D
R
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS
Diajukan Oleh
ANIK DWI NASTITI NPM : 0864020015
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
”EVALUASI KEBIJAKAN BONGKAR RATOON DAN KERAGAAN
PABRIK GULA DI JAWA TIMUR” untuk memenuhi sebagian persyaratan
tugas akhir guna mencapai derajat Magister Manajemen Agribis pada
Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur di Surabaya.
Sehubungan dengan hal tersebut penulis mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada :
1. Prof. Dr. Teguh Soedarto, MP selaku pembimbing utama dan
Dr. Ir. Zainal Abidin, MS. sebagai pembimbing pendamping yang telah
memberikan petunjuk yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian
tesis ini.
2. Rektor dan Direktur Pascasarjana beserta seluruh dosen dan staf
yang telah memberikan kesempatan mengikuti kuliah di Program
Pascasarjana UPN ” Veteran ” Surabaya
3. Rekan-rekan mahasiswa pada Program Pascasarjana Magister
Manajemen Agribisnis yang telah memberikan dukungan, semangat
semoga mendapat pahala dari Allah SWT, Amin.
Surabaya, 4 Januari 2010
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... ……… iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ... 11
2.2. Landasan Teori ... 21
2.1.1. Budidaya Tebu ... 21
2.1.2. Perkembangan Industri Gula Di Indonesia ... 30
2.1.3. Perkembangan Tanaman Tebu Di Indonesia ... 32
2.1.4. Potensi Tebu di Indonesia dan Jawa Timur ... 35
2.1.5. Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional ... 39
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 50
3.1. Kerangka Pemikiran ... 50
3.2. Hipotesis ... 54
IV. METODE PENELITIAN ... 55
4.1. Penentuan lokasi ... 55
4.2. Populasi dan Contoh ... 55
4.3. Jenis data ... 56
4.4. Pengambilan Data ... 56
4.5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 56
4.6. Analisis Data ... 57
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61
5.1. Deskripsi Pabrik Gula di Jawa Timur ... 61
5.2. Pelaksanaan Program Bongkar Ratoon di Jawa Timur ... 62
5.3. Dampak Program Bongkar Ratoon di Jawa Timur ... 67
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 97
6.1. Kesimpulan ... 97
6.2. Saran ... 97
Judul Halaman 1. Pertumbuhan Luas Arel Giling Tebu di Propinsi Jawa
Timur, Tahun 1998-2007 ... 67
2. Pertumbuhan Produksi Tebu di Propinsi Jawa Timur,
Tahun 1998-2007 ... 72
3. Pertumbuhan Produksi Gula di Propinsi Jawa Timur,
Tahun 1998-2007 ... 76
4. Pertumbuhan Rendemen di Propinsi Jawa Timur, Tahun
1998-2007 ... 79
5. Pertumbuhan Produksitivitas Tebu di Propinsi Jawa Timur,
Tahun 1998-2007 ... 84
6. Pertumbuhan Produksitivitas Gula di Propinsi Jawa Timur,
Tahun 1998-2007 ... 89
Judul Halaman 1. Kerangka Pemikiran ... 51
2. Perkembangan Luas Arel Giling Tebu Sebelum Program
Bongkar Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 1998-2002 ... 68
3. Perkembangan Luas Arel Giling Tebu Sesudah Program
Bongkar Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 2003-2007 ... 69
4. Perkembangan Produksi Tebu Sebelum Program Bongkar
Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 1998-2002 ... 74
5. Perkembangan Produksi Tebu Sesudah Program Bongkar
Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 2003-2007 ... 75
6. Perkembangan Produksi Gula Sebelum Program Bongkar
Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 1998-2002 ... 77
7. Perkembangan Produksi Gula Sesudah Program Bongkar
Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 2003-2007 ... 78
8. Perkembangan Rendemen Sebelum Program Bongkar Ratoon
di Propinsi Jawa Timur, Tahun 1998-2002 ... 81
9. Perkembangan Rendemen Sesudah Program Bongkar Ratoon
di Propinsi Jawa Timur, Tahun 2003-2007 ... 82
10. Perkembangan Produksitivitas Tebu Sebelum Program
Bongkar Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 1998-2002 ... 86
11. Perkembangan Produksitivitas Tebu Sesudah Program
Bongkar Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 2003-2007 ... 87
12. Perkembangan Produksitivitas Gula Sebelum Program
Bongkar Ratoon di Propinsi Jawa Timur, Tahun 1998-2003 ... 90
13. Perkembangan Produksitivitas Gula Sesudah Program
Judul Halaman
1. Laporan Produksi Giling Tahun 1998 ... 101
2. Laporan Produksi Giling Tahun 1999 ... 103
3. Laporan Produksi Giling Tahun 2000 ... 105
4. Laporan Produksi Giling Tahun 2001 ... 107
5. Laporan Produksi Giling Tahun 2002 ... 109
6. Laporan Produksi Giling Tahun 2003 ... 111
7. Laporan Produksi Giling Tahun 2004 ... 113
8. Laporan Produksi Giling Tahun 2005 ... 115
9. Laporan Produksi Giling Tahun 2006 ... 117
10. Laporan Produksi Giling Tahun 2007 ... 119
11. Rekapitulasi Data Selama 10 Tahun (Tahun 1998-2007) ... 121
Anik Dwi Nastiti. NPM : 0864020015. Evaluasi Kebijakan Bongkar Ratoon dan Keragaan Pabrik Gula di Jawa Timur. Pembimbing Utama Prof. Dr. Teguh Soedarto, MP dan Pembimbing Pendamping Dr. Ir. Zainal Abidin, MS.
Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional tahun 2003-2007 (biasa disebut bongkar ratoon), dalam rangka meningkatkan produksi gula nasional dengan tiga kegiatan yaitu: rehabilitasi tanaman melalui bongkar ratoon, penguatan kelembagaan, dan rehabilitasi/peningkatan kinerja pabrik gula dari sisi on farm berupa pembangunan Kebun Bibit. Melalui program akselerasi ini diharapkan produksi dan produktivitas gula meningkat. Namun, pada kenyataannya, program akselerasi baru menyentuh sebagian aspek on-farm, yaitu berupa kegiatan bongkar ratoon yang ditindaklanjuti dengan replanting tanaman tebu varietas unggul dan dukungan berupa pembangunan kebun bibit secara berjenjang, serta peningkatan pemberdayaan petani tebu dan koperasi.
Tujuan penelitian antara lain : (1) mengevaluasi pelaksanaan Program Bongkar Ratoon di Jawa Timur, (2) mengukur dampak kebijakan Program Bongkar Ratoon terhadap keragaan Pabrik Gula di Jawa Timur.
Penelitian dilakukan di Propinsi Jawa Timur. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder : data luas areal, produksi tebu, produktivitas tebu, rendemen, produksi gula, produktivitas gula kurun waktu 10 tahun (1998 s/d 2007). Metode analisis data menggunakan analisis deskriptif, tren linear dan uji beda rata-rata.
1.1. Latar Belakang
Tebu adalah komoditas perkebunan penuh legenda bagi hampir
seluruh masyarakat dunia. Bagi Indonesia, tebu menjadi bagian budaya
dan citra kehidupan petani, dengan hasil utama saat ini adalah gula. Tebu
yang oleh berbagai kalangan disebutkan berasal dari Pasifik Selatan
menyebar di Indonesia khususnya pulau Jawa. Gula yang saat ini
sebagai salah satu hasil utama tebu, merupakan komoditas yang banyak
dibutuhkan masyarakat, baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai
bahan baku industri makanan dan minuman. Secara Nasional konsumsi
gula terus meningkat dari tahun ke tahun, dan pada saat ini mencapai 3,6
juta ton yang terdiri atas gula konsumsi 2,2 juta ton, gula untuk industri
(makanan, minuman dan farmasi) 700 ribu ton dan gula mentah untuk
industri (rafinasi) 750 ribu ton. Sementara ini produksi gula domestik
hanya mencapai 1,9 juta ton, dengan pertumbuhan produksi selama
sepuluh tahun terakhir terus mengalami penurunan, baik dari sisi luas
areal, produksi tebu, produktivitas tebu, rendemen, produksi gula dan
produktivitas gula yang telah dihasilkan oleh Pabrik Gula (P3GI, 2004).
Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun
1930-an. Saat itu pabrik gula yang beroperasi mencapai 179 pabrik gula
mencapai 11-13,8%. Ekspor gula pernah mencapai sekitar 2,4 juta ton
dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton (Sudana et al, 2000).
Pada periode 1991-2001, industri gula Indonesia mulai menghadapi
berbagai masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri
gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus
meningkat dengan laju 16,6 persen per tahun pada periode tersebut. Hal
ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan laju 2,96
persen per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3,03
persen per tahun. Pada tahun 1997-2002, produksi gula bahkan
mengalami penurunan dengan laju 6,14 persen per tahun (Dewan Gula
Indonesia, 2002).
