstrak Sambiloto” yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedoktteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada :

1. Ayah Muzaki Yusya (alm) dan Ibu Na’imatul Munawaroh, serta Aa Arvan, Teh Muftiri, dan Mba Reza yang selalu memberikan dukungan, do’a, semangat dan kasih sayang yang tak pernah terputus kepada penulis.

2. Drh. Adi Winarto, Ph.D dan drh. Ekowati Handharyani, MSi. Ph.D sebagai dosen pembimbing yang telah sabar meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan, didikan, dan perhatian kepada penulis hingga terselesainya skripsi ini.

3. Dr. drh. Nurhidayat, MS. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dan nasehat selama masa perkuliahan serta Dr. Drh. Sri Murtini, MSi. selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan guna memperbaiki skripsi ini.

4. Departemen Agama (Depag) RI yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama menjalani masa perkuliahan di IPB.

5. Pak Soleh, Pak Kasnadi, Pak Maman, serta Pak Iwan selaku staf Laboratorium Patologi dan Histologi yang telah banyak membantu selama penulis melakukan penelitian.

(20)

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam tulisan ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2010

(21)

Penulis dilahirkan di Banyumas pada tanggal 22 Desember 1987. Penulis adalah putri keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Muzaki Yusya, BA dan Ibu Na’imatul Munawaroh. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Cibening II Purwakarta pada tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan di MTs WI Kebarongan dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan studi dari MA WI Kebarongan, dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Departemen Agama (Depag). Setelah lulus Tahap Persiapan Bersama (TPB) penulis masuk ke Fakultas kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dengan pilihan pertama.

(22)
(23)

xi III. BAHAN DAN METODOLOGI

3.1 Bahan dan Alat Penelitian ... 37 3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 37 3.2.2 Hewan Penelitian ... 37 3.2.3 Pengelompokan Hewan Penelitian ... 38 3.2.4 Pemberian STZ ... 38 3.2.5 Pemberian Sambiloto ... 38 3.2.6 Pengukuran Berat Badan dan Kadar Gula Darah ... 38 3.2.7 Pengambilan Organ ... 39 3.2.8 Pembuatan Preparat Histologis ... 39 3.2.9 Pengamatan ... 40 3.2.10 Analisa Data ... 40

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penimbangan Berat Badan dan Pengukuran Gula Darah ... 41 4.2 Pengamatan Histologis ... 44 4.2.1 Hati ... 44 4.2.2 Usus Halus ... 49 4.2.3 Limpa ... 51

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 56 5.2 Saran ... 56

(24)

xii

Halaman

(25)
(26)

1.1. Latar Belakang

Perubahan gaya hidup masyarakat seperti meningkatnya konsumsi

makanan cepat saji (fast food) dan minuman ringan (soft drink) yang mengandung

lemak dan kadar gula yang tinggi dapat memacu peningkatan berat badan. Peningkatan yang disertai dengan kurangnya aktivitas fisik akan memacu timbulnya suatu penyakit, salah satunya Diabetes Mellitus (Anonim 2004).

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu istilah kedokteran untuk penyakit yang dikenal dengan nama penyakit gula, yaitu adanya cairan manis yang mengalir terus dalam darah. DM merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada individu yang ditandai dengan kadar glukosa dalam darah melebihi jumlah normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Penyakit ini bersifat menahun atau kronis (Dalimartha 1997). Tidak seperti penyakit lain yang biasanya menunjukkan gejala penyakit yang khas dan mudah dikenali, penyakit ini agak berbeda. Lebih dari 50% penderita tidak menyadari bahwa dia sudah mengidap penyakit ini. Mereka baru berkonsultasi kepada dokter apabila merasa berat badannya turun dastris, sering buang air kecil di malam hari, merasa haus yang berlebihan dan beberapa gejala lainnya. Bila tidak ditangani lebih dini dan tidak melakukan pengobatan, maka timbul berbagai macam komplikasi kronis yang sering berakibat fatal seperti penyakit jantung, ginjal, kebutaan, impotensia, dan koma yang dapat menyebabkan kematian.

Dallimutthe (2004) menuliskan bahwa menurut laporan International

Diabetes Federation (IDF) jumlah penderita DM telah meningkat secara

mengkhawatirkan. Global Diabetes Statistic melaporkan bahwa pada tahun 2003

(27)

terhadap insulin. Kasus-kasus DM sekunder misalnya akibat pankreatitis kronik atau pankreatektomi total. Gejala awal yang terlihat berupa poliuri, polidipsi dan polifagi, penglihatan kabur, penurunan berat badan, dan hiperglikemia.

DM sering dijumpai pada manusia, namun tidak jarang pula penyakit ini dapat dijumpai pada spesies lain seperti anjing dan kucing. Pada hewan percobaan keadaan DM dapat ditimbulkan dengan pankreatomi atau dengan pemberian zat kimia. Zat kimia sebagai induktor (diabetogen) yang bisa digunakan yaitu aloksan, streptozotosin, diaksoda, adrenalin, glukagon, dan EDTA, yang diberikan secara parenteral (Suharmiati 2003).

Pengobatan DM biasanya menggunakan insulin, tetapi karena harga insulin relatif mahal maka sebagian masyarakat mencari alternatif pengobatan lain yaitu dengan menggunakan bahan-bahan alami (Dalimartha 1997). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sambiloto dapat menurunkan kadar glukosa dalam

darah dan mengandung lakton, flavonoid, dan andrographolid (Wijayakusumah et

al. 1994), serta saponin dan tannin (Syamsuhidayat & Hutapea 1991).

Mekanisme kerja andrographolid dalam tubuh yaitu menimbulkan efek anti

inflamasi dengan menstimulasi Adenocorticotrophic Hormone (ACTH) pada

kelenjar hipofise anterior, selanjutnya ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk membentuk kortisol yang memiliki efek anti inflamasi (Wenlong & Nie 1973). Zat andrographolid dari tanaman sambiloto diketahui dapat meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel darah putih serta mengaktifkan sistem limpa (Wibudi 2006).

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Efek hipoglikemia sambiloto terhadap perubahan gambaran

histomorfologis hati, usus halus, dan limpa pada tikus hiperglikemia

2. Gambaran histomorfologis hati, usus halus, dan limpa pada tikus

hiperglikemia:

a. Dengan kadar gula darah yang masih tinggi setelah pemberian

sambiloto

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu bentuk penyakit yang menimpa kira-kira 2% populasi, dan kurang lebih 1 diantara 10.000 anak. DM dapat didefinisikan sebagai defisiensi insulin absolut atau relatif yang menimbulkan cacat pemakaian karbohidrat dengan meningkatnya kadar gula darah seluruhnya. Kadar gula darah dapat dideteksi dengan status berpuasa pada kadar lebih dari 6,7 mmol/l (120 mg/dl) atau 2 jam sesudah dosis 75 g glukosa oral dengan kadar lebih 10 mmol/l (180 mg/dl) (Spector 1993). Pendekatan terminologi menurut Misnadiarly (2006), DM merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yaitu kondisi tubuh dengan kadar glukosa darah melebihi nilai normal. Kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dl, dan kadar glukosa darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl pada manusia dianggap sebagai batas DM. Saat ambang glukosa dalam ginjal berlebih, glukosa akan keluar melalui urin (glukosuria) dan menyebabkan diuresis osmotik (poliuria), dehidrasi serta peningkatan pemasukan cairan (polidipsia) (Dalimartha 1997).

