THE IMPACT OF IFRS ADOPTION ON VALUE RELEVANCE OF FINANCIAL REPORTING AND ASYMMETRY INFORMATION
ABSTRACT
The aim of this study is to investigate the effect of IFRS adoption on accounting quality, more specifically on value relevance and asymmetry information. This study uses the value relevance model of Chua’s et al. (2012) and motivated by the contradictory results on this issue. In addition, review paper by Elias (2012) to the two of three measurements of accounting quality employed by Chua et al. (2012). This study uses two measurements of accounting quality, namely value relevance and asymmetry information.
This study uses 61 companies listed in the Indonesian Stock Exchange during six years of observations that consists of 3 years before and 3 years after period of adoption of IFRS. The financial data were analyzed using Eviews.
The results show that: (1) there is an improvement of value relevance after adoption of IFRS (consistent with Chua’s et al (2012) study, except for “bad news” event), and (2) there is a decrease asymmetry information after adoption of IFRS (consistent with Healy et al., 1999, Daske et al., 2008, and Armstrong et al., 2010). Furthermore, these results adds practical point of view that financial information is more relevance after IFRS adoption and asymmetry information decreased between agent and principal implying a decrease in investor’s capital loss.
PENGARUH ADOPSI IFRS TERHADAP RELEVANSI NILAI LAPORAN KEUANGAN DAN ASIMETRI INFORMASI
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh adopsi IFRS terhadap kualitas akuntansi khususnya relevansi nilai dan asimetri informasi. Penelitian ini menggunakan model relevansi nilai dari Chua et al. (2012) dan termotivasi oleh kontradiksi hasil penelitian terdahulu mengenai relevansi nilai dan asimetri informasi. Selain itu, penelitian ini juga termotivasi oleh kritik Elias (2012) terhadap 2 dari 3 ukuran kualitas akuntansi yang digunakan Chua et al., 2012. Penelitian ini menggunakan dua ukuran kualitas akuntansi, yaitu relevansi nilai dan asimetri informasi.
Penelitian ini menggunakan 61 sampel perusahaan selama 6 tahun observasi, yang terdiri dari periode 3 tahun sebelum dan periode 3 tahun sesudah adopsi IFRS. Data keuangan selanjutnya dianalisis menggunakan Eviews.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan: (1) terjadi peningkatan relevansi nilai sesudah adopsi IFRS (konsisten dengan penelitian Chua et al., 2012),
kecuali untuk peristiwa “bad news”, (2) terjadi penurunan asimetri
informasi sesudah adopsi IFRS (konsisten dengan penelitian Healy et al., 1999, Daske et al., 2008, dan Armstrong, 2010). Hasil penelitian ini berimplikasi praktik bahwa informasi keuangan sesudah adopsi IFRS terbukti lebih relevan serta terjadi penurunan asimetri informasi antara agent dan principal yang berimplikasi terhadap penurunan kerugian dari investor itu sendiri.
BAB I PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Konsep untuk menyeragamkan seluruh standar akuntansi yang ada di dunia telah
sampai pada tahapan implementasi dan bukan hanya sebagai sebuah wacana lagi.
Standar ini lebih dikenal dengan singkatan IFRS (International Financial
Reporting Standards). Tujuan awalnya adalah untuk membuat satu standar yang dapat berlaku secara internasional. Manfaat yang akan diperoleh apabila terdapat
satu standar yang berlaku secara internasional adalah semakin mudahnya pembaca
laporan keuangan untuk mengkomparasi berbagai laporan perusahaan di seluruh
dunia.
Proses adopsi IFRS di Indonesia sendiri, saat ini telah memasuki babak baru.
Semenjak pertemuan pemimpin negara G20 forum di Washington DC pada
tanggal 15 November 2008, Indonesia menyepakati untuk menerapkan IFRS.
Oleh karena itu sifat implementasi IFRS di Indonesia telah berubah menuju proses
konvergensi. Terlebih lagi, pada tahun 2011 IAI telah menyelesaikan proses
penjabaran IFRS ke dalam SAK yang adopsi IFRS.
Proses konvergensi ini merupakan tahapan yang dilalui Indonesia dalam rangka
on-line Merriam-Webster (2011) dalam Warsono (2011) berasal dari kata dasar to converge yang berarti to come together and unite in a common interest or focus. Warsono (2011) kemudian mendefinisikan konvergensi sebagai sebuah keadaan,
di mana standar nasional dan IFRS yang berasal dari satu titik awal yang berbeda
menuju kepada satu standar yang memiliki karakteristik umum yang dimiliki oleh
kedua standar tersebut.
Proses konvergensi ini nantinya akan menuju tujuan akhirnya yaitu adopsi IFRS.
Kata adopsi itu sendiri menurut kamus on-line Merriam-Webster (2011) dalam
Warsono (2011) berasal dari kata dasar to adopt yang berarti to accept formally
and put into effect (adopt a constitutional amandement). Jika dikaitkan dengan IFRS, maka definisi adopsi adalah suatu keadaan di mana standar nasional,
kecuali sudah sama dengan IFRS, ditinggalkan dan berpindah menuju penerapan
IFRS sepenuhnya (Warsono, 2011).
Menurut Kustina (2012), penerapan IFRS telah mencapai lebih dari 150 negara di
dunia termasuk China, Kanada, dan 27 negara Uni Eropa. Fenomena ini telah
mendorong para peneliti akuntansi di berbagai belahan dunia untuk meneliti
dampak penerapan IFRS terhadap kualitas laporan keuangan yang dihasilkannya.
Kualitas laporan keuangan ini oleh para peneliti diwakili dengan istilah
accounting quality.
Penelitian mengenai accounting quality sendiri telah dilakukan beberapa peneliti
seperti Barth et al. (2008), Paananen & Lin (2009), dan Chua et al. (2012). Pada
umumnya mereka mengukur accounting quality dengan menggunakan 3 ukuran
Perkembangan selanjutnya, penelitian Chua et al. (2012) dikritisi oleh Elias
(2012) dengan mengatakan bahwa dia masih ragu-ragu untuk mengambil
simpulan bahwa accounting quality mengalami peningkatan berdasarkan
penurunan earnings management dan meningkatnya timely loss recognition.
Alasannya adalah karena kedua pengukuran ini tidak dapat menggambarkan
secara langsung dampak adopsi IFRS terhadap peningkatan accounting quality.
Oleh sebab itu, pada penelitian ini, hanya menggunakan relevansi nilai (value
relevance) saja untuk melihat gambaran peningkatan accounting quality.
Relevansi nilai (value relevance) ini akan menunjukkan tingkat ketepatan
nilai-nilai yang terdapat pada laporan keuangan dalam menggambarkan nilai-nilai
perusahaan yang sesungguhnya. Tingkat ketepatan inilah yang membuat
accounting quality suatu laporan keuangan meningkat. Warsono (2011) juga menyatakan bahwa kerelevanan (relevance) merupakan satu dari dua karakteristik
fundamental yang mendasari penyajian keuangan penuh-guna (useful financial
information). Karakteristik ini disebut fundamental karena jika suatu laporan tidak memenuhi dua karakteristik fundamentalnya (relevance dan faithful
representation), maka informasinya menjadi tidak berguna.
Isu mengenai relevansi nilai (value relevance) ini terkait erat dengan penerapan
standar baru (IFRS). Hal ini disebabkan oleh karakteristik utama IFRS yang
menekankan pada fair value. Fair value sendiri menekankan pada penyajian nilai
yang relevan dengan kondisi saat ini, seperti penilaian kembali aset-aset
perusahaan dengan menggunakan bantuan appraisal. Suatu laporan keuangan itu
dihasilkannya juga bernilai tinggi. Relevansi nilai (value relevance) ini mengacu
pada kemampuan informasi laporan keuangan untuk menangkap dan merangkum
informasi yang dicerminkan dalam nilai perusahaan (Francis dan Schipper,1999
dalam Gjerde et al., 2011).
Hasil penelitian mengenai value relevance ini menunjukkan hasil yang
kontradiktif. Beberapa penelitian menunjukkan bukti peningkatan value relevance
setelah adopsi IFRS (Barth et al., 2008, dan Chua et al., 2012). Sebaliknya hasil
penelitian Paananen dan Lin (2009) justru memperlihatkan hasil yang berbeda.
