• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengembangan Wisata Alam Penyu Berbasis Masyarakat Lokal Di Pantai Temajuk Kabupaten Sambas Kalimantan Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Pengembangan Wisata Alam Penyu Berbasis Masyarakat Lokal Di Pantai Temajuk Kabupaten Sambas Kalimantan Barat"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA ALAM PENYU

BERBASIS MASYARAKAT LOKAL DI PANTAI TEMAJUK

KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT

NURITA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan Wisata Alam Penyu Berbasis Masyarakat Lokal di Pantai Temajuk Kabupaten Sambas Kalimantan Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Nurita

(4)

RINGKASAN

NURITA. Strategi Pengembangan Wisata Alam Penyu Berbasis Masyarakat Lokal di Pantai Temajuk Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan METI EKAYANI.

Kabupaten Sambas merupakan salah satu wilayah perbatasan yang masih jauh dari pembangunan. Kondisi tersebut berdampak pada perekonomian masyarakat daerah tersebut. Masyarakat lokal yang hidup kekurangan dari segi ekonomi cenderung melakukan kegiatan ilegal, yaitu menjual telur penyu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini melanggar peraturan yang ada karena telur penyu yang dijual merupakan spesies yang dilindungi. Kegiatan ini dapat mengancam populasi penyu. WWF-Indonesia (2012) menyatakan bahwa periode tahun 2009–2011 sebanyak 50.92 persen sarang penyu di Pantai Paloh dalam kondisi terancam, 48 persen tidak dapat diselamatkan dan hanya 1.08 persen yang mampu diselamatkan.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan penerapan suatu kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan secara bersamaan usaha perlindungan penyu dapat dilakukan. Penelitian ini bertujuan: (1) mengkaji kesediaan membayar (WTP) pengunjung jika diadakan wisata alam penyu di Pantai Temajuk; (2) mengkaji persepsi kesediaan masyarakat lokal untuk mengubah pola mencari nafkah dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata di Desa Temajuk; (3) mengkaji pendapatan masyarakat lokal dari hasil menjual telur penyu dan pendapatan dari usaha di bidang wisata di Desa Temajuk; (4) merumuskan strategi pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal di Pantai Temajuk.

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis willingness to pay (WTP), skala likert dengan teknik skoring, analisis pendapatan dan analisis SWOT. Analisis WTP dilakukan untuk menentukan estimasi tarif tiket wisata alam penyu yang merupakan nilai WTP pengunjung. Nilai WTP diperoleh melalui tiga tahapan analisis, yaitu: pembuatan hipotesis pasar, penentuan nilai lelang dengan metode bidding game dan penghitungan rataan WTP. Kesediaan masyarakat lokal untuk mengubah pola mencari nafkah dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata dianalisis menggunakan skala likert. Analisis pendapatan dilakukan untuk mengetahui pendapatan masyarakat lokal yang menjual telur penyu dan yang bekerja di bidang wisata. Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui kondisi wisata saat ini dan merumuskan strategi pengembangan wisata alam penyu. Analisis ini mencakup empat tahapan, antara lain: analisis matriks IFAS, matriks EFAS, matriks IE dan matriks SWOT.

(5)

bidang wisata lebih tinggi dari hasil menjual telur penyu dengan selisih Rp12 670 350 per tahun per orang. Hasil tersebut berpotensi memberikan motivasi bagi masyarakat lokal untuk bekerja di bidang wisata. Adapun strategi yang dapat diterapkan antara lain: (1) pemanfaatan keberadaan aktivitas penyu sebagai salah satu objek wisata alam yang melibatkan masyarakat dan digabungkan dengan objek wisata lainnya, (2) penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung wisata dan konservasi penyu, (3) pelatihan untuk masyarakat lokal di bidang wisata, (4) pemberdayaan masyarakat lokal sebagai pengefektifan peraturan perlindungan penyu, (5) sosialisasi terhadap pengunjung berkaitan dengan usaha pelestarian dan potensi penyu sebagai objek wisata, dan (6) pemberdayaan masyarakat lokal di bidang wisata sebagai usaha peningkatan kualitas SDM pengelola wisata.

(6)

SUMMARY

NURITA. The Development Strategy for Natural Tourism of Sea Turtle Based on Local Communities in Temajuk Beach Sambas District West Kalimantan. Supervised by SRI MULATSIH and METI EKAYANI.

Sambas District is one of the border region is still far from development. That condition has an impact on the local community's economy. Local communities who live shortcomings in terms of the economy tend to perform illegal activities, which sell sea turtle eggs to meet their needs. This is in violation of existing regulations, because the sea turtle eggs are sold is a protected species. This activity can threaten sea turtle populations. WWF-Indonesia (2012) states that the period 2009–2011 as much as 50.92 percent of sea turtle nests on the Paloh Beach under threat, 48 percent cannot be saved and only 1.08 percent were able to be saved.

Under these conditions, it would require the implementation of a policy that can improve the welfare of society and at the same time preserving the sea turtle can be done. This study aims to: (1) analyzing the willingness to pay (WTP) of visitors if natural tourism of sea turtle is held in the Temajuk Beach; (2) analyzing the willingness of local communities to change the patterns of livelihood of sea turtle egg sellers into businesses in the field of tourism in the Temajuk Village; (3) analyzing the local communities income from selling sea turtle eggs and the income from the business in the field of tourism in the Temajuk Village; (4) formulating development strategy for natural tourism of sea turtle based on local communities in Temajuk Beach.

The method used is the analysis of WTP, a likert scale with a scoring technique, revenue analysis and SWOT analysis. WTP analysis performed to determine the estimated ticket fare of sea turtle nature tourism, which is the value of WTP visitors. WTP values obtained through three stages of analysis, namely: the creation of market hypothesis, the determination of the value of the auction by bidding game method and calculation of the mean WTP. The willingness of local communities to change the patterns of livelihood of sea turtle egg sellers to businesses in the field of tourism was analyzed using a likert scale. Income analysis was conducted to determine the income of local people who sell sea turtle eggs and working in the field of tourism. SWOT analysis is used to determine the condition existing and formulate development strategies for nature tourism of sea turtle. This analysis includes four stages, among others: analysis of IFAS matrix, the matrix EFAS, IE matrix and SWOT matrix.

(7)

person. These results potentially provide motivation for local people to work in the field of tourism. The strategies that can be applied, among others: (1) utilization of the existence of the activity of the sea turtle as one of the natural attractions that involves the community and combined with other attractions, (2) the provision of facilities and infrastructure that supports tourism and preservation of sea turtle, (3) training for local communities in the field of tourism, (4) empowerment of local communities as improve the effectiveness of regulation sea turtle protection, (5) the socialization of visitors associated with conservation efforts and potential of sea turtles as a tourist attraction, and (6) the empowerment of local communities in the field of tourism as an attempt to improve the quality of human resources tourism manager.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA ALAM PENYU

BERBASIS MASYARAKAT LOKAL DI PANTAI TEMAJUK

KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dalam penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah Strategi Pengembangan Wisata Alam Penyu Berbasis Masyarakat Lokal di Pantai Temajuk Kabupaten Sambas Kalimantan Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Sri Mulatsih, MSc Agr dan Ibu Dr Meti Ekayani, SHut MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ahyar Ismail, M Agr selaku penguji dan Bapak Dr Ir Haryadi, MS selaku perwakilan dari program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) atas saran yang diberikan. Terima kasih juga penulis ungkapkan kepada Bapak Drs Zulfan selaku Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sambas, Bapak Suriawan selaku Kepala Bidang Penataan Ruang Pesisir dan Laut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas dan Bapak Hermanto selaku Anggota WWF-Kecamatan Paloh yang telah banyak memberikan informasi tentang perkembangan penyu di Pantai Paloh khususnya Pantai Temajuk serta perkembangan pariwisata dan infrastruktur Desa Temajuk. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Aman selaku tokoh masyarakat Desa Temajuk dan Bapak Rasad selaku Pengelola Objek Wisata Teluk Atung Bahari yang telah banyak memberikan informasi terkait kondisi masyarakat lokal dan kegiatan wisata di Desa Temajuk. Terima kasih juga penulis sampaikan untuk pengunjung dan masyarakat lokal Desa Temajuk yang telah memberikan partisipasinya selama pengambilan data berlangsung. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis mengakui karya ilmiah ini masih banyak kekurangan sehingga saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

Kerangka Pikir Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Kondisi Wilayah Perbatasan 7

