• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Potensi Sumberdaya Lahan untuk Arahan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Bangka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Potensi Sumberdaya Lahan untuk Arahan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Bangka"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN BANGKA

SUTJIANI PELITAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Potensi Sumberdaya Lahan untuk Arahan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Bangka adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2006

(3)

SUTJIANI PELITAWATI. Analisis Potensi Sumberdaya Lahan untuk Arahan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Bangka (Potential Analysis of Land Resources for Beef Cattle Development in Bangka Regency). Dibimbing oleh ATANG SUTANDI, DARMAWAN DAN HERMANTO SIREGAR.

Kabupaten Bangka mempunyai potensi untuk pengembangan sapi potong, baik dari segi ketersediaan lahan maupun agroklimat. Terdapat hubungan erat antara lahan, ternak dan makanan ternak yang tidak dapat dipisahkan. Lahan yang optimal untuk pengembangan sapi potong adalah lahan yang sesuai sebagai lingkungan ekologis dan mampu menghasilkan makanan ternak yang cukup, berkualitas dan kontinyu. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi jenis penggunaan lahan untuk pengembangan ternak sapi potong; (2) menentukan kesesuaian lahan sebagai lingkungan ekologis sapi potong; (3) menentukan kesesuaian lahan untuk tanaman hijauan makanan ternak sapi potong yang dominan dan potensi untuk dikembangkan serta tingkat ketersediaannya yaitu dengan menghitung daya dukung hijauan makanan ternak; (4) menganalisis skala usaha dan kelayakan finansial usahaternak sapi potong; dan (5) menentukan arahan pengembangan ternak sapi potong berdasarkan potensi sumberdaya lahan dan kelayakan usahaternak. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2006, dengan lokasi di Kabupaten Bangka. Analisis yang digunakan adalah dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan program Microsoft Excel.

Jenis lahan usahatani yang mendukung dilihat dari potensi pakan hijauan makanan ternak di Kabupaten Bangka terdiri dari: sawah, kebun campuran, semak belukar, kebun kelapa sawit, karet, perkebunan besar kelapa sawit, perkebunan rakyat dan belukar rawa dengan total luas sebesar 211 830 Ha (74.41% dari luas wilayah kabupaten). Pada keadaan kesesuaian lahan aktual diperoleh bahwa seluruh lahan yang dinilai di Kabupaten Bangka adalah tidak sesuai (N) sebagai lingkungan ekologis sapi potong, yaitu seluas 211 830 Ha (74.41%), dengan faktor pembatas kualitas air (pH air). Sedangkan pada keadaan kesesuaian lahan potensial, dengan memperbaiki pH air, maka diperoleh hasil bahwa seluruh lahan yang dinilai di Kabupaten Bangka adalah sesuai (S) sebagai lingkungan ekologis sapi potong, yaitu seluas 211 830 Ha (74.41%).

Berdasarkan tingkat ketersediaan tanaman hijauan makanan ternak, sebagian besar lahan berada pada status aman dengan luas 191 826 Ha (67.38% dari luas wilayah kabupaten) dengan rata-rata daya dukung hijauan sebesar 0.36 ST/Ha pada keadaan kesesuaian lahan aktual dan 0.53 ST/Ha pada keadaan kesesuaian lahan potensial, sedangkan pada status rawan, kritis dan sangat kritis tidak terdapat. Total daya dukung hijauan makanan ternak pada keadaan kesesuaian lahan aktual mencapai 69 309 ST dengan kapasitas peningkatan sapi potong sebesar 68 568 ST (0.36 ST/Ha), sedangkan pada keadaan kesesuaian lahan potensial mencapai 102 486 ST dengan kapasitas peningkatan sapi potong sebesar 101 746 ST (0.53 ST/Ha).

(4)

lainnya. Pada keadaan kesesuaian lahan aktual rata-rata daya dukung hijauan pada lahan kebun kelapa sawit dan perkebunan besar sawit mencapai 1.93 ST/Ha, sedangkan pada keadaan kesesuaian lahan potensial 2.75 ST/Ha. Selanjutnya diikuti oleh sawah 0.88 ST/Ha, semak belukar 0.73 ST/Ha, karet 0.53 ST/Ha, belukar rawa 0.20 ST/Ha, kebun campuran 0.08 ST/Ha, dan perkebunan rakyat 0.08 ST/Ha.

