• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan Perikanan Pantai Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan Perikanan Pantai Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

KESETARAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN

PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG,

JAWA BARAT

SRI MURNI SOENARNO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi KESETARAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2007

Sri Murni Soenarno

(3)

RINGKASAN

SRI MURNI SOENARNO. Kesetaraan Gender dalam Pembangunan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dibimbing oleh DANIEL R. MONINTJA, RUDY C. TARUMINGKENG dan AIDA VITAYALA S. HUBEIS.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, di mana 65 persen penduduknya, termasuk nelayan, hidup di wilayah pesisir. Perbandingan persentase penduduk perempuan dan lelaki hampir sama, maka potensi perempuan dapat dijadikan modal pembangunan. Perempuan banyak berperan dalam kegiatan perikanan, seperti pedagang ikan, pengolah ikan dan pengelola keuangan, tetapi peran perempuan belum terdokumentasikan sehingga mereka tidak dilibatkan dalam pembangunan perikanan.

Produksi perikanan Kabupaten Subang yang berasal dari laut adalah lima puluh persen dari jumlah total produksi perikanan. Pendaratan ikan laut tangkapan banyak dilakukan di dua pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang terletak di Kecamatan Blanakan yaitu PPP Blanakan dan PPP Ciasem.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis kesetaraan gender dalam pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang saat ini, (2) menganalisis sikap masyarakat pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai, dan (3) menyusun alternatif program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Analisis data yang digunakan adalah kombinasi analisis gender (Gender Analysis Pathway dan analisis Moser), analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) dan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP).

(4)

ABSTRACT

SRI MURNI SOENARNO. Gender Equality in Coastal Fisheries Development: The case of Subang District, West Jawa. Under the direction of DANIEL R. MONINTJA, RUDY C. TARUMINGKENG and AIDA VITAYALA S. HUBEIS.

Indonesia is the biggest archipelagic state in the world where about 65 percent of their population, including fishermen, lives in the coastal area. The percentage ratio between male and female population is almost equal, so women can be a potential capital for development. Women play multiple roles in fishery activities, such as fish-trader, fish-processor, and financial administrator. However, their roles are not well documented. Fifty percent of Subang fisheries come from the sea. The most of fishes have been landed at Blanakan and Ciasem coastal port.

This research is aimed at: (1) Analyzing gender responsive of the Subang District marine and fishery programs; (2) Analyzing the attitude of coastal community toward gender equality in coastal fisheries; and (3) Developing alternative programs for coastal fishery to be gender responsive. The data analyses used the combination of gender analysis (Gender Analysis Pathway and Moser Analysis), Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) analysis and Analytical Hierarchy Process (AHP) approach.

The results of the research conclude that: (1) Marine and fishery programs of Subang District have not yet been gender responsive. In a family, wife responsible and becomes a dominant decision maker in domestic and social activities and as a financial administrator. On the other hand, husband responsible and becomes a dominant decision maker in production activities and political decision. (2) The community attitude may be influenced by work opportunity and culture through family education. (3) The coastal fishery development program which is gender responsive has the most chance and is considered important by stakeholders (local government, Mina Village Unit Cooperative, and fishermen) to be implemented is human resource development program for male and female.

(5)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007. Hak cipta dilindungi undang-undang.

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya

ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

(6)

KESETARAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN

PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG,

JAWA BARAT

OLEH:

SRI MURNI SOENARNO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Titik Sumarti

(8)

Judul Disertasi : Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Sri Murni Soenarno Nomor Pokok : P. 062024051

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja Ketua

Prof. Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF Dr.Ir. Aida Vitayala S. Hubeis

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

(9)

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga disertasi ini dapat tersusun sesuai jadwal yang direncanakan. Disertasi dengan judul “Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat” ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan akademis pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja, Prof.Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF dan Dr.Ir. Aida Vitayala S. Hubeis selaku Komisi Pembimbing yang telah memberi bekal yang memadai sampai tersusunnya disertasi ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Dr. Titik Sumarti selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup serta kepada Prof.Dr Meutia Hatta Swasono dan Prof.Dr.Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira yang telah bertindak sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka.

Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada pihak-pihak yang membantu kelancaran penelitian lapangan yaitu pejabat di Dinas Kelautan Dan Perikanan dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, aparat di Kantor Desa Blanakan dan Desa Muara, pengurus KUD Fajar Sidik dan KUD Mina Bahari, serta pihak-pihak lainnya yang tidak tersebutkan namanya di Kabupaten Subang.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada jajaran Pengurus, Pembina dan Pengawas serta kolega di The Indonesian Wildlife-Conservation Foundation

(IWF), yaitu Ir. Soedjadi Hartono, Prof.Dr. Abdul Bari, Drs. Ismu S. Suwelo, Ir. Koes Saparjadi, MF, Sukandi, SH., Prof.Dr. Dedi Sudharma, Drs. Djoko Setiono, Ir. Ervizal A.M. Zuhud, serta staf lainnya, atas bantuan beasiswa dan dukungannya. Terima kasih yang tak terucapkan kepada almarhum Prof.Dr. Rubini Atmawidjaja, dan almarhum Burhanuddin, BcKN atas dukungan yang pernah diberikan, serta kepada almarhum Prof.Dr. Kasijan Romimohtarto, MSc atas wawasan awal tentang peran perempuan pesisir di bidang perikanan.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada suami, Ir. Muhammad Ikhsan, MSi atas dukungan semangat, waktu, doa, kesabaran dan materi sejak awal perkuliahan hingga kelulusan penulis, serta kepada putrinda Astari Miranti dan Irena Ganesha atas dukungan semangat dan doa serta kesabarannya. Terakhir terima kasih kepada ayahanda, Ir. Soenarno Josodarsono (alm) atas didikan tentang pentingnya memiliki semangat juang, dan kepada ibunda, Siti Moersijam Prodjosoewito atas informasi awal tentang masalah gender.

Penulis memohon maaf kepada semua pihak jika ada kesalahan baik perkataan dan perilaku yang sengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan oleh penulis selama masa perkuliahan, penelitian hingga lulus.

Bogor, Oktober 2007

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 9 Juni 1963 sebagai anak ketiga dari empat anak pasangan Ir. Soenarno Josodarsono (alm) dan Siti Moersijam Projosoewito. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta, UNJ), lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1984, penulis terpilih menjadi Mahasiswa Teladan II IKIP Jakarta, saat menjabat sebagai Ketua Sub Unit Karawitan IKIP Jakarta. Setelah lulus S1, pada tahun 1987, penulis diterima di Program Studi S2 Ilmu Lingkungan–Ekologi Manusia (ILEM) pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan menamatkannya sebagai Magister Sains (MSi) pada tahun 1990. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor (S3) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2003. Biaya kuliah diperoleh dari instansi kerja penulis yaitu The Indonesian Wildlife-Conservation Foundation, IWF (Yayasan Pelestarian Alam dan Kehidupan Liar Indonesia).

Penulis bekerja sebagai konsultan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sejak tahun 1990. Pada tahun 1992 sampai 1997, penulis bekerja sebagai konsultan di PT. Selaras Rona Consultant, Jakarta.

Penulis bekerja di IWF sejak tahun 1990 hingga sekarang. Saat ini, penulis adalah anggota pengurus dan berkedudukan sebagai Sekretaris Yayasan IWF serta sebagai Pimpinan Redaksi WARTA IWF, terbitan berkala IWF. Bidang tugas kekhususan yang menjadi tanggung jawab penulis saat ini adalah pusat informasi dan pangkalan data.