Penurunan produksi dan kenaikan defisit yang dihadapi Indonesia
disebabkan oleh berbagai faktor internal dan eksternal yang saling terkait
juga disebabkan oleh penurunan efisiensi di tingkat on farm (tanaman)
dan off farm (pabrik gula), berbagai faktor kebijakan pemerintah,
khususnya untuk periode tahun 1982-2000, juga berpengaruh secara
signifikan terhadap kemunduran industri gula Indonesia (Adisasmito,
1998; Murdiyatmo, 2000 dalam Susila, 2005). Kebijakan pemerintah lebih
memihak pada sektor non-pertanian dan kebijakan pergulaan, khususnya
periode 1997-2000, hal ini kurang bisa merespon pasar gula dunia yang
distortif dan protektif, juga berperan dalam kemunduran kinerja industri
gula Indonesia (Sudana et al, 2000; Soentoro et al, 1999 dalam Susila,
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah mencanangkan
Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional tahun
2003-2007 (biasa disebut bongkar ratoon), dalam rangka meningkatkan
produksi gula nasional melalui peningkatan kinerja industri gula agar
mampu menghasilkan gula dengan tingkat efisiensi yang relatif tinggi serta
mampu menutupi kebutuhan gula dalam negeri, paling tidak untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi langsung (direct consumption).
Konsentrasi program ini, adalah penggantian varietas baru, tanaman yang
sudah kepras 3 sampai 4 kali harus dibongkar, diganti varietas baru
sesuai sesuai rekomendasi dari Pusat Penelitian Gula Indonesia (P3GI)
dan bimbingan dari Pabrik Gula selaku pembina teknis di lapang.
Tiga subprogram besar yang dilakukan melalui program ini adalah
rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu, rehabilitasi pabrik gula dari
sisi on farm, melalui penjenjangan pembibitan mulai dari KBP (Kebun Bibit
Pokok), KBN (Kebun Bibit Nenek), KBI (Kebun Bibit Induk), KBD (Kebun
Bibit Dasar), dan peningkatan investasi untuk pengembangan industri
Produk Pendamping Gula Tebu (PPGT) dan industri gula baru di luar
Jawa. Kegiatan rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (dikenal
dengan istilah “bongkar ratoon”) bertujuan untuk memperbaiki komposisi
tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas
potensial. Hal ini penting mengingat gula sebenarnya diproduksi di dalam
tanaman tebu, sementara pabrik hanya memeras nira tebu untuk diolah
Sejak tahun 2003, pemerintah melalui Koperasi Petani Tebu Rakyat
(KPTR) dan kelompok tani yang tersebar di 47 pabrik gula di Jawa
mencoba menata ulang komposisi tanaman tebu di Jawa. Sejumlah dana
dari APBN telah disetujui oleh pemerintah guna melaksanakan program
ini. Dana APBN disalurkan dalam bentuk Penguatan Modal Usaha
Kelompok (PMUK) untuk digunakan dalam kegiatan pembangunan kebun
bibit dan membongkar tanaman ratoon milik anggota koperasi serta
sarana produksi yang meliputi Pupuk, pengendalian hama penyakit
tanaman dan memperbaiki prasarana pengairan pada perkebunan tebu
(got malang, got mujur dan got keliling).
Sasaran dari program akselerasi (bongkar ratoon) sampai dengan
tahun 2007 adalah terpenuhinya kapasitas produksi gula nasional yaitu 3
juta ton gula kristal, dengan rendemen rata 8,79% dan hablur
rata-rata 7,74 ton per hektar. Dari target produksi tersebut, sekitar 40% atau
1,2 juta ton merupakan target produksi di Jawa Timur sebagai provinsi
penghasil gula utama di Indonesia. Oleh karena itu, tidak salah apabila
dikatakan bahwa industri gula Jawa Timur sering dianggap sebagai
lokomotif penggerak industri gula nasional.
Program Akselerasi Peningkatan Produksi Gula Nasional (biasa
dikenal dengan bongkar ratoon) di Jawa Timur mencakup tiga kegiatan
yaitu:
1. Rehabilitasi tanaman melalui bongkar ratoon. Bongkar ratoon adalah
dari 4 kali dengan tanaman varietas unggul yang telah di
rekomendasi oleh Lembaga Pusat Pengembangan dan Penelitian
Gula Indonesia (P3GI). Varietas lama antara lain BZ 148, BZ 132,
sedang Varietas unggul baru PS 864, PS 951, PS 861 dan BL.
Tanaman tebu mempunyai spesifik dibanding tanaman semusim
lainnya. Spesifik terletak pada Tanaman tahun pertama (PC/Plant
Cane), setelah tanaman pertama panen/sistem kepras pada pangkal
batang menjadi tanaman tahun ke dua (R1/Ratoon 1). Tanaman
tahun ke dua dipanen/dikepras menjadi tanaman ke tiga (R2/Ratoon
2), demikian seterusnya sampai tanaman tersebut dibongkar dan
kembali pada tanaman pertama atau Plant Cane.
2. Penguatan kelembagaan. Dalam penguatan kelembagaan di Jawa
Timur, dari 31 Pabrik Gula yang ada memililiki 46 Koperasi Petani
Tebu Rakyat (KPTR) di masing masing wilayah Pabrik Gula yang
tersebar di 24 Kabupaten. Dari 46 Koperasi Petani Tebu Rakyat
merupakan Koperasi Primer yang tergabung dalam satu wadah
Koperasi Sekunder yang mencakup wilayah Provinsi Jawa Timur.
Koperasi Sekunder berdomisili di Surabaya bernama Koperasi Usaha
Bersama Pergulaan Rosan Kencana Jawa Timur. Koperasi Sekunder
berfungsi sebagai koordinator dari Koperasi koperasi Primer di
daerah/Kabupaten.
3. Pembangunan Kebun Bibit. Penjenjangan Kebun Bibit dimulai dari
Bibit Induk), KBD (Kebun Bibit Datar). KBP dikerjakan oleh P3GI
karena bersumber dari KBPU (Kebun Bibit Pokok Utama), sumber
bibit ini dipercayakan pada peneliti peneliti yang ada di P3GI. Untuk
KBN (Kebun Bibit Nenek), KBI (Kebun Bibit Induk) dan KBD (Kebun
Bibit Datar) dilaksanakan oleh Pabrik Gula yang peruntukannya tetap
pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula tersebut. Tetapi ada
sebagian petani yang sudah bisa melaksanakan KBD (Kebun Bibit
Datar) sendiri, karena lebih efisien dari sisi biaya dan jarak antara
KBD dengan KTG (Kebun Tebu Giling). Melalui program akselerasi
ini diharapkan produksi dan produktivitas gula meningkat. Program
akselerasi baru menyentuh sebagian aspek on-farm, yaitu berupa
kegiatan bongkar ratoon yang ditindaklanjuti dengan replanting
tanaman tebu varietas unggul dan dukungan berupa pembangunan
kebun bibit secara berjenjang, serta peningkatan pemberdayaan
petani tebu dan koperasi.Sedang sisi Of-farm ada program
Revitalisasi Pabrik Gula oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Diharapkan dari dua program ini saling menunjang baik dari sisi on-
farm maupun of–farm sehingga produktivitas gula nasional 3 juta ton
tercapai.
Kegiatan bongkar ratoon diprioritaskan pada tanaman tebu di atas
keprasan ketiga. Tanaman tebu yang telah dikepras 3 kali kemudian
dibongkar dan diganti dengan tanaman tebu baru. Tanaman tebu
direkomendasikan oleh P3GI. Penanaman varietas unggul tersebut tentu
saja diikuti dengan pengairan dan rasionalisasi pemupukan. Dengan cara
demikian diharapkan tanaman tebu memiliki produktivitas yang tinggi.
Pada akhirnya produktivitas yang tinggi diharapkan mampu
mempengaruhi produktivitas hablur dan rendemen yang dihasilkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti ingin meneliti
bagaimana implementasi (penerapan) pelaksanaan program bongkar
ratoon dan kebijakannya terhadap keragaan industri gula di Jawa Timur
dengan mengambil judul “Evaluasi Kebijakan Bongkar Ratoon dan
Keragaan Pabrik Gula di Jawa Timur”. Pada penelitian ini peneliti
memfokuskan pada luas areal giling, produksi tebu, produktifitas tebu,
rendemen, produksi gula dan produktivitas gula sebelum dan setelah
program bongkar ratoon dilaksanakan di Jawa Timur.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah pelaksanaan Program Bongkar Ratoon sudah sesuai dengan
target produksi gula di Jawa Timur ?
2. Berapa besar dampak dari Kebijakan Program Bongkar Ratoon
terhadap produksi gula Nasional, khususnya Jawa Timur ?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
2. Mengukur dampak kebijakan Program Bongkar Ratoon terhadap
keragaan Pabrik Gula di Jawa Timur.
1.4. Manfaat Penelitan
Manfaat dari penelitian tentang Bongkar Ratoon dan kinerja
Pabrik Gula adalah :
1. Manfaat langsung bagi petani tebu, petani akan mendapatkan
tambahan modal (penguatan modal), ilmu (penguatan kelembagaan)
yang berdampak pada peningkatan SDM karena dari sisi penguatan
kelembagaan dan pemberdayaan petani yang di fasilitasi oleh
Pemerintah. Tambahan penguatan modal, karena pemerintah
memberikan dana yang bersumber dari APBN untuk PMUK
(Penguatan Modal Usaha Kelompok) pada Koperasi Petani Tebu
Rakyat yang dimanfaatkan oleh anggotanya. Dengan Bongkar
Ratoon akan lebih terjalin kemitraan yang baik antara petani dan
Pabrik Gula, bagi petani kepastian tebang angkutnya/penjualan.
