KOMBINASI PELAPIS GELATIN IKAN DAN PENYIMPANAN
DINGIN UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU BUAH
MELON (Cucumis melo L.) TEROLAH MINIMAL
DHANNY APRIYATNA
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kombinasi Pelapis Gelatin Ikan dan Penyimpanan Dingin untuk Mempertahankan Mutu Buah Melon (Cucumis melo L.) Terolah Minimal” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Dhanny Apriyatna
ABSTRAK
DHANNY APRIYATNA. Kombinasi Pelapis Gelatin Ikan dan Penyimpanan Dingin untuk Mempertahankan Mutu Buah Melon (Cucumis melo L.) Terolah Minimal. Dibimbing oleh EMMY DARMAWATI.
Buah dengan pengolahan minimal kemungkinan besar akan cepat rusak, oleh karena itu perlu upaya perlakuan untuk mempertahankan kesegaran buah terolah minimal. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan kombinasi dari konsentrasi pelapisan menggunakan gelatin ikan dan metode penyimpanan dingin yang digunakan untuk mempertahankan mutu buah melon terolah minimal. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial terbagi dengan 3 taraf konsentrasi bahan pelapis (tanpa pelapis, 4%, 6%) dan 2 taraf suhu penyimpanan
(5 ̊C, 13 ̊C). Uji anova digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh tiap perlakuan. Parameter yang diukur selama penelitian meliputi laju respirasi, susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut (TPT), uji warna, dan uji organoleptik. Hasil kombinasi terbaik antara konsentrasi coating gelatin ikan dan suhu penyimpanan untuk mempertahankan kesegaran buah melon terolah minimal yaitu konsentrasi 4% dengan suhu penyimpanan 5 ̊C hingga penyimpanan hari ke-7 dan konsentrasi 4% dengan suhu penyimpanan 13 ̊C hingga penyimpanan hari ke-5.
Kata kunci: buah melon, buah terolah minimal,gelatin ikan, penyimpanan dingin, pelapis.
ABSTRACT
DHANNY APRIYATNA. Combination of Fish Gelatins Coating and Cold Storage Method to Maintain the Quality of Minimally Process Melon (Cucumis melo L.). Supervised by EMMY DARMAWATI.
Fruit with minimally process is likely to be damaged, because it needs effort to maintan the quality of minimally processed fruit. The purpose of this research is to determine the combination between concentration of the coating using fish gelatin and cold storage method to maintain the quality of minimally processed melon. Experiments using factorial design with 3 levels of coating concentration (without coating, 4%, 6%) and 2 levels of storage temperature (5 ̊C, 13 ̊C). ANOVA test was used to know how the effect of the treatments. The parameters measured during the study include respiration rate, weight loss, hardness, total soluble solids (TSS), colour test, and organoleptic tests. The best resuts for combinations between concentration of fish gelatin and temperature storage to maintain the quality of minimally process melon were concentration of 4% with storage temperature of 5 ̊C until 7th day of storage and concentration of 4% with storage temperature of 13 ̊C
until 5th day of storage.
DHANNY APRIYATNA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2014
KOMBINASI PELAPIS GELATIN IKAN DAN PENYIMPANAN
DINGIN UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU BUAH
Judul : Kombinasi Pelapis Gelatin Ikan dan Penyimpanan Dingin untuk Mempertahankan Mutu Buah Melon (Cucumis melo L.) Terolah Minimal
Nama : Dhanny Apriyatna NIM : F14100078
Disetujui oleh
Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Desrial, M.Eng Ketua Departemen
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Kombinasi Pelapis Gelatin Ikan dan Penyimpanan Dingin untuk Mempertahankan Mutu Buah Melon (Cucumis melo L.) Terolah Minimal” dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2014 hingga Juni 2014.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ayahanda Sahrudin, Ibunda Uswatun Khasanah, Nenek Hj. Maskupah, dan Adikku Angga Azisyahputra serta semua keluarga besar atas do’a, kasih sayang, dukungan dan semangat untuk penulis selama pembuatan karya ilmiah ini.
2. Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sampai menyelesaikan skripsi ini.
3. Dosen penguji skripsi, Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc dan Dr. M. Yulianto, S.T, M.T atas kritik dan saran yang sangat bermanfaat.
4. Bapak Nurul Haq selaku peneliti di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta atas ilmunya di dunia perikanan.
5. Seluruh staf pengajar Teknik Mesin dan Biosistem Institut Pertanian Bogor atas semua pengetahuan yang telah diberikan.
6. Bapak Sulyaden, Mas Abas di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian yang membantu penulis saat melakukan penelitian. 7. Teman – teman panelis dan volunteer Aji, Fiqi, Rizky R., Erlin, Aulia,
Rosma, Fika, Putri, Dita, Oldga, Pepi, Rizki A., Candra, Asep, Asiyah, dan Dhika atas segala jasa dan kontribusinya pada penelitian ini.
8. Teman bimbingan Buddy, Vera, Indi, dan Dinar terima kasih atas bantuan selama penelitian berlangsung.
9. Teman-teman di Departemen Teknik Mesin dan Biosistem angkatan 47, terima kasih atas kebersamaannya, bantuan dan semangatnya bagi penulis. 10.Terima kasih kepada seluruh pihak yang pernah memberikan bantuan dan
dukungan kepada penulis.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Buah Melon (Cucumis Melo L.) 3
Buah Terolah Minimal 4
Gelatin Ikan 5
Edible Coating (Pelapis) 5
Penyimpanan Dingin 6
METODOLOGI 6
Waktu dan Tempat Penelitian 6
Bahan dan Alat 7
Prosedur Penelitian 7
Analisis Data 10
Rancangan Percobaan 14
HASIL DAN PEMBAHASAN 15
Pengaruh Konsentrasi Gelatin dan Penyimpanan Dingin terhadap
Laju Respirasi 15
Pengaruh Konsentrasi Gelatin dan Penyimpanan Dingin terhadap
Mutu Buah Melon Terolah Minimal 19
Pemilihan Perlakuan Terbaik 32
SIMPULAN DAN SARAN 33
Simpulan 33
Saran 33
DAFTAR PUSTAKA 34
DAFTAR TABEL
1 Kandungan gizi melon per 100 gram berat yang dapat dimakan. 3
2 Rancangan percobaan penelitian. 14
DAFTAR GAMBAR
1 Buah melon hijau (Cucumis melo L.) varietas Action 3
2 Gelatin Ikan. 5
3 Potongan buah melon. 9
4 Larutan pelapis dengan konsentrasi 6% dan 4%. 8
5 Bagan alir SOP proses pelapisan. 8
6 Diagram alir penelitian. 9
7 Proses pengemasan dan penyimpanan. 10
8 Pengukuran laju respirasi buah melon terolah minimal.
menggunakan cosmostector. 11
9 Pengukuran susut bobot menggunakan timbangan Mettler PM-
4800. 11
10 Pengukuran kekerasan daging buah menggunakan rheometer
model CR-300. 12
11 Pengukuran TPT menggunakan refractometer Atago tipe
PR-210. 12
17 Keadaan buah melon terolah minimal dalam berbagai
konsentrasi di hari ke-7 penyimpanan suhu 5 ̊C. 18 18 Keadaan buah melon terolah minimal dalam berbagai
konsentrasi di hari ke-7 penyimpanan suhu 13 ̊C. 18 19 Grafik perubahan susut bobot buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 5 ̊C. 19
20 Grafik perubahan susut bobot buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 13 ̊C. 20
21 Grafik perubahan kekerasan buah melon terolah minimal selama
penyimpanan pada suhu 5 ̊C. 21
22 Grafik perubahan kekerasan buah melon terolah minimal selama
penyimpanan pada suhu 13 ̊C. 22
23 Grafik perubahan TPT buah melon terolah minimal selama
24 Grafik perubahan TPT buah melon terolah minimal selama
penyimpanan pada suhu 13 ̊C. 24
25 Grafik perubahan kecerahan (L) buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 5 ̊C. 25
26 Grafik perubahan kecerahan (L) buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 13 ̊C. 25
27 Grafik perubahan kehijauan (a) buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 5 ̊C. 27
28 Grafik perubahan kehijauan (a) buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 13 ̊C. 27
29 Grafik perubahan kekuningan (b) buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 5 ̊C. 28
30 Grafik perubahan kekuningan (b) buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 13 ̊C. 28
31 Grafik nilai organoleptik visual buah melon terolah minimal. 29 32 Grafik nilai organoleptik aroma buah melon terolah minimal. 30 33 Grafik nilai organoleptik kekerasan buah melon terolah
minimal. 31
34 Grafik nilai organoleptik rasa buah melon terolah minimal. 32
DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis sidik ragam laju konsumsi O2buah melon terolah
minimal. 37
2 Analisis sidik ragam laju produksi CO2 buah melon terolah
minimal. 37
3 Analisis sidik ragam susut bobotbuah melon terolah minimal. 38 4 Analisis sidik ragam kekerasanbuah melon terolah minimal. 38 5 Analisis sidik ragam TPTbuah melon terolah minimal. 38 6 Analisis sidik ragam warna L (kecerahan) buah melon terolah berbagai konsentrasi dan suhu penyimpanan berdasarkan diagram
Hunter. 41
10 Perubahan warna daging buah melon terolah minimal pada
berbagai perlakuan selama penyimpanan. 42
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manfaat gizi dan nutrisi yang tinggi membuat buah dan sayuran menjadi alternatif makanan yang dapat langsung dikonsumsi tanpa proses pemasakan terlebih dahulu. Buah melon merupakan buah yang cukup digemari oleh konsumen, selain memiliki rasa yang manis buah ini memiliki warna daging buah yang menarik, dan aroma buah yang khas. Melon diproduksi di Indonesia dan harga jual yang tinggi yaitu sekitar Rp 10.000/kg di tingkat konsumen. Karena rasa manis dan aroma yang khas, maka buah melonsangat digemari oleh para konsumen.