Makalah ilmiah yang berjudul “Pemberdayaan Wanita Nelayan Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Lestari” telah disajikan pada Lokakarya Nasional “Optimalisasi Peran Wanita Nelayan di Pesisir Pantai” yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis Universitas Hang Tuah Surabaya ke 16 pada tgl 24 April 2003 di Surabaya. Artikel berjudul ”Analisis Gender Terhadap Kegiatan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat” dimuat pada Buletin PSP Volume XVI Nomer 1 April 2007, yaitu jurnal terakreditasi dari Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Departemen PSP) Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan (FPIK) IPB. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

Penulis menikah dengan Ir. Muhammad Ikhsan, MSi pada tahun 1990 dan dikaruniai dua puteri yaitu Astari Miranti (lahir tahun 1991) dan Irena Ganesha (lahir tahun 1993).

Penulis dinyatakan lulus dalam Ujian Doktor Terbuka pada hari Kamis tanggal 4 Oktober 2007.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

DAFTAR SINGKATAN xviii

DAFTAR ISTILAH xix

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 5

1.3.1 Tujuan penelitian 5

1.3.2 Manfaat penelitian 5

1.4 Hipotesis 6

1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian 6

1.6 Penelitian Yang Pernah Dilakukan 8

1.7 Novelty 12

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan 14

2.2 Pembangunan Perikanan Pantai 23

2.2.1 Kebijakan dan program pembangunan perikanan Indonesia

23 2.2.2 Peran perempuan dalam komunitas pesisir 24

2.2.3 Perikanan pantai 27

2.3 Sikap dan Pengambilan Keputusan 31

3 METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 34

3.2 Metode Penelitian 34

3.2.1 Rancangan penelitian 34

3.2.2 Pelaksanaan penelitian 36

3.3 Analisis Data 39

3.3.1 Analisis gender 40

3.3.2 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT)

42 3.3.3 Pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) 43

3.4 Definisi Operasional 43

4 KONDISI UMUM

(12)

Halaman

4.2 Kondisi Kependudukan Kabupaten Subang 47

4.2.1 Distribusi penduduk 47

4.2.2 Pendidikan 51

4.2.3 Kesehatan 52

4.2.4 Kegiatan ekonomi 54

4.3 Perikanan Kabupaten Subang 56

4.3.1 Ekosistem pesisir Kabupaten Subang 56

4.3.2 Kegiatan dan hasil perikanan laut 57

4.3.3 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang 58

4.4 Pengarusutamaan Gender di Kabupaten Subang 60

4.4.1 Landasan hukum 60

4.4.2 Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Subang

63

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Masyarakat Umum Kecamatan Blanakan 66

5.1.1 Karakteristik sosial budaya 66

5.1.2 Kegiatan ekonomi di bidang perikanan laut 71

5.1.3 Rona lingkungan hidup 84

5.2 Pengarusutamaan Gender Dalam Perikanan Pantai 87

5.3 Sikap Terhadap Kesetaraan Gender Dalam Kegiatan Perikanan Pantai

115 5.4 Pembangunan Perikanan Pantai Yang Responsif Gender 124 5.4.1 Strategi pembangunan perikanan pantai berbasis

kesetaraan gender

124 5.4.2 Prioritas untuk pembangunan perikanan pantai

yang responsif gender

126

5.6 Pembahasan Umum 136

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan 146

6.2 Saran 148

DAFTAR PUSTAKA 150

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Metode penelitian untuk pengumpulan data dan analisis data

sesuai tujuan penelitian di Desa Blanakan dan Desa Muara, Kabupaten Subang, tahun 2006

39

2 Perbandingan distribusi penduduk Indonesia, Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tahun 2005

48 3 Jumlah penduduk lahir, mati, datang dan pindah menurut jenis

kelamin di Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tahun 2005

48

4 Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005

49 5 Jumlah penduduk kelompok umur produktif dan kelompok umur

tidak produktif menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005

49

6 Status perkawinan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2000-2004

50 7 Persentase perempuan pernah kawin menurut umur perkawinan

pertama di Kabupaten Subang tahun 1998-2003

50 8 Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang buta huruf

menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004

51 9 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur dan jenis

kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004

51 10 Persentase pendidikan tertinggi yang ditamatkan menurut jenis

kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003-2004

52 11 Jumlah dan rasio fasilitas kesehatan di Kabupaten Subang tahun

2003

53 12 Persentase penduduk menurut jenis pengobatan dan jenis

kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003

53 13 Persentase balita menurut status gizi di Kabupaten Subang tahun

1999-2005

53 14 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran

Terbuka menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2002-2004

54

15 Rasio pekerja menurut lapangan pekerjaan utama menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003-2004

55 16 Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang bekerja

menurut sektor, status pekerjaan dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2002-2004

55

17 Produksi sub sektor perikanan laut menurut tempat pendaratan ikan Kabupaten Subang tahun 2005

57 18 Pendidikan terakhir responden menurut jenis kelamin di

Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005

(14)

Halaman 20 Perahu/kapal motor yang mendaratkan ikan di PPP Blanakan

dan PPP Muara Ciasem Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005

72

21 Produksi KUD/TPI Fajar Sidik dan KUD/TPI Mina Bahari di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005

72 22 Visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan program pembangunan

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang tahun anggaran 2005-2009

88

23 Program, tujuan umum, indikasi, kegiatan dan sasaran kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009

90

24 Bentuk dan sumber data serta jumlah pekerja di bidang kelautan dan perikanan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005

91

25 Kegiatan dan alokasi waktu dalam satu hari menurut musim ikan dan jenis kelamin pada rumahtangga komunitas di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

97

26 Pembagian tugas dalam rumahtangga menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

100 27 Pola pengambilan keputusan dalam keluarga menurut kegiatan

di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

103 28 Unsur kesetaraan gender dalam pembangunan pada komunitas

perikanan laut di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

107

29 Analisis akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi lelaki dan perempuan dalam program dan kegiatan bidang kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009

108

30 Faktor kesenjangan gender berdasarkan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat dalam program kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009

109

31 Faktor penyebab dari masalah kesenjangan gender dan isu gender di bidang perikanan dan kelautan di Kabupaten Subang tahun 2006

110

32 Reformulasi kebijakan dan kegiatan berdasarkan isu gender pada pembangunan kelautan dan perikanan pantai Kabupaten Subang

112 33 Rekapitulasi analisis gender dan rencana aksis pembangunan

perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang

113

34 Sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

119

35 Bobot, peringkat dan skor dari faktor internal pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang tahun 2006

125

36 Bobot, peringkat dan skor dari faktor eksternal pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang tahun 2006

(15)

Halaman 37 Kepentingan faktor untuk pembangunan perikanan pantai yang

responsif gender menurut pelaku

129 38 Program terpenting pembangunan perikanan pantai yang

responsif gender berdasarkan faktor penting dan menurut aparat Pemda

132

39 Program terpenting pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan faktor penting dan menurut pengurus KUD Mina

134

40 Rekapitulasi urutan program terpenting dalam pelaksanaan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender menurut pelaku di Kabupaten Subang

135

41 Rekapitulasi alternatif program dan kegiatan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan aspek pembangunan perikanan berkelanjutan di Kabupaten Subang

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian 8

2 Kerangka sistem perikanan berkelanjutan (Charles 2001) 30

3 Kerangka kerja KIE (modifikasi DENR et al. 2001) 33

4 Posisi pembangunan perikanan pantai saat ini dengan analisis SWOT

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta Kecamatan Blanakan 159

2 Rencana kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009

160 3 Kuesioner sikap terhadap pengelolaan perikanan dan kesetaraan

gender

163 4 Skor-T dari sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam

perikanan pantai

164

5 Hasil pengolahan data dengan SPSS 166

6 Strategi SWOT untuk pembangunan perikanan pantai di Kabupaten Subang

168

(18)

