• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Minimalisasi Cacat (Grade B) Produk Marinasi A dan Peningkatan Quality Awareness di PT Belfoods Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Program Minimalisasi Cacat (Grade B) Produk Marinasi A dan Peningkatan Quality Awareness di PT Belfoods Indonesia"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRAM MINIMALISASI CACAT (

GRADE B)

PRODUK

MARINASI A DAN PENINGKATAN

QUALITY AWARENESS

DI PT BELFOODS INDONESIA

RINI AGUSTINI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Program Minimalisasi Cacat

(Grade B) Produk Marinasi A dan Peningkatan Quality Awareness di PT

Belfoods Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Rini Agustini

(4)

ABSTRAK

RINI AGUSTINI. Program Minimalisasi Cacat (Grade B) Produk Marinasi A dan Peningkatan Quality Awareness di PT Belfoods Indonesia. Dibimbing oleh BUDI NURTAMA dan TATANG SANJAYA

Program pengendalian proses produksi produk marinasi A yang diterapkan PT Belfoods belum optimal. Hal ini dapat terlihat dari tingginya cacat produk yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk menekan persentase cacat produk marinasi A dengan menggunakan alat bantu pada SPC, yaitu diagram Pareto, diagram Ishikawa, dan check list serta menganalisis tingkat kesadaran karyawan terhadap kualitas dengan menggunakan kuesioner. Berdasarkan interpretasi diagram Pareto, jenis cacat yang dominan adalah pink bone dan coating lepas >2 cm2. Adapun faktor penyebab timbulnya cacat produk adalah kurangnya kesadaran operator akan produk berkualitas dan instruksi kerja yang tidak dilaksanakan dengan baik, sehingga terjadi penyimpangan. Setelah dilakukan perbaikan dengan ketentuan semua paremeter proses yang menyimpang disesuaikan dengan SOP perusahaan, sehingga jenis cacat yang muncul sebelum proses pengemasan hanya pink bone dengan persentase penurunan cacat produk sebesar 70.83%. Sedangkan berdasarkan hasil kuesioner, rata-rata tingkat kesadaran karyawan terhadap kualitas hasil produksi pada departemen QA sebesar 85.5, departemen premix sebesar 76.00, departemen RnD sebesar 72.50, departemen QC sebesar 71.71, departemen produksi sebesar 68.43, departemen

engineering sebesar 59.40, departemen finish goods sebesar 49.32, dan

departemen raw material warehouse sebesar 44.25. Secara keseluruhan, rata-rata tingkat kesadaran karyawan PT Belfoods terhadap kualitas hasil produksi sebesar 60.91.

Kata kunci: pengendalian proses produksi, SPC, cacat produk, kesadaran karyawan terhadap kualitas, kuesioner

ABSTRACT

RINI AGUSTINI. Controlling Program of Production Process Product Marinated A and Improving Quality Awareness in PT Belfoods Indonesia. Supervised by BUDI NURTAMA and TATANG SANJAYA

(5)

reduced until 70.83%. While based on the result of a quetionnare, the average level of awareness employee against of the outcome of production in the departement of QA is 85.8, departement of premix is 76.00, departement of RnD is 72.50, departement of QC is 71.71, departement of production is 68.43, departemen of engineering is 59.40, finish goods is 49.32, and raw material warehouse is 44.25. Overall, the average level of awareness employess of PT Belfoods against the quality of producing stuff 60.91.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

PROGRAM MINIMALISASI CACAT (

GRADE B)

PRODUK

MARINASI A DAN PENINGKATAN

QUALITY AWARENESS

DI PT BELFOODS INDONESIA

RINI AGUSTINI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Program Minimalisasi Cacat (Grade B) Produk Marinasi A dan Peningkatan Quality Awareness di PT Belfoods Indonesia Nama : Rini Agustini

NIM : F24090032

Disetujui oleh

Dr Ir Budi Nurtama, MAgr Pembimbing I

Tatang Sanjaya, STP Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Feri Kusnandar, MSc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala

yang telah melimpahkan rahmat, berkah serta hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Tema yang dipilih dalam magang penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 sampai Juni 2013 adalah quality control, dengan judul Program Minimalisasi Cacat (Grade B) Produk Marinasi A dan Peningkatan Quality

Awareness di PT Belfoods Indonesia. Pengendalian mutu merupakan sesuatu yang

penting bagi keberlangsungan hidup perusahaan. Atas dasar ini, penulis melakukan analisa mengenai pengendalian proses produksi dan tingkat kesadaran karyawan terhadap kualitas.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Budi Nurtama, MAgr selaku dosen pembimbing dan Bapak Tatang Sanjaya, STP selaku pembimbing lapang, yang telah banyak memberi bimbingan dan arahan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Marya Ulpah beserta karyawan produksi, Ibu Felicia Ufarah Novivania beserta tim Quality Control, Bapak Luthfi Khairu Winata beserta staff Quality Assurance, serta seluruh staff dan karyawan PT Belfoods yang telah membantu selama kegiatan magang penelitian ini berlangsung. Tak lupa ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ayah, Ibu, kakak, Widi Jatnika serta seluruh keluarga tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya, serta dukungannya kepada penulis. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada seluruh staff dan pengajar Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) atas ilmu yang telah diberikan selama 3 tahun di ITP, serta untuk para sahabat (Handayani Dhiniyati, Rizki Wijayanti, Ha Phi Ro, Ani Yati Wibawati, dan Kho Dzi Za, Rizka Wijayanti), teman satu tempat magang (Aisya Fayrani, Irda Ratunikmatri, Ibnu Djula, dan Yora Fertilia), teman-teman ITP 46, dan teman-teman-teman-teman Dwi Regina atas segala bentuk dukungan dan motivasinya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi 

DAFTAR GAMBAR xi 

DAFTAR LAMPIRAN xii 

PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Tujuan Penelitian 2 

METODOLOGI PENELITIAN 2 

Waktu dan Tempat Penelitian 2 

Metode 2 

Observasi Proses Produksi dan Identifikasi Masalah 2 

Pengumpulan dan Analisis Data 3

Analisis Jenis Produk Yang Akan diteliti 3 

Analisis Penyimpangan Mutu Produk 3 

Perencanaan Perbaikan 4 

Tindakan Perbaikan 4

Analisis Quality Awareness 4 

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 

Identifikasi Masalah 6

Analisis Jenis Produk yang Akan Diteliti 7 

Analisis Penyimpangan Mutu Produk 10 

Perencanaan Perbaikan 18 

Tindakan Perbaikan 21 

Analisis Quality Awareness 27 

SIMPULAN DAN SARAN 31

Simpulan 31 

Saran 31 

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 33 

(13)

DAFTAR TABEL

1 Deskripsi jenis cacat produk marinasi A 11 2 Jumlah, persentase, dan akumulasi jenis cacat produk marinasi A selama

proses pengemasan 13

3 Frekuensi ketidaksesuaian parameter proses, persentase, dan akumulasi

faktor penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) 16 4 Frekuensi ketidaksesuaian, persentase, akumulasi faktor penyebab

timbulnya coating lepas >2 cm2 pada produk marinasi A 17 5 Perencanaan proses perbaikan terhadap timbulnya sisa darah darah pada

tulang (pink bone) produk marinasi A 19

6 Perencanaan proses perbaikan terhadap timbulnya coating lepas >2 cm2

produk marinasi A 21

7 Jumlah jenis kerusakan produk marinasi A setelah proses perbaikan 22 8 Waktu memasukkan meat ke dalam konveyor dan jumlah pink bone yang

dihasilkan 23 9 Penyusunan frozen meat saat thawing dan jumlah pink bone yang

dihasilkan pada produk Marinasi A 24

10 Pengaturan suhu meat saat akan diproses dan jumlah pink bone yang

dihasilkan 25 11 Waktu memasukkan meat ke dalam konveyor dan jumlah coating lepas >2

cm2 yang dihasilkan 26

12 Pengaturan posisi meat dan jumlah coating lepas >2 cm2 yang dihasilkan 26 13 Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman level manager dan

asisten manager terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT

Belfoods Indonesia 28

14 Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman level supervisor terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia 29 15 Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pamahaman level leader terhadap

kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia 29 16 Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pamahaman level operator terhadap

kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia 30 17 Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pamahaman level staff terhadap

kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia 30 18 Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman karyawan PT Belfoods

Indonesia terhadap kualitas hasil produksi berdasar jabatan (job desk) di

perusahaan 30

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir kegiatan magang di PT Belfoods Indonesia 5 2 Perbandingan persentase tingkat kerusakan 5 jenis produk matang (fully

(14)

