• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arahan penataan kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Arahan penataan kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

ARAHAN PENATAAN KAWASAN

PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN

PETERNAKAN SAPI POTONG

DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

SUSY HERLINDA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ARAHAN PENATAAN KAWASAN PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari kutipan karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2007

Susy Herlinda

(3)

ABSTRAK

SUSY HERLINDA. Arahan Penataan Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota. Dibawah bimbingan SANTUN R.P. SITORUS, UUP S. WIRADISASTRA dan YAYAT SUPRIATNA.

Penetapan kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan erat kaitannya dengan evaluasi dan analisis kesesuaian lahan terutama bagi ternak ruminansia karena sangat tergantung pada lahan dalam pengembangbiakannya (land based agriculture). Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki salah satu komoditi unggulan yaitu ternak sapi potong, dengan jumlah populasi sampai tahun 2005 sebesar 58 590 ekor. Penetapan kawasan penyebaran dan pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota belum memperhatikan potensi dan kesesuaian lahan. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota, 2) menghitung daya dukung lahan-lahan yang sesuai bagi usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota dan 3) menentukan arahan kawasan penyebaran dan pengembangan serta kapasitas peningkatan sapi potong berdasarkan potensi sumberdaya lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota. Penelitian ini berlangsung dari bulan April sampai September 2006, berlokasi di Kabupaten Lima Puluh Kota. Pengolahan data dilakukan menggunakan program SIG dan MS Excel. Penentuan kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan sapi potong, menggunakan analisis Nilai Kriteria Karakterisasi Kunci, analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota sesuai untuk lingkungan ekologis sapi potong dengan luas 157 822 ha (57.58%%). Hasil overlay peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong dengan peta kesesuaian hijauan makanan ternak menunjukkan bahwa lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan ternak sapi potong adalah lahan pada kebun campuran, tegalan/ladang, perkebunan, semak/rerumputan, sawah dan hutan produksi dengan luas keseluruhan 107 719 ha, dengan daya dukung 128 214 Satuan Ternak (ST). Pada kebun campuran, tegalan/ladang, perkebunan dan sawah pengembangan peternakan dapat dilakukan dengan sistem diversifikasi, sedangkan pada lahan semak/rerumputan dan hutan produksi dengan sistem ekstensifikasi. Kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah Kecamatan Pangkalan, Kecamatan Suliki dan Kecamatan Lareh Sago Halaban, dengan luas wilayah pengembangan 28 386 ha, Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak 148 151 ST dan kapasitas penambahan ternak sapi potong 24 882 ST (35 546 ekor).

(4)

ABSTRACT

SUSY HERLINDA. Arrangement of Beef Cattle Regional Distribution and Development at Lima Puluh Kota District. Under supervision of SANTUN R.P. SITORUS, UUP S. WIRADISASTRA and YAYAT SUPRIATNA.

An animal husbandry distribution and development planning have strong relationship with evaluation and analysis of land suitability for ruminant because of dependency on land based agriculture. In 2005, beef cattle as basic sector commodity of Lima Puluh Kota District, has 58.590 population. However, their distribution and development has not yet take into account land potency and suitability. The objectives of this research are: 1) to identify suitable land for beef cattle development, 2) to calculate carrying capacity the suitable land for beef cattle and 3) to determine regional distribution and development of beef cattle based on land resources potency in Lima Puluh Kota District. The research was carried out from April to September 2006. To attain the aims of this research, GIS approach and MS Excel program were used for data analysis. In determining land allocation for distribution and development area of beef cattle, used Key Characteristic Criteria Value analysis, Location Quotient (LQ) analysis and Shift Share Analysis (SSA). The result of the spatial analysis showed that land suitable for development of beef cattle in Lima Puluh Kota District were land of mixed garden, farmyard, plantation, bushes, paddy rice field and production forest, respectively. The total area include 107.719 ha with carrying capacity of greenish feed 136.845 Animal Unit (AU).The feasible regions in Lima Puluh Kota District for distribution and development of beef cattle are Pangkalan Koto Baru, Suliki and Lareh Sago Halaban Subdistrict, respectively. The total area 28.386 ha, with carrying capacity 148.151 AU and beef cattle additional capacity 24.882 AU (35.546 heads).

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(6)

ARAHAN PENATAAN KAWASAN

PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN

PETERNAKAN SAPI POTONG

DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

SUSY HERLINDA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Penelitian : Arahan Penataan Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota Nama : Susy Herlinda

NRP : A 253050204

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus Ketua

Prof. Dr Ir Uup S. Wiradisastra Ir Yayat Supriatna, MURP.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr. Prof. Dr Ir Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(8)

Kupersembahkan kepada:

Yang terhormat dan tercinta suamiku Harjoni

Terima kasih atas segala do’a, kesabaran dan kasih sayangmu serta maaf atas baktiku yang tertunda sejenak.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan kekuatan dan kasih sayang-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Arahan Penataan Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota” ini dapat diselesaikan.

Ucapan terima kasih atas segala bantuan dan bimbingan untuk penyelesaian usulan penelitian ini penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku ketua, dan Bapak Prof Dr Ir Uup S. Wiradisastra dan Bapak Ir Yayat Supriatna, MURP sebagai anggota komisi pembimbing.

2. Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bapak Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr atas kesempatan yang diberikan untuk belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah.

3. Pemerintah Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota yang telah memberikan izin untuk mengikuti program tugas belajar ini.

4. Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota periode tahun 2003-2006 (Bapak Drh. Zainal Abidin Malik), atas dorongan dan motivasi untuk maju serta dukungan materi yang telah diberikan.

5. Kepala Pusbindiklatren Bappenas yang telah mengalokasikan anggaran beasiswa tugas belajar.

6. Segenap dosen pengajar dan asisten pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas bimbingan dan dukungannya.

7. Segenap staf Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah membantu kelancaran selama studi.

8. Seluruh staf Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor atas segala bantuannya.

9. Bapak Ir. Subroto M.S. dan Ibu Ir. Elizabeth Juarini M.S. dari Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, atas segala informasi dan pemahaman yang diberikan. 10.Kedua orang tua dan mertua tercinta atas segala dukungan dan do’a yang

senantiasa mengalir dengan tulus ikhlas.

11.Adikku Yanti dan Yas, terima kasih atas segala dukungan dan ketulusan kalian selama ini, serta ananda tersayang Salma dan Alia, untuk tawa ceria yang menyegarkan dikala jenuh.

12.Adikku Yanto sekeluarga di Batam, atas segala kelapangan yang diberikan di saat-saat sempit.

13.Adikku Apit, untuk segala do’a dan bantuan yang menenangkan di saat kesibukan dan kepanikanku.

14.Mami, Papi, Doy dan Dey atas dukungan moril dan materilnya.

15.Mas Mursyid dan Mas Tri, atas segala bantuan yang berkaitan dengan peta-peta yang digunakan pada penelitian ini.

(10)

kebat-kebit di akhir batas masa studi. Terima kasih untuk segala kebersamaan dan kekompakannya.

17.Teman-teman dan senior di Disnakkan Kabupaten Lima Puluh Kota : Da Dek, Pak Sofyan, Ni Eni, Ni Eka, El, Ineng, Ipin, Da Firman, Ni Im, Ni Tut, Buk Marni, serta teman-teman lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, atas segala bantuan, terutama dalam penyiapan data dan survey lapangan.

18.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungannya.