DM menduduki peringkat keempat pada daftar ranking pembunuh manusia. Kongres Federasi Diabetes Internasional di Paris tahun 2003 mengungkapkan bahwa sekitar 194 juta orang di dunia mengidap penyakit ini. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2025 jumlah penderitanya akan melonjak sampai 333 juta orang. Di Indonesia predikat diabetesi mengenai lebih dari 2,5 juta orang dan diperkirakan terus bertambah (Mistra 2004).

(29)

Glukosa yang dimakan, pada keadaan normal akan mengalami metabolisme sempurna menjadi karbondioksida dan air kira-kira 50%, 5% diubah menjadi glikogen dan kira-kira 30-40 % diubah menjadi lemak. Lain keadaanya pada penderita DM, semua proses tersebut terganggu karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga tidak dapat dimetabolisme, akibatnya energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Ganong 2002).

2.1.1 Sejarah Diabetes Mellitus

Menurut Dallimutthe (2004), penyakit DM telah diketahui sejak ribuan tahun sebelum masehi. Ebers Papyrus menulis bahwa di Mesir sekitar tahun 1550 Sebelum Masehi (SM) terdapat suatu penyakit yang ditandai dengan banyak kencing. Di India, dalam buku Aryuveda (600 SM) dijumpai penyakit yang sama dimana urin penderita terasa manis dan disebut urin madu. Aretaceus menulis bahwa terdapat suatu penyakit yang ditandai dengan urin yang banyak. Willis adalah orang pertama pada tahun 1674 yang menuliskan penderita dengan urin banyak dan seperti madu disebut Diabetes Mellitus. Pada tahun 1921, Frederich Grant Banting, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran di Toronto Kanada, mengangkat pankreas anjing kemudian mengekstrak pankreas tersebut. Anjing yang telah diangkat pankreasnya tersebut mengalami peningkatan kadar glukosa darah, kemudian setelah disuntik dengan ekstrak pankreas kadar glukosa darahnya turun, oleh karena ekstrak pankreas itu mengandung hormon yang disebut insulin. Ternyata hormon insulin inilah yang mengatur kadar glukosa dalam darah.

2.1.2 Etiologi Diabetes Melitus

(30)

diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Para ahli kesehatan juga

menyebutkan DM merupakan penyakit yangterpaut kromosom seks atau kelamin.

Faktor herediter sering kali juga menyebabkan timbulnya DM melalui peningkatan kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-sel beta. Obesitas juga merupakan salah satu penyebab terjadinya DM karena obesitas menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam sel target insulin di seluruh tubuh, sehingga membuat jumlah insulin yang tersedia kurang efektif dalam meningkatkan efek metabolik insulin yang biasa (Guyton 1997).

Menurut Mistra (2004), penyebab DM antara lain:

 Perubahan gaya hidup yang tidak sehat, lingkungan, dan usia

 Pola makan yang berubah kearah makanan cepat saji yang memiliki gengsi

dan lemak tinggi

 Kebiasaan merokok

 Terdapat riwayat keluarga yang terkena DM (turunan)

 Stresmenghadapi hidup atau persoalan lain

 Kegemukan

 Kerusakan kelenjar panreas (tidak lagi memproduksi hormon insulin atau

sedikit memproduksi hormon tersebut)

DM dapat disebabkan oleh gangguan endokrin lain, terutama hipofisa dan kelenjar adrenal serta dapat disebabkan karena kerusakan pankreas, misalnya oleh pankreatitis kronis atau oleh obat atau sindrom keturunan yang langka. Disamping itu terdapat DM kelompok lain, misalnya ibu yang mengandung atau subjek yang mengalami obesitas yang mengembangkan hiperglikemia namun kembali normal bila kehamilan telah usai atau berat badannya telah berkurang, meskipun dapat mempertahankan kerentanan yang meningkat terhadap DM kemudian. Namun bagian terbesar dari diabetes, yakni diabetes primer, disebabkan oleh penyakit lain yang tak dapat dikenal.

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

(31)

Diabetes Melitus Dependen-Insulin (IDDM) dan Tipe II yaitu Diabetes Tidak

Tergantung Insulin atau Diabetes Mellitus Non-Dependen Insulin (NIDDM).

Istilah tergantung insulin dalam konteks ini berarti bahwa diabetes dapat diperlihatkan berkaitan dengan penurunan absolut jumlah insulin dalam sirkulasi atau pankreas dan disembuhkan dengan pemberian insulin. Tidak tergantung insulin berarti bahwa biasanya tidak diperlihatkan adanya defisiensi absolut dalam sirkulasi, meskipun diabetes paling tidak dapat tanggap terhadap pemberian terapi insulin berlebihan (Spector 1993);

a. Tipe I Diabetes Mellitus Tergantung Insulin atau Diabetes Melitus

Dependen-Insulin (IDDM) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh rusaknya sel-sel beta penghasil insulin (Ganong 2002). Biasanya produksi insulin ada atau tidak sama sekali seperti pada juvenile diabetic. Hal ini terjadi karena ada reaksi autoimun berupa reaksi peradangan pada sel beta (Dallimutthe 2004). Peradangan menyebabkan kerusakan sel beta pankreas, sehingga sel beta pankreas tidak mampu membuat dan mengeluarkan insulin dalam kuantitas dan/atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak terdapat sekresi insulin sama sekali. Dalam hal ini reseptor untuk insulin pada IDDM jumlah dan kualitasnya dalam keadaan normal. Berbagai faktor penentu etiopatologis IDDM telah dapat diidentifikasi, misalnya konstitusi genetik, immunologis, faktor lingkungan dan gangguan metabolisme serta endokrinologi. Menurut PERKENI (2002), Diabetes Mellitus tipe I memiliki karakteristik mudah terjadi ketoasidosis, pengobatannya harus dengan insulin, onset akut, penderita biasanya kurus, terjadi pada usia muda, didapatkan antibodi sel islet, 10% ada riwayat diabetes pada keluarga, 30-50% terjadi pada kembar identik (Misnadiarly 2006).

b. Tipe II Diabetes Tidak Tergantung Insulin atau Diabetes Mellitus

(32)

disamping kadar glukosanya meninggi, kadar insulinnya normal. Keadaan ini disebut resisten terhadap insulin (Dallimutthe 2004). Menurut PERKENI (2002), karakteristik dari Diabetes Mellitus tipe II yaitu sukar terjadi ketoasidosis, pengobatannya tidak harus menggunakan insulin, onsetnya lambat, penderitanya gemuk atau tidak gemuk, biasanya terjadi pada umur tua, tidak ada antibodi sel islet, 30% ada riwayat diabetes pada keluarga, 100% terjadi pada kembar identik.