Hasil perhitungan NPV, Net BCR dan IRR pada tingkat suku bunga 15% menunjukkan bahwa usahaternak sapi potong di Kabupaten Bangka layak untuk dilakukan pada semua skala usaha (kecil, sedang dan besar) dengan harga input dan output tetap, NPV bernilai positif selama delapan tahun, Net BCR lebih dari satu, IRR lebih besar dari tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku, dan Payback Period masing-masing pada tahun keenam bulan kedua, tahun kelima bulan ketiga dan tahun kelima bulan pertama. Berdasarkan analisis sensitivitas menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan biaya transport sebesar 30%, kenaikan harga sapi bakalan sebesar 10%, kenaikan harga pakan sebesar 20% dan penurunan harga penjualan ternak sebesar 10%, maka usahaternak sapi potong masih layak dilakukan pada semua skala usaha, NPV bernilai positif selama delapan tahun, Net BCR lebih dari satu, IRR lebih besar dari tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku, dengan Payback Period bervariasi antara tahun kelima bulan ketiga bulan pertama sampai dengan tahun ketujuh bulan kedua.

Arahan lahan pengembangan sapi potong terdiri dari sistem diversifikasi dan ekstensifikasi. Pada keadaan kesesuaian lahan potensial, arahan lahan sistem diversifikasi perkebunan, dengan luas total 14 200 Ha dengan kapasitas peningkatan sapi potong rata-rata 2.02 ST/Ha atau total sebesar 28 737 ST. Arahan lahan sistem diversifikasi sawah dengan luas 438 Ha, dengan kapasitas peningkatan sapi potong rata-rata 0.86 ST/Ha atau sebesar 378 ST. Arahan lahan sistem diversifikasi kebun campuran seluas 79 668 Ha, dengan kapasitas peningkatan sapi potong rata-rata 0.08 ST/Ha atau sebesar 6 081 ST. Sedangkan arahan lahan sistem ekstensifikasi semak belukar seluas 89 160 Ha, dengan kapasitas peningkatan sapi potong rata-rata 0.73 ST/Ha atau sebesar 65 046 ST. Arahan lahan sistem ekstensifikasi belukar rawa seluas 8 358 Ha, dengan kapasitas peningkatan sapi potong rata-rata 0.18 ST/Ha atau sebesar 1 503 ST. Skala usahaternak yang paling layak dikembangkan sebagai arahan pengembangan sapi potong di Kabupaten Bangka adalah pada skala besar ( > 10 ekor atau rata-rata 20 ekor).

Prioritas I arahan lahan pengembangan adalah sistem diversifikasi perkebunan (terutama lahan kelapa sawit), dengan rata-rata daya dukung sebesar 2.04 ST/Ha, prioritas II adalah arahan lahan sistem ekstensifikasi semak belukar, dengan total daya dukung sebesar 65 253 ST, prioritas III merupakan arahan lahan sistem diversifikasi kebun campuran, dengan total luas lahan 79 668 Ha mampu menampung sebesar 6 290 ST, prioritas IV adalah pada sistem ekstensifikasi belukar rawa, dengan total daya dukung sebesar 1 650 ST, dan prioritas V merupakan arahan lahan sistem diversifikasi sawah, dengan total luas lahan 438 Ha mampu menampung sebesar 386 ST.

(5)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, dengan judul Analisis Potensi Sumberdaya Lahan untuk Arahan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Bangka.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyelesaian tulisan ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan semua pihak. Sehubungan dengan hal tersebut maka perkenankan penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Ir. Atang Sutandi, M.Si, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Darmawan M.Sc dan Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran.

2. Ketua Program Studi dan segenap dosen pengajar serta asisten pada program studi Ilmu Perencanaan Wilayah, atas bimbingan dan dukungannya.

3. Kepala Pusbindiklatren-Bappenas yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program studi ini dan juga telah mengalokasikan anggaran biaya beasiswa tugas belajar.

4. Pemerintah Kabupaten Bangka atas dukungan, bantuan dan ijin yang telah diberikan untuk melaksanakan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor. 5. Segenap staf Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah

membantu kelancaran penulis selama studi.

6. Bapak Suwardih, Broto Wibowo, Suratman, Saefoel, Tri Permadi dan Ibu Hasnelly, yang telah memberikan bantuan, informasi dan saran-saran. 7. Rekan-rekan Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca

Sarjana IPB tahun 2005/2006 atas bantuan, kerjasama dan dukungannya. 8. Kedua orangtua, kakak dan adik, terima kasih terbanyak penulis

sampaikan atas doa, motivasi dan dukungannya.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis baik secara moril maupun materil dalam penyelesaian tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, namun penulis berharap tulisan ini mampu memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

(6)

Judul Tesis : Analisis Potensi Sumberdaya Lahan untuk Arahan

Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Bangka

Nama : Sutjiani Pelitawati

NRP : A253050144

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Atang Sutandi, M.Si, Ph.D. Ketua

Dr. Ir. Darmawan, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(7)

Penulis dilahirkan di Tempilang Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 1970. Penulis merupakan putri ke tiga dari lima bersaudara dari bapak Moestafa Satah dan ibu Mastura.