Saya menyadari bahwa penelitian ini tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran untuk kebaikan sangat saya hargai. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Februari 2007

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Maret 1971 dari ayah Azwir Hamid, S.H. dan ibu Murna. Penulis adalah anak sulung dari empat orang bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Universitas Andalas dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun 2005 penulis berkesempatan untuk melajutkan ke Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas dan atas perintah tugas belajar dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………... xii

DAFTAR GAMBAR ……….. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………... xv

I. PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 4

1.3. Tujuan Penelitian ……….. 5

1.4. Manfaat Penelitian ……… 5

1.5. Kerangka Pemikiran ………... 6

1.6. Keterbatasan Penelitian………. 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 9

1.2. Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Ternak ... 9

2.2. Ternak Sapi Potong ……….. 12

2.3. Hijauan Makanan Ternak Sapi Potong ... 13

2.4. Evaluasi Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia... 14

2.5. Daya Dukung Lahan ………... 17

2.6. Sistem Informasi Geografi (SIG) ………... 18

2.7. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu... 20

III. METODE PENELITIAN ………... 22

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 22

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 22

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.4. Metode Identifikasi dan Teknik Analisis Data... 24

3.4.1. Identifikasi Jenis Penggunaan Lahan Potensial ... 28

3.4.2. Penilaian Kesesuaian Lingkungan Ekologis Sapi Potong... 28

3.4.3 Penilaian Kesesuaian Lahan Tanaman Hijauan Makanan Ternak... 29

3.4.4 Penghitungan Daya Dukung Lahan yang Sesuai bagi Pengembangan Ternak Sapi Potong... 30

3.4.5 Arahan Kawasan Penyebaran dan Pengembangan ... 32

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 36 4.1. Keadaan Geografis... 36

(13)

4.2. Kependudukan... 37

4.3. Iklim... 40

4.4. Geologi, Fisiografi dan Keadaan Tanah... 40

4.6. Keragaan Peternakan Sapi Potong... 41

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 5.1. Identifikasi Lahan untuk Pengembangan Ternak Sapi Potong... 45

5.1.1. Penutupan dan Penggunaan lahan... 45

5.1.2. Kesesuaian Lingkungan Ekologis Sapi Potong... 47

5.1.3. Kesesuaian Lahan Tanaman Hijauan Makanan Ternak... 49

5.1.3.1. Kesesuaian Lahan Padi (Oryza sativa)... 51

5.1.3.2. Kesesuaian Lahan Jagung (Zea mays)... 53

5.1.3.3. Kesesuaian Lahan Kacang Tanah (Arachis hypogeae)... 56

5.2. Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak... 68

5.3. Arahan Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Ternak Sapi Potong... 72

5.3.1. Analisis Nilai Kriteria Karakterisasi Kunci... 72

5.3.1.1 Analisis Nilai Kriteria Karakterisasi Sumber Daya Manusia (SDM)... 73

5.3.1.2. Analisis Nilai Kriteria Karakterisasi Kelembagaan Input dan Output... 76

5.5.3. Kawasan Penyebaran dan Pengembangan... 81

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 87 6.1. Kesimpulan... 87

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Perkembangan distribusi persentase PDRB atas dasar harga

berlaku tahun 2002 - 2004 ………... 3 2 Populasi dan Rumah Tangga Pemelihara (RTP) ternak sapi di

Kabupaten Lima Puluh Kota ………... 3 3 Jenis dan sumber data …... 24 4 Kriteria penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak sapi

sistem pemeliharaan dikandangkan……….. 29 5 Kriteria status daya dukung hijauan berdasarkan indeks daya

dukung….……….………... 32 6 Nilai kriteria karakteristik kunci... 33 7 Luas wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota menurut penutupan dan

penggunaannya tahun 2004... 37 8 Luas wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota menurut penutupan dan

penggunaan lahan berdasarkan perhitungan peta digital... 37 9 Luas kecamatan, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di

Kabupaten Lima Puluh Kota……… 38 10 Jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan

dan jenis kelamin……….. 38 11 Wilayah/pola curah hujan Kabupaten Lima Puluh Kota dengan tipe

iklimnya berdasarkan bulan basah dan bulan kering………... 40 12 Perkembangan populasi sapi Kabupaten Lima Puluh Kota tahun

2000-2005………. 42 13 Sebaran peternakan sapi di Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2004. 43 14 Jenis pentupan dan penggunaan lahan di Kabupaten Lima Puluh

Kota... 45 15 Luas kesesuaian lingkungan ekologis ternak sapi potong sistem

kandang per kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota... 49 16 Luas kesesuaian tanaman padi pada berbagai penggunaan lahan di

Kabupaten Lima Puluh Kota……… 52 17 Luas kesesuaian tanaman jagung pada berbagai penggunaan lahan di

Kabupaten Lima Puluh Kota……… 54 18 Luas kesesuaian tanaman kacang tanah pada berbagai penggunaan

lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota……….. 57 19 Luas kesesuaian tanaman ubi kayu pada berbagai penggunaan lahan

di Kabupaten Lima Puluh Kota……… 58 20 Luas kesesuaian tanaman ubi jalar pada berbagai penggunaan lahan

di Kabupaten Lima Puluh Kota……… 60 21 Luas kesesuaian tanaman rumput gajah pada berbagai penggunaan

lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota……….. 62 22 Luas kesesuaian tanaman rumput setaria pada berbagai penggunaan

(16)

23 Luas kesesuaian tanaman rumput alam pada berbagai penggunaan

lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota……….. 65

24 Luas kesesuaian tanaman leguminosa pada berbagai penggunaan lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota……….. 68

25 Kepadatan ekonomi ternak sapi Kabupaten Lima Puluh Kota……… 69

26 Luas, produksi dan daya dukung hijauan makanan ternak pada berbagai jenis penggunaan lahan……….. 70

27 Produksi, daya dukung dan indeks daya dukung hijauan makanan ternak……… 70

28 Penilaian kriteria pendidikan……… 73

29 Penilaian kriteria penguasaan lahan sawah………... 74

30 Penilaian kriteria penguasaan lahan lahan kering... 74

31 Jumlah skor penguasaan sawah dan lahan kering... 75

32 Penilaian kriteria kepadatan penduduk………... 75

33 Hasil penilaian seluruh komponen SDM... 76

34 Penilaian kelembagaan input dan output……….. 76

35 Penilaian luas kesesuaian lahan……… 78

36 Penilaian daya dukung pakan………... 78

37 Penilaian kepadatan ekonomi ternak sapi potong……… 79

38 Hasil penilaian seluruh komponen SDA... 79

39 Penilaian perkembangan wilayah dan teknologi peternakan... 80

40 Penentuan nilai kriteria karaterisasi kunci... 83

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Diagram alir kerangka pemikiran ... 8 2 Peta lokasi penelitian Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi

Sumatera Barat ... 23 3 Diagram alir pembuatan peta penggunaan lahan..………... 25 4 Diagram alir pembuatan peta lereng dan peta elevasi……….. 25 5 Diagram alir pembuatan peta satuan lahan Kabupaten Lima Puluh

Kota ……….. .………... 26 6 Diagram alir pembuatan peta arahan kawasan penyebaran dan

pengembangan sapi potong……….. 27 7 Diagram alir kegiatan penelitian... 35 8 Diagram persentase angkatan kerja terhadap jumlah penduduk dan

tingkat partisipasi angkatan kerja Kabupaten Lima Puluh Kota... 39 9 Diagram persentase penduduk menurut jenis pekerjaan di Kabupaten

Lima Puluh Kota……….. 39

10 Peta penutupan dan penggunaan lahan di Kabupaten Lima Puluh

Kota……….. 46 11 Peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong sistem kandang di

Kabupaten Lima Puluh Kota……… 48 12 Peta kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah (Oryza sativa)…... 53 13 Peta kesesuaian lahan untuk tanaman jagung (Zea mays)... 55 14 Peta kesesuaian lahan untuk tanaman kacang tanah(Arachis

hypogeae)... 57 15 Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman ubi kayu (Manihot

uttilissima)... 59 16 Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman ubi jalar (Ipomoea

batatas)... 61 17 Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman Rumput Gajah

(Pennisetum purpureum)... 62 18 Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman Rumput Setaria (Setaria

spachelata)... 64 19 Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman rumput alam... 66 20 Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman leguminosa... 67 21 Peta Sebaran status daya dukung hijauan makanan ternak di

Kabupaten Lima Puluh Kota……… 72 22 Peta Kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan sapi

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Satuan peta tanah Kabupaten Lima Puluh Kota………... 95

2 Peta iklim Kabupaten Lima Puluh Kota... 96

3 Peta lereng dan elevasi Kabupaten Lima Puluh Kota... 97

3.a. Peta lereng Kabupaten Lima Puluh Kota... 97

3.b. Peta elevasi Kabupaten Lima Puluh Kota... 98

4 Kriteria kesesuaian lahan beberapa tanaman sumber hijauan makanan ternak... 99

4.a. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah (Oryza sativa)... 99

4.b. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk tanaman Jagung (Zea mays)... 100

4.c. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogeae)... 101

4.d. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk tanaman Ubi Kayu (Manihot uttilissima)... 102

4.e. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk tanaman Ubi Jalar (Ipomoea batatas)... 103

4.f. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk tanaman Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)... 104

4.g. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk tanaman Rumput Setaria (Setaria spachelata)... 105

4.h. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk tanaman Rumput Alam... 106

4.i. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Kelompok Leguminosa... 107

5 Luas wilayah menurut ukuran lerengnya pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota... 108

16 Tabel Indeks Daya Dukung (IDD) dan Kriteria Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota... 109

17 Hasil perhitungan LQ berdasarkan kepadatan ekonomi peternakan tahun 2005... 110

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peranan sektor pertanian termasuk di dalamnya subsektor peternakan semakin menonjol pada pengembangan agribisnis saat ini dan masa yang akan datang, Beberapa keunggulan agribisnis berbasis peternakan adalah : mempunyai kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes (misalnya dalam pengembangan sistem integrasi karet-sapi, kelapa-sapi atau ternak dan pelestarian alam), produk peternakan mempunyai nilai elastisitas tinggi terhadap perubahan pendapatan, sehingga permintaan produk peternakan akan selalu meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan (Saragih 2000).