2. Bagi Pabrik Gula, Pabrik Gula memperoleh kepastian bahan baku
sehingga tidak harus mencari bahan baku dari luar. Kecuali tebu dari
wilayahnya kurang mencukupi baru cari tebu dari luar. Petani yang di
wilayahnya diarahkan untuk menanam varietas unggul dan bulan
tanam bisa disesuaikan dengan perencanaan pabrik untuk masa
3. Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam mengambil
kebijakan yang berkaitan dengan industri pergulaan di Indonesia
pada umumnya dan di Jawa timur pada khususnya.
4. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang akan melakukan
penelitian lebih lanjut, khususnya berhubungan dengan program
bongkar ratoon dan industri gula di Jawa Timur.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
1. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan
program bongkar ratoon dan kebijakannya terhadap keragaan
industri gula di Jawa Timur.
2. Penelitian ini termasuk dalam penelitian arsip (archival research)
yang merupakan penelitian terhadap fakta tertulis (dokumen) atau
berupa arsip data. Dokumen atau arsip yang diteliti berdasarkan
sumbernya berasal dari data internal yaitu: dokumen, arsip, dan
catatan orisinil yang diperoleh dari suatu organisasi/perusahaan atau
berasal dari data eksternal yaitu publikasi data yang diperoleh
melalui orang lain. Proses pengumpulan data berupa dokumen atau
arsip dapat dikerjakan sendiri atau penelitian atau berupa publikasi
data yang proses pengumpulannya dikerjakan oleh orang lain
(Damaijati, 2006).
3. Data yang dijadikan bahan penelitian adalah tahun 1998-2007 (
4. Objek penelitian adalah pabrik gula yang ada di wilayah Jawa Timur
yaitu sebanyak 31 pabrik gula yang terbagi dalam 4 direksi yaitu
Direksi PTPN X, Direksi PTPN XI, Direksi PT RNI I, dan Direksi PT.
Kebon Agung tersebar di 24 Kabupaten.
5. Fokus penelitian, mengevaluasi implementasi sesuai target
Pemerintah meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
dan teknik evaluasi. Mengukur dampak kebijakan bongkar ratoon
terhadap industri gula meliputi ; luas areal, produksi tebu,
produktivitas tebu, rendemen, produksi hablur gula dan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang industri gula telah dilakukan oleh beberapa
peneliti. Penelitian ini telah berkembang dari tahun ke tahun.
Produksi gula di Jawa yang cenderung menurun dari tahun ke
tahun berdampak signifikan terhadap produksi gula Nasional, mengingat
peran Jawa dalam menghasilkan gula masih 70% dari kebutuhan
Nasional. Penurunan produksi tersebut merupakan akibat berkurangnya
areal di lahan sawah dan bergeser ke lahan tegalan yang menjauh dari
Pabrik Gula, sehingga berdampak pula terhadap penurunan produktivitas
dalam rentang waktu bersamaan. Penurunan luas areal tanam
merefleksikan merosotnya minat petani, sebagai reaksi rasional terhadap
rendahnya pendapatan riil dan nilai tukar (term of trade) secara konsisten
selama satu dekade terakhir. Penurunan produktivitas merupakan
konsekuensi logis merosotnya kualitas teknis budidaya pada areal yang
masih bertahan maupun pada areal baru di lahan kering (Ditjenbun,
2003).
Kebijaksanaan pengembangan industri gula Nasional (Pantjar
Simatupang, 1999) menyampaikan bahwa kebijaksanaan Pemerintah
tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan kinerja produksi dan
perdagangan gula dunia. Beberapa temuan penting yang harus
(ekspor) gula dunia pada sejumlah kecil negara seperti Brazilia, Australia
dan Amerika
Haryanto (1991) Keunggulan Komparatif Pengembangan Gula di
Indonesia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa usahatani tebu di Jawa
dilaksanakan pada berbagai tipe lahan sawah, yang semula pada lahan
sawah paling subur kemudian berkembang ke lahan sawah yang lebih
rendah tingkat kesuburannya. Usahatani tebu juga dijumpai pada
lahan-lahan tegal di kawasan produksi pabrik gula di Jawa. Bila diasumsikan
bahwa perbedaan tipe lahan itu identik dengan tingkat kesuburannya,
maka akan dijumpai keragaman tingkat produktivitas antara tipe-tipe lahan
tersebut. Berarti akan terdapat keragaman tingkat pendapatan rata-rata
per hektar yang diterima petani. Disamping itu juga disebutkan di Jawa
dijumpai dua sistem usahatani yaitu, tanam tebu asal bibit selama 15
bulan dan tebu keprasan pertama selama 12 bulan. Berdasarkan sistem
ini maka akan terjadi pengorbanan lebih besar pada penggunaan lahan
sawah dan lahan tegal untuk bertanam tebu. Sebenarnya terjadi semacam
“Persaingan” antara tebu dan tanaman pangan dalam penggunaan lahan.
Tingkat pendapatan rata-rata per hektar tanaman dapat digunakan untuk
mengukur daya saing antara alternatif-alternatif penggunaan lahan
tersebut.
Penelitian tentang kebijakan industri gula di Indonesia dilakukan
oleh Susila dan Sinaga (2005) yang meneliti tentang kebijakan pemerintah
Metode yang digunakan adalah simulasi kebijakan dalam suatu model
ekonometrik industri gula domestik. Hasil studi menunjukkan bahwa dalam
situasi perdagangan yang distortif, kebijakan yang berkaitan dengan harga
output lebih efektif dibandingkan kebijakan yang berkaitan dengan input,
guna mendukung pengembangan industri gula Indonesia. Kebijakan harga
provenue lebih efektif bila dibandingkan dengan tariff-rate quota, tarif
impor, dan subsidi input. Terhadap kebijakan pemerintah, perkebunan
tebu rakyat lebih responsif dibandingkan dengan perkebunan milik negara
dan perkebunan swasta.
Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah dalam menciptakan
medan persaingan yang adil, industri gula Indonesia masih memerlukan
dukungan kebijakan pemerintah. Kebijakan harga provenue, tarif impor,
tariff-rate quota, dan subsidi input merupakan beberapa pilihan kebijakan
guna pengembangan industri gula Indonesia.
Susila dan Sinaga (2005). Pengembangan Industri Gula Indonesia
Yang Kompetitif Pada Situasi Persaingan Yang Adil. Hasil penelitian
antara lain : tiga upaya atau kebijakan yang perlu diprioritaskan. Pertama,
meningkatkan efisiensi di tingkat usaha tani yang mencakup: 1)
penanaman varietas unggul, 2) percepatan peremajaan tanaman
keprasan, 3) optimasi masa tanam dan tebang, dan 4) perbaikan sistem
bagi hasil. Kedua, meningkatkan efisiensi pabrik gula melalui: 1)
penutupan pabrik gula yang tidak efisien, 2) rehabilitasi pabrik gula yang
berdekatan. Ketiga, menciptakan persaingan yang adil bagi industri gula
Indonesia dengan tiga pilihan kebijakan, yaitu: 1) mempertahankan esensi
kebijakan tata niaga impor gula, 2) meningkatkan tarif impor menjadi
sekitar 50%, atau 3) menerapkan kebijakan provenue-tariff rate quota.
Pemerintah perlu pula memberikan insentif dan dukungan kebijakan untuk
pengembangan industri gula di luar Jawa.
Selanjutnya, penelitian dilakukan oleh Mardianto, Simatupang,
Hadi, Malian dan Susmiadi (2005) mengenai pengaruh road map dan
kebijakan pengembangan industri gula nasional. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada tiga permasalahan utama yang dihadapi
Indonesia berkaitan dengan agribisnis pergulaan yaitu (1) produktivitas
gula yang cenderung terus turun disebabkan antara lain karena
penerapan teknologi on-farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah, (2)
impor gula yang semakin meningkat yang disebabkan karena harga gula
di pasar internasional tidak menggambarkan tingkat efisiensi produksi
yang sebenarnya, gula dijual di bawah ongkos produksinya, kebijakan
border measure yang sifatnya ad-hoc, dan banyaknya impor gula ilegal,
serta (3) harga gula di pasar domestik tidak stabil yang disebabkan oleh
sistem distribusi yang kurang efisien.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pengembangan
industri gula di masa yang akan datang perlu disusun dalam Program
Jangka Pendek (3 tahun), Program Jangka Menengah (10 tahun) dan
untuk melakukan rehabilitasi pabrik gula dari sisi on farm penjenjangan
kebun bibit dengan varietas unggul mulai dari KBP, KBN, KBI dan KBD, di
Jawa sehingga mampu menghasilkan gula hablur dengan harga pokok
yang dapat bersaing dengan harga gula di pasar internasional. Program
jangka menengah ditujukan untuk pengembangan pabrik gula di luar
Jawa, dengan memanfaatkan lahan kering eks transmigrasi yang kurang
kompetitif bagi pengembangan tanaman pangan. Program jangka panjang
ditujukan untuk pengalihan pemilikan pabrik gula BUMN kepada petani
tebu, serta pengembangan industri berbasis tebu, seperti ethanol, alkohol,
dan lain-lain. Selain itu perlu juga dilakukan revitalisasi kegiatan research
and development, dengan memberikan dukungan dana yang lebih
memadai (Mardianto et al, 2005).
