M A R J U K I
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa tesis Model Prediksi Awal Musim Hujan di Pulau Jawa dengan Menggunakan Informasi Suhu Muka Laut Di Kawasan Lutan Pasifik dan India adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Mei 2011
Temperature Information at Indian and Pacific Ocean Area, Under supervision of RIZALDI BOER and AGUS BUONO.
The rainfall variability is one of an important role to play onset of wet season. This research aims to analyze that SST (Sea Surface Temperature) exerting an influence on rainfall onset over Java. The significant scale (15°S – 15°N; 80°E- 100°W) of SST patterns are observed to derive a potential predictor rainfall onset over Java. The onset wet season is define as the first 10-day that receive at least 50 mm followed by 2 consecutive 10-days. In Java generally it starts from 1 September. In this study, The regression Multivariate method was offered to develop a rainfall onset model prediction based on SST circulation patern. The principal component and regression technique are improved to achieve a better models and cross validation technique were applied to validate models. Domain predictor of models were derived using spatial correlation analysis result between Rainfall onset data each ZOM over Java and SST anomaly from Indian Ocean to Pacific Ocean during 1978-2007 . There are 28 from 30 ZOM which have potential predictors that be trained to models. The high spatial coherence of the rainfall onset is SST pattern at Juni-Juli-August that represent SST on eastern equatorial Pacific as characteristic of El Nino Southern Oscillation (ENSO), SST on Western Sumatera Island as characteristic of Indian Ocean Dipole Mode (IOD) and SST on around Java region as Characteristic of local condition. Three representative correlation patterns of Java Rainfall onset with SST Indian-Pacific area are investigated that clarify of ENSO, IOD and local condition. Verification result for those models showed promising skill prediction during test in year of 2008 with standart deviation 10 days. In Java generally, skill prediction when rainfall onset advanced exhibited better result than skill prediction when it delayed. The Indonesian ocean area that has local characteristic have influenced better rainfall onset over Java than others. It indicated that models which developed using predictor of Indonesian SST have better skill prediction than SST of Indian or pacific ocean area. However, predictor which has combination domain area of Indonesian SST and Pacific have main influenced rainfall onset over Java. It can be explained that 18 ZOM’s model have been using predictor from those domain.
Menggunakan Informasi Suhu Muka Laut Di Kawasan Lutan Pasifik dan India. Dibimbing oleh RIZALDI BOER dan AGUS BUONO.
Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan)
dikenal sebagai Sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) dikenal sebagai
Sirkulasi Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim di
Indonesia. Pergerakan matahari yang berpindah dari 23.5o Lintang Utara ke 23.5o
Gejala anomali iklim ditandai dengan ketidak normalan SML sehingga
mempengaruhi pola iklim lainnya dengan tingkat yang berbeda-beda di wilayah Jawa.
Pengaruh yang paling sering dirasakan adalah tingkat variasi awal musim hujan.
Untuk skala ruang yang lebih sempit, prediksi awal musim hujan perlu di kaji lebih
mendalam dengan pendekatan model statistik dengan asumsi dasar mengabaikan
pengaruh komponen iklim lokal. Tujuan penelitian ini adalah (1) Menyusun model
prediksi awal musim hujan antara bulan Agustus-Desember di wilayah Jawa dengan
prediktor SML ( Suhu Muka Laut) wilayah (15°S – 15°N; 80°E- 100°W). (2) Lintang Selatan sepanjang tahun mengakibatkan timbulnya aktivitas moonson yang
juga ikut berperan dalam mempengaruhi keragaman iklim. Pengaruh lokal terhadap
keragaman iklim juga tidak dapat diabaikan, karena Indonesia merupakan negara
kepulauan dengan bentuk topografi sangat beragam menyebabkan sistem golakan
lokal cukup dominan. Curah hujan di Indonesia sangat bergantung pada monsoon
Asia dimana pola angin bergerak dari Barat Laut ke Tenggara, pengaruh lainnya
adalah SML Indonesia, El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole Mode (IOD). Awal musim hujan ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian telah lebih dari 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya. Perhitungan
awal musim hujan yang dilakukan setelah 1 September. Dengan mencari hubungan
variable Awal Musim Hujan (AMH) dan Suhu Muka Laut (SML) periode
Juni,Juli,Agustus (JJA), dihasilkan domain prediktor model awal masuk musim hujan
musim hujan untuk di Jawa.
P
Model disusun dengan periode data 30 tahun (1978-2007) menggunakan teknik
analisis Principal Component Regression (PCR). Variable sebagai prediktor adalah
nilai reduksi anomali SML pada suatu domain terpilih (PC1, PC2...PCn) dan sebagai
prediktan adalah rataan AMH di tiap kelompok. Validasi silang Leave One Out Cross
Validation (LOOCV) digunakan sebagai ukuran kestabilan model. Prediktor yang di
jadikan masukan model saat verifikasi adalah hasil reduksi anomali SML bulan JJA
tahun 2008 di domain terpilih pada masing-masing pola. Untuk mengetahui skill
prediksi model AMH, digunakan metode Relative Operating Characteristics (ROC).
ROC merupakan metode verifikasi standar yang direkomendasikan WMO (World
Meteorological Orgazation). Kehandalan model prediksi AMH tiap ZOM dipetakan
sehingga didapat pola wilayah kehandalan model prediksi saat AMH maju dan AMH
mundur dari normal. Dengan mengetahui pola wilayah kehandalan model prediksi engelompokkan wilayah Jawa berdasarkan kemiripan pola Awal Musim
Hujan (AMH) dengan analisis cluster, sehingga pola AMH wilayah Jawa ditetapkan
terbagi dalam 30 kelompok. Selanjutnya variabel AMH periode 1978-2007 di Jawa
yang terbagi menjadi 30 ZOM, rataan AMH tiap ZOM digunakan untuk mencari
pola hubungan tiap kelompok wilayah dengan anomali Suhu Muka Laut (SML).
Hasil korelasi (r) antara anomali SML rataan periode JJA dengan Awal Musim Hujan
(AMH) di Jawa menghasilkan tiga pola utama. Pola-1 menunjukkan korelasi
signifikan (r ≥ 0.5) terkonsentrasi pada wilayah perairan Barat Sumatera dan Pasifik di dihasilkan oleh 4 kelompok. Pola-2 menunjukkan korelasi signifikan
terkonsentrasi pada wilayah perairan Barat Sumatera, Pasifik tropis dan wilayah
Perairan Indonesia (-0.5 ≤ R ≥ +0 .5) dihasilkan oleh 18 kelompok. Pola-3 menunjukkan korelasi signifikan terkonsentrasi pada perairan wilayah Indonesia dan
Pasifik (-0.5 ≤ R ≥ +0.5) dihasilkan oleh 6 kelompok. Sedangkan 2 kelompok tidak mempunyai pola yang jelas, namun dianggap sebagai pola ke-2 dalam penyusunan
Secara umum AMH di Jawa dipengaruhi oleh tiga pola interaksi Laut-Atmosfer
yaitu ENSO, IOD, SML Lokal, meskipun besar pengaruhnya di tiap wilayah
berbeda-beda. Pernyataan itu dibuktikan oleh hasil korelasi AMH di Jawa dengan SML
wilayah (15°S – 15°N; 80°E- 100°W). Efek kombinasi ENSO, IOD dan SML lokal
dominan mempengaruhi AMH di Jawa, hal itu diindikasikan oleh jumlah model
ZOM pada pola-2 lebih banyak dibandingkan pola-1 dan pola-3. Kombinasi domain
prediktor wilayah karakteristik ENSO dan laut lokal memiliki sensitifitas yang lebih
baik terhadap kejadian AMH dibandingkan kombinasi lainnya. Hal itu ditunjukkan
dengan nilai skill terbaik dihasilkan oleh model dengan domain prediktor di pola-3.
Kehandalan model prediksi AMH di Jawa saat kejadian maju dari normal lebih baik
dibandingkan saat kejadian mundur dari normal. Hal itu dapat di pahami, karena
pengaruh SML Indonesia (lokal) tampaknya cukup kuat mensuplai uap air ke Jawa
sehingga hujan terjadi. Teknik penentuan domain prediktor yang sudah dilakukan
dalam bentuk mencari batasan maksimum wilayah korelasi signifikan dalam persegi
empat, cara itu dapat di tingkatkan hingga mendeliniasi pola di peta korelasi,
sehingga tidak ada grid prediktor yang hilang atau grid yang tidak termasuk domain
ikut ter-ekstraksi. Teknik dan metode penyusunan model AMH ini dapat diterapkan
© Hak Cipta IPB, Tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengkutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
MARJUKI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Marjuki
NIM : G251080021
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Klimatologi Terapan
Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. selaku
ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Agus Buono, M.Si,M.Kom. selaku anggota
komisi pembimbing yang telah banyak membantu, membimbing dan mengarahkan
dalam penelitian ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada :
1) Ibu Wartilah selaku orang tua yang membanggakan, dengan doa beliau yang
tulus dan iklas penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
2) Bapak Hariyanto, Ibu Umi Zulaikha yang selalu membrikan dorongan dan
semangat.