Menurut Soehadi (1989), terdapat beberapa faktor yang dapat

menyebabkan NIDDM, yaitu:

1. Faktor pankreas:

- Adanya mutasi gen insulin, akan terbentuk molekul-molekul insulin

yang abnormal dan secara biologis kurang aktif.

- Terlalu banyak proinsulin yang tidak dapat dirubah menjadi insulin.

- Terjadi keterlambatan sekresi insulin, meskipun mungkin produksi

insulin cukup, sehingga glukosa sudah diabsorbsi masuk darah tapi insulin belum memadai jumlahnya.

2. Faktor darah:

- Adanya insulin angiotensin antagonisme, misalnya antibodi terhadap

insulin.

- Meningkatnya pengikatan insulin oleh protein plasma.

- Meningkatnya enzim yang merusak insulin atau mekanisme lain yang

merusak insulin.

- Meningkatnya hormon-hormon kontra insulin seperti kortisol, hormon

pertumbuhan, katekolamin dan lain-lain.

- Meningkatnya lemak darah.

3. Faktor perifer:

- Jumlah reseptor insulin di sel berkurang (antara 20.000-30.000 buah):

pada obesitas bahkan berkurang hingga 20.000 buah, pada orang normal jumlah reseptor 35.000 buah/sel.

- Jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptor jelek sehingga insulin

(33)

- Terdapat kelainan post-reseptor, sehingga proses glikolisis intraseluler terganggu.

4. Adanya kelainan campuran diantara faktor-faktor yang terdapat pada 1, 2

dan 3.

Peningkatan kadar glukosa darah Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II akan terus berlanjut, apabila kadar glukosa darah ini terus meninggi hingga melewati ambang batas ginjal, maka glukosa tersebut akan dikeluarkan melalui urin. Kejadian ini yang sering dilihat pada penderita Diabetes Mellitus, yaitu poliuri dan glukosuria.

2.1.4 Gejala Klinis dan Komplikasi Diabetes Mellitus

Gejala klinis DM meliputi gejala-gejala pada stadium kompensasi dan dekompensasi pankreas, serta gejala-gejala kronik lainnya. Gejala-gejala pada stadium kompensasi misalnya polifagi, polidipsi, poliuri dan penurunan berat badan. Adanya gejala klinis hiperglikemia dan glukosuria akan menyebabkan tekanan osmotik di dalam tubuli ginjal naik dan menghambat reabsorbsi air. Karena terhambatnya reabsorbsi air ini menyebabkan penderita DM mengalami poliuria dan akibat adanya poliuria terus-menerus akan menyebabkan dehidrasi tingkat jaringan. Penderita DM tidak dapat memecah glukosa dalam darah sehingga akan menggunakan lemak tubuhnya untuk pengganti energi atau makanan bagi sel sehingga terbentuklah badan-badan keton yang menyebabkan terjadinya ketonemia dan ketonuria serta tubuh terlihat kurus. Adanya benda-benda keton di dalam darah akan menimbulkan terjadinya asidosis sehingga frekuensi nafas meningkat dan penderita mengalami koma (Ressang 1984). Pada keadaan koma kulit mukosa dan lidah tampak kekeringan, bulbus mata menjadi lunak, pernafasan menjadi lebih dalam serta nafas bau aseton (Mutschler 1991). Gejala-gejala kronik yang sering terjadi misalnya lemah badan, anoreksia, kesemutan, mata kabur, mialgia, artalgia, dan kemampuan seksual berkurang (Soehadi 1989).

Mistra (2004) menyebutkan bahwa gula darah mungkin telah melewati ambang normal bila telah terlihat gejala-gejala sebagai berikut:

(34)

 Kadang, berat badan cenderung bertambah

 Gatal-gatal pada kelamin luar

 Sering buang air kecil terutama pada malam hari

 Sering kesemutan pada salah satu sisi bagian tubuh, terutama terasa pada

kaki dan tangan

 Cepat merasa lapar atau haus

 Penglihatan kabur dan akibatnya sering berganti kaca mata

 Melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4 kg

 Mudah timbul bisul atau abses dengan kesembuhan yang lama

 Gairah seksual menurun dan cenderung impotensi

 Jika ada luka terutama di kaki biasanya akan sulit sembuh dan cenderung

terus melebar sehingga dapat diamputasi atau berakhir pada kematian DM mempunyai sejumlah komplikasi karena vaskulopati dan neuropati atau campuran keduanya (Soehadi 1989). Jika berjalan dalam jangka lama, jumlah komponen lipid yang berlebihan dalam sirkulasi dapat menjadi faktor utama dalam meningkatkan kecepatan penderita diabetes untuk mengembangkan ateroma dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes pada usia yang sama. Penderita diabetes juga mengalami degenerasi non-ateromatosa pada arteriola dan kapilernya, terutama di ginjal dan retina, menjurus kepada kegagalan ginjal dan kebutaan. Penderita diabetes juga memiliki peningkatan resiko infeksi, terutama dari tuberkulosis atau saluran kencing. Triat maut ateroma, mikroangiopati dan infeksi menerangkan peningkatan laju mortalitas penderita diabetes bila dibandingkan dengan populasi secara keseluruhan. Pengobatan yang cukup tentu saja telah sangat mengurangi laju kematian dari komplikasi akut seperti koma ketosis namun memiliki dampak yang kurang dramatik terhadap kematian oleh komplikasi yang panjang (Spector 1993).

(35)

keseluruhan penglihatannya. Menurut laporan Komisi Diabetes Mellitus, penderita DM dapat mengalami 2 kali lebih mudah terkena trombosis serebri, 24 kali mudah terkena penyakit jantung koroner, 17 kali rentan terhadap kegagalan ginjal dan 5 kali lebih mudah terkena gangren, bilamana dibandingkan dengan orang non-Diabetes Mellitus. Meskipun gejala-gejala DM dapat diregulasi, namun komplikasi DM kronis jangka panjang dapat mengurangi lama perkiraan hidup sampai sepertiganya (Soehadi 1989).