Wisata Berbasis Masyarakat 8

Regulasi Perlindungan Penyu 9

Penyu Hijau (Chelonia mydas) 10

Konservasi dan Wisata Alam Penyu 11

Willingness To Pay (WTP) 12

Analisis SWOT 14

3 METODE 15

Lokasi dan Waktu Penelitian 15

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 15

Analisis Data 16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23

Kondisi Geografis Lokasi Penelitian 23

Kondisi Demografis Lokasi Penelitian 25

Kegiatan Ekonomi di Lokasi Penelitian 27

Keadaan Umum Objek Wisata 30

Karakteristik Responden 31

Kesediaan Membayar (WTP) Pengunjung 34

Kesediaan Masyarakat Lokal Mengubah Pola Mencari Nafkah

dari Penjual Telur Penyu ke Usaha di Bidang Wisata 36

Pendapatan Masyarakat Lokal Desa Temajuk 38

Strategi Pengembangan Wisata Alam Penyu Berdasarkan Analisis SWOT 41

5 SIMPULAN DAN SARAN 49

Simpulan 49

Saran 50

DAFTAR PUSTAKA 51

LAMPIRAN 55

(14)

DAFTAR TABEL

1 Kondisi penyu di Kecamatan Paloh tahun 2009–2011 3

2 Jenis, jumlah dan kriteria responden 16

3 Indikator kesediaan responden mengubah pola mencari nafkah dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata di Desa Temajuk 18 4 Matriks IFAS dan EFAS wisata alam penyu di Pantai Temajuk 20 5 Matriks analisis SWOT wisata alam penyu di Pantai Temajuk 22 6 Matriks variabel yang diukur, jenis, sumber, teknik pengumpulan, teknik

analisis data dan keluaran berdasarkan tujuan penelitian 22 7 Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin per Februari tahun 2015 25 8 Distribusi jumlah Kepala Keluarga (KK) per Februari tahun 2015 25 9 Distribusi penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian per Februari

2015 26

10 Karakteristik responden masyarakat lokal Desa Temajuk 32 11 Karakteristik responden pengunjung Pantai Temajuk 33 12 Kesediaan membayar (WTP) pengunjung terhadap wisata alam penyu 35 13 Rataan WTP pengunjung terhadap tiket wisata alam penyu 35 14 Estimasi penerimaan dengan penerapan harga tiket sesuai WTP

pengunjung 35

15 Kesediaan masyarakat lokal Desa Temajuk untuk mengubah pola mencari nafkah dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata 37 16 Persepsi masyarakat lokal terhadap jenis pekerjaan yang dipilih 38 17 Estimasi pendapatan masyarakat lokal Desa Temajuk 39

18 Target penjualan telur penyu 40

19 Matriks IFAS wisata alam penyu di Pantai Temajuk 41 20 Matriks EFAS wisata alam penyu di Pantai Temajuk 43 21 Matriks analisis SWOT wisata alam penyu di Pantai Temajuk 47

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 6

2 Lokasi penelitian 15

3 Matriks internal-eksternal (IE matrix) 21

4 Peta administratif Desa Temajuk 23

5 Kondisi jalan dari Desa Ceremai ke Desa Temajuk 27

6 Atraksi panen raya ubur-ubur 28

7 Peta wisata Desa Temajuk 31

8 Hasil analisis matriks internal-eksternal (IE matrix) 45

DAFTAR LAMPIRAN

1 Karakteristik responden pengunjung Pantai Temajuk 56 2 Karakteristik responden masyarakat lokal Desa Temajuk 57

3 Pendapatan masyarakat lokal Desa Temajuk 58

4 Objek wisata Desa Temajuk 59

5 Wisma penginapan di Desa Temajuk 60

6 Dokumentasi penelitian 61

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah perbatasan merupakan wilayah strategis yang menjadi wajah sebuah negara, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena wilayah-wilayah tersebut merupakan pintu masuk bagi warga negara asing atau pihak luar lainnya yang berkepentingan untuk masuk sehingga sudah sewajarnya wilayah tersebut dibangun. Akan tetapi ironisnya, masyarakat perbatasan yang ada di NKRI cenderung masuk dalam kategori masyarakat tertinggal dari berbagai aspek pembangunan (Budianta 2010; Rani 2012). Meskipun faktanya daerah perbatasan memiliki potensi sumber daya alam sangat besar, wilayah tersebut belum bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia secara optimal. Dilihat dari segi letak geografis, sebenarnya Indonesia sangat memungkinkan mengambil manfaat dari wilayah tersebut, akan tetapi kenyataannya banyak daerah perbatasan bahkan menjadi beban negara.

Sebagian besar daerah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan di masa lalu bahwa daerah perbatasan merupakan wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena merupakan daerah yang rawan keamanan telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan. Hal ini menyebabkan wilayah perbatasan di beberapa daerah menjadi tidak tersentuh oleh kegiatan pembangunan.

Persoalan-persoalan perbatasan yang cukup rumit dan kompleks selama ini kurang mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Perencanaan pembangunan yang tersentralisasi dengan memprioritaskan sasaran makro pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa mempertimbangkan aspek pemerataan memberi dampak pada timbulnya kesenjangan antar daerah, sehingga menyebabkan ketertinggalan daerah perbatasan. Seperti yang dinyatakan oleh Prasojo (2013) bahwa kurangnya pemerataan pembangunan mengakibatkan terdapat fakta kesenjangan tingkat ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan.

Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia). Garis perbatasan tersebut sepanjang kurang lebih 966 km yang terbentang di 14 kecamatan dan 98 desa mulai dari Kabupaten Sambas sampai Kabupaten Kapuas Hulu. Dalam Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kalimantan Barat triwulan III tahun 2011 bahwa terdapat 50 jalan setapak di wilayah perbatasan yang menghubungkan 55 desa di Kalimantan Barat dengan 32 desa di Sarawak (BI 2011). Kondisi tersebut menandai dekatnya hubungan masyarakat perbatasan Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi, kedekatan hubungan tersebut belum diikuti dengan kesetaraan kesejahteraan antara masyarakat perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak. Hal ini tercermin dari fasilitas atau infrastruktur cukup berbeda antara dua wilayah yang dimaksud. Berikut adalah kondisi infrastruktur di perbatasan Kalimantan Barat (BI 2011):

(16)

2

2. Sarana media elektronik khususnya siaran televisi yang dominan di wilayah perbatasan merupakan saluran luar negeri (31 desa) sedangkan yang mampu menangkap sinyal saluran nasional hanya 16 desa, dan 8 kecamatan tidak mendapatkan sinyal televisi.

3. Sumber air di 65 desa menggunakan sungai/danau sebagai sumber air dan 32 desa menggunakan mata air.

4. Sinyal telekomunikasi tidak terdapat di 39 desa, tetapi di 42 desa masih terdapat sinyal meskipun lemah.

Beberapa kondisi di atas berpotensi menghambat masuknya investasi swasta sehingga perekonomian di perbatasan hanya digerakkan oleh masyarakat lokal yang mengakibatkan aktivitas ekonomi kurang berjalan optimal. Hal ini akhirnya akan mempengaruhi pola pemenuhan kebutuhan masyarakat di wilayah perbatasan.

Kabupaten Sambas adalah salah satu daerah perbatasan yang memiliki ciri-ciri tersebut. Dalam RPJM Kabupaten Sambas periode tahun 2012–2016 dimunculkan isu strategis tentang minimnya infrastruktur dasar. Seperti yang dinyatakan oleh Huruswati et al. (2012) bahwa permasalahan utama di perbatasan Kabupaten Sambas terkait dengan infrastruktur jalan dan transportasi yang masih sulit sehingga berdampak pada kehidupan masyarakat sehari-hari.

Kehidupan masyarakat yang jauh dari pembangunan menyebabkan kecenderungan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di daerahnya, salah satunya adalah memperdagangkan telur penyu. Kegiatan tersebut merupakan salah satu pelanggaran terhadap peraturan yang ada. Akan tetapi, perdagangan telur penyu secara ilegal masih terjadi di Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas, karena Pantai Paloh termasuk kawasan open access dan 84 persen dari total panjang pantai belum berstatus kawasan konservasi (DKP-Kabupaten Sambas 2014).

Pantai Paloh merupakan pantai peneluran penyu terpanjang yang ada di Indonesia. Panjang Pantai Paloh mencapai 63 km dan 54 km dari total panjang pantai tersebut merupakan habitat penyu. Akan tetapi, hanya 10 km yang memiliki status sebagai kawasan lindung yaitu Taman Wisata Alam Tanjung Belimbing. Kemiringan dan luas Pantai Paloh sangat sesuai sebagai habitat peneluran penyu, karena penyu cenderung memilih pantai yang landai dan luas untuk melakukan pendaratan. Hasil penelitian Putra et al. (2014) menyatakan bahwa kemiringan Pantai Paloh masuk kategori landai (6.81o) dengan lebar pantai rata-rata 30.12 m. Ada 2 jenis penyu yang sering melakukan aktivitas peneluran di Pantai Paloh, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricate), akan tetapi penyu hijau lebih banyak ditemukan dibandingkan penyu sisik (Panjaitan et al. 2012; Sheavtiyan et al. 2014).