3 Perbandingan persentase tingkat kerusakan aktual produk marinasi A ( ) terhadap persentase tingkat kerusakan batas toleransi perusahaan ( )

pada satu kali ulangan 10

4 Jenis kerusakan produk marinasi A di PT Belfoods Indonesia 12 5 Diagram Pareto jenis cacat pada produk marinasi A sebelum proses

pengemasan 13 6 Diagram Ishikawa banyaknya jumlah pink bone pada produk marinasi A

di ruang pengemasan 14

7 Diagram Ishikawa banyaknya coating lepas >2 cm2 pada produk marinasi

A di ruang pengemasan 15

8 Diagram Pareto frekuensi faktor penyebab timbulnya sisa darah pada

tulang (pink bone) pada produk marinasi A 17 9 Diagram Pareto frekuensi faktor penyebab timbulnya coating lepas >2 cm2

pada produk marinasi A 18

10 Perbandingan persentase kerusakan produk marinasi A sebelum ( ) dan

sesudah perbaikan ( ) 22

11 Perbandingan nilai coefficient of variance jenis kerusakan produk marinasi A

sebelum ( ) dan setelah perbaikan ( ) 23 12 Hubungan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor dengan jumlah

pink bone yang dihasilkan sebelum ( ) dan setelah perbaikan ( ) 24

13 Hubungan penyusunan meat saat thawing dengan jumlah pink bone yang

dihasilkan sebelum ( ) dan setelah perbaikan ( ) 24 14 Hubungan pengaturan suhu meat sebelum tumbling dengan jumlah pink

bone yang dihasilkan sebelum ( ) dan setelah perbaikan ( ) 25 15 Hubungan faktor penyebab dengan besarnya penurunan persentase pink

bone yang dihasilkan 25

16 Hubungan predust & feeding process dengan jumlah coating lepas >2 cm2

yang dihasilkan 26

17 Hubungan conditioning meat dengan jumlah coating lepas >2 cm2 yang

dihasilkan 27 18 Hubungan faktor penyebab dengan besarnya penurunan persentase jumlah

coating lepas >2 cm2 yang dihasilkan 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai coefficient of variance jenis kerusakan prroduk marinasi A sebelum

perbaikan 33 2 Nilai coefficient of variance jenis kerusakan produk marinasi A setelah

perbaikan 34 3 Frekuensi kejadian faktor penyebab timbulnya sisa darah pada tulang

(pink bone) 34

4 Frekuensi kejadian faktor penyebab timbulnya coating lepas >2 cm2 35

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

PT Belfoods Indonesia merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang olahan makanan beku antara lain chicken nugget, sausage, kornet, baso, mantau, beef dan fried chicken. Selama proses produksi, PT Belfoods Indonesia memperhatikan kualitas produk yang dihasilkan. Hal ini disebabkan kualitas sebagai faktor penentu kelangsungan hidup suatu perusahaan untuk dapat bersaing dengan produk perusahaan lain. Kualitas didefinisikan sebagai ukuran kesesuaian spesifikasi suatu produk terhadap standar spesifikasi yang telah ditetapkan (Susetyo et al 2011).

PT Belfoods Indonesia melaksanakan kegiatan pengendalian mutu dalam mempertahankan kualitas produk yang dihasilkannya. Pengendalian yang dilakukan perusahaan meliputi tiga tahapan, antara lain pengendalian terhadap bahan baku, pengendalian terhadap proses produksi, dan pengendalian terhadap produk jadi. Akan tetapi, tidak hanya bahan baku, proses produksi dan produk jadi saja yang harus dikendalikan, kesadaran tenaga kerja juga diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas hasil produksi. Oleh sebab itu, salah satu target pencapaian departemen QA (Quality Assurance) adalah peningkatan kesadaran staff dan karyawan PT Belfoods Indonesia terhadap kualitas hasil produksi.

Perhatian pada masalah kualitas ini akan memberikan dampak positif kepada perusahaan melalui dua cara yaitu dampak terhadap biaya produksi dan dampak terhadap pendapatan (Usman 2011). Dampak terhadap biaya produksi terjadi melalui proses produksi yang memiliki pengendalian teknis yang tinggi terhadap standar-standar sehingga bebas dari tingkat kerusakan. Dampak terhadap pendapatan terjadi melalui peningkatan penjualan atas produk berkualitas yang berharga kompetitif. Dengan memperhatikan aspek kualitas produk, maka tujuan perusahaan untuk memperoleh laba optimal dapat terpenuhi sekaligus memenuhi tuntutan konsumen akan produk yang berkualitas dan harga kompetitif.

Industri pengolahan pangan yang mengutamakan kualitas akan melakukan tindakan pengendalian proses untuk terus menjaga kualitas produk yang dihasilkannya. Atas dasar inilah, permasalahan yang diangkat dalam praktek kerja magang terkait pengendalian proses produksi terhadap tingkat kerusakan produk (product defect) sampai pada tingkat kerusakan nol (zero defect) dan analisa mengenai tingkat kesadaran karyawan terhadap kualitas produk yang dihasilkannya. Salah satu prosedur pengendalian kualitas yang dapat digunakan oleh industri pengolahan adalah pengendalian proses secara statistika (Statistical

Process Control/SPC). SPC merupakan suatu metode analisa dan pengumpulan

data secara kuantitatif, serta interpretasi dari pengukuran-pengukuran kualitas produk selama proses untuk memenuhi kebutuhan dan ekspektasi pelanggan (Au dan Ivan 1999). Penggunaan statistik bermanfaat sebagai alat untuk mengukur seberapa besar tingkat kerusakan produk yang dapat diterima oleh suatu perusahaan dengan menentukan batas toleransi cacat produk yang dihasilkan.

(16)

2

batas toleransi cacat produk perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa program pengendalian mutu yang diterapkan perusahaan belum optimal. Oleh sebab itu, perlu dilakukan analisa mengenai upaya pengendalian proses produksi yang diterapkan PT Belfoods Indonesia dengan mencari sebab terjadinya cacat produk, mencari solusi, serta melakukan tindakan perbaikan sehingga persentase cacat produk dapat diturunkan. Selain itu, juga dilakukan analisa terhadap tingkat kesadaran karyawan akan kualitas hasil produksi sehingga dapat dilakukan peningkatan.

Tujuan Penelitian

Kegiatan praktek kerja magang bertujuan untuk melakukan analisa mengenai upaya pengendalian proses produksi produk marinasi A yang diterapkan di PT Belfoods Indonesia dengan menentukan jenis cacat produk yang paling dominan, mencari sebab terjadinya cacat produk, mencari solusi dan melakukan tindakan perbaikan sehingga persentase cacat produk dapat ditekan. Selain itu, juga dilakukan analisa mengenai tingkat kesadaran dan pemahaman karyawan PT Belfoods Indonesia terhadap kualitas hasil produksi dengan menentukan skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman karyawan sehingga dapat dilakukan peningkatan kesadaran dengan target minimal sebesar 10 %.

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan praktek kerja magang dilaksanakan di PT Belfoods Indonesia, Perum Citra Indah Kav. PA 1&2 Jl. Raya Jonggol KM 23,3 Bogor, Jawa Barat. Kegiatan magang dilaksanakan di bawah pengawasan departemen produksi dan QC (Quality Control) serta QA (Quality Assurance). Waktu pelaksanaan magang selama 4 bulan terhitung mulai tanggal 25 Februari 2013 sampai dengan 25 Juni 2013. Kegiatan magang dilakukan setiap hari Senin sampai dengan Jumat sesuai jam kerja perusahaan mulai pukul 08.00 sampai pukul 17.00 WIB, kecuali jika dilakukan pengambilan data di luar jam tersebut.

Metode

Observasi Proses Produksi dan Identifikasi Masalah

(17)

3 produksi, premix, RnD (Research and Development), finish goods, engineering

dan sanitasi untuk melihat tingkat kesadaran karyawan terhadap kualitas produk yag dihasilkannya.

Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data dapat dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif yaitu data angka mengenai jumlah produksi dan jumlah kerusakan produk, sedangkan data kualitatif yaitu informasi tertulis berupa informasi mengenai jenis cacat produk, faktor penyebab timbulnya cacat produk, bahan baku yang digunakan dan tahapan proses produksi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui diskusi, wawancara, data dokumentasi perusahaan yang berupa laporan kegiatan produksi, laporan jumlah produksi dan laporan jumlah kerusakan produk, serta data yang diperoleh dengan mengikuti proses produksi secara langsung di perusahaan (data primer). Jenis data yang banyak digunakan dalam magang penelitian ini adalah data primer dengan tujuan untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Teknik pengumpulan data mengenai tingkat kesadaran karyawan terhadap kualitas hasil produksi dilakukan melalui penyebaran kuesioner berbentuk esai, sehingga diharapkan jawaban responden akan lebih bebas dan terbuka.