DAFTAR SINGKATAN AHP : Analytical Hierarchy Process

BPMD : Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Dislutkan : Dinas Kelautan dan Perikanan DKP : Departemen Kelautan dan Perikanan GAP : Gender Analysis Pathway

GDI : Gender-related Development Index

GEM : Gender Empowerment Measured HDI : Human Development Index IPM : Indeks Pembangunan Masyarakat KUD : Koperasi Unit Desa

MDGs : Millennium Development Goals

PPP : Pelabuhan Perikanan Pantai PUG : Pengarusutamaan Gender

RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional SDM : Sumberdaya Manusia

SWOT : Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats

(19)

DAFTAR ISTILAH

Bias gender : Pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lainnya sebagai akibat pengaturan dan kepercayaan budaya yang lebih berpihak kepada jenis kelamin tertentu, misalnya, lebih berpihak kepada lelaki daripada kepada perempuan atau sebaliknya. Data terpilah menurut

jenis kelamin

: Informasi statistik yang membedakan perempuan dan lelaki, misalnya, ‘prosentase perempuan dan lelaki dalam angkatan kerja” bukan “jumlah penduduk dalam angkatan kerja”

Isu gender : Isu-isu dan permasalahan yang disebabkan oleh

ketimpangan gender. Bagian dari permasalahan adalah diskriminasi terhadap perempuan, terutama dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber kehidupan, kesempatan, status, peran, hak, dan penghargaan.

Keadilan gender : Adalah proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya. Keadilan gender mengantar ke kesetaraan gender.

Kesetaraan gender Berarti perempuan dan laki-laki menikmati status yang sama dan memiliki kondisi yang sama untuk menggunakan hak-haknya dan kemampuannya secara penuh dalam memberikan kontribusinya kepada pembangunan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan demikian, kesetaraan gender merupakan penilaian yang sama yang diberikan masyarakat atas kesamaan dan perbedaan antara perempuan dan laki-laki, dan atas berbagai peran yang mereka lakukan. Kesenjangan gender : Suatu istilah yang mengacu kepada perbedaan-perbedaan

(20)

Pengarusutamaan gender

: Adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan gender melalui kebijakan publik. Selain itu, ia juga merupakan suatu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan yang memasukkan pengalaman-pengalaman dan permasalahan-permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program dalam bidang-bidang politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. Tujuan pengarusutamaan gender adalah untuk memastikan apakah perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati manfaat pembangunan sehingga kesenjangan gender tidak ada lagi).

Perencanaan yang responsif gender

: Perencanaan yang responsif gender adalah penggunaan dan pengintegrasian kerangka gender dan Pembangunan ke dalam keseluruhan siklus perencanaan pembangunan dari suatu proyek.Siklus suatu proyek yaitu perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dimana ditiap tahap tersebut partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki terjadi sehingga kebutuhan-kebutuhan dan potensi-potensi mereka yang berbeda diperhatikan.

Perspektif gender : Menggunakan aspek gender untuk membahas atau menganalisis isu-isu di dalam bidang-bidang: politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya, agama, psikologi untuk memahami bagaimana aspek gender tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, program, proyek, dan kegiatan-kegiatan. Dalam pembahasan tersebut dipelajari bagaimana faktor gender menumbuhkan diskriminasi dan menjadi perintang bagi kesempatan dan pengembangan diri seseorang.

Responsif gender : Perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan-perbedaan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan-hambatan struktural dalam mencapai kesetaraan.

Sensitif gender : Adalah kemampuan untuk mengenali kesenjangan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki di dalam keluarga dan di dalam komunitas; dampak pembagian kerja berdasarkan gender terhadap perempuan dan laki-laki; bahwa pengalaman, permasalahan, kebutuhan, kepentingan, aspirasi perempuan dan laki-laki juga berbeda. Kesadaran ini membawanya kepada kepekaan gender yang artinya selalu mempertanyakan apakah suatu kebijakan, program, proyek, kegiatan adalah adil dan berdampak sama terhadap perempuan dan laki-laki dan hasilnya juga sama-sama dinikmati oleh perempuan dan laki-laki.

(21)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia. Hal itu dikarenakan Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau besar dan kecil, dengan garis panjang pantai lebih kurang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 yang terdiri dari 0,3 juta km2 Perairan Teritorial dan 2,8 juta km2 Perairan Nusantara. Pesisir dan laut Indonesia banyak mengandung kekayaan sumberdaya alam, seperti keanekaragaman hayati laut, baik flora dan fauna, ekosistem, dan kandungan bahan mineral seperti minyak dan gas bumi. Sumberdaya alam (SDA) tersebut dimanfaatkan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, swasta hingga masyarakat didalam menyokong keberlangsungan hidup dan pembangunan. Sekitar 65 persen penduduk Indonesia hidup di sekitar wilayah pesisir (Nontji 1993; Dahuri et al. 2001). Penduduk pesisir yang berprofesi sebagai nelayan kecil sekitar 90 persen dari total nelayan Indonesia (Murdiyanto 2004) dan jumlah nelayan Indonesia pada tahun 2004 adalah 3,4 juta orang (DKP 2006).

(22)

Berdasarkan Human Development Report 2006, angka HDI (Human Development Index) Indonesia adalah 0,711 yang menempati peringkat ke 108 dari 177 negara. Angka GDI (Gender-related Development Index) Indonesia adalah 0,704 yang menempati peringkat 81 dari 140 negara (UNDP 2006). Angka GDI yang lebih rendah dari angka HDI menunjukkan masih adanya kesenjangan gender di Indonesia. Berdasarkan Indonesia Human Development Report 2004, angka GEM (Gender Empowerment Measured) Indonesia adalah 0,546 yang menempati peringkat ke 33 dari 71 negara yang diukur (BPS, Bappenas & UNDP 2004). Data tersebut menunjukkan bahwa potensi perempuan di Indonesia belum sepenuhnya diberdayakan dalam arus pembangunan ataupun dalam memutuskan kebijakan, walaupun perbandingan populasinya hampir seimbang. Menurut data BPS (2006), persentase penduduk Indonesia adalah 49,9 persen perempuan banding 50,1 persen lelaki dari jumlah penduduk sekitar 219,205 juta jiwa. Rasio jenis kelamin (sex ratio) penduduk Indonesia adalah 100,4 yang berarti dari 100 penduduk perempuan terdapat 101 penduduk lelaki. Menurut Moerpratomo (1999), perempuan memiliki potensi yang dapat menjadi salah satu modal dasar pembangunan dan dapat dikembangkan sebagai tenaga produktif. Tanpa pengembangan secara berencana, jumlah yang besar itu dapat berubah menjadi beban nasional.

Kiprah perempuan Indonesia dalam pembangunan tidaklah sedikit. Kontribusi ekonomi mereka banyak diwujudkan dalam kegiatan di sektor informal seperti menjadi pedagang, buruh, pekerja rumahan dan pekerja keluarga, demikian halnya dengan kegiatan masyarakat pesisir yang menampakkan kerjasama antara kaum lelaki dan perempuan. Menurut Sharma (2003) dan Kumar (2004), perempuan nelayan memainkan peran penting di bidang perikanan dan dalam memelihara struktur sosial dari rumahtangga dan komunitas mereka, tetapi kontribusi ekonomi mereka tetap tidak dikenali dan peran mereka pun tidak terdokumentasikan.