Kualitas akuntansi (accounting quality) termasuk value relevance dari laporan
keuangan setelah IFRS menjadi mandatory, ternyata tidak mengalami
peningkatan, tetapi justru bertambah buruk setiap waktunya. Penyebabnya adalah
karena perubahan standar tersebut menyebabkan ketidakpastian situasi, sehingga
investor sulit untuk mengambil keputusan berdasarkan laporan keuangan adopsi
IFRS. Jadi penyebabnya bukan karena standar itu sendiri (Paananen dan Lin,
2009).
Karakteristik utama IFRS yang kedua adalah full disclosure. Full disclosure
menekankan pada pengungkapan yang lebih luas, sehingga diharapkan mampu
mengurangi asimetri informasi antara agent dan principal. Pengungkapan yang
lebih luas ini diharapkan dapat menambah kemampuan laporan keuangan dalam
menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Implikasi selanjutnya
adalah kesenjangan informasi (asimetri informasi) antara agent dan principal
dapat terjembatani. Seperti yang dikemukakan oleh Gjerde et al. (2011), bahwa
meningkatkan kualitas keputusan ekonomi yang dibuat oleh manager dan oleh
penyedia modal seperti investor dan kreditor.
Pertanyaan penelitiannya adalah apakah memang benar adopsi IFRS ini telah
dapat menurunkan asimetri informasi. Beberapa penelitian sudah memberikan
bukti empiris bahwa telah terjadi penurunan asimetri informasi (dengan proksi
bid-ask spread) setelah adopsi IFRS (Healy et al., 1999, Leuz dan Verrecchia, 2000, Daske et al., 2008 dan Armstrong et al., 2010). Penyebabnya adalah bahwa
peningkatan disclosure dapat menurunkan persentase bid-ask spread (Healy et al.,
1999). Sebaliknya ada pula hasil penelitian yang menunjukkan hasil tidak ada
perbedaan asimetri informasi yang signifikan setelah adopsi IFRS (Leuz, 2003,
dan Latif, 2012). Penyebabnya adalah bahwa standar bukanlah faktor utama yang
mempengaruhi asimetri informasi (Hung dan Subramanyam (2007) dalam Latif,
2012).
Penelitian terkait konvergensi IFRS di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini
disebabkan proses konvergensi IFRS ke dalam SAK sendiri membutuhkan waktu
yang cukup lama dan dilakukan secara bertahap (2007 – 2011). Hal ini
menyebabkan ketersediaan data laporan keuangan yang telah mengadopsi IFRS
menjadi sangat terbatas. Bilapun ada, data yang tersedia hanyalah bersifat partial
adoption (pengadopsian IFRS yang bersifat sebagian).
Penelitian Pratiwi dan Desniwati (2012) hanya melihat dampak adopsi IFRS
terhadap asimetri informasi pada 12 bank di Indonesia. Hasilnya menunjukkan
bahwa tidak terjadi perbedaan asimetri informasi yang signifikan antara sebelum
peningkatan kualitas akuntansi (accounting quality) dari laporan keuangan yang
telah mengadopsi IFRS. Lain halnya dengan penelitian Latif (2012) yang menguji
kualitas informasi serta asimetri informasi sebelum dan setelah adopsi IFRS di
Uni Eropa. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kualitas informasi
setelah adopsi IFRS, namun demikian tidak diiringi dengan penurunan asimetri
informasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1) kesepakatan
dalam pertemuan G 20 yang menganjurkan Indonesia untuk mengadopsi IFRS,
mendorong Indonesia memasuki proses konvergensi IFRS 2) review paper dari
Elias (2012) menunjukkan bahwa dalam penelitian Chua et al. (2012),
pengukuran value relevance dapat memberikan simpulan peningkatan kualitas
akuntansi yang lebih baik dibandingkan earnings management dan timely loss
recognition, 3) penelitian terdahulu mengenai kualitas akuntansi (accounting quality) dan asimetri informasi setelah penerapan IFRS menunjukkan hasil yang kontradiktif, dan 4) masih sedikitnya penelitian yang mengkaitkan peningkatan
kualitas informasi dengan penurunan asimetri informasi di Indonesia. Keempat
hal di atas menjadi motivasi yang mendorong dilaksanakannya penelitian ini.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sebagai berikut: 1)
penelitian Barth et al. (2008) dan Chua et al. (2011) belum mengkaitkan
peningkatan kualitas informasi dari laporan keuangan dengan penurunan asimetri
informasi, hanya beberapa penelitian yang sudah mengkaitkan peningkatan
penerapan IFRS terhadap asimetri informasi, tanpa mengukur perubahan kualitas
akuntansi setelah penerapan IFRS, 3) penelitian Latif (2012) mengaitkan kualitas
informasi dengan asimetri informasi, sedangkan pada penelitian ini mengkaitkan
relevansi nilai dengan asimetri informasi.
Oleh sebab itu penelitian ini ingin membuktikan apakah Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) adopsi IFRS yang menekankan pada fair value ini memang
telah berhasil meningkatkan relevansi nilai (value relevance) dari laporan
keuangan. Selain itu juga, penelitian ini ingin membuktikan apakah Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) adopsi IFRS yang menekankan pada full disclosure
dapat menurunkan asimetri informasi.
1. 2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah terjadi peningkatan relevansi nilai (value relevance) setelah
penerapan SAK adopsi IFRS di Indonesia?
2. Apakah terjadi penurunan asimetri informasi setelah penerapan SAK
adopsi IFRS di Indonesia?
1. 3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa terjadi peningkatan relevansi nilai
(value relevance) setelah penerapan SAK adopsi IFRS di Indonesia.
2. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa terjadi penurunan asimetri
1. 4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Akademisi
Memberikan bukti empiris ada atau tidaknya peningkatan relevansi
nilai (value relevance) setelah penerapan SAK adopsi IFRS di
Indonesia.
Memberikan bukti empiris ada atau tidaknya penurunan asimetri
informasi setelah penerapan SAK adopsi IFRS di Indonesia.
2. Bagi Praktisi
Sebagai bahan untuk menilai tingkat relevansi nilai dari laporan
keuangan yang menggunakan SAK adopsi IFRS. Sebagaimana yang
diketahui, bahwa laporan keuangan adalah salah satu sumber informasi
yang digunakan investor dalam mengambil keputusan investasi.
Sebagai bahan untuk menganalisa dampak penerapan SAK adopsi
IFRS terhadap asimetri informasi antara manager dan investor.
Semakin rendah asimetri informasi, maka semakin meningkatkan
volume perdagangan.
3. Bagi Pembuat Regulasi (Standar Akuntansi Keuangan)
Sebagai bahan untuk mengevaluasi dampak penerapan SAK adopsi
IFRS terhadap kualitas laporan keuangan di Indonesia (dilihat dari
BAB II
LANDASAN TEORI
Laporan keuangan merupakan alat mediasi untuk mengurangi asimetri informasi
antara agent (manajer) dan principal (pemilik). Oleh karena sifat manusia yang
ingin mementingkan diri sendiri (self interest), maka antara agent dan principal
terjadi perbedaan kepentingan, di mana masing-masing pihak akan berusaha untuk
memaksimalkan keuntungannya sendiri. Manusia itu sendiri memiliki
keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), sehingga principal (pemilik)
membutuhkan informasi yang independen untuk mengurangi asimetri antara agent
(manajer) dan principal (pemilik).
Standar Akuntansi Keuangan sendiri memiliki fungsi untuk memastikan bahwa
laporan keuangan yang disajikan dapat dipahami dan tidak menimbulkan
interpretasi yang berbeda bagi pengguna laporan keuangan tersebut. IFRS sendiri
muncul salah satunya akibat kegagalan dari US GAAP dalam mencegah
kecurangan yang dilakukan oleh agent (contohnya kasus Enron). Oleh sebab itu
IFRS yang berbasis prinsip serta menekankan pada fair value dan full disclosure
ini diharapkan oleh banyak pihak dapat meningkatkan kualitas dari laporan
keuangan (accounting quality) itu sendiri. Selain itu IFRS juga diharapkan bisa
mempermudah pembaca laporan keuangan untuk mengkomparasi berbagai
Fungsi lainnya dari suatu laporan keuangan adalah untuk memberikan sinyal
kepada investor termasuk pemilik bahwa perusahaan memiliki kinerja yang baik.
Oleh sebab itu pasar mereaksinya dengan return yang positif. Hal yang
sebaliknya juga dapat terjadi, ketika laporan keuangan justru menunjukkan bahwa
perusahaan memiliki kinerja yang buruk, sehingga pasar mereaksinya dengan
return yang negatif. Return juga dapat menggambarkan relevansi nilai (value relevance) dari suatu laporan keuangan. Semakin tinggi kekuatan penjelas (R2) dari return terhadap nilai-nilai dalam laporan keuangan (misalnya net income per
share), maka semakin tinggi pula tingkat relevansi nilai dari laporan keuangan tersebut.