Analisis Jenis Produk Yang Akan diteliti

Penentuan jenis produk yang akan diteliti dilakukan dengan melakukan pengolahan terhadap data dokumentasi produksi selama 3 bulan terakhir di tahun 2012 dan 2013 untuk melihat rata-rata persentase kerusakan yang terjadi terhadap berbagai jenis produk matang (fully cooked) yang paling banyak diproduksi di PT Belfoods Indonesia. Langkah selanjutnya dilakukan tindak analisis terhadap produk yang diteliti melalui data primer yang disesuaikan dengan kondisi lapang. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data yang lebih akurat yang dapat dibandingkan dengan data sebelumnya.

Analisis Penyimpangan Mutu Produk

Analisis ini menggunakan penerapan teknik statistik meliputi penggunaan diagram Pareto untuk melihat permasalahan yang paling dominan terjadi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara mengumpulkan produk cacat

(grade B) sebelum proses pengemasan. Produk cacat (grade B) dipisahkan

berdasarkan jenis kerusakannya. Setelah itu, data yang sudah terkumpul ditransformasi dalam bentuk diagram Pareto dengan menggunakan program Ms. Excel untuk menetapkan persentase cacat produk paling dominan yang akan dikaji lebih lanjut.

(18)

4

manusia, (3) metode, (4) bahan, dan (5) mesin peralatan. Diagram sebab akibat merupakan hasil interpretasi dari pengamatan secara langsung.

Setelah itu, untuk mengidentifikasi faktor penyebab yang berpengaruh tehadap timbulnya cacat produk dilakukan dengan teknik FGD (focus group discussion) dan hasil analisis yang diperoleh sebelumnya. FGD dilakukan dengan beberapa pihak yang mengerti proses produksi produk terpilih. Identifikasi faktor penyebab disusun dalam bentuk check list untuk melihat frekuensi ketidaksesuain parameter proses yang berpengaruh terhadap jenis cacat yang diteliti. Kemudian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap cacat produk ditransformasi dalam bentuk diagram Pareto, sehingga dapat terlihat 1 atau 2 masalah yang mempunyai efek besar.

Perencanaan Perbaikan

Perencanaan perbaikan dilakukan terhadap beberapa masalah yang mempunyai efek besar terhadap munculnya jenis cacat produk. Faktor-faktor yang mempunyai efek besar terhadap timbulnya jenis cacat akan diperbaiki dengan melihat kesesuaian kondisi aktual di lapangan terhadap SOP(Standard Operating

Procedure) yang telah ditentukan perusahaan. Perencanaan perbaikan yang

dilakukan dalam kegiatan magang penelitian ini disusun sesuai dengan data yang diperoleh pada kondisi aktual.

Tindakan Perbaikan

Tindakan perbaikan dilakukan dengan ketentuan semua parameter yang mempunyai efek besar disesuaikan dengan SOP(Standard Operating Procedure)

yang telah ditentukan perusahaan. Setelah itu, dilakukan kembali pengumpulan produk cacat sebelum proses pengemasan dan dipisahkan berdasar jenis kerusakannya. Selanjutnya penggunaan diagram Pareto yang diolah menggunakan program Ms. Excel bertujuan untuk mengurutkan persentase jenis dan jumlah cacat produk. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap perbandingan masing-masing jenis dan jumlah cacat produk sebelum dan sesudah perbaikan dengan menentukan nilai rataan, simpangan baku, dan koefisien ragam (CV) sehingga dapat dilihat adanya peningkatan atau penurunan persentase cacat produk. Evaluasi juga dilakukan terhadap masing-masing faktor penyebab timbulnya cacat produk sebelum proses pengemasan, sehingga didapat gambaran paremeter apa yang mempunyai pengaruh paling besar.

Analisis Quality Awareness

(19)

5 Obsevasi proses produksi dan identifikasi masalah 

Analisis pengendalian  proses produksi 

Pengolahan data primer  Pengolahan data sekunder 

Grafik perbandingan cacat  berbagai produk matang

Pengamatan jenis cacat  produk 

Pengumpulan produk rusak  berdasar jenis kerusakannya Diagram Pareto 

Analisis penyimpangan mutu produk

Pengamatan  Pengumpulan dan analisis data 

Analisis pengendalian  proses produksi 

Pengolahan data primer  Pengolahan data sekunder 

Grafik perbandingan cacat  berbagai produk matang

Pengamatan jenis cacat  produk 

Pengumpulan produk rusak  berdasar jenis kerusakannya Diagram Pareto 

Analisis penyimpangan mutu produk

Pengamatan 

(20)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Masalah

PT Belfoods Indonesia merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan daging. Berdasarkan teknik pemasakannya, produk di PT Belfoods terbagi ke dalam 2 kategori yaitu produk matang (fully cooked) dan produk setengah matang (half cooked). Jenis produk yang diproduksi PT Belfoods antara lain produk marinasi, naget, sosis, beef, baso, kornet, dan mantau. Produk yang dihasilkan PT Belfoods Indonesia sudah memenuhi standar keamanan pangan sehingga sudah memenuhi standar HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dan GMP (Good Manufacturing Practices).

Setiap jenis produk memiliki titik kontrol kritis yang harus dikendalikan untuk mencegah atau menghilangkan bahaya terhadap keamanan pangan serta mengurangi bahaya hingga tingkat yang dapat diterima. Adapun titik kontrol kritis pada proses produksi naget, produk marinasi, baso, kornet, mantau, dan sosis adalah pada proses pematangan produk dan proses pendeteksian logam setelah produk dikemas. Sedangkan titik kontrol kritis pada proses produksi beef adalah pada proses persiapan bahan baku sehingga terbebas dari kontaminasi tulang dan proses pendeteksian logam setelah produk dikemas.

Produk yang sering diproduksi di PT Belfoods Indonesia adalah produk matang (fully cooked). Oleh sebab itu, dilakukan pengamatan terhadap proses pengolahan produk matang (fully cooked) mulai dari tahap persiapan bahan baku, pencampuran bahan baku, pencetakan dan pelapisan(forming), penggorengan

(frying), pemasakan (cooking), pembekuan (freezing), dan proses pengemasan

(packaging). PT Belfoods Indonesia menerapkan pengendalian mutu secara

statistik untuk mempertahankan, mengukur dan melakukan tindakan perbaikan terhadap kualitas hasil produksi. Akan tetapi, meskipun sudah dilakukan pengendalian seringkali masih terjadi ketidaksesuaian yang tidak dikehendaki oleh perusahaan, sehingga menghasilkan produk cacat yang akan merugikan perusahaan.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hasil produksi adalah kesadaran tenaga kerja terhadap kualitas produk yang dihasilkannya. Kesadaran tenaga kerja berkaitan dengan keselamatan kerja dan keamanan produk yang dihasilkan. Seperti pada proses racking di area finish goods tidak diperbolehkan untuk menggunakan palet yang rusak karena berbahaya untuk keselamatan operator saat mengambil finish product dan keamanan produk yang dihasilkan. Setiap bahan baku dan finish product harus diberi identifikasi pelabelan yang jelas agar sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out) dapat berjalan dengan baik serta memudahkan dalam proses penelusuran. Penomoran seragam dilakukan dengan tujuan agar seragam yang digunakan selalu bersih dan menghindari terjadinya kontaminasi pada produk. Sebelum masuk ke area proses tidak diperbolehkan menggunakan aksesoris, berkuku panjang, berkumis, maupun berjenggot yang juga bertujuan untuk menghindari terjadinya kontaminasi pada produk.

(21)

7 batas toleransi cacat produk perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian mutu yang diterapkan perusahaan belum optimal. Atas dasar ini, dilakukan pengumpulan beberapa data yang berkaitan dengan kerusakan (grade

B) produk marinasi A dengan menggunakan metode statistik dan analisa terhadap tingkat kesadaran karyawan akan kualitas hasil produksi sehingga dapat dilakukan peningkatan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar dapat dihasilkan produk berkualitas, aman, dan bermutu tinggi dengan melibatkan partisipasi dan kesadaran semua pihak.

Analisis Jenis Produk yang Akan Diteliti

Penentuan satu jenis produk yang akan diteliti dilakukan dengan pengolahan data dokumentasi produksi selama 3 bulan terakhir di tahun 2012 dan 2013 untuk melihat perbandingan persentase kerusakan produk terhadap 5 jenis produk matang (fully cooked) yang sering diproduksi PT. Belfoods Indonesia. Grafik perbandingan persentase tingkat kerusakan 5 jenis produk matang (fully cooked) tahun 2012 dan 2013 ditunjukkan oleh Gambar 2.

Produk marinasi A dipilih sebagai produk yang akan dikaji lebih lanjut karena mengalami peningkatan persentase cacat produk paling tinggi dibanding produk lainnya serta jumlahnya melebihi batas toleransi cacat produk yang ditetapkan perusahaan (>0.5 %). Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian proses produksi produk marinasi A masih perlu dilakukan perbaikan. Selain itu, produk marinasi A dipilih untuk memperkenalkan varian jenis produk PT Belfoods Indonesia.