Namun dewasa ini, cara memakan buah bukan hanya kebutuhan melainkan menjadi bagian dari gaya hidup seseorang. Kesibukan menyebabkan waktu yang tersedia semakin sempit dan terbatas. Maka dari itu pilihan masyarakat beralih terhadap buah-buahan segar yang praktis dan cepat tersaji.
Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan buah-buahan siap saji adalah dengan menghilangkan bagian-bagian yang tidak dapat dimakan dan memperkecil ukuran melalui buah segar terolah minimal. Untuk kalangan masyarakat yang sangat mementingkan kualitas dan mutu, pengolahan minimal merupakan cara yang tepat karena masyarakat dapat melihat langsung bentuk serta kondisi di dalam buah serta penampakan warnanya. Dalam hal ini konsumen menginginkan potongan buah tersedia dalam kondisi segar dan menarik pada saat disajikan dengan tingkat kematangan yang seragam dan siap konsumsi.
Buah dengan pengolahan minimal kemungkinan besar akan cepat rusak, karena buah telah mengalami luka akibat goresan dari proses pemotongan. Laju respirasi semakin tinggi bila buah mengalami proses pemotongan. Pada buah utuh, buah masih ditutupi kulit yang berfungsi sebagai penghalang terhadap serangan serangga dan patogen dan mencegah kehilangan air. Jika epidermis atau periderm rusak atau dibuang cairan yang kaya akan nutrisi akan keluar dari intraselluler sel yang dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba (Brecht 1995).
Untuk memperpanjang umur simpan buah terolah minimal diperlukan penanganan pasca proses yang tepat dan optimum. Beberapa cara yang diharapkan dapat menekan laju penurunan mutu buah terolah minimal ialah dengan pelapisan yang berasal dari senyawa hidrokoloid maupun lemak, seperti pada penelitian Setiasih (1999) pada produk salak pondoh dan mangga arumanis terolah minimal, penelitian Dwi et al. (2005) pada produk melon. Fisla (2010) dengan menambahkan metode atmosfer termodifikasi untuk produk melon dan penelitian Purba (2011) untuk produk sawo.
Pelapisan buah terolah minimal dengan pelapis merupakan salah satu cara pengaplikasian yang dapat dipergunakan untuk memperpanjang umur simpan, karena pelapis bersifat sebagai penahan difusi O2 dan CO2 serta uap air yang
2
bahan, mudah kering dan tidak lengket, tidak mudah pecah, mengkilap dan licin, tidak bersifat racun, dan mudah diperoleh.
Gelatin merupakan salah satu bahan yang paling banyak digunakan dalam farmasi dan industri makanan salah satunya sebagai pelapis. Kulit dan tulang mamalia biasa digunakan sebagai bahan baku industri gelatin. Namun, gelatin yang berada dipasaran umumnya berasal dari babi dan sapi (Anonim 2013). Umat Islam dilarang menggunakan bahan dari babi dan umat Hindu dilarang menggunakan bahan dari sapi (Kasankala et al. 2007).
Para ilmuwan telah menemukan bahwa kulit, tulang, sirip dan tulang rawan ikan air tawar dan ikan laut dapat digunakan sebagai sumber gelatin baru. Montero dan Gomez-Gullen (2009) mengusulkan pemakaian bahan baku dari limbah pengolahan ikan untuk memenuhi beberapa kekhawatiran konsumen terhadap permasalahan kelayakan medis, sosial dan agama dari gelatin mamalia.
Selain metode pelapis, penyimpanan dingin juga efektif untuk mengawetkan buah yang terolah minimal karena suhu yang rendah dapat menurunkan reaksi dan kegiatan metabolik lainnya seperti proses penuaan, kehilangan air dan pelayuan, kerusakan karena aktivitas mikroba, serta proses yang tidak dikehendaki lainnya (Pantastico 1989).
Perumusan Masalah
Jumlah limbah ikan di Indonesia sangat tinggi tetapi masih jarang dimanfaatkan lebih lanjut, salah satunya dengan pemanfaatan gelatin ikan. Gelatin ikan merupakan salah satu sumber protein yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan edible coating (pelapis). Pelapis dari golongan hidrokoloid memiliki sifat hidrofilik. Plasticizer merupakan bahan tambahan yang sering ditambahkan ke dalam pembuatan pelapis untuk memperbaiki sifatnya. Jenis plasticizer yang digunakan adalah gliserol.
Proses pengolahan minimal memerlukan sebuah penanganan yang tepat untuk mengatasi kerusakan fisik maupun biologis. Pelapisan untuk menghambat laju respirasi dan metode penyimpanan dingin telah banyak dilakukan untuk mempertahankan umur simpan dari irisan buah. Penggunaan gelatin dari bahan kulit ikan diharapkan mampu mempertahankan mutu buah melon terolah minimal, memberikan tambahan gizi, serta memperluas penggunaan gelatin halal yang berasal dari ikan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji penggunaan pelapis gelatin ikan pada buah melon terolah minimal dan metode penyimpanan dingin yang dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu buah. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengkaji pengaruh konsentrasi gelatin ikan dan suhu penyimpanan terhadap perubahan mutu buah melon terolah minimal.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Buah Melon hijau (Cucumis melo L.) varietas Action
Buah Melon (Cucumis melo L.) termasuk dalam suku labu-labuan atau
Cucurbitaceae. Varietas Action berproduksi dalam jumlah besar sehingga banyak dibudidayakan di daerah Jawa Timur dan disekitarnya. Tanaman varietas ini memiliki batang yang kokoh, bentuk buah yang bulat dengan kulit buah bertekstur kasar berjaring dengan warna hijau cerah hingga kuning muda, sedangkan daging buah berwarna putih hingga hijau muda, tekstur lembut, dan tebal. Varietas ini dapat dipanen pada umur 65 – 75 hari setelah tanam dengan bobot rata – rata antara 2 hingga 3 kg (Nuryanto, 2007)
Gambar 1 Buah melon (Cucumis melo L.) varietas action
Secara lengkap kandungan buah melon untuk 100 gram bahan yang dapat dimakan ditunjukkan pada Tabel 1. Melon yang tumbuh di Indonesia memiliki banyak varietas yang dibedakan antara lain dari rasa, aroma, ukuran, bentuk dan warna.
Tabel 1 Kandungan gizi melon per 100 gram berat yang dapat dimakan Kandungan gizi Nilai satuan
Kalori (energi) 23 kalori
Protein 0.5 gram
Lemak 0.1 gram
Karbohidrat 5.1 gram
Kalsium 15 miligram
Fosfor 25 miligram
Besi 0.5 miligram
Vitamin A 640 SI
Vitamin B1 0.03 miligram Vitamin B2 0.02 miligram
Vitamin C 34 miligram
Niasin 0.8 gram
Serat 0.3 gram
Air 93.5 gram
4
Buah melon merupakan buah nonklimaterik dimana proses pemasakannya harus masih berada pada tanaman. Buah melon harus dipanen setelah benar-benar matang karena buah ini tidak akan matang bila diperam. Pada melon berdaging putih, panen dilakukan pada umur 65 - 75 hari setelah tanam. Melon yang sudah matang ditandai dengan jaring di kulit buah telah terbentuk sempurna, tebal, dan rata; ada retakan di pangkal tangkai buah; warna kulit buah berubah, misalnya dari hijau tua menjadi kekuningan; kulit buah terasa halus atau tidak berbulu; muncul aroma yang khas; serta tungkai buah berwarna kekuningan.
Jika dilakukan pemotongan secara melintang buah melon terdiri dari kulit buah, daging buah dan biji. Kulit buah melon tidak terlalu tebal (1-2 mm), tetapi keras dan liat. Daging buah berwarna hijau muda, dengan tingkat kemanisan daging buah melon berkisar antara 8-15 %Brix (Prajnanta 1999).
Buah Terolah Minimal
Pengolahan minimal atau sering disebut irisan buah segar merupakan penanganan pada produk hortikultura dengan membuang bagian yang tidak dapat dikonsumsi sehingga menjadi produk yang siap dikonsumsi atau diolah lebih lanjut. Produk terolah minimal memiliki resiko penurunan mutu lebih besar dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan komoditi yang tidak diolah. Hal ini dikarenakan pelindung alami yaitu kulit buah pada produk irisan buah segar dibuang saat pengupasan. Pembusukan ditandai dengan perubahan warna, rasa, tekstur dan kandungan nutrisi. Kegiatan pada pengolahan minimal meliputi pembersihan, pengupasan, pencucian, pemotongan, dan pengirisan (Cantwell 2002). Diterangkan juga bahwa semakin banyak kegiatan maka semakin besar resiko pembusukan.
Penelitian pengolahan minimal buah-buahan sudah banyak dilakukan diantaranya penelitian tentang pengolahan minimal mangga arumanis (Ratule et al. 1999), melon (Dwi et al. 2005), Sawo (Purba 2011), Apel (Effendi 2013).