Santoso, Soetriono, dan Prasongko (2006) melakukan penelitian
tentang sistem pergulaan Jawa Timur: optimalisasi produk, distribusi, dan
kelembagaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Timur bersama PTPN dan P3GI telah berhasil
melaksanakan program bongkar ratoon tebu di Jawa Timur dengan
proyek dana bergulir dari APBN. Keberhasilan ini memerlukan perawatan
dan keberlanjutan (sustainaibility) dan tidak boleh berhenti, program rawat
ratoon perlu juga menjadi program unggulan untuk meningkatkan
produktivitas dengan fasilitas kemudahan yang disediakan oleh
Penelitian juga mempunyai implikasi kebijakan bahwa Pemerintah
Daerah Jawa Timur seharusnya mengeluarkan suatu Perda yang
menyangkut Pengelolaan Terpadu Sistem Pergulaan Jawa Timur
(Integrated Sugar Management System of East Java). Sistem ini
diharapkan menjadi model yang bisa diterapkan dan dilaksanakan dengan
baik dan benar, khususnya model alternatif Sistem Pengelolaan Produksi
Pergulaan Jawa Timur (Sugar Production Management System of East
Java), karena dewasa ini yang menjadi permasalahan utama adalah
sistem produksinya.
Penelitian lain dilakukan oleh Abidin (2000) mengenai dampak
liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri gula Indonesia: suatu
analisis kebijakan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis dampak
liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri gula domestik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa di negara eksportir, tingkat produksi
menjadi pertimbangan yang utama dalam mengekspor, sedangkan di
negara importir, pertimbangan utamanya adalah harga impor dan tingkat
konsumsi. Di samping itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
intervensi pasar negara eksportir maupun importir akan mempengaruhi
harga gula dunia dan kebijakan kemandirian produksi gula domestik akan
memperbaiki keragaan industri gula domestik pada era liberalisasi
Penelitian yang berkaitan dengan industri gula juga dilakukan oleh
Mohammad Ilyas (2002) yang memfokuskan pada strategi pengembangan
industri gula di Jawa Timur, dengan objek penelitian 3 pabrik gula di
Kabupaten Sidoarjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor
lingkungan internal dan eksternal mempengaruhi upaya pengembangan
gula di Kabupaten Sidoarjo. Secara berurutan, dari tingkat kekuatan
tertinggi hingga terendah, faktor internal yang berpengaruh adalah
pemanfaatan sumber daya lokal, potensi areal, pengalaman berusaha
tani, pemanfaatan lembaga riset dan pengembangan serta kelembagaan
petani. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah peningkatan
konsumsi gula per kapita, peningkatan produktivitas tebu, perluasan areal
tanaman tebu dan peningkatan efisiensi pabrik gula. Secara berurutan
dari tingkat ancaman tertinggi hingga terendah, faktor eksternal dan
berpengaruh adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, persaingan
usahatani tebu dengan usahatani lain, selisih harga gula produk dalam
negeri dan gula impor, kebijakan pemerintah mengenai pengenaan pajak
impor gula sebesar 25% dan kestabilan politik pemerintah.
Soekartawi (1991) menyatakan ada beberapa alasan mengapa kita
optimis dalam upaya mencapai swasembada gula, antara lain disebabkan
adanya peluang meningkatkan produktivitas usahatani tebu, adanya
peluang untuk meningkatkan luas areal tanaman tebu, khususnya di lahan
kering, adanya peluang untuk meningkatkan efisiensi usahatani dan
efisiensi di pabrik gula dan adanya peluang untuk meningkatkan
Pakpahan (1999) menyatakan bahwa industri gula Indonesia dalam
kondisi yang memprihatinkan, namun demikian industri gula ini masih
memiliki prospek untuk ditingkatkan kinerjanya melalui program
peningkatan produktivitas dan efisiensi yang dilaksanakan secara
sungguh-sungguh. Program peningkatan kinerja tersebut diperkirakan
memerlukan transisi selama 3 (tiga) tahun. Dalam periode waktu tersebut
diperlukan insentif agar beban revitalisasi industri gula ini tidak terlalu
berat. Mengingat kunci permasalahan adalah terletak pada produktivitas
dan efisiensi, maka upaya revitalisasi perlu difokuskan pada kedua aspek
tersebut.
Susilowati (2005) meneliti tentang evaluasi kinerja kebijakan
akselerasi peningkatan produktivitas gula dengan studi kasus di Pabrik
Gula Tjoekir, Jombang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program
akselerasi peningkatan produktivitas gula terbukti dapat meningkatkan
luas areal, produksi tebu produktivitas tebu, rendemen, produksi gula dan
produktivitas gula. Penurunan Harga Pokok produksi (HPP) dan
pemantapan kelembagaan ekonomi yaitu Koperasi Petani Tebu Rakyat
(KPTR) sehingga pendapatan dan kesejahteraan petani tebu di Jawa
Timur meningkat.
Situasi resesi ekonomi Indonesia yang terjadi sejak tahun 1997
telah mengakibatkan pertumbuhan negatif dalam perekonomian Indonesia
dan penurunan daya beli masyarakat, sehingga konsumsi per kapita dan
maupun tidak langsung di pedesaan, perkotaan pada tahun 1998
diproyeksikan menurun. Setelah tahun 1998 konsumsi per kapita
diproyeksikan sedikit meningkat meskipun dengan laju pertumbuhan yang
sangat kecil sehingga konsumsi percapita gula putih dalam periode
1999-2001 masih dibawah konsumsi per kapita tahun 1996. Baru pada tahun
2002 tingkat konsumsi per kapita gula pasir diproyeksikan akan pulih dan
sama dengan yang terjadi pada tahun 1996. Mulai tahun 2003 konsumsi
percapita diproyeksikan akan meningkat cepat sejalan dengan
pertumbuhan perekonomian Indonesia. Keragaan proyeksi konsumsi total
gula pasir searah dengan proyeksi konsumsi per capitanya. Proyeksi
konsumsi langsung per kapita gula merah menunjukkan penurunan
secara konsisten, sedangkan permintaan tidak langsung menunjukkan
penurunan di tahun 1998 dan sesudah itu menunjukkan peningkatan.
Dalam konteks ini proyeksi total konsumsi gula merah menunjukkan
penurunan secara konsisten (Purwanto, 1998).
Penelitian Hafsah (1989) dalam Soekartawi (1991) menunjukkan
bahwa usahatani tebu bukan saja memberikan keuntungan kepada petani,
tetapi juga berpengaruh nyata dalam perekonomian wilayah. Begitu juga
penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Perusahaan Gula
Indonesia (P3GI) juga memberikan gambaran bahwa upaya swasembada
gula akan dicapai, walaupun hal tersebut memerlukan waktu yang cukup
lama. Upaya untuk melakukan swasembada gula dapat dilakukan dengan
sarana produksi, menerapkan usahatani terpadu, membina sistem
kelompok tani dan koperasi dan meningkatkan peran serta petani dalam
usahatani tebu.
Pakpahan (1999) menyatakan bahwa industri gula Indonesia dalam
kondisi yang memperihatinkan, namun demikian industri gula ini masih
memiliki prospek untuk ditingkatkan kinerjanya melalui program
peningkatan produktivitas dan efisiensi yang dilaksanakan secara
sungguh-sungguh. Program peningkatan kinerja tersebut diperkirakan
memerlukan transisi selama 3 (tiga) tahun. Dalam periode waktu tersebut
diperlukan insentif agar beban revitalisasi industri gula ini tidak terlalu
berat. Mengingat kunci permasalahan adalah terletak pada produktivitas
dan efisiensi, maka upaya revitalisasi perlu difokuskan pada kedua aspek
tersebut.
Soekartawi (1991) menyatakan ada beberapa alasan mengapa kita
optimis dalam upaya mencapai swasembada gula, antara lain disebabkan
adanya peluang meningkatkan produktivitas usahatani tebu, adanya
peluang untuk meningkatkan luas areal tanaman tebu, khususnya di lahan
kering, adanya peluang untuk meningkatkan efisiensi usahatani dan
efisiensi di pabrik gula dan adanya peluang untuk meningkatkan
konsumsi gula per kapita.
Haryanto, dkk., (1991) menyimpulkan bahwa usahatani tebu di
Jawa dilaksanakan pada berbagai tipe lahan sawah, yang semula pada
lebih rendah tingkat kesuburannya. Selain usahatani tebu juga dijumpai
pada lahan-lahan tegal di kawasan produksi beberapa pabrik gula di
Jawa. Bila diasumsikan bahwa perbedaan tipe lahan itu identik dengan
tingkat kesuburannya, maka akan dijumpai keragaman tingkat
produktivitas antara tipe-tipe lahan tersebut. Berarti akan terdapat
keragaman tingkat pendapatan rata-rata per hektar yang diterima petani.