Tahun 1989 penulis lulus SMA Negeri 6 Yogyakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Diponegoro Semarang pada Fakultas Peternakan Jurusan Produksi Ternak dan tamat pada tahun 1995. Kesempatan untuk melanjutkan ke Sekolah Pasca Sarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah diperoleh pada tahun 2005 atas ijin tugas belajar dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka dan beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas.

(8)

ANALISIS POTENSI SUMBERDAYA LAHAN UNTUK

ARAHAN PENGEMBANGAN SAPI POTONG

DI KABUPATEN BANGKA

SUTJIANI PELITAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 5

Keterbatasan Penelitian... 5

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Potong ... 7

Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia ... 8

Evaluasi Sumberdaya Lahan ... 11

Hijauan Makanan Ternak... 14

Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak ... 19

Karakteristik Peternakan Sapi Potong di Indonesia ... 20

Kelayakan Finansial ... 22

Kajian Penelitian Terdahulu ... 24

Sistem Informasi Geografis... 27

BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian... 30

Data ... 30

Alat... 33

Kerangka Pemikiran ... 33

Metode dan Analisis ... 35

Identifikasi Jenis Penggunaan Lahan... 35

Penilaian Kesesuaian Lahan Lingkungan Ekologis Sapi Potong ... 36

Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Hijauan Makanan Ternak.. 37

Identifikasi Tingkat Ketersediaan Hijauan Makanan Ternak ... 38

Analisis Kelayakan Investasi... 42

Arahan dan Prioritas Arahan Pengembangan ... 47

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 52

Penduduk ... 53

Iklim ... 53

Geologi dan Bahan Induk ... 55

Landform dan Bentuk Wilayah ... 55

Keadaan Tanah ... 56

(10)

x HASIL DAN PEMBAHASAN

Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 65

Kesesuaian Lingkungan Ekologis Sapi Potong... 69

Kesesuaian Lahan Tanaman Hijauan Makanan Ternak... 74

Ketersediaan Hijauan Makanan Ternak ... 88

Analisis Kelayakan Investasi ... 94

Arahan dan Prioritas Arahan Pengembangan... 103

SIMPULAN DAN SARAN ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 114

(11)

xi

1 Kebutuhan berbagai mineral untuk sapi pedaging ... 18

2 Jenis dan sumber data sekunder ... 30

3 Kriteria status daya dukung hijauan makanan ternak berdasarkan indeks daya dukung ... 39

4 Karakterisasi pakan limbah tanaman pangan ... 40

5 Karakterisasi potensi pakan hijauan pada setiap penggunaan lahan ... 40

6 Nilai satuan ternak (ST) ruminansia utama di Kabupaten Bangka tahun 2005 ... 40

7 Keragaan pola tanam di wilayah Kabupaten Bangka menurut agroekosistem ... 42

8 Matrik prioritas arahan lahan pengembangan sapi potong ... 49

9 Luas wilayah Kabupaten Bangka menurut penutupan dan penggunaan lahan tahun 2005... 52

10 Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Kabupaten Bangka tahun 2004 ... 53

11 Rata-rata data iklim di Kabupaten Bangka di stasiun Pangkalpinang tahun 1996 – 2002 ... 54

12 Perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Bangka dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2002 – 2005 (ekor)... 59

13 Sebaran dan perkembangan populasi ternak ruminansia di Kabupaten Bangka tahun 2004 – 2005 (ekor) ... 61

14 Perimbangan kebutuhan daging dan telur dengan jumlah penduduk di Kabupaten Bangka tahun 2004 ... 61

15 Jumlah peternak sapi potong menurut kecamatan di Kabupaten Bangka tahun 2005 ... 62

16 Produk domestik regional bruto menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku Kabupaten Bangka (jutaan rupiah) ... 63

17 Distribusi persentase produk domestik regional bruto menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku Kabupaten Bangka ... 64