Seiring dengan peningkatan pengetahuan dan pendapatan masyarakat, permintaan akan pangan sumber protein hewani juga mengalami kenaikan, terutama terhadap produk unggas dan sapi potong. Untuk itu pengembangan subsektor peternakan sebagai bagian integral dari sektor pertanian perlu mendapat perhatian khusus dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungan yang ada. Hal ini karena kegiatan pada subsektor peternakan terbukti memiliki peran penting dalam peningkatan pendapatan petani, pemerataan perekonomian dan kesempatan kerja, serta perbaikan terhadap gizi masyarakat. Tujuan ini dapat dicapai melalui peningkatan populasi, produksi dan produktivitas ternak.

(20)

Kegiatan peternakan yang telah memiliki kawasan tersendiri yang lebih jelas dan teratur, selain lebih mudah dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan maupun penanggulangan wabah penyakit yang dapat segera dilaksanakan, juga lebih memudahkan untuk membuat program-program yang bersifat menunjang kegiatan peternakan tersebut.

Penataan kawasan pengembangan peternakan perlu memperhatikan aspek lahan sebagai tempat hidup dan tempat menanam hijauan pakan ternak, jalur transportasi sebagai penghubung dengan tempat pemasaran, aspek penduduk, lokasi kegiatan pertanian sebagai penunjang kegiatan peternakan, dan lain-lain. Selain itu, sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 417/Kpts/OT.210/7/2001 tentang Pedoman Umum Penyebaran dan Pengembangan Ternak, lokasi penyebaran peternakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : bebas penyakit hewan menular sesuai jenis ternak yang akan disebarkan, sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, sesuai dengan Tata Ruang Kabupaten/Kota, mendukung kelancaran pemasaran, mendukung efisiensi dan efektivitas pembinaan dan daya dukung lokasi/wilayah memadai (Anonim 2001).

Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu wilayah di Provinsi Sumatera Barat dengan ibukotanya sampai saat sekarang masih berada di pusat Kota Payakumbuh dan berada pada jalur darat utama yang menghubungkan Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Riau. Keadaan ekonomi Kabupaten Lima Puluh Kota dilihat dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas harga berlaku didominasi oleh bidang usaha pertanian, dan subsektor peternakan berada pada urutan keempat setelah tanaman pangan, tanaman perkebunan dan kehutanan. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan distribusi PDRB atas harga berlaku dari tahun 2002 sampai dengan 2004 seperti tertera pada Tabel 1.

(21)

Tabel 1 Perkembangan distribusi persentase PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2002 – 2004.

Sektor/Subsektor 2002 2003 2004

1. Pertanian 33.25 34.21 34.68

- Tanaman Pangan 13.64 13.68 13.79

3. Sektor Lainnya 56.08 55.19 55.05 Sumber : BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2004).

Tabel 2. Populasi dan Rumah Tangga Pemelihara (RTP) ternak sapi di Kabupaten Lima Puluh Kota

No Tahun Jml Populasi

(Ekor)

RTP (KK)

1 2002 44.167 17.720

2 2003 53.216 23.108

3 2004 56.789 23.557

4 2005 58.590 25.624

Sumber : Data Statistik Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota 2002 - 2005.

Komoditi ini telah mampu mengekspor produksinya berupa ternak sapi hidup ke luar kabupaten bahkan luar provinsi. Daerah pemasaran yang paling potensial adalah Provinsi tetangga yaitu Riau dan Jambi. Dari segi potensi untuk lokasi pengembangan sapi potong, Kabupaten Lima Puluh Kota mempunyai ketersediaan lahan yang masih luas.

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wlayah (RTRW) Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2000, alokasi ruang bagi pengembangan peternakan sapi potong sangat sedikit dan hanya terbatas pada kecamatan-kecamatan tertentu. Mengamati perkembangan usaha dan pertambahan populasi ternak sapi potong dalam empat tahun terakhir, pada kenyataannya kegiatan peternakan sapi potong telah menyebar di beberapa kecamatan lain yang tidak diprioritaskan pada RTRW.

(22)

Penyebaran dan pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota, jelas membutuhkan ruang yang pasti untuk kegiatan usaha secara berkelanjutan, sehingga dibutuhkan penataan sedemikian rupa untuk terciptanya kondisi usaha peternakan yang efisien, baik dalam praproduksi, produksi maupun pascaproduksi. Adanya alokasi ruang yang jelas, dapat menjadi dasar pembentukan kawasan yang tujuan dan manfaatnya lebih mampu menyentuh masyarakat peternak untuk meningkatkan usahanya ke arah yang lebih baik.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam penyusunan tata ruang bagi kawasan peternakan di Kabupaten Lima Puluh Kota selama ini masih mengacu pada tradisi dan budaya masyarakat dalam mengembangkan ternak, sehingga kawasan yang ditetapkan berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan yang sudah ada tanpa mempertimbangkan aspek ekonomis dan potensi wilayah bagi penggunaan yang paling optimal.

Pada kasus-kasus tertentu perkembangan dalam sistem pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota masih menghadapi ketidakpastian usaha, baik secara teknis dan ekonomis maupun secara hukum. Hal ini salah satunya disebabkan oleh belum tersedianya data tentang kesesuaian ekologis dan rekomendasi lahan bagi pengembangan berbagai komoditi peternakan selama ini. Informasi tentang peternakan dan penunjangnya masih terbatas pada data statistik, yang masih belum memberikan arti banyak dalam menunjang strategi pengembangan peternakan itu sendiri.

Evaluasi terhadap potensi wilayah untuk penyebaran dan pengembangan peternakan merupakan salah satu langkah untuk penyediaan informasi dasar yang penting bagi perencanaan yang konsepsional dan berwawasan masa depan, sehingga tercipta kawasan peternakan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

(23)

Perencanaan untuk lokasi pengembangan ternak sapi di Kabupaten Lima Puluh Kota sangat diperlukan untuk menjamin tata ruang khusus yang lebih komprehensif dan menjamin kepastian dan keamanan dalam berusaha. Untuk itu diperlukan suatu analisis terhadap potensi wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota bagi pengembangan usaha peternakan sapi potong yang dapat digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah Daerah dalam menetapkan kawasan pengembangan sapi potong serta dapat digunakan oleh masyarakat yang bergerak di bidang usaha ini.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi areal lahan yang sesuai untuk pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota.

2. Menghitung daya dukung lahan-lahan yang sesuai bagi usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota.

3. Menentukan arahan kawasan penyebaran dan pengembangan serta kapasitas peningkatan sapi potong berdasarkan potensi sumberdaya lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota..

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam pengalokasian ruang bagi kawasan peternakan sapi potong yang lebih sesuai dan berwawasan lingkungan, dengan mengacu pada potensi lahan bagi pengembangannya.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat pelaku usaha serta investor yang berminat berinvestasi dalam pengembangan usaha peternakan sapi potong di masa yang akan datang, sehingga lebih aman dan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas ternaknya dalam rangka peningkatan pendapatan.

(24)

1.5. Kerangka Pemikiran

Kesesuaian lahan bagi ternak merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan peningkatan produktifitas ternak, terutama ternak ruminansia seperti sapi potong, sebagai usaha pertanian berbasis lahan (land based agriculture). Hal ini berarti tidak semua kondisi lahan di permukaan bumi sesuai bagi kehidupan ternak ruminansia, termasuk di Kabupaten Lima Puluh Kota yang memiliki populasi ternak sapi yang cukup tinggi di Propinsi Sumatera Barat. Melalui pendekatan kondisi agroklimat dan penggunaan lahannya serta produktivitas hijauan makanan ternak dan tanaman pangan sebagai penunjang pakan ternak sapi potong, maka kesesuaian lahan dan arahan lokasi bagi pengembangan ternak sapi potong dapat ditentukan.