Disamping itu juga disebutkan di Jawa dijumpai dua sistem usahatani
yaitu, tanam tebu asal bibit selama 18 bulan dan tebu keprasan pertama
selama 28 bulan. Berdasarkan sistem ini maka akan terjadi pengorbanan
lebih besar pada penggunaan lahan sawah dan lahan tegal untuk
bertanam tebu keprasan. Sebenarnya terjadi semacam “Persaingan”
antara tebu dan tanaman pangan dalam penggunaan lahan. Tingkat
pendapatan rata-rata per hektar tanaman dapat digunakan untuk
mengukur daya saing antara alternatif-alternatif penggunaan lahan
tersebut.
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Budidaya Tebu
Budidaya tebu adalah upaya menciptakan kondisi fisik lingkungan
tanaman tebu, berdasarkan ketersediaan sumberdaya lahan, alat dan
tenaga yang memadai agar sesuai dengan kebutuhan pada fase
pertumbuhannya, sehingga menghasilkan produksi (gula) seperti yang
tanaman tertentu yang diusahakan menyesuaikan dengan lingkungan
agroklimat (ketersediaan lahan). Karekteristik agroklimat terdiri dari iklim,
kesuburan tanah dan topografi. Budidaya tebu hendaknya menyesuaikan
dengan kondisi karakteristik agroklimat di lahan tegalan yang umumnya
dijumpai untuk tanaman tebu. Produktifitas tebu ditentukan oleh
karakteristik agroklimat yang paling minimum (Prabowo, 2007).
1. Syarat tumbuh
Tanah yang cocok adalah bersifat kering-kering basah, yaitu curah
hujan kurang dari 2000 mm per tahun. Tanah tidak terlalu masam,
pH diatas 6,4. Ketinggian kurang dari 500 m dpl.
2. Jenis – jenis tebu
Jenis tebu yang sering ditanam dan masuk varietas unggul antar lain:
PS 864, PS 862, Kidang Kencana, PSJT 941, BL, dan SS 57.
Kenthung.
3. Pembukaan kebun
Sebaiknya pembukaan dan penanaman dimulai dari petak yang
paling jauh dari jalan utama atau lori pabrik
Ukuran got standar: got keliling/mujur lebar 60 cm; dalam 70 cm, got
malang/palang lebar 50 cm; dalam 60 cm. Buangan tanah got
diletakkan di sebelah kiri got. Apabila got diperdalam lagi setelah
tanam, maka tanah buangannya diletakkan di sebelah kanan got
Juringan/cemplongan (lubang tanam) baru dapat dibuat setelah
got-got malang mencapai kedalaman 60 cm dan tanah galian got-got sudah
diratakan. Ukuran standar juringan adalah lebar 50 cm dan dalam 30
cm untuk tanah basah, 25 cm untuk tanah kering. Pembuatan
juringan harus dilakukan dua kali, yaitu stek pertama dan stek kedua
serta rapi. Jalan kontrol dibuat sepanjang got mujur dengan lebar ±1
m. Setiap 5 bak dibuat jalan kontrol sepanjang got malang dengan
lebar ± 80 cm. Pada juring nomor 28, guludan diratakan untuk jalan
kontrol (jalan tikus)
4. Turun tanah /Kebruk
Yaitu mengembalikan tanah stek kedua ke dalam juringan untuk
membuat kasuran/bantalan/dasar tanah. Tebalnya tergantung
keadaan, bila tanahnya masih basah ±10 cm, di musim kemarau terik
tebal ±15-20 cm.
5. Persiapan tanam
a. Lakukan seleksi bibit di luar kebun.
b. Bibit stek harus ditanam berhimpitan agar mendapatkan jumlah
anakan semaksimal mungkin. Bibit stek ±70.000 per ha.
c. Sebelum ditanam, permukaan potongan direndam dahulu
dengan POC NASA dosis 2 tutup ± Natural GLIO dosis 5 gr per
10 liter air.
d. Sebelum tanam, juringan harus diari untuk membasahi kasuran,
6. Cara tanam
a. Bibit Bagal/debbeltop/generasi
b. Tanah kasuran harus diratakan dahulu, kemudian tanah digaris
dengan alat yang runcing dengan kedalaman ±5-10 cm. Bibit
dimasukkan ke dalam bekas garisan dengan mata bibit
menghadap ke samping. Selanjutnya bibit ditimbun dengan
tanah.
c. Bibit Rayungan (bibit yang telah tumbuh di kebun bibit),
d. Jika bermata (tunas) satu, batang bibit terpendam dan tunasnya
menghadap ke samping dan sedikit miring, ± 45 derajat. Jika
bibit rayungan bermata dua, batang bibit terpendam dan tunas
menghadap ke samping dengan kedalaman ±1 cm.
e. Sebaiknya, bibit bagal (stek) dan rayungan ditanam secara
terpisah di dalam petak-petak tersendiri supaya pertumbuhan
tanaman merata.
7. Waktu tanam
Berkaitan dengan masaknya tebu dengan rendemen tinggi tepat
dengan masa giling di pabrik gula. Waktu yang tepat pada bulan Mei,
Juni dan Juli.
8. Penyiraman
Penyiraman tidak boleh berlebihan supaya tidak merusak struktur
tanah. Setelah satu hari tidak ada hujan, harus segera dilakukan
9. Penyulaman
a. Sulam sisipan, dikerjakan 5-7 hari setelah tanam, yaitu untuk
tanaman rayungan bermata satu.
b. Sulaman pertama, dikerjakan pada umur 3 minggu dan berdaun
3-4 helai. Bibit dari rayungan bermata dua atau pembibitan.
c. Penyulaman yang berasal dari ros/pucukan tebu dilakukan
ketika tanaman berumur ±1 bulan.
d. Penyulaman ke-2 harus selesai sebelum pembubunan,
bersama-sama dengan pemberian air ke-2 atau rabuk ke-2,
yaitu umur 1,5 bulan.
e. Penyulaman ekstra bila perlu, yaitu sebelum bumbun ke-2.
10. Pembubunan
a. Pembumbunan ke-1 dilakukan pada umur 3-4 minggu, yaitu
berdaun 3-4 helai. Pembumbunan dilakukan dengan cara
membersihkan rumput-rumputan, membalik guludan dan
menghancurkan tanah (jugar) lalu tambahkan tanah ke tanaman
sehingga tertimbun tanah.
b. Pembumbunan ke-2 dilakukan jika anakan tebu sudah lengkap
dan cukup besar ±20 cm, sehingga tidak dikuatirkan rusak atau
patah sewaktu ditimbun tanah atau ±2 bulan.
c. Pembumbunan ke-3 atau bacar dilakukan pada umur 3 bulan,
semua got harus diperdalam; got mujur sedalam 70 cm dan got
11. Garpu Muka Gulud
Penggarpuan harus dikerjakan sampai ke pinggir got, sehingga air
dapat mengalir. Biasanya dikerjakan pada bulan Oktober/November
ketika tebu mengalami kekeringan.
12. Klentek
Yaitu melepaskan daun kering, harus dilakukan 3 kali, yaitu sebelum
gulud akhir, umur 7 bulan dan 4 minggu sebelum tebang.
13. Tebu Roboh
Batang tebu yang roboh atau miring perlu diikat, baik silang dua
maupun silang empat. Ros-ros tebu, yang terdiri dari satu deretan
tanaman, disatukan dengan rumpun-rumpun dari deretan tanaman di
sisinya, sehingga berbentuk menyilang.
14. Pemupukan
a. Sebelum tanam diberi TSP 1 kw/ha.
b. Siramkan pupuk SUPER NASA yang telah dicampur air secara
merata di atas juringan dosis ±1-2 botol/1000 m² dengan cara:
Alternatif 1: 1 botol SUPERNASA diencerkan dalam 3 liter air
dijadikan larutan induk. Kemudian setiap 50 lt air diberi 200 cc
larutan induk tadi untuk menyiram juringan. Alternatif 2: setiap 1
gembor vol 10 lt diberi 1 sendok makan SUPERNASA untuk
c. Saat umur 25 hari setelah tanam berikan pupuk ZA sebanyak
0,5-1 kw/ha. Pemupukan ditaburkan di samping kanan rumpun
tebu.
d. Umur 1,5 bulan setelah tanam berikan pupuk ZA sebanyak
0,5-1 kw/ha dan KCl sebanyak 0,5-1-2 kw/ha. Pemupukan ditaburkan di
sebelah kiri rumpun tebu.
e. Untuk mendapatkan rendemen dan produksi tebu tinggi,
semprot POC NASA dosis 4-6 tutup dicampur HORMONIK 1-2
tutup per-tangki pada umur 1 dan 3 bulan.