Menurut Mistra (2004), seringnya terjadi penyeburan gula di dalam pembuluh darah, lambat-laun tetapi pasti akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah secara global. Selanjutnya, berujung pada kerusakan organ-organ tubuh bagian dalam (komplikasi). Berikut ini komplikasi yang mungkin terjadi saat terkena DM:

 Gangguan atau kerusakan jantung

 Gangguan saraf otak yang menyebabkan stroke

 Gangguan kelamin, impotensi, atau disfungsi ereksi

 Gangguan atau kerusakan paru-paru (TBC)

 Gangguan atau kerusakan saraf tepi pada bagian tubuh sehingga sering

kesemutan atau pegal sebelah tubuh

 Gangguan atau kerusakan ginjal dan bisa berakhir dengan gagal ginjal

 Gangguan atau kerusakan mata, seperti bertambahnya lapisan katarak pada

lensa mata atau kebutaan total

Kriteria diagnotik Diabetes Mellitus pada manusia dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO 1985 dalam tulisan Misnadiarly (2006);

(36)

3. Kadar glukosa darah plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral).

Cara umum yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit diabetes didasarkan pada berbagai tes kimiawi terhadap urin dan darah (Guyton 1997). Pemeriksaan glukosa urin melalui tes sederhana atau tes kuantitatif laboratorium yang lebih rumit, yang mungkin dapat digunakan untuk menentukan jumlah glukosa yang hilang dalam urin. Jumlah glukosa yang dikeluarkan dalam urin orang normal pada umumnya sukar dihitung, sedangkan pada kasus diabetes glukosa yang dilepaskan jumlahnya dapat sedikit sampai banyak sekali sesuai dengan berat penyakit dan asupan karbohidratnya. Kadar glukosa darah puasa sewaktu pagi hari normalnya adalah 80 sampai 90 mg/dl, dan 110 mg/dl dipertimbangkan sebagai batas atas kadar normal. Penderita diabetes hampir selalu memiliki konsentrasi glukosa darah puasa diatas 110 mg/dl, bahkan diatas 140 mg/dl, dan uji toleransi glukosa hampir selalu abnormal. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan mencium bau pernafasan penderita DM yang cenderung bau aseton akibat jumlah asam asetat yang meningkat pada penderita DM berat yang diubah menjadi aseton, aseton ini mudah menguap dan dikeluarkan dalam udara ekspirasi sehingga bau aseton dapat tercium pada nafas penderita diabetes. Asam keton juga dapat ditemukan dalam urin melalui cara kimia dan jumlah asam keton ini dipakai untuk menentukan tingkat penyakit DM.

2.1.6 Patologi Diabetes Melitus

(37)

degenerasi. Hewan percobaan pemberian zat-zat yang mempunyai efek toksik seperti alloksan dan ditizon atau derivatnya pada sel-sel pulau Langerhans dapat menimbulkan perubahan pada sel-sel pada diabetes yaitu : pengecilan pulau-pulau pankreas, pengurangan jumlah sel-sel B, degranulasi, dan vakuolisasi pada sel-sel tersebut.

2.1.7 Pengobatan Diabetes Melitus

Diabetes Mellitus dapat ditanggulangi dengan pemberian obat, pengaturan diet secara maksimal untuk mengembalikan kadar glukosa darah, dan pemberian preparat hormonal. Pemberian obat hanya merupakan pelengkap diet, obat diberikan bila pengaturan diet secara maksimal tidak berhasil mengembalikan glukosa darah. Obat yang sering digunakan digolongkan sebagai berikut:

 Antidiabetik oral (hipoglikemik oral)

Obat ini digunakan untuk membantu mengurangi kebutuhan insulin yang diberikan dari luar. Dalam keadaan gawat insulin tetap harus diberikan. Menurut Ganiswara (1995), antidiabetik oral tidak diindikasikan bagi penderita yang cenderung mendapat ketoasidosis. Bila hiperglikemia sudah terkontrol dengan antidiabetik oral dosis rendah maka dapat dilakukan pengaturan diet saja dan kerja fisik. Penderita yang membutuhkan dosis antidiabetik oral yang makin meningkat untuk mengontrol peninggian gula darahnya mungkin menunjukkan adanya kegagalan sekunder. Obat hipoglikemik oral digolongkan atas:

 Golongan sulfonil urea

Obat ini dapat menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang sekresi insulin di pankreas dan meningkatkan efektivitasnya. Oleh karena itu obat ini cocok untuk penderita diabetes tipe II. Contoh obat golongan

ini adalah glibenklamida, glikasida, glikuidon dan klorpromida (Sustrani et

al. 2006) serta tolazomida dan tolbutamida (Laurence & Bennet 1992).

 Golongan biguanida

(38)

golongan ini adalah fenformin, buformin dan metformin (Ganiswara 1995).

 Insulin

Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Insulin menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot dan mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan lemak dan protein dari glukosa. Semua proses ini menyebabkan kadar glukosa darah menurun. Kerja insulin lainnya adalah menaikkan pengambilan ion kalium ke dalam sel dan menurunkan kerja katabolik glukokortikoid dan hormon kelenjar tiroid (Mutschler 1991). Insulin dihasilkan oleh sel β pulau Langerhans yang berada di dalam kelenjar pankreas. Hormon ini merupakan suatu polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino (Ganiswara 1995). Insulin sering digunakan oleh penderita diabetes tipe I, sedangkan pada penderita diabetes tipe II digunakan apabila pemberian obat sudah tidak efektif.

 Glukagon

(39)

2.2 Hati

Hati adalah organ terbesar dalam tubuh (Ressang 1984). Hati mendapat darah dari vena porta dan arteri hepatika yang akan menyuplai 40-50% oksigen dan kurang lebih setengah dari darah yang bersirkulasi akan menuju hati. Sebagian kecil darah dari arteri hepatika mengalir langsung masuk ke peripheral

sinusoid (Jones et al. 2006). Vena porta, arteri hepatika dan saluran empedu akan

bergabung dalam satu daerah vena portis (segitiga Kiernaan). Empedu akan disalurkan dari hati ke duodenum melalui saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik (Guyton 1997).

Gambar 1. Lobus hati, dilihat dari anterior (Shier et al. 2002).

2.2.1 Anatomi Hati

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh. Hati terletak di rongga perut di sebelah kanan, tepat di bawah difragma, berwarna merah kecoklatan.

Hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesiesnya (Harada et al. 1999).

(40)

seluruh permukaan organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatik di permukaan inferior melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu (Wilson & Lester 1992). Hati bersama dengan jaringan ekstra hepatik dan beberapa hormon berperan dalam menjaga homeostatik pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah (Suharmiati 2003).

2.2.2 Histologi Hati

(41)

Gambar 2. Lobus hati, dilihat dari inferior (Shier et al. 2002).