Landasan berpikir yang dipaparkan di atas, didukung oleh beberapa teori, seperti:
agency theory, asimetri informasi, dan signaling theory. Penjelasan dari masing-masing teori serta variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian ini, akan
dipaparkan pada bagian berikut ini.
2.1. Agency Theory
Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan di dalam teori
agensi (agency theory) bahwa perusahaan merupakan kumpulan kontrak (nexus of
contract) antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan manajer (agent) yang mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut. Definisi
lainnya dari agency theory dikemukakan oleh Scott (2000) berikut ini:
Lain halnya dengan Eisenhardt (1989) yang menyatakan bahwa teori keagenan
dilandasi oleh 3 buah asumsi yaitu:
1. Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang sifat manusia adalah asumsi yang menekankan bahwa
manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest),
memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak
menyukai risiko (risk aversion).
2. Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah asumsi mengenai adanya konflik antar
anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya
Asymmetric Information (AI) antara prinsipal dan agen. 3. Asumsi tentang informasi
Asumsi tentang informasi adalah asumsi yang memandang informasi
sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan.
2.2. Asimetri Informasi
Menurut Desniwati dan Pratiwi (2011), asimetri informasi merupakan suatu
kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara manajemen
sebagai penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan stakeholder pada
umumnya sebagai pengguna informasi. Pengertian lainnya dari asimetri informasi
menurut Scott (2000) adalah sebagai berikut:
“…formally recognizes that some parties to business transactions may have an information advantage over others. When this happens, the economy is said to be characterized by information asymmetry.” Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud asimetri informasi
keunggulan informasi dibandingkan pihak lain. Asimetri informasi ini masih
dibagi kembali menjadi 2 tipe, yaitu: adverse selection dan moral hazard.
Penelitian ini hanya akan membahas adverse selection, sedangkan moral hazard
tidak dibahas karena kurang relevan dengan isi penelitian ini.
2.2.1. Adverse Selection
Tipe asimetri informasi yang pertama adalah adverse selection. Menurut
Scott (2000), definisi adverse selection adalah sebagai berikut:
“Adverse selection is a type of information asymmetry whereby one or more parties to a business transaction, or potential transaction, have an information advantages over other parties.” Berdasarkan definisi di atas, dapat diambil pengertian bahwa adverse
selection adalah sebuah tipe asimetri informasi pada suatu transaksi bisnis atau transaksi potensial, di mana satu atau lebih dari satu pihak
memiliki keunggulan informasi dibandingkan pihak lainnya.
2.3. Bid-ask Spread
Hartono (2012) menyatakan bahwa bid-ask spread menunjukkan perbedaan antara
nilai permintaan tertinggi investor mau menjual dan penawaran terendah dealer
mau membeli. Daske et al. (2008) mengoperasionalkan bid-ask spread sebagai
berikut:
“Bid-ask spread is the yearly median of daily quote spreads,
measured at the end of each trading day as the difference between the bid and ask price divide by midpoint.”
Jadi bila dirumuskan, akan menjadi seperti berikut ini:
Lebih lanjut, Leuz dan Verrecchia (2000) menyatakan bahwa bid-ask spread telah
diketahui secara umum sebagai alat untuk mengukur asimetri informasi secara
eksplisit. Alasannya adalah bahwa bid-ask spread menunjukkan masalah adverse
selection yang timbul dari transaksi saham akibat adanya investor dengan asimetri informasi. Sebaliknya rendahnya asimetri informasi, berdampak pada rendahnya
adverse selection, serta berdampak pula pada rendahnya bid-ask spread.
Healy et al. (1999) menunjukkan bahwa perusahaan dengan rating disclosure
yang meningkat menunjukkan peningkatan dalam beberapa variabel, termasuk
market liquidity (ditunjukkan dengan penurunan bid-ask spread). Lebih lanjut, Healy et al. (1999) menyatakan bahwa pengungkapan yang lebih luas akan
mengarahkan investor untuk merevisi penilaian mereka terhadap saham
perusahaan, serta meningkatkan likuiditas saham (bid-ask spread juga digunakan
sebagai proksi likuiditas).
2.4. Signalling Theory (Teori Sinyal)
Secara garis besar Signalling Theory menjelaskan bahwa laporan keuangan pada
dasarnya dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memberi sinyal (baik positif
maupun negatif) kepada para penggunanya. Sinyal yang positif dikenal dengan
istilah “good news”dan sinyal yang negatif dikenal dengan istilah “bad
news.”Contoh sinyal yang positif adalah keberhasilan perusahaan meningkatkan laba perusahaan, pemberian deviden yang berkelanjutan, serta mengenai
peningkatan kinerja keuangan perusahaan. Contoh sinyal yang negatif adalah
penurunan laba perusahaan, penghentian pemberian deviden, serta penurunan
Signalling Theory juga dapat membantu mengurangi asimetri informasi antara perusahaan (agent), pemilik (prinsipal), dan pihak luar perusahaan melalui
laporan keuangan yang berkualitas. Oleh karena laporan keuangan diasumsikan
telah diperiksa oleh pihak (auditor) yang independen, maka laporan keuangan ini
dapat digunakan sebagai dasar informasi yang independen dalam menggambarkan
kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya. Implikasi lanjutannya adalah
harapan untuk dapat menurunkan asimetri informasi antara agent dan principal.
2.5. Kualitas Akuntansi (Accounting Quality)
Menurut Francis et al. (2004), pengukuran kualitas akuntansi dapat
diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu: 1) accounting based (meliputi: accrual
quality, persistence, predictability, dan smoothness), dan 2) market based (value relevance, timeliness, dan conservatism). Akan tetapi ukuran yang paling banyak digunakan dalam penelitian mengenai kualitas akuntansi adalah: 1) earning
management, 2) timely loss recognition, dan 3) value relevance (Barth et al., 2008, Paananen & Lin., 2009, dan Chua et al., 2012).
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh penelitian Chua et al., (2012)
mendapat kritik dari Elias (2012), bahwa dari 3 ukuran di atas hanya ukuran value
relevance saja yang penarikan simpulannya tidak diragukan lagi. Penyebabnya adalah karena value relevance dapat menggambarkan secara langsung pengaruh
relevansi nilai data akuntansi (accounting data) pada laporan keuangan dengan
2.5.1. Relevansi Nilai (Value Relevance)
Menurut Francis dan Schipper (1999) dalam Gjerde (2011), pengertian dari
value relevance adalah sebagai berikut:
“Value relevance refers to the ability of financial statement information to capture and summarize information that is reflected in firm value”(Francis & Schipper,1999).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil pengertian bahwa relevansi nilai
(value relevance) mengacu pada kemampuan dari informasi laporan
keuangan untuk menangkap dan merangkum informasi-informasi yang
menggambarkan nilai perusahaan (firm value).
2.6. IFRS (International Financial Reporting Standards) 2.6.1. Fair Value
Salah satu karakteristik utama dari IFRS adalah dasar pengukuran yang
digunakannya berbasis fair value, bukan historical cost, namun yang perlu
diketahui sebelumnya adalah bahwa hal ini tidak berarti IFRS tidak
menggunakan historical cost sama sekali. Sebaliknya, pengukuran berbasis
fair value sebenarnya juga digunakan pada US GAAP, meskipun tidak sebanyak di IFRS.
Alasan utama yang menjadi dasar untuk menyatakan bahwa karakteristik
utama dari IFRS berbasis fair value adalah karena banyak standar dalam
IFRS yang mensyaratkan pengukuran adopsi nilai wajar. Alfredson et al.
(2009) dalam Warsono (2011) menyebutkan contoh standar dalam IFRS
yang mensyaratkan pengukuran berbasis nilai wajar antara lain adalah
IFRS 1: First-time Adoption of International Financial Reporting Standards.