18 Jenis penutupan dan pengggunaan lahan di Kabupaten Bangka ... 65

19 Kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong di Kabupaten Bangka ... 70

20 Hasil analisis contoh rumput lapang di Kabupaten Bangka ... 75

21 Kesesuaian lahan padi sawah di Kabupaten Bangka ... 76

(12)

xii

23 Kesesuaian lahan tanaman jagung di Kabupaten Bangka ... 79

24 Kesesuaian lahan tanaman tacang tanah di Kabupaten Bangka ... 80

25 Kesesuaian lahan tanaman ubi kayu di Kabupaten Bangka ... 81

26 Kesesuaian lahan tanaman ubi jalar di Kabupaten Bangka ... 83

27 Kesesuaian lahan tanaman rumput gajah di Kabupaten Bangka ... 84

28 Kesesuaian lahan tanaman rumput setaria di Kabupaten Bangka ... 85

29 Kesesuaian lahan tanaman rumput alam di Kabupaten Bangka ... 86

30 Kesesuaian lahan tanaman leguminosa di Kabupaten Bangka ... 87

31 Tingkat kepadatan usahaternak ruminansia di Kabupaten Bangka tahun 2005 ... 88

32 Status daya dukung hijauan makanan ternak di Kabupaten Bangka tahun 2005 ... 89

33 Daya dukung hijauan makanan ternak dan kapasitas peningkatan sapi potong menurut kecamatan di Kabupaten Bangka ... 90

34 Daya dukung hijauan makanan ternak berdasarkan land use di Kabupaten Bangka... 92

35 Jenis tanaman sumber hijauan menurut musim tanam pada lahan sawah di Kabupaten Bangka... 93

36 Daya dukung hijauan makanan ternak berdasarkan musim tanam pada lahan sawah di Kabupaten Bangka ... 94

37 Asumsi-asumsi dalam usahaternak sapi potong di Kabupaten Bangka.. 95

38 Proyeksi total penerimaan usahaternak sapi potong di Kabupaten Bangka ... 96

39 Proyeksi total biaya usahaternak sapi potong di Kabupaten Bangka ... 97

40 Pendapatan usahaternak sapi potong di Kabupaten Bangka setiap tahun... 98

41 Hasil perhitungan kelayakan finansial sapi potong di Kabupaten Bangka ... 98

42 Hasil perhitungan analisis sensitivitas dengan kenaikan biaya transport sebesar 30% usahaternak sapi potong di Kabupaten Bangka ... 100

43 Hasil perhitungan analisis sensitivitas dengan kenaikan harga sapi bakalan sebesar 10% usahaternak sapi potong di Kabupaten Bangka ... 101

44 Hasil perhitungan analisis sensitivitas dengan kenaikan biaya pakan sebesar 20% usahaternak sapi potong di Kabupaten Bangka ... 101

45 Hasil perhitungan analisis sensitivitas dengan penurunan harga output sebesar 10% usahaternak sapi potong di Kabupaten Bangka ... 102

(13)

xiii 48 Prioritas arahan lahan dan kapasitas peningkatan sapi potong di

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Peta lokasi penelitian Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ... 31

2 Diagram alir kerangka pemikiran ... 34

3 Diagram alir kerangka penentuan prioritas arahan lahan pengembangan 50

4 Diagram alir kegiatan penelitian ... 51

5 Peta penutupan dan penggunaan lahan di Kabupaten Bangka ... 66

6 Peta kesesuaian aktual lingkungan ekologis sapi potong di Kabupaten Bangka ... 71

7 Peta kesesuaian potensial lingkungan ekologis sapi potong di Kabupaten Bangka... 72

8 Peta status daya dukung hijauan makanan ternak di Kabupaten Bangka 91

9 Peta arahan lahan pengembangan sapi potong di Kabupaten Bangka ... 108

10 Peta prioritas arahan lahan pengembangan sapi potong di Kabupaten

(15)

xv

1 Kualitas dan karakteristik lahan di Kabupaten Bangka ... 119

2 Peta satuan lahan Kabupaten Bangka ... 121

3 Kriteria penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak sapi kandang (ternak ruminansia yang adaptik di daerah tropik pada umumnya)... 122

4 Kriteria kesesuaian lahan beberapa tanaman sumber hijauan makanan ternak... 123

5 Asumsi tingkat perbaikan kualitas lahan aktual menjadi potensial menurut tingkat pengelolaannya (sedang) ... 133

6 Rata-rata suhu udara di Kabupaten Bangka di stasiun iklim Pangkalpinang tahun 2000 – 2005 (°C) ... 134

7 Rata-rata curah hujan di Kabupaten Bangka di stasiun iklim Pangkalpinang tahun 2000 – 2005 (mm) ... 134

8 Rata-rata kelembaban di Kabupaten Bangka di stasiun iklim Pangkalpinang tahun 2000 – 2005 (%) ... 135

9 Kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong di Kabupaten Bangka ... 136

10 Kesesuaian lahan aktual tanaman sumber hijauan makanan ternak dominan dan faktor pembatasnya di Kabupaten Bangka ... 137