(17)

3 Tabel 1 Kondisi penyu di Kecamatan Paloh tahun 2009–2011a

Kondisi sarang penyu Jumlah sarang Persentase

Sarang yang terancam 4 167 50.92

Sarang yang tidak dapat diselamatkan 3 928 48.00 Sarang yang mampu diselamatkan 88 01.08

Total sarang 8 183 100.00

a

Sumber: Diadaptasi dari hasil presentasi WWF-Indonesia program Kalimantan Barat dalam pertemuan Forum Koordinasi Penanganan Tindak Lanjut Pidana Perikanan di Kantor Dinas

Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat pada tanggal 20 Juli 2011 dalam Anshary et al.

(2014).

Desa Temajuk memiliki Pantai Temajuk yang merupakan bagian dari Pantai Paloh. Desa Temajuk jauh dari pembangunan dan mengalami ketergantungan ekonomi terhadap negara tetangga mempengaruhi perilaku masyarakat lokal. Salah satunya adalah aktivitas perdagangan telur penyu yang dilakukan sebagai usaha untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Aktivitas ini didukung oleh letak Desa Temajuk yang berbatasan langsung dengan Desa Telok Melano Malaysia, sehingga berpotensi sebagai target pemasaran telur penyu. Agar masyarakat tidak melakukan penjualan telur penyu, maka perlu suatu kebijakan yang mendukung perlindungan penyu dan secara bersamaan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan seoptimal mungkin potensi wisata yang dimiliki Desa Temajuk.

Objek wisata alam Desa Temajuk memiliki beberapa keunikan antara lain: hamparan pasir sangat luas dengan lebar sekitar 100–150 m di Pantai Sixteen, Objek Wisata Batu Nenek yang berupa gugusan batu dalam berbagai ukuran dan membentuk formasi unik, Dermaga Temajuk yang menjorok ke laut sehingga memudahkan pengunjung untuk melihat fenomena matahari terbenam, Gunung Tanjung Datuk yang terletak di ekor Pulau Kalimantan, aktivitas panen raya ubur-ubur merupakan atraksi masyarakat lokal setiap tahun dan sebagainya. Selain potensi tersebut, di Desa Temajuk juga terdapat aktivitas peneluran penyu yang menarik untuk dijadikan objek wisata alam. Jika objek wisata alam penyu dikembangkan, maka masyarakat lokal dapat berkontribusi langsung dalam bentuk usaha di bidang wisata, seperti: penjual makanan dan minuman, pemandu wisata, penyewaan sarana dan prasarana wisata serta pelayanan jasa ojek. Melalui upaya pengembangan objek wisata penyu tersebut diharapkan dapat memberikan

income tambahan pada masyarakat lokal tanpa harus mengganggu habitat penyu, bahkan masyarakat lokal akan menjaga kelestariannya karena besarnya pendapatan bergantung pada keberadaan penyu. Dengan demikian, upaya tersebut dapat mendukung usaha pelestarian penyu dan secara bersamaan usaha peningkatan pendapatan masyarakat lokal dapat dilakukan.

Perumusan Masalah

(18)

4

periode menjadi tukik, remaja dan dewasa (berkisar antara 20–50 tahun). Oleh sebab itu, sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa ini menjadi hal yang mendesak. Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di Indonesia diberikan status dilindungi oleh negara, sebagaimana yang tertuang dalam PP nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Apalagi secara internasional, penyu masuk daftar merah (red list) di IUCN dengan status terancam (endangered) dan CITES Apendiks I yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. Akan tetapi, pemberian status perlindungan saja tidak cukup untuk memulihkan atau setidaknya mempertahankan populasi penyu di Pantai Temajuk. Selama secara ekonomi masyarakat masih lemah dan tidak mendapatkan pendapatan tambahan, maka tindakan pengambilan dan penjualan akan tetap terjadi.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlunya suatu solusi untuk melindungi penyu sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa ada unsur pemaksaan hukum. Salah satu tindakan yang dapat diambil sebagai suatu kebijakan adalah dengan mengembangkan salah satu alternatif objek wisata alam yaitu penyu dengan melibatkan masyarakat lokal secara langsung. Keterlibatan masyarakat yang dimaksud dalam kegiatan wisata alam tersebut antara lain: bekerja sebagai penjual makanan dan minuman, penyewaan sarana dan prasarana wisata, pelayanan jasa ojek dan khususnya sebagai pemandu wisata alam penyu, karena masyarakat yang biasanya mengambil telur penyu lebih mengetahui dan memahami keberadaan dan aktivitas penyu. Oleh sebab itu, upaya ini dapat memberikan manfaat ekonomi terhadap masyarakat lokal secara langsung. Agar kegiatan konservasi tersebut dapat berjalan dan berkelanjutan, maka salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah dana. Dana diperoleh dari besarnya kesediaan membayar pengunjung sehingga perlu diteliti tentang kesediaan membayar (WTP) dari setiap pengunjung. Selain itu, perlu juga penelitian tentang kesediaan masyarakat lokal untuk mengubah pola mencari nafkah dari menjual telur penyu ke usaha di bidang wisata, serta perbandingan pendapatan masyarakat lokal sebagai penjual telur penyu dan pendapatan dari usaha di bidang wisata. Berdasarkan informasi tersebut, maka dapat dirumuskan strategi yang tepat untuk pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal.

Berdasarkan kondisi yang melatarbelakangi tersebut, maka pada penelitian ini dirumuskan beberapa permasalahan antara lain:

1. Bagaimana besaran nilai kesediaan membayar (WTP) pengunjung jika diadakan wisata alam penyu di Pantai Temajuk?

2. Bagaimana kesediaan masyarakat lokal untuk mengubah pola mencari nafkah dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata di Desa Temajuk?

3. Bagaimana pendapatan masyarakat lokal dari hasil penjualan telur penyu dan penghasilan dari usaha di bidang wisata di Desa Temajuk?

4. Bagaimana strategi yang tepat untuk pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal di Pantai Temajuk?

Tujuan Penelitian

(19)

5 1. Mengkaji kesediaan membayar (WTP) pengunjung jika diadakan wisata alam

penyu di Pantai Temajuk.

2. Mengkaji kesediaan masyarakat lokal untuk mengubah pola mencari nafkah dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata di Desa Temajuk.

3. Mengestimasi pendapatan masyarakat lokal dari hasil penjualan telur penyu dan penghasilan dari usaha di bidang wisata di Desa Temajuk.

4. Merumuskan strategi yang tepat untuk pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal di Pantai Temajuk.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama bagi masyarakat Desa Temajuk dan masyarakat umum agar menumbuhkembangkan rasa peduli terhadap kondisi penyu saat ini, serta memberikan pemahaman tentang pentingnya untuk menjaga kelestarian penyu khususnya di Pantai Temajuk. Selain itu, penelitian ini diharapkan menjadi salah satu masukan sebagai pertimbangan bagi pengambil kebijakan untuk menentukan alternatif solusi yaitu pengelolaan kawasan wisata saat ini dipadukan dengan pengembangan wisata alam penyu di Pantai Temajuk, dan memberikan sumbangan pemikiran berupa penerapan strategi yang sesuai untuk pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal di Desa Temajuk.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini hanya mengkaji besaran kesediaan membayar (WTP) pengunjung Pantai Temajuk terhadap konsep penawaran yang diberikan sebagai objek wisata tambahan yaitu objek wisata penyu, sehingga bentuk pemasaran dan peluang pasar objek wisata penyu serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besaran WTP tidak diteliti secara mendalam. Selanjutnya, penelitian ini hanya mengkaji kesediaan masyarakat lokal untuk mengubah pola mencari nafkah dari usaha penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata, seperti: penjual makanan dan minuman, pemandu wisata, penyewaan sarana dan prasarana wisata serta penyedia jasa ojek. Selain itu, penelitian ini sebatas kajian terhadap penerimaan dan pendapatan masyarakat lokal yang menjual telur penyu dan masyarakat lokal yang menggeluti usaha di bidang wisata di Desa Temajuk, sedangkan pendapatan dari bentuk usaha yang belum dilakukan masyarakat Desa Temajuk tidak dikaji.