IFRS 2: Share-based Payment IFRS 3: Business Combinations
IFRS 5: Non-current Assets Held for Sale and Discontinued Operations
IAS 11: Construction Contracts
IAS 16: Property, Plant and Equipment IAS 17: Leases
IAS 18: Revenue
IAS 19: Employee Benefits
IAS 20: Accounting for Government Grants and Disclosure of Government Assistance
IAS 26: Accounting and Reporting by Retirement Benefit Plans IAS 33: Earnings per Share
IAS 36: Impairment of Assets IAS 38: Intangiable Assets
IAS 39: Financial Instruments: Recognition and Measurement IAS 40: Investment Property
IAS 41: Agriculture
Definisi fair value sendiri menurut Alfredson et al. (2009) dalam Warsono
(2011) adalah sebagai berikut:
“as the value determined between knowledgeable, willing buyers and sellers in arm’s length transaction, …”
Definisi fair value lainnya menurut Kieso et al. (2011) dalam Warsono
(2011) adalah sebagai berikut:
Menurut Warsono (2011) sendiri, beberapa karakteristik dasar yang melekat
pada nilai wajar adalah sebagai berikut:
Berdasar transaksi yang bebas, objektif, dan adopsi pasar.
Sesuai kondisi terkini pada tanggal pengukuran, dan
Berdasar harga keluar (exit price), yaitu:
Dalam transaksi aset, berdasar harga yang seharusnya
diterima oleh penjual aset,
Dalam transaksi liabilitas, berdasar harga yang seharusnya
dibayar oleh pihak yang mempunyai liabilitas (debitur).
Hal yang perlu disadari adalah bahwa di samping memiliki kelebihan,
pengukuran adopsi fair value ini juga memiliki kelemahan. Kelemahannya
antara lain adalah: 1) fair value banyak membutuhkan judgment sehingga
terdapat resiko munculnya subyektifitas, 2) dimensi dari fair value cukup
banyak sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan hasil pengukuran
untuk obyek yang sama (Warsono, 2011).
2.6.2. Full Disclosure
Karakteristik utama lainnya dari IFRS adalah full disclosure, yaitu
persyaratan untuk mengungkapkan secara lebih lengkap dan lebih rinci. Hal
ini juga terkait erat dengan karakteristik IFRS yang berbasis prinsip. Oleh
karena IFRS tidak mengatur secara rinci seperti halnya US GAAP, maka
pengungkapan yang lebih rinci sangat diperlukan agar pembaca laporan
Sebagaimana yang dianalogikan oleh Warsono (2011), pernyataan yang
berbasis prinsip contohnya “pengendara sepeda motor harus menggunakan
helm”, sedangkan pernyataan yang berbasis standar dicontohkan dengan
pernyataan “pengendara sepeda motor harus menggunakan helm berlabel
SNI dan berwarna hitam”. Berdasarkan analogi di atas, maka pengungkapan
penuh atau full disclosure sangat diperlukan bagi pembaca laporan agar
dapat memahami isi dari laporan keuangan yang disajikan, dengan lebih
baik. Hal ini juga bertujuan untuk mengurangi kesenjangan informasi
(asimetri informasi) antara agent (manajer) dan principal (investor).
2.7. Penelitian Terdahulu
2.7.1. Penelitian Terdahulu Relevansi Nilai (Value Relevance) Penelitian terdahulu mengenai relevansi nilai banyak ditemukan pada
penelitian mengenai accounting quality. Hal ini disebabkan relevansi nilai
(value relevance) merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk
menilai peningkatan accounting quality sesudah penerapan IFRS. Penelitian
terdahulu tersebut adalah penelitian dari Barth et al. (2008), Paananen dan
Lin (2009), dan Chua et al. (2012).
Penelitian Barth et al. (2008) dan Chua et al. (2012) memberikan hasil
terjadi peningkatan accounting quality sesudah penerapan IFRS. Hasil yang
berbeda ditunjukkan oleh penelitian Paananen dan Lin (2009), di mana pada
periode IFRS mandatory, justru menunjukkan penurunan kualitas akuntansi
(accounting quality) dari waktu ke waktu. Paananen dan Lin (2009)
tersebut telah membuat ketidakpastian situasi, sehingga investor keberatan
untuk mendasarkan keputusannya pada laporan keuangan yang mengadopsi
IFRS. Jadi penyebabnya bukan karena isi dari standar itu sendiri.
Penelitian Barth et al. (2008) bertujuan untuk meneliti apakah penerapan
IAS (International Accounting Standards) berkaitan dengan kualitas
akuntansi (accounting quality) yang lebih tinggi. Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini sebanyak 21 negara yang menerapkan IAS selama
periode 1994 – 2003. Kualitas akuntansi (accounting quality) itu sendiri
diukur dari 3 ukuran, yaitu: 1) earnings management, 2) timely loss
recognition, dan value relevance.
Hasil penelitian Barth et al. (2008) menunjukkan bahwa dari ukuran
earnings management hanya ∆ NI yang terbukti signifikan pada level 5%, sedangkan ukuran yang lain tidak signifikan. Akan tetapi hasilnya
menunjukkan peningkatan timely loss recognition dan value relevance. Jadi
secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bukti adanya
peningkatan kualitas akuntansi setelah mengadopsi IAS.
Latar belakang penelitian Chua et al. (2012) adalah kesepakatan antara
Australia dan European Union (EU) untuk mengadopsi IFRS secara
mandatory per 1 Januari 2005. Oleh sebab itu Chua et al. (2012)
menjadikan tahun 2005 sebagai cut off antara periode sebelum adopsi dan
periode setelah adopsi IFRS. Meskipun IFRS itu sendiri masih mengalami
dengan IFRS), namun Chua et al. (2012) beralasan bahwa tahun 2005
merupakan awal dari periode mandatory bagi Negara Australia.
Penelitian Chua et al. (2012) bertujuan untuk meneliti dampak
pengadopsian IFRS secara mandatory terhadap kualitas akuntansi (dalam
hal ini diwakili oleh 3 ukuran, yaitu: earnings management, timely loss
recognition dan value relevance). Tujuan lainnya adalah untuk
mengeksplorasi fitur unik dari pengadopsian IFRS di Negara Australia.
Sampel penelitian Chua et al. (2012) terdiri dari 172 perusahaan dengan
periode 2001-2004 sebagai pre-adoption period dan periode 2006 – 2009
sebagai post-adoption period. Jadi total observasinya berjumlah 1.376 tahun
perusahaan (172 perusahaan x 8 tahun).
Berbeda dengan hasil penelitian Barth et al. (2008), Chua et al. (2012) dapat
memberikan bukti bahwa ketiga ukuran yang digunakan untuk melihat
kualitas akuntansinya menunjukkan hasil yang signifikan di level 1% dan
10%. Hasil pengujian earnings management signifikan di level 10% (untuk
komponen ∆ NI), timely loss recognition signifikan pada level 10%, dan
value relevance signifikan pada level 1% (untuk price model dan return model pada bad news).
Paananen dan Lin (2009) meneliti dan membandingkan kualitas dari angka
akuntansi yang dihasilkan oleh IAS (periode 2000 – 2002) dengan angka
akuntansi yang dihasilkan oleh IFRS (periode 2003 - 2006). Langkah
selanjutnya periode IFRS dibagi lagi menjadi periode voluntary (2003 -
penelitiannya adalah perusahaan-perusahaan di Jerman karena penelitian ini
merupakan studi kasus untuk Negara Jerman.
Penelitian Paananen dan Lin (2009) ini juga menggunakan ukuran earnings
management, timely loss recognition dan value relevance untuk mengukur kualitas akuntansinya. Model yang digunakan dalam penelitian ini mengacu
pada model Barth et al. (2008) dan model Lang et al. (2006).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kualitas
akuntansi pada periode IFRS voluntary. Akan tetapi pada periode IFRS
mandatory justru menunjukkan penurunan kualitas akuntansi dari waktu ke waktu.
Penelitian terdahulu mengenai relevansi nilai ini diakhiri dengan review
paper yang disampaikan oleh Elias (2012). Penelitian Elias (2012)
merupakan diskusi dan review terhadap penelitian Chua et al. (2012). Elias
(2012) menyatakan bahwa:
“No doubt, Chua et al. (2012) made a significant
contribution to this area of research. They shed some light on the impact of mandatory adoption of IFRS in Australia on certain variabels of interest, namely, earnings management, loss recognition, and value relevance. With the exception of value relevance, i would be hesitant to conclude there is improvement in accounting quality based on less income smoothing and greater loss recognition.”
Berdasarkan pernyataan di atas, Elias (2012) ragu-ragu untuk
pada berkurangnya income smoothing dan meningkatnya loss recognition.
Selanjutnya pada bagian lain, Elias (2012) juga menyatakan bahwa:
“Question 2 : Why are there lower earnings management and more loss recognition?
Answer 2 : The reasons are unknown and unexplored. Exploring the effects of the differences in GAAP and IFRS could provide some answers, but that lies out of the scope of the paper.