11 Kesesuaian lahan aktual tanaman sumber hijauan makanan ternak dominan di Kabupaten Bangka ... 139

12 Kesesuaian lahan potensial tanaman sumber hijauan makanan ternak dominan di Kabupaten Bangka ... 141

13 Peta kesesuaian lahan tanaman padi sawah di Kabupaten Bangka ... 143

14 Peta kesesuaian lahan tanaman padi gogo di Kabupaten Bangka ... 144

15 Peta kesesuaian lahan tanaman jagung di Kabupaten Bangka ... 145

16 Peta kesesuaian lahan tanaman kacang tanah di Kabupaten Bangka ... 146

17 Peta kesesuaian lahan tanaman ubi kayu di Kabupaten Bangka ... 147

18 Peta kesesuaian lahan tanaman ubi jalar di Kabupaten Bangka ... 148

19 Peta kesesuaian lahan tanaman rumput gajah di Kabupaten Bangka ... 149

20 Peta kesesuaian lahan tanaman rumput setaria di Kabupaten Bangka ... 150

21 Peta kesesuaian lahan tanaman rumput alam di Kabupaten Bangka... 151

22 Peta kesesuaian lahan tanaman leguminosa di Kabupaten Bangka ... 152

(16)

xvi 24 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha sedang dengan input

output tetap ... 154

25 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha besar dengan input output tetap... 155

26 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha kecil dengan kenaikan biaya transport 30% ... 156

27 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha sedang dengan kenaikan biaya transport 30% ... 157

28 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha besar dengan kenaikan biaya transport 30% ... 158

29 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha kecil dengan kenaikan harga sapi bakalan 10%... 159

30 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha sedang dengan kenaikan harga sapi bakalan 10%... 160

31 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha besar dengan kenaikan harga sapi bakalan 10%... 161

32 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha kecil dengan kenaikan harga pakan 20% ... 162

33 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha sedang dengan kenaikan harga pakan 20% ... 163

34 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha besar dengan kenaikan harga pakan 20% ... 164

35 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha kecil dengan penurunan harga output 10%... 165

36 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha sedang dengan penurunan harga output 10%... 166

37 Arus biaya dan penerimaan pada skala usaha besar dengan penurunan harga output 10%... 167

(17)

Latar Belakang

Peranan ternak sapi potong dalam pembangunan peternakan cukup besar

di dalam pengembangan misi peternakan, yaitu sebagai: (a) sumber pangan

hewani asal ternak, berupa daging dan susu; (b) sumber pendapatan masyarakat

terutama petani peternak; (c) penghasil devisa yang sangat diperlukan untuk

membiayai pembangunan nasional; (d) menciptakan angkatan kerja; (e) sasaran

konservasi lingkungan terutama lahan melalui daur ulang pupuk kandang; dan

(f) pemenuhan sosial budaya masyarakat dalam upacara adat/kebudayaan.

Prioritas pembangunan peternakan di wilayah Indonesia di masa yang

akan datang cenderung berada di luar Jawa. Pertimbangan utama adalah masih

tersedianya lahan yang luas dan kepadatan penduduk yang masih sedikit. Lahan

menurut Amien (1998) merupakan dimensi fisik dalam perencanaan

pembangunan wilayah disamping dimensi sosial, ekonomi, sosial, budaya,

pertahanan dan keamanan. Dalam pembangunan pertanian, faktor lahan yang

meliputi iklim, tanah, hidrologi, vegetasi dan jasad hidup lainnya sangat

mempengaruhi produksi tanaman dan ternak, sehingga perlu diperhitungkan

dengan cermat. Pemahaman yang mendalam tentang sumberdaya ini sangat

menentukan dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai pembangunan

pertanian yang tangguh dan berkelanjutan. Menurut Susetyo (1980), dalam usaha

peningkatan produksi ternak ruminansia terdapat hubungan segitiga antara lahan, makanan ternak dan ternak yang merupakan satu kesatuan organis yang tak

terpisahkan dalam usaha tani. Bila salah satu diantaranya tidak ada maka produksi

yang akan dihasilkan tidak akan memuaskan dan mungkin akan menyebabkan

kegagalan dalam usaha. Lahan merupakan modal utama sebagai tempat hidup

ternak ruminansia sekaligus sebagai penghasil hijauan makanan ternak. Oleh karena itu agar dapat tercapai peningkatan produksi ternak yang optimal

diperlukan lahan yang sesuai sebagai lingkungan ekologis ternak dan mampu

menghasilkan hijauan makanan ternak dalam jumlah dan kualitas yang cukup dan

(18)

2

Kabupaten Bangka mempunyai luas wilayah daratan sebesar 295 068 Ha,

dikelilingi beberapa pulau kecil di sekitarnya dengan jumlah penduduk pada tahun

2004 sebesar 229 707 jiwa dan kepadatan penduduk sebesar 78 jiwa/km2.