Pelaksanaan penelitian selain pengumpulan dan pengolahan data dan peta dasar (kelerengan, jenis tanah, tinggi tempat dan panjang kemarau) juga melaksanakan survei untuk verifikasi data peta dan untuk memperoleh informasi di sentra-sentra usaha peternakan sapi potong melalui wawancara dan pengamatan langsung lapangan. Informasi daya dukung hijauan makanan ternak disajikan dalam nilai Indeks Daya Dukung (IDD), yang memperlihatkan status masing-masing kecamatan terhadap kemampuan penambahan populasi ternak ruminansia saat ini. Dasar penilaian dan analisis dilakukan pada satuan-satuan lahan yang merupakan unit satuan lahan yang memiliki sifat-sifat yang relatif homogen. Kemudian dilakukan analisis Nilai Kriteria Karakteristik Kunci, yang terdiri dari penilaian terhadap unsur sumberdaya manusia, peran kelembagaan input dan output, sumber daya alam dan perkembangan wilayah serta penggunaan teknologi peternakan. Seluruh hasil analisis dipadukan untuk mendapatkan arahan kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Lima puluh Kota. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian seperti disajikan pada Gambar 1.

1.6. Keterbatasan Penelitian

(25)

2. Penelitian hanya dilakukan pada tingkat kecamatan, yang sebaiknya adalah pada tingkat desa.

3. Pemilikan tanah dan kependudukan tidak dipertimbangkan dalam evaluasi lahan.

4. Evaluasi lahan hanya dilaksanakan secara kualitatif dan perhitungan tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak berdasarkan penggunaan dan penutupan lahan saat ini (present land use).

5. Perhitungan ekonomi, analisis pasar dan estimasi keadaan untuk masa yang akan datang belum dilakukan.

- Lahan-lahan Peternakan Sapi Potong Keadaan Sekarang - Lahan-lahan Tersedia/Berpotensi

(26)

Analisis Location Quotient

(LQ)

Shift Share Analysis

(SSA)

Analisis Nilai Kriteria Karakterisasi Kunci Lahan-Lahan Berpotensi untuk

Penyebaran dan Pengembangan Ternak Sapi Potong Analisis Ketersediaan Hijauan Makanan Ternak :

- Daya Dukung - Indeks Daya Dukung

Evaluasi Lahan untuk

Kesesuaian Lahan

untuk Penyebaran dan Pengembangan Ternak Sapi Potong

Overlay

Kesesuaian Lahan Tanaman Hijauan Pakan

Ternak Ruminansia Kesesuaian Lingkungan

Ekologis Ternak Sapi Potong (Sistem Kandang)

Peternakan

Usulan Kawasan Penyebaran dan Pengembangan

Peternakan Sapi Potong

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

(27)

2.1. Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Ternak

Penataan ruang untuk suatu penggunaan tertentu tidak hanya diperlukan bagi pemanfaatan oleh manusia saja, tetapi usaha-usaha yang berkaitan dengan manusia yang menggunakan potensi ruang juga perlu ditata, agar terjadi keseimbangan dan keharmonisan. Apalagi kegiatan-kegiatan yang juga melibatkan makhluk hidup yang jelas sangat tergantung dengan keberadaan ruang sebagai lingkungan hidupnya, seperti halnya dengan kegiatan peternakan, yang cenderung untuk disebarkan dan dikembangkan.

Peternakan merupakan penghasil utama protein hewani yang sangat dibutuhkan masyarakat, yang dalam pembudidayaannya membutuhkan tanah/lahan dan air. Penatagunaan tanah dan air untuk berbagai kegiatan pembangunan, termasuk untuk kegiatan peternakan, sangat diperlukan agar dapat dicapai optimasi dalam pemanfaatan tanah/lahan dan air, serta sekaligus untuk mengurangi konflik dalam penggunaan tanah/lahan dan air untuk berbagai kegiatan pembangunan (Sitorus et al. 1997).

Pelaksanaan penyebaran dan pengembangan ternak di suatu wilayah harus melalui analisis terhadap potensi yang dimiliki wilayah tersebut berkenaan dengan komoditi yang akan disebarkan dan dikembangkan.

Analisis potensi wilayah penyebaran dan pengembangan peternakan adalah kegiatan karakterisasi komponen-komponen peternakan dalam proses strategi pengembangan peternakan bagi pembangunan. Komponen-komponen tersebut meliputi sumberdaya manusia, lahan, tanaman sebagai sumber pakan dan ternak yang harus ditingkatkan peranannya. Adapun yang dimaksud dengan penyebaran ternak adalah usaha pemerintah dalam meningkatkan peran ternak melalui peningkatan sebaran pemilikan maupun intensitas pemilikan ternak dengan berbagai bentuk transaksi yang sifatnya membantu petani. Pengembangan peternakan adalah usaha-usaha pemerintah dalam membantu petani, berupa pembinaan pengembangan komponen-komponen peternakan, baik ternak yang disebarkan oleh pemerintah untuk rakyat maupun ternak yang telah dimiliki oleh rakyat (Dirjen Peternakan dan Balitnak 1995).

(28)

tempat di wilayah penyebaran dan pengembangan ternak, terdiri dari satu desa atau lebih dalam satu kecamatan yang diprioritaskan untuk penyebaran dan pengembangan ternak. Kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan adalah konsentrasi penyebaran dan pengembangan peternakan yang terdiri dari beberapa lokasi dalam satu kabupaten. Wilayah penyebaran dan pengembangan ternak adalah suatu kawasan yang potensial untuk penyebaran dan pengembangan ternak yang terdiri dari satu kabupaten atau lebih dalam satu propinsi (Anonim 2001).

Penyebaran dan pengembangan ternak di daerah bertujuan untuk membentuk kawasan peternakan, keseimbangan pembangunan antar wilayah, optimalisasi sumberdaya untuk meningkatkan pendapatan peternak, populasi dan produksi, dalam rangka pemberdayaan masyarakat peternak.

Ruang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan yang berada di atasnya, termasuk ternak. Pada dasarnya ruang mencakup tiga dimensi yaitu udara, tanah dan air. Pada kenyataannya ruang yang menampung kegiatan manusia berbeda dalam kualitas dan kuantitasnya sehingga dalam usaha untuk menggunakan ruang secara efisien akan menghadapi pilihan-pilihan yang sesuai dengan lokasi, sehingga penggunaan ruang yang efisien merupakan suatu aktivitas memilih atau menentukan dari beberapa kegiatan yang paling menguntungkan dan sesuai untuk suatu lokasi tertentu (Hoover dalam Rustiadi et al. 2005).

Penataan ruang membagi wilayah menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan lindung adalah kawasn yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan (Anonim 1992).

(29)

Kawasan peternakan merupakan salah satu bentuk dari penggunaan kawasan budidaya dalam struktur ruang suatu wilayah, yang dapat berupa kawasan budidaya yang diatur atau kawasan budidaya yang diarahkan. Kawasan budidaya yang diatur adalah tempat manusia beraktivitas dengan batasan-batasan tertentu. Batasan itu dapat berupa jenis kegiatan, volume, ukuran, tempat, atau metode pengelolaannya. Berbeda dengan kawasan yang diatur, cara pemanfaatan lahan yang diarahkan tidak dinyatakan dengan tegas, bahkan pengarahannya sering dilakukan secara sektoral.

Menurut Setyono (1995), konsep tata ruang dalam suatu usaha peternakan adalah konsep pengelompokan aktivitas usaha ternak dalam ruang, sehingga setiap wilayah memiliki pusat-pusat usaha ternak yang didukung oleh daerah-daerah sekitarnya. Pengelompokan aktivitas usaha peternakan ini diharapkan dapat menimbulkan keuntungan-keuntungan sebagai berikut :

1. Memaksimumkan keuntungan usaha karena kegiatan pra produksi dan proses produksi berada dalam satu lokasi atau kawasan.

2. Memaksimumkan pelayanan, dimana fasilitas pelayanan yang dibangun akan lebih berdaya guna dan berhasil guna terutama dalam menekan biaya transportasi.

3. Menjamin keterkaitan antara aktivitas pra produksi, proses produksi dan pasca produksi.

4. Memudahkan pemasaran hasil-hasil secara lebih terorganisir, sehingga posisi tawar menawar (bargaining power) lebih kuat.

(30)

oleh kelembagaan dan jaringan kelembagaan yang berakses ke hulu dan ke hilir (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal 2004).

2.2. Ternak Sapi Potong

Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumberdaya penghasil bahan makanan sumber protein hewani yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya dalam kehidupan masyarakat. Seekor atau sekelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan terutama sebagai bahan makanan berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit, tulang, dan lain sebagainya (Sugeng 1998).