Question 3 : Does IFRS mandatory adoption in Australia improve accounting quality?
Answer 3 : We conclude that IFRS mandatory adoption appears to result in greater losses, less smoothed earnings, and greater value relevance. However, unless we know which direction is optimal for loss recognition and income smoothing, it is difficult to say that these results reflect higher accounting quality, as the reverse could also be true.”
Berdasarkan pernyataan di atas, terlihat bahwa hanya value relevance yang
dapat meyakinkan untuk penarikan simpulan bahwa terdapat peningkatan
kualitas akuntansi dalam suatu laporan keuangan. Lebih lanjut Elias (2012)
menyatakan bahwa variabel earning management dan timely loss
recognition masih dapat dieksplorasi lagi dengan cara menelusuri dampak nyata dari perbedaan setiap standar dalam IFRS dan GAAP terhadap
earning management dan timely loss recognition.
Oleh sebab itu, pada penelitian ini, lebih memilih value relevance sebagai
gambaran dari kualitas akuntansi suatu laporan keuangan. Meskipun
demikian, penulis juga tidak serta merta menyimpulkan bahwa hanya
berdasarkan value relevance ini dapat menggambarkan kualitas akuntansi
suatu laporan keuangan secara keseluruhan karena kualitas akuntansi sendiri
2.7.2. Penelitian Terdahulu Asimetri Informasi
Penelitian terkait asimetri informasi dilakukan oleh Healy et al. (1999),
Leuz dan Verrechia (2000), Leuz (2003), Daske et al. (2008), Armstrong
(2010), Latif (2011) dan penelitian Pratiwi dan Desniwati (2011). Seluruh
penelitian tersebut mengggunakan bid-ask spread sebagai proksinya,
kecuali penelitian Armstrong (2010) yang menggunakan proksi turnover,
closely held, dan Herf.
Hasil penelitian dari Healy et al. (1999), Leuz dan Verrechia (2000), Daske
et al. (2008) dan Armstrong (2010) menunjukkan adanya penurunan asimetri informasi setelah terjadi peningkatan kualitas laporan keuangan
atau setelah penerapan standar yang baru. Hasil penelitian yang
menunjukkan hasil tidak signifikan ditunjukkan oleh penelitian Leuz (2003),
Latif (2011), dan Pratiwi dan Desniwati (2011).
Healy et al. (1999) dan Leuz dan Verrechia (2000) meneliti mengenai
dampak peningkatan pengungkapan (disclosure) terhadap asimetri
informasi. Perbedaannya, Healy et al. (1999) meneliti dampak dari
peningkatan pengungkapan (disclosure) terhadap penilaian investor,
likuiditas saham, dan peningkatan minat analis terhadap saham tersebut,
sedangkan Leuz dan Verrechia (2000) meneliti economic consequences dari
peningkatan disclosure perusahaan-perusahaan di Jerman yang semula
menggunakan standar lokal Negara Jerman menjadi menggunakan standar
Hasil penelitian Healy et al. (1999) terhadap 97 perusahaan yang melakukan
perbaikan dan peningkatan disclosure quality (periode 1980 – 1991),
menunjukkan terjadinya peningkatan likuiditas saham (diproksikan dengan
bid-ask spread yang menurun), peningkatan revisi terhadap penilaian investor, dan meningkatkan minat para analis terhadap saham. Hasil yang
serupa ditunjukkan oleh Leuz dan Verrechia (2000) terhadap 102
perusahaan yang terdaftar pada DAX 100 index selama tahun 1998. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan disclosure yang disebabkan
oleh peralihan standar (dari standar lokal Jerman ke standar internasional,
dalam hal ini IAS dan US GAAP) berhubungan secara signifikan dengan
penurunan bid-ask spread dan peningkatan share turnover (volume
perdagangan), namun penelitian ini tidak berhasil menemukan hubungan
negatif antara peningkatan disclosure dengan volatilitas harga saham.
Sementara itu penelitian Leuz (2003) menginvestigasi apakah perusaahaan
yang menggunakan standar US GAAP dan IAS menunjukkan perbedaan
dalam beberapa proksi asimetri informasi (bid-ask spread dan share
turnover). Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar di New Market dan beroperasi di Jerman. Sampel
akhir yang digunakan untuk tahun 1999 sebanyak 69 sampel, sedangkan
untuk tahun 2000 sebanyak 195 sampel.
Penelitian ini dimotivasi oleh adanya perdebatan mengenai 2 standar yang
ini ingin menunjukkan bukti empiris mengenai perbedaan kedua standar
tersebut dilihat dari sisi asimetri informasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan bid-ask spread dan share
turnover diantara kedua standar tersebut secara statistik tidak signifikan dan secara ekonomi juga kecil dampaknya. Hasil penelitian ini memberikan dua
interpretasi. Pertama, hasil penelitian ini tidak mendukung klaim bahwa
laporan keuangan yang dihasilkan oleh US GAAP memiliki kualitas
informasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan IAS. Kedua, menurut
Leuz (2003) hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian
sebelumnya, yaitu: Ball dan Shivakumar (2002), yang menyatakan bahwa
kualitas akuntansi cenderung lebih besar ditentukan oleh insentif pelaporan
keuangan (tercipta karena tekanan pasar dan faktor institusional)
dibandingkan oleh standar akuntansi.
Berbeda dengan penelitian Leuz (2003) yang melihat perbedaan asimetri
diantara dua standar, penelitian Daske et al. (2008) meneliti tentang
konsekuensi ekonomi (economic consequences) dari penerapan pelaporan
adopsi IFRS yang bersifat mandatory. Sementara itu penelitian Armstrong
et al. (2010) menguji 16 event terkait adopsi IFRS di Eropa. Persamaan dari semua penelitian di atas adalah tujuan penelitiannya untuk melihat
perbedaan asimetri informasi sesuai dengan proksi yang dipilih oleh
peneliti. Contohnya penelitian Daske et al. (2008) yang melihat asimetri
informasi dari sisi likuiditas pasar (salah satu proksinya menggunakan
asimetri informasi dengan menggunakan 3 proksi berikut: 1) turnover
(indikator variabel yang bernilai 1 jika rasio dari rata-rata saham yang
diperdagangkan setiap harinya dengan total saham yang beredar pada tahun
tersebut, lebih besar dibandingkan median sampelnya, dan bernilai 0 jika
selain itu), 2) closely held (persentase saham yang dipegang oleh insider,
data disediakan Worldscope) dan 3) Herf (mengacu pada Herfindahl index).
Kembali lagi pada penelitian Daske et al. (2008) yang menganalisa
konsekuensi ekonominya pada sisi likuiditas pasar, cost of capital, dan
Tobin’s q. Penelitian ini menggunakan sampel lebih dari 3100 perusahaan
yang mewajibkan pengadopsian IFRS di 26 negara antara tahun 2001 -
2005.
Hasil penelitian Daske et al. (2008) ini menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan likuiditas pasar (salah satu proksinya menggunakan bid-ask
spread) yang signifikan setelah IFRS bersifat mandatory. Selain itu, terjadi penurunan cost of capital dan kenaikan Tobin’s q (sebagai pengukur equity
evaluations).
Hasil serupa ditunjukkan oleh Armstrong et al. (2010) yang menunjukkan
penurunan asimetri informasi pada sampel perbankan yang sebelum adopsi
IFRS memiliki asimetri informasi yang tinggi. Selain itu juga, Armstrong et
Lain halnya dengan penelitian asimetri informasi yang dilakukan oleh Latif
(2012) dan Pratiwi dan Desniwati (2012). Kedua penelitian ini melihat
perbedaan asimetri informasi antara sebelum dan sesudah penerapan IFRS.
Latif (2011) menyatakan bahwa penelitiannya merupakan ekstensi atas
penelitian dari Armstrong et al. (2010). Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk memberikan bukti empiris terkait pengaruh adopsi wajib IFRS
terhadap kualitas informasi dan asimetri informasi.
Sampel penelitian yang diambil Latif (2012) berasal dari 426 perusahaan
manufaktur yang terdapat pada database OSIRIS (perusahaan-perusahaan di
Uni Eropa). Periode penelitian Latif (2012) terdiri dari periode sebelum
(2002 - 2004) dan periode setelah pengadopsian IFRS (2006 - 2008). Latif
(2012) menggunakan tahun 2005 sebagai cut off penelitiannya. Lain halnya
dengan penelitian Pratiwi dan Desniwati (2012) yang menggunakan sampel
12 bank di Indonesia yang telah menerapkan SAK adopsi IFRS. Periode
penelitiannya dibagi menjadi 2, yaitu periode 2003 – 2006 sebagai periode
sebelum penerapan SAK adopsi IFRS dan tahun 2007 – 2010 sebagai
periode setelah penerapan SAK adopsi IFRS.