3) Famiyana Dewi, istri yang selalu mendampingi dengan kesabaran dan keiklasan
4) Putri-putri yang kusayangi, Fathania Radinka Putri, Farryn Naqyya Ilmi (Alm),
kalian telah memberi inspirasi.
5) Supriyanto Rohadi, sahabat yang selalu memberikan motivasi.
6) Teman-teman mahasiswa Program Studi Klimatologi Terapan, Sekolah
Pascasarjana IPB atas bantuan pemikiran dan diskusi ilmiah.
Penelitian ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister
Sains pada Program Klimatologi Terapan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Judul penelitian ini adalah Model Prediksi Awal Musim Hujan Di Pulau Jawa
Dengan Menggunakan Informasi Suhu Muka Laut Di Kawasan Lutan Pasifik dan
India. Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini belum sempurna, kritik, saran
dan masukan pemikiran yang konstruktif diharapkan untuk menyempurnakan.
Semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2011
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1975 dari ayah Darso
Sugiman (alm) dan ibu Wartilah. Penulis adalah putra ke dua dari empat bersaudara.
Tamat Sekolah Teknik Menengah tahun 1993 di Jakarta, menyelesaikan Diploma I di
Akademi Meteorologi dan Geofisika (AMG) Jakarta tahun 1994. Diploma III
diselesaikan penulis tahun 2001 dan Sarjana Matematika Universitas Pamulang di
selesaikan tahun 2006. Tahun 2008, penulis melanjutkan studi di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Klimatologi Terapan (KLI),
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 2
1.3 Hipotesa ... 3
1.4 Tujuan ... 3
1.5 Manfaat ... 4
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musim Hujan dan Monsun ... 5
2.2 Pengaruh Sirkulasi Walker ... 6
2.3 Definisi Musim Hujan... 10
2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Awal Musim ... 12
2.5 Perkembangan Model Prediksi Awal Musim Hujan ... 14
2.6 Potensi Aplikasi Prediksi Awal Musim Hujan ... 15
3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 17
3.2 Data Penelitian ... 17
3.3 Prosedur Pengolahan Data………...19
3.4 Analisis Cluster………….………...20
3.5 Principal Componen Analisis ... 20
3.6 Analisis Korelasi ... 21
3.7 Principal Component Regression ... 22
3.8 Analisis Validasi Silang ... 23
3.9 Verifikasi ... 24
3.10 Evaluasi ... 25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengelompokan Zona Musim... ... ..28
4.2 Normal Awal Musim Hujan Jawa………... 29
4.3 Korelasi Awal Musim Hujan dengan Anomali Suhu Muka Laut .... .... ..31
4.4 Pola Hubungan Suhu Muka Laut Dengan ZOM Jawa ... ..33
4.5 Domain Prediktor Suhu Muka Laut ... ..35
4.6 Reduksi Prediktor Suhu Muka Laut ... ..36
4.7.1 Menyusun Model...37
4.7.2 Validasi Model...39
4.7.3 Verifikasi Model...40
4.8 Evaluasi Skill Model ... . 41
4.8.1 Skill Prediksi AMH Maju atau Mundur Dari Normal... 42
4.8.2 Pola Wilayah Kehandalan Model Prediksi AMH di Jawa……… 45
4.9 Pembahasan... ..47
4.9.1 Hubungan Awal Musim Hujan di Jawa dengan SML...47
4.9.2 Evaluasi Skill Model prediksi Awal Musim Hujan Jawa ……….………...…50
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... . 52
5.1 Kesimpulan ... ..52
5.2 Saran ... ..54
DAFTAR PUSTAKA ... . 55
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Domain Prediktor ... 36
2. Koefisien Persamaan Regresi Tiap Pola ... 38
3. Skill prediksi Awal Musim Hujan Pola-1 ... 42
4. Skill prediksi Awal Musim Hujan Pola-2 ... 43
4. Skill prediksi Awal Musim Hujan Pola-3 ... 44
DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Peta Daerah Monsun ... 6
2. Skematik Sirkulasi Walker ... 7
3. Daerah dengan curah hujan dibawah normal ... 8
4. Skematik wilayah ENSO dan IOD ... 10
5. Pola Angin Samudera India- Pasifik Saat Normal dan ENSO ... 13
6. Sebaran Data Awal Musim Hujan Jawa ... 18
7. Grid Anomali Suhu Muka Laut ... 18
8. Diagram Alir Penyusunan Model AMH ... 19
9. Kurva Skill Prediksi Hasil ROC ... 26
10. Grafik Jumlah Cluster Terhadap Jarak Data ... 23
11. Peta Zona Musim Jawa ... 29
12. Peta Normal Awal Musim Hujan Jawa ... 30
13. Peta Korelasi Awal Musim Hujan Jawa dengan Suhu Muka Laut Pola-1 .... 31
14. Peta Korelasi Awal Musim Hujan Jawa dengan Suhu Muka Laut Pola-2 .... 32
15. Peta Korelasi Awal Musim Hujan Jawa dengan Suhu Muka Laut Pola-3 .... 33
16. Peta Wilayah Pola Korelasi AMH dengan Anomali SML... 34
18. Grafik Verifikasi Model Awal musim Hujan... 41
19. Peta Skill Mundur dari Normal Model Awal Musim Hujan Jawa ... 45
20. Peta Skill Maju dari Normal Model Awal Musim Hujan Jawa ... 41
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Data Awal Musim Huja Jawa Periode 1978-2008 dalam Dasarian ... 58
2. Koordinat Pos Pengamatan Curah Hujan Jawa ... 68
3. Daftar Kabupaten Wilayah Zona Musim ... 73
4. Korelasi Spasial AMH dengan Anomali SML tiap Pola ... 74
5. Scree Plot Prediktor Masing-masing Pola... 80
6. Hasil Uji Regresi Tiap Cluster ... 86
7. Validasi Silang Tiap Cluster ... 112
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang dilewati oleh garis katulistiwa serta
dikelilingi oleh dua samudera dan dua benua. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai
daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan) dikenal sebagai Sirkulasi
Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) dikenal sebagai Sirkulasi Walker, dua
sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia. Pergerakan
matahari yang berpindah dari 23.5o Lintang Utara ke 23.5o
Aktifitas monsun dapat dipengaruhi oleh kejadian anomali iklim global, El
Nino memiliki hubungan langsung antara variasi awal musim di Indonesia dengan
Sea Surface temperatur (Moron et al. 2009). Selain itu, kejadian anomali iklim
global lainnya yang mempengaruhi aktifitas monsun adalah Indian Ocean Dipole
Mode (IOD). Kejadiannya ditandai dengan perbedaan suhu perairan samudera hindia
bagian barat dan timur (10°S – 10°N; 50°- 110°E). Menurut Mulyana (2002), siklus
dipole mode diawali pada bulan Mei-Juni kemudian menguat pada bulan Juli-Agustus
mencapai puncaknya pada bulan Oktober, selanjutnya menghilang dengan cepat pada
bulan Nopember-Desember. Sebanyak 50% perubahan curah hujan di wilayah
Maritim kontinen hingga Pasifik Barat di sebabkan oleh perubahan anomali SST di
Samudera Hindia (Annamalai et al. 2005). Umumnya ketika terjadi El Niño, efeknya
saling memperkuat dengan IOD tetapi ada kasus ketika bukan tahun El Niño Lintang Selatan sepanjang
tahun mengakibatkan timbulnya aktivitas monsun yang berperan dalam
mempengaruhi keragaman iklim Indonesia. Pengaruh lokal terhadap keragaman iklim
juga tidak dapat diabaikan, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan
bentuk topografi sangat beragam menyebabkan sistem golakan lokal cukup dominan.
Semua aktivitas dan sistem ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun akan
tetapi besar pengaruh dari masing-masing aktivitas atau sistem tersebut tidak sama
Indonesia kering, ternyata ketika itu IOD aktif, jadi Indonesia mengalami kekeringan
ketika bukan tahun El Niño dapat dijelaskan dari pengaruh IOD.
Pulau Jawa adalah wilayah sentra pertanian di Indonesia, tingkat keberhasilan
maupun kegagalan panen tiap tahun bergantung pada ketersedian air karena apabila
awal musim hujan maju atau mundur dari normalnya maka akan mempengaruhi
jadwal tanam, sehingga perlu diberikan perhatian khusus terhadap pola iklim. Terkait
akan hal itu, untuk mengurangi kerugian para petani dan menjaga tingkat stabilitas
pangan di Indonesia, maka dicari suatu cara dan metode yang akurat dalam
menentukan awal masuk musim hujan akibat dari perilaku monsun yang di pengaruhi
oleh aktifitas ENSO dan IOD. Dengan memperhatikan pola variasi curah hujan
sepuluh harian (dasarian) di wilayah Jawa serta tingkat hubungannya dengan Suhu
Muka Laut (SML) dari samudera india hingga samudera pasifik, maka kejadian awal
masuk musim hujan dapat diduga. Sering kali kegagalan panen dikaitkan dengan
perilaku iklim, maka tuntutan kebutuhan prediksi awal musim hujan disuatu wilayah
semakin tinggi, sampai pada tingkat skala lokal (wilayah kabupaten). Kemajuan
sistem prediksi iklim global telah banyak dikembangkan, namun hasilnya tidak dapat
langsung di aplikasikan untuk skala wilayah regional sehingga perlu diciptakan suatu
model dengan tingkat akurasi tinggi yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat
pengguna.