15. Hama dan Penyakit
a. Hama Penggerek Pucuk dan batang
Biasanya menyerang mulai umur 3-5 bulan. Kendalikan dengan
musuh alami Tricogramma sp dan lalat Jatiroto, semprot
PESTONA/Natural BVR.
b. Hama Tikus
Dikendalikan dengan gropyokan dan musuh alami yaitu: ular,
anjing atau burung hantu.
c. Penyakit Fusarium Pokkahbung
Penyebab jamur Gibbrella moniliformis. Tandanya daun
klorosis, pelepah daun tidak sempurna dan pertumbuhan
terhambat, ruas-ruas bengkok dan sedikit gepeng serta terjadi
pembusukan dari daun ke batang. Penyemprotan dengan 2
tangki semprot 14 atau 17 liter pada daun-daun muda setiap
minggu, pengembusan tepung kapur tembaga (1:4:5 )
d. Penyakit Dongkelan
Penyebab jamur Marasnius sacchari, yang bisa mempengaruhi
berat dan rendemen tebu. Gejala: tanaman tua sakit tiba-tiba,
daun mengering dari luar ke dalam. Pengendalian dengan cara
penjemuran dan pengeringan tanah, harus dijaga, sebarkan
Natural GLIO sejak awal.
e. Penyakit Nanas
Disebabkan jamur Ceratocytis paradoxa. Menyerang bibit yang
telah dipotong. Pada tapak (potongan) pangkas, terdapat warna
merah yang bercampur dengan warna hitam dan menyebarkan
bau seperti nanas. Bibit tebu direndam dengan POC NASA dan
Natural GLIO.
f. Penyakit Blendok
Disebabkan oleh Bakteri Xanthomonas albilincans Mula-mula
muncul pada umur 1,5-2 bulan setelah tanam. Daun-daun
klorotis akan mengering, biasanya pada pucuk daun dan
umumnya daun-daun akan melipat sepanjang garis-garis tadi.
Jika daun terserang hebat, seluruh daun bergaris-garis hijau
dan putih. Rendam bibit dengan air panas dan POC NASA
Natural GLIO sejak awal sebelum tanam untuk melokalisir
serangan.
16. Rendemen Tebu
Proses kemasakan tebu merupakan proses yang berjalan dari ruas
ke ruas yang tingkat kemasakannya tergantung pada ruas yang yang
bersangkutan. Tebu yang sudah mencapai umur masak, keadaan
kadar gula di sepanjang batang seragam, kecuali beberapa ruas di
bagian pucuk dan pangkal batang.
Usahakan agar tebu ditebang saat rendemen pada posisi optimal
yaitu sekitar bulan Agustus atau tergantung jenis tebu. Tebu yang
berumur 10 bulan akan mengandung saccharose 10%, sedang yang
berumur 12 bulan bisa mencapai 13%.
17. Tebu Keprasan
a. Yaitu menumbuhkan kembali bekas tebu yang telah ditebang,
baik bekas tebu giling atau tebu bibitan (KBD).
b. Kebun yang akan dikepras harus dibersihkan dari kotoran bekas
tebangan yang lalu. Sebelum mengepras, sebaiknya tanah yang
terlalu kering di airi dulu. Kepras petak-petak tebu secara
berurutan. Setelah dikepras, siramkan SUPER NASA (dosis
sama seperti di atas). Lima hari atau seminggu setelah
dikepras, tanaman diairi dan dilakukan penggarapan (jugaran)
c. Lakukan penyemprotan POC NASA dan HORMONIK pada
umur 1,2 dan 3 bulan dengan dosis seperti di atas.
Pemeliharaan selanjutnya sama dengan tanam tebu pertama.
2.2.2. Perkembangan Industri Gula Di Indonesia
Industri gula dari waktu ke waktu selalu menghadapi berbagai
masalah, sehigga produksinya belum mampu mengimbangi besarnya
permintaan masyarakat. Meningkatnya konsumsi gula dari tahun ke tahun
disebabkan oleh pertambahan penduduk, meningkatnya pendapatan
penduduk dan bertambahnya industri yang memerlukan bahan baku
berupa gula. Penggunaan gula pasir pada industri yang memerlukan
bahan baku dari gula mengalami kenaikan sebesar 51% dalam selang
waktu enam tahun (antara tahun 1979-1985). Untuk memenuhi gula bagi
kebutuhan masyarakat, selama ini negara kita mengimpornya dari negara
lain. Cara terbaik dalam mengatasi hal tersebut adalah memantapkan
produksi gula dalam negeri. Dampak positif yang ditimbulkan dalam
rangka usaha peningkatan produksi adalah menghemat devisa negara
akibat berkurangnya suplai gula luar negeri, terbuka kesempatan kerja,
peningkatan pendapatan masyarakat dan diharapkan terjadi perbaikan
struktur perekonomian wilayah setempat (Anonim, 2001).
Sebelum tahun 1975, keikut sertaan petani dalam pengadaan tebu
terbatas sebagai pihak yang menyewakan lahan atau sebagai buruh
(TS) dan tebu pabrik gula. Sebagian kecil saja yang berasal dari tebu
rakyat (TR). Hal ini disebabkan karena produktivitas TR sangat rendah
dibanding TS. Produktivitas TR/TS antara tahun 1960-1969 adalah 0,61
dan antara tahun 1970-1975 adalah 0,67. Untuk memenuhi kapasitas
giling pabrik, TS yang semakin kecil menggunakan hak guna usaha
(HGU), juga menyewa lahan petani di sekitarnya untuk ditanami tebu.
Pada tanah sewa inilah sebagian besar dari TS ditanam. Namun, dari
tahun ke tahun ternyata semakin sulit mendapatkan sewa tanah.
Penyebabnya, setiap tahun petani selalu menaikkan harga sewa tanah
agar nilainya sebanding dengan hasil jika ditanami komoditas lain, seperti
padi, tembakau atau bawang merah. Karena harga gula ditetapkan
pemerintah, maka pabrik gula tidak dapat mengimbanginya. Akibatnya,
hubungan antara petani dan pihak pabrik gula (+Pemda) menjadi tegang.
Agar sistem pemakaian lahan beralih dari sistem sewa ke non sewa,
meningkatkan produksi gula dalam negeri dan memperbaiki pendapatan
petani,maka pada tanggal 22 April 1975 dikeluarkan Instruksi Presiden
nomor 9 tahun 1975 (Inpres 9/1975) mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi
(TRI). Pengertian intensifikasi adalah usaha peningkatan produktivitas
sumberdaya alam, penggunaan teknologi tepat guna, penggunaan lahan
kering, perairan dan areal pasang surut serta pemanfaatan segala sarana
produksi sepertii air, benih unggul, pupuk dan pestisida. Inpres ini
menempatkan petani sebagai produsen tebu utama yaitu petani menanam
pimpinan kerja sekaligus menjadi pengolahnya. Adanya program TRI
menimbulkan dua macam petani tebu, yaitu petani peserta dan bukan
peserta program TRI. Kelompok petani bukan peserta TRI lebih dikenal
dengan istilah Tebu Rakyat Bebas (TRB) atau tebu rakyat tradisional yaitu
petani yang menggunakan modal dan tenaga sendiri. Di Jawa, kelompok
ini banyak terdapat di daerah-daerah Jombang, Madiun, Kediri dan
Malang (Jawa Timur); Kudus, Pati dan Jepara (Jawa Tengah); dan
Majalengka (Jawa Barat). Program TRI dikelola dalam wadah koordinasi
Bimas yang melibatkan lembaga-lembaga pelayanan seperti BRI, KUD
dan pabrik gula. Ternyata program TRI tidak mencapai sasaran yang
secara mantap yaitu tidak terjadinya peningkatan produktivitas, melainkan
bertambah luasnya lahan yang dipakai untuk mengusahakan tebu.
Masalah yang timbul dalam pelaksanaan program TRI tersebut mulai dari
penyediaan lahan, biaya usahatani, penerapan teknis budidaya, tenaga
kerja, sampai pada masalah panen dan pascapanennya (Sugiyarta,
1997).
2.2.3. Perkembangan Tanaman Tebu Di Indonesia
Permasalahan dari industri gula adalah produksinya belum mampu
mengimbangi besarnya permintaan masyarakat. Meningkatnya konsumsi
gula dari tahun ke tahun disebabkan oleh pertambahan penduduk,
meningkatnya pendapatan penduduk dan bertambahnya industri yang
sebesar 51% dalam selang waktu enam tahun (antara tahun 1979-1985).
Untuk memenuhi gula bagi kebutuhan masyarakat, selama ini negara kita
mengimpornya dari negara lain. Cara terbaik dalam mengatasi hal
tersebut adalah memantapkan produksi gula dalam negeri. Dampak
positif yang ditimbulkan dalam rangka usaha peningkatan produksi adalah
menghemat devisa negara akibat berkurangnya suplai gula luar negeri,
terbuka kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan
diharapkan terjadi perbaikan struktur perekonomian wilayah setempat
(Anonim, 2001).
Sebelum tahun 1975, keikut sertaan petani dalam pengadaan tebu
terbatas sebagai pihak yang menyewakan lahan atau sebagai buruh
kasar. Saat itu, sebagian besar bahan baku tebu berasal dari tebu sendiri
(TS) dan tebu pabrik gula. Sebagian kecil saja yang berasal dari tebu
rakyat (TR). Hal ini disebabkan karena produktivitas TR sangat rendah
dibanding TS. Produktivitas TR/TS antara tahun 1960-1969 adalah 0,61
dan antara tahun 1970-1975 adalah 0,67. Untuk memenuhi kapasitas
giling pabrik, TS yang semakin kecil menggunakan hak guna usaha
(HGU), juga menyewa lahan petani di sekitarnya untuk ditanami tebu.
Pada tanah sewa inilah sebagian besar dari TS ditanam.