Pada tahun 2003, populasi sapi potong di Indonesia sekitar 11 395 688 ekor, dengan tingkat pertumbuhan populasi sekitar 1,08%. Idealnya populasi sapi minimal 15.27% untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dari populasi sapi tersebut, 45–50% adalah sapi asli Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan, sapi Bali termasuk jenis sapi terbanyak, diikuti sapi Madura, dan sisanya terdiri dari sapi Ongole, Peranakan Ongole (PO), Brahman Cross, dan persilangan sapi lokal dengan sapi impor (Simmental, Limousin, Hereford, dan lain-lain) (Riady 2004).

Walaupun tanah dan iklim di Pulau Sumatera bervariasi antar daerah, namun umumnya didominasi oleh iklim basah yang cocok untuk pengembangan ternak sapi dan kerbau secara intensif. Apabila kondisi yang kondusif untuk usaha peternakan sapi dan kerbau diperoleh, diperkirakan bahwa Pulau Sumatera mampu memenuhi sebagian besar dari kebutuhan konsumsi daging dalam negeri yang saat ini masih diimpor dari luar negeri. Kebutuhan akan penelitian ternak sapi dan kerbau di masa mendatang perlu diarahkan untuk meningkatkan produktivitas ternak pada berbagai agro-ekosistem dominan yang beragam di Pulau Sumatera (Bamualim dan RB Wirdahayati 2004).

(31)

tetangga dan daerah lainnya, selebihnya adalah untuk pemenuhan kebutuhan lokal.

Kebijakan pemerintah untuk penanggulangan keadaan tersebut dengan melakukan beberapa langkah operasional, diantaranya penambahan induk/bibit, penyelamatan ternak sapi betina produktif dari pemotongan, penanganan gangguan reproduksi, intensifikasi pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB), intensifikasi kawin alam (distribusi pejantan unggul), pengembangan kelembagaan peternak dan penumbuhan kawasan usaha peternakan. Hal ini juga untuk mencapai Swasembada Daging 2010 dengan melaksanakan beberapa strategi, diantaranya pembuatan pusat pembibitan dan bakalan berbasis pastura dan integrasi dengan tanaman, revitalisasi kelembagaan dan sumberdaya masyarakat fungsional di lapangan, perbaikan dan pengadaan infrastruktur penunjang, dukungan finansial yang realistis dan kebijakan pengembangan pewilayahan sapi potong (Faisal 2006).

2.3. Hijauan Makanan Ternak Sapi Potong

Pakan merupakan faktor yang sangat penting pada usaha peternakan sapi, baik hijauan maupun konsentrat. Kontinuitas penyediaan pakan sangat menentukan bagi keberhasilan usaha peternakan sapi terutama sapi kereman karena sepanjang waktu sapi berada di dalam kandang. Pemberian pakan yang tidak kontinu dapat menimbulkan stress dan akan berakibat sapi menjadi peka terhadap berbagai penyakit dan terganggu pertumbuhannya (Ahmad et al. 2004).

Makanan hijauan ialah semua bahan makanan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan, termasuk ke dalamnya bangsa rumput (gramineae), kacang-kacangan (leguminoseae) dan hijauan dari tumbuh-tumbuhan lain seperti daun nangka, aur, daun waru dan sebagainya (AAK 2005). Perbedaan mutu hijauan dipengaruhi oleh faktor genetis (bawaan) dan faktor lingkungan berupa jenis dan kesuburan tanah, iklim dan perlakuan manusia.

(32)

dapat digolongkan menjadi dua, yaitu rumput alami atau rumput liar dan rumput budi daya atau rumput pertanian.

Untuk memelihara kontinuitas hijauan pakan ternak sering dilakukan integrasi pakan hijauan dengan tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, pagar hidup, lahan tidur, padang rumput dan lahan kritis. Menurut Nitis (1995), ada beberapa sistem integrasi hijauan pakan ternak, yaitu sistem tanaman sela, sistem lorong, sistem teras bangku, sistem taongya, sistem sorjan, sistem kebun pakan hijauan intensif, sistem pastura unggul, sistem bank pakan, sistem pekarangan dan sistem tiga strata.

2.4. Evaluasi Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia

Lahan adalah bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO 1976).

Usaha peternakan sangat berkaitan erat dengan lahan, seperti ternak sapi potong yang sangat tergantung dari bahan dan kualitas pakannya, kualitas pakan hijauan makanan ternak sangat ditentukan oleh kondisi kesuburan tanahnya. Menurut Suratman et al. (1998), berdasarkan kebutuhan lahan, usaha peternakan dapat dibedakan atas dua, yaitu usaha peternakan yang berbasis lahan (land based agriculture) dan usaha peternakan yang tidak berbasis lahan (non land based agriculture). Khusus untuk usaha peternakan yang berbasis lahan yaitu ternak dengan komponen pakannya sebagian besar terdiri atas tanaman hijauan (rumput dan leguminosae), lahan merupakan faktor penting sebagai lingkungan hidup dan pendukung pakan.

(33)

Walaupun demikian, pengembangan usaha ternak akan lebih baik dan menguntungkan jika dilakukan pada lahan-lahan subur (Suparini 1999).

Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak antara lain : lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan dan hutan rakyat, dengan tingkat kepadatan tergantung pada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air dan jenis sapi potong yang dipelihara. Luasnya lahan sawah, kebun, dan hutan tersebut memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak-tanaman yang merupakan proses saling menunjang dan saling menguntungkan, melalui pemanfaatan tenaga sapi untuk mengolah tanah dan kotoran sapi sebagai pupuk organik. Sementara lahan sawah dan lahan tanaman pangan menghasilkan jerami padi dan hasil sampingan tanaman yang dapat diolah sebagai makanan sapi. Sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan berupa rumput alam dan jenis tanaman lain. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan ternak sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktivitas ternak (Riady 2004).

Evaluasi lahan merupakan suatu proses dalam menduga kelas kesesuaian lahan dan potensi lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, terrain yang mencakup lereng, topografi/relief, batuan di permukaan dan di dalam penampang tanah serta singkapan batuan, hidrologi dan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman (Djaenudin et al. 2003).

Menurut Sitorus (1998), pada dasarnya evaluasi sumberdaya lahan membutuhkan keterangan-keterangan dari tiga aspek utama, yaitu lahan, penggunaan lahan dan faktor ekonomis. Data tentang lahan dapat diperoleh dari survei sumberdaya alam, termasuk survei tanah. Keterangan-keterangan tentang syarat-syarat atau kebutuhan ekologik dan teknik dari berbagai jenis penggunaan lahan diperoleh dari keterangan-keterangan agronomis, kehutanan, dan disiplin ilmu lainnya yang terkait.

(34)

lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tata guna tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Dalam evaluasi lahan terdapat dua macam pendekatan, yaitu pendekatan dua tahap dan pendekatan paralel. Pada pendekatan dua tahap, tahap pertama merupakan evaluasi lahan secara kualitatif. Setelah tahap pertama selesai dan hasilnya disajikan dalam bentuk peta dan laporan, maka tahap kedua (kadang-kadang tidak dilakukan) analisis sosial ekonomi dapat dilakukan segera atau beberapa waktu kemudian. Sedangkan pada pendekatan paralel, analisis sosial ekonomi terhadap penggunaan lahan yang direncanakan dilakukan bersamaan dengan analisis sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut. Hasil dari pendekatan ini biasanya memberi petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya.

(35)

suitable), lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang (Djaenudin et al. 2003).

2.5. Daya Dukung Lahan

Menurut Soemarwoto (1983), daya dukung menunjukkan besarnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan hewan, yang dinyatakan dalam jumlah ekor per satuan jumlah lahan. Jumlah hewan yang dapat didukung kehidupannya itu tergantung pada biomas (bahan organik tumbuhan) yang tersedia untuk hewan. Daya dukung ditentukan oleh banyaknya bahan organik tumbuhan yang terbentuk dalam proses fotosintesis per satuan luas dan waktu, yang disebut produktivitas primer.

Salah satu faktor yang diperlukan untuk menganalisis kapasitas tampung ternak ruminansia di suatu wilayah adalah dengan menghitung potensi hijauan pakan. Hijauan pakan untuk ternak ruminansia terdiri dari rerumputan, dedaunan dan limbah pertanian. Estimasi potensi hijauan pakan pada masing-masing wilayah dipengaruhi oleh keragaman agroklimat, jenis dan topografi tanah dan tradisi budidaya pertanian (Ma’sum 1999).