5 Gelatin Ikan
Gelatin merupakan salah satu produk turunan protein yang diperoleh dari hasil hidrolisis kolagen hewan yang terkandung dalam tulang dan kulit, dan merupakan senyawa yang tidak pernah terjadi secara alamiah. Gelatin mempunyai
titik leleh 35˚C, di bawah suhu tubuh manusia. Titik leleh inilah yang membuat produk gelatin mempunyai karakteristik yang unik bila dibandingkan dengan bahan pembentuk gel lainnya seperti pati, alginat, pektin, agar-agar dan karaginan yang merupakan senyawa karbohidrat (Gomez-Guillen et al. 2001). Secara fisik dan kimia, gelatin berwarna kuning cerah atau transparan, berbentuk lembaran atau tepung, larut dalam air panas, gliserol dan asam sitrat serta pelarut organik lainnya. Gelatin dapat mengembang dan menyerap air 5-10 kali bobot asalnya. Contoh gelatin ikan dapat diihat di Gambar 2.
Gambar 2 Gelatin Ikan
Pemanfaatan gelatin sangat luas, salah satunya adalah pada makanan, tapi terdapat beberapa kendala seperti kekhawatiran konsumen terhadap permasalahan kelayakan medis, sosial dan agama dari gelatin mamalia. Oleh sebab itu, alternatif untuk mengatasi kendala tersebut adalah gelatin yang berasal dari ikan.
Saat ini penggunaan gelatin sudah semakin meluas, baik untuk produk pangan maupun non pangan. Untuk pangan gelatin dimanfaatkan sebagai bahan penstabil (stabilizer), pembentuk gel (gelling agent), pengikat (binder), pengental (thickener), pengemulsi (emulsifier), perekat (adhesive), dan pembungkus atau pelapis makanan yang bersifat dapat dimakan (edible coating).
Edible Coating (Pelapis)
Pelapis didefinisikan sebagai lapisan tipis dari bahan yang dapat dimakan yang digunakan pada produk dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan, dan penyemprotan agar terjadi tahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap air dan memberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanik. Selain itu fungsi lainnya adalah membantu mempertahankan integritas struktural dan mencegah hilangnya senyawa-senyawa volatil penyebab aroma khas pada bahan pangan tertentu (Setiasih et al. 1998)
6
selulosa, alginat, pektin, pati, dan polisakarida. Lipid yang biasanya digunakan untuk pelapis ialah lilin, asilgliserol dan asam lemak.
Pelapis dapat dibuat dari hidrokoloid yaitu lemak, protein, turunan selulosa, pati, dan polisakarida. Pelapis golongan hidrokoloid yang bersifat hidrofilik berpengaruh terhadap sifat fisiologis buah dan memperpanjang umur simpan. Namun penggunaannya sering dibatasi oleh sifat barrier terhadap uap air yang rendah (Wong et al. 1994).
Pencampuran bahan yang bersifat hidrofilik (senyawa hidrokoloid) dengan bahan yang bersifat hidrofobik (lemak) dapat memperbaiki sifat pelapis yang dihasilkan. Komponen lipid dalam formulasi membentuk barrier yang baik terhadap uap air. Sementara komponen hidrokoloid berfungsi sebagai matrik pembentuk body yang bersifat selektif terhadap gas O2 dan CO2. (Baldwin et al.
1995).
Penyimpanan Dingin
Buah memiliki masa simpan yang relatif rendah sehingga buah dikenal sebagai bahan pangan yang cepat rusak dan hal ini sangat berpengaruh terhadap kualitas masa simpan buah. Mutu simpan buah sangat erat kaitannya dengan proses respirasi dan transpirasi selama penanganan dan penyimpanan. Penyebab susut pasca panen seperti susut fisik yang diukur dengan berat, susut kualitas karena perubahan wujud (kenampakan), cita rasa, warna atau tekstur yang menyebabkan bahan pangan kurang disukai konsumen, dan susut nilai gizi yang berpengaruh terhadap kualitas buah. Mutu simpan buah akan lebih bertahan lama jika laju respirasi rendah dan transpirasi dapat dicegah dengan meningkatkan kelembaban relatif dan menurunkan suhu udara. Pada umumnya komoditas yang mempunyai umur simpan pendek mempunyai laju respirasi tinggi atau peka terhadap suhu rendah.
Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat penurunan mutu buah-buahan dengan cara pengaturan kelembaban dan kondisi udara. Kegunaan pendinginan secara umum adalah untuk pengawetan, penyimpanan dan distribusi bahan pangan yang rentan rusak. Pendinginan maupun pembekuan tidak dapat meningkatkan mutu bahan pangan, hasil terbaik yang dapat diharapkan hanyalah mempetahankan mutu tersebut pada kondisi terdekat saat akan memulai proses pendinginan (Purwanto 2007).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Institut Pertanian Bogor, Dramaga Bogor, pada bulan Februari
7 Bahan dan Alat
Buah melon yang dipergunakan dalam penelitian adalah melon lokal varietas Action yang berasal dari Banyuwangi dengan berat 1.5 - 2 kg/buah sebanyak 36 buah, umur panen 60-70 HST (Hari Sesudah Tanam), tidak rusak dan cacat, jaring kulit sudah sempurna. Bahan-bahan lainnya adalah gelatin ikan yang berasal dari kulit ikan kakap dari Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta, asam askorbat, asam sitrat, gliserol, dan aquades. Alat yang dipergunakan antara lain Cosmotector untuk uji respirasi, Chromameter merk Minolta tipe CR-310 untuk uji warna, Rheometer merk Sun tipe CR-300 untuk uji kekerasan buah, Refraktometer merk Atago tipe PR-210 untuk uji total padatan terlarut, timbangan digital merk Mettler PM-4800, pisau, stopwatch, wadah styrofoam, strech film (SF), sarung tangan, gelas ukur, lemari pendingin dengan suhu 5˚C dan 13˚C.
Prosedur Penelitian
Persiapan potongan buah melon
Buah melon dipilih dengan kematangan yang seragam. Buah melon tersebut dilakukan pengolahan minimal meliputi kegiatan sortasi, pencucian, pengupasan, pemotongan. Pemotongan buah melon dilakukan dengan cara membelah melon utuh menjadi delapan bagian sama rata. Setelah terbagi menjadi delapan bagian selanjutnya buah dipotong dengan rata – rata dimensi 4 cm x 2 cm x 4 cm seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 Potongan buah melon Pembuatan pelapisdan antioksidan
8
Gambar 4 Larutan pelapis dengan konsentrasi 6% dan 4%
Konsentrasi pelapis yang digunakan mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Rudito (2005) yang menggunakan pelapis dari bahan gelatin sapi. Gelatin ikan mempunyai viskositas lebih tinggi dibanding gelatin sapi (Gomez-Guillen et al. 2001), dengan asumsi tersebut maka digunakan pelapis gelatin ikan dengan konsentrasi yang lebih kecil dibanding pelapis gelatin sapi.
Pelapisan Buah Melon Terolah Minimal
Buah melon yang telah dilakukan pengolahan minimal kemudian dicelupkan dengan larutan pelapis menurut (Zulfebriadi 1998). Prosesnya ditunjukkan oleh Gambar 5 dan Gambar 6. sebagai berikut:
Buah melon utuh
Sortasi dan pembersihan awal
Pengupasan dan pemotongan berbentuk dadu dengan tebal 5 cm
Pencelupan potongan melon ke dalam larutan antioksidan yaitu campuran asam sitrat dan asam askorbat masing-masing 150 ppm selama 15 detik
Penirisan selama 1 menit
Pencelupan potongan melon ke dalam larutan pelapis selama 15 detik
Penirisan selama 1 menit
Buah melon dikeringkan pada tray berlubang
9
Gambar 6 Diagram alir penelitian Buah Melon
Pengolahan Minimal
Kontrol tanpa pelapis
Pencelupan buah terolah minimal pada :
a. Pelapis dengan konsentrasi 4% b. Pelapis dengan konsentrasi 6%
Penirisan
Pengemasan
Penyimpanan pada suhu 5ºC dan 13ºC
Pengukuran dan pengamatan: a. Laju respirasi
b. Susut bobot c. Kekerasan
d. Total Padatan Terlarut (TPT) e. Uji Warna
f. Uji Organoleptik
10
Proses Pengemasan dan Penyimpanan
Pada tahap pengemasan buah melon terolah minimal, digunakan tray styrofoam dengan ukuran 200 mm x 100 mm x 20 mm dan ditutup dengan stretch film. Setiap tray diisi sampel sebanyak ± 160 gr seperti yang terlihat pada Gambar 7. Semua sampel disimpan pada 2 refrigerator berbeda dengan suhu 5 ̊C dan 13 ̊C dimulai dari hari ke-0 hingga sampel mengalami kerusakan. Suhu penyimpanan
yang digunakan mengacu pada penelitian Hasbullah (2005) sedangkan suhu 13 ̊C mengacu pada suhu rata-rata penyimpanan di lemari es supermarket.