Menurut struktur dan fungsinya, lobulus hati dibagi menjadi tiga zona atau daerah yaitu daerah sentrolobuler, daerah tengah (midzonal) dan daerah periportal. Daerah sentrolobuler merupakan akhir dari mikrosirkulasi yang menerima darah dari pertukaran gas dan metabolit dengan sel-sel dari daerah tengah dan periportal. Hal ini menyebabkan daerah sentrolobuler lebih sensitif terhadap gangguan sirkulasi (iskemia, anoksia, kongesti) dan defisiensi nutrisi. Sebaliknya, daerah

periportal dekat dengan pembuluh darah, menerima darah yang kaya O2 dan

nutrisi. Akan tetapi, apabila ada senyawa yang bersifat toksik dalam darah, maka daerah ini akan terpapar terlebih dahulu. Hepatosit di daerah periportal mempunyai lebih banyak mitokondria sedangkan di daerah sentrolobuler

mempunyai jumlah sitokrom p450 yang lebih banyak (Harada et al. 1999).

2.2.3 Fungsi Hati

Hati adalah suatu organ yang besar, dapat meluas, dan organ venosa yang mampu bekerja sebagai suatu tempat penampungan darah yang bermakna disaat volume darah berlebihan dan mampu mensuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah (Guyton 1997).

Beberapa fungsi hati menurut Ressang (1984) adalah :

- sekresi empedu

- metabolisme lemak

- metabolisme zat telur

- metabolisme hidrat arang

(42)

- fungsi detoksikasi

- pembentukan sel darah merah

- metabolisme dan penyimpanan penyakit

Hati memiliki tiga fungsi yaitu fungsi vaskuler, fungsi metabolik serta fungsi sekresi dan ekskresi (Dellman & Brown 1992). Fungsi vaskuler berhubungan dengan proses penyimpanan dan penyaringan darah. Pada fungsi metabolik, sel hati merupakan suatu tempat reaksi kimia dengan laju metabolisme yang tinggi. Kemudian juga tempat mengolah dan mensintesa berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh lain (Herdt 2002). Sedangkan fungsi sekresi dan ekskresi berperan untuk produksi empedu yang mengalir melalui saluran empedu ke saluran pencernaan (Guyton 1997).

Menurut Ganiswara (1995), hati berperan dalam pengaturan kadar glukosa dalam darah. Setelah makanan diabsorbsi di usus, glukosa dialirkan ke hati melalui vena porta. Sebagian lagi glukosa disimpan dalam bentuk glikogen. Setelah absorbsi selesai, glikogen dalam hati dipecah lagi menjadi glukosa. Pada keadaan normal persediaan glikogen dalam hati cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah selama beberapa jam, namun jika hati terganggu fungsinya akan mudah terjadi hiperglikemia atau hipoglikemia.

Hati berfungsi sebagai penawar racun, dengan cara memusnahkan racun tersebut atau dengan menggandeng racun tersebut dengan senyawa lain sehingga sifat racunnya hilang atau melemah (Girindra 1988). Sebagian besar bahan toksik memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal. Setelah terjadi proses penyerapan, bahan toksik tersebut dibawa oleh vena porta hati ke hati. Darah dipasok melalui vena porta dan arteri hepatika serta disalurkan melalui vena sentralis kemudian vena hepatika, hingga akhirnya ke dalam vena kava (Lu 1995). Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan (Siswandono & Bambang 1995).

2.2.4 Patologi Hati

(43)

gastrointestinal. Substansi zat-zat toksik termasuk tumbuhan, fungi, dan produk bakteri, juga logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi oleh tubuh. Proses ini mungkin juga mengaktifkan beberapa zat menjadi bentuk yang lebih toksik dan dapat menyebabkan terjadinya perlukaan hati (Carlton & McGavin 1995).

Bahan toksik dapat menyebabkan berbagai jenis kerusakan hati sebagai berikut:

 Degenerasi

Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan stuktur normal sel sebelum kematian sel. Gambaran patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan fungsi normal, biasanya progresif yang tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi sel terkadang merupakan indikasi gangguan metabolisme yang meluas. Jenis umum degenerasi sel disebut perubahan melemak. Di sini globuli lemak (terutama trigliserida) dideposisikan pada sitoplasma dalam jumlah besar. Hal ini terjadi pada kondisi Diabetes Mellitus, malagizi, iskhemik dan anemia hebat (Spector

1993). Degenerasi suram (cloudy swelling), berbutir, albuminoid atau

parenkim sering terlihat pada kejadian keracunan. Hati membesar, tepinya membulat, konsistensinya rapuh, sedangkan bidang sayatan belang atau beraspek seperti telah dimasak (Ressang 1984).

 Nekrosis

(44)

pertengahan, perifer) atau masif (Lu 1995). Nekrosis hati merupakan manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa. Pada umumnya nekrosa toksopatik hanya memerlukan waktu singkat untuk menimbulkan gejala klinis.

 Steatosis (perlemakan hati)

Secara patologis hal yang dapat menyebabkan perlemakan adalah hipoksemi oleh karena hati tidak dapat membakar lemak atau karena adanya toksin yang menyebabkan penurunan fungsi lipolitik hati. Toksin yang dapat menyebabkan perlemakan toksik adalah antimon, arsen, alkohol, dan racun lain yang memerlukan banyak oksigen sehingga lemak tinggal tidak terbakar.

 Sirosis Hati

Sirosis hati adalah pengerasan pada hati. Sirosis hati dicirikan dengan permukaan nodular, granular dan irregular, konsistensinya keras dan terjadi fibrosis difus. Sirosis dapat disebabkan oleh berbagai hal, akan tetapi dapat juga kausanya tidak diketahui. Pada umumnya bahan-bahan toksik dan parasit dapat menyebabkan sirosis hati (Ressang 1984). Menurut Spector (1993), sirosis berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme perbaikan. Kemudian keadaan ini menyebabkan aktivitas fibroplastik dan pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah dalam hati menjadi salah satu faktor pendukung.

Pasca mati hati menunjukkan tanda-tanda pembusukan. Perubahan warna coklat menjadi hitam-hijau atau biru-hitam pada bidang caudalnya terjadi karena

H2S di dalam usus bersenyawa dengan besi di dalam darah menjadi FeS. Pada

(45)

2.3 Usus Halus

Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum (Sturkie 1976). Usus halus merupakan tempat terjadinya pencernaan dan penyerapan makanan. Selaput lendir usus halus memiliki jonjot yang lembut dan menonjol seperi jari. Fungsi usus halus selain penggerak aliran pakan dalam usus juga untuk meningkatkan penyerapan sari makanan (Akoso 1993).

Gambar 3. Tiga bagian dari usus halus, yaitu duodenum,jejunum dan ileum (Shier et al. 2002).