1.2 Perumusan Masalah
Model prediksi cuaca umumnya didasari dengan mekanisme proses sirkulasi
atmosfer tiap komponen skala harian dengan batasan waktu 2 sampai 3 hari kedepan,
sehingga pendekatan model mekanistik lebih menjawab persoalan. Namun untuk
proses sirkulasi atmosfer musiman model mekanistik akan lebih sulit dilakukan
karena proses sirkulasi atmosfer musiman memiliki skala waktu yang lebih panjang,
mekanisme yang kompleks dengan rata-rata fluktuasi tiap komponen rendah. Salah
satu mekanisme proses yang mempengaruhi musim adalah interaksi laut-atmosfer
mulai dari samudera india sampai samudera pasifik yang mengakibatkan
akibat dari ketidak normalan temperatur muka laut sehingga mempengaruhi pola
iklim lokal dengan tingkat yang berbeda-beda di wilayah Indonesia. Pengaruh yang
paling sering dirasakan adalah tingkat variasi awal musim hujan. Untuk skala ruang
yang lebih sempit, prediksi awal musim hujan perlu di kaji lebih mendalam dengan
pendekatan model statistik dengan asumsi dasar mengabaikan pengaruh komponen
iklim lokal dan komponen iklim global lainnya kecuali SML.
1.3 Hipotesa
1) Daerah tropis berada di ambang kritis suhu muka laut yang mendorong curah
hujan maksimum atau minimum sehingga suhu muka laut berperan terhadap
kejadian awal musim hujan.
2) Fenomena IOD, aktifitas iklim laut lokal dan ENSO merupakan fenomena iklim
laut yang mempengaruhi awal musim hujan di Pulau Jawa.
3) Terdapat hubungan linier antara awal musim hujan di Jawa dengan suhu muka
laut lokal dan global.
4) Suhu muka laut sangat potensial menjadi prediktor model prediksi awal musim
hujan di wilayah Jawa.
1.4 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1) Membahas dan menentukan model prediksi awal musim hujan antara bulan
Agustus-Desember di wilayah Jawa dengan prediktor SML ( Suhu Muka Laut)
wilayah (15°S – 15°N; 80°E- 100°W)
2) Menyusun peta spasial yang menunjukkan kemampuan model prediksi
(forecast skill model) awal musim hujan di Jawa.
3) Menentukan domain prediktor SML yang mempengaruhi awal musim hujan
1.5 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap teknik
maupun model prediksi awal masuk musim yang selama ini di operasionalkan oleh
instansi BMKG. Hal itu tentunya dengan mengedepankan dasar dan alasan ilmiah
sehingga tujuan utama dalam meningkatkan skill prediksi awal masuk musim hujan
dapat dirasakan pengguna.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Definisi awal masuk musim hujan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
akumulasi curah hujan hujan sepuluh hari (dasarian) mencapai 50 mm atau lebih dan
diikuti dua dasarian berikutnya. Jika curah hujan lebih dari 50 mm dalam tiga
dasarian tidak di temukan maka awal musim ditentukan dengan akumulasi curah
hujan tiga dasarian mencapai lebih dari 150 mm. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah nilai curah hujan dasarian tiap titik (pos hujan) di seluruh
kabupaten wilayah Jawa periode minimal selama 30 tahun keluaran BMKG. Selain
itu digunakan data SML regional dan global dalam batasan wilayah (15°S – 15°N;
80°E- 100°W). Untuk lintang 10°N – 15°N merupakan zona kunci awal monsun di
Kerala India dengan waktu kejadian 7 sampai 12 hari sebelumnya (Singh et al. 2004).
Sehingga batasan wilayah terpilih menggambarkan aktivitas monsun serta hubungan
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Musim Hujan dan Monsun
Di tinjau dari aspek geografis, Indonesia diapit oleh dua benua dan dua
samudera sehingga memungkinkan adanya tiga sirkulasi atmosfer yang aktif
sepanjang tahun. Sirkulasi Hadley yang berubah menjadi monsun, sirkulasi Walker
yang mengindikasikan fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) serta sirkulasi
laut-atmosfer menyebabkan konveksi kuat yang membentuk awan potensial hujan.
Selain itu sebagai negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan luas perairan
sekitar 70% dan daratan 30% serta di lewati garis khatulistiwa menyebakan
Indonesia menerima INSOLASI (Incoming Solar Radiation) dalam jumlah besar
mengakibatkan potensi penguapan uap air cukup kuat terjadi. Wilayah lautan dengan
temperatur 28°C merupakan lokasi potensial terjadi konveksi tropis (Vinaya et al.
2007).
Monsun adalah angin yang arahnya berbalik secara musiman, pembalikan
tersebut membutuhkan gaya gradien tekanan yang disebakan oleh beda tekanan
atmosfer. Angin monsun disebabkan oleh perbedaan sifat fisis antara lautan (ocean)
dan daratan (continen) karena kapasitas panas lautan lebih besar dari pada daratan.
Permukaan lautan memantulkan radiasi matahari lebih banyak dari pada daratan dan
radiasi matahari dapat memasuki kedalaman laut juga dengan bantuan arus laut,
sedangkan didarat radiasi matahari hanya mencapai beberapa centimeter saja dari
permukaan. Hasil dari beda sifat fisis ini adalah lautan lebih lambat panas bila ada
radiasi matahari dan lebih lambat dingin bila tidak ada radiasi matahari dibandingkan
daratan. Pergerakan semu matahari dapat membalikkan arah gaya gradient tekanan
dari daratan ke lautan menghasilkan perubahan arah angin musiman atau monsun
sehingga beda panas Utara-Selatan yang sangat penting diperkirakan antara benua
Asia dan samudera Hindia. Jika angin berhembus dari arah Barat Laut (Northwest)
atau menuju pantai (daratan) maka Indonesia terjadi periode musim hujan, sebaliknya
(lautan) maka Indonesia terjadi periode musim kemarau. (Gambar 1) menunjukkan
daerah monsun yang dibatasi oleh garis bujur 30° Barat dan 170° Timur dan oleh
garis lintang 35° Utara dan 25° Selatan (Ramage 1971). Namun, belum banyak
metode yang digunakan untuk mengidentifikasi datangnya monsun, apalagi biasanya
model yang ada tidak melibatkan variabilitas interannual (Falluso & Webster 2002).
Gambar 1. Petadaerah monsoon muka bumi berdasarkan definisi dari Ramage 1971.
2.2 Pengaruh Sirkulasi Walker
Sirkulasi Walker adalah sirkulasi zonal (Timur-Barat) sepanjang ekuator.
Pada tahun normal, sirkulasi ini di tandai dengan kenaikan udara di sekitar pasifik
bagian Barat dekat dengan benua maritime Indonesia dan penurunan udara di
samudera pasifik bagian Timur lepas pantai Amerika Selatan. Intensitas sirkulasi
Walker dikendalikan oleh variasi SML (Suhu Muka Laut) di samudera pasifik bagian
Gambar 2. Skematik dari sirkulasi Walker di bagian atas dan bawah atmosfer
dalam keadaan normal dan ENSO (Nicholls 1987)
Perubahan dalam kadar panas SML kemudian di alihkan kedalam atmosfer dalam
bentuk perubahan tekanan atmosfer. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa ada
kopel (perangkai) yang kuat antara lautan dan atmosfer, demikian disebut El Nino
Southern Oscillation (ENSO). Dalam tahun-tahun ENSO terjadi penurunan
(subsidensi) massa udara diatas benua maritim Indonesia dan awan konvektif
bergerak ke pasifik bagian tengah, sehingga sebagian besar wilayah Indonesia
mengalami kekeringan atau musim kemarau panjang.
Model dasar interaksi lautan adalah kenaikan temperatur Samudera Pasifik
Ekuatorial. Di atas pusat anomali temperatur ini akan terjadi penguapan dan konveksi
kuat, akibatnya angin pasat di sebelah barat pusat anomali temperatur akan melemah
dan angin pasat di sebelah timur pusat ini akan menguat. ENSO menyebabkan variasi
iklim tahunan di Indonesia, keterlambatan musim tanam terjadi pada tahun-tahun
ENSO dibandingkan kondisi normal. Tanpa memperhitungkan manajemen air yang
baik maka produksi pangan akan turun sehingga mengganggu stabilitas pangan
Indonesia. Dari data yang tercatat saat tahun-tahun ENSO mengakibatkan musim
kemarau lebih panjang dan musim hujan lebih pendek. Dampak kekeringan Tahun Eq
30oLS
90oBB 0o 90oBT 180o 90oBB
Eq 30oLS
90oBB 0o 90oBT 180o 90oBB
DJF Normal
ENSO di Indonesia tercatat hampir dirasakan diseluruh wilayah Indonesia kecuali
untuk beberapa tempat yang pengaruh ekuatorialnya lebih kuat
Penjelasan diatas menunjukkan, bahwa keragaman hujan di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Pada saat fenomena ENSO berlangsung, hujan
pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal (Gambar 3).