(a) Proses Pengemasan (b) Penyimpanan Gambar 7 (a), (b) : Proses pengemasan dan Penyimpanan
Analisis Data
Laju Respirasi
Sampel potongan buah melon sebanyak ± 500 gram dimasukkan ke dalam stoples gelas dengan volume sebesar 3310 ml. Stoples gelas ditutup dengan penutup plastik tebal yang telah dilengkapi dengan dua buah pipa plastik fleksibel sebagai saluran pengeluaran dan pemasukan udara atau gas. Jarak antara stoples gelas dengan penutupnya ditutup dengan lilin untuk mencegah udara keluar atau masuk stoples gelas. Selanjutnya pipa plastik ditutup dengan menggunakan klem dan stoples gelas berisi bahan disimpan pada suhu perlakuan, seperti pada Gambar 8.
Laju respirasi dihitung berdasarkan laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2.
Laju respirasi dihitung dengan persamaan:.
R =
∆∆.
R =
−−
.
−���
Dimana:
R = laju respirasi (ml/kg.jam), V = volume bebas wadah (ml), W = bobot bahan (kg),
dx/dt = laju perubahan konsentrasi CO2 atau O2 terhadap waktu (%/jam),
11 Pengukuran konsentrasi gas di dalam stoples gelas dilakukan secara tertutup dengan dua kali ulangan menggunakan continuous gas analyzer tipe IRA-107 dan
portable oxygen testertipe POT-101. Pengukuran dilakukan setiap hari dengan selang waktu penutupan stoples hingga pengukuran selama 3 jam, kemudian selang waktu perilisan buah dalam stoples selama 24 jam.
Gambar 8 Pengukuran laju respirasi buah melon terolah minimal menggunakan
Cosmostector
Susut Bobot
Pengukuran susut bobot dilakukan menggunakan timbangan digital Mettler tipe PM-4800 dengan ketelitian 2 angka dibelakang koma seperti pada Gambar 9. Pengukuran dilakukan sebelum buah potong disimpan (bo) dan setiap kali akhir pengamatan (bt) setiap hari. Selanjutnya susut bobot didapatkan dengan membandingkan pengurangan bobot awal pengamatan dan dinyatakan dalam persen (%). Setiap pengukuran dilakukan sebanyak dua kali ulangan per satu sampel uji. Rumus lengkap susut bobot adalah sebagai berikut :
Susut Bobot =��−�
�� � %
Keterangan
bo = bobot awal pengamatan (g) bt = bobot akhir pengamatan (g)
12
Uji Kekerasan
Pengukuran kekerasan dilakukan dengan menggunakan rheometer merk Sun tipe CR-300. Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan buah terhadap jarum penusuk rheometer. Pengukuran diset dengan mode 20, beban maksimum 2 kg, kedalaman penekanan 10 mm, kecepatan penurunan beban 30 mm/menit dan diameter jarum 5 mm. Setiap pengukuran dilakukan sebanyak dua kali ulangan per satu sampel uji. Pengujian dilakukan pada bagian tengah buah potong seperti pada Gambar 10. Nilai kekerasan buah dibaca pada skala penunjuk dalam satuan kgf. Nilai ini menunjukkan gaya tekan yang dibutuhkan jarum penusuk untuk menusuk sampel buah.
Gambar 10 Pengukuran kekerasan daging buah menggunakan Rheometer model CR-300
Total Padatan Terlarut (TPT)
Pengukuran total padatan terlarut (TPT) diketahui dengan menggunakan
refractometer digital merk Atago tipe PR-210 dengan resolusi 0.1%Brix dan ketelitian ±0.2 %Brix. Refractometer adalah alat optik sederhana yang mengukur jumlah cahaya yang dibiarkan dalam cairan dan untuk mengecek brix. Daging buah melon diambil dipotong kemudian diperas untuk mendapatkan filtratnya yang kemudian diletakkan diatas lensa refractometer untuk dilakukan pembacaan hasil (Gambar 11). Setiap kali pengukuran, lensa dibersihkan menggunakan aquades dan dikalibrasi sebelum memulai kembali.
13 Uji Warna
Intensitas warna diukur dengan menggunakan Chromameter Minolta CR-400. Pada Chromameter Minolta CR-400 digunakan sistem L, a, dan b. Sistem notasi warnanya dinyatakan dengan menggunakan diagram Hunter (Gambar 12). Display
akan menampilkan nilai L, a, dan b masing-masing dalam 4 angka. Pengujian dilakukan dengan menempelkan sensor pada produk dan menembakkan sinar pada bagian yang akan diukur.
Gambar 12 Diagram Hunter
(Suyatma 2009)
Data warna yang dinyatakan dengan nilai L (kecerahan), nilai a (warna kromatik), dan nilai b (warna kromatik biru kuning). Nilai L menyatakan kecerahan (cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam), bernilai 0 untuk warna hitam dan bernilai 100 untuk warna putih. Nilai a menyatakan warna akromatik merah hijau, bernilai +a dari 0-100 untuk warna merah dan bernilai a dari 0-(-80) untuk warna hijau. Nilai b positif berkisar antara 0 sampai +70 yang menyatakan intensitas warna kuning sedangkan nilai b negatif yang menyatakan intensitas warna biru berkisar antara 0 sampai -80.
Uji Organoleptik
Uji organoleptik yang dilakukan berupa uji kesukaan atau uji hedonik dengan penelis sebanyak 15 orang mahasiswa. Sifat mutu yang diuji adalah rasa, aroma, tampilan, warna daging buah, dan penerimaan umum secara keseluruhan.
Skala hedonik yang digunakan mempunyai rentang skor antara 1-7, yaitu : 1 (sangat tidak suka)
2 (tidak suka) 3 (agak tidak suka) 4 (netral)
5 (agak suka) 6 (suka) 7 (sangat suka)
14
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan faktor konsentrasi pelapis dan suhu penyimpanan dengan dua kali ulangan (duplo). Penelitian ini dilakukan dengan dua kali ulangan (duplo) karena sampel yang diuji seragam sehingga dua kali pengulangan cukup mewakili dari sampel yang diuji (ledhyane 2013).
Faktor perbandingan konsentrasi pelapis terdiri atas 3 taraf, yakni tanpa pelapis, pelapis konsentrasi 4%, pelapis konsentrasi 6%. Faktor kedua yaitu suhu penyimpanan dengan 2 taraf, yakni suhu 5˚C, suhu 13˚C seperti yang terlihat pada Tabel 2. Model linier yang digunakan untuk faktor pembanding konsentrasi pelapis.
Sehingga dapat diperoleh model matematis dari rancangan percobaan tersebut, yaitu:
Yijk= µ + αi+ βj+ (αβ)ij+ εijk
Yijk =respon setiap parameter yang diamati
µ = nilai rata-rata umum
αi =pengaruh utama faktor bahan pelapis
βj =pengaruh utama faktor suhu penyimpanan
(αβ)ij =pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi bahan pelapis dan suhu simpan
εijk =pengaruh acak yang menyebar normal
Dimana : i = 1,2,3 j = 1,2 k = 1,2
Data diperoleh dari pengukuran laju respirasi, susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, uji warna. Uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% atau (α) = 5% dilakukan untuk melihat taraf perlakuan yang berbeda.
Tabel 2 Rancangan percobaan penelitian
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Konsentrasi Gelatin dan Penyimpanan Dingin Terhadap Laju Respirasi
Pengukuran laju respirasi dengan suhu yang berbeda dilakukan untuk mengetahui suhu optimal penyimpanan dan petunjuk terhadap kemampuan daya simpan suatu komoditi. Pada saat respirasi berlangsung, terjadi proses katabolisme yang merombak makromolekul menjadi molekul yang lebih sederhana dengan menghasilkan energi (panas), uap air, dan gas CO2 dimana proses respirasi ini
memerlukan oksigen. Oleh karena itu laju respirasi sangat perlu diketahui karena mempengaruhi sistem metabolisme buah pascapanen (Pantastico 1989).
Laju Konsumsi O2
Secara umum, hasil pengukuran laju respirasi buah melon terolah minimal pada suhu 5 ̊C dan 13 ̊C dengan perlakuan tanpa pelapis menunjukan laju konsumsi O2 yang tinggi dibanding dengan dua perlakuan yang diberikan pelapis. Hal ini
ditunjukkan dengan tingginya konsumsi O2 selama dilakukan proses penyimpanan,
sedangkan dengan penambahan pelapis gelatin ikan menghasilkan laju respirasi buah melon terolah minimal yang lebih kecil. Hasil pengukuran laju konsumsi O2
pada suhu 5 ̊C dengan perlakuan S1, S2, dan S3 berturut-turut adalah 3.2009 ml/kg.jam, 1.1415 ml/kg.jam, dan 0.6224 ml/kg.jam. Sedangkan laju konsumsi O2
pada suhu 13 ̊C dengan perlakuan T1, T2, dan T3 berturut-turut adalah 24.2806 ml/kg.jam, 17.3494 ml/kg.jam, dan 21.5532 ml/kg.jam. Perubahan laju konsumsi O2 pada suhu 5 ̊C dan 13 ̊C disajikan dengan grafik dalam Gambar 13 dan Gambar
14.
Berdasarkan grafik, laju konsumsi O2 pada suhu 5 ̊C diketiga sampel
perlakuan menunjukan penurunan sampai dengan hari ke-4. Namun pada sampel S1 menunjukan kenaikan laju konsumsi O2 dari hari ke-5 sampai hari ke-7 yaitu
hari dimana sampel mengalami kerusakan. Naiknya laju konsumsi O2 diduga
disebabkan karena timbulnya jamur dan meningkatnya aktivitas mikroba (Pantastico 1989). Sedangkan pada sampel S2 dan S3 tidak mengalami kenaikan yang tinggi seperti S1, hal ini menunjukan kombinasi perlakuan pelapis gelatin ikan dan suhu 5 ̊C dapat menekan laju konsumsiO2 sampai hari ke-8.