(23)

dan pedagang ikan. Waktu kerja nelayan tergantung jarak melautnya, sehingga dapat dikategorikan dua macam nelayan yaitu yang melaut harian dan yang melaut lebih dari satu hari bahkan hingga mingguan untuk satu kali perjalanan (trip). Istri nelayan yang suaminya harus melaut dalam jangka waktu lama dapat digolongkan sebagai kepala rumahtangga (KRT) perempuan sementara (temporer). Mereka harus dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga sendirian dan akibatnya beban yang ditanggung pun semakin berat. KRT perempuan harus bertanggungjawab terhadap urusan rumahtangga dan sekaligus bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002, persentase penduduk perempuan Indonesia yang menjadi kepala rumahtangga (KRT) adalah 12,44 persen dibandingkan 87,56 persen KRT lelaki (BPS 2003). Namun demikian, kaum perempuan di komunitas pesisir jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan perikanan karena dianggap bukan kepala keluarga dan juga bukan nelayan yang sesungguhnya. Menurut Dwi et al. (2002), program pemerintah di wilayah pesisir belum berhasil membangun kesetaraan perempuan pada sektor ekonomi, sosial dan perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir.

Minimnya data kuantitatif yang terpilah jenis kelamin dalam dokumen atau data statistik perikanan di Indonesia menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan di dalam pembangunan perikanan pantai belum banyak terdokumentasikan. Dalam rangka mencapai tujuan dari pembangunan perikanan berkelanjutan yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya ikan (SDI) secara berkelanjutan, diperlukan keterlibatan semua pemangku kepentingan di bidang perikanan, termasuk kaum perempuan. Diperkirakan jika keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan perikanan dan mutu sumberdaya manusia (SDM) perempuan dapat lebih ditingkatkan maka akan dapat membantu pencapaian tujuan pembangunan perikanan berkelanjutan dengan suatu asumsi bahwa kemampuan SDM perempuan dan lelaki dapat saling melengkapi. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya dilakukan penelitian ini.

1.2 Perumusan Masalah

(24)

dengan komunitas nelayan adalah (1) rendahnya kesejahteraan dan relatif tingginya tingkat kemiskinan nelayan; (2) terbatasnya akses ke sumberdaya produktif, terutama akses terhadap sumber permodalan yang diiringi dengan rendahnya kualitas SDM; dan (3) penguasaan teknologi masih rendah. Arah kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) antara lain ditempuh melalui (1) peningkatan kemampuan nelayan dan pembudidaya ikan serta penguatan lembaga pendukungnya; dan (2) peningkatan produktivitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk perikanan dengan tetap memperhatikan kesetaraan gender dan kepentingan pembangunan berkelanjutan (RI 2005).

Terkait dengan kesetaraan gender, komitmen DKP dalam upaya pemberdayaan perempuan sudah tampak dari adanya program Pemberdayaan Perempuan Nelayan, yang merupakan bagian dari proyek Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Program Pemberdayaan Perempuan Nelayan ini ditujukan untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian sumberdaya perempuan dalam hal teknis produksi, kewirausahaan, pengelolaan usaha dan pengambilan keputusan, serta meningkatkan akses pada informasi dan sumberdaya perikanan (DKP 2005b).

(25)

Pertanyaan penelitian (research question) yang diajukan adalah bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di mana terdapat partisipasi yang setara antara lelaki dan perempuan selaku pemangku kepentingan perikanan pantai dengan memperhatikan kebutuhan dan potensi mereka yang berbeda? Pertanyaan rinci yang diajukan dalam penelitian adalah sebagai berikut

(1) Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi institusi teknis perikanan, apakah perempuan sudah dilibatkan? Apakah pencatatan pelaku kegiatan di bidang perikanan sudah terpilah berdasarkan jenis kelamin? Bagaimana lelaki dan perempuan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di bidang perikanan?

(2) Bagaimanakah sikap komunitas pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai?

(3) Bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender yang memperhatikan kebutuhan dan potensi berbeda dari pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan. Tujuan penelitian tersebut akan dicapai melalui tujuan-tujuan antara yang meliputi kegiatan

(1) Melakukan analisis responsif gender dalam pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan saat ini.

(2) Menganalisis sikap komunitas pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai.

(3) Menyusun akternatif program bagi pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.

1.3.2 Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

(26)

(2) Pemerintah, baik tingkat daerah maupun pusat, sebagai pengambil keputusan di bidang perikanan, berupa acuan dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan bidang perikanan pantai yang responsif gender.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

(1) Pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan saat ini belum responsif gender.

(2) Sikap pelaku perikanan pantai terhadap pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender memiliki hubungan dengan latar belakang sosial-ekonomi-budaya, dengan anak hipotesis sebagai berikut

(a) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan tingkat pendidikan formal terakhir.

(b) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan matapencaharian.

(c) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan status pekerja.

(d) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan pendapatan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Perhatian utama dari pengelolaan perikanan ditujukan pada hubungan antara sumberdaya ikan (SDI) dengan kesejahteraan manusia dan konservasi sumberdaya untuk digunakan oleh generasi mendatang (Pomeroy 1995). Menurut Charles (2001), pembangunan perikanan yang berkelanjutan tergantung empat aspek yaitu berkelanjutan dari aspek sosio-ekonomi, komunitas, kelembagaan dan ekologi. Perikanan dipandang sebagai suatu sistem yang terintegrasi antara komponen ekologi, biofisik, ekonomi, sosial dan budaya, setiap komponen tersebut saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri. Dengan demikian, pembangunan perikanan berkelanjutan tidak hanya bertujuan melindungi stok ikan saja, tetapi juga meliputi pengelolaan semua aspek dari perikanan.

(27)

persoalan hubungan kuasa (kontrol) dan peran antara lelaki dan perempuan dalam menjadikan alam sebagai sumber kehidupan. Menurut Depdagri dan BCEOM (1998), keterlibatan pengguna atau pemangku kepentingan dalam proses perencanaan merupakan hal kritis bagi keberhasilan rencana pengelolaan perikanan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keterlibatan dan peranserta pengguna atau masyarakat umum dalam perencanaan pengelolaan perikanan adalah merupakan suatu tantangan.

(28)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 1.6 Penelitian Yang Pernah Dilakukan

Penelitian tentang peran dan partisipasi perempuan nelayan serta yang terkait gender di bidang perikanan laut dan pantai yang sudah pernah dilakukan oleh berbagai peneliti, yaitu antara lain

Kondisi perikanan pantai saat ini

- Pemanfaatan SDA berkelanjutan - Peningkatan kesejahteraan masyarakat

Kesetaraan gender dalam pembangunan perikanan pantai

Kesejahteraan masyarakat rendah - Kegiatan pemanfaatan yg merusak

- Kerusakan & pencemaran lingkungan - Kegiatan perlindungan dan

pemanfaatan yang tidak menyatu

Pembangunan perikanan pantai

Partisipasi pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan

Analisis gender Analisis sikap

Analisis kebijakan Analisis relasi

gender dalam komunitas

Strategi dan program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender

Skala Likert

GAP

Moser

Prioritas program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender SWOT

AHP

(29)

(1)“Determinan-determinan Peranan Wanita Nelayan Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Rumahtangga. Studi Kasus Di Desa Haria, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku” adalah judul tesis Demianus Resusun, Fakultas Pascasarjana IPB, tahun 1985. Tujuan penelitiannya adalah mengkaji pengaruh nilai sosial budaya, faktor pendidikan, bentuk dan sifat usaha serta pola hubungan kerja nelayan yang diduga mempengaruhi status dan peranan perempuan nelayan dalam berbagai aktivitas. Penelitiannya bersifat deskriptif dan eksplanatoris, dengan wawancara dan kuesioner. Hasilnya yaitu: (a) Peranan perempuan nelayan pada umumnya menonjolkan kegiatan rumahtangga dan sosial dibanding lelaki. Perempuan dari golongan rumahtangga menengah dan kurang mampu ternyata turut menyumbang pendapatan tambahan bagi rumahtangga dibanding perempuan dari strata mampu. (b) Peranan perempuan dalam pengambilan keputusan rumahtangga lebih menonjol pada bidang pengeluaran kebutuhan pokok, sedangkan bidang lain seperti produksi, pembentukan dan pembinaan rumahtangga serta sosial berlaku tipe keputusan bersama dan setara.