Namun, dari tahun ke tahun ternyata semakin sulit mendapatkan
sewa tanah. Penyebabnya, setiap tahu petani selalu menaikkan harga
sewa tanah agar nilainya sebanding dengan hasil jika ditanami komoditas
lain, seperti padi, tembakau atau bawang merah. Karena harga gula
Akibatnya, hubungan antara petani dan pihak pabrik gula (+Pemda)
menjadi tegang. Agar sistem pemakaian lahan beralih dari sistem sewa
ke non sewa, meningkatkan produksi gula dalam negeri dan memperbaiki
pendapatan petani,maka pada tanggal 22 April 1975 dikeluarkan Instruksi
Presiden nomor 9 tahun 1975 (Inpres 9/1975) mengenai Tebu Rakyat
Intensifikasi (TRI).
Pengertian intensifikasi adalah usaha peningkatan produktivitas
sumberdaya alam, penggunaan teknologi tepat guna, penggunaan lahan
kering, perairan dan areal pasang surut serta pemanfaatan segala sarana
produksi sepertii air, benih unggul, pupuk dan pestisida. Inpres ini
menempatkan petani sebagai produsen tebu utama yaitu petani menanam
tebu sendiri di atas lahan sendiri pula. Pabrik gula bertindak sebagai
pimpinan kerja sekaligus menjadi pengolahnya. Adanya program TRI
menimbulkan dua macam petani tebu, yaitu petani peserta dan bukan
peserta program TRI. Kelompok petani bukan peserta TRI lebih dikenal
dengan istilah Tebu Rakyat Bebas (TRB) atau tebu rakyat tradisional yaitu
petani yang menggunakan modal dan tenaga sendiri. Di Jawa, kelompok
ini banyak terdapat di daerah-daerah Jombang, Madiun, Kediri dan
Malang (Jawa Timur); Kudus, Pati dan Jepara (Jawa Tengah); dan
Majalengka (Jawa Barat). Program TRI dikelola dalam wadah koordinasi
Bimas yang melibatkan lembaga-lembaga pelayanan seperti BRI, KUD
dan pabrik gula. Ternyata program TRI tidak mencapai sasaran yang
secara mantap yaitu tidak terjadinya peningkatan produktivitas, melainkan
Masalah yang timbul dalam pelaksanaan program TRI tersebut mulai dari
penyediaan lahan, biaya usahatani, penerapan teknis budidaya, tenaga
kerja, sampai pada masalah panen dan pascapanennya (Sugiyarta,
1997).
2.2.4. Potensi Tebu di Indonesia dan Jawa Timur
Pandangan global tentang tebu sebagai komoditas yang elastis
terhadap perubahan pendapatan. Semakin besar pendapatan maka
semakin besar konsumsi gula per kapita. Namun perlu diingat bahwa
peningkatan konsumsi per kapita tersebut mempunyai batas tertentu.
Pada saat ini, konsumsi per kapita dunia telah berkembang pesat.
Perkembangan konsumsi terjadi terutama pada negara berkembang untuk
konsumsi langsung dan negara industri untuk konsumsi tidak langsung.
Pada tahun 2001 dominasi konsumsi gula oleh negara berkembang
sekitar 70% dimana sebagian besar konsumsinya bersifat langsung,
sedangkan negara maju hanya mengkonsumsi 30% dengan
kecenderungan konsumsi gula langsung dan pengembangan secara tidak
langsung (P3GI, 2004).
Secara nasional, proporsi pengusahaan tebu antara Jawa dan Luar
Jawa relatif tetap, dengan luasan sekitar 340 ribu Ha. Dari jumlah tersebut
sekitar 60% areal tebu berada di Jawa, terutama di Jawa Timur. Provinsi
Jawa Timur merupakan penghasil tebu sebagai bahan baku gula yang
beberapa instrumen penting dari bagian strategi-strategi kunci
pengembangan tebu. Instrumen tersebut antara lain:
1. Pengembangan pasar dan sistem pemasaran yang pada prinsipnya
diletakkan pada perlindungan terhadap petani tebu, dengan suatu
mekanisme perlindungan harga yang lebih adil dan transparan.
Dengan demikian petani dapat memperoleh imbalan hasil usaha tani
tebunya secara lebih adil.
2. Pengembangan produk dalam industri berbasis tebu pada dasarnya
harus ditempatkan dalam kerangka strategis industri yang lebih luas
dan lebih komprehensif. Sudut pandang yang dapat dilakukan dalam
konteks ini adalah melihat pengembangan produk dari bahan baku
tebu tidak hanya terbatas pada produk-produk gula semata. Dengan
demikian perubahan struktur dan kultur industri pergulaan perlu
diarahkan sebagai landasan untuk mengatasi krisis industri
pergulaan Indonesia.
3. Pengembangan investasi dari industri berbahan baku tebu pada
dasarnya disusun dan dirancang agar dapat mengembangkan
terciptanya iklim aglomerasi ekonomi yaitu berkembangnya
industri-industri berbasis tebu dalam suatu wilayah sebagai akibat
kedekatannya secara spasial dengan investasi industri gula yang
akan ditanamkan.
4. Pengembangan kebun tebu di Jawa Timur harus dilandasi keyakinan
industri hilirnya, sehingga akan meningkatkan kemampuan petani
memperbaiki efisiensi teknis kebun tebunya sebagai akibat
meningkatnya produksi dan produktivitasnya, dan mampu
mengembangkan wilayah ke arah aglomerasi ekonomi dalam bentuk
Kawasan Industri Perkebunan (KIMBUN).
5. Peningkatan efisiensi industri pengolahan yang telah ada sangat
diperlukan agar perbaikan-perbaikan pada tingkat on–farm dapat
berlanjut sehingga tercapai peningkatan produksi gula. Dalam hal
pengembangan industri pengolahan ini diperlukan langkah-langkah
penyehatan pabrik gula yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi
teknis maupun ekonomis pada proses pengolahan tebu menjadi gula
melalui perbaikan manajemen industri gula, perbaikan efisiensi
pengolahan gula, pengembangan produk dan pengelolaan
lingkungan untuk mencegah pencemaran.
6. Pengembangan sarana dan prasarana pendukung dalam
peningkatan industri berbahan baku tebu di Jawa Timur pada
dasarnya dikaitkan dengan mendorong keperluan publik dalam
pelaksanaan good farming practices ( GFP ), good manufacturing
practices ( GMP ), good handling practices ( GHP ) dan good
marketing practices ( GMP ) dalam keseluruhan rantai industri
berbahan baku tebu.
7. Pemberdayaan petani tebu melalui community development. Elemen
institutional building yang mampu mengembangkan social capital,
untuk meningkatkan bargaining position petani tebu. Kelembagaan
ditingkat petani yang telah ada di Jawa Timur diantaranya adalah
Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) dan Asosiasi Petani Tebu
Rakyat (APTR).
8. Integrasi industri berbahan baku tebu bermuara pada rekonstruksi
ulang manajemen industri secara menyeluruh, mengingat petani tebu
merupakan subyek terbesar dalam memasok dan mengembangkan
produk-produk berbahan baku tebu. Untuk itu diperlukan rekonstruksi
manajemen melalui:
a. peningkatan daya saing adaptasi dan daya inovasi pabrik gula
yang saat ini telah ada dengan menempatkan SDM petani dan
masyarakat sebagai social capital dalam mengembangkan
institusi industri pengolahan ke depan,
b. penempatan motivasi sebagai instrumen pokok dalam
meningkatkan kreativitas dan daya saing sehingga mampu
mengembangkan industri lain bernilai tambah tinggi selain gula,
c. pengembangan kelembagaan (business entity) yang mengarah
pada sinergisme antara petani, lembaga keuangan atau
perbankan, lembaga swasta, lembaga penelitian dan
pemerintah. Sosok kelembagaan BUMP (Badan Usaha Milik
Petani) merupakan pilihan yang harus diimplementasikan di
2.2.5. Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional
Sistem dan usaha agribisnis gula di Indonesia telah berlangsung
ratusan tahun dan dirancang berdasarkan kepentingan pemerintah
kolonial. Usaha pergulaan mendapat proteksi kuat dari pemerintah,
didukung harga buruh dan sewa lahan yang murah. Pada masa ini,
Indonesia mengalami masa gemilang sebagai salah satu negara utama
penghasil gula dengan jumlah produksi hampir 3 juta ton dan sebagian
besar untuk diekspor.
Pada tahun 1970-an terjadi krisis gula dunia yang puncaknya
terjadi tahun 1973-1974. Harga gula dunia mencapai 70 cent/kg.
Sementara itu upaya peningkatan produksi mengalami hambatan
terutama penyediaan lahan yang dapat disewa oleh pabrik gula untuk
menanam tebu semakin sulit karena sewa tanah dipandang petani terlalu
rendah.
Situasi seperti ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan
kebijakan berupa program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang diatur
melalui Inpres No. 9/1975. Melalui kebijakan ini, produksi gula nasional
naik 3% per tahun yang didukung perluasan areal 12,2% per tahun.