Chicken nugget A mengalami penurunan persentase kerusakan produk karena dilakukan penggantian papan pencetak (moldplate) pada proses pencetakannya, sehingga mengurangi jumlah cacat produk dengan bentuk yang menyimpang. Pengendalian proses produksi produk marinasi B dan chicken nugget C dianggap sudah berjalan secara optimal. Hal ini dibuktikan oleh jumlah persentase cacat produk yang dihasilkan lebih kecil dari batas toleransi cacat

(22)

8

produk. Chicken nugget C mengalami peningkatan persentase kerusakan produk, tetapi peningkatannya lebih kecil dari produk marinasi A.

Produk marinasi A adalah salah satu bentuk produk beku siap saji berasal dari olahan daging ayam yang melewati proses pelayuan (thawing), marinade, penepungan, penggorengan dan pembekuan. Bahan baku utama yang digunakan untuk memproduksi produk marinasi A adalah potongan bagian karkas ayam yang didominasi oleh bagian paha. Bahan baku produk marinasi A merupakan campuran dari potongan bagian karkas ayam segar dan beku. Proses pelayuan

(thawing) dilakukan terhadap potongan karkas ayam beku maksimal selama 24

jam pada suhu lebih kecil dari suhu ruang. Mekanisme yang terjadi selama proses pelayuan (thawing) adalah penghambatan pertumbuhan mikroorganisme karena adanya penurunan pH daging dan peningkatan keempukan daging (Sunarlim dan Setiyanto 2001). Selain itu, proses thawing juga mengakibatkan pengeluaran darah menjadi lebih sempurna dan kehilangan bobot yang disertai dengan kehilangan sari rasa (juiceness) dari dalam daging.

Saat hewan disembelih dagingnya masih lunak (pre rigor). Namun, akibat terjadinya proses kekakuan otot selama fase rigor mortis, daging akan mengeras selama 12-24 jam setelah mati. Pada fase post rigor daging akan kembali menjadi empuk (Antara 2011). Setelah hewan disembelih, metabolisme yang terjadi tidak lagi metabolisme aerobik, tetapi metabolisme anaerobik karena tidak terjadi sirkulasi darah ke jaringan otot. Metabolisme anaerobik menyebabkan perubahan pH daging, sehingga ion hidrogen yang dilepas pada proses glikolisis tidak dapat diikat oleh oksigen akibatnya terjadi akumulasi hidrogen. Glikolisis adalah proses pembebasan energi melalui oksidasi unit glukosa dengan degradasi glikogen secara enzimatik. Ion hidrogen dalam otot dipergunakan untuk merubah asam piruvat menjadi asam laktat (Nurwantoro dan Mulyani 2003). Hal ini mengakibatkan terbentuknya asam laktat yang semakin lama semakin menumpuk sehingga pH jaringan otot menurun dengan cepat. Penurunan pH mengakibatkan struktur protein mengkerut dan menyebabkan kadar air dalam daging berkurang karena protein kehilangan kemampuannya untuk mengikat air sehingga meningkat susut bobotnya (Suradi 2006).

Peningkatan keempukan daging terjadi melalui pemecahan protein miofibrilar daging oleh aktivitas enzim endogenus yang disebut sebagai proses proteolisis postmortem. Proses ini melibatkan calpain proteolityc system yang terdiri dari 3 komponen yaitu µ-calpain (low calcium requiring enzyme), m-calpain (high calcium requiring enzyme), dan calpastatin yang spesifik menghambat aktivitas calpain. Aktivitas calpain sangat tergantung pada keberadaan kalsium (Antara 2011). Tingginya aktivitas calpastatin akan menurunkan tingkat keempukan daging. Hal ini disebakan calpastatin akan mengurangi aktivitas µ-calpain untuk mendegradasi protein miofibril (Morgan et al 1993).

(23)

9 gula, NaCl, dan asam organik. Selanjutnya daging yang telah dimarinasi dilapisi oleh bahan pelapis kering yaitu tepung predust yang bertujuan untuk mempermudah penempelan adonan batter. Lapisan batter berfungsi untuk memudahkan pelekatan tepung breader serta tepung breader berfungsi untuk menghasilkan tekstur yang renyah pada produk. Proses pelapisan ini bertujuan untuk menutupi seluruh permukaan bahan dengan menciptakan lapisan yang homogen.

Setelah meat dilapisi oleh tepung dilakukan proses penggorengan dengan menggunakan metode deep fat frying. Deep fat frying adalah metode penggorengan dengan menggunakan minyak yang banyak sehingga bahan pangan yang digoreng terendam seluruhnya. Proses penggorengan berlangsung dalam sistem kontinyu yaitu bahan pangan yang digoreng dalam keadaan bergerak atau mengalami sistem transportasi sepanjang jalur mesin penggorengan. Waktu penggorengan diatur dengan mengatur kecepatan konveyor dan disesuaikan dengan suhu yang digunakan untuk menggoreng (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010). Biasanya suhu penggorengan yang dipakai adalah 163-190 oC (Dunford [tahun terbit tidak diketahui])

Produk akan mengalami perubahan warna, aroma, rasa dan tekstur. Pada penggorengan metode deep fat frying terjadi perpindahan panas sevara konveksi yang terjadi pada minyak dan dari minyak ke bahan. Proses penggorengan menghasilkan produk setengah matang. Selanjutnya untuk mematangkan bagian dalam produk dan mematikan mikroba dilakukan pemanasan dengan menggunakan uap panas (hot air). Sumber uap panas berasal dari hasil proses pemanasan air dalam suatu bejana tertutup sampai terbentuk air panas atau steam. Proses pindah panas yang terjadi adalah konduksi dan radiasi. Perpindahan panas secara konduksi adalah perpindahan panas dari suatu bagian benda padat ke bagian benda lain karena adanya kontak fisik atau menempel. Sedangkan perpindahan panas secara radiasi adalah perpindahan panas yang terjadi melalui gelombang elektromagnetik atau tanpa ada media perantara.

(24)

10

Selanjutnya untuk mendapat data yang lebih akurat terkait persentase cacat

(grade B) produk marinasi A diambil data aktual di lapangan pada satu kali

running produksi (1 batch). Berdasarkan grafik perbandingan persentase grade B produk marinasi A pada satu kali running produksi (1 batch) terhadap batas toleransi cacat produk perusahaan yang ditunjukkan oleh Gambar 3, terlihat bahwa jumlah kerusakan (grade B) produk marinasi A melebihi batas toleransi cacat produk perusahaan (>0.5%).

Analisis Penyimpangan Mutu Produk

Analisis jenis dan jumlah penyimpangan mutu produk marinasi A di ruang pengemasan dilakukan dengan memisahkan produk rusak (grade B) berdasar jenis kerusakannya selama 15 kali running produksi (15 batch) yang kemudian data yang sudah terkumpul ditransformasi ke dalam bentuk diagram Pareto. Pengolahan data untuk analisis ini menggunakan program Ms. Excel. Penyimpangan mutu produk marinasi A terdiri dari beberapa kriteria dengan titik proses yang berbeda. Secara umum kriteria produk marinasi A yang berkualitas adalah produk berwarna coklat keemasan, tidak mengalami pengelupasan bahan pelapis atau coating, tidak mengalami kerusakan fisik, tidak terkontaminasi oleh benda asing, dan bercak darah berwarna hitam pada bagian tulang. Adapun kriteria produk yang tidak sesuai dengan standar ditunjukkan pada Tabel 1.

(25)

11

Berdasarkan hasil pengamatan di ruang pengemasan, terdapat 4 jenis kerusakan produk marinasi A yaitu terdapat sisa darah pada tulang (pink bone),

coating lepas >2 cm2, ada benda asing yaitu bercak hitam yang bersumber dari oli

food grade yang mengenai produk, dan warna yang lebih gelap dari produk

standar atau mendekati gosong. Warna lebih gelap dari produk standar belum dicantumkan secara tertulis sebagai kriteria penyimpangan mutu. Akan tetapi, apabila produk dengan kriteria tersebut digoreng kembali akan menimbulkan rasa pahit. Oleh sebab itu, produk dengan kriteria warna lebih gelap dari standar diklasifikasikan sebagai grade B. Tulang patah tidak ditemukan pada saat pengambilan data primer. Hal ini disebabkan bagian potongan ayam yang diolah pada proses produksi produk marinasi A didominasi oleh bagian paha dan tidak ditemukan bagian sayap.