Pengamatan terhadap tahun El-Nino yang terjadi dalam periode 1896 sampai 1987,
diperoleh bahwa untuk setiap peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Nino 3
rata-rata curah hujan wilayah di Indonesia pada musim kering turun sekitar 60 mm.
Penurunan curah hujan wilayah dapat mencapai 80 mm dari normal apabila suhu
muka laut di Nino-3 naik sampai 1.8 o
Gambar 3. Persen daerah yang curah hujan di bawah normal (panah hitam
menunjukkan tahun bukan El-Nino)
C di atas normal (Boer 2003).
Fenomena ENSO tidak hanya mempengaruhi tinggi hujan tetapi juga
mempengaruhi masuknya awal musim hujan atau akhir musim kemarau tergantung
pada waktu pembentukan dan lama dan intensitasnya. Pada umumnya pada saat
terjadi El-Nino awal musim hujan di wilayah yang bertipe iklim monsun mengalami
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
60 62 64 66 68 70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 Tahun
W
ilay
ah dengan H
uj
an B
aw
ah N
or
m
al
(%
keterlambatan, sebaliknya pada saat berlangsungnya fenomena La-Nina,akhir musim
hujan mengalami keterlambatan atau awal masuknya musim kemarau mundur.
Faktor lain yang mempengaruhi keragaman hujan di Indonesia adalah Indian
Ocean Dipole Mode (IOD). Fenomena ini pertama kali dikemukakan oleh (Saji et al.
1999). IOD dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara suhu muka laut di kawasan
barat Samudera India (50°-70°BT, 10°LU-10°LS) dengan suhu muka laut di
kawasan tenggara Samudera India (90°-110°BT, 0°-10°LS). Apabila terjadi indeks
sangat negatif (dibawah standar deviasi historis) yang berarti suhu di tengah
samudera Hindia lebih hangat daripada di pantai barat Sumatera, maka wilayah
Indonesia barat bagian selatan mendapat resiko kekeringan akibat terjadi subsidensi
dan aliran masa udara menjauh daerah ini. Apabila yang terjadi sebaliknya, maka
wilayah yang sama akan mengalami curah hujan tinggi. Dampak IOD penting di
perhatikan saat periode Juni-Oktober dimana akan memberikan banyak bulan basah
di bagian Tenggara (Southeast) dan Barat Daya (Southwest) lokasi IOD terjadi
(Risbey et all. 2009). Selain itu pada akhir Mei potensi terjadi ketidakstabilan musim
angin baratan Afrika (Hagos & Kerry 2006). Sehingga wilayah tengah Samudera
india sangat penting diperhatikan pada bulan Juni, Juli, Agustus.
Dibandingkan dengan ENSO, fluktuasi dari gejala IOD memiliki periode yang
sangat pendek tidak lebih dari satu musim sehingga koherensi gejala ini rendah dan
sulit diasosiasikan dengan iklim Indonesia. Selain itu sangat sulit untuk menduga
besarnya pengaruh ENSO, IOD atau efek kombinasi keduanya terhadap curah hujan
(Risbey et all. 2009). Untuk memahami lebih jauh kaitan kejadian ENSO dan IOD
terhadap kejadian awal masuk musim hujan di wilayah Jawa, kajian di fokuskan
menentukan domain prediktor interaksi lautan-atmosfer yaitu fluktuasi SML di
Pasifik ekuator bagian tengah dan timur hinga Samudera India yang
Gambar 4. Skematik wilayah ENSO dan IOD
2.3 Definisi Awal Musim Hujan
Kombinasi revolusi dan kemiringan bumi akan mempengaruhi sudut jatuh
sinar matahari dan intensitas insolasi (incoming solar radiation), akibatnya di muka
bumi terjadi pembagian wilayah musim (musim dingin, semi, panas dan gugur).
Musim diwilayah Indonesia tidak mengikuti pembagian wilayah musim dibumi
karena unsur temperatur hampir konstan sepanjang tahun namun sebaliknya variasi
unsur curah hujan sangat besar. Curah hujan yang terjadi di suatu wilayah
memberikan gambaran musim pada wilayah tersebut. Awal musim hujan (AMH)
dapat di jelaskan oleh curah hujan yang terjadi pada suatu tempat. Ketentuan definisi
AMH di satu tempat dapat berbeda di tempat lainnya, hal itu dapat bergantung pada
kondisi klimatologis. Kondisi klimatologi akan memberikan ciri atau indikator
tertetentu ketika AMH terjadi, sehingga dapat ditetapkan definisi yang tepat. Sebagai
ilustrasi, Departemen Meteorologi India menetapkan wilayah Kerala sebagai salah
satu indikator awal datangnya AMH di seluruh India (Wang et al. 2009). Apabila
setelah 10 Mei tercatat curah hujan sebanyak 10 mm per 24 jam dalam 2 hari di lima
stasiun pengamatan dari tujuh stasiun yang ada di Kerala maka dinyatakan sebagai
didasarkan pada ketentuan yang dibuat oleh BMKG yaitu awal musim hujan ditandai
dengan jumlah curah hujan dasarian telah lebih dari 50 mm dan diikuti minimal dua
dasarian berikutnya, sebaliknya awal musim kemarau ditandai dengan jumlah curah
hujan dasarian kurang dari 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya. Saat
perhitungan awal musim hujan yang dilakukan BMKG biasanya setelah 1 September.
Definifisi AMH dapat juga bergantung pada kondisi wilayah lokal untuk
bidang pertanian. Untuk kepentingan sektor pertanian, AMH adalah informasi yang
penting dalam penentuan waktu dan pola tanam. Definisi AMH yang digunakan pada
bidang pertanian di Indonesia, apabila curah hujan setelah 1 Agustus tercatat > 40
mm dalam 5 hari berturut-turut tanpa diikuti 10 hari dry spell atau curah hujan < 5
mm dalam periode 10 hari (Moron et al. 2008). Sedangkang wilayah Sahel Afrika
mendefinisikan AMH dalam bidang pertanian yaitu apabila curah hujan setelah 15
Mei tercatat > 20 mm dalam 2 hari berturut-turut tanpa diikuti 7 hari dry spell atau
curah hujan < 5 mm dalam periode 20 hari (Marteu et al. 2007). Perbedaan definisi
AMH di tiap tempat disebabkan karena perbedaan posisi geografis yang berimplikasi
pada pola umum atmosfer suatu wilayah. Sebagai contoh untuk wilayah tropis pola
atmosfer dominan adalah Intertropical Convergence Zone (ITCZ) atau pias pumpun
antar tropis akibat dari gerak periodik Matahari 23.5o arah Utara dan Selatan. Wilayah yang di lewati ITCZ biasanya pada periode musim hujan dan sebaliknya.
Kondisi tropis berbeda dengan yang terjadi di wilayah sub tropis hingga kutub
(lintang tinggi), pada wilayah tersebut pola atmosfer yang berperan dan penting di
perhatikan yaitu gelombang rossby (Graham et al. 2010). Gelombang Rossby adalah
angin yang mengelilingi bumi, bergerak dari Barat ke Timur dan biasanya mendorong
kelembaban dari Samudra Atlantik. Dalam penjalaranya, gelombang ini berosilasi
diantara lintang 30o dan 60o sehingga memiliki pengaruh dominan terhadap wilayah lintang tinggi. Selain itu, faktor yang membedakan definisi AMH adalah posisi lautan
dan daratan yang berimplikasi pada pola umum atmosfer. Contoh dalam hal ini
adalah perilaku monsun yang hanya terjadi disekitar perairan India dan pasifik serta
2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Awal Musim
Monsun adalah salah satu fenomena iklim global menyebabkan pergerakan titik
kulminasi matahari terhadap bumi yang bergerak utara selatan dan terciptanya
kontras tekanan dan suhu antara benua dan samudera. Selain itu fenomena monsoon
juga mengikuti pola garis pantai karena pada daerah tersebut terjadi pusat pusat
konveksi dan juga diakibatkan oleh pola kontras antara benua dan samudera.