Program TRI, walaupun berhasil meningkatkan produksi, tetapi
meninggalkan berbagai persoalan yang antara lain adalah penurunan
produktivitas dan tingkat rendemen. Secara umum dapat dikatakan bahwa
sistem yang dikembangkan pada masa TRI ternyata tidak mampu
Komposisi tanaman tebu yang seharusnya tertata dalam blok-blok
pertanaman masak awal, masak tengah, dan masak akhir, yang
dibedakan berdasarkan varietas tebu, di lapangan menjadi kacau. Pabrik
gula yang pada umumnya bekerjasama dengan satu atau beberapa orang
pemasok tebu membuat sistem bertambah kacau. Dengan sistem ini,
tidak ada insentif bagi petani tebu untuk meremajakan tanaman ratoonnya
yang sudah ditebang (dikepras) lebih dari tiga kali bahkan banyak yang
sudah belasan kali, sehingga varietas tebu yang ada merupakan varietas
lama yang banyak terserang penyakit. Inilah salah satu penyebab
turunnya produktivitas tebu dan hablur.
Memasuki tahun 1990-an, tantangan bagi sistem dan usaha
agribisnis gula menjadi berat. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah
pada tahun 2002 mencanangkan Program Akselerasi Peningkatan
Produktivitas Gula Nasional 2003-2007 yang didasarkan pada solusi
fundamental atas permasalahan yang terjadi dalam sistem dan usaha
agribisnis pergulaan.
Sasaran dari program ini sampai tahun 2007 adalah terpenuhinya
kapasitas produksi gula nasional yaitu 3 juta ton gula kristal, dengan
rendemen rata-rata 8,79% dan hablur rata-rata 7,74 ton/hektar. Modal
kerja yang dibutuhkan setiap tahun mencapai Rp. 2,5 trilyun pada tahun
Terdapat tiga subprogram besar yaitu: (a) rehabilitasi atau
peremajaan perkebunan tebu, melalui penggantian varietas unggul.
Tanaman yang sudah di kepras berulang kali (3 sampai 4) kali harus
dibongkar dan diganti dengan varietas baru (b) rehabilitasi pabrik gula dari
sisi on farm yaitu penyediaan bibit unggul dengan penjenjangannya mulai
dari KBP, KBN, KBI dan KBD, dan (c) peningkatan investasi untuk
pengembangan industri Produk Pendamping Gula Tebu (PPGT) dan
idustri gula baru di Luar Jawa (Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan, 2004).
Secara khusus, Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas
Gula Nasional diupayakan untuk menciptakan harmonisasi komposisi
tanaman tebu rakyat dengan perbandingan tanaman pertama (plant cane)
dan tanaman keprasan (ratoon) sebesar 33%: 67%, dimana ratoonnya
maksimal 3-4 kali keprasan.
Upaya ini membutuhkan dukungan bibit yang bermutu dan insentif
pembongkaran ratoon yang setiap hektarnya membutuhkan pembiayaan
yang relatif mahal. Petani jelas tidak mampu membiayai dan pabrik gula
tidak mempunyai dana guna membantu petani. Oleh sebab itu, guna
membantu petani dan pabrik gula, pemerintah turun tangan membiayai
program ini melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang
disalurkan dalam bentuk Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK).
Dana PMUK yang diterapkan dengan model guliran ditujukan untuk
memupuk modal usaha dan membangun lembaga usaha milik petani yang
lebih kokoh.
Penetapan tata ruang perwilayahan komoditas tebu merupakan
sarana strategis yang dibutuhkan oleh Provinsi Jawa Timur untuk
mengamankan produktivitas gula sebagai komoditas unggulan di wilayah
ini, selain merupakan upaya untuk meningkatkan kepastian usaha
maupun investasi di bidang industri ini. Strategi ini diselaraskan dengan
misi pembangunan perkebunan berkelanjutan di Jawa Timur yaitu mampu
menghasilkan perkebunan tebu yang produktif dan efisien dari
pemanfaatan sumberdaya lahan yang terbatas. Pemilihan komoditas
unggulan didasarkan pada kesesuaian kemampuan lahan. Oleh karena itu
penetapan kebijakan pembangunan perkebunan tebu sesungguhnya
memerlukan penjabaran yang didasarkan kepada ketersediaan kapabilitas
lahan yang bersifat aktual dan potensial untuk tebu disesuaikan terhadap
perencanaan kebutuhannya. Pada Program Akselerasi tersebut pada
dasarnya akan mengeliminasi kesenjangan antara produksi gula Nasional
dengan kebutuhan domestik sehingga dapat dicapai swasembada ,
terutama dengan meningkatnya produktivitas tebu yaitu kenaikan
rendemen dan produktivitas tebu per hektar (P3GI, 2004).
Secara operasional dana Program Akselerasi (Bongkar Ratoon)
diberikan dalam bentuk LS (langsung) dari Pemerintah ke Koperasi Petani
Tebu Rakyat (KPTR) berupa Penguatan Modal Usaha Kelompok
kewirausahaan sehingga kelompok sasaran mempunyai kewenangan
dalam pengelolaannya dengan pengawasan dari Pemerintah di
Daerah/Kabupaten, Provinsi maupan Pusat (Direktorat Jenderal
Perkebunan) Departemen Pertanian.
2.2.6. Bongkar Ratoon
Salah satu kegiatan yang paling penting dari program akselerasi
adalah kebun bibit, rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (dikenal
dengan bongkar ratoon) guna memperbaiki komposisi tanama varietas
sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas potensia / yang
diharapkan.
Inti dari program bongkar ratoon sebenarnya bukan terletak pada
kegiatan peremajaan tanamannya tetapi lebih pada pembangunan dan
penguatan lembaga ekonomi milik petani yaitu Koperasi Petani Tebu
Rakyat (KPTR) dengan dana Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK).
Dana yang disalurkan, pada saat panen dikembalikan ke KPTR dengan
tingkat bunga yang telah disepakati bersama. Melalui kegiatan ini,
pengurus dan petani tebu anggota KPTR dilatih dan didampingi untuk
mengelola usaha secara profesional, mandiri, dengan mengembangkan
prinsip-prinsip kebersamaan, serta dikembangkan sesuai dengan bakat
Hal penting lainnya adalah kenyataan bahwa sistem produksi tebu
membutuhkan pengorganisasian dan disiplin produksi yang tinggi. Sistem
produksi tebu membutuhkan blok pertanaman yang teratur, yang ditanam
pada pembagian waktu sedemikian rupa setiap tahun, sehingga dapat
dibedakan blok pertanaman untuk varietas masak awal, masak tengah,
dan masak akhir, yang berkaitan dengan jadwal tebang. Dari sisi teknis
budidaya, lahan pertanian seyogyanya tidak ditanami tebu teru-menerus,
tetapi perlu sekali-kali diganti dengan tanaman lain agar tingkat kesuburan
tanahnya dapat dipertahankan serta untuk meminimalisasi anacaman
hama dan penyakit tertentu.
Karakteristik program akselerasi untuk on-farm adalah pelaksanaan
bongkar ratoon dengan penggantian varietas unggul baru baik bina
maupun non bina. Dana bongkar ratoon yang dipinjamkan secara bergulir
adalah sebesar Rp. 1.950.000,- per hektar yang diperuntukkan: (1)
bongkar sebesar Rp. 1.000.000,-, (2) pengairan sederhana sebesar Rp.
200.000,- dan (3) sarana produksi sebesar Rp. 750.000,- (Direktorat
Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003). Dana ini sebagai stimulan
bagi petani agar bisa menjalankan program, meski biaya tersebut jauh
dari kebutuhan petani. Petani bersedia mengikuti program dengan
menambah kekurangan biaya tanam dengan swadaya petani.
Tingkat produktivitas tebu dan kadar gula di Indonesia sangat
rendah, dan cenderung makin menurun disebabkan antara lain oleh
442-51 (BZ 148) dan F 154 (BZ 132). Kedua varietas tersebut umumnya
telah mengalami kemunduran. Salah satu penyebabnya adalah telah
terjangkiti penyakit-penyakit sistemik terutama penyakit pembuluh dan
kepekaannya terhadap penyakit luka api yang sangat menekan
pertumbuhan serta hasil panennya. Tingkat infeksi penyakit pembuluh di
pertanaman tebu di Indonesia saat ini sudah mencapai 60-80 %,
sedangkan serangan penyakit luka api di daerah-daerah tertentu telah
mencapai 40%. Tingkat serangan penyakit–penyakit tersebut dapat
menurunkan hasil tebu dan rendemen yang berarti. Sebagai contoh di
Brazil dengan menggunakan bibit sehat dapat menyelamatkan kehilangan
produksi sampai 30%. Survey yang dilakukan tahun 1998 di afrika
Selatan dan sekitarnya menunjukkan bahwa infeksi penyakit pembuluh
(RSD) pada tanaman tebu komersial menyebabkan penurunan hasil
15-30% pada lahan-lahan beririgasi dan 20-40% pada lahan tegalan. Tingkat
penurunan hasil makin tinggi pada kondisi kering yang nyata (Bailey dan
Farlane, 1999). Kondisi ini tentunya juga dialami pada pertanaman tebu di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari produktivitas hasil yang terus menurun
dalam beberapa tahun terakhir. Penyebab lain adalah telah menurunnya
potensi hasil tebu dari varietas lama yang disebabkan oleh berbagai
sebab, termasuk sebab-sebab fisiologis dan genetis.
Upaya menanggulangi kendala penurunan produktivitas hasil,
dipandang perlu untuk membenahi tanaman tebu di lapangan dengan