(30)

(3)“Studi Rekayasa Model Pembinaan Kelompok Masyarakat Nelayan Miskin Di Pedesaan Pantai Jawa Timur” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh A. Qoid, H. Nursyam, P. Purwanti dan Soemarno dimuat dalam Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Vol. 12 No. 1 Februari 2000. Tujuan penelitian adalah melakukan rekayasa sosial dan kelembagaan. Metode penelitiannya adalah kaji tindak, yaitu pengujian terhadap rancangan model. Hasilnya menunjukkan bahwa strategi pola pembinaan kelompok nelayan miskin di perdesaan pantai perlu dilakukan melalui penerapan lima unsur pembinaan: pertama, yaitu dua unsur pokok yang mencakup industrialisasi perdesaan pantai dan inovasi teknologi penangkapan, dan kedua adalah tiga unsur penunjang yaitu pembenahan kelembagaan keuangan dan perkreditan bagi hasil, renovasi sistem pemasaran komoditi perikanan dan pembinaan perilaku masyarakat perdesaan pantai diarahkan kepada perilaku yang lebih produktif.

(4)“Gender, Work, And Household Survival In South Indian Fishing Communities: A Preliminary Analysis” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh H.M. Hapke dimuat dalam The Professional Geographer Vol 53 No 3 tahun 2001. Tujuan penelitian adalah mempelajari saling mempengaruhi antara gender, agama dan kasta, serta formasi strategi mempertahankan hidup keluarga antara masyarakat nelayan Islam dan Kristen di India Selatan. Metode yang digunakan adalah survei terhadap pola kerja lelaki dan perempuan di dua desa. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana ideologi gender dan pekerjaan tertentu terkait dengan komunitas agama dan kasta yang berbeda akan mempengaruhi pengadopsian atau pemakaian strategi rumahtangga individual yang berbeda pula.

(31)

berminat untuk berhubungan dengan perikanan yang mahal; dan (c) menguji cara-cara dimana agama dan identitas suku membantu menempa penggambaran komunitas yang dapat mendorong aksi kolektif. Hasilnya menunjukkan bahwa usia, gender dan kelas masyarakat memiliki dampak yang besar pada keinginan perorangan untuk ikutserta dalam kegiatan sosio-politik penting ini. Dalam melakukannya, digambarkan cara yang dinamis dimana kekuasaan, struktur dan sejarah hubungan sosial dapat membentuk komunitas, milik umum dan aksi kolektif.

(6) “Peranan Istri Nelayan Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Rumahtangga Nelayan Di Pedesaan Pantai Pondokdadap Malang Selatan” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh D. Arfiati, P. Purwanti dan A. Tumulyadi dimuat dalam Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences) Vol. 13 No. 2 Agustus 2001. Tujuan penelitian adalah mempelajari seluruh waktu istri nelayan yang tersedia dan jenis pekerjaan yang dilakukan wanita nelayan. Metode yang digunakan adalah metode survei. Dari analisis diperoleh hasil: (a) Waktu yang dialokasikan untuk kegiatan produksi rumahtangga (memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengasuh anak dan menyiapkan makan) dalam sehari rataan sebesar 26,47 persen, untuk kegiatan pada pasar tenaga kerja (sebagai buruh atau penjual) sebesar 46,26 persen, dan penggunaan waktu luang sebesar 46,22 persen (bersantai, makan, tidur, ibadah dan kegiatan sosial); (b) Keputusan untuk bekerja dan mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan ditentukan oleh wanita itu sendiri dan suami memberikan dukungan.

(32)

sekitar 13-16 jam untuk penggunaan waktu luang; (b) Curahan kerja wanita nelayan secara bersama-sama dipengaruhi oleh upah, banyaknya anak, umur, pendidikan, dan status pekerjaan; (c) Wanita nelayan pengolah ikan kering memiliki produktivitas yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis usaha lainnya; (d) Keputusan untuk bekerja adalah atas kemauan sendiri.

(8)“Women And Natural Resource Management: Illustrations From India And Nepal” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh B. Upadhyay dari

International Water Management Institute (IWMI) Gujarat dimuat dalam

Natural Resources Forum Vol. 29 tahun 2005. Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dengan penekanan peran mereka dalam pengelolaan air, pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Teknik yang digunakan adalah partisipasi dengan menggunakan in-depth survey, focus group discussion dan observasi–partisipasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perempuan mengalahkan lelaki dalam hal keterlibatan mereka memanfaatkan dan mengelola semua sektor yang diteliti. Namun, mereka menghadapi pengabaian dan penolakan pembagian yang sama dari keuntungan yang diperoleh dari SDA tersebut.

Hasil-hasil penelitian yang terdahulu menunjukkan bahwa kaum perempuan dari komunitas nelayan banyak berperan di kegiatan domestik. Namun demikian, perempuan dari keluarga nelayan miskin juga terlibat dalam berbagai kegiatan produktif dalam rangka menambah pendapatan rumahtangga.

1.7 Novelty

Kebaruan (novelty) dari penelitian ini terletak pada

(1) Penggunaan kombinasi analisis gender (GAP dan Moser), analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) dan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP).

(a) Gender Analysis Pathway (GAP) merupakan alat analisis

(33)

(b) Analisis Moser merupakan alat analisis untuk perencanaan program pembangunan dengan menganalisis masalah dan isu gender di tingkat rumahtangga komunitas perikanan;

(c) Analisis SWOT untuk menyusun strategi pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.

(d) Pendekatan AHP untuk membuat urutan prioritas program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.

Secara bersama-sama kombinasi analisis ini akan menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang mengintegrasikan aspirasi, pengalaman dan masalah lelaki dan perempuan selaku pemangku kepentingan perikanan, dan selanjutnya akan menyusun alternatif program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. (2) Pengembangan konsep pembangunan perikanan pantai yang dilandaskan atas

prinsip kesetaraan gender yang melibatkan pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan.

(34)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan

Dalam Perpres No 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009 tercantum bahwa salah satu permasalahan yang menyangkut pembangunan sumberdaya manusia (SDM) yang dihadapi Indonesia adalah kesenjangan pencapaian pembangunan antara lelaki dan perempuan (RI 2005). Kondisi perempuan Indonesia dibandingkan dengan lelaki pada tahun 2002 berdasarkan Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002 (BPS 2003) antara lain adalah sebagai berikut:

•Angka Partisipasi Sekolah penduduk (APS) usia sekolah 7-18 tahun adalah 80,67 persen perempuan banding 80,53 persen lelaki.

•Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta huruf: 12,69 persen perempuan banding 5,85 persen lelaki.

•Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk usia 15 tahun ke atas: 50,20 persen perempuan banding 85,60 persen lelaki.

•Persentase penduduk perempuan yang menjadi kepala rumahtangga (KRT): 12,44 persen perempuan banding 87,56 persen lelaki.

(35)

Ukuran lain dalam pembangunan pemberdayaan gender, disamping GDI, adalah GEM (Gender Empowerment Measured). Berdasarkan Indonesia Human Development Report 2004, angka GEM untuk Indonesia adalah 0,546 yang menempati peringkat ke 33 dari 71 negara yang diukur. Dimensi dari pengukuran GEM adalah partisipasi dan pengambilan keputusan di bidang politik (indikatornya partisipasi perempuan di parlemen), partisipasi dan pengambilan keputusan di bidang ekonomi (indikatornya perempuan berposisi sebagai legislator, pejabat tinggi, manajer, pekerja teknis dan profesional), dan kekuatan terhadap sumberdaya ekonomi (indikatornya perempuan dalam angkatan kerja dan rata-rata upah di sektor non-pertanian) (BPS-Bappenas-UNDP, 2004). Menurut Johansson (2004), “While GDI shows women’s capabilities, GEM shows womens opportunities in economic and political life”.