Permintaan produk peternakan di Kabupaten Bangka terus meningkat sebagai

konsekuensi adanya peningkatan jumlah penduduk, bertambahnya proporsi

penduduk perkotaan, pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang perlunya

makanan yang berkualitas dan bergizi serta adanya dukungan membaiknya

pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, secara rutin

peternakan tidak mampu menyediakan produk daging dan telur untuk memenuhi

kebutuhan konsumen, sehingga berakibat ketergantungan terhadap impor semakin

besar. Populasi ternak ruminansia terutama sapi belum mencukupi untuk kebutuhan daerah ini. Sepanjang waktu sapi didatangkan dari luar daerah untuk

mencukupi kebutuhan daging penduduk. Pada tahun 2004 jumlah pemasukan

ternak sapi Kabupaten Bangka sebesar 2 207 ekor.

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan (DISPERTANHUT)

Kabupaten Bangka (2006), populasi sapi potong di Kabupaten Bangka berjumlah

860 ekor. Perkembangan populasi sapi potong belum sesuai dengan harapan.

Masalah sosial budaya penduduk dan masih sedikitnya tenaga yang tersedia di

pedesaan merupakan salah satu kendala pengembangan ternak sapi ini. Tenaga

kerja untuk memelihara sapi di daerah ini masih jarang, penduduk asli kurang

terbiasa memelihara sapi, pekerjaan ini kebanyakan dilakukan oleh pendatang.

Dengan makin maraknya tambang timah rakyat atau disebut Tambang

Inkonvensional (TI), maka banyak penduduk, termasuk para petani mengalihkan

kegiatannya ke TI ini. Dengan penghasilan yang relatif besar dari TI,

menyebabkan kegiatan pertanian dan peternakan ditinggalkan. Hal ini merupakan

tantangan untuk pengembangan sapi potong di daerah ini.

Pembangunan sub sektor perkebunan di Kabupaten Bangka cenderung

semakin berkembang. Berdasarkan nilai Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) atas dasar harga berlaku, perekonomian Kabupaten Bangka didominasi

oleh sektor pertanian. Sub sektor perkebunan menempati urutan pertama

(11.54%), kemudian diikuti tanaman bahan makanan sebesar 7.39%, perikanan

(19)

Jenis komoditas perkebunan rakyat terdiri dari antara lain lada, karet,

kelapa, cengkeh dan coklat. Lada merupakan komoditas andalan di Kabupaten

Bangka. Namun beberapa tahun belakangan ini, komoditas ini digeser oleh kelapa

sawit yang semakin luas penanamannya. Keadaan ini merupakan potensi dan

peluang yang sangat baik untuk pengembangan sapi potong di areal lahan

perkebunan dengan sistem integrasi, yaitu pemanfaatan rumput alam yang

dianggap sebagai gulma bagi tanaman kelapa sawit dan juga pemanfaatan limbah

kelapa sawit (seperti daun tanpa lidi, pelepah, solid, bungkil, serat perasan dan

tandan kosong) dapat dijadikan sumber pakan ternak, karena saat ini usaha

peternakan menghadapi kendala antara lain ketersediaan pakan murah dan

berkualitas secara kontinyu. Sedangkan untuk pertanian tanaman pangan terdiri

dari komoditas padi sawah, padi ladang, dan palawija. Walaupun secara kuantitas

produksi komoditi tersebut masih sedikit tetapi limbah dari usahatani ini dapat

juga dimanfaatkan untuk pakan ternak

Sistem integrasi tanaman-ternak (crops livestock system) merupakan salah satu alternatif yang cocok untuk dikembangkan di Kabupaten Bangka, karena

selain relatif murah juga dapat memperbaiki kesuburan lahan dan usaha pertanian

berkelanjutan (sustainable agriculture), serta dapat mensejahterakan petani melalui peningkatan pendapatan dan efisiensi usahatani. Saat ini Propinsi yang

daerahnya telah mencoba mengembangkan sistem integrasi sawit-sapi diantaranya

adalah Propinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Bengkulu dan

Kalimantan Timur, dimana hasilnya adalah terdapat prospek yang cerah untuk

dikembangkan.

Pada masa lalu penggunaan lahan merupakan hasil keputusan

masing-masing individu atau kelompok kecil yang terpisah. Dalam perkembangan

kemajuan iptek dan pembangunan terutama dalam kaitannya dengan tekanan

penduduk, perencanaan penggunaan lahan merupakan keharusan, tanpa kecuali

untuk semua kegiatan.