Tabel 1 Deskripsi jenis cacat produk marinasi A

Jenis Cacat Deskripsi

Terdapat sisa darah pada tulang (pink bone)

Selama proses pengemasan terdapat 2 kriteria sisa darah pada tulang yaitu produk dengan kriteria bercak darah yang berwarna hitam pada bagian tulang diklasifikasikan sebagai grade A dan produk dengan kriteria bercak darah yang berwarna merah segar diklasifikasikan sebagai

grade B. Meskipun suhu internal produk sudah

mencapai suhu internal standar yang ditetapkan perusahaan, tetapi secara visual produk terlihat belum matang

Coating lepas >2 cm2 Produk yang mengalami pengelupasan bahan

pelapis atau coating lebih dari 2 cm2

Ayam kurang matang Produk dengan kriteria daging masih mentah dan berwarna merah, serta darah masih mengalir

Tulang patah

Produk yang mengalami kerusakan secara fisik, biasanya pada bagian sayap. Sayap ayam terdiri dari 3 bagian yaitu wing stick (sayap dari pemotongan pertengahan), middle wing (sendi sayap bagian tengah), dan wing tip (sendi sayap bagian atas). Bagian sayap yang patah adalah bagian wing tip

(26)

12

(a) (b)

(c) (d)

Keterangan : (a) terdapat sisa darah pada tulang (pink bone), (b) coating lepas >2 cm2, (c) warna lebih gelap dari standar, (d) ada benda asing (bercak hitam)

Gambar 4 Jenis kerusakan produk marinasi A di PT Belfoods Indonesia

Standar

(27)

13

Berdasarkan data di atas dapat disusun diagram Pareto jenis cacat produk marinasi A sebelum proses pengemasan yang ditunjukkan pada Gambar 5 dengan menggunakan aturan pengelompokkan 80/20, sehingga dapat terlihat bahwa jenis cacat yang dominan adalah terdapat sisa darah pada tulang (pink bone) sebesar 69.73 % dan coating lepas >2 cm2 sebesar 24.01 %.

Analisis selanjutnya adalah penentuan berbagai faktor penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) dan coating lepas >2 cm2 dengan menggunakan diagram sebab akibat (diagram Ishikawa). Diagram sebab akibat berguna untuk mengetahui semua faktor yang mungkin terjadi untuk suatu masalah (Muhandri dan Kadarisman 2012). Penyusunan diagram sebab akibat ini didasarkan pada pengamatan secara langsung dan wawancara dengan operator produksi dan QC. Penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) berhubungan dengan faktor material, metode, dan manusia.

a. Material

Faktor material meliputi potongan karkas ayam beku yang diduga sebelum diproses kondisinya masih dalam keadaan beku sehingga pengeluaran darah tidak

Tabel 2 Jumlah, persentase, dan akumulasi jenis cacat produk marinasi A selama proses pengemasan

Jenis cacat Jumlah

(kilogram) % Akumulasi Terdapat sisa darah pada tulang

(pink bone) 43.33 69.73 69.73

Coating lepas > 2 cm2 14.92 24.01 93.74

Warna lebih gelap dari standar 3.63 5.84 99.58 Ada benda asing (bercak hitam) 0.25 0.41 100.00

Tulang patah 0.00 0.00 100.00

Ayam kurang matang 0.00 0.00 100.00

Total 62.14 100.00

(28)

14

sempurna. Faktor ini dianggap cukup mempengaruhi. Hal ini disebabkan dengan kondisi potongan karkas ayam yang masih beku akan menurunkan suhu minyak goreng pada saat proses penggorengan sehingga proses pematangan produk menjadi tidak optimal dan pengeluaran darah baru akan terjadi setelah dilakukan pemasakan dengan menggunakan uap panas (hot air).

b. Metode

Faktor yang mempengaruhi timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone)

adalah adanya penumpukkan frozen meat di atas palet yang mengakibatkan meat

tidak secara langsung kontak dengan udara dan membutuhkan waktu lebih lama untuk mencairkan meat atau proses pelayuan tidak terjadi secara merata. Selain itu, masih adanya varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor mengakibatkan terjadinya penumpukkan jumlah meat pada saat proses pematangan produk. Hal ini diduga mengakibatkan penyerapan minyak selama proses penggorengan menjadi kurang optimal karena produk saling menumpuk dan menempel satu sama lain atau dengan kata lain ada sebagian permukaan produk yang tidak kontak secara langsung dengan minyak. Selain itu, suhu dan waktu penggorengan yang tidak sesuai standar juga dapat mempengaruhi timbulnya cacat produk. Penggunaan suhu minyak yang terlalu tinggi menyebabkan pembentukan warna coklat dan crust pada permukaan bahan makanan tidak sempurna. Apabila suhu yang digunakan terlalu rendah, produk memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai warna coklat yang dikehendaki dan semakin lama bahan dalam minyak goreng maka semakin banyak minyak yang terabsorbsi.

c. Manusia

Faktor manusia (tenaga kerja) yang dapat mempengaruhi timbulnya cacat produk ini adalah ketidakkonsitenan operator dalam memasukkan meat ke dalam konveyor. Hal ini disebabkan masih adanya varian jumlah dan waktu memasukkan meat, sehingga terjadi penumpukkan meat pada saat proses pematangan produk.  

Ada varian standar jumlah dan k kk Ada varian standar jumlah dan

k kk

Kondisi meatmasih beku 

Ada varian jumlah dan waktu memasukkan meat

Ketidakkonsistenan memasukkan meat

Waktu tidak sesuai standar Adanya penumpukan meat saat thawing  

(29)

15 Adapun faktor penyebab timbulnya coating lepas >2 cm2 berhubungan dengan faktor manusia, metode dan mesin.

a. Manusia

Faktor manusia (tenaga kerja) yang mempengaruhi timbulnya cacat produk ini adalah ketidakkonsistenan operator memasukkan jumlah meat ke dalam konveyor. Hal ini mengakibatkan proses coating tidak berjalan secara optimal dan ketika produk mengalami proses, produk akan saling menempel satu sama lain sehingga coating dapat terlepas selama pergerakan dalam konveyor maupun setelah keluar dari IQF. Selain itu, metode penyortiran kurang efektif sehingga penyortiran tidak dilakukan secara ketat. Hal ini diduga karena briefing yang sudah dilakukan belum optimal.

b. Metode

Faktor yang mempengaruhi timbulnya cacat produk adalah sistem coating

yang belum optimal. Adanya varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor mengakibatkan meat saling menempel dan menumpuk satu sama lain. Saat meat yang menempel dan menumpuk ini ditaburi oleh tepung predust, dicelupkan ke dalam adonan batter, dan ditaburi kembali oleh tepung breader ada sebagian permukaan meat yang tidak terlapisi bahan pelapis. Selain itu, faktor penyebab timbulnya coating lepas >2 cm2 adalah adanya pengaturan suhu dan viskositas batter yang tidak sesuai standar. Hal ini menyebabkan adonan batter

tidak menempel dengan sempurna. Adanya kegiatan perapihan sebelum masuk

breader process juga mengakibatkan coating dapat terlepas. Tepung breader yang terkena adonan batter akan membentuk gumpalan, sehingga tidak dapat menutupi permukaan meat secara homogen.

c. Mesin

Faktor mesin yang mempengaruhi timbulnya coating lepas >2 cm2 adalah sirkuasi mesin breader yang tidak dapat berjalan normal karena breader yang membentuk gumpalan macet di cerobong, saluran tempat mengalirkan tepung

breader ke permukaan meat. Oleh sebab itu, terjadi ketidakmerataan breader.  

Ketidakkonsistenan memasukkan meat

Ada varian jumlah dan waktu memasukkan meat

Banyaknya

(30)

16

Tabel 3 Frekuensi ketidaksesuaian parameter proses, persentase, dan akumulasi faktor penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone)

Faktor penyebab Frekuensi

kejadian % Akumulasi

Masih ada varian jumlah dan waktu

memasukkan meat ke dalam konveyor 8 34.78 34.78 Adanya penumpukkan meat saat

thawing 7 30.43 65.21

Kondisi meat masih beku (sukar dipisahkan satu sama lain) saat akan diproses

6 26.09 91.30

Ketidaksesuaian lama thawing dengan

suhu meat 2 8.70 100.00

Ketidaksesuaian suhu frying 0 0.00 100.00

Ketidaksesuaian waktu frying 0 0.00 100.00

Total 23 100.00

Penentuan faktor yang berpengaruh dari semua faktor yang memungkinkan untuk menjadi penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) dan coating

lepas >2 cm2 diidentifikasi dengan melakukan FGD dan hasil analisis yang ada.

Focus group discussion (FGD) dilakukan dengan beberapa pihak yang mengerti

proses produksi marinasi A yaitu supervisor produksi, leader QC (Quality

Control), dan RnD (Research and Development) yang menentukan parameter

proses. Semua faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya cacat produk disusun dalam bentuk check list untuk melihat frekuensi ketidaksesuaian parameter proses melalui 10 kali running produksi (10 batch). Frekuensi ketidaksesuaian parameter proses, persentase, dan akumulasi faktor penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) ditunjukkan oleh Tabel 3.