Sedangkan pada suhu 13 ̊C laju konsumsi O2 pada ketiga sampel perlakuan
memiliki pola yang sama, ketiga sampel menunjukan kenaikan konsumsi O2 pada
hari ke-1 hingga ke-4 dan mengalami penurunan pada hari terakhir. Penyimpanan
pada suhu 13 ̊C hanya mampu bertahan sampai hari ke-5. Pada suhu 13 ̊C hasil dari laju konsumsi O2 pada perlakuan T1 lebih tinggi dari T2 dan T3, namun pada
perlakuan T3 menunjukan hasil konsumsi O2 yang lebih tinggi dibanding T2. Pada
16
terhadap laju konsumsi O2 dengan uji Duncan menyatakan perlakuan konsentrasi
gelatin ikan 4% dan perlakuan suhu 5 ̊C berbeda nyata terhadap perlakuan lain.
Gambar 13 Laju Konsumsi O2 pada Suhu 5 ̊C
Gambar 14 Laju Konsumsi O2 pada Suhu 13 ̊C
Laju Produksi CO2
Hasil pengukuran laju produksi CO2 pada suhu 5 ̊C dengan perlakuan S1,
S2, dan S3 berturut-turut adalah 15.0575 ml/kg.jam, 9.4436 ml/kg.jam, dan 9.6476 ml/kg.jam. Sedangkan laju produksi CO2 pada suhu 13 ̊C dengan perlakuan T1, T2,
dan T3 berturut-turut adalah 25.5258 ml/kg.jam, 9.4916 ml/kg.jam, dan 12.1383 ml/kg.jam. Perubahan laju produksi CO2 pada suhu 5 ̊C dan 13 ̊C disajikan dengan
grafik dalam Gambar 15 dan Gambar 16.
Secara umum, laju respirasi pada suhu 5 ̊C lebih kecil daripada laju respirasi
pada suhu 13 ̊C. Berdasarkan grafik,laju produksi CO2 pada suhu 5 ̊C dan 13 ̊C
menunjukan hasil yang fluktuatif dengan pola yang sama di ketiga sampel. Namun pada sampel S1/T1 menunjukan kenaikan laju produksi CO2 lebih tinggi dibanding
17
penyimpanan suhu 13 ̊C hanya bertahan hingga hari ke-5. Perlakuan S1 dan T1 yang memiliki pola berbeda dari perlakuan menggunakan pelapisan dialami juga pada penelitian Purba (2011) dengan komoditas sawo. Pola ini diduga karena pada kondisi buah tanpa pelapisan menyebabkan difusi gas O2 dan CO2 tinggi hingga
menyebabkan respirasi yang tinggi.
Gambar 15 Laju Produksi CO2 pada Suhu 5 ̊C
Gambar 16 Laju Produksi CO2 pada Suhu 13 ̊C
Analisis sidik ragam pada Lampiran 2 menunjukan bahwa perlakuan pelapis gelatin ikan, suhu penyimpanan, dan interaksinya berpengaruh nyata terhadap laju produksi CO2 dengan konsentrasi 4% dan suhu penyimpanan 5 ̊C berdasakan uji
Duncan.
Penurunan laju respirasi diduga terjadi karena substrat yang digunakan dalam respirasi berhenti bereaksi dalam enzim pada sel yang terdapat dipermukaan potongan buah karena adanya pelapis. Pelapis yang terbentuk pada permukaan buah membuat laju O2 yang masuk ke dalam jaringan menjadi lebih sedikit dan
akumulasi CO2 di dalam jaringan menjadi lebih banyak. Pantastico (1989)
menyatakan bahwa kandungan O2 dan yang rendah atau peningkatan konsentrasi
18
CO2 dapat menunda sintesis enzim-enzim yang berperan dalam respirasi sehingga
proses akan melambat.
Penambahan gliserol juga menyebabkan pelapis yang terbentuk memiliki ikatan hidrogen yang kompak, sehingga ikatan antar matriks menjadi lebih erat. Hal ini juga menyebabkan daya tembus gas O2 dan CO2 yang keluar dan masuk jaringan
menjadi lebih kecil.
Berdasarkan pengamatan, buah melon terolah minimal dengan perlakuan konsentrasi pelapis mampu menekan laju respirasi hingga hari ke-8 pada suhu 5 ̊C. Sedangkan buah melon terolah minimal tanpa pelapis hanya bertahan sampai hari ke-7. Tren yang sama terjadi pada suhu 13 ̊C, perlakuan pelapis mampu menekan laju respirasi dibanding perlakuan tanpa pelapis namun hanya bertahan hingga hari ke-5. Perbedaan suhu menunjukan umur simpan yang berbeda, respirasi yang rendah dapat mencegah transpirasi dan menekan pertumbuhan bakteri perusak. Berdasarkan data laju respirasi yang diperoleh, jika dibandingkan dengan buah melon terolah minimal tanpa pelapis maka laju respirasi menggunakan pelapis gelatin lebih kecil. Hal ini menandakan bahwa pengaplikasian gelatin ikan dapat mempertahankan laju respirasi yang rendah dari buah melon terolah minimal.
(a) S1 (b) S2 (c) S3
Gambar 17 (a), (b), (c) ; Keadaan buah melon terolah minimal dalam berbagai konsentrasi di hari ke-7 penyimpanan suhu 5 ̊C.
(a) T1 (b) T2 (c) T3
19 Pengaruh Konsentrasi Gelatin dan Penyimpanan Dingin Terhadap Mutu
Buah Melon Terolah Minimal
Susut Bobot
Berdasarkan grafik yang ditunjukan pada Gambar 19 dan Gambar 20, secara umum nilai susut bobot buah melon terolah minimal pada kondisi penyimpanan
suhu 5 ̊C dan suhu 13 ̊C mengalami peningkatan. Semakin tinggi nilai susut bobot
maka kehilangan bobot akan semakin tinggi sehingga bobot sampel buah akan berkurang. Penurunan berat buah diakibatkan karena buah melakukan respirasi dengan mengubah gula menjadi CO2 dan H2O disertai dengan proses penguapan
uap air (Wills 1981). Hal tersebut mengakibatkan persentasi laju susut bobot meningkat. Peningkatan susut bobot yang terjadi pada penyimpanan suhu 5 ̊C lebih kecil dibanding pada penyimpanan suhu 13 ̊C. Pada suhu 13 ̊C susut bobot hari ke-5 sudah mencapai 8%, sedangkan pada suhu 5 ̊C di hari yang sama susut bobot hanya mencapai kisaran 4%. Hal ini karena penyimpanan pada suhu rendah menyebabkan aktivitas metabolisme menjadi berkurang dan perubahan kimia berlangsung lebih lambat sehingga susut bobot dapat ditekan.
20
Gambar 20 Grafik perubahan susut bobot buah melon terolah minimal selama penyimpanan pada suhu 13 ̊C
Peningkatan susut bobot pada buah disebabkan oleh adanya transpirasi dan respirasi. Proses transpirasi dan respirasi menyebabkan berkurangnya kandungan air dalam buah. Proses transpirasi merupakan kehilangan air karena evaporasi. Evaporasi tinggi karena adanya perbedaan tekanan air di luar dan di dalam buah. Tekanan air didalam bahan lebih tinggi dibanding di luar bahan sehingga uap air akan keluar dari bahan. Pada respirasi terjadi pembakaran gula atau substrat yang menghasilkan gas CO2, air dan energi. Air, gas dan energi yang dihasilkan pada
proses respirasi akan mengalami penguapan sehingga buah akan mengalami penyusutan bobot (Wills 1981).
Peningkatan susut bobot terbesar pada penyimpanan di suhu 5 ̊C terjadi pada perlakuan S1 dengan total susut sebesar 19.64%, sedangkan susut bobot terkecil terjadi pada perlakuan S2 dengan total susut sebesar 17.13%. Peningkatan susut bobot terbesar terjadi pada perlakuan S1. Tidak adanya lapisan pelapispada perlakuan S1 yang berfungsi sebagai barier terhadap CO2, O2 dan air menyebabkan
CO2, O2 dan air yang keluar/masuk bahan tinggi sehingga respirasi meningkat dan
kehilangan air tinggi.
Susut bobot terbesar pada penyimpanan di suhu 13 ̊C terjadi pada perlakuan T3 sebesar 20.80%, berbeda 0.20% dibanding T1. Hasil pada perlakuan T2 merupakan susut bobot terkecil dengan nilai 19.56%. Hal ini diduga karena pelapis yang berasal dari senyawa hidrokoloid bersifat hidrofilik yang penggunaannya sering dibatasi oleh sifat ketahanan terhadap uap air yang rendah (Wong et al. 1994).
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa perlakuan pelapis gelatin ikan dan interaksi dari kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan susut bobot selama penyimpanan, sedangkan perlakuan suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap peningkatan susut bobot. Hasil uji lanjut Duncan pada perlakuan suhu penyimpanan menunjukan bahwa suhu 13 ̊C berpengaruh terhadap peningkatan susut bobot paling tinggi dibanding suhu 5 ̊C. Secara statistik penambahan gelatin tidak menunjukan beda nyata, tetapi ada tren penurunan susut bobot yang mengindikasikan perlakuan penambahan gelatin ikan
21 dengan konsentrasi 4% dan suhu penyimpanan 5 ̊ C (S2) dan 4% pada suhu 13 ̊ C (T2) dapat menurunkan susut bobot.