Hasil penelitian dari kedua penelitian ini relatif sama, di mana asimetri
informasi antara sebelum dan sesudah penerapan tidak terbukti signifikan,
padahal kualitas informasinya sudah mengalami peningkatan. Penyebabnya
menurut Latif (2012) adalah karena standar bukanlah faktor yang dominan
(2011) menyatakan bahwa penelitiannya mengkonfirmasi hasil penelitian
Hung dan Subramanyam (2007).
Berbeda halnya dengan penelitian Pratiwi dan Desniwati (2012) yang
menyatakan bahwa meskipun tidak terbukti signifikan, namun secara
rata-rata, spread periode sebelum dan setelah penerapan IFRS ini menunjukkan
penurunan (dari 0,7154 menjadi 0,7071). Penurunan ini mengindikasikan
bahwa terjadi penurunan asimetri informasi setelah penerapan IFRS. Hasil
penelitian ini mengkonfirmasi penelitian Leuz (2003).
2.8. Pengembangan Hipotesis
2.8.1. Adopsi IFRS dan Relevansi Nilai (Value Relevance)
Penelitian terdahulu memberikan beberapa bukti bahwa relevansi nilai
laporan keuangan meningkat setelah adopsi IFRS (Barth et al., 2008, Chua
et al., 2012). Sebaliknya penelitian Paananen dan Lin (2009) memberikan bukti penurunan relevansi nilai setelah adopsi IFRS. Sementara itu bila
dilihat dari karakteristik utama IFRS yang lebih menekankan pada fair
value (nilai wajar), maka secara logis dapat dikatakan bahwa laporan keuangan tersebut akan dapat menggambarkan kondisi perusahaan yang
sebenarnya (dengan kata lain lebih relevan).
Proksi value relevance sendiri diukur dengan kekuatan variabel penjelas
dari hasil regresi hasil residual regresi harga saham dengan nilai buku dan
laba bersih per lembar saham. Proksi ini akan menunjukkan kekuatan
Implikasi selanjutnya adalah harga yang terjadi di pasar akan mencerminkan
value of the firm dengan lebih baik. Jadi penerapan SAK adopsi IFRS yang berbasis fair value ini diduga kuat dapat meningkatkan relevansi nilai
laporan keuangan yang dihasilkannya. Berdasarkan alur berpikir di atas,
maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut:
H1: Relevansi nilai (value relevance) dari laporan keuangan perusahaan
mengalami peningkatan setelah penerapan SAK adopsi IFRS.
2.8.2. Adopsi IFRS dan Asimetri Informasi
Pengungkapan yang lebih luas akan mengarahkan investor untuk merevisi
kembali penilaian mereka terhadap value of the firm. Implikasinya adalah
asimetri informasi antara principal (pemegang saham/investor) dan agent
(manajer) akan menurun.
Beberapa penelitian terdahulu telah memberikan bukti bahwa peningkatan
pengungkapan (disclosure) akan berimplikasi pada penurunan asimetri
informasi (Healy et al., 1999, Leuz dan Verrecchia, 2000, Daske et al., 2008
dan Armstrong et al., 2010). Sementara itu penelitian lainnya menunjukkan
hasil tidak ada perubahan asimetri yang signifikan antara laporan yang
menggunakan IAS dengan laporan yang menggunakan US GAAP (Leuz,
2003).
Oleh karena sebagian besar hasil penelitian menunjukkan hasil yang positif,
serta secara teori, standar IFRS sendiri lebih menekankan pada
pengungkapan yang lebih luas (full disclosure), maka seharusnya proses
Berdasarkan alur berpikir di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai
berikut:
H2: Asimetri informasi antara principal (pemegang saham/investor) dan
agent (manajer) mengalami penurunan setelah penerapan SAK
adopsi IFRS.
2.8.3. Rerangka Berpikir
Penelitian ini berlandaskan pada rerangka berpikir pada gambar 1 di bawah
ini. Penelitian ini ingin melihat pengaruh dari penerapan Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) yang mengadopsi IFRS terhadap relevansi nilai laporan
keuangan dan asimetri informasi antara agent dan principal. Oleh karena
karakteristik utama dari IFRS adalah fair value dan full disclosure, maka
secara teori penerapan SAK adopsi IFRS diharapkan mampu meningkatkan
relevansi nilai laporan keuangan serta sekaligus menurunkan tingkat
asimetri informasi antara agent dan principal.
Gambar 1. Rerangka Berpikir
Relevansi nilai merupakan salah satu ukuran dari kualitas akuntansi
(accounting quality) yang juga menunjukkan kualitas dari laporan keuangan Fair Value
Full Disclosure
Relevansi Nilai
Bid – Ask Spread
IFRS
Kualitas Akuntansi
tersebut. Relevansi nilai diukur dengan adjusted R square, sedangkan
BAB III
METODE PENELITIAN
3. 1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekuder. Sementara itu
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data total ekuitas, jumlah tertimbang lembar saham yang beredar, dan
laba per lembar saham (net income per share / NIPS) diperoleh dari
catatan atas laporan keuangan (CALK) perusahaan. Laporan keuangan
perusahaan diperoleh dari ICMD.
2. Data deviden, harga saham harian, bulanan, awal tahun dan bid-ask
diperoleh dari www.finance.yahoo.com.
3. 2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI). Sementara itu sampel penelitian ini adalah perusahaan yang
memenuhi kriteria pemilihan sampel yang telah ditentukan dalam penelitian ini.
Hal ini dimaksudkan agar tujuan penelitian ini dapat tercapai.
3. 3. Teknik Pengambilan Sampel
Berdasarkan alasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditentukan teknik
(pemilihan sampel secara acak dengan ketentuan-ketentuan tertentu). Sampel yang
digunakan harus memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Perusahaan terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode penelitian
(2005 s/d 2011, dengan tahun 2008 sebagai cut off). Alasan
menjadikan tahun 2008 sebagai cut off adalah karena tahun 2008
merupakan tahun diputuskannya IFRS mulai diterapkan di Indonesia.
2. Perusahaan tidak melakukan revisi atau perubahan laporan keuangan
selama periode penelitian (Chua et al., 2012). Hal ini didasarkan pada
alasan bahwa peristiwa perubahan laporan keuangan (restatement)
akan direaksi secara tersendiri oleh investor. Oleh sebab itu harus
dikeluarkan dari sampel penelitian agar hasil penelitian tidak menjadi
bias.
3. Perusahaan yang belum menerapkan IFRS setelah tahun 2008
dikeluarkan dari sampel. Oleh karena sifat penerapan SAK adopsi
IFRS masih bersifat optional, maka masih ada beberapa perusahaan
yang belum menerapkannya. Penerapan SAK adopsi IFRS ini dapat
dilihat dari catatan atas laporan keuangannya.
4. Data yang diperlukan selama periode penelitian ini tersedia lengkap,
seperti laporan keuangan dan data perdagangan saham.
5. Laporan keuangan disajikan dalam mata uang Rupiah, dengan periode
laporan keuangan yang berakhir tanggal 31 Desember.
Berdasarkan kriteria pemilihan sampel yang telah ditetapkan sebelumnya,
observasi untuk periode 3 tahun sebelum dan 183 observasi untuk periode 3
tahun sesudah penerapan SAK adopsi IFRS.
Tabel 1. Daftar Sampel
No. Kriteria Pemilihan Sampel Jumlah
Perusahaan 1. Perusahaan yang terdaftar di BEI sampai tahun 2011 464 2. Perusahaan yang terdaftar (IPO) di BEI setelah tahun 2005 (155) 3. Perusahaan yang melakukan restatement antara tahun 2005 –
2011, kecuali tahun 2008 (sebagai cut off). (76)
4. Perusahaan yang belum menerapkan IFRS setelah tahun
2008 (40)
5. Perusahaan yang datanya tidak lengkap selama tahun 2005 –
2011 (124)
6. Perusahaan yang laporan keuangannya disajikan dalam
Dollar, periode laporan keuangan 31 Maret s/d 1 April, dll. (10) -
Total perusahaan yang menjadi sampel penelitian 61 Total observasi (61 perusahaan x 6 tahun) 366 Hasil seleksi sampel di atas kemudian diklasifikasikan ke dalam 9 sektor seperti
yang tercantum dalam tabel berikut ini.