Perumusan Masalah

Pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Bangka belum

(20)

4

dan produksi ternak yang lambat berkembang. Adanya laju permintaan produk

peternakan yang terus meningkat, belum optimalnya pemanfaatan potensi

sumberdaya lokal dan sosial-ekonomi masyarakat Bangka diduga merupakan

penyebab terjadinya perkembangan produksi sapi potong yang tidak sesuai

dengan harapan. Hal ini merupakan tantangan dan peluang untuk pengembangan

sapi potong di Kabupaten Bangka. Kegiatan pengembangan sapi potong di

Kabupaten Bangka agar lebih optimal memerlukan informasi sumberdaya lahan,

sebagai salah satu dasar pertimbangan utama dalam perencanaan wilayah. Oleh

karena itu diperlukan usaha inventarisasi potensi sumberdaya lahan yang lebih

detail dan aplikatif.

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Belum ada penelitian/kajian kelayakan fisik kesesuaian lingkungan ekologis

sapi potong dan kesesuaian hijauan makanan ternak serta daya dukungnya.

2. Potensi lahan di Kabupaten Bangka belum dimanfaatkan secara optimal bagi

pengembangan ternak sapi potong sehingga perlu dilakukan analisis kelayakan

secara fisik dan kelayakan finansial usahaternak.

3. Potensi sumberdaya lokal, khususnya sistem integrasi perkebunan-sapi belum

dimanfaatkan oleh masyarakat/swasta bagi pengembangan ternak sapi potong

di Kabupaten Bangka.

4. Ketersediaan hijauan makanan ternak belum terpenuhi secara kualitas dan

kontinyu bagi pengembangan sapi potong.

Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk :

1. Mengidentifikasi jenis penggunaan lahan untuk pengembangan ternak sapi

potong.

2. Menentukan kesesuaian lahan sebagai lingkungan ekologis sapi potong.

3. Menentukan kesesuaian lahan untuk tanaman hijauan makanan ternak sapi

potong yang dominan dan potensi untuk dikembangkan serta tingkat

ketersediaannya yaitu dengan menghitung daya dukung hijauan makanan

ternak.

(21)

5. Menentukan arahan pengembangan ternak sapi potong berdasarkan potensi

sumberdaya lahan dan kelayakan usahaternak.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, antara lain:

1. Memberikan sumbangan pemikiran dan saran yang sekiranya dapat dijadikan

sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah untuk membuat

perencanaan pembangunan, khususnya pengembangan sapi potong di

Kabupaten Bangka dalam rangka memajukan dan meningkatkan peranan sub

sektor peternakan.

2. Sebagai bahan masukan kepada masyarakat/swasta yang bergerak dalam

usahaternak sapi potong/usahatani/perkebunan di Kabupaten Bangka dalam

berinvestasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan petani peternak.

3. Sebagai bahan masukan untuk proses pembelajaran (learning process), terutama dalam menganalisis potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan

ternak sapi potong.

Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan yang ada pada penelitian ini antara lain:

1. Peta satuan lahan yang digunakan terbatas pada informasi dari peta satuan

lahan ZAE semi detail pada skala 1 : 50 000 dan tidak dilakukan ground check

(cek lapangan).

2. Evaluasi lahan hanya dilaksanakan secara kualitatif. Pemilikan tanah dan

kependudukan tidak dipertimbangkan dalam evaluasi lahan.

3. Penilaian kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong dilakukan pada tingkat

ordo yaitu: S (Sesuai) dan N (Tidak sesuai) berdasarkan kriteria yang

dihasilkan Tim Peneliti Daya Dukung Lahan Peternakan, Puslittanak, tahun

anggaran 1992/1993.

4. Perhitungan tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak didasarkan pada

(22)

6

Asumsi-asumsi yang digunakan merupakan asumsi hasil penelitian terdahulu

dan data sekunder.

5. Perhitungan tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak berdasarkan

penggunaan dan penutupan lahan saat ini (present land use) serta hijauan makanan ternak yang dominan dan berpotensi untuk dikembangkan.

Asumsi-asumsi yang digunakan adalah dengan menentukan penggunaan lahan yang

establish (sawah dan kebun/perkebunan), kelas kesesuaian lahan yang paling tinggi, dan produksi biomass tanaman hijauan makanan ternak yang paling tinggi/menguntungkan pada setiap satuan lahan. Sedangkan asumsi

penanaman padi adalah dua kali masa tanam (MT), tetapi karena adanya

ketidakpastian pada MT II maka penanaman bervariasi yaitu 50% padi dan

50% bera (tidak ditanami). Limbah hasil pertanian tanaman pangan yang

diperhitungkan hanya produk on farm.