Kekerasan
Berdasarkan grafik (Gambar 21 dan Gambar 22) dapat dilihat bahwa penurunan kekerasan paling tinggi terjadi pada perlakuan suhu 13 ̊C. Pada suhu
13 ̊C di hari penyimpanan ke-5 semua perlakuan rata – rata sudah berada di tingkat kekerasan sebesar 200 kPa, sedangkan pada hari yang sama di suhu 5 ̊C tingkat kekerasan baru mencapai kisaran 250 kPa. Kekerasan dapat dipertahankan pada penyimpanan suhu rendah karena menyebabkan proses respirasi menurun sehingga transpirasi yang terjadi rendah. Muchtadi (1992) mengatakan bahwa proses respirasi yang menghasilkan uap air dan proses transpirasi yang menyebabkan kehilangan uap air dari permukaan buah akan menyebabkan buah menjadi lunak. Selain itu pelunakan pada daging buah juga disebabkan oleh mikroba (kapang, bakteri dan ragi) yang menghidrolisa makromolekul menjadi fraksi yang lebih kecil.
Berdasarkan grafik, kekerasan terendah pada penyimpanan di suhu 5 ̊C dan
13 ̊C terjadi pada perlakuan S1 dan T1, penurunan kekerasan yang terjadi sangat cepat dibanding perlakuan dengan pelapis. Terhambatnya proses transpirasi akibat adanya lapisan pelapispada buah melon terolah minimal menyebabkan kehilangan air dalam buah berkurang sehingga kekerasan buah lebih tinggi daripada kontrol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pantastico (1989), bahwa pelunakan buah berhubungan langsung dengan transpirasi bahan. Selain itu kekerasan dapat disebabkan karena terhambatnya proses respirasi atau metabolisme, sehingga perombakan karbohidrat menjadi senyawa yang larut dalam air berkurang, maka kekerasan buah dapat bertahan.
Kekerasan tertinggi di kedua suhu terjadi pada perlakuan S3 dan T3, hal ini terjadi karena penggunaan pelapis yang berasal dari hidrokoloid memiliki kemampuan untuk meningkatkan kekuatan fisik, namun sering dibatasi oleh sifat ketahanan terhadap uap air yang rendah (Wong et al, 1994).
22
Gambar 22 Grafik perubahan kekerasan buah melon terolah minimal selama penyimpanan pada suhu 13 ̊C
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa perlakuan pelapis gelatin ikan, suhu penyimpanan, dan interaksi dari kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan kekerasan selama penyimpanan. Walaupun secara statistik penambahan gelatin ikan, suhu penyimpanan, dan interaksinya tidak menunjukan beda nyata, tetapi ada tren mempertahankan kekerasan yang mengindikasikan bahwa perlakuan penambahan gelatin ikan dengan konsentrasi 6% dan suhu penyimpanan 5 ̊ C (S3) dan 6% pada suhu 13 ̊ C (T3) dapat mempertahankan kekerasan.
Total Padatan Terlarut (TPT)
Berdasarkan grafik (Gambar 23 dan Gambar 24) menunjukan bahwa nilai TPT cenderung naik selama penyimpanan, kenaikan TPT tertinggi terjadi pada
penyimpanan suhu 13 ̊C. Pada penyimpanan suhu 5 ̊C di hari penyimpanan ke-5
nilai TPT yaitu 6.5 – 7.5 %Brix, sedangkan pada suhu 13 ̊C di hari yang sama nilai TPT sudah mencapai angka 6.5 – 7 %Brix. Menurut Burto (1982) yang diacu dalam Meizar (2012), Perubahan total padatan terlarut karena hidrolisis pati yang terus berlangsung selama buah disimpan dikarenakan adanya sintesis sukrosa maupun heksosa di dalam jaringan tanaman, namun proses ini menjadi tidak efektif pada kondisi suhu rendah. Hal ini sesuai dengan Juanasri (2004) penghambatan peningkatan total padatan terlarut mengindikasikan bahwa proses perombakan pati di dalam buah terhambat.
Berdasarkan grafik, Nilai TPT terbesar pada suhu 5 ̊C ditunjukan oleh perlakuan S3 sedangkan nilai total padatan terlarut terendah ditunjukan oleh perlakuan S2. Hal yang sama ditunjukkan pada penyimpanan suhu 13 ̊C yang menyatakan bahwa nilai TPT terbesar terjadi pada perlakuan T1, sedangkan peningkatan TPT terendah terjadi pada perlakuan T2. Dari data yang didapatkan, bahwa perlakuan pelapis S3 tidak mampu mempertahankan TPT dengan baik, sedangkan perlakuan pelapis S2 dapat mempertahankan TPT dengan baik. Hal ini
23 diduga karena perlakuan pelapisan yang tebal dan suhu penyimpanan 5 ̊C pada perlakuan S3 memungkinkan terjadinya respirasi anaerob. Hal ini berhubungan dengan respirasi karena perlakuan pelapis S3 memiliki laju konsumsi O2 yang
mendekati nol. Rahadian (2011) menyatakan bahwa konsentrasi O2 rendah
mendekati nol memungkinkan respirasi anaerob terjadi, respirasi anaerob menyebabkan buah mengalami fermentasi sehingga nilai TPT meningkat.
Gambar 23 Grafik perubahan TPT buah melon terolah minimal selama penyimpanan pada suhu 5 ̊C
Gambar 24 Grafik perubahan TPT buah melon terolah minimal selama penyimpanan pada suhu 13 ̊C
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa perlakuan pelapis gelatin ikan berpengaruh nyata terhadap TPT selama penyimpanan, sedangkan perlakuan suhu penyimpanan dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap TPT selama penyimpanan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa konsentrasi gelatin ikan 6% berbeda nyata dengan perlakuan lain yang mana menunjukkan peningkatan TPT. Walaupun secara statistik perlakuan konsentasi gelatin ikan 6% menunjukan beda nyata terhadap kenaikan TPT, tetapi ada tren mempertahankan TPT yang mengindikasikan bahwa perlakuan
24
penambahan gelatin ikan dengan konsentasi 4% dan suhu penyimpanan 5 ̊ C (S2) dan 4% pada suhu 13 ̊ C (T2) dapat mempertahankan TPT.
Laju Perubahan Warna
a. Kecerahan (L)
Gambar 25 dan Gambar 26 menunjukan bahwa nilai kecerahan permukaan
daging buah melon terolah minimal pada penyimpanan suhu 5 ̊C dan 13 ̊C cenderung mengalami penurunan. Penurunan nilai kecerahan pada permukaan daging buah melon di suhu 5 ̊C tidak secepat pada suhu 13 ̊C. Pada hari penyimpanan ke-7 di suhu penyimpanan 5 ̊C nilai kecerahan masih berada di kisaran 70, sedangkan di suhu penyimpanan 13 ̊C dihari yang sama nilai kecerahan sudah menurun kisaran nilai 65-70. Pertumbuhan mikroba serta aktifitas enzim fenolase (penyebab warna coklat) yang lebih tinggi pada suhu 13 ̊C menyebabkan kecerahan permukaan daging buah menurun dan cenderung kecoklatan (Barus 2011). Lampiran 9 menunjukan perubahan warna menggunakan diagram hunter.
25 Gambar 26 Grafik perubahan kecerahan (L) buah melon terolah minimal selama
penyimpanan pada suhu 13 ̊C
Berdasarkan grafik pada suhu penyimpanan 5 ̊C, perlakuan S2 dan perlakuan S3 mampu mempertahankan nilai kecerahan dibanding perlakuan S1. Pada suhu penyimpanan 13 ̊C di perlakuan T1 nilai kecerahan mulai turun dari awal penyimpanan, sedangkan perlakuan T2 dan T3 mampu mempertahankan kecerahan warna.
Tidak adanya barier pada kontrol yang dapat menghambat laju kerusakan karena proses metabolisme dan mikroba menyebabkan nilai kecerahan yang terjadi pada kontrol lebih rendah daripada perlakuan pelapis. Menurut Winarno (2002), reaksi pencoklatan terjadi akibat oksigen dapat berhubungan langsung dengan poliphenol dengan dikatalisa oleh enzim poliphenol oksidase membentuk senyawa melanin berwarna coklat. Oksigen dapat berhubungan dengan poliphenol bila terdapat sel atau jaringan yang terbuka akibat luka.
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa perlakuan pelapis gelatin ikan, suhu penyimpanan, dan interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap kecerahan warna buah melon terolah minimal selama penyimpanan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan penambahan pelapis gelatin ikan dengan konsentrasi 4% yang terbaik mempertahankan kecerahan warna. Uji lanjut Duncan pada perlakuan suhu penyimpanan menunjukan bahwa suhu 13 ̊C berpengaruh terhadap penurunan kecerahan paling tinggi dibanding suhu 5 ̊C.
b. Kehijauan (a)
Gambar 27 dan Gambar 28 menunjukan bahwa nilai kehijauan permukaan
daging buah melon terolah minimal pada penyimpanan suhu 5 ̊C dan 13 ̊C
cenderung mengalami penurunan. Penurunan nilai kehijauan yang terjadi di suhu penyimpanan 5 ̊C tidak secepat pada suhu penyimpanan 13 ̊C. Penurunan nilai a dari -7 sampai -3 menunjukkan warna hijau pada daging buah melon semakin berkurang. Hal ini menunjukkan pada masa pematangan selama penyimpanan, warna hijau potongan buah berubah menjadi semakin berkurang.