Kerangka Pikir Penelitian

(20)

6

Keterangan:

= dampak/akibat

= ruang lingkup penelitian

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Atas dasar pemenuhan kebutuhan, masyarakat melakukan salah satu usaha sebagai salah satu alternatif solusi untuk menambah pendapatan, yaitu dengan mengambil dan menjual telur penyu yang ada di Pantai Temajuk, sehingga keberadaan penyu terancam. Bahkan penjualan telur penyu dilakukan di negara tetangga yaitu Desa Teluk Melano, Malaysia. Aktivitas masyarakat tersebut dapat mengganggu keberlangsungan penyu Pantai Temajuk, lagi pula penyu merupakan salah satu fauna yang dilindungi dan termasuk daftar merah (red list) dalam IUCN dengan status Endangered (EN: genting atau terancam) serta termasuk CITES Apendiks I (CITES 2012), yang berarti bahwa satwa ini diprediksi beresiko tinggi untuk punah di alam liar pada masa yang akan datang (IUCN 2013).

Wilayah perbatasan

Status penyu terancam (Endangered)

Upaya pelestarian penyu Upaya memberikan income

tambahan kepada masyarakat lokal pola mencari nafkah dari menjual telur

penyu ke usaha di bidang wisata

Analisis SWOT (Matriks IFAS, EFAS dan IE)

WTP Skala likert Analisis pendapatan

Estimasi tarif tiket dan telur penyu dan usaha di bidang

wisata

(21)

7 Berdasarkan hal tersebut, maka perlunya suatu upaya untuk tetap menjaga kelestarian penyu sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat lokal. Sebagai salah satu alternatif yang dapat dikembangkan adalah dengan penerapan wisata alam berintegrasikan penyu dengan melibatkan masyarakat lokal. Jika upaya tersebut berkembang dengan baik, maka keberadaan penyu tetap lestari dan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat lokal juga terpenuhi.

Pengembangan wisata alam penyu perlu keberlanjutan agar dapat memberikan manfaat ekonomi yang nyata kepada masyarakat lokal. Oleh sebab itu, peran pengunjung penting untuk diperhitungkan karena penghasilan diperoleh dari kesediaan pengunjung untuk membayar yang bersumber dari tiketing (harga tiket). Selain itu, pandangan positif masyarakat lokal terhadap penambahan pendapatan dari usaha pelayanan jasa di bidang wisata juga perlu diperhitungkan karena manfaat ekonomi akan berdampak langsung dari wisata ini jika masyarakat terlibat langsung dalam kegiatan tersebut.

Terkait hal tersebut, maka dibutuhkan suatu analisis untuk mengestimasikan kesediaan membayar pengunjung (WTP) terhadap keberadaan wisata alam penyu, menganalisis kesediaan masyarakat lokal mengubah pola mencari nafkah dari usaha penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata, serta menganalisis besaran pendapatan masyarakat lokal dari hasil penjualan telur penyu dan dari usaha di bidang wisata. Informasi yang telah dikumpulkan digunakan untuk menyusun strategi yang tepat dalam usaha pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal di Desa Temajuk. Melalui penerapan wisata ini, selain membantu pemerintah setempat untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk perbatasan Temajuk, kegiatan tersebut juga dapat melestarikan keberadaan penyu di alam.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Wilayah Perbatasan

Pembangunan wilayah perbatasan jauh tertinggal dibandingkan pembangunan wilayah perkotaan maupun wilayah negara tetangga, sehingga kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal juga kurang berkembang. Secara umum daerah perbatasan termasuk ke dalam kriteria desa miskin dengan pertumbuhan cenderung lebih lambat dibandingkan dengan desa-desa sekitarnya. Budianta (2010) menyatakan bahwa beberapa faktor penyebab lambatnya pertumbuhan daerah perbatasan antara lain:

1. Daerah perbatasan belum digali secara mendalam dan menyeluruh mengenai potensi sosial ekonomi masyarakatnya yang merupakan faktor pendukung ketahanan wilayah perbatasan.

2. Lemahnya kemampuan pelayanan sosial dan ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan.

3. Kurangnya distribusi pelayanan sosial ekonomi secara merata di wilayah perbatasan.

(22)

8

Wilayah perbatasan merupakan wilayah pertemuan antara dua wilayah administrasi, sehingga sumber daya alam dan masyarakatnya bisa menjadi bagian komplementer sistem fungsional untuk pengembangan wilayah yang didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana. Akan tetapi Huruswati et al. (2010) menyatakan bahwa daerah perbatasan Indonesia mengalami persoalan sosial ekonomi dan keterbatasan fasilitas, sehingga masyarakat perbatasan cenderung menyeberang ke negara tetangga untuk memenuhi kebutuhannya. Masyarakat memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhannya ke dalam berbagai aktivitas, salah satunya adalah perdagangan. Seperti yang dilaporkan dalam Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kalimantan Barat triwulan III tahun 2011 bahwa sistem perdagangan yang terjadi di perbatasan adalah masyarakat menjual hasil pertanian dan laut ke Malaysia, dan kebutuhan pokok diperoleh dari negara tersebut (BI 2011).

Agar kecenderungan ketergantungan terhadap negara tetangga berkurang, maka salah satu yang dapat dilakukan adalah membuat rencana tata ruang yang lebih mendetail di daerah perbatasan dan percepatan pembangunan. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Prayuda dan Harto (2012) bahwa rencana tata ruang sangat dibutuhkan di daerah perbatasan supaya pengelolaannya berdaya guna, seimbang dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. Percepatan pembangunan di daerah perbatasan menjadi penting karena daerah perbatasan memiliki nilai-nilai strategis. Nilai strategis daerah perbatasan ditentukan oleh kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Hasil penelitian Prayuda dan Harto (2012) menyatakan bahwa terdapat 4 nilai strategis daerah perbatasan, antara lain:

1. Daerah perbatasan mempunyai potensi sumber daya yang bernilai ekonomi. 2. Daerah perbatasan merupakan faktor pendorong untuk peningkatan sosial

ekonomi masyarakat.

3. Daerah perbatasan mempunyai keterkaitan yang kuat dengan wilayah lainnya baik dalam lingkup regional, nasional maupun internasional.

4. Daerah perbatasan mempunyai dampak politis dan fungsi pertahanan keamanan nasional.

Wisata Berbasis Masyarakat

Pariwisata sebagai suatu kegiatan secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa dampak terhadap masyarakat setempat. Dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata mencakup dampak terhadap sosial-ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan (Riyadi dan Pambudi 2013; Moscardo dan Murphy 2014).

(23)

9 1. Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan wisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi).

2. Prinsip local ownership (pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat lokal) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan prasarana wisata, kawasan wisata dan lain-lain (nilai partisipasi masyarakat).

3. Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata (nilai ekonomi dan edukasi).

4. Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat).

5. Perintis, pengelolaan dan pemeliharaan objek wisata menjadi tanggung jawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (fee) untuk wisatawan (nilai ekonomi dan wisata).

Cara untuk menilai seberapa jauh pengaruh pariwisata terhadap kehidupan masyarakat lokal maka dapat dilihat melalui beberapa kriteria. Damayanti et al.

(2014) menyatakan bahwa upaya pengembangan daerah wisata dinilai dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat lokal yang dibuktikan dengan tiga parameter pembangunan ekonomi, yaitu:

1. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. 2. Meningkatkan pembangunan infrastruktur desa.

3. Meningkatkan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat lokal. Regulasi Perlindungan Penyu

Semua jenis penyu laut dilindungi secara internasional melalui konvensi CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna) dan termasuk ke dalam Apendiks I yang artinya pelarangan perdagangan internasional penyu dan semua jenis produknya baik dalam bentuk daging, cangkang, telur maupun bagian tubuh lainnya (CITES 2012). Kondisi ini menyebabkan penyu termasuk daftar merah (red list) di IUCN dengan status terancam/genting (endangered) atau dengan kata lain beresiko punah di alam liar dan diprediksi tinggi pada masa yang akan datang (IUCN 2013). Selain di lingkup internasional, usaha perlindungan penyu juga terdapat dalam kesepakatan di lingkup regional antara Samudera Hindia dan Asia Tenggara yang dikenal dengan

Indoan Ocean-South East Asian Marine Turtle Memorandum of Understanding

(IOSEA MoU). Kesepakatan ini juga bertujuan melakukan perlindungan terhadap penyu melalui pengawetan, peningkatan dan penyelamatan habitat penyu khusus kawasan tersebut, tidak terkecuali Indonesia.