Pengertian gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara lelaki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat (KPP 2002a). Jika pembagian peran lebih banyak merugikan salah satu pihak, maka akan timbul masalah gender. Dalam ruang lingkup pembangunan, kaum perempuan banyak yang belum mendapat kesempatan untuk berpartisipasi seperti dalam kegiatan pembinaan untuk pengembangan sumberdaya manusia (SDM) atau pengambilan keputusan. Menurut KPP (2002b), kesenjangan gender merupakan hambatan utama bagi peningkatan kualitas SDM, perwujudan hak asasi manusia, pengembangan pembinaan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan. Semua ini merupakan kunci peningkatan posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam pembangunan dan pemanfaatan serta penikmat hasil pembangunan.

(36)

Peran terkait dengan status yang keduanya merupakan konsep pokok dalam struktur sosial. Status adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompok dan dalam masyarakat (Popenoe 1989) atau sekumpulan hak dan kewajiban (Sunarto 2004). Status dibagi menjadi dua yaitu status yang tergariskan (ascribed status) dan status yang diperoleh dengan usaha sengaja (achieved status). Status tergariskan adalah status yang diberikan kepada seseorang atas dasar keturunan atau yang dibawa sejak lahir, seperti jenis kelamin, tingkat umur dan kelahiran dalam kelompok khusus; sedangkan status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada seseorang atas dari kemampuan atau prestasi (Koentjaraningrat 1986; Abdulsyani 1994; Sunarto 2004).

Peran adalah tingkah laku yang diharapkan dari seseorang terkait dengan kedudukannya (Popenoe 1989; Abdulsyani 1994) atau suatu perbuatan seseorang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya (Abdulsyani 1994). Peran adalah aspek dinamis dari status (Abdulsyani 1994; Sunarto 2004). Berkembangnya suatu masyarakat dan lancarnya roda kehidupan masyarakat karena anggota masyarakat tidak bertindak melampaui batas-batas peranannya; sebaliknya, kehidupan masyarakat akan rusak jika anggota masyarakat berbuat melampaui atas peranannya atau tidak menyadari akan peranannya (Kartasapoetra dan Kreimers 1987). Peran gender adalah peran sosial yang dihubungkan dengan keadaan lelaki atau perempuan. Peran gender yang diharapkan ini diajarkan dan diperkuat melalui sosialisasi sejak lahir (Popenoe 1989). Dalam sosialisasi gender, agen penting yang berperan adalah keluarga, kelompok bermain (teman bergaul), sekolah dan media massa (Popenoe 1989; Sunarto 2004).

Berbagai pembedaan peran dan kedudukan (status) antara lelaki dan perempuan baik langsung berupa perlakuan atau sikap maupun tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun struktur masyarakat. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender itu (KPP 2002c; Fakih 2004) meliputi

(37)

(2) Subordinasi yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau utama dibanding lainnya. Contoh: anggapan bahwa perempuan itu emosional sehingga perempuan tidak dapat memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

(3) Pandangan stereotipi (pelabelan) yaitu citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum melahirkan ketidakadilan. Contoh: anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami, sehingga pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.

(4) Kekerasan yang merupakan suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu di lingkungan rumahtangga atau tempat umum, juga dalam masyarakat. Contoh: pelecehan seksual yang bersifat non fisik hingga penyiksaan yang bersifat fisik.

(5) Beban kerja yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Hampir 90 persen pekerjaan dalam rumahtangga dikerjakan oleh perempuan, sehingga bagi perempuan yang bekerja akan memikul beban kerja ganda, di rumah dan di tempat kerja. Pekerjaan domestik adalah jenis “pekerjaan perempuan” dan dikategorikan “pekerjaan bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara.

Istilah gender terkait dengan istilah feminisme. Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut (Bhasin dan Khan 1995; Fakih 2004). Fakih (2004) membagi aliran feminisme menjadi dua aliran besar dalam ilmu sosial yakni aliran fungsionalisme dan aliran konflik, sebagai berikut

(38)

menghendaki agar perempuan terintegrasikan secara total di dalam semua peran, sehingga tidak ada kelompok gender yang lebih dominan.

(2)Aliran konflik. Menurut Fakih (2004), teori konflik meyakini bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang merupakan pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan lelaki dan perempuan. Perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan mengubah posisi dan hubungan. Teori ini dianut oleh feminisme marxis, feminisme sosialis dan feminisme radikal. Feminisme marxis memandang bahwa penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme, dan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Feminisme sosialis berusaha memerangi konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender. Feminisme sosialis (Ritzer dan Goodman 2003) mendeskripsikan penindasan gender sebagai sesuatu yang muncul dari usaha sistem patriarki dan kapitalis untuk mengontrol produksi dan reproduksi sosial. Menurut Umar (2001), kelompok feminisme radikal memandang perempuan tidak harus bergantung kepada lelaki. Aliran ini mengupayakan pembenaran rasional bahwa lelaki adalah masalah bagi perempuan.

(39)

Handayani dan Sugiarti 2002). Saat ini yang menjadi landasan pokok untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.

Belenggu budaya patriarkhi telah mengakibatkan perempuan tidak menyadari proses diskriminasi dan subordinasi yang selama ini terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses pewacanaan konsep kesetaraan dan keadilan gender pada semua warga, baik lelaki dan perempuan (Dwi et al. 2002; Subhan 2002). Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000, kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi lelaki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan; sedangkan keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap lelaki dan perempuan (RI 2000).

(40)

Pelaksanaan PUG Dalam Pembangunan Di Daerah (Depdagri 2003; Depdagri 2004). Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 mengatur tentang pembentukan organisasi pelaksanaan PUG yaitu koordinator pelaksana, kelompok kerja dan

focal point PUG serta pembiayaan untuk pelaksanaan PUG sebesar lima persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di wilayah masing-masing.

Faktor empiris menunjukkan masih adanya kelemahan dalam perencanaan pembangunan yang belum mengakomodasi kepentingan dan aspirasi perempuan secara seimbang sehingga mengakibatkan potensi, posisi, peran, dan kedudukan perempuan sering diabaikan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan (KPP 2002b). Penyebab perempuan terisolir dari proses pembangunan adalah karena: (1) beban ganda dimana perempuan melakukan pekerjaan domestik dan sekaligus mencari nafkah; dan (2) kebijakan pembangunan tidak diperuntukkan bagi kaum perempuan. Kaum lelaki dianggap sebagai kepala rumahtangga dan berhak untuk jadi wakil dalam komunitas yang lebih luas (Krisnawaty 1993). Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan pembangunan berperspektif gender yang merupakan suatu upaya untuk mentransformasikan PUG kedalam kegiatan nyata institusi sektor. Intinya adalah mengintegrasikan permasalahan diskriminasi terhadap lelaki dan perempuan kedalam seluruh komponen perencanaan pembangunan yaitu kebijakan, program dan kegiatan, sehingga kepentingan, aspirasi dan kebutuhan peningkatan peran dan partisipasi perempuan dan lelaki dalam pembangunan dapat diakomodasikan secara proporsional kedalam kepentingan dan tujuan pembangunan pada institusi sektor (KPP 2002d). Hal ini sesuai dengan pendapat Moser (1993), “The goal of gender planning is the emancipation of women from their subordination, and their

achievement of equality, equity and empowerment”.

(41)

(1) memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya;

(2) berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya pada pengambilan keputusan; dan

(3) memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung dari kebijakan, program maupun kegiatan pembangunan (KPP 2002d). Metode analisis gender yang disebut dalam Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 adalah Gender Analysis Pathway (GAP). GAP ini digunakan untuk membantu perencana dalam melakukan PUG dalam perencanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan (Depdagri 2003). GAP adalah suatu metode analisis untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang diperoleh lelaki dan perempuan dalam program pembangunan (KPP 2003).