Berdasarkan perubahan kehijauan dari grafik perubahan nilai a pada suhu penyimpanan 5 ̊C, perlakuan pelapis S3 lebih baik dalam mempertahankan warna kehijauan daging buah melon dibanding perlakuan S2 dan S1. Sedangkan pada suhu penyimpanan 13 ̊C, perlakuan pelapis T1 dan T3 tidak lebih baik dalam menjaga kehijauan warna dibanding perlakuan T2.
26
Gambar 29 menunjukan bahwa nilai kekuningan permukaan daging buah
melon terolah minimal pada penyimpanan suhu 5 ̊C cenderung menurun. berdasarkan grafik pada suhu penyimpanan 5 ̊C, perlakuan S1 menunjukan penurunan nilai b yang cepat dibanding kedua sampel dengan perlakuan pelapis S2 dan S3. Sedangkan pada Gambar 30 menunjukan bahwa nilai kekuningan pada
penyimpanan suhu 13 ̊C cenderung naik. Berdasarkan grafik pada suhu penyimpanan 13 ̊C, perlakuan T1 mengalami peningkatan nilai b yang tinggi dibanding perlakuan pelapis T2 dan T3. Penurunan nilai b menunjukkan warna kuning pada daging buah melon semakin berkurang dan berlaku sebaliknya.
Berdasarkan perubahan warna kekuningan, maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan pelapisdan suhu 5 ̊C lebih baik didalam menjaga warna buah melon yang telah terolah minimal dibanding perlakuan tanpa pelapis.
27 Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa perlakuan pelapis gelatin ikan, suhu penyimpanan, dan interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap kekuningan buah melon terolah minimal selama penyimpanan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan penambahan pelapis gelatin ikan dengan konsentrasi 4% dapat mempertahankan nilai kekuningan. Uji lanjut Duncan pada perlakuan suhu penyimpanan menunjukan bahwa suhu 13 ̊C berpengaruh terhadap penurunan kecerahan paling tinggi dibanding suhu 5 ̊C.
Gambar 29 Grafik perubahan kekuningan (b) buah melon terolah minimal selama penyimpanan pada suhu 5 ̊C
28
Organoleptik
Uji organoleptik merupakan parameter penerimaan konsumen terhadap produk. Parameter yang digunakan yaitu visual, aroma, kekerasan, dan rasa. Respon panelis ditabulasikan ke dalam skor tingkat pengamatan dan pengujian 1 (sangat tidak suka) sampai 7 (sangat suka). Batas terendah penerimaan panelis ditetapkan pada nilai hedonik 4 (netral).
a. Visual
Tingkat kesukaan panelis terhadap warna buah melon terolah minimal selama penyimpanan menunjukkan nilai yang berbeda- beda untuk setiap perlakuan. Warna daging buah melon pada awal penyimpanan berwarna hijau cerah. Penilaian panelis terhadap visual lebih cenderung mengarah pada penampilan luar dan warna pada permukaan daging buah melon terolah minimal. Hasil uji organoleptik penampakan buah melon terolah minimal disajikan pada Gambar 31.
Gambar 31 Grafik nilai organoleptik visual buah melon terolah minimal
Secara visual dari penampakan luar dan warna, daging buah melon terolah minimal yang paling disukai panelis adalah pada hari 1 dan 2. Pada hari ke-3 penyimpanan suhu 13 ̊C, kesukaan terhadap warna daging buah melon berkurang khususnya pada sampel T1 dan T2 yang memiliki nilai hedonik rata-rata dibawah 4 sedangkan T3 masih disukai panelis. Pada suhu 5 ̊C, hingga penyimpanan hari ke-7 semua perlakuan mengalami penurunan, namun perlakuan S2 dan S3 masih lebih tinggi dibanding S1. Perubahan visual dari buah melon terolah minimal selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 10.
29 b. Aroma
Penilaian panelis terhadap aroma melalui indera penciuman, aroma biasanya digunakan sebagai parameter untuk menentukan rasa. Aroma khas buah melon dapat mengalami perubahan selama penyimpanan berlangsung. Perubahan kesukaan panelis terhadap aroma secara organoleptik buah melon terolah minimal dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 32.
Pada hari ke-3 penyimpanan suhu 13 ̊C, kesukaan terhadap aroma daging buah melon berkurang pada semua sampel, yaitu memiliki nilai hedonik rata-rata dibawah 4 dimana sudah tidak diterima panelis. Pada suhu 5 ̊C, hingga penyimpanan hari ke-7 semua perlakuan mengalami penurunan selama penyimpanan, namun hanya perlakuan S1 yang memiliki nilai hedonik rata-rata terendah, sedangkan perlakuan S2 dan S3 masih lebih disukai panelis.
Gambar 32 Grafik nilai organoleptik aroma buah melon terolah minimal Penurunan tingkat kesukaan aroma disebabkan terjadinya penurunan kandungan senyawa volatil pada buah melon terolah minimal tanpa pelapis. Kays dan paull (2004) dalam Rosyid (2012) menyatakan bahwa komponen volatil dibentuk secara alami di dalam jaringan oleh enzim.
Berdasarkan penilaian panelis terhadap aroma pada buah melon terolah minimal dengan pelapis gelatin ikan membuktikan bahwa adanya lapisan pelapis tidak merubah aroma buah melon terolah minimal, karena aroma buah lebih dominan dibanding pelapis yang digunakan. Pelapis dengan konsentrasi 6% (T3) menunjukkan nilai tertinggi dari panelis hingga penyimpanan hari ke-3 pada suhu
13 ̊C, dan pelapis dengan konsentrasi 6% (S3) mendapat nilai tertinggi pada suhu
penyimpanan 5 ̊C hingga hari ke-6.
30
c. Kekerasan
Perubahan kesukaan panelis terhadap kekerasan secara organoleptik buah melon terolah minimal dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 33. Selama penyimpanan terjadi penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap kekerasan buah melon terolah minimal. Kerusakan buah menyebabkan daging buah menjadi lunak.
Gambar 33 Grafik nilai organoleptik kekerasan buah melon terolah minimal Kekerasan daging buah melon terolah minimal yang paling disukai panelis adalah pada hari ke-1 dan ke-2 dilihat dari masih tingginya penilaian panelis di kedua suhu penyimpanan tersebut. Namun, pada hari ke-3 penyimpanan suhu 13 ̊C, kesukaan terhadap kekerasan daging buah melon berkurang pada perlakuan T1 dan T2 yang memiliki nilai hedonik rata-rata dibawah 4, sedangkan perlakuan T3 masih mampu berada diatas nilai rata-rata. Selama penyimpanan buah melon terolah minimal mengalami penurunan bobot sehingga kekerasan daging buah berkurang. Pada suhu penyimpanan 5 ̊C, penyimpanan hari ke-7 semua perlakuan mengalami penurunan, namun hanya perlakuan S1 yang memiliki nilai hedonik terendah, sedangkan perlakuan S2 dan S3 masih tetap disukai panelis.
Pelapis dengan gelatin ikan pada buah dengan konsentrasi 6% (T3) mampu mempertahankan kekerasan hingga hari ke-3 pada suhu 13 ̊C, sedangkan pelapis dengan gelatin ikan pada buah melon terolah minimal pada konsentrasi 6% (S3) mampu mempertahankan kekerasan terbaik hingga hari ke-6 pada suhu penyimpanan 5 ̊C.
d. Rasa
Pada Gambar 34 menunjukkan nilai organoleptik rasa yang berbeda-beda
dan cenderung menurun pada semua perlakuan. Pada hari ke-3 penyimpanan suhu 13 ̊C, kesukaan terhadap rasa daging buah melon berkurang pada semua sampel, yaitu memiliki nilai hedonik rata-rata dibawah 4 dimana sudah tidak diterima
panelis. Pada suhu 5 ̊C, penyimpanan hari ke-7 semua perlakuan mengalami penurunan, perlakuan S1 mendapat nilai hedonik terendah, sedangkan perlakuan S2 dan S3 masih tetap diterima panelis dengan perlakuan S2 dengan nilai tertinggi.
31 Pelapis dengan gelatin ikan pada buah dengan konsentrasi 6% (T3) mampu mempertahankan rasa hingga hari ke-3 pada suhu 13 ̊C, sedangkan pelapis dengan gelatin ikan pada buah melon terolah minimal pada konsentrasi 4% (S2) mampu mempertahankan kekerasan terbaik hingga hari ke-6 pada suhu penyimpanan 5 ̊C.
Gambar 34 Grafik nilai organoleptik rasa buah melon terolah minimal
Pemilihan Perlakuan Terbaik
Berdasarkan uji statistik yang dilakukan, hasil perlakuan pelapis gelatin ikan dan penyimpanan dingin yang berpengaruh nyata terbaik terhadap parameter mutu dirangkum pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, perlakuan terbaik ditunjukan oleh perlakuan S2 yaitu perlakuan konsentrasi pelapis gelatin ikan 4% dan suhu penyimpanan 5 ̊C dan T2 yaitu perlakuan konsentrasi pelapis gelatin ikan 4% dan
suhu penyimpanan 13 ̊C.