2.3.1 Anatomi Usus Halus

Usus halus merupakan bagian dari sistem pencernaan yang terletak antara lambung dan usus besar yang merupakan tempat utama terjadinya pencernaan secara kimiawi dan penyerapan nutrisi. Usus halus dalam kerjanya dibantu oleh pankreas yang menghasilkan enzim yang digunakan dalam proses pencernaan. Secara normal usus halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum merupakan bagian proximal dari usus halus yang melewati bagian kaudal dari permukaan kanan ventrikulus dan membentuk suatu lengkungan seperti huruf “U”. Diantara lengkungan “U” tersebut terdapat pankreas (Sisson & Grossman 1953) yang menghasilkan enzim amylase, lipase dan tripsin (North 1984). Jejunum dan ileum tidak memiliki batas yang jelas, untuk menentukan batas antara usus halus tersebut berdasarkan letak dari Meckel’s divertikulum (Sisson & Grossman 1953).

(46)

dibandingkan usus halus karnivora, hal ini disebabkan karena daging lebih mudah dicerna.

2.3.2 Histologi Usus Halus

Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejunum dan ileum. Daerah duodenum memiliki lipatan mukosa yang melingkar dan memiliki banyak vili. Daerah jejunum mirip dengan daerah duodenum. Ukuran vili jejunum lebih langsing, lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit daripada duodenum. Daerah ileum mirip dengan jejunum. Vili pada ileum membentuk kelompok. Daerah ileum tidak memiliki lipatan-lipatan mukosa (Banks & William 1993). Secara umum, struktur utama dari usus halus adalah membran mukosa, lamina propia, submukosa, jaringan limfatik, serosa dan lapisan muskuler. Sel epitel menutupi seluruh permukaan bebas dari membran mukosa dan berbentuk epitel silindris sebaris (Xu & Cranwell 2003).

Pada lapis mukosa usus halus terdapat suatu bentuk khusus berupa vili-vili. Vili memperluas permukaan area lumen serta mengefisienkan proses absorbsi. Selain itu pada mukosa usus juga ditemukan kripta-kripta usus. Kelenjar-kelenjar yang terdapat pada mukosa memiliki bentuk tubular sederhana. Pada daerah di bawah epithelium merupakan lamina propia. Lamina propia mengandung leukosit dan jaringan limfatik berupa nodul-nodul. Ditemukan

nodul-nodul limfatik yang beragregasi membentuk Payer’s patches. Lapis

submukosa usus halus terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah dan pembuluh limfatik (Xu & Cranwell 2003).

(47)

Sel epitel usus halus terdiri dari empat macam sel yaitu (Bloom & Fawcett 1968; Telford & Bridgman 1995):

- Sel penyerap berbentuk silindris dengan mikrovili berfungsi untuk

menyerap sari makanan

- Sel Goblet / sel mangkok, tersebar tidak teratur dan tidak merata pada

epitel permukaan. Sel ini menghasilkan mucus yang berfungsi untuk melindungi mukosa

- Sel Argentaffin / sel enterokhromafin, menghasilkan serotonin yang

menstimulasi kontraksi otot polos, serta menyalurkan hormon seperti sekretin, gastrin dan kholesitokinin

- Sel Paneth, berbentuk silindris atau pyramidal dengan inti bulat terletak di

basal. Sel Paneth terletak di ujung kelenjar Liberkuhn, fundus dan sekum (pada unggas, karnivora dan babi sel ini tidak ada).

Sel epitel yang terdapat dalam kelenjar kripta termasuk stem sel

undifferentiated, sel Goblet, sel Paneth dan sel endokrin. Sel Goblet mensekresikan mucus dan memiliki fungsi yang sama dengan sel Goblet pada vili usus. Sel endokrin memproduksi berbagai macam hormon maupun peptide (Xu & Cranwell 2003).

Sel Paneth merupakan sel eksokrin dengan granul-granul sekretori pada apikal sitoplasma. Granul-granul sekretori ini menghasilkan lisosim yang memiliki aktivitas antibakterial dan mengontrol mikrobiota. Stem sel yang belum terdiferensiasi memiliki kemampuan mitotik yang tinggi. Sel epitel baru yang tumbuh oleh proses mitosis dari stem sel berpindah ke atas sepanjang vili dan sering menembus ujung vili (Xu & Cranwell 2003). Peradangan pada usus halus (enteritis) yang subakut disertai dengan infiltrasi sel limfosit dan yang kronis bersifat proliferatif bisa terjadi (Nabib 1987).

(48)

seperti lidah pada bagian jejunum proksimal, dan seperti jari panjang pada bagian jejunum distal. Sedangkan ileum memiliki vili yang berbentuk menyerupai jari.

Permukaan vili mempunyai tiga macam jenis sel, yaitu sel absorbtif, sel Goblet, dan sel Argentafin. Kripta Lieberkuhn atau kelenjar usus terdapat pada permukaan diantara vili yang meluas ke daerah muskularis mukosa. Lamina propia berbentuk jaringan ikat longgar yang merupakan pusat vili dan mengelilingi kelenjar usus. Bagian ini terdiri dari serabut kolagen dan elastik dalam jalinan serabut retikuler dimana dalam jalinan ini terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe, leukosit, fibroblast, otot polos, sel plasma, dan sel mast (Dellman & Brown 1992). Muskularis mukosa terdiri dari lapis otot tipis yang halus.

Lapisan sub-mukosa berupa jaringan ikat longgar yang didalamnya terdapat saraf, arteri, pembuluh limfe besar, vena, ganglion dari sistem saraf parasimpatikus, dan kumpulan badan sel saraf terlokalisasi yang merupakan elemen dari pleksus sub-mukosa. Pada duodenum terdapat kelenjar sub-mukosa

atau yang disebut kelenjar Brunner (Swenson dalam Handaruwati 2000).

Lapisan tunika muskularis terdiri dari dua lapis, yaitu lapis dalam yang tersusun melingkar dan lapis luar yang tersusun memanjang. Diantara kedua lapis

tersebut terdapat jaringan ikat longgar yang mengandung Plexus Mientricus atau

Plexus Aurbach. Pleksus ini bersama dengan Plexus Meissner yang terdapat pada sub-mukosa akan menginervasi kontraksi usus yang mencampur makanan dengan enzim, kemudian menggerakan makanan yang sudah dicerna agar kontak dengan permukaan sel-sel absorbsi lalu mendorongnya ke kaudal.

(49)

Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili (Dellman & Brown 1992).

Permukaan bagian dalam dari usus halus adalah membran mukosa yang terdiri dari sel epitel kolumnar, beberapa diantaranya akan mengalami modifikasi dan membentuk sl Goblet guna produksi mukus. Di sebelah luar permukaan membran mukosa yang menyelimuti usus halus banyak terdapat vili yang berguna untuk absorbsi zat makanan (Frandson 1992). Dalam keadaan normal selaput lendir usus terlapisi oleh isi usus yang bercampur dengan getah usus, getah pankreas, empedu, lendir usus dan kuman-kuman.