Menurut Dasman et al. (1977), daya dukung adalah suatu ukuran jumlah individu dari suatu spesies yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu, dengan tingkatan sebagai berikut :

1. Daya dukung absolut atau maksimum, yaitu jumlah maksimum individu yang dapat didukung oleh sumberdaya lingkungan pada tingkatan sekedar hidup (tingkatan ini disebut kepadatan subsisten untuk spesies tersebut). 2. Daya dukung dengan jumlah individu berada dalam keadaan yang disebut

kepadatan keamanan atau ambang pintu keamanan. Kepadatan keamanan lebih rendah dari kepadatan subsisten. Pada kepadatan keamanan ini tingkat populasi suatu spesies ditentukan oleh pengaruh populasi spesies lainnya yang hidup di lingkungan yang sama.

(36)

menunjukkan pertumbuhan dan kesehatan individu yang baik. Kepadatan optimum hanya dapat dipertahankan oleh pembatasan yang kuat terhadap pertumbuhan yang diatur oleh tingkah laku spesies tersebut.

Selanjutnya Dasman (1964) membedakan tiga pengertian daya dukung yaitu : (1) pengertian daya dukung yang berhubungan dengan kurva logistik, dimana daya dukung adalah asimtot atas dari kurva tersebut. Dalam hal ini batasan daya dukung adalah batasan teratas dari pertumbuhan populasi dimana pertumbuhan populasi tidak dapat didukung lagi oleh sumberdaya dan lingkungan yang ada.; (2) pengertian daya dukung yang dikenal dalam pengelolaan margasatwa. Dalam hal ini daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu habitat; (3) pengertian daya dukung yang dikenal dalam pengelolaan padang penggembalaan. Dalam hal ini daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh lingkungan dalam keadaan sehat tanpa mengganggu kerusakan tanah.

Tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak pada suatu wilayah merupakan salah satu faktor yang sangat penting serta turut mempengaruhi dinamika populasi dalam keberhasilan pengembangan ternak, khususnya ternak herbivora. Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1980), dalam memperhitungkan potensi suatu wilayah untuk mengembangkan ternak secara teknis, perlu dilihat populasi ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi hijauan makanan ternak yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Dalam memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka lahan-lahan yang potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang diperhitungkan, antara lain : lahan pertanian, perkebunan, padang penggembalaan dan sebagian kehutanan.

2.6. Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai peran yang penting dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis, berbagai macam informasi dapat diolah dan dianalisis yang kemudian dikaitkan dengan letaknya di permukaan bumi.

(37)

berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Berdasarkan operasinya SIG dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) SIG secara manual yang beroperasinya memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan), bersifat data analog; (2) SIG secara terkomputer atau sering disebut SIG otomatis, dimana prinsip kerjanya sudah sama dengan komputer, sehingga datanya merupakan data digital. Bila dibandingkan cara manual dengan sistem komputer, maka jika diperlukan data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per satuan yang lebih rendah. Demikian pula dalam hal memanipulasi data spasial dan mengaitkannya dengan informasi atribut serta mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis. Kemampuan untuk melaksanakan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model-model keputusan, deteksi perubahan, analisis dan tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan-perbaikan secara terus-menerus. Operasi yang interaktif menjadi praktis karena dapat dilakukan dengan cepat dengan biaya yang relatif murah.

Dari berbagai definisi yang disimpulkan oleh Prahasta (2005), SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem yaitu data input, data output, data manajemen dan data analisis dan manipulasi. SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan, yang terdiri dari beberapa komponen seperti perangkat keras, perangkat lunak, data dan informasi geografis serta manajemen.

(38)

data ketersediaan hijauan pakan ternak di suatu wilayah, dibagi dengan kebutuhan per ekor ternak akan didapatkan kapasitas tampung.

Karakteristik utama dari metode penginderaan jauh yang digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan adalah tingkat otomatisasi dan objektivitas yang tinggi, serta memungkinkan untuk dilakukan perbaikan-perbaikan. Informasi dari citra landsat dan data vektor dipadukan dan dianalisis dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) (Tapiador dan Casanova 2003).

Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) dan analisis Digital Elevation Model (DEM) pada berbagai bidang kehidupan semakin luas, diantaranya untuk melihat kelerengan permukaan bumi, pergerakan permukaan bumi, dan lain sebagainya. Sebagai penghubung antara data lapangan dengan DEM maka digunakan alat Global Positioning System (GPS) yang berfungsi sebagai penentu posisi suatu benda di permukaan bumi (Mulders 2001).

2.7. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

Daya dukung suatu wilayah dengan penekanan pada kemampuan menyokong dan menampung, didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output yang diinginkan dari sumberdaya dasar untuk mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi dan lebih wajar (Khanna et al. 1999).

Populasi ternak yang melebihi kapasitas daya dukung sumberdaya lahan yang berlangsung secara terus-menerus tanpa pencegahan, akan berakibat degradasi lahan dan berkurangnya ketersediaan hijauan makanan ternak. Efisiensi penggunaan lahan, penanaman tanaman kacang-kacangan (sejenis legum), pengembangan agroforestri dan penghijauan, adalah beberapa tindakan yang dapat meningkatkan daya dukung lahan, terutama terhadap lahan-lahan milik perorangan yang telah dibajak kemudian ditelantarkan, dan penggunaan yang tidak efektif lainnya (Thapa dan Paudel 2000).

(39)

penambahan populasi untuk ruminansia saat ini. Arahan kesesuaian ekologis lahan dapat direkomendasikan pada dua pola. Pertama, pola diversifikasi spasial, yaitu pengembangan pada lahan-lahan yang telah mempunyai peruntukan, antara lain untuk tanaman pangan dan perkebunan dalam bentuk pola keterpaduan. Kedua, pola ekstensifikasi spasial, yaitu pengembangan pada lahan kehutanan dan alang-alang. Dari hasil penelitian, rekomendasi arahan pengembangan lahan untuk ternak ruminansia di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah : a). Pola diversifikasi untuk kelompok ternak sapi potong banyak terdapat di lahan tegalan, sawah dan prkebunan, b). Pola ekstensifikasi banyak terdapat di lahan hutan dan alang-alang. Dilihat dari potensi daya dukung hijauan pakan di wilayah NTT pada umumnya masih melimpah dan masih mampu menambah ternak ruminansia sebanyak 2 395 384 ST dari populasi saat ini sebanyak 471 971 ST (Sumanto et al. 2004).

Suratman et al. (1998) pernah melakukan penelitian di Kecamatan Tanete Rilau dan Tanete Riaja Kabupaten Barru Propinsi Sulawesi Selatan, yang merupakan salah satu areal untuk pengembangan peternakan sapi potong. Dari hasil penelitian diperoleh nilai rata-rata indeks daya dukung (IDD) wilayah penelitian sebesar 2.46. Dengan menggunakan pedoman status batas aman daya dukung, daerah ini berada dalam status kritis, daya tampung rata-rata sebesar 0.52 ST/ha. Lahan yang mempunyai prospek pengembangan cukup baik adalah lahan yang termasuk berpotensi tinggi dan sedang, seluas 2 125 ha.

Hasil penelitian yang juga dilakukan oleh Suratman et al. (2003) di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan melakukan pengkajian data sumberdaya lahan (tanah, lingkungan, iklim), informasi keadaan sosial ekonomi dan pola pengembangan peternakan, kemudian melakukan analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk pakan ternak ruminansia dan penilaian kesesuaian lingkungan ternak sapi, dituangkan dalam bentuk Peta Arahan Pengembangan Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dibagi menjadi lahan ekstensifikasi seluas 35 500 dan pola integrasi seluas 334 000 ha.

III. METODE PENELITIAN

(40)

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2006, meliputi tahap persiapan, pengumpulan data, identifikasi, pengecekan lapangan, analisis dan penulisan.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Lima puluh Kota, yang terdiri dari 13 Kecamatan dan terletak antara 0˚25’28’’LU - 0˚22’14’’LS serta antara 100˚16’13’’BT - 100˚50’47’’ BT, dengan batas-batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan Provinsi Riau.

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Riau

Peta Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2, berupa peta administrasi yang mempunyai skala 1 : 250 000.

3.2. Jenis dan Sumber Data

(41)

Gambar 2 Peta lokasi penelitian Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber seperti diuraikan di atas, sedangkan data primer diambil melalui wawancara, pengisian kuesioner dan pengamatan langsung ke lokasi. Pemilihan responden dan pengambilan sampel dilakukan di daerah kunci (key region). Sampel ditentukan dengan metode pengambilan sampel acak terstratifikasi (Stratified Random Sampling), yaitu metode pemilihan sampel dengan cara membagi populasi ke dalam kelompok-kelompok yang homogen yang disebut strata, kemudian diambil sampel secara acak dari setiap strata (Sugiarto et al. 2003).