(31)

17

Berdasarkan interpretasi diagram Pareto, terdapat 3 faktor yang mempunyai efek besar terhadap timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) yaitu masih ada varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor, adanya penumpukkan meat saat pelayuan (thawing) dan kondisi meat masih beku (sukar dipisahkan satu sama lain) saat akan diproses dengan akumulasi serbesar 91.30. Adapun frekuensi, persentase, dan akumulasi faktor penyebab timbulnya coating

lepas >2 cm2 ditunjukkan oleh Tabel 4. Keterangan:

a : Masih ada varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor b : Adanya penumpukkan meat saat thawing

c : Kondisi meat masih beku (sukar dipisahkan satu sama lain) saat akan diproses d : Ketidaksesuaian lama thawing dengan suhu meat

e : Ketidaksesuaian suhu frying

f : Ketidaksesuaian waktu frying

Gambar 8 Diagram Pareto frekuensi faktor penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) pada produk marinasi A

Tabel 4 Frekuensi ketidaksesuaian, persentase, akumulasi faktor penyebab timbulnya coating lepas >2 cm2 pada produk marinasi A

Faktor penyebab Frekuensi

kejadian % Akumulasi

Predust process Ketidakmerataan

tepung predust 10 30.30 30.30

Batter process

Adanya coating yang terlepas akibat kegiatan perapihan

9 27.27 57.57

Feeding process

Masih ada varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor

8 24.24 81.82

Breader process Adanya breader yang

menggumpal 6 18.18 100.00

(32)

18

Data yang sudah terkumpul ditransformasi ke dalam bentuk diagram Pareto. Tujuannya adalah untuk mendapatkan beberapa faktor yang mempunyai efek besar terhadap timbulnya coating lepas >2 cm2. Diagram Pareto frekuensi faktor penyebab timbulnya coating lepas >2 cm2 ditunjukkan oleh Gambar 9.

Berdasarkan interpretasi diagram Pareto, terdapat 3 faktor yang menyebabkan timbulnya coating lepas >2 cm2 yaitu predust, batter, dan feeding

process yang belum sempurna dengan akumulasi sebesar 81.82%. Predust

process meliputi ketidakmerataan tepung predust, batter process meliputi adanya

coating yang terlepas akibat kegiatan perapihan, dan feeding process meliputi masih adanya varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor.

Perencanaan Perbaikan

Faktor yang mempunyai efek besar terhadap timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) dan coating lepas >2 cm2 akan diperbaiki dengan melihat kesesuaian kondisi aktual dengan SOP (Standard Operating Procedure) yang telah ditetapkan perusahaan. Perencanaan perbaikan ini disusun berdasar hasil analisis yang didapat sebelumnya. Perencanaan proses perbaikan terhadap timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) ditunjukkan oleh Tabel 5 dan perencanaan proses perbaikan terhadap timbulnya coating lepas >2 cm2 ditunjukkan oleh Tabel 6 berikut ini.

(33)

19

Masih adanya varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor menyebabkan terjadinya penumpukkan meat ketika mengalami proses pematangan produk. Hal ini berdampak terhadap timbulnya sisa darah (pink bone)

produk marinasi A sebelum proses pengemasan. Faktor yang mempengaruhi penyerapan minyak oleh bahan pangan selama proses penggorengan yaitu kualitas minyak, suhu dan lama proses, bentuk dan porositas bahan, komposisi bahan, serta pra-perlakuan bahan. Pada saat bahan pangan digoreng, akan terjadi pindah panas dari sumber panas penggoreng ke produk, melalui media pindah panas minyak goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, bahan pangan akan melepaskan uap air yang dikandungnya (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010).

Permukaan bahan pangan memiliki struktur yang porous, yang memiliki kapiler-kapiler dengan berbagai ukuran. Selama proses penggorengan, air dan uap air akan dikeluarkan melalui kapiler-kapiler yang lebih besar dahulu, dan digantikan oleh minyak panas. Uap air yang keluar dari bahan pangan saat penggorengan akan dilepaskan ke udara bebas. Penguapan air menyebabkan kadar air pada permukaan bahan pangan yang digoreng menjadi rendah, yang menyebabkan tekstur bahan pangan menjadi renyah. Selain itu selama proses penggorengan, warna kerak (crust) pada permukaan bahan pangan menjadi berwarna kuning kecoklatan akibat pencoklatan non enzimatis (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010).

Tabel 5 Perencanaan proses perbaikan terhadap timbulnya sisa darah darah pada tulang (pink bone) produk marinasi A

(34)

20

Akan tetapi, adanya penumpukkan meat selama proses pematangan produk menyebabkan ekspose bagian permukaan bahan pangan dengan minyak goreng menjadi kurang intensif, sehingga hanya sebagian permukaan bahan pangan yang mengalami proses pemanasan dan mengakibatkan air yang dikandungnya menjadi sulit untuk menguap dan sulit untuk mematangkan darah yang terdapat pada tulang. Hal ini mengakibatkan pada beberapa meat yang digoreng, proses pengeluaran darah darah baru akan terjadi setelah pematangan produk menggunakan uap panas (hot air) dan warna darah tidak dapat dimatangkan karena media yang digunakan bukan minyak goreng. Oleh sebab itu, untuk menetapkan standar dan jumlah memasukkan meat ke dalam konveyor dilakukan dengan pengaturan jumlah meat yang dimasukkan selama 25 menit/batch sebesar + 1.3 kg per 1 kali masukan atau 18-20 pcs per 1 kali masukan untuk mengurangi terjadinya penumpukkan meat selama proses pematangan produk.

Begitu pun adanya penumpukkan frozen meat selama proses pelayuan

(thawing) yang mengakibatkan ekspose permukaan frozen meat menjadi kurang

intensif karena ada sebagian permukaan frozen meat yang tertutup oleh frozen

meat yang lain dan tidak secara langsung kontak dengan udara. Hal ini

mengakibatkan panas yang diterima oleh setiap permukaan bahan yang dilayukan menjadi tidak merata dan membutuhkan waktu lebih lama untuk mencairkan bahan tersebut. Berdasarkan hasil uji coba sebelumnya proses pelayuan (thawing)

daging beku yang dibuat satu layer pada suhu 23 oC membutuhkan waktu 23 jam dengan besarnya susut masak sebesar 1.6 kg dan suhu daging sudah mencapai suhu daging segar yaitu 0-4 oC, sedangkan proses pelayuan (thawing) frozen meat

yang disusun bertumpuk (2 layer) pada suhu yang sama membutuhkan waktu 24 jam dengan susut masak sebesar 2.6 kg dan suhu daging masih ada yang beku atau kurang dari 0 oC. Oleh sebab itu, dilakukan proses pelayuan (thawing) frozen meat yang dibuat 1 layer agar suhu daging mencapai suhu daging segar (0-4 oC).

(35)

21

Masih adanya varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor mengakibatkan ekspose luas permukaan bahan yang kontak dengan bahan pelapis menjadi kurang intensif. Hal ini mengakibatkan bahan pelapis tidak dapat menutupi seluruh permukaan bahan secara merata dan adanya kegiatan perapihan setelah batter process mengakibatkan ada sebagian coating yang terlepas sehingga berdampak terhadap timbulnya coating lepas >2 cm2 pada produk marinasi A sebelum proses pengemasan. Oleh sebab itu, dilakukan pengaturan jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor selama 25 menit/batch sebesar + 1.3 kg per 1 kali masukan atau 18-20 pcs per 1 kali masukan dan adanya pengaturan posisi meat di awal coating process atau sebelum masuk predust process.

Tindakan Perbaikan

Uji coba proses perbaikan dilakukan terhadap berbagai alternatif perbaikan yang telah direncanakan sebelumnya. Uji coba dilakukan selama 5 kali running

(36)

22

Gambar 10 Perbandingan persentase kerusakan produk marinasi A sebelum ( ) dan sesudah perbaikan ( )

Tabel 7 Jumlah jenis kerusakan produk marinasi A setelah proses perbaikan

Jenis cacat Jumlah (kg)

Per total produksi Per total grade B % Akumulasi % Akumulasi Terdapat sisa darah

pada tulang (pink bone) 4.31 0.49 0.49 100 100

Coating lepas >2 cm2 0 0 0.49 0 100

Warna lebih gelap dari

standar 0 0 0.49 0 100

Ada benda asing

(bercak hitam) 0 0 0.49 0 100

Tulang patah 0 0 0.49 0 100

Ayam kurang matang 0 0 0.49 0 100

Total 4.31 0.49 100

Total Produksi 870.80

produksi (5 batch) pada 2 shift yang berbeda dengan ketentuan semua parameter yang berpengaruh signifikan terhadap munculnya sisa darah pada tulang (pink bone) dan coating lepas >2 cm2 dikendalikan pada batch yang sama. Pengambilan jumlah batch dilakukan secara acak yaitu batch awal, tengah dan akhir produksi. Hal ini bertujuan untuk memperoleh data yang lebih akurat dan mewakili. Proses perbaikan dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan supervisor produksi dan QC serta operator produksi dan QC. Hasil perbaikan ditunjukkan oleh Tabel 7, terlihat bahwa persentase cacat produk marinasi A dapat diturunkan dan jenis cacat yang muncul hanya terdapat sisa darah pada tulang (pink bone).