Tabel 3 Rangkuman perlakuan terbaik Parameter mutu
Total padatan terlarut (TPT) S2 T2
Warna S2 T2
Organoleptik Visual S2 T2
Organoleptik Aroma S3 T3
Organoleptik Kekerasan S3 T3
32
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Berdasarkan pengamatan, buah melon terolah minimal dengan perlakuan konsentrasi pelapis menekan laju respirasi hingga hari ke-8 pada suhu 5 ̊C. Sedangkan buah melon terolah minimal tanpa pelapis hanya bertahan sampai hari ke-7. Tren yang sama terjadi pada suhu 13 ̊C, perlakuan pelapis mampu menekan laju respirasi dibanding perlakuan tanpa pelapis namun hanya bertahan hingga hari ke-5.
2. Pelapisan pada buah melon terolah minimal selama masa penyimpanan di suhu 5 ̊C dan 13 ̊C mengalami perubahan mutu. Buah melon terolah minimal yang disimpan pada suhu penyimpanan 5 ̊C memiliki masa simpan hingga 7 hari, sedangkan buah melon terolah minimal yang disimpan pada suhu penyimpanan 13 ̊C hanya bertahan sampai 5 hari. Buah melon terolah minimal yang disimpan
di suhu 13 ̊C menunjukan kenaikan laju respirasi, kenaikan susut bobot, penurunan kekerasan, kenaikan TPT, dan penurunan warna yang lebih tinggi
dibandingkan dengan buah melon terolah minimal yang disimpan pada suhu 5 ̊C. Perlakuan pelapisan pada buah melon terolah minimal dapat mempertahankan mutu dibanding tanpa perlakuan pelapisan. Buah melon terolah minimal tanpa pelapisan menunjukan kenaikan laju respirasi, kenaikan susut bobot, penurunan kekerasan, kenaikan TPT, dan penurunan warna yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah melon terolah minimal yang diberi perlakuan pelapisan.
3. Perlakuan pelapisan terhadap buah melon terolah minimal masih dapat diterima oleh panelis hingga hari ke-6 untuk suhu penyimpanan 5 ̊C, sedangkan pada suhu penyimpanan 13 ̊C perlakuan pelapisan terhadap buah melon terolah minimal diterima oleh panelis hanya sampai lama penyimpanan hari ke-3. 4. Berdasarkan pemilihan perlakuan terbaik, perlakuan terbaik ditunjukan oleh
perlakuan S2 yaitu perlakuan konsentrasi pelapis gelatin ikan 4% dengan suhu
penyimpanan 5 ̊C dan T2 yaitu perlakuan konsentrasi pelapis gelatin ikan 4% dengan suhu penyimpanan 13 ̊C.
Saran
33 DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Gelatin. Tekno pangan dan Agroindustri Volume 1 No. 9. [internet].
[diunduh 2014 September 13] tersedia pada:
http://www.warintek.ristek.go.id/pangan_kesehatan/pangan/ipb/gelatin.pdf Barus A. 2011. Pengaruh Jenis Penstabil dan Lama Pemasakan Terhadap Mutu Jelli
Melon. [Skripsi]. Sumatera Utara (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Avena-Bustillos RJ dan JM Krochta. 1994. Optimization of edible coating formulation on zucchini to reduce water loss. J. Food Eng. 21 : 197 – 214 Baldwin EA , M Nisperos-Cariedo, and RA Baker. 1995. Edibel coating for lightly
processed fruits and vegetables. J. HortSci. 30 (1) : 35-37.
Brecht JK. 1995. Physiologi of lightly processed fruits and vegetables. J. Hort. Science. 30 (1).
Cantwell M. 2002. Postharvest handling systems : minimally processed fruits and vegetables. Australia (AUS): NSW Ltd.
Dwi FA. 2005. Pengaruh Pemberian Lapisan Edibel (Lapisan edibel) Terhadap Umur Simpan Dan Mutu Buah Melon (Cucumis melo L.) Terolah Minimal Selama Penyimpanan. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Effendi RN. 2013. Kajian Efektifitas Asam Askorbat dan Lidah Buaya untuk Menghambat Pencoklatan pada Buah Potong Apel Malang. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Fisla ID. 2010. Pengaruh Lapisan Edibel dan Kemasan Atmosfer Termodifikasi terhadap Umur Simpan Mutu Buah Melon Cantaloupe Terolah Minimal. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hasbullah R. 2005. Buah-buahan/sayuran Terolah Minimal dengan Kemasan
Modified Atmosphere Packaging [internet]. [diunduh 2014 September 2014). http://www.web.ipb.ac.id/~rokhani/artikel_files/page0002.html
Gomez-Guillen MC, Sarabia A I, dan Montero P. 2001. Extraction of gelatin from megrim (Lepidorhombus boscii ) skins with several organik acids. Journal of Food Science. 66: 213–216.
Gomez-Guillen MC, Perez-Mateos M, Gomez-Estaca, J, Lopez-Caballero E, Gimenez B. dan Montero P. 2009. Fish gelatin: a renewable material for developing active biodegradable films. Trends in Food Science dan Technology. 20 : 3-16.
Juanasri. 2004. Pengaruh umur petik, pemberian giberelin, dan spermidin terhadap kualitas buah manggis (Arcinia mangostana L.). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Kasankala LM, Xue Y, Weilong Y, Hong SD, dan He Q. 2007. Optimization of gelatine extraction from grass carp (Catenopharyngodon idella) fish skin by response surface methodology. Bioresource Technology. 98(17) : 3338-3343. Ledhyane IH. 2013. Analisis Ragam dan Rancangan Acak Lengkap. Malang (ID):
Universitas Brawijaya.
34
Muchtadi D. 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-buahan. Bogor (ID): IPB.
Nuryanto H. 2007. Budi Daya Melon. Jakarta (ID) : Ganeca exact.
Pantastico EB. 1989. Fisiologi Pasca Panen. Penerjemah; Kamariyani, editor. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical Fruits and Vegetables. Prajnanta F. 1999. Melon. Bogor (ID): Penebar Swadaya.
Purba IJB. 2011. Umur Simpan dan Mutu Irisan Buah Sawo Kultivar Sukatali ST1 Berlapis Edibel dalam Kemasan Atmosfir Termodifikasi. [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Purwanto A. 2007. Materi Kuliah Teknik Pendinginan. Bogor (ID) :Jurusan Teknik Pertanian, IPB.
Rahadian. 2011. Respirasi [internet]. [diunduh 2014 Agustus 18] tersedia pada: https : rahadiandimas.staff.uns.ac.id/files/2011/10/Respirasi.pdf
Ratule MT. 1999. Penentuan Komposisi Atmosfer Penyimpanan Irisan Buah Mangga Segar Terlapis Film Edibel. [Tesis]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor
Rosyid. 2012. Penyimpanan Buah Salak Pondoh (Salacca edulis) Menggunakan Kemasan Aktif Penyerap Etilen. [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor
Rudito. 2005. Perlakuan Komposisi Gelatin dan Asam Sitrat dalam Edible Coating yang Mengandung Gliserol pada Penyimpanan Tomat. Jurnal Teknologi Pertanian 6(1) : 1-6.
Setiasih IS, Zulfebriadi, Fardiaz D, Purwadaria HK. 1998. Karakteristik mangga terolah minimal yang dilapisi pelapis edibel. Makalah pada Seminar dan Kongres PERTETA. 12:3-5
Setiasih IS. 1999. Kajian Perubahan Mutu Salak Pondoh dan Mangga Arumanis Terolah Minimal Berlapis Film Edibel Selama Penyimpanan. [Disertasi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor
Suyatma 2009. Diagram Warna Hunter (Kajian Pustaka). Jurnal Penelitian Ilmiah Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 8-9.
Wills RH, Lee WB, Graham, Glasson and EG Hall. 1981. Post Harvest, an Introduction to The Phisiology and Handling of Fruit and Vegetables. Hongkong (HK): South China Printing Co.
Winarno FG .2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID) :PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wong DWS, Tillin SJ, Hudson JS, Pavlath AE. 1994. Gas exchange in cut apple with billayer pelapis. J Agric Food Chem. 42 (10): 2278-2285.
35
36
Lampiran 1 Analisis sidik ragam laju konsumsi O2buah melon terolah minimal. Perubahan persentase laju konsumsi O2 buah melon terolah minimal selama
Ket : jika sig. < alpha 5% maka faktor berpengaruh nyata terhadap respon Uji Duncan persentase laju konsumsi O2 selama penyimpanan
Konsentrasi N Subset
1 2
4 15 7.873753
6 15 8.714640
0 15 11.673220
Sig. 0.539 1.000
Ket : nilai subset yang berjejer pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji alpha 5%
Lampiran 2 Analisis sidik ragam laju produksi CO2 buah melon terolah minimal.
Perubahan persentase laju produksi CO2 buah melon terolah minimal selama
Konsentrasi*Suhu 203.095 2 101.548 3.390 0.044
Error 1168.342 39 29.957
Total 10250.494 45
Ket : jika sig. < alpha 5% maka faktor berpengaruh nyata terhadap respon Uji Duncan persentase laju produksi CO2 selama penyimpanan
Konsentrasi N Subset
1 2
4 15 9.462813
6 15 10.643860
0 15 19.392627
Sig. 0.558 1.000