Tabel 2. Klasifikasi Perusahaan Sampel
3. 4. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 3.4.1. Relevansi Nilai (Value Relevance)
Definisi dari relevansi nilai (value relevance) menurut Francis dan Schipper
(1999) dalam Gjerde (2011) adalah kemampuan dari informasi laporan
No Klasifikasi Perusahaan Jumlah %
1 Sektor Pertanian 2 3.28 7 Sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi 3 4.92
8 Sektor Keuangan 7 11.47
9 Sektor Perdagangan, Jasa dan Investasi 11 18.03
keuangan untuk menangkap dan merangkum informasi-informasi yang
menggambarkan nilai perusahaan (firm value). Proksi dari relevansi nilai
(value relevance) yang digunakan dalam penelitian ini adalah proksi yang
digunakan dalam penelitian Barth et al. (2008) dan Chua et al. (2012).
Proksi dari relevansi nilai (value relevance) terdiri dari 2 buah persamaan.
Persamaan pertama disebut juga price model, sedangkan persamaan kedua
disebut return model. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
………. (1)
Di mana:
P = harga saham selama 3 bulan setelah batas akhir tahun fiskal (31 Desember).
P* = nilai residual dari hasil regresi P (harga) terhadap jenis industri dan waktu (tahun).
BVEPS = nilai buku ekuitas per lembar sahamnya, dan NIPS = laba bersih per lembar sahamnya.
Nilai BVEPS pada persamaan satu (price model) di atas atau dalam
Hartono (2012) disebut nilai buku per lembar saham, diperoleh dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Nilai buku per lembar saham = Total Ekuitas Jumlah saham beredar
Proksi relevansi nilai berikutnya dijabarkan dalam persamaan kedua
(return model) berikut ini.
RETURN = total return tahunan pemegang saham dari 9 bulan sebelum tahun fiskal berakhir sampai dengan 3 bulan setelah tahun fiskal berakhir.
Nilai return pada persamaan kedua (return model) di atas diperoleh dengan menggunakan rumus return dalam Hartono (2012) di bawah ini.
Di mana:
Pt = harga saham periode t
Pt-1 = harga saham periode t-1
Dt = deviden pada periode t
Selanjutnya persamaan kedua di atas, masih dibagi lagi menjadi 2
kelompok: 1) untuk meregresi perusahaan dengan “good news” (perusahaan dengan return saham tahunan non-negatif) dan 2) untuk meregresi
perusahaan dengan “bad news” (perusahaan dengan return saham tahunan
negatif).
Penarikan simpulannya berdasarkan perbandingan adjusted R2 (diperoleh
dari hasil regresi kedua persamaan di atas) antara periode sebelum dengan
periode setelah penerapan IFRS. Apabila adjusted R2 periode sebelum <
adjusted R2 periode sesudah penerapan, maka simpulannya adalah terjadi kenaikan relevansi nilai laporan keuangan.
3.4.2. Asimetri Informasi
Asimetri informasi diproksikan dengan bid-ask spread (Daske et al., 2008,
Healy et al., 1999, Leuz dan Verrecchia, 2000). Definisi dari bid-ask
spread adalah perbedaan antara nilai permintaan tertinggi investor mau Return = Capital Gain (loss) + Yield
Return = ��−��−1
��−1 +
menjual dan penawaran terendah dealer mau membeli (Hartono, 2012).
Selanjutnya rumus untuk menghitung bid-ask spread dinyatakan dalam
persamaan berikut:
Bid-ask spread yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan periode data bid-ask spread 5 bulan sebelum sampai 7 bulan setelah tahun fiskal
berakhir (menyesuaikan dengan penelitian Daske et al., 2008, yang
menggunakan periode tersebut untuk melihat dampak penerapan IFRS
terhadap asimetri informasi/economic consequences).
3. 5. Pengujian Asumsi
Menurut Atmaja (2009), penelitian yang menggunakan alat analisis regresi dan
korelasi berganda harus mengenali asumsi-asumsi yang mendasarinya. Apabila
asumsi-asumsi dimaksud tidak terpenuhi, maka hasil analisis mungkin berbeda
dari kenyataan (bias). Asumsi-asumsi yang mendasari alat analisis regresi dan
korelasi berganda tersebut adalah sebagai berikut:
1. Variabel bebas dan variabel independen memiliki hubungan yang
linear (garis lurus).
2. Variabel independen harus kontinyu dan setidaknya berupa skala
interval. Variasi dari perbedaan antara aktual dan nilai prediksi harus
sama untuk semua nilai prediksi Y. Artinya, nilai (Y –Ŷ) harus sama
untuk semua nilai Ŷ. Hal ini lebih dikenal dengan istilah
dengan istilah heteroskedastisitas. Selain itu, nilai residual atau (Y –
Ŷ) harus terdistribusi secara normal dengan rata-rata nol.
3. Nilai observasi yang berurutan dari variabel dependen harus tidak
berhubungan (tidak berkorelasi). Pelanggaran terhadap asumsi ini
disebut autokorelasi. Autokorelasi ini sering terjadi jika data
dikumpulkan pada suatu periode waktu (time series data).
4. Variabel independen tidak boleh berkorelasi dengan variable
independen lain dalam model. Jika variabel-variabel independen
berkorelasi tinggi (positif maupun negatif), maka disebut
multikolinearitas.
3.5.1. Normalitas
Untuk menguji normalitas dari residual hasil regresi, dapat digunakan 2 cara,
yaitu: histogram residual dan uji Jarque-Bera. Suatu residual dikatakan
memiliki distribusi normal apabila histogram residual bentuknya menyerupai
lonceng seperti distribusi t, maka residual tersebut dapat dikatakan
berdistribusi normal (Widarjono: 2009).
Jika nilai probabilitas
ρ
dari statistik Jarque Bera (JB) besar atau dengan katalain jika nilai statistik dari JB ini tidak signifikan, maka kita menerima
hipotesis bahwa residual mempunyai distribusi normal karena nilai statistik
JB mendekati nol. Sebaliknya jika nilai probabilitas
ρ
dari statistik JB kecilatau signifikan, maka kita menolak hipotesis bahwa residual mempunyai
3.5.2. Multikolinearitas
Pelanggaran asumsi berikutnya disebut multikolinearitas, yaitu suatu keadaan
di mana terdapat hubungan linear antara variabel independen di dalam regresi
berganda. Hubungan linear antara variabel independen dapat terjadi dalam
bentuk hubungan linear yang sempurna (perfect) dan hubungan yang kurang
sempurna (imperfect) (Widarjono, 2009).
Salah satu cara untuk mendeteksi masalah multikolinearitas ini adalah dengan
menggunakan VIF (Variance Inflating Factor). Rumusnya adalah sebagai
berikut:
���
=
1 (1−��2)Menurut Nachrowi dan Usman (2006), jika VIF > 5, maka terjadi
multikolinearitas. Artinya, jika VIF = 5, maka ��2 = 0,8. Jadi korelasi yang
diperkenankan antar variabel bebasnya hanya sampai 0,8. Apabila nilai VIF
sudah lebih dari 5, maka korelasi antar variabel bebasnya sudah lebih dari 0,8,
sehingga dapat disimpulkan telah terjadi multikolinearitas.
Berbeda dengan pelanggaran asumsi yang lainnya, menurut Widarjono
(2009), meskipun ada masalah multikolinearitas tetapi tetap dapat
menghasilkan estimator yang BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Hal
ini dikarenakan untuk menghasilkan estimator yang BLUE tidak memerlukan
Widarjono (2009) menyatakan bahwa ada beberapa cara dalam menghadapi
masalah multikolinearitas. Pertama, tidak melakukan apa-apa
(multikolinearitas tetap ada). Kedua, menghilangkan salah satu variabel
independen yang mempunyai hubungan linear kuat. Ketiga, melakukan
transformasi variabel (diubah dalam bentuk first difference). Keempat,
menambahkan data karena pada dasarnya multikolinearitas merupakan
masalah sampel, sehingga seringkali bisa diatasi dengan cara menambah data.
3.5.3. Autokorelasi
Pelanggaran terhadap asumsi ketiga akan mengakibatkan autokorelasi.
Autokorelasi sendiri berarti adanya korelasi antara anggota observasi satu
dengan observasi yang berlainan waktu. Dalam kaitannya dengan analisis
regresi, autokorelasi merupakan korelasi antara satu variabel gangguan
dengan variabel gangguan yang lain (Widarjono, 2009).