(24)

10

yang sudah ditentukan. Selain itu, perlindungan terhadap penyu juga diatur di dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang merumuskan bahwa setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa dilindungi di antaranya adalah penyu (pasal 21), dan pada pasal 40 dijelaskan pelaku perdagangan satwa tersebut (penjual dan pembeli) dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan denda 100 juta rupiah. Di dalamnya juga dinyatakan bahwa pemanfaatan jenis satwa dilindungi hanya diperbolehkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan dan penyelamatan jenis satwa yang bersangkutan. Selain itu, di dalam Surat Keputusan Bupati Bandung Nomor 672/1996 diputuskan hanya mengijinkan pemanfaatan penyu dengan Curve Carapase Length (CCL) atau ukuran lebar kerapas lebih dari 50 cm.

Semua jenis penyu di Indonesia dilindungi secara hukum. Penyu yang pertama kali dilindungi adalah penyu belimbing (Dermochelys coriacea)melalui Keputusan Menteri Pertanian No.327/Kpts/Um/5/1978. Kemudian melalui Keputusan Menteri Pertanian no.716/Kpts/-10/1980 menyusul penyu abu-abu/lekang dan penyu tempayan memiliki status proteksi. Setelah diberlakukannya regulasi tahun 1992 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.882/Kpts/-II/92, giliran penyu pipih berstatus dilindungi. Tahun 1996, status proteksi diberlakukan terhadap penyu sisik melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.771/Kpts/-II/1996. Dengan diberlakukannya PP nomor 7 dan 8 tahun 1999, maka penyu hijau turut dilindungi.

Penyu Hijau (Chelonia mydas)

Penyu yang ada di dunia terdiri atas tujuh jenis dan enam di antaranya terdapat di Indonesia. Penyu yang tidak ditemukan di Indonesia adalah penyu jenis karnivora yaitu penyu lekang kempi (Lepidochelys kempi) atau nama lainnya Kemp’s ridley turtle. Penyu yang ada di Indonesia antara lain: penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih (Natator depressus) dan penyu tempayan (Caretta caretta).

Keberadaan penyu hijau sering ditemukan di Indonesia karena satwa ini hidup di laut tropis. Salah satu kawasan pendaratan penyu hijau adalah Provinsi Kalimantan Barat. Seperti yang dinyatakan oleh Anshary et al. (2014) yaitu kawasan Kalimantan Barat yang menjadi tempat aktivitas peneluran penyu hijau berada di sepanjang Pantai Paloh. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Sheavtiyan et al. (2014) yang menyatakan bahwa penyu yang lebih banyak mendarat di Pantai Paloh adalah penyu hijau.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pendaratan penyu hijau yaitu: faktor lingkungan, kegiatan masyarakat sekitar pantai, pasang surut air laut, kemiringan dan kebersihan pantai (Rukmi et al. 2011). Faktor lingkungan yang dimaksud adalah faktor vegetasi pantai yang ada di hamparan pantai. Sheavtiyan

(25)

11 sekitar pantai mempengaruhi penyu hijau saat mendarat dan bertelur di pantai karena penyu hijau sensitif akan suara dan gangguan lainnya. Pasang surut air laut berdampak pada kemungkinan tergenangnya sarang penyu sehingga berefek pada gagalnya penetasan telur (WWF-Indonesia 2012). Anshary (2014) menyatakan bahwa kemiringan pantai berpengaruh terhadap kemampuan pendaratan penyu. Pantai yang landai akan mempermudah saat penyu melakukan aktivitas pendaratan menuju pantai. Kebersihan pantai penting dalam hal kemudahan penyu hijau beraktivitas terutama menggali lubang untuk bertelur.

Penyu hijau memiliki kepala kecil dan paruh yang tumpul. Bagian tubuh dari penyu ini yang berwarna hijau adalah warna lemak di bawah lapisan sisik. Bisanya tubuh penyu hijau berawarna abu-abu, kehitaman atau kecoklatan. Kerapas yang dimiliki penyu hijau cukup panjang dan lebar. Putra et al. (2014) menyatakan bahwa khusus untuk penyu hijau di Pantai Paloh memiliki panjang kerapas (CCL) berkisar antara 88–113 cm dengan rata-rata 97.47 cm dan lebar kerapas berkisar antara 77–100 cm dengan rata-rata 86.68 cm. Penyu hijau termasuk omnivora karena saat masih muda, penyu ini akan makan berbagai jenis biota laut seperti alga, rumput laut, cacing laut, udang remis dan lain-lain, jika memasuki masa dewasa (ukuran tubuh sudah mencapai 20–30 cm) penyu ini akan berubah menjadi herbivora dan memakan rumput laut (WWF-Indonesia 2012). Biasanya lebar jejak (track) kurang lebih 100 cm dan bentuk pintasan berpola simetris yang dibuat oleh tungkainya, sedangkan kedalaman sarang berkisar antara 50–60 cm (Dermawan et al. 2009).

Konservasi dan Wisata Alam Penyu

Penyu adalah salah satu satwa yang berstatus terancam, sehingga perlunya suatu usaha agar keberadaannya di alam tidak punah. Konservasi penyu perlu dilakukan karena untuk menjamin keberlangsungan populasi penyu. Penangkaran penyu merupakan salah satu usaha konservasi dangan tujuan meningkatkan peluang hidup penyu sebelum dilepas ke alam. Kegiatan penangkaran penyu biasanya melalui beberapa tahapan teknis yaitu: kegiatan penetasan telur yang dilakukan pada habitat semi alami atau inkubasi, pemeliharaan tukik dan pelepasan tukik ke laut (Dermawan et al. 2009).

Bentuk nyata konservasi penyu di Indonesia telah dilakukan untuk perlindungan penyu. Pardede et al. (2015) menyatakan bahwa salah satu bentuk konservasi penyu adalah pendirian pusat konservasi dan pendidikan penyu yang dikenal dengan istilah TCEC (Turtle Conservation and Education) yang merupakan hasil kesepakatan antara Gubernur Bali, Walikota Denpasar, BKSDA Provinsi Bali dan WWF. Melalui TCEC, potensi penyu dimanfaatkan untuk pengembangan di bidang pendidikan, penelitian, pariwisata dan bisnis. TCEC salah satu strategi yang komprehensif untuk menghilangkan perdagangan ilegal penyu di Pulau Serangan.

(26)

12

Oleh sebab itu, persepsi masyarakat berperan penting dalam usaha konservasi. Berdasarkah hasil penelitian Harahap et al. (2015) menyatakan bahwa semakin baik persepsi masyarakat (stakeholders), maka semakin baik pula pengelolaan kawasan konservasi tersebut. Pada penelitian tersebut juga menyatakan bahwa bentuk pelibatan masyarakat berdasarkan masing-masing tingkat perannya dalam kegiatan wisata.

Agar mempermudah usaha pengelolaan konservasi penyu, penentuan jejaring area perlindungan penyu digunakan untuk mengestimasi pergerakkan penyu. Oleh sebab itu, telah dilakukan upaya konservasi dengan cara menentukan komposisi genetik dan temuan penanda (metal tag). Upaya tersebut telah dilakukan di Sulawesi sebagai bentuk pengelolaan konservasi penyu hijau (Chelonia mydas). Berdasarkan hasil penelitian Cahyani et al. (2007) yakni terkait temuan tag dan data genetik, jejaring pengelolaan konservasi penyu hijau di Laut Sulu, Sulawesi menunjukkan habitat pakan dan habitat peneluran berkontribusi pada habitat peneluran di kawasan pantai lain dalam hal ini di Kepulauan Derawan, Malaysia Turtle Island dan Philipine Turtle Island.

Selain usaha tersebut, usaha konservasi penyu juga dapat dilakukan dengan cara menjadikannya sebagai objek wisata, sehingga keberadaannya di alam sangat diperlukan agar aktivitas wisata dapat berjalan. Penerapan wisata berbasis penyu dapat meningkatkan pendapatan dengan adanya penciptaan lapangan pekerjaan dan secara bersamaan perlindungan terhadap penyu juga bisa dilakukan. Hasil penelitian Dermawan et al. (2009) merumuskan beberapa teknis pengelolaan wisata berbasis penyu, antara lain:

1. Membuat tata ruang wilayah yang akan menjadi objek wisata dan minimal harus ada ruang untuk kantor pengelolaan dan pusat informasi penyu, lokasi peneluran, lokasi penetasan semi alami, lokasi pemeliharaan dan pelepasan tukik, serta desain vegetasi-vegetasi yang sesuai dengan habitat penyu.