2.3.3 Fungsi Usus Halus

Pada usus halus terjadi gerakan peristaltik yang berperan mencampur digesta dengan cairan pankreas dan empedu. Usus halus menghasilkan enzim amilase, protease, dan lipase yang berfungsi memecah zat makanan menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diserap tubuh, selain itu usus halus juga melaksanakan pencernaan kimiawi serta memegang peranan penting dalam transfer material nutrisi dari lumen ke dalam pembuluh darah dan limfe (Moran 1985).

Usus halus memiliki fungsi sebagai tempat penyaluran makanan dan penyerapan nutrisi ke dalam pembuluh darah dan pembuluh limfe. Dalam usus, asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion sehingga tidak mudah diserap, sedangkan basa lemah akan berada dalam bentuk ion-ion sehingga mudah diserap. Absorbsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lamanya waktu kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus (Lu 1995). Usus halus meliputi duodenum, jejunum dan ileum. Fungsi duodenum dan jejunum ialah pencernaan dan penyerapan (absorbsi) sedangkan ileum untuk absorbsi makanan dan cairan. Duodenum merupakan tempat absorbsi besi dan folat. Duodenum juga menjadi tempat penting terjadinya pencampuran antara makanan dengan garam empedu dan enzim pankreas. Jejunum menjadi bagian dari usus halus yang paling banyak mengabsorbsi mikronutrien. Selain nutrien, obat juga diabsorbsi disini. Motilitas makanan yang melewati ileum lebih lambat daripada jejunum. Neurohormonal

(50)

oleh ileum terminal berperan memberikan efek trofik pada mukosa (Andra 2007). Pencernaan ingesta menjadi bentuk yang siap diserap, dimulai dengan bekerjanya enzim pankreas, empedu dari hati dan sekreta kelenjar usus. Peristiwa ini berlangsung di sepanjang usus halus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk yaitu plika sirkularis pada dua pertiga bagian depan, vili yang berbentuk jari dengan permukaan selaput lendir dan mikrovili yang merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili (Dellman & Brown 1992).

Aktivitas pencernaan memerlukan sejumlah enzim dan banyak lendir untuk melindungi epitel terhadap kerusakan mekanik maupun iritasi enzim. Lendir dihasilkan oleh kelenjar submukosa dan sel Goblet di antara sel epitel (Himawan 1998).

2.3.4 Patologi Usus Halus

Gangguan yang sering terjadi pada usus adalah obstruksi, perpindahan

(hernia/eventration) dan peradangan usus (enteritis).

Obstruksi akut pada usus lebih sering terjadi pada usus halus, sedangkan usus besar lebih sering tertimpa obstruksi kronis. Obstruksi akut dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, menurut cara perkembangannya:

 Oklusi sederhana, berasal dari substansi mekanik dan sumbernya tidak

tentu, namun secara umum dapat dibagi menjadi obstruksi intraluminal, obstruksi yang terjadi pada dinding usus atau obstruksi yang terjadi dari tekanan di perbatasan.

 Strangulasi, terjadi ketika selain terjadi oklusi pada usus juga terjadi oklusi

pada pembuluh darah, biasanya pada vena namun dapat terjadi pada arteri dan vena.

 Ileum paralitik adalah obstruksi fungsional yang biasanya timbul karena

reflek penghambatan, tetapi mungkin juga terjadi karena metabolik dan komplikasi dari hipokalemia.

(51)

 Internal hernia, merupakan perpindahan usus melalui foramen normal atau patologik di dalam ruang abdominal tanpa terbentuk kantung hernia.

 Eksternal hernia, secara khas terdiri dari kantung hernia yang dibentuk

sebagai kantung peritoneum parietal, menutupi kulit dan jaringan lunak tergantung pada lokasi hernia, cincin hernia dan isi hernia. Cincin hernia adalah pembuka dinding abdominal yang dapat terjadi secara dapatan atau alami seperti cincin inguinal. Isi hernia biasanya terdiri dari bagian omentum, bagian usus yang lebih bebas bergerak –biasanya usus halus- dan kadang-kadang organ viscera lainnya.

Enteritis secara umum terjadi pada bagian manapun dari usus, namun karena peradangan lebih umum dan parah ketika menimpa usus halus, maka peradangan pada sekum, kolon dan rektum lebih dikenal dengan sebutan typhlitis, colitis dan proctitis. Pada banyak kasus, spesifik atau non-spesifik, perubahan menimpa keseluruhan bagian usus dan terkadang juga menimpa lambung sehingga dapat disebut gastroenteritis. Penyebabnya antara lain infeksi bakteri, virus, mikosis, protozoa, riket dan cacing, gangguan vaskular dan metabolik, toksin bakteri, keracunan zat kimia dan defisiensi nutrisi seperti vitamin B (Jubb

et al. 1993).

2.4 Limpa

Gambar 4. Limpa (Shier et al. 2002).

(52)

limfoid di dalam tubuh (Guyton 1997). Sistem jaringan limfoid dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu organ limfoid primer dan sekunder (Tizard 1988). Organ limfoid primer merupakan organ yang berfungsi mengatur produksi dan diferensiasi limfosit dan tempat pengaturan perkembangan limfosit. Sedangkan organ limfoid sekunder merupakan organ limfoid yang responsif terhadap stimulasi antigenik atau tempat interaksi limfosit-antigen dan pengontrolannya. Tizard (1988) dan Guyton (1997) mengelompokkan limpa sebagai salah satu organ limfoid sekunder. Limpa adalah jaringan limfoid yang membentuk organ paling besar dalam tubuh hewan. Limpa memiliki kapsula dan trabekula yang mengandung otot polos yang berperan memobilisasikan darah bila aktivitas fisiologik meningkat (Hartono 1989).

2.4.1 Anatomi Limpa

(53)

2.4.2 Histologi Limpa beberapa otot polos, sedangkan trabekula tebal yang mengandung cabang-cabang besar arteri dan vena splenikus (lienalis) berjalan dari kapsula ke bagian dalam organ. Diantara trabekula terdapat anyaman serat retikulin yang menunjang parenkim limpa. Parenkim limpa terdiri dari dua bagian yaitu pulpa merah dan pulpa putih.

Pulpa merah. Sebagian besar dari pulpa limpa berwarna merah dan

mengandung banyak darah yang disimpan dalam jalinan retikuler. Pulpa merah terdiri dari arteriol pulpa, kapiler selubung serta kapiler terminal, sinus venous atau venula, dan bingkai limpa. Pulpa merah pada limpa ruminansia dan babi banyak mengandung sel-sel otot polos, sedangkan kuda dan anjing memiliki miofibroblas, sel yang mirip fibroblas tetapi memiliki sifat mirip otot polos (Dellman & Brown 1992).