Sehingga pergerakan daerah fenomena monsoon tidak murni bergerak arah utara
selatan. Wilayah Jawa termasuk dalam pewilayahan monsun atau wilayah yang
dicirikan dengan pola hujan tahunan satu puncak hujan dan satu puncak kemarau
(Aldrian & Susanto 2003). Hal ini mengakibatkan nilai kontras akumulasi hujan pada
puncak musim hujan dan puncak kemarau. Sesuai dengan kriteria yang
dikembangkan oleh BMKG, jika hujan diatas 150 mm, maka dikategorikan musim
hujan, sebaliknya apabila curah hujan dibawah 150 mm per bulan akan disebut
musim kemarau. Dengan memahami kejadian monsun maka dapat menduga
terjadinya awal musim Indonesia
Fenomena iklim global lainnya adalah ENSO, dampak dari fenomena ini dapat
dirasakan secara global. Fenomena ini berhubungan berturut turut dengan fase hangat
dan dingin di wilayah ekuator Pasifik. Secara normal terdapat kolam hangat (warm
pool) di sebelah utara pulau Papua yang merupakan tempat berkumpulnya arus
permukaan dari aliran sabuk dunia sebelum dihantar melalui arus lintas Indonesia
(Arlindo) melalui wilayah benua maritim menuju samudera india. Kolam hangat ini
juga tempat sirkulasi Walker dimana terjadi pengangkatan masa udara (convection
center). Pada saat El Niño, terjadi perpindahan daerah wam pool menuju ke timur
daerah ekuator Pasifik dan meninggalkan daerah di utara Papua. Dinamika fenomena
laut tersebut tentunya akan menggangu kondis atmosfer di wilayah lainnya. Sel
Walker menyebabkan telekoneksi atmosfer antara wilayah samudera India dan pasifik
yang berpusat di wilayah warm pool sekitar Papua (Aldrian & Susanto.2003). Pada
kondisi normal, angin 850 mb atau angin lapisan bawah di perairan India-Pasifik
pada periode JJA bertiup dari Timur (Gambar 5a). Kejadian ENSO menyebabkan
menyimpang dari normalnya. Meningkatnya SML di pasifik tropis membuat arus
angin berbalik atau terjadi putaran di Pasifik Tengah (Gambar 5b). Implikasinya
untuk wilayah Pasifik Tengah-Timur akan terjadi banyak hujan akibat konvergensi
efek dari putaran angin (pembalikan arah). Sedangkan Jawa atau Indonesia pada
umumnya akan terjadi pengurangan curah hujan selanjutnya mengakibatkan awal
masuk musim hujan akan mundur dari normalnya. Dengan demikian perlu
memperhatikan sinyal kejadian ENSO sebagai faktor yang mempengaruhi AMH di
Jawa. Sinyal tersebut yaitu fluktuasi SML periode JJA di wilayah pasifik equator
sehingga kejadian AMH maju atau mundur dari normal di Jawa dapat di prediksi.
Gambar 5 Pola angin 850 mb JJA Samudera India-Pasifik Saat (a) Normal dan (b)ENSO
Selain faktor tahunan tersebut, pola iklim Indonesia juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor non tahunan seperti harian intra seasonal dan faktor inter tahunan.
Untuk skala intra seasonal atau antara 30 sampai 90 hari, terdapat dominasi pengaruh
pergerakan daerah konveksi dari samudera India ke arah timur. Pergerakan
variabilitas intra seasonal ini membawa akibat daerah hujan yang tinggi pada daerah
yang dilaluinya. Variabilitas atau osilasi intra seasonal ini dikenal dengan istilah
Madden Julian Oscillation (MJO) sesuai nama pencetusnya (Madden & Julian 1994).
Untuk daerah benua maritim Indonesia, penjalaran gelombang ke timur gejala ini
terjadi di samudera India dan peristiwa yang dimulai di laut akan berakibat pada
a
daerah hujan yang mana daerah hujan ini akan bergerak ke arah timur masuk di
kepulauan Indonesia melalui propinsi Sumatera Barat dan terus bergerak ke Timur
(Aldrian 2008). Apabila peristiwa tersebut terjadi pada bulan musim hujan maka
pergerakan akan lebih ke arah selatan mengikuti jalur Intertropical Convergence Zone
(ITCZ) atau daerah konvergensi antar tropis yang sedang berada di bumi belahan
selatan. Pola mengikuti jalur ITCZ dikarenakan ITCZ merupakan pusat konveksi
yang menarik massa udara sekitar. Peristiwa penjalanan dengan gelombang ini terjadi
dengan periode antara 30 sampai 90 hari atau periode seasonal dan intraseasonal
sehingga gejala MJO ini dikenal juga dengan istilah gelombang intraseasonal.
Pergerakan intraseasonal ini mengakibatkan variabilitas curah hujan sehingga terjadi
waktu jeda basah (wet spell) atau waktu jeda kering (dry spell), implikasinya akan
terjadi kehilangan hari bulan basah atau hari bulan kering antara 20 sampai 50 hari
(Benjamin & Pierre 2006). Kejadian tersebut tentunya akan berpotensi
mempengaruhi AMH di wilayah Indonesia khususnya Jawa karena dasar perhitungan
AMH adalah akumulasi curah hujan dalam sepuluh harian (dasarian). Dengan
memahami kejadian MJO maka dapat dihindari menentukan awal musim palsu akibat
dry spell atau wet spell.
2.5 Perkembangan Model Prediksi AMH
Hasil dari model iklim global biasanya diberikan sebagai input untuk model
iklim regional dimana dinamika proses yang terjadi kembali dihitung dalam skala
regional. Untuk model prediksi dibutuhkan model iklim laut dan atmosfir yang
dijalankan sekaligus dimana terjadi umpan balik antara keduanya. Masing masing
model tersebut tidak dapat jalan sendiri sendiri untuk prediksi karena masing masing
saling membutuhkan untuk data di permukaan laut. Untuk model atmosfir global
biasanya membutuhkan data SML, sedangkan untuk model iklim regional model
atmosfir membutuhkan data di daerah batas domain di laut atau di atmosfir pada
masing masing lapisan. Saat ini model AMH sudah banyak dikembangkan baik yang
berdasar dinamika atmosfer, pemanfaatan data satelit maupun perhitungan statistik.
masa transisi (Maret-Juni) sehingga akan di ketahui sebaran pola hujan spasial untuk
wilayah Indonesia (As-syakur & Prasetia 2010). Kajian tersebut dapat dijadikan
indikasi awal pertimbangan perkembangan fenomena iklim global untuk kepentingan
menduga AMH. Dalam teknk perhitungan statistik (Hamada et al. 2002) melakukan
analisa terjadinya AMH di Indonesia kaitannya dengan kejadian ENSO. Model
prediksi AMH dengan teknik statistik namun menggunakan data prediktor SML telah
banyak dikembangkan. BoM Australia mengidentifikasi wilayah prediktor SML
potensial sebagai prediktor sebelum diaplikasikan dengan teknik statistik (Fiona lo et
al. 2008). Demikian juga dengan India Meteorological Departemen (IMD) telah
melakukan dengan teknik yang serupa dan bahkan telah dioperasionalkan (Rajeevan
2009). Selain teknik tersebut, (Moron & Robertson. 2009) juga telah
mengembangkan suatu metoda menduga awal terjadinya mosun dengan teknik
pemanfaatan data satelit untuk wilayah India.
Pengembangan model iklim atmosfir dan laut berbasis data satelit untuk
Indonesia relatif masih baru. Keterbatasaan sumber daya manusia dan komputer
untuk kajian ini merupakan hambatan tersendiri. Untuk kebutuhan data pada wilayah
yang luas, Indonesia membutuhkan pengamatan iklim terpadu sehingga mencakup
seluruh wilayah teritorialnya. BMKG masih memanfaatkan data hujan yang ada
untuk operasional utama prediksi AMH. Model dengan teknik statistik dalam hal ini
ARIMA masih menjadi tumpuan produk informasi awal musim. Kompleksitas
masalah lingkungan dan iklim di Indonesia akhir akhir ini menambah persoalan
tentang akurasinya. Hal itu mendorong institusi ini mencari teknik dan metode yang
tepat dalam mengembangkan model prediksi iklim. Saat ini model prediksi iklim
berbasis satelit sedang dikembangkan oleh BMKG sehingga diharapkan dapat
menghasilkan produk informasi iklim yang lebih handal.
2.6 Potensi Aplikasi Prediksi AMH
Iklim merupakan komponen ekosistem sekaligus faktor alam penting yang
sangat dinamik dan sulit dikendalikan. Karena sifat iklim yang dinamis dan beragam
analisis dan interpretasi informasi iklim sehingga lebih berdaya guna dalam bidang
pertanian. Pendekatan yang paling efektif untuk memanfaatkan sumber daya iklim
adalah menyesuaikan sistem usaha tani termasuk paket teknologinya dengan kondisi
iklim setempat. Penyesuaian tersebut harus didasarkan pada pemahaman terhadap
karakteristik dan sifat iklim secara baik melalui analisis dan interpretasi informasi
iklim.
Berbagai proses fisiologi, pertumbuhan dan produksi tanaman sangat
dipengaruhi oleh unsur iklim, yaitu keadaan atmosfer dari saat ke saat selama umur
tanaman, ketersediaan air sangat ditentukan oleh curah hujan dalam periode waktu
tertentu. Demikian juga, pertumbuhan dan produksi tanaman merupakan manivestasi
akumulatif dari seluruh proses fisiologi selama fase atau periode pertumbuhan
tertentu oleh sebab itu dalam pengertian yang lebih teknis dapat dinyatakan bahwa
pertumbuhan dan produksi tanaman dipengaruhi oleh berbagai unsur iklim selama
pertumbuhan tanaman. Sehingga kondisi iklim yang tidak menentu dapat menjadi
faktor pembatas produksi pertanian.