(37)

23

Gambar 11 Perbandingan nilai coefficient of variance jenis kerusakan produk marinasi A sebelum ( ) dan setelah perbaikan ( )

Tabel 8 Waktu memasukkan meat ke dalam konveyor dan jumlah pink bone yang dihasilkan

Waktu (menit) % Pink bone

18 1.68 25 0.16 Penentuan nilai CV (coefficient of variance) bertujuan untuk melihat

besarnya masing-masing jenis kerusakan pada satu kali running produksi (1

batch). Semakin kecil nilai CV, pengendalian proses produksi produk marinasi A semakin optimal. Berdasarkan data yang sudah didapat, nilai CV pada jenis kerusakan produk marinasi A sebelum dilakukan perbaikan memberikan data yang beragam untuk setiap kali pengulangan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keadaan proses produksi yang dinamis dan pengendalian proses produksi produk marinasi A yang belum optimal. Sedangkan setelah dilakukan perbaikan, maka diperoleh nilai CV yang semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian proses produksi produk marinasi A lebih optimal dan terkendali dibanding sebelum dilakukan perbaikan. Perbandingan nilai coefficient of

variance (CV) jenis kerusakan produk marinasi A sebelum dan setelah perbaikan

ditunjukkan oleh Gambar 11.

Selanjutnya penentuan gambaran pengaruh masing-masing faktor penyebab terhadap jenis cacat yang diteliti dilakukan dengan membandingkan persentase

pink bone satu kali running produksi dengan persentase pink bone yang telah didapat sebelumnya.

I. Pink bone

Faktor penyebab :

(38)

24

Tabel 9 Penyusunan frozen meat saat thawing dan jumlah pink bone yang dihasilkan pada produk Marinasi A

Layer % Sisa darah pada tulang (pink bone)

2 1.68 1 1.34

Gambar 13 Hubungan penyusunan meat saat thawing dengan jumlah

pink bone yang dihasilkan sebelum ( ) dan setelah

perbaikan ( )

2. Adanya penumpukkan meat pada saat proses thawing

(39)

25

Tabel 10 Pengaturan suhu meat saat akan diproses dan jumlah pink bone

yang dihasilkan

Temperature meat (oC) % Sisa darah pada tulang (pink bone)

(-3)-(-0.5) 1.68 0-(4) 0.17

Gambar 14 Hubungan pengaturan suhu meat sebelum tumbling dengan jumlah pink bone yang dihasilkan sebelum ( ) dan setelah perbaikan ( )

3. Kondisi meat masih beku (sukar dipisahkan satu sama lain) saat akan diproses

Gambar 15 Hubungan faktor penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) dengan besarnya penurunan persentase

(40)

26

Tabel 11 Waktu memasukkan meat ke dalam konveyor dan jumlah

coating lepas >2cm2 yang dihasilkan

Predust & feeding process (menit) % Coating lepas >2 cm2

18 0.58 25 0.21

Gambar 16 Hubungan predust & feeding process dengan jumlah

coating lepas >2 cm2 yang dihasilkan

Tabel 12 Pengaturan posisi meat dan jumlah coating lepas >2 cm2 yang dihasilkan

Conditioning meat % Coating lepas >2 cm2

Before breader process 0.58%

Before predust process 0.16%

Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa faktor penyebab yang paling berpengaruh terhadap besarnya jumlah pink bone pada produk marinasi A sebelum proses pengemasan adalah masih adanya varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor dan pengaturan suhu meat saat akan di proses (tumbling) yang masih beku (sukar dipisahkan satu sama lain). Penyusunan

layer saat thawing kurang berpengaruh signifikan terhadap munculnya pink bone

sebelum proses pengemasan. Hal ini dapat dibuktikan dengan besarnya penurunan persentase pink bone yang hanya sebesar 0.34%. Oleh sebab itu diperlukan standar jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor, sehingga operator konsisten dalam memasukkan meat ke dalam konveyor yaitu selama 25 menit/batch dengan jumlah masukkan per 1 kali sebesar + 1.3 kg atau 18-20 pcs serta pengaturan suhu meat saat akan di-tumbling benar-benar sudah thawing atau mencapai suhu 0-4 oC.

II. CoatingLepas >2 cm2

Faktor Penyebab :

1. Predust & Feeding Process

(41)

27

Berdasarkan Gambar 18, terlihat bahwa pengaturan posisi meat sebelum

breader process dan masih adanya varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke

dalam konveyor berpengaruh signifikan terhadap banyaknya jumlah coating lepas >2 cm2 sebelum proses pengemasan. Hal ini dapat diperbaiki melalui adanya pengaturan meat yang dilakukan di awal proses coating atau sebelum masuk

predust process serta pengaturan jumlah meat yang dimasukkan ke dalam

konveyor selama 25 menit/batch dengan jumlah masukkan per 1 kali sebesar + 1.3 kg atau 18-20 pcs.

Analisis Quality Awareness

Salah satu target pencapaian departemen QA (Quality Assurance) adalah meningkatkan kesadaran karyawan terhadap kualitas hasil produksi dengan target

Gambar 17 Hubungan conditioning meat dengan jumlah coating lepas >2 cm2 yang dihasilkan

(42)

28

Tabel 13 Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman level manager dan asisten manager terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia

Departemen Skor rata-rata

Engineering 83.00

Produksi 82.00

Finish goods 76.00

Dry goods (raw material warehouse) 76.00

Total skol rata-rata 79.25

minimum sebesar 10%. Kesadaran karyawan berkaitan dengan keselamatan kerja dan keamanan produk yang dihasilkan. Akan tetapi, penelitian ini hanya pada tahap analisis terhadap tingkat kesadaran dan pemahaman karyawan akan kualitas hasil produksi sehingga didapat gambaran seberapa besar tingkat kesadaran dan pemahaman karyawan PT Belfoods Indonesia terhadap kualitas. Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesadaran dan pemahaman karyawan PT Belfoods Indonesia terhadap kualitas hasil produksi adalah dengan menggunakan kuesioner berbentuk esai, sehingga dapat mengeksplorasi jawaban responden terkait tata cara memproduksi yang baik dan benar serta jabatan (job desk) karyawan di perusahaan. Kuesioner adalah alat pengumpul data berbentuk pertanyaan yang akan diisi atau dijawab oleh responden. Beberapa alasan digunakannya kuesioner adalah (1) untuk mengukur variabel yang bersifat faktual, (2) untuk memperoleh informasi yang relevandengan tujuan penelitian, dan (3) untuk memperoleh informasi dengan validitas dan reliabilitas setinggi mungkin (Muljono 2002).

Hal pertama yang dilakukan dalam penyusunan kuesioner dalam penelitian ini adalah dengan melihat SOP (Standard Operating Procedure) masing-masing departemen yang ada di PT Belfoods Indonesia. Departemen yang dipilih adalah departemen yang berhubungan dengan kualitas hasil produksi mulai dari proses penyimpanan bahan baku hingga proses penyimpanan produk akhir yaitu dimulai dari departemen dry goods, premix, produksi, enggineering, sanitasi, RnD (Researh and Development), QC (Quality Control), QA (Quality Assurance), dan

finish goods. Bersadar hasil pengolahan kuesioner skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman karyawan menurut jabatan (job desk) di perusahaan, mulai dari level manager dan asisten manager terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 13.

(43)

29

Tabel 14 Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman level supervisor terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia

Departemen Skor rata-rata

RnD (Research and Developmenti) 90.33

Produksi 81.00

Total skor rata-rata 73.95

kesadaran dan pemahaman level supervisor terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 14.

Skor hasil kuesioner berhubungan dengan pemahaman dan tingkat kesadaran karyawan terhadap kegiatan pengawasan kualitas produk, parameter proses dan kondisi lingkungan produksi sehingga dihasilkan produk sesuai dengan spesifikasi standar perusahaan. Sedangkan skor rata-rata tingkat kesadaran dan pamahaman level leader terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 15.

Skor hasil kuesioner berhubungan dengan keberlangsungan proses produksi yang disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan perusahaan, sehingga dihasilkan produk sesuai dengan spesifikasi standar perusahaan. Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman level operator terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 16 dan skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman level staff terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 17.