Pulpa putih. Pulpa putih adalah jaringan limfatik yang menyebar di

seluruh limpa sebagai nodulus limpa dan seperti selubung limfatik periarterial. Nodulus dapat atau tidak dapat memiliki pusat kecambah yang aktif tergantung pada status fungsinya. Sel-sel utama dalam nodulus adalah limfosit B, sedangkan limfosit T berbatasan dengn tunika media, dan limfosit B membentuk daerah perifer pada selubung limfatik (Dellman & Brown 1992).

Daerah marginal. Pada permukaan pulpa putih, retikulum membentuk

(54)

Ada beberapa teori mengenai hubungan antara arteriol dan venula pada limpa. Pertama adalah teori terbuka, yaitu darah akan mengalir keluar dari terminal arterial dalam pulpa merah sampai menemukan permulaan dari aliran venous. Kedua adalah teori tertutup, yaitu darah dari arteriol terminal masuk sinusoid atau sinus venous, valvulae aferen dan eferen dari sinus venous secara periodik membuka dan menutup. Hal ini memungkinkan terjadinya proses pengaliran, pengisian, penyimpanan dan pengosongan dari sinus venous. Pada proses penyimpanan sinus membesar dan makrofag mempergunakan kesempatan ini untuk mengangkut pecahan eritrosit. Teori terakhir adalah teori kombinasi yang merupakan gabungan antara teori terbuka dan tertutup yaitu bila limpa dalam kontraksi, sel retikulum epitel merapat sehingga membentuk sinus venous yang menghubungkan arteriola dan venula. Tapi bila limpa mengembang, susunan sel retikulum epitel agak merenggang sehingga darah dapat keluar dalam jaringan (Hartono 1989).

2.4.3 Fungsi Limpa

Fungsi utama limpa ialah menyimpan darah yang tidak ikut dalam peredaran darah. Pengeluaran darah dari limpa disebabkan oleh kontraksi alat tubuh yang dapat ditimbulkan oleh emosi, kekurangan zat asam (kenaikan kadar

CO2 darah, gerak badan ataupun kehilangan darah) dan pada

perangsangan-perangsangan nervus simpatikus pada umumnya (Ressang 1984). Menurut Tizard (2004) dan Boyd (1962), limpa berfungsi menyaring darah dan sebagai tempat penyimpanan eritrosit dan trombosit dan melaksanakan eritropoiesis pada fetus. Karena itu, limpa terbagi atas dua bagian : satu bagian untuk menyimpan eritrosit, untuk penjeratan antigen dan untuk eritropoiesis, yang disebut pulpa merah; dan bagian yang lain yang di dalamnya terjadi tanggap kebal yang disebut pulpa putih.

Fungsi lain limpa menurut Ressang (1984) adalah :

 Membentuk sel-sel darah putih yaitu limfosit, yang ada hubungannya

dengan pembentukan globulin (antibodi).

(55)

 Pembinasaan eritrosit tua bersama dengan sumsum tulang dan sel RES hati. Oleh sebab itu limpa mengandung banyak lipid (kolesterol dan lesitin) dan besi. Hematin diubah limpa menjadi hemobilirubin.

 Menjaring kuman-kuman dari darah. Hal ini karena limpa terdiri dari

banyak sel-sel RES.

 Ikut serta dalam metabolisme nitrogen terutama dalam pembentukan asam

kemih.

2.4.4 Patologi Limpa

Perubahan ukuran, warna dan konsistensi limpa biasanya disebabkan oleh respon limpa terhadap benda asing yang dapat menimbulkan proses-proses reaktif, sehingga ketika diamati sacara mikroskopis limpa terlihat membengkak. Infeksi pada tubuh akan merangsang sel-sel limfosit dalam organ limfoid untuk

membentuk antibodi (Volk & Wheleer 1993). Jones et al. (2006) menyatakan

bahwa pembesaran limpa bisa diakibatkan oleh beberapa mekanisme yang berbeda, yaitu gangguan sirkulasi, penyakit inflamasi, penyakit metabolik dan neoplasia. Menurut Thomas (1979), perubahan patolgi yang terjadi pada limpa dianggap berkenaan dengan bangunan trabekula, sinus pada pulpa merah dan pulpa putih, terutama pada kandungan darah, gambaran fibrosa, jumlah sel dan deposit lain.

Perubahan ukuran dan warna limpa dapat terlihat dengan pemeriksaan mikroskopis (histologis) pada sejumlah sel-sel darah yang banyak mengisis ruang limpa di sinus-sinus dan pulpa, serta pembuluh darah limpa yang membendung (hiperemi). Konsistensi limpa dapat menjadi keras dan ukurannya membesar oleh karena pertumbuhan jaringan retikulum dan hiperplasia sel serta pertumbuhan

jaringan Reticulo Endothelial system (RES) sehingga menghasilkan sel-sel besar

Gambar

Gambar 1. Lobus hati, dilihat dari anterior (Shier et al. 2002).
Gambar 2. Lobus hati, dilihat dari inferior (Shier et al. 2002).
Gambar 3. Tiga bagian dari usus halus, yaitu duodenum,jejunum dan ileum (Shier et al. 2002)
Gambar 4. Limpa (Shier et al. 2002).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan perkuliahan Fisiologi Hewan melalui strategi tutorial berbantuan komputer bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis (KBK),

Sistem hidroponik substrat merupakan metode budidaya tanaman di mana akar tanaman tumbuh pada media porus selain tanah yang dialiri larutan nutrisi sehingga

Oleh karena itu dalam upaya pencapaian Visi dan Misi pada Renstra Badan Pemberdayaan masyarakat, Pemerintahan Nagari,Keluarga Berencana dan Pemberdayaan

Desiminasi hasil penelitian model pelatihan komunikasi pembelajaran berbasis multimedia untuk pengembangan kompetensi mudarris pondok pesantren dilakukan pada

Dalam menentukan keputusan untuk melakukan transaksi di pasar modal, investor akan mendasarkan keputusannya pada berbagai informasi publik termasuk pengumuman dividen yang

Proyeksi di atas dengan adanya kenaikan secara stabil per tahunnya di dapat dari permintaan pertahunnya dari konsumen atau pembeli jasa desain logo dan desain packaging ini, di

1) Secara umum kulit ikan tuna yang merupakan limbah non ekonomis dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku pembuatan gelatain yang berstandar mutu industri farmasi,

2004The Practice of Ultrasound, A Step by Step Guide to Abdominal Scanning.Thieme, New York,.. 1985.Critical Reading of The Biometry