Secara teknis dalam budidaya tanaman, hampir semua unsur iklim berpengaruh
terhadap produksi dan pengelolaan tanaman. Namun tiap unsur iklim mempunyai
pengaruh dan peran yang berbeda teradap berbagai aspek dalam budidaya tanaman.
Dalam perencanaan kegiatan operasional pertanian seperti perencanaan pola tanam,
pengairan, pemupukan, pengendalian hama terpadu dan panen membutuhkan
informasi prediksi awal musim hujan (AMH). Tingkat keakuratan prediksi AMH
sangat membantu petani mengurangi resiko gagal panen, sehingga diperlukan model
prediksi yang handal. Ini dapat dilakukan melalui pengembangan sistem analisis dan
teknik prediksi AMH yang lebih kuantitatif dengan model statistik dan dinamik.
Dengan memanfaatkan informasi iklim merupakan poin penting yang akan
memberikan jalan petani dalam mencapai target produksi serta meningkatkan derajat
3.
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Klimatologi, CCROM. Seluruh
rangkaian kegiatan penelitian dilaksanakan meliputi studi pustaka atau literatur,
pengumpulan data penelitian, pengolahan data dan perbaikan hasil penelitian.
3.2 Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data
hujan dasarian dan data Suhu Muka laut (SML). Wilayah penelitian meliputi seluruh
kabupaten di Jawa yang diwakili oleh beberapa pos pencatat data hujan didalamnya.
Dari catatan data hujan harian, selanjutnya disusun akumulasi curah hujan sepuluh
harian (dasarian) dengan periode data 1979-2008. Sebaran data hujan di Jawa terdiri
dari 188 pos hujan mulai dari Propinsi Banten hingga Pulau Madura (Gambar 5).
Tingkat kelengkapan data selama 30 tahun di tiap pos hujan bervariasi, namun pada
umumnya untuk wilayah Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah relatif lengkap.
Sedangkan wilayah Jawa Timur terdapat beberapa pos hujan mulai 2005-2008 tidak
ada data. Untuk mengatasi kekosongan data tersebut dilakukan rataan untuk data
curah hujan tahun yang ada kemudian dipakai untuk mengisi tahun yang kosong.
Berdasarkan akumulasi curah hujan dasarian maka ditentukan terjadinya Awal
Musim Hujan (AMH) dengan menggunakan kriteria yang telah di lakukkan BMKG.
Hasil yang di dapatkan yaitu informasi kejadian AMH di tiap titik selama periode 30
tahun (Lampiran 1). Tiap titik pos pengamatan berisi informasi posisi stasiun
(Lampiran 2) dan catatan curah hujan harian. Langkah selanjutnya data ini akan di
kelompokkan menurut kejadian AMH yang mirip sehingga didapatkan zona musim
(ZOM) di Jawa. ZOM merupakan gambaran satu atau beberapa wilayah kabupaten
yang mempunyai kejadian AMH serupa, namun ZOM bukan mewakili wilayah
administrasi. Dalam satu ZOM dapat terdiri dari satu atau beberapa pos pencatat
beberapa pos hujan. Nilai rataan inilah yang selanjutnya akan di pakai untuk mencari
hubungan dengan SML dan sebagai prediktan dalam menyusun model prediksi AMH
[image:34.612.71.498.35.742.2]di Jawa
Gambar 6. Sebaran Data AMH di Jawa
Data sekunder lainnya yaitu anomali Suhu Muka Laut (SML) periode Juni,
Juli, Agustus (JJA) didapat dari institusi Japan Meteorological Agency (JMA)
Panjang data
series selama 30 tahun dengan periode tahun 1978 - 2008. Batasan wilayah sebaran
data SML yang dipakai adalah 15°LU-15°LS dan 80°BT-100°BB dengan resolusi
grid sebesar 2°X 2° (Gambar 6). Tiap grid berisi informasi rataan anomali SML bulan
JJA selama 30 tahun. Selanjutnya data SML tersebut di korelasikan dengan data
AMH di tiap ZOM.
3.3 Prosedur Pengolahan Data
Bagan alir penyusunan model prediksi awal musim hujan di sajikan dalam
[image:35.612.105.518.124.705.2](Gambar 7), Metode penyusunan model dapat di jelaskan sebagai berikut :
Gambar 8. Diagram alir penyusunan model prediksi AMH
Kelompokan sta yang memiliki kemiripan AMH dengan cluster
Tentukan domain SML yang berkorelasi tinggi tiap kelompok AMH
Susun Pers. Hubungan antara PC anomali SML pada domain terpilih vs AMH tiap kelompok stasiun Daftar pengelompokan hasil cluster
Rata-rata AMH berdasarkan daftar kelompok
Analisis Korelasi Spasial Anomali SML vs AMH tiap kelompok
Gunakan model untuk memprediksi AMH tahun 2008
Verifikasi Model
PETA SKILL AMH
Evaluasi Skill Model AMH dengan ROC
Pilih/ekstrak data prediktor (Anomali SML) sesuai dengan Domain terpilih
Reduksi Data Anomali SML
Uji Kelayakan Model dengan Validasi Silang Data AMH Stasiun
wilayah Jawa Periode 1978-2008
3.4 Analisis Cluster
Analisis cluster merupakan teknik multivariat
∑∑ −
= =
=
Gg n
i g
x
x
i
W
1 1
2
yang mempunyai tujuan utama
untuk mengelompokkan beberapa objek berdasarkan karakteristik yang dimilikinya.
Analisis cluster mengklasifikasi objek sehingga setiap objek yang paling dekat
kesamaannya dengan objek lain berada dalam kelompok yang sama. Kelompok yang
terbentuk memiliki homogenitas internal yang tinggi dan heterogenitas eksternal yang
tinggi. Banyaknya cluster ditentukan dengan plot jarak antar data sebagai fungsi dari
jumlah cluster. Bila terjadi lompatan signifikan jarak antar data maka dapat di
tetapkan sebagai referensi jumlah cluster. Metode pemecahan dimulai dari satu
kelompok besar yang mengandung seluruh observasi, selanjutnya observasi yang
paling tidak sama dipisah dan dibentuk kelompok yang lebih kecil. Proses ini
dilakukan hingga tiap observasi menjadi beberapa kelompok kecil (objek). Kesamaan
antar objek merupakan ukuran korespodensi antar objek. Teknik untuk mengukur
jarak dalam metode ini yaitu metode ward’s, dengan menghitung jumlah kuadrat
antara dua kelompok untuk seluruh variabel, formulasinya adalah :
Dimana ;
W : Jarak
G : Kelompok Besar
g : Objek (kelompok kecil)
3.5 Menghitung PCA (Principal Componen Analysis)
PCA telah mulai dilakukan oleh Pearson (1901) dan kemudian dikembangkan
oleh Hotelling (1933). Aplikasi dari PCA didiskusikan oleh Rao (1964), Cooley dan
Lohnes (1971), dan Gnanadesikan (1977). Perlakuan statistik yang menakjubkan
dengan PCA ditemukan oleh Kshirsagar (1972), Morrison (1976), dan Mardia, Kent,
dengan variasi yang besar ke dalam bentuk variabel baru. Data yang dihitung dalam
PCA merupakan anomali yaitu dengan mengurangi tiap variable dengan rata-ratanya.
− = k k x x x x x x x x x 3 2 1 3 2 1 '
Variabel baru um
'
x
e
u
m=
mTmenunjukan jumlah maksimum variasi dengan sebelumnya
menghitung eigenvector. Sehingga komponen utama dapat dihitung dengan formula :
Elemen eigen vector adalah bobot aij dan biasanya disebut sebagai loading. Elemen
diagonal matrik Sy,varian-covarian matrik komponen utama atau sering disebut eigen
values. Eigen value adalah variasi yang dijelaskan oleh komponen utama. Posisi data
awal observasi pada sistim koordinat baru komponen utama disebut skor dan dihitung
sebagai kombinasi linier antara data awal (asli) dan nilai bobot aij. Sebagai contoh,
bila skor untuk rth sample pada kth
kp kp k k k k
kr a x a x a x
Y = 1 1+ 2 2 ++
komponen utama maka dapat di hitung dengan :
3.6 Analisis Korelasi
Dengan memperhatikan korelasi antara komponen satuan grid SML dan PC-1
AMH selanjutnya dapat dianalisis keeratan hubungan antara AMH dan SML di suatu
wilayah (15°S – 15°N; 80°E- 100°W). Nilai korelasi tiap grid di petakan, sehingga
dapat diketahui pola keeratan hubungan kedua variabel. Tingkat hubungan SML dan
AMH di satu grid dinyatakan dengan formulasi :
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
= = = = = = = − − − = n t n t j j i j j i n t n t t t n t n t t j i n t t t j i tY
Y
X
X
Y
X
Y
X
n n n r 1 2Dimana :
r = besarnya korelasi antara AMH dengan SST
Xt = AMH bulan ke t
Yi,j,t
3.7 Principal Componen Regression (PCR)
= Rata-rata SML pada lintang ke (i) bujur ke (j), bulan ke t
n = Banyaknya bulan
r = Nilai korelasi pada rentang -1 ≤ r ≤ 1
Analisis korelasi, di gunakan untuk menentukan keeratan hubungan antara AMH tiap
kelompok dan wilayah grid SML yang ditandai dengan nilai korelasi signifikan
(-0.5 ≥ r ≥ 0.5). Nilai korelasi signifikan dari tiap grid akan membentuk suatu pola spasial, kemudian di ambil sebagai domain prediktor untuk menyusun model prediksi
AMH di Jawa. Dalam mempetakan hubungan korelasi spasial antara SML dan AMH
di Jawa digunakan software Interactive Tool for Analysis of Climate System
(ITACS) yang di dikembangkan oleh Japan Meteorological Administration (JMA)
tahun 2008. Peta korelasi spasial ini menunjukan korelasi lokasi spesifik antara series
data kelompok AMH di Jawa dan tiap grid wilayah SML. Korelasi AMH tiap
kelompok di Jawa dengan wilayah SML Perairan India, Indonesia dan Pasifik
mengindikasikan wilayah SML potensial menjadi prediktor model AMH. Ketiga
perairan tersebut merupakan lokasi dimana kejadian fenomena iklim regional dan
global serta berasosiasi dengan kondisi iklim wilayah Jawa. Kesimpulan tersebut
menguatkan alasan teknik korelasi yang digunakan dalam penelitian ini untuk
menentukan prediktor.