Tabel 15 Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pamahaman level leader terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia

Departemen Skor rata-rata

QA (Quality Assurance) 82.00

Premix 79.50

QC (Quality Control) 76.00

Produksi 71.06

Eengineering 67.00

Dry goods 41.25

(44)

30

Tabel 16 Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman level operator terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia

Departamen Skor rata-rata

QA (Quality Assurance) 86.67

Premix 77.14 Produksi 65.21

Engineering 57.36

QC (Quality Control) 56.00

RnD (Research and Development) 48.00

Finish goods 44.73

Dry goods 38.28

Total skor rata-rata 55.37

Tabel 17 Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman level staff terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia

Departemen Skor rata-rata

RnD (Research and Development) 82.50

Produksi-umum 72.50

Premix 69.00

Finish goods 62.67

Dry goods 55.67

Engineering 54.00

Total skor rata-rata 66.80

Tabel 18 Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman karyawan PT Belfoods Indonesia terhadap kualitas hasil produksi berdasar jabatan (job desk) di perusahaan

Jabatan Skor rata-rata

Asisten manager 82.00

Manager 78.33 Supervisor 73.95 Leader 68.36 Staff 66.80 Operator 55.37

Total skor rata-rata 60.91

(45)

31 Berdasarkan jabatan karyawan PT Belfoods Indoenesia diketahui bahwa semakin tinggi jabatan maka semakin tinggi pula skor hasil kuesioner. Skor tersebut selaras dengan pemahaman karyawan terhadap pentingnya kualitas produk sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin rendah jabatan karyawan maka semakin rendah pula kesadarannya akan kualitas hasil produksi. Selain itu, berdasarkan hasil kuesioner, rata-rata kesadaran karyawan PT Belfoods terhadap kualitas hasil produksi sebesar 60.91. Departemen QA memiliki rata-rata tingkat kesadaran sebesar 85.5, departemen premix sebesar 76.00, departemen RnD sebesar 72.50, departemen QC sebesar 71.71, departemen produksi sebesar 68.43, departemen engineering sebesar 59.40, departemen finish goods sebesar 49.32, serta departemen raw material warehouse sebesar 44.25.

Nilai rataan yang diperoleh pada masing-masing departemen tidak dapat dibandingkan satu sama lain. Hal ini disebabkan jenis pertanyaannya berbeda dan jumlah soal pada beberapa departemen tidak sama (>10 soal). Kuesioner terdiri dari 10 pertanyaan dengan ketentuan 4 pertanyaan dalam bentuk pertanyaan umum untuk semua departemen dan pertanyaan ke 5-10 disusun dalam bentuk pertanyaan sesuai dengan jabatan (job desk) karyawan di PT Belfoods Indonesia. Untuk memudahkan dalam penilaian, pertanyaan yang ada pada kuesioner seharusnya bersifat general dan berjumlah konstan tanpa ada perbedaan untuk semua departemen. Sehingga yang menjadi variabel tidak tetap hanya pada bagaimana cara responden menjawab pertanyaan yang diberikan. Hal ini mengakibatkan hasil penilaian kuesioner menjadi tidak bias dan dapat dibandingkan satu sama lain.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis kerusakan yang dominan pada produk marinasi A di PT Belfoods Indonesia adalah terdapat sisa darah pada tulang (pink bone) dan coating lepas >2 cm2. Faktor penyebab timbulnya cacat adalah kurangnya kesadaran operator akan produk yang berkualitas dan instruksi kerja yang tidak dilaksanakan dengan baik, sehingga terjadi penyimpangan. Setelah dilakukan uji coba yang disesuaikan dengan SOP yang telah ditetapkan perusahaan, persentase jenis kerusakan produk marinasi A dapat ditekan dengan besar penurunan jenis cacat timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) sebesar 70.83% dan jenis cacat lain dapat dinolkan. Sedangkan berdasarkan hasil kuesioner terkait kesadaran karyawan terhadap kualitas hasil produksi, rata-rata tingkat kesadaran karyawan PT Belfoods Indonesia adalah sebesar 60.91

Saran

(46)

32

memudahkan pengendalian proses produksi serta memudahkan dalam menganalisis penyebab penyimpangan mutu yang terjadi. Selain itu, agar penilaian kuesioner tidak bias dan dapat dibandingkan satu sama lain, perlu dilakukan pembobotan dengan ketentuan pertanyaan yang disusun pada kuesioner bersifat general dan berjumlah konstan.

DAFTAR PUSTAKA

Antara NS. 2011. Enzyme Usage in Meat Industries. http://www.foodreview.biz (diunduh pada 28 Juni 2013)

Au G, Ivan C. 1999. Facilitating implementation of total quality management through information technology. Choi/Information & Management. 36: 287-299.

Dunford N. [tahun terbit tidak diketahui]. Deep far frying basics for food services. Fryer, oil and frying temperature selection. http://fapc.okstate.edu (diunduh pada 28 Juni 2013)

Morgan JB, Wheeler TL, Koohmaraie M, Savell JW, Crouse JD. 1993. Meat

teenderness and the calpain proteolytic system in longissimus muscle of young bulls and steers. J Anim SCI. 71:1471-1476.

Muhandri T, Kadarisman D. 2012. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor: IPB Press.

Muchtadi TR, Ayustaningwarno F. 2010. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bandung : Penerbit Alfabeta.

Muljono P. 2002. Penyusunan dan Pengembangan Instrumen Penelitian. Lokakarya peningkatan suasana akademik Jurusan Ekonomi Fis-UNJ.

Nurwantoro, Bintoro VP, Legowo AM, Purnomoadi A. 2012. Pengolahan daging dengan sistem marinasi untuk meningkatkan keamanan pangan dan nilai tambah. Wartazqa. 22(2):72-78.

Nurwantoro, Mulyani S. 2003. Buku Ajar Dasar Teknologi Hasil Ternak. Semarang : UPT Pustak Universitas Diponogoro.

Sunarlim R, Setiyanto H. 2000. Pelayuan pada suhu kamar dan suhu dingin terhadap mutu daging dan susut bobot karkas domba. J Ilmu Ternk. 6(1):51-58 Suradi K. 2006. Perubahan sifat fisik daging ayam broiler post mortem selama

penyimpanan temperatur ruang (change of physical characteristics of broiler

chicken meat post mortem During Room Temperature Storag).J Ilmu Ternak.

6(1): 23-27.

Susetyo J, Winarni, Hartanto C. 2011. Aplikasi six sigma dmaic dan kaizen sebagai metode pengendalian dan perbaikan kualitas produk. J Teknologi. 4(1):61-53.

Tan, F. J., H. W. Ockerman. 2006. Applicability of nisin and tumbling to improve the microbiological quality of marinated chicken drumstick. J. Anim. Sci.19:292-296.

Usman R. 2011. Pengaruh biaya kualitas terhadap kinerja balanced scorecard

(47)

33

LAMPIRAN

LAMPIRAN

(48)

34

Lampiran 2 Nilai coefficient of variance jenis kerusakan produk marinasi A setelah perbaikan

Lampiran 3 Frekuensi kejadian faktor penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone)

Faktor Penyebab Batch

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Masih ada varian jumlah dan waktu memasukkan meat

ke dalam konveyor v v V v v - - v v v

Adanya penumpukkan meat saat thawing v v V v v v v - - -

Kondisi meat masih beku (sukar dipisahkan satu sama

lain) saat akan diproses v v v v v v - - - -

Ketidaksesuaian lama thawing dengan suhu meat v v - - - - -

Ketidaksesuaian suhu frying - - - - - - -

Ketidaksesuaian waktu frying - - - - - - -

Gambar

Gambar 1  Diagram alir kegiatan magang di PT Belfoods Indonesia
Gambar 2  Perbandingan persentase tingkat kerusakan 5 jenis produk
Gambar 4 Jenis kerusakan produk marinasi A di PT Belfoods
Gambar 5    Diagram Pareto jenis cacat pada produk marinasi A sebelum proses pengemasan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: Mendapatkan surat izin penelitian dari program studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Unsrat Manado,

Oakes dan Mehrdad Kia (2004),berdasarkan pola penyajiannya jenis plagiarisme ada 5 macam yaitu, plagiarisme verbatim yaitu plagiat apa adanya/plagiat total,

Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan sebagai bagian persyaratan akhir

Untuk menguji hipotesis dengan uji statistik mengenai pengaruh objektivitas, pengalaman dan tekanan anggaran waktu terhadap kualitas audit auditor BPK RI

ABSTRAK: Tujuan penelitian ini untuk (1) untuk menjelaskan bagaimana tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah tahun 2013 di Kabupaten

Berdasarkan dari pembahasan yang dilakukan pada bab IV dapat diketahui bahwa Perilaku Pemilih Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2012 (Studi Perilaku

BAGI JEMAAT YANG INGIN MENUNJANG PEMBANGUNAN GEDUNG GEREJA BAJEM CISEENG, DAPAT MENYALURKANNYA MELALUI : BANK MANDIRI KCP BOGOR ATC PARUNG NO.REK 133-00-1522029-6 A/N

dibangunlah sebuah Aplikasi Penjualan Barang Berbasis Web untuk menunjang pengoptimalan tingkat penjualan barang. Dengan menggunakan penjualan barang menggunakan sistem