(42)

Tabel 3 Jenis dan sumber data

Peta Satuan Lahan dan Tanah (LREP-I)

Peta Land Systems/Land Suitability ( RePPProT)

Citra Satelit Landsat Path/Row : 127/060 Ruminansia Kab. Lima Puluh Kota

Data Luas Panen Tanaman Pangan Kab. Lima Puluh Kota. Data Podes Kab. Lima Puluh Kota

Revisi RTRW Kab. Lima Puluh Kota Tahun 1999/2000

1:250 000

3.4. Metode Identifikasi dan Teknik Analisis Data

Identifikasi dan analisis data yang dilakukan adalah (1) identifikasi jenis penggunaan lahan yang berpotensi untuk pengembangan sapi potong, (2) penilaian kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong, (3) penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman hijauan makanan ternak, (4) tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak, (5) prioritas arahan lahan, dan (6) analisis wilayah untuk arahan kawasan penyebaran dan pengembangan. Analisis spasial dan penyajian hasil dilakukan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografi (SIG) dengan menggunakan software utama Arcview 3.3.

Peta satuan lahan dan tanah (LREP) yang diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor mengandung informasi unit lahan, jenis tanah, kemasaman, tekstur, drainase, kapasitas tukar kation, kedalaman, bahaya banjir dan erosi. Peta tanah tinjau (RePPProT) digunakan untuk melengkapi peta satuan lahan dan tanah, karena mengandung informasi jenis batuan, singkapan batuan, landform dan kelerengan.

(43)

lapangan untuk perbaikan peta, sehingga dihasilkan peta penggunaan lahan keadaan sekarang (existing). Diagram alir pembuatan peta penggunaan lahan seperti terdapat pada Gambar 3.

Peta Digital

Gambar 3 Diagram alir pembuatan peta penggunaan lahan.

Peta lereng dan elevasi merupakan hasil olahan peta kontur dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), diperoleh dari Badan Koordiasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), seperti tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram alir pembuatan peta lereng dan elevasi.

Peta RBI

(44)

Peta satuan lahan diperoleh dengan melakukan operasi tumpang tindih (overlay) peta-peta tematik, yaitu peta satuan lahan dan tanah, peta tanah tinjau/land system, peta curah hujan, peta kemiringan lereng, peta ketinggian (elevasi) dan peta penggunaan lahan. Diagramnya seperti terdapat pada Gambar 5.

Peta Satuan Lahan Kabupaten Lima Puluh Kota

Setelah itu dilakukan matching dan query antara peta satuan lahan dengan persyaratan kesesuaian untuk lingkungan ekologis sapi potong dan persyaratan kesesuaian untuk hijauan makanan ternak. Hasilnya adalah peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong dan peta-peta kesesuaian lahan tanaman hijauan makanan ternak sapi potong. Kemudian dilakukan analisis daya dukung (DD) dan indeks daya dukung (IDD), sehingga dihasilkan peta kriteria status ketersediaan hijauan makanan ternak (HMT). Setelah itu dilakukan analisis spasial terhadap peta-peta yang dihasilkan ditambah dengan peta administrasi, sehungga menghasilkan peta arahan kawasan penyebaran dan pengembangan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota. Gambar 6 memperlihatkan diagram alir pembuatan peta arahan kawasan penyebaran dan pengembangan sapi potong seperti diuraikan di atas.

(45)

Gambar 6 Diagram alir pembuatan peta arahan kawasan penyebaran dan pengembangan sapi potong.

Analisis DD dan IDD HMT dari data populasi dan luas tanaman pangan

Peta Kriteria Satus Ketersediaan Kab. Lima Puluh Kota

Peta Arahan Kawasan Penyebaran dan Pengembangan

(46)

Peta-peta tematik berupa peta satuan kahan dan tanah, peta curah hujan, peta kemiringan lereng dan elevasi yang digunakan hádala seperti terdapat pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3

3.4.1 Identifikasi Jenis Penggunaan Lahan Potensial

Identifikasi penggunaan lahan diperoleh berdasarkan hasil interpretasi terhadap citra satelit Landsat Path/Row: 127/060 terkoreksi tahun 2005, dibantu dengan peta penutupan/penggunan lahan hasil digitasi on screen dari Badan Planologi Departemen Kehutanan. Selanjutnya dilakukan cek lapangan yang bertujuan untuk mengkonfirmasi jenis-jenis penutupan/penggunaan lahan yang masih meragukan dari peta penggunaan lahan dan mengetahui jenis hijauan makanan ternak yang dominan pada berbagai penggunaan lahan. Untuk memperkuat hasil check lapangan dilakukan konfirmasi kepada masyarakat sekitar dan aparat yang kompeten. Hasil cek lapangan digunakan sebagai rekomendasi perbaikan peta, sesuai keadaan sekarang. Selanjutnya peta penutupan lahan ini digunakan untuk analisis spasial dan perhitungan-perhitungan.

3.4.2 Penilaian Kesesuaian Lingkungan Ekologis Sapi Potong

Penyusunan peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong mengikuti metode evaluasi yang dikembangkan oleh Ashari et al. (1995). Peta tematik kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong diperoleh dari hasil joint tabel dan query antara data karakteristik (atribut) peta satuan lahan dengan data kriteria kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong.

(47)

Tabel 4 Kriteria penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak sapi sistem pemeliharaan dikandangkan

Kelas Kesesuaian Lingkungan Ternak Kandang Karakteristik

S (Sesuai) N (Tidak Sesuai) Temperature Humidity Indeks (THI)

- THI (n)

Ketersediaan Air (w) : -Bulan Kering (<100 mm) -Curah hujan/tahun (mm) -Keberadaan sumber air*)

Kualitas Air (q) :

Sumber : Suratman et al. (1998).

Kterangan : *) = Sumber air bersifat alternatif THI = T – 0.55 (1 – RH/100) (T – 58) T = Suhu udara (F) = 9/5 (0C) + 32 RH = Kelembaban udara

Menurut Djaenudin et al (2003), suhu udara dapat diduga berdasarkan ketinggian tempat (elevasi) dari atas permukaan laut. Pendugaan tersebut dengan menggunakan pendekatan rumus dari Braak (1928). Berdasarkan hasil penelitiannya di Indonesia suhu di dataran rendah (pantai) berkisar antara 25-27°C, dan rumus yang dapat digunakan (rumus Braak) adalah sebagai berikut :

Suhu udara (°C) = 26.3°C - (0.01 x elevasi dalam meter x 0.6°C)

3.4.3 Penilaian Kesesuaian Lahan Tanaman Hijauan Makanan Ternak

Penilaian kesesuaian lahan tanaman hijauan makanan ternak untuk sapi potong ditujukan untuk beberapa jenis tanaman hijauan makanan ternak yang dominan dan berpotensi untuk dikembangkan di lokasi penelitian, dan dilakukan secara matching.

(48)

satuan lahan. Selanjutnya dilakukan query terhadap data kelas kesesuaian lahan untuk pembuatan peta tematik dan perhitungan luas. Kriteria kesesuaian lahan masing-masing tanaman sumber hijauan makanan ternak seperti terdapat pada Lampiran 4.

3.4.4 Penghitungan Daya Dukung Lahan yang Sesuai bagi Pengembangan Ternak Sapi Potong

Daya dukung hijauan makanan ternak adalah kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan pakan ternak terutama berupa hijauan yang dapat dihasilkan bagi kebutuhan sejumlah populasi sapi potong dalam bentuk segar maupun kering, tanpa melalui pengolahan dan tanpa pengolahan khusus dan diasumsikan penggunaannya hanya untuk sapi potong.