Model regresi statistik dalam prosesnya adalah mengolah data histori dan
mengidentifikasi hubungan sebab akibat. Dalam menyusun model prediksi penelitian
ini, digunakan teknik analisis Principal Component Regression (PCR) dengan
variable bebassebagai prediktor adalah SML pada suatu wilayah grid dan variable tak
bebas sebagai prediktan adalah AMH di Jawa. Metoda Principal Component
terlebih dahulu mereduksi komponen data awal dengan teknik Principal Component
Analysis (PCA) dilanjutkan dengan teknik analisis regresi antara komponen utama
yang baru (PC1,PC2...PCn) terhadap respon (Prediktan). PCR secara khas digunakan
untuk model regresi linier, dimana jumlah variabel bebas (prediktor) adalah sangat
banyak. Metoda ini telah dioperasionalkan untuk prediksi musim hujan oleh India
Meteorological Departement (Rajeevan 2009). Selain itu dengan teknik PCR ini juga
diaplikasikan untuk model penentu datangnya monsun untuk wilayah Kerala India
dengan performa yang baik (Pai & Rejeevan 2009). Prediktor model PCR dalam
model AMH di Jawa, menggunakan komponen utama (PC) hasil reduksi SML pada
suatu domain terpilih. Prosedur model yang diduga dari nilai PC1,PC2,….PCn
e Z b Z
b Z b Z b b
Yˆ = 0 + 1 1+ 2 2 + 3 3+...+ n n +
,
ditunjukkan sebagai berikut :
(9)
Dimana : Y : Respon (data AMH/LMH tiap stasiun)
b0 : Nilai intersepsi
b1
3.8 Analisis Validasi Silang (Cross validation)
: Koefisien regressi
Z : Komponen utama (PC)
e : Nilai Error
Untuk menilai model regresi yang dihasilkan merupakan model yang paling sesuai
(memiliki error terkecil), ditetapkan beberapa asumsi kenormalan.
Validasi model pada dasarnya merupakan cara untuk menyimpulkan apakah
model sistem tersebut di atas merupakan perwakilan yang valid dari realitas yang
dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Validasi merupakan
proses iteratif yang berupa pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan
model. Teknik validasi silang pada dasarnya membagi data sebagai data training dan
data testing secara berurutan dan terus menerus Efron, 1982; Gong, 1983 dan
Michaelson, 1987 (Wilks 1995). Model prakiraan awal musim hujan dengan data
tersusun. Leave One Out Cross Validation (LOOCV) yaitu teknik validasi dengan
mengeluarkan satu data untuk testing dari kumpulan data training (n-1), selanjutnya
menghitung nilai Root Mean Square Error (RMSE). Hal tersebut dilakukan berurutan
dan seterusnya sehingga setiap satu data prediktan teruji sebagai data testing
(independen data) dan menghasilkan sejumlah (n) nilai RMSE, dihitung
menggunakan persamaan :
RMSE =
∑
−
=
n
j
Y
oiY
pin 1
2
)
(
1
Dimana :
Yoi = Observasi pada periode ke-i (i=1,2, ... , n)
Ypi = Hasil prakiraan pada periode ke-i (i=1,2, ... , n)
n = Panjang periode prakiraan
Semakin kecil nilai RMSE mengindikasikan model memiliki tingkat kesalahan
prediksi (error) yang kecil. Nilai RMSE rata-rata seluruh hasil testing validasi
menggunakan persamaan berikut :
RMSErata-rata RMSE j RMSE k
j − +...+ −
1 =
Dimana :
RMSErata-rata
3.9 Verifikasi
= Rata-rata RMSE validasi
RMSE ke-j = Testing ke-j dengan data training (n- data ke-j)
RMSE ke-j = Testing ke-k dengan data training (n- data ke-k)
j,k = urutan data ke-
n = Jumlah seluruh data
Langkah verifikasi yaitu dengan memasukkan prediktor ke dalam model untuk
tahun data yang tidak dilibatkan dalam training. Prediktor verifikasi model AMH
adalah hasil reduksi anomali SML bulan JJA tahun 2008 di domain terpilih. Tingkat
akurasi model dalam memprakirakan awal musim hujan Tahun 2008 ditentukan
Sehingga dengan verifikasi model merupakan perwakilan yang benar dari suatu fakta
di lapangan (observasi). Alasan penting suatu model perlu di verifikasi, adalah :
Memonitor kualitas prediksi, seberapa akurat model prediksi dan kaitanya
dengan waktu kedepan.
Meningkatkan kualitas prediksi, sebagai langkah lanjutan dalam menemukan
kesalahan hasil prediksi.
Membandingkan kualitas prediksi dari model lainnya.
3.10 Evaluasi
Karena hasil prediksi AMH mengandung elemen yang mengikut sertakan faktor
kemungkinan, maka digunakan simulasi Monte Carlo. Dasar dari simulasi Monte
Carlo adalah percobaan elemen kemungkinan dengan menggunakan sampel random
(acak). Prinsip kerja simulasi Monte Carlo yaitu membangkitkan angka acak atau
sampel dari suatu variabel yang telah diketahui distribusinya. Oleh karena itu, dengan
simulasi seolah-olah data diperoleh dari pengamatan. Simulasi ini merupakan alat
rekayasa untuk menyelesaikan berbagai persoalan ketidapastian. Simulasi tidak
memberikan hasil yang eksak namun dalam bentuk peluang kejadian suatu persoalan.
Tujuan digunakan teknik peluang pada penelitian ini adalah mengetahui
besarnya kemungkinan AMH pada kondisi kejadian maju atau mundur dari
normalnya. Untuk mengetahui skill prediksi model, uji kehandalan model prediksi
menggunakan metode Relative Operating Characteristics (ROC) yang disusun dengan
melakukan simulasi hasil prediksi berdasarkan kejadian AMH bawah normal dan atas
normal. Selanjutnya memplot nilai False Alarm Rate dan Hit Rate dari tabel
kontigensi. Formulasi umum yang digunakan dalam mencari nilai sebagai dasar
penyusunan table kontigensi adalah sebagai berikut :
misses hits
hits Rate
Hit
+ =
_
alarms false
negatives correct
alarms false
Rate Alarm False
_ _
_ _
_
+
misses hits
alarms false
hits Bias
+ +
= _
Dimana :
hit : adalah jika prediksi peristiwa terjadi dan terjadi
miss : adalah jika prediksi peristiwa tidak terjadi tetapi terjadi
false alarm : adalah jika prediksi peristiwa terjadi tetapi tidak terjadi
correct negative : adalah jika prediksi peristiwa tidak terjadi dan tidak terjadi
Analisis skill prediksi ditinjau pada kemampuan model prediksi saat AMH
maju dari normal atau prediksi saat AMH mundur dari normal. Skill prediksi model
AMH dinyatakan dalam persentase ditandai dengan garis skill pada kurva. Bila garis
skill berhimpit dengan garis non skill artinya model tak ada skill sedangkan bila garis
kurva diatas garis non skill artinya skill positif (handal). Garis kurva dibawah garis
non skill artinya skill negatif (tidak handal). Tingkat kehandalan model artinya skor
skill yang didapatkan dari luas areal di bawah garis kurva. Sebagai contoh, jumlah
blok di bawah garis kurva skill (gambar 8) sebanyak 18.5 kotak sehingga 18.5/25 =
0.74, maka skill prediksi sebesar 74 %.
Gambar 9. Kurva Skill Prediksi Hasil ROC
Dalam evaluasi model prediksi ada beberapa istilah yang sering dipakai sebagai
acuan ukuran yaitu :
• Kehandalan: adalah tingkat kesesuaian atau kemiripan rata-rata antara hasil
prediksi dengan observasi.
• Skill : adalah ketepatan relatif suatu model prediksi terhadap refrensi.