2. Konstruksi daerah wisata sesuai dengan poin pertama. 3. Promosi dan sosialisasi.

4. Menggabungkan paket wisata penyu dengan paket wisata lain di sekitarnya. 5. Pengembangan wisata harus memperhatikan kondisi dan kenyamanan penyu

bertelur karena penyu sensitif terhadap gangguan cahaya, suara dan habitat. Wisata berbasis penyu telah dikembangkan oleh beberapa negara di dunia yang berkonsepkan wisata alam atau wisata pendidikan. Waayers (2006) menyatakan bahwa wisata berbasis penyu telah dipraktikan di beberapa negara seperti: Taman Laut Sabah di Malaysia, Fiji di Pasifik Selatan, Taman Nasional Tortugero dan Rio Oro di Costa Rica, Bahia Magdalena di Mexico, Zakynthos di Yunani dan Bali di Indonesia. Selain itu, sebagai salah satu contohnya adalah di Australia yang telah membangun sebuah museum penyu khusus untuk wisatawan, agar dapat mengenal penyu lebih dekat yaitu dengan memberikan pengetahuan tentang biologi penyu, kehidupan penyu di laut, kronologis siklus kehidupan penyu, penelitian terbaru khusus penyu dan cara untuk membantu penyu agar tetap lestari (Wilson dan Tisdell 2000).

Willingness To Pay (WTP)

(27)

13 pengukuran nilai terhadap suatu objek. Selain itu, Aryanto dan Mardjuko (2005) menegaskan bahwa WTP adalah salah satu teknik penilaian untuk mengkuantifikasikan konsep nilai jasa-jasa lingkungan atau sumber daya alam. Nilai keberadaan sumber daya alam diidentifikasi dengan kesediaan bagian dari masyarakat membayar untuk pelestarian atau penggunaan nilai-nilai rekreasi hutan dan ekosistem alam, dan bagian masyarakat tersebut melakukan valuasi hutan untuk nilai keberadaannya, tidak mengenai penggunaan atau eksploitasi sumber daya alam (Dehghani et al. 2010; Blakemore dan Williams 2008; Mohammed 2009; Gelcich et al. 2013). Penilaian yang didasarkan pada

substitutability dapat diindikasikan salah satunya melalui willingness to pay

(WTP). WTP diartikan sebagai jumlah maksimum uang yang sanggup dibayarkan seseorang, sehingga indiferen antara opsi mambayar untuk perubahan sesuatu (misalnya perbaikan lingkungan) atau menolak terjadinya perubahan tersebut, dan membelanjakan pendapatannya untuk yang lain. Nilai WTP dapat menggambarkan manfaat dari suatu kebijakan yang akan diajukan seperti perbaikan lingkungan (Fauzi 2014).

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan besaran nilai kesediaan membayar (WTP) dari seseorang. Duta et al. (2007) dan Han et al.

(2011) menyatakan bahwa metode yang digunakan untuk memunculkan nilai WTP seseorang, antara lain: pertanyaan open-ended, kartu pembayaran, pilihan dikotomis, permainan penawaran berulang dan referendum. Sementara itu, Fauzi (2014) menyatakan bahwa metode untuk memunculkan nilai WTP disebut metode elisitasi, yaitu teknik mengekstrak informasi kesanggupan membayar dari responden dengan menanyakan besaran pembayaran melalui format tertentu yang umumnya ada lima format, antara lain:

1. Open ended

Metode ini dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung kepada responden untuk besaran yang dapat diberikannya terhadap objek yang akan dinilai.

2. Bidding game

Teknik mendapatkan besaran yang mampu diberikan responden terhadap objek yang dinilai dengan sistem tawar-menawar. Tawar-menawar terus berlangsung sampai responden memberikan nilai maksimum terhadap objek terkait.

3. Kartu pembayaran

Teknik mendapatkan nilai WTP dengan cara memberikan opsi nilai yang sudah ditentukan, sehingga responden hanya memilih salah satu nilai yang tersedia.

4. Single bounded dichotomous

Teknik mendapatkan nilai WTP dengan cara memberikan pertanyaan lengkap dengan satu nilai yang sudah ditentukan, sehingga responden hanya memberikan pernyataan setuju atau tidak setuju.

5. Double-bounded dichotomous

Metode ini dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan kepada responden mengenai objek yang akan dinilai. Jika responden menyatakan sanggup maka enumerator akan menaikkan nilai kelipatannya, sebaliknya jika tidak maka enumerator menurunkan setengah nilainya.

(28)

14

dijadikan acuan penentuan tarif tiket untuk wisata alam penyu yang relevan. Ada enam tahapan analisis untuk menentukan nilai WTP yang diadaptasi dari penelitian Priambodo (2014), antara lain: membuat pasar hipotesis (hypotetical

market), mendapatkan nilai penawaran, menghitung dugaan nilai WTP, menduga

kurva WTP, menentukan nilai WTP dan tahap evaluasi. Akan tetapi, pada penelitian ini hanya menggunakan 3 tahapan analisis karena tahapan analisis lainnya tidak termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian ini. Tahapan analisis untuk nilai WTP pengunjung Desa Temajuk antara lain: penentuan pasar hipotesis wisata alam penyu yang melibatkan masyarakat lokal Desa Temajuk, penentuan nilai WTP yang diperoleh dengan metode bidding game dan perhitungan nilai dan total WTP tersebut.

Analisis SWOT

Analisis SWOT merupakan salah satu alat strategi manajemen untuk mencocokkan kekuatan dan kelemahan dalam sebuah organisasi (sistem) dengan peluang eksternal dan ancaman. Rezvani (2012) menyatakan bahwa analisis SWOT secara sistematis mengakui adanya faktor dan strategi yang mencerminkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman terhadap suatu sistem. Dengan demikian, analisis SWOT secara langsung mendukung tindakan pengambilan keputusan. Seperti yang dinyatakan oleh Rangkuti (2014) bahwa analisis kekuatan internal dan kelemahan serta peluang dan ancaman secara sistematis mendukung untuk pengambilan keputusan dan membentuk model kualitas SWOT. Hal ini didukung oleh pernyataan Fahmi et al. (2013) yaitu matriks SWOT menunjukkan posisi dan potensi suatu organisasi atau perusahaan sehingga dapat memberikan alternatif strategi yang baik.

Yuksel dan Viren (2007) menyatakan bahwa cara mendapatkan alternatif strategi yang dipilih dalam menentukan kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang adalah melalui analisis lingkungan internal dan eksternal. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Sayyed et al. (2013), bahwa survei lingkungan internal dan eksternal merupakan bagian penting dari perencanaan strategis. Faktor internal dapat diklasifikasikan sebagai kekuatan (S) atau kelemahan (W) dan faktor eksternal dapat diklasifikasikan sebagai peluang (O) atau ancaman (T). Rangkuti (2014) menyatakan bahwa penggunaan analisis SWOT berdasarkan pada logika dengan cara memaksimalkan faktor yang menimbulkan dampak positif yaitu kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), akan tetapi pada saat bersamaan dapat meminimalkan faktor yang menjadi hambatan (berdampak negatif) yaitu kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Analisis SWOT membantu dalam menganalisis keuntungan dan kerugian dari kegiatan wisata dan outputnya adalah saran strategis untuk perencanaan wisata. Hal ini juga membantu dalam pemahaman baik elemen, proses dan praktek institusi lokal dalam rangka untuk menentukan intervensi yang tepat.

(29)

15 untuk masing-masing indikator; dan menggunakan bantuan kuesioner yaitu penentuan nilai setiap komponen atau indikator diberikan oleh responden melalui kuesioner mulai dari 1 (tidak penting) sampai 5 (sangat penting). Jika menggunakan bantuan kuesioner, maka di dalam kuesioner sudah terdapat komponen yang akan responden nilai. Penentuan komponen tersebut dapat diidentifikasi menggunakan kajian literatur, wawancara atau riset operasi (Rangkuti 2014). Khusus pada penelitian ini cara untuk mendapatkan nilai setiap komponen dari faktor internal dan eksternal adalah melalui bantuan kuesioner dan responden yang dipilih merupakan key persons.

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini secara sengaja (purposive) dilakukan di daerah perbatasan yaitu Desa Temajuk Kecamatan Paloh yang terletak di wilayah paling utara Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat (Gambar 2). Pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan Maret 2015.

Sumber: DKP-Kabupaten Sambas (2014)

Gambar 2 Lokasi penelitian Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara observasi lapang dan studi literatur. Observasi lapang yaitu melihat secara langsung lokasi penelitian dan wawancara dengan bantuan kuesioner yang dilakukan terhadap 3 kelompok responden, yaitu: pengunjung, masyarakat lokal dan key persons. Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penelitian.