Metode analisis gender lainnya adalah Model Moser atau Teknik Analisis Moser yang dibuat oleh Caroline O.N. Moser. Model Moser adalah suatu teknik analisis yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi, merumuskan usulan dalam tingkat kebijakan, program dan kegiatan yang lebih peka gender, dengan menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan, identifikasi terhadap peranan gender perempuan (produktif, reproduktif dan sosial kemasyarakatan) dan identifikasi kebutuhan praktis-strategis gender (Moser 1993; Handayani dan Sugiarti 2002; KPP 2003).

(42)

Program pembangunan secara formal seringkali dikuasai oleh lelaki dan karena sumberdaya yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat hampir selalu dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang lebih kuat maka adanya marjinalisasi terhadap peran perempuan dalam pengambilan keputusan sering diabaikan. Hal ini terjadi karena perempuan memang jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat formal. Pelibatan perempuan ke dalam wacana yang bersifat pengaturan sumberdaya kolektif di tingkat komunitas (lokal) masih belum banyak dibahas dalam pendekatan pembangunan. Padahal, isu pengaturan sumberdaya di tingkat komunitas merupakan isu penting yang terkait langsung dengan kehidupan perempuan miskin (Anonim, 2003).

Menurut Soetrisno (1993), kemiskinan dari sudut pandang perempuan berarti tidak hanya kekurangan ekonomis, tetapi juga penderitaan fisik maupun pengorbanan dari kehormatannya sebagai perempuan seperti menjual dirinya sebagai perempuan. Menurut Hubeis (2004)

“Kombinasi kendala ketiadaan akses pada unsur ekonomi, sosial, dan kekuasaan yang dihadapi oleh perempuan (miskin) menyebabkan terjadinya peningkatan feminization of poverty. Sejak tahun 1970-an, jumlah perempuan di dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan telah meningkat menjadi 50 persen dibanding dengan 30 persen lelaki. Lebih dari 70 persen dari 1.300 juta orang miskin saat kini adalah perempuan. Untuk kasus Indonesia, keadaan tersebut tak jauh beda.”

Rumahtangga dalam isu gender dan kemiskinan merupakan salah satu sumber diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan. Ketidaksetaraan di dalam alokasi sumberdaya dalam rumahtangga memperlihatkan lelaki dan perempuan mengalami bentuk kemiskinan yang berbeda (Anonim 2003).

Pada tingkat dunia sudah ada satu komitmen internasional yang terkait dengan persoalan perempuan, kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan yaitu

The Millennium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan hasil komitmen

The Millenium Declaration, yaitu suatu konsensus global dari 189 negara anggota PBB (termasuk Indonesia) yang lahir pada tahun 2000. Delapan komitmen kunci yang dikemukakan dalam MDGs(UNIFEM and BMZ 2004) sebagai berikut

(1) Eradicate extreme poverty and hunger (2) Achieve universal primary education

(43)

(5) Improve maternal health

(6) Combat HIV/AIDS, malaria and other diseases (7) Ensure environmental sustainability

(8) Develop a global partnership for development.

Dari delapan komitmen MDGs, enam komitmen pertama berhubungan langsung dengan kondisi dan kebutuhan perempuan yang perlu ditangani serta memberikan berbagai bentuk partisipasi kepada perempuan untuk berkiprah dalam pembangunan, sedangkan dua komitmen lainnya terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Menurut OECD (1996), perempuan termasuk pelaku kunci dalam pengelolaan lingkungan yang terkait dengan peran mereka yang menonjol sebagai pengguna utama sumberdaya untuk keperluan rumahtangga mereka. Penguatan posisi perempuan melalui intervensi pembangunan dapat membawa kemajuan pembangunan yang lebih berkesetaraan dan pada gilirannya mempertinggi harapan untuk menyuarakan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

2.2 Pembangunan Perikanan Pantai

2.2.1 Kebijakan dan program pembangunan perikanan Indonesia

(44)

Program pembangunan yang terkait dengan bidang perikanan dalam Perpres No. 7 Tahun 2005 yaitu Program Pengembangan Sumberdaya Perikanan. Program ini bertujuan untuk mengelola, mengembangkan, dan memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal, adil, dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan devisa, nilai tambah hasil perikanan, serta pendapatan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi unsur berikut.

(1) Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir.

(2) Pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana perikanan. (3) Peningkatan usaha perikanan skala kecil.

(4) Pengendalian dan peningkatan pelayanan perizinan usaha.

(5) Penyusunan kebijakan dan perencanaan pengelolaan perikanan untuk setiap kawasan.

(6) Peningkatan pemasaran, standar mutu, dan nilai tambah produk perikanan.

(7) Penguatan kelembagaan dan tata laksana kelembagaan.

(8) Pengembangan iptek (ilmu pengetahuan) dan peningkatan riset perikanan.

(9) Pengembangan sistem data, statistik dan informasi perikanan. (10) Peningkatan sumberdaya manusia (nelayan, penyuluh dan

pendamping perikanan).

(11) Peningkatan profesionalisme perencanaan dan pengawasan pembangunan perikanan (RI 2005).

Institusi pemerintah yang berwenang untuk mengelola sektor kelautan dan perikanan adalah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Pada saat ini upaya pemberdayaan perempuan yang sudah dilakukan oleh DKP adalah program Pemberdayaan Perempuan Pesisir yang merupakan salah satu kelompok sasaran dari Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, yang merupakan bagian dari proyek Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir. Program ini berada di bawah wewenang Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Program ini ditujukan untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian sumberdaya wanita pesisir dalam hal teknis produksi, kewirausahaan, pengelolaan usaha dan pengambilan keputusan, serta meningkatkan akses pada informasi dan sumberdaya perikanan (DKP, 2005b).

2.2.2 Peran perempuan dalam komunitas pesisir

(45)

laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan darat (Sumawidjaya et al. 2000). Dengan demikian, masyarakat yang hidup dan menetap di wilayah pesisir disebut masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir umumnya mencari nafkah atau bekerja di bidang perikanan, baik sebagai nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan atau pedagang ikan.

Menurut Satria (2002), untuk membangun masyarakat pesisir diperlukan pemahaman sosiologis tentang masyarakat pesisir. Kajian sosiologis masyarakat pesisir bersumber pada aktivitas masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan. Menurut Kusumastanto (2003), sifat dan karakteristik masyarakat pesisir dipengaruhi oleh aspek sosial budaya (seperti pendidikan dan mentalitas) dan jenis kegiatan usaha (seperti perikanan tangkap, perikanan tambak dan pengolahan hasil perikanan).

Komunitas nelayan mempunyai jam kerja yang tidak tetap. Banyak nelayan yang pergi melaut pada malam hari, bahkan ada yang melaut lebih dari satu hari dan jauh dari rumah atau keluarga, dengan demikian bila sudah berada di laut nelayan tidak dapat melakukan pekerjaan lainnya. Akibatnya waktu untuk melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan di darat pun relatif kurang, komunikasi kurang dan informasi yang diterimanya pun kurang. Bagi mereka pun akan sulit untuk memisahkan waktu untuk berpartisipasi dalam program penyuluhan yang berhubungan dengan perikanan. Akibat dari aktivitas nelayan yang sedemikian rupa maka peran mereka sebagai kepala rumahtangga atau kepala keluarga menjadi minim dan kegiatan sosial kemasyarakatan di darat pada umumnya dilakukan oleh pihak perempuan atau istri. Menurut Satria (2002), akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain, maka posisi sosial nelayan dapat dikategorikan rendah. Hal ini menyebabkan ketiadaan kemampuan nelayan untuk mempengaruhi kebijakan publik.