Referensi umumnya prakiraan yang tidak memiliki skill (unskill forecast)
misalnya peluang acak atau klimatologi. Jadi skill dapat dikatakan sebagai
peningkatan ketepatan (acuracy) prakiraan karena membaiknya sistem
prakiraan tersebut.
• Bias : adalah penyimpangan antara nilai rata prediksi dengan nilai rata-rata observasi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengelompokan Zona Musim (ZOM)
Pengelompokkan wilayah Jawa berdasarkan kemiripan pola Awal Musim
Hujan (AMH) dengan analisis cluster sehingga terklasifikasi setiap objek wilayah
yang paling dekat kesamaan karakter AMH dengan objek wilayah lain akan berada
dalam ZOM yang sama. (Gambar 9) menunjukkan lompatan signifikan jarak terjadi
pada saat jumlah cluster 30, sehingga pola AMH wilayah Jawa ditetapkan terbagi
[image:44.612.66.493.30.783.2]dalam 30 ZOM.
Gambar 10. Grafik jumlah cluster terhadap jarak antar data
Peta kelompok wilayah AMH Jawa yang mempunyai kemiripan karakter
datangnya musim hujan di tampilkan pada (Gambar 10). Hasil tersebut
menggambarkan bahwa untuk pengelompokan berdasarkan dengan kemiripan AMH,
pulau Jawa terbagi menjadi 30 ZOM. Daftar wilayah kabupaten tiap kelompok di
tampilkan pada (lampiran 3). Dalam tujuan yang sama, BMKG mengelompokan
ZOM wilayah Jawa berdasarkan kemiripan pola curah hujan. Pengelompokan yang
dilakukan berdasarkan kemiripan pola curah hujan menghasilkan 94 ZOM di Jawa.
pengelompokan tersebut bukanlah hal yang mendasar. Dari 94 ZOM yang dihasilkan
dari kemiripan pola curah hujan, bisa saja beberapa ZOM sudah diwakili oleh satu
ZOM yang berdasarkan dengan kemiripan datangnya AMH. Namun ternyata ada
keuntungan dengan membagi Jawa menjadi 30 ZOM, yaitu semakin sedikit ZOM
tentunya akan sedikit pula model prediksi AMH di Jawa sehingga memudahkan
dalam operasional. Dalam satu ZOM dapat terdiri dari satu atau beberapa wilayah
administrasi kabupaten, sehingga batas wilayah ZOM tidak sama dengan batas
wilayah administrasi pemerintahan kabupaten. Namun untuk memudahkan dalam
analisis, wilayah kabupaten digunakan sebagai acuan wilayah pembahasan terkait
Prediksi AMH di Jawa.
Gambar 11. Peta Zona Musim Pulau Jawa Berdasarkan Kemiripan AMH
4.2 Normal AMH di Jawa
Variabel AMH periode 1978-2008 di Jawa yang terbagi menjadi 30 ZOM,
selanjutnya dirata-rata untuk mengetahui normal AMH. Hasil rataan variabel tiap
ZOM menggambarkan karakteristik kejadian normal AMH untuk beberapa wilayah
didalam satu ZOM. Dengan demikian model prediksi yang akan disusun bukan
mewakili titik pos pengamatan melainkan wilayah yang terdiri dari beberapa pos
dengan kemiripan karakteristik AMH.
Gambar 12. Peta Normal AMH di Jawa
Biasanya AMH di Jawa di tandai dengan kejadian monsun Asia, hal itu
menyebabkan sirkulasi angin bergerak dari arah Barat-Barat Laut (Baratan). Sejalan
dengan itu, kejadian AMH di Jawa umumnya terjadi lebih dahulu di wilayah Jawa
bagian Barat selanjutnya merambat ke wilayah Jawa bagian Timur. (Gambar 11)
menunjukkan peta normal AMH di Jawa, secara umum kejadian AMH dimulai dari
Banten yaitu Nopember I sampai November II dengan deviasi standar 19 hari.
Selanjutnya Jawa Barat mulai dari Nopember II hingga Nopember III dengan deviasi
standar 24 hari kecuali wilayah Bandung dan Sukabumi yang masuk pada Oktober
III. Dibandingkan wilayah lainnya di Jawa Barat, kedua wilayah tersebut tampak
memiliki normal AMH lebih maju. Hal itu bisa saja terjadi karena faktor topografi
sehingga akumulasi hujan orografi lebih sering terjadi saat masa peralihan (transisi)
monsun. Untuk Jawa Tengah, AMH normal terjadi pada Nopember II hingga
Desember I dengan deviasi standar 15 hari kecuali wilayah pantura yang masuk pada
III dengan deviasi standar 14 hari. Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan
bahwa pengaruh utama AMH di Jawa adalah sirkulasi monsun, indikasinya adalah
pola normal AMH sejalan dengan pola sirkulasi monsun. Nilai AMH tiap ZOM
selanjutnya dikorelasikan dengan SML untuk mencari pola hubungan dengan kondisi
SML global. Dalam penyusunan model prediksi, nilai normal AMH tiap ZOM
dijadikan variabel tak bebas (prediktan).
4.3 Korelasi AMH dengan Anomali SML
Hasil korelasi (r) antara anomali SML rataan bulan Juni,Juli, Agustus (JJA)
dengan Awal Musim Hujan (AMH) periode 1978-2007 di 30 ZOM di Jawa
menghasilkan tiga pola utama.
Gambar 13. Peta Korelasi ZOM vs Anomali SML Pola-1
Pola-1 menunjukkan korelasi signifikan (r ≥ 0.5) terkonsentrasi pada wilayah perairan Barat Sumatera dan Pasifik di dihasilkan oleh 4 ZOM yaitu: ZOM 1, ZOM
10, ZOM 16, ZOM 21. Penentuan pola-1 didasarkan pada kemiripan peta spasial nilai
korelasi signifikan di tiap ZOM. Selanjutnya diambil batasan wilayah korelasi
signifikan tiap ZOM itu untuk digabungkan kedalam satu peta. Hasil penggabungan
adalah kumpulan lokasi SML yang berkorelasi signifikan beberapa ZOM. Kemudian
ditentukan batas maksimum dari pola spasial tersebut untuk ditetapkan sebagai
domain prediktor (Gambar 12). Pola-1 menjelaskan hubungan korelasi positif antara
AMH di 4 ZOM wilayah Jawa dengan perairan yang mempunyai karakteristik IOD
(perairan Barat Sumatera) dan ENSO (perairan Pasifik). Apabila terjadi anomali SML
mengalami mundur dari normalnya. Uraian diatas menjelaskan, perairan Barat
Sumatera dan Pasifik mempunyai kontribusi signifikan terhadap kejadian AMH di 4
ZOM pulau Jawa.
Gambar 14 Peta Korelasi ZOM vs Anomali SML Pola-2
Pola kedua menunjukkan korelasi signifikan terkonsentrasi pada wilayah
perairan Pasifik dan wilayah Perairan Indonesia (-0.5 ≤ R ≥ +0.5) dihasilkan oleh 18 ZOM, yaitu: ZOM 2, ZOM 3, ZOM 4, ZOM 5, ZOM 6, ZOM 7, ZOM 9, ZOM 11,
ZOM 17, ZOM 18, ZOM 19, ZOM 20, ZOM 22, ZOM 23, ZOM 24, ZOM 26, ZOM
27, ZOM 29. Selanjutnya di lakukan langkah yang sama dengan pola-1 untuk
menentukan batasan domain prediktor pola-2 berdasarkan gabungan lokasi peta
korelasi spasial tiap ZOM pola-2. Pola tersebut menjelaskan hubungan korelasi
positif antara AMH di 18 kelompok wilayah Jawa dengan perairan yang mempunyai
karakteristik ENSO (perairan Pasifik). Selain itu korelasi negatif dijelaskan oleh
AMH di 18 ZOM yang sama dengan perairan yang mencirikan karakteristik iklim
laut lokal. Apabila terjadi anomali SML positif pada perairan Pasifik maka 18 ZOM
di Jawa akan mengalami AMH mundur dari normalnya. Sebaliknya, bila anomali
SML perairan Indonesia terjadi anomali positif maka 18 ZOM di Jawa akan
mengalami AMH maju dari normalnya. Berdasarkan penjelasan diatas, maka perairan
Pasifik dan Laut Indonesia mempunyai kontribusi signifikan terhadap kejadian AMH
di 18 ZOM di Jawa. Pengaruh yang di berikan oleh dua fenomena iklim laut tersebut
tidak terjadi secara parsial tapi secara bersamaan sehingga tidak mudah menentukan
Gambar 15 Peta Korelasi ZOM vs Anomali SML Pola-3
Pola ketiga menunjukkan korelasi signifikan terkonsentrasi pada perairan
wilayah Indonesia (R ≥ -0.5) dihasilkan oleh ZOM 12, ZOM 14, ZOM 15, ZOM 25, ZOM 28, ZOM 30. Dengan teknik yang sama dengan pola sebelumnya ditentukan
batasan domain prediktor pola-3 berdasarkan gabungan lokasi peta korelasi spasial
tiap ZOM pola-3 (Gambar 14). Pola tersebut menjelaskan hubungan korelasi negatif
antara AMH di 6 kelompok wilayah