(30)

16

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa informasi dari responden hasil wawancara dengan bantuan kuesioner dan wawancara mendalam terhadap key persons (Kepala Desa Temajuk, Kabid Pariwisata dari Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sambas, Kabid Penataan Ruang Pesisir dan Laut dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas, pengelola Objek Wisata Teluk Atong Bahari dan anggota WWF-Kecamatan Paloh). Data sekunder merupakan informasi dari hasil berbagai studi literatur dan sumber pendukung lainnya seperti: jurnal-jurnal ilmiah yang terkait, data-data yang tersedia di Kantor Desa Temajuk, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sambas, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas serta WWF. Berikut adalah bentuk data tersebut: 1. Data primer yaitu: data karakteristik responden pengunjung dan masyarakat

lokal, data nilai WTP responden pengunjung, informasi terkait aktivitas pengambilan telur penyu (hasil, harga jual telur, target penjualan, waktu pengambilan telur, sistem pengambilan telur, kendala ketika mengambil telur) dan informasi usaha di bidang wisata di Desa Temajuk.

2. Data sekunder yaitu: data perkembangan penyu di Kecamatan Paloh terutama di Desa Temajuk, informasi potensi sumber daya alam yang dimiliki Desa Temajuk, perkembangan pembangunan infrastruktur serta sektor pariwisatanya, informasi kondisi geografis, demografis dan kegiatan perekonomian.

Penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling atau sengaja. Pengambilan sampel secara sengaja dengan pertimbangan tertentu yang dianggap relevan atau dapat mewakili objek yang akan diteliti (Effendi dan Tukiran 2012; Silalahi 2009). Jenis, jumlah dan kriteria pemilihan responden dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis, jumlah dan kriteria responden Jenis

Pengunjung 30 Berdasarkan faktor demografi di lapangan dan karakteristik berwisata.

Masyarakat lokal

20 Sengaja dipilih masyarakat yang mengambil dan menjual telur penyu.

Key persons 5 Sengaja dipilih dari Kepala Desa Temajuk,

Kabid Pariwisata dari Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sambas, Kabid Penataan Ruang Pesisir dan Laut dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas, pengelola Objek Wisata Teluk Atong Bahari dan anggota WWF-Kecamatan Paloh.

Jumlah 55

Analisis Data

Penentuan nilai WTP pengunjung

(31)

17 menentukan nilai WTP pengunjung Pantai Temajuk yang diadaptasi dari Priambodo (2014).

1. Penentuan pasar hipotetik (hypotetical market)

Sebelum masuk ke tahap penawaran tarif tiket wisata, responden diberi gambaran tentang skenario/pasar hipotesis yang telah ditentukan. Hal ini diperlukan karena nilai WTP dipengaruhi oleh pasar hipotesis yang digambarkan (Plott dan Zeiler 2005; Campbell dan Smith 2006). Pasar hipotetik atau skenario yang dimaksud berupa penyajian informasi yang diberikan pada responden mengenai pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal di Desa Temajuk dalam upaya pelestarian penyu dan peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Setelah penyajian informasi dilakukan, responden diberi pertanyaan mengenai kesediaan membayar tarif tiket wisata alam penyu.

Pasar hipotetik yang dibuat pada penelitian ini adalah sebagai berikut: “Penyu merupakan salah satu satwa yang dilindungi baik secara nasional maupun internasional. Akan tetapi perdagangan telur penyu masih terjadi yang mengakibatkan populasinya di alam terancam. Hal tersebut terjadi di Desa Temajuk karena Pantai Temajuk merupakan salah satu habitat penyu. Masyarakat Desa Temajuk menjual telur penyu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sisi lain, Desa Temajuk memiliki banyak potensi pariwisata yang belum dikelola secara optimal yang dapat memberikan income tambahan kepada masyarakat lokal. Salah satunya adalah adanya aktivitas peneluran penyu. Oleh sebab itu, aktivitas penyu di Pantai Temajuk direncanakan menjadi salah satu objek wisata. Kegiatan wisata ini memprioritaskan keterlibatan masyarakat lokal sebagai pemandu wisata penyu maupun usaha lainnya. Dengan demikian, wisata ini dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal berupa income tambahan sehingga masyarakat dapat mengubah pola mencari nafkah dari mengambil dan menjual telur penyu ke usaha di bidang wisata dan secara bersamaan upaya pelestarian penyu dapat dilakukan. Agar kegiatan wisata ini dapat berjalan dan berkelanjutan, peran pengunjung diperlukan sebagai sumber dana yang diperoleh dari tarif tiket wisata alam penyu. Apakah bapak/ibu/saudara/i bersedia berpartisipasi dalam bentuk kesediaan membayar untuk pelestarian penyu melalui wisata alam penyu? ”.

2. Penentuan nilai lelang (bids)

(32)

18

3. Nilai rataan WTP pengunjung

Setelah nilai WTP dari setiap responden diperoleh, maka dilakukan tahapan selanjutnya yaitu menghitung nilai rataan WTP. Nilai rataan WTP dihitung menggunakan formula berikut ini (Hanley dan Splash 1993).

P n n ... (i)

Kesediaan masyarakat lokal mengubah pola mencari nafkah dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata

Kesediaan masyarakat lokal untuk mengubah pola mencari nafkah dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata di Desa Temajuk dianalisis dengan metode skala likert melalui teknik skoring. Bentuk usaha di bidang wisata yang dimaksud antara lain: pemandu wisata, penjual makanan/minuman/souvenir, penyewaan sarana dan prasarana wisata dan pelayanan jasa ojek. Metode ini dilakukan dengan pemberian nilai oleh responden yang ditentukan pada skala tertentu. Pada penelitian ini ditentukan 4 skor skala penilaian, yaitu: tidak bersedia diberi nilai 1, cukup bersedia diberi nilai 2, bersedia diberi nilai 3 dan sangat bersedia diberi nilai 4.

Tabel 3 Indikator kesediaan responden mengubah pola mencari nafkah dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata di Desa Temajuk

Keterangan Parameter

- Tidak bersedia mengubah pola mencari nafkah

dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata

- Cukup bersedia mengubah pola mencari nafkah

dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata

- Bersedia mengubah pola mencari nafkah dari

penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata

- Sangat bersediamengubah pola mencari nafkah

dari penjual telur penyu ke usaha di bidang wisata

Pendapatan masyarakat lokal

1. Pendapatan masyarakat lokal menjual telur penyu

Pendapatan masyarakat lokal menjual telur penyu di Desa Temajuk dihitung menggunakan analisis penerimaan dan pendapatan. Rumus yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

– P ... (ii) Keterangan:

I = pendapatan (income) penjualan telur penyu (Rp/th) TC = total biaya yang dikeluarkan (Rp/th)

TR = penerimaan total hasil menjual telur penyu (Rp/th) P = harga telur penyu (Rp/btr)

(33)

19 2. Pendapatan masyarakat lokal dari usaha di bidang wisata

Bentuk keterlibatan masyarakat lokal dapat berupa usaha di bidang wisata, antara lain: penjual makanan dan minuman, pemandu wisata, penyewaan sarana dan prasarana wisata dan penyedia jasa ojek. Pada penelitian ini bentuk keterlibatan masyarakat lokal secara sengaja dipilih masyarakat lokal yang menjual makanan dan minuman. Hal ini dilakukan berdasarkan kondisi demografi di lapangan dan hasil penelitian Zuhriana et al. (2013) bahwa masyarakat sekitar lokasi wisata lebih cenderung menjadikan usaha di bidang wisata yaitu penjual makanan dan minuman sebagai pekerjaan utama. Selain itu, pendapatan dari masyarakat lokal sebagai penyedia penyewaan wisma penginapan juga dianalisis. Pendapatan masyarakat lokal dari usaha di bidang wisata dianalisis dengan rumus pendapatan (Persamaan ii). Pendapatan dari usaha di bidang wisata minimal sama dengan pendapatan menjual telur penyu sehingga masyarakat termotivasi untuk meninggalkan kegiatan ilegal menjual telur penyu dan berpindah bekerja di bidang wisata.

Strategi pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal

Strategi pengembangan wisata alam penyu di Desa Temajuk dirumuskan menggunakan analisis SWOT. Analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT) adalah sebuah pendekatan yang menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi sebuah organisasi atau rencana kegiatan (Buta 2007; Margles et al. 2010; Favro et al. 2010). Analisis SWOT digunakan dengan tujuan memaksimalkan kekuatan dan peluang, meminimalkan ancaman eksternal, mengubah kelemahan menjadi kekuatan dan memanfaatkan peluang serta meminimalkan kelemahan internal (Sayyed et al. 2013). Seperti yang dijelaskan oleh Rezvani et al. (2010) bahwa tujuan khusus dari analisis SWOT adalah untuk mengidentifikasi kekuatan internal suatu kegiatan dalam rangka untuk mengambil keuntungan dari peluang eksternal dan menghindari ancaman eksternal maupun internal, secara bersamaan menangani kelemahan. Oleh sebab itu, analisis SWOT memungkinkan transparansi dalam proses pengambilan keputusan (Margles et al. 2010; Karahman dan Caliscan 2012).