(46)

terumbu karang atau menggunakan jaring tarik dari pantai), pengolahan, perdagangan dan pendistribusian ikan kepada sanak famili yang merupakan bentuk tanggungjawab kepada komunitas.

Berdasarkan laporan pengamatan Ikhsan (2003) terhadap kegiatan perempuan di bidang perikanan di Pulau Jawa diketahui bahwa ada beberapa tingkatan peran perempuan di bidang perikanan sebagai berikut.

(1) Peran sebagai istri yang mengurus anak dan suami, termasuk membantu membersihkan jaring, menyulam jaring, mengelola hasil tangkapan agar siap dipasarkan sampai dengan menjual hasil tangkapan ikan oleh suami.

(2) Sebagai pekerja hasil laut rumahan (seperti: fillet atau pemotong ikan, picker atau pengupas kulit rajungan, kerang, keong dan udang, perebus kerang atau keong).

(3) Sebagai pekerja pabrik perikanan (seperti: fillet, pembekuan ikan atau udang, pengepak dan pemberi label).

(4) Menjadi bakul yang memasok hasil tangkapan nelayan atau panen ikan kepada para supplier atau pabrik.

(5) Menjadi bendahara (pemegang keuangan) dari perusahaan keluarga (supplier).

(6) Menjadi Supplier yang memasok bahan baku ke pabrik. (7) Menjadi Quality Control pabrik.

(8) Menjadi eksportir perikanan ke mancanegara.

Menurut Sharma (2003), peran perempuan di bidang perikanan di Asia ada empat yaitu: (1) sebagai pekerja di bidang perikanan (dibayar atau tidak dibayar); (2) sebagai pekerja di pemrosesan ikan (penuh atau paro-waktu); (3) orang yang bertanggungjawab terhadap keluarga dan komunitas; dan (4) sebagai pekerja di luar bidang perikanan (seperti pedagang warung). Pekerjaan yang dilakukan perempuan ini jarang dianggap sebagai pekerjaan produktif, umumnya dianggap sebagai perpanjangan dari pekerjaan domestik. Nilai sosial rendah dilekatkan kepada pekerjaan domestik dan komunitas yang dilakukan oleh perempuan.

(47)

Dalam dokumen FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries No. 10Increasing the contribution of small-scale fisheries to poverty alleviation and

food security (2005) ditegaskan bahwa untuk mengembangkan dan mengimplementasikan suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan perlu diadopsi perspektif kesetaraan gender dan pengakuan terhadap posisi perempuan dalam komunitas dan dalam sektor perikanan. Menurut panduan FAO, “How small-scale fishers are defined in legislation is important, and has potentially

significant gender impacts. For example, processing and marketing activities

where typically women are more active, in addition to capture fisheries”. 2.2.3 Perikanan pantai

Perikanan pantai (coastal fishery) yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di perairan tepi laut, dekat atau sekitar pantai. Menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,

“Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan atau mengawetkannya.”;

sedangkan definisi perikanan (UU No. 31 Tahun 2004) adalah sebagai berikut: “semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.”.

(48)

ketidakpastian yang berkaitan dengan musim-musim produksi (Charles 2001; Satria et al. 2002; DKP 2005c).

Bagi mayoritas rumahtangga di negara berkembang yang terlibat dalam kegiatan perikanan (nelayan penuh atau temporer), kegiatan menangkap ikan tidak mendatangkan penghasilan tinggi tetapi dapat menolong mereka untuk mempertahankan hidup dan mencegah mereka jatuh ke situasi yang lebih buruk. Nelayan miskin sangat mengandalkan sektor pascapanen dimana perempuan merupakan mayoritas pekerjanya. Sektor pascapanen memberikan penghasilan yang nyata dan peluang kerja bagi perempuan yang memiliki keterbatasan pilihan, khususnya di lokasi perdesaan yang terpencil. Sektor pascapanen perikanan menawarkan kontribusi yang sangat potensial untuk pengentasan kemiskinan (FAO 2005).

The FAO’s Advisory Committee on Fishery Research (ACFR) Working

Group on Small-Scale Fisheries (FAO 2005) memberikan satu pernyataan tentang visi perikanan skala kecil sebagai berikut

The vision for small-scale fisheries is one in which their contribution to sustainable development is fully realized. It is a vision where:

they are not marginalized and their contribution to national economies and food security is recognized, valued and enhanced;

fishers, fish workers and other stakeholders have the ability to participate in decision-making, are empowered to do so, and have increased capability and human capacity, thereby achieving dignity and respect; and

poverty and food insecurity do not persist; and where the social, economic and ecological systems are managed in an integrated and sustainable manner, thereby reducing conflict.

Menurut Kusnadi (2002, 2004), faktor kelangkaan sumberdaya perikanan dan kemiskinan memiliki kontribusi dalam peningkatan intensitas konflik. Untuk meminimalisasi konflik tersebut diperlukan peraturan daerah tentang pengelolaan sumberdaya perikanan lokal dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.

Untuk membantu nelayan pantai yang tergolong nelayan kecil ini, maka dilakukan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai. Tujuan dari pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai (Murdiyanto 2004) adalah untuk:

(49)

(2) meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan pantai, dan

(3) menjamin upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dan industri terhadap sumber makanan dari perikanan pantai.

Kemitraan (co-management) antara pemangku kepentingan utama (pemerintah dan masyarakat) dalam pengelolaan wilayah pesisir merupakan hal yang penting untuk mencapai pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Tanpa dukungan kebijakan dan peraturan pemerintah, sistem pengelolaan yang dihasilkan tidak akan memiliki kekuatan hukum (Savitri dan Khazali 1999).

Pengelolaan perikanan (fisheries management) merupakan upaya penting dalam menjaga kesinambungan sumberdaya. Hal ini dimaksudkan agar generasi sekarang dan generasi mendatang dapat menikmati kekayaan sumberdaya perikanan (Satria, 2002). Menurut Fauzi dan Anna (2005), apabila kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan dan holistik tidak dipenuhi, pembangunan perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan, eksploitasi-lebih dan praktik perikanan yang destruktif. Hal ini sesuai dengan definisi pengelolaan perikanan (UU No. 31 Tahun 2004) yaitu:

“semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati”.

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) harus ada pemaduan dan keseimbangan antara pembangunan dan konservasi alam, karena dengan mengkonservasi alam maka pembangunan dapat berkelanjutan (KLH dan UNDP 2000). Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, “Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan” (RI 1997).

Gambar

Gambar 2  Kerangka Sistem Perikanan Berkelanjutan (Charles 2001)
Tabel 1 Metode penelitian untuk pengumpulan data dan analisis data sesuai tujuan penelitian di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang, tahun 2006
Tabel 5  Jumlah penduduk kelompok umur produktif dan kelompok umur tidak produktif menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005
Tabel 6  Status perkawinan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2000-2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses pembelajaran kooperatif model TGT dalam setiap siklus mengalami peningkatan. Kondisi ini

Gagasan yang ingin diwujudkan dalam Desain Kompleks Studio Photography Etnik Kalimantan Timur Di Samarinda ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan para masyarakat

Setelah Anda dapat menentukan sumbu simetri dan titik balik dari suatu grafik kuadrat yang diketahui persamaannya, selanjutnya Anda akan pelajari cara menentukan sifat definit

Namun hubungan yang kuat terjadi antara petani dan metode penyuluhan, antara petani dan pesan program, dan antara petani dan penyuluh; (2) Efektivitas komunikasi Program

[r]

Peserta Lelang yang melakukan penawaran pembelian Surat Perbendaharaan Negara untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia maka penawaran pembelian hanya

[r]