Daya dukung hijauan dihitung berdasarkan produksi bahan kering (BK) terhadap kebutuhan satu satuan ternak (1 ST) sapi potong dalam satu tahun, dimana kebutuhan bahan kering adalah 6.25 Kg/hari atau 2.28 Ton/tahun (NRC, 1984), untuk sapi dengan berat hidup mencapai 500 kg. Untuk ternak sapi di Indonesia pada umumnya tiap 1 ST memiliki kisaran berat hidup 200-250 kg. Jadi kebutuhan pakan/bahan kering minimum untuk 1 ST selama satu tahun dapat berbeda-beda, tergantung berat hidup sapinya. Berat hidup ternak sapi secara rata-rata di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah 200 kg. Kebutuhan pakan minimum ternak ruminansia per satu satuan ternak (1 ST) dihitung menurut Sumanto dan Juarini (2006) sebagai berikut :

K = 2.5% x 50% x 365 x 250 kg = 1.14 ton BKC/tahun/ST

Keterangan :

K = Kebutuhan pakan minimum untuk 1 ST dalam ton bahan kering tercerna atau DDM (digestible dry matter) selama satu tahun 2.5% = Kebutuhan minimum jumlah ransum hijauan pakan (bahan

kering) terhadap berat badan

50% = Nilai rata-rata daya cerna berbagai jenis tanaman 365 = Jumlah hari dalam satu tahun

(49)

Produksi bahan kering merupakan jumlah dari produksi pakan asal limbah pertanian dan produksi pakan dari hijauan alami. Jumlah potensi limbah dari masing-masing tanaman pangan merupakan potensi ketersediaan pakan potensial saat ini. Perhitungan pakan asal limbah pertanian per kecamatan dihitung menurut Pedoman Identifikasi Wilayah (Sumanto dan Juarini 2006).

Hasil perhitungan produksi bahan kering selanjutnya digunakan untuk mendapatkan daya dukung pakan hijauan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Haryanto et al. 2002):

Produksi Bahan Kering (KG) Daya Dukung (ST) =

Kebutuhan Bahan Kering sapi Dewasa (KG/ST)

Satuan ternak (ST) adalah satuan untuk populasi ternak ruminansia yang diperoleh dari jumlah populasi dikalikan dengan faktor konversi, untuk ternak sapi faktor konversinya adalah 0.7 (Ashari et al. 1995) Untuk mewakili populasi sapi yang terdiri dari induk betina, induk jantan, dan anak dengan berbagai tingkatan umur, maka populasi sapi keseluruhan dikali dengan 0.7.

Indeks Daya Dukung (IDD) hijauan makanan ternak dihitung dari jumlah produksi hijauan makanan ternak yang tersedia terhadap jumlah kebutuhan hijauan bagi sejumlah populasi ternak ruminansia di suatu wilayah. Indeks Daya Dukung dihitung berdasarkan bahan kering dengan persamaan sebagai berikut (Ashari et al. 1995) :

Total Produksi Bahan Kering (Kg) IDD Hijauan =

Jml Pop Ruminansia (ST) x Kebut BK Sapi Dewasa (KG/ST)

Atau :

Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak (ST) IDD Hijauan =

Jml Populasi Ruminansia (ST)

(50)

keamanan pakan pada suatu wilayah, untuk mendukung kehidupan ternak yang berada di atasnya.

Tabel 5 Kriteria status daya dukung hijauan berdasarkan indeks daya dukung

No. Indeks Daya Dukung (IDD) Kriteria 1

Produksi hijauan merupakan produksi relatif untuk masing-masing kelas kesesuaian lahan disebut juga perkiraan persentase produktivitas, dimana untuk kelas S1 = 80-100%, S2 = 60-80% dan S3 = 41-60%, dari produksi rata-rata masing-masing hijauan atau daya dukung lahan, sedangkan kelas N tidak diperhitungkan karena persentasinya sangat rendah (<20%) (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001).

Pola ketersediaan hijauan di lahan sawah bersifat lebih fluktuatif dibandingkan pada lahan lainnya, karena dipengaruhi oleh pola tanam dan musim tanam, sehingga ketersediaan hijauan bersifat dinamik.

Analisis spasial untuk mengetahui sebaran tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak dengan menggunakan pendekatan SIG. Proses-proses yang dilakukan yaitu overlay peta satuan lahan dengan peta wilayah kecamatan, joint basis data dengan data atribut satuan lahan, query untuk pembuatan peta tematik, perhitungan luas dan daya dukung hijauan. Diagram alur kegiatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

3.4.5 Arahan Kawasan Penyebaran dan Pengembangan

Setelah diketahui lahan-lahan yang Sesuai (S) untuk lingkungan ekologis sapi potong dan daya dukung hijauan makanan ternak, maka prioritas arahan kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota ditentukan dengan :

(51)

sebagaimana diuraikan Ashari et al. (1995) yang dinamakan Nilai Kriteria Karakteristik Kunci, seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Cara penilaian dan analisis berdasarkan Pedoman Identifikasi Potensi Wilayah yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, disusun oleh Sumanto dan Juarini (2006).

Tabel 6 Nilai kriteria karakteristik kunci

UNSUR KRITERIA KUNCI BATAS NILAI

Sumberdaya

-Luas kesesuaian lahan ternak sapi -Daya Dukung pakan alami (IDD) -Kepadatan Ekonomi Ternak

Sumber : Pedoman Identifikasi Potensi Wilayah (2006) dimodifikasi.

b. melihat hasil analisis LQ dan SSA dengan melakukan perbandingan antar kecamatan yang memenuhi kriteria nilai LQ dan SSA tersebut.

Analisis Location Quotient (LQ) dilakukan untuk mengetahui apakah usaha peternakan sapi potong merupakan sektor basis atau non basis pada suatu kecamatan, dengan rumus sebagai berikut :

Xij /Xi.

LQij =

X.j / X..

Dimana : Xij = kepadatan ekonomi ternak sapi di kecamatan A

(52)

X.j = jumlah kepadatan ekonomi ternak sapi di Kabupaten Lima Puluh Kota

X.. = jumlah kepadatan ekonomi seluruh peternakan di Kabupaten Lima Puluh Kota

Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah : (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktifitas relatif seragam, dan (3) setiap aktifitas menghasilkan produk yang sama (Panuju dan Rustiadi 2005).

Untuk memahami pergeseran struktur aktifitas usaha ternak sapi potong di kecamatan tertentu dibandingkan dengan di wilayah kabupaten dalam 2 titik waktu digunakan Shift Share Analysis (SSA). Hasil SSA dapat menjelaskan kinerja aktifitas beternak sapi potong di suatu kecamatan dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah kabupaten. Untuk menghitung SSA digunakan rumus sebagai berikut :

X..(t1) X.i(t1) X..(t1) Xij(t1) X.i(t1)

SSA = - 1 + - + -

X..(t0) X.i(t0) X..(t0) Xij(t0) X.i(t0)

a b c Dimana : a = komponen regional share

b = komponen proportional shift c = komponen differential shift

X.. = Nilai total kepadatan ekonomi peternakan dalam Kabupaten X.i = Nilai total kepadatan ekonomi ternak sapi dalam Kabupaten Xij = Nilai kepadatan ekonomi ternak sapi dalam kecamatan A t1 = titik tahun akhir

(53)

- Lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan sapi potong. - DD lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan sapi potong - Arahan kawasan PP & Kapasitas Peningkatan Populasi Sapi Potong

Data Kualitas/ Karakteristik Satuan Lahan

(54)

Gambar

Gambar 2  Peta lokasi penelitian Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat.
Tabel 3 Jenis dan sumber data
Tabel 4  Kriteria penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak sapi    sistem pemeliharaan dikandangkan
Tabel 6 Nilai kriteria karakteristik kunci
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kombinasi penggunaan kinesio taping dan abduction brace dapat menurunkan tonus otot ektremitas inferior serta meningkatkan panjang otot adduktor hip pada anak palsi serebral

Dari hasil uji regresi yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa mekanisme CG yang diwakili oleh kepemilikan manajerial, proporsi outside directors,

Pada saat pengakuan awal, aset keuangan diukur pada nilai wajarnya dan dalam hal aset keuangan tidak diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi dan

London Sumatra Indonesia Tbk, Medan adalah sebuah perusahaan terkemuka millik asing di Indonesia yang bergerak dibidang perkebunan dengan kegiatan usaha mencakup

Membantu Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah merumuskan kebijakan daerah dalam pelaksanaan kewenangan daerah di bidang perhubungan, komunikasi dan informatika

BRIDGESTONE TIRE INDONESIA, berdasarkan sumber dan penggunaan modal kerja dengan tingkat likuiditas dilihat pada tahun 2003 ke tahun 2004 mengalami kenaikkan berarati kinerja

Percobaan ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan naungan yang berbeda serta kombinasi pemberian zat pemacu tumbuh benzylaminopurine dengan zat penghambat tumbuh

Batang bawah siap di okulasi saat berumur 8-9 bulan dimana panjang batang ± 30 cm sedangkan untuk mata tempel yang siap untuk okulasi dapat diperoleh dari