Penentuan strategi yang tepat untuk suatu rencana kegiatan harus memiliki tahapan tersendiri sesuai dengan kondisi saat ini. Penyusunan formula strategi kebijakan untuk pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal di Pantai Temajuk melalui beberapa tahapan yang diadaptasi dari Rangkuti (2014): 1. Menentukan faktor-faktor strategi internal yang terdiri atas komponen kekuatan

dan kelemahan serta analisis bobot, rating dan skor (matriks IFAS).

2. Menentukan faktor-faktor strategi eksternal, yang terdiri atas komponen peluang dan ancaman serta analisis bobot, rating dan skor (matriks EFAS). 3. Membuat matriks internal-eksternal (IE matrix).

4. Merumuskan alternatif strategi dengan membuat matriks SWOT. 1. Penentuan IFAS dan EFAS

Sebelum menentukan matriks SWOT, perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui faktor internal atau Internal Strategic Factors Analysis Summary

(IFAS) dan faktor eksternal atau External Strategic Factors Analysis Summary

(IFAS) (Sayyed et al. 2013). IFAS mempresentasekan faktor internal strengths

dan weaknesses, sedangkan EFAS mengindikasikan faktor eksternal opportunities

(34)

20

dimasukkan dalam bentuk matriks (Tabel 4). Berikut adalah adaptasi tahapan penentuan faktor-faktor tersebut (Rangkuti 2014):

a. Penentuan faktor internal

1. Penentuan komponen faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal di Pantai Temajuk.

2. Pemberian bobot setiap komponen berdasarkan tingkat kepentingannya mulai dari 0.00 (tidak penting) sampai 1.00 (sangat penting).

3. Penghitungan rating untuk setiap komponen dengan pemberian skala mulai dari 1 (poor) sampai 4 (outstanding) berdasarkan tingkat pengaruhnya terhadap perencanaan pengembangan wisata alam penyu. Komponen yang menjadi kekuatan bersifat positif, artinya semakin besar pengaruh komponen suatu kekuatan nilainya semakin besar dan semakin kecil pengaruh suatu komponen kekuatan nilainya semakin kecil, sebaliknya untuk komponen yang menjadi kelemahan bersifat negatif, artinya semakin besar pengaruh komponen suatu kelemahan nilainya semakin kecil dan semakin kecil pengaruh komponen suatu kelemahan nilainya semakin besar.

4. Bobot dan rating dikalikan untuk memperoleh faktor pembobotan, hasilnya berupa skor pembobotan masing-masing komponen dalam faktor internal. 5. Penjumlahan skor pembobotan sehingga diperoleh total skor pembobotan. Tabel 4 Matriks IFAS dan EFAS wisata alam penyu di Pantai Temajuka

Faktor strategi Internal Bobot

Faktor strategi eksternal Bobot

(B)b

Sumber: Diadaptasi dari Rangkuti (2014), bx: Nilai bobot dan rating.

b. Penentuan faktor eksternal

1. Penentuan komponen faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal di Pantai Temajuk.

2. Pemberian bobot setiap komponen berdasarkan tingkat kepentingannya mulai dari 0.00 sampai 1.00.

(35)

21 peluang bersifat positif, artinya semakin besar pengaruh suatu komponen peluang nilainya semakin besar dan semakin kecil pengaruh komponen suatu peluang nilainya semakin kecil, sedangkan pemberian rating pada komponen ancaman bersifat negatif, artinya semakin besar pengaruh komponen suatu ancaman nilainya semakin kecil dan semakin kecil pengaruh suatu komponen ancaman nilainya semakin besar.

4. Bobot dan rating dikalikan untuk memperoleh faktor pembobotan, hasilnya berupa skor pembobotan masing-masing faktor eksternal.

5. Penjumlahan skor pembobotan sehingga diperoleh total skor pembobotan. 2. Penentuan Matriks Internal-Eksternal (IE Matrix)

Rangkuti (2014) menyatakan bahwa tujuan penentuan matriks internal-eksternal (IE matrix) adalah melihat strategi yang tepat untuk diterapkan berdasarkan total skor dari masing-masing hasil IFAS dan EFAS. Matriks internal-eksternal digunakan untuk mengetahui posisi dan kondisi wisata alam saat ini dan arah pengembangan wisata alam penyu di Pantai Temajuk. Berikut adalah arah pengembangan atau perbaikan yang digunakan dalam analisis SWOT (Rangkuti 2014):

Kuadran I = strategi konsentrasi melalui integrasi vertikal Kuadran II = strategi konsentrasi melalui integrasi horizontal Kuadran III = pengelolaan dalam kondisi penciutan (turnaround) Kuadran IV = strategi stabilitas

Kuadran V = strategi konsentrasi melalui integrasi horizontal atau stabilitas Kuadran VI = strategi divestasi (pengelolaan dalam situasi pengurangan) Kuadran VII = strategi diversifikasi konsentrik

Kuadran VIII = strategi diversifikasi konglomerat Kuadran IX = strategi likuiditas atau bangkrut

Total skor faktor strategi internal

Gambar 3 Matriks internal-eksternal (IE matrix) 3. Penentuan Matriks SWOT

Penentuan strategi kebijakan pengembangan wisata alam penyu berbasis masyarakat lokal di Pantai Temajuk menggunakan matriks berdasarkan elemen-elemen SWOT (Tabel 5). Berdasarkan matriks tersebut, maka dihasilkan empat set alternatif strategi yang diadaptasi dari Orr (2013) dan Rangkuti (2014), yaitu: a. Strategi SO yaitu strategi berdasarkan jalan pemikiran memanfaatkan seluruh

kekuatan wisata alam penyu di Pantai Temajuk untuk mendapatkan dan memanfaatkan peluang semaksimal mungkin dari wisata tersebut.

(36)

22

b. Strategi ST yaitu strategi menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman yang mempengaruhi aktivitas wisata alam penyu di Pantai Temajuk.

c. Strategi WO yaitu strategi memanfaatkan peluang yang ada pada wisata alam penyu di Pantai Temajuk dan meminimalkan kelemahan yang dimilikinya. d. Strategi WT yaitu strategi didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan

berusaha meminimalkan kelemahan yang ada pada wisata alam penyu di Pantai Temajuk serta menghindari ancaman yang dihadapi.

Tabel 5 Matriks analisis SWOT wisata alam penyu di Pantai Temajuka

IFAS

EFAS Kekuatan (strenght) Kelemahan (weakness)

Peluang (opportunities)

Keseluruhan metode yang digunakan untuk penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6. Mulai dari variabel yang diukur, sumber data, jenis data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data sampai keluaran penelitian.

Tabel 6 Matriks variabel yang diukur, jenis, sumber, teknik pengumpulan, teknik analisis data dan keluaran berdasarkan tujuan penelitian

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Gambar 2 Lokasi penelitian
Tabel 2 Jenis, jumlah dan kriteria responden
Tabel 3 Indikator kesediaan responden mengubah pola mencari nafkah dari
+7

Referensi

Dokumen terkait

Populasi dalam penelitian ini adalah objek wisata pemandian alam babarsari dan penduduk desa Kutalimbaru yang terlibat dalam kegiatan kepariwisataan dan pengunjung objek wisata,

KedUB, mengantisipasi persaingan antar obyek wisata dengan meningkatkan kualitas, kuantitas dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, menyesuaikan harga tiket dengan

Berdasarkan faktor internal dan eksternal maka strategi paling utama untuk pengembangan wisata alam adalah strategi menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan

Pengelolaan Wisata Pantai Berbasis Konservasi Penyu Hijau ( Chelonia mydas ) di Pangumbahan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan

Pengembangan wisata alam antara lain: (1) pengembangan obyek daya tarik wisata alam dengan menjaga keaslian dan kelestarian kawasan, pembatasan pada blok pemanfaatan

Pengunjung yang tidak tau konservasi Mengerti konservas Memberi informasi di visitor center Guide oleh Masyarakat setempat yang terdidik wawasan konservasi dan wisata alam

pengunjung wisata untuk menjaga kebersihan dan pelestarian alam, serta kondisi sosial, politik, ekonomi yang belum stabil; (3) prinsip ekowisata menjadi landasan

Dalam konteks Leang Londrong, hal ini dapat diinterpretasikan bahwa aktivitas wisata alam memberikan kontribusi ekonomi yang penting, di mana usaha wisata memberikan manfaat ekonomi