Ada banyak metode yang bisa digunakan untuk mendeteksi masalah
autokorelasi. Salah satu keuntungan dari uji DW yang didasarkan pada
residual adalah bahwa setiap program komputer untuk regresi selalu
memberikan informasi statistik d. adapun prosedur dari uji DW adalah
sebagai berikut:
1. Melakukan regresi metode OLS dan kemudian mendapatkan nilai
residualnya.
2. Menghitung nilai d (kebanyakan program sudah secara otomatis
3. Dengan jumlah observasi (n) dan jumlah variabel independen
tertentu tidak termasuk konstanta (k), kita cari nilai kritis dL dan dU
di statistik DW.
4. Keputusan ada atau tidaknya autokorelasi didasarkan pada tabel
berikut ini:
Nilai Statistik d Hasil
0 < d < dL Menolak hipotesis nol, ada autokorelasi positif.
dL≤ d ≤ dU Daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan.
dU ≤ d ≤ 4 - dU Menerima hipotesis nol, tidak ada korelasi positif/negatif.
4 - dU ≤ d ≤ 4 –dL Daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan.
4 – dL ≤ d ≤ 4 Menolak hipotesis nol, ada autokorelasi negatif.
Sumber: Widarjono, 2009.
3.5.4. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah suatu kondisi ketika variabel gangguan memiliki
varian yang tidak konstan. Pada umumnya heteroskedastisitas terjadi pada
jenis data cross section. Heteroskedastisitas menyebabkan estimator β1 topi
tidak lagi mempunyai varian yang minimum jika kita menggunakan metode
OLS. Selanjutnya menurut Widarjono (2009), konsekuensinya adalah sebagai
berikut:
1. Jika varian tidak minimum maka menyebabkan perhitungan standard
error metode OLS tidak lagi bias dipercaya kebenarannya.
2. Akibat nomor 1 tersebut maka interval estimasi maupun uji hipotesis
yang didasarkan pada distribusi t maupun F tidak lagi bias dipercaya
Oleh sebab itu, masalah heteroskedastisitas ini dapat dideteksi dan
disembuhkan. Cara mendeteksi masalah heteroskedastisitas ini ada banyak
cara, namun yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode White atau
dalam software Eviews dikenal dengan metode White no cross term. Metode
White no cross term ini memiliki keunggulan dibandingkan metode Breusch-Pagan karena metode ini tidak memerlukan asumsi normalitas pada variabel gangguan (Widarjono, 2009).
3. 6. Pengujian Hipotesis
3.6.1. Pengujian Hipotesis Pertama
Seperti yang telah diuraikan pada definisi operasional variabel di atas,
bahwa value relevance diukur dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
……….. (1)
Di mana:
P = harga saham selama 3 bulan setelah batas akhir tahun fiskal (31 Desember).
P* = nilai residual dari hasil regresi P (harga) terhadap jenis industri dan waktu (tahun).
BVEPS = nilai buku ekuitas per lembar sahamnya, dan NIPS = laba bersih per lembar sahamnya.
Sebelumnya sampel telah dibagi terlebih dahulu menjadi sampel periode
sebelum adopsi IFRS dan sampel setelah adopsi IFRS. Langkah
selanjutnya, bila hasil adjusted R2 (diperoleh dari hasil regresi) pada kedua periode tersebut telah diperoleh, maka kita dapat membandingkan
dibandingkan sebelum adopsi, maka simpulannya terjadi peningkatan
relevansi nilai (value relevance), begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya pengujian relevansi nilai ini diteruskan dengan persamaan
kedua berikut ini yang terdiri dari 2 model (untuk “bad news”dan “good
news”).
………. (2)
Di mana:
NI / P = laba bersih per lembar saham dibagi harga saham awal tahun fiskal.
[NI/ P]* = nilai residual dari hasil regresi NI / P terhadap jenis industri dan waktu (tahun).
RETURN = total return tahunan pemegang saham dari 9 bulan sebelum
tahun fiskal berakhir sampai dengan 3 bulan setelah tahun fiskal berakhir.
Langkah selanjutnya sama dengan persamaan pertama, jika hasil
adjusted R2 (diperoleh dari hasil regresi) pada kedua periode tersebut telah diperoleh, maka kita dapat membandingkan nilai adjusted R2 antara kedua periode tersebut, serta menarik simpulan. Jika nilai adjusted R2
periode sesudah adopsi IFRS lebih tinggi dibandingkan sebelum adopsi,
maka simpulannya terjadi peningkatan relevansi nilai (value relevance),
begitu pula sebaliknya. Persamaan untuk model “bad news”dan “good news” tetap menggunakan persamaan (2), hanya berbeda pada nilai yang dimasukkan saja.
3.6.2. Pengujian Hipotesis Kedua
Pengujian pada hipotesis kedua dilakukan dengan cara menghitung
Langkah selanjutnya adalah menghitung median dari spread selama
setahun (Daske et al., 2008). Sementara itu untuk menguji hipotesis
adanya penurunan bid-ask spread setelah adopsi IFRS, maka penulis
menggunakan pengujian-t dua sampel berhubungan parametrik.
Menurut Hartono (2012), pengujian-t (t-test) untuk dua sampel yang
berhubungan adalah pengujian beda rata-rata berpasangan antara dua
sampel. Pengujian-t ini untuk pengujian parametrik. Oleh karena
observasi di dalam kedua sampel berhubungan dan berpasangan, maka
kedua sampel ini dapat dapat dianggap satu sampel yang sama.
Mengingat significance level yang digunakan sebesar 0,05 (α = 5%),
maka penarikan simpulannya adalah sebagai berikut:
Jika nilai probabilitas (significance) > dari significance level 0,05
(α = 5%), maka hipotesis yang diajukan tidak dapat diterima. Ini
berarti bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara asimetri
informasi sebelum dan sesudah diterapkannya SAK adopsi IFRS.
Jika nilai probabilitas (significance) < dari significance level 0,05
(α = 5%), maka hipotesis yang diajukan dapat diterima. Ini
berarti bahwa ada perbedaan signifikan antara asimetri informasi
BAB V KESIMPULAN
5.1. Simpulan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan secara empiris ada
atau tidaknya peningkatan relevansi nilai sesudah penerapan SAK adopsi IFRS.
Selain itu juga untuk membuktikan apabila terjadi kenaikan relevansi nilai diikuti
dengan penurunan nilai asimetri informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan relevansi nilai dan penurunan asimetri informasi sesudah
adopsi IFRS. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian dari Chua et al.
(2012), kecuali untuk return model peristiwa bad news (persamaan 2 bad news).
Analisis selanjutnya menunjukkan bahwa peningkatan serta nilai dari adjusted R
square dari hasil penelitian ini terbilang cukup rendah. Jadi, meskipun relevansi nilai sesudah adopsi IFRS mengalami peningkatan, namun secara keseluruhan
relevansi nilainya masih rendah dibandingkan dengan di Australia. Penyebabnya
adalah karena karakteristik negara Indonesia yang bersifat bank-oriented. Seperti
yang disebutkan oleh Ali dan Hwang (2000) bahwa relevansi nilai cenderung
lebih rendah pada negara yang berkarakteristik bank-oriented dibandingkan
dengan negara yang berkarakteristik market-oriented. Justifikasi lainnya
pasar modal yang tidak efisien dapat membuat bias hasil penelitian relevansi
nilainya.
5.2. Implikasi
Implikasi dari hasil penelitian ini adalah :
1. Memberikan bukti empiris bahwa terjadi peningkatan relevansi nilai
laporan keuangan sesudah diterapkan SAK adopsi IFRS pada
perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Selain itu juga hasil
penelitian menunjukkan adanya penurunan asimetri informasi sesudah
penerapan SAK adopsi IFRS di Indonesia.
2. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi referensi bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi karena laporan keuangan yang telah
menerapkan SAK adopsi IFRS terbukti memiliki relevansi nilai yang lebih
tinggi. Harapan selanjutnya tentu penurunan asimetri informasi antara
agent dan principal, sehingga mengurangi kerugian dari investor itu sendiri.
5.3. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dari suatu penelitian dapat mempengaruhi hasil penelitian itu
sendiri. Keterbatasan dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini belum melakukan koreksi terhadap bentuk pasar modal yang
tidak efisien, sehingga dapat menyebabkan hasil penelitian menjadi bias.
2. Model pengujian bid ask spread belum mengikut sertakan variabel lain
yang mempengaruhi bid ask spread, sehingga tidak terlihat seberapa besar