6. Kualitas hijauan makanan ternak (kandungan nutrisi dan unsur hara) hanya

dianalisis kadar mineral (unsur makro dan mikro) pada satu jenis rumput alam

yang dominan dan biasa digunakan oleh peternak sapi potong di Kabupaten

Bangka.

7. Perhitungan kelayakan usahaternak sapi potong di Kabupaten Bangka

menggunakan beberapa asumsi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 37.

8. Arahan pengembangan usahaternak sapi potong menurut kelayakan investasi,

dianalisis berdasarkan perhitungan kelayakan usahaternak pada

masing-masing skala usahaternak (kecil, sedang dan besar), kemudian ditentukan

skala usaha yang paling layak dikembangkan. Pada masing-masing pola

usahatani diasumsikan sama (tidak dilakukan perhitungan kelayakan investasi

pada masing-masing lahan pengembangan sistem diversifikasi dan

(23)

Sapi Potong

Sapi merupakan ternak ruminansia besar yang paling banyak diternakkan oleh peternak di Indonesia khususnya dan di dunia pada umumnya karena sapi memiliki fungsi (manfaat) ganda. Menurut Reksohadiprodjo (1984) di daerah tropika umumnya sapi penting sebagai sumber penghasil susu, daging dan tenaga kerja serta hasil-hasil lain, sebagai simbol status keluarga untuk kepentingan upacara dan lain-lain. Sapi potong merupakan salah satu sumberdaya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya dalam kehidupan masyarakat. Seekor atau sekelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan terutama bahan makanan berupa daging disamping hasil ikutan lain seperti pupuk, kulit, tulang dan sebagainya (Sugeng 1998). Sedangkan menurut Natasasmita dan Murdikdjo (1980), ternak sapi dalam jangka waktu yang cukup panjang akan tetap mempunyai peranan penting bagi sektor pertanian di Indonesia. Ternak ini sangat sesuai untuk berbagai segi kehidupan usahatani di Indonesia yang kegunaannya antara lain: (a) sebagai sumber tenaga; (b) sebagai pengubah hasil limbah pertanian dan rumput alam; (c) sebagai tabungan dan cadangan uang tunai dan (d) sebagai sumber pupuk organik.

Menurut Riady (2004), bangsa sapi potong di dunia ini banyak jenisnya yang masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan. Beberapa bangsa sapi tropis yang banyak dan populer di Indonesia sampai saat ini antara lain sapi bali (Bos sondaicus), sapi madura, sapi ongole, dan amerikan brahman. Berdasarkan data tahun 1984, sapi bali termasuk jenis sapi terbanyak di Indonesia yaitu 23.81%, diikuti sapi madura 11.28%, dan sisanya dari sapi ongole, peranakan ongole, brahman cross, dan persilangan sapi lokal dan sapi impor (Simmental, Limousine, Hereford, dan lain-lain). Sapi ongole dan peranakannya (PO) serta brahman merupakan sapi keturunan zebu (Bos indicus) yang berpunuk.

(24)

8

pertambahan berat badan, dan sifat-sifat lain yang cocok dengan keinginan peternak yang bersangkutan. Dikatakan oleh Guntoro (2002) diantara jenis sapi tersebut di atas, sapi bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang memiliki perkembangan pesat di Indonesia. Jenis ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain: (a) mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk, seperti daerah yang bersuhu tinggi, mutu pakan yang rendah/kasar dan lain-lain; (b) tingkat kesuburan (fertilitas) sangat tinggi dibandingkan dengan jenis sapi lain yaitu mencapai 83% tanpa terpengaruh oleh mutu; (c) merupakan tenaga kerja yang tangguh; (d) memiliki pertumbuhan badan yang kompak dan persentase karkas yang tinggi (56%) sehingga cocok dikembangkan sebagai sapi potong dan dagingnya diminati oleh konsumen baik di pasar lokal, kota-kota, maupun luar negeri.

Pemeliharaan sapi potong di Indonesia dilakukan secara ekstensif, semi intensif dan intensif. Pada umumnya sapi-sapi yang dipelihara secara intensif hampir sepanjang hari berada dalam kandang dan diberikan pakan sebanyak dan sebaik mungkin sehingga cepat gemuk, sedangkan secara ekstensif sapi-sapi tersebut dilepaskan di padang penggembalaan dan digembalakan sepanjang hari mulai dari pagi hingga sore hari.

Mengingat kondisi Indonesia yang merupakan negara agraris maka sektor pertanian tidak dapat terlepas dari berbagai sektor yang lain diantaranya sub sektor peternakan. Faktor pertanian dan penyebaran penduduk di Indonesia ini menentukan penyebaran usahaternak sapi. Masyarakat peternak yang bermata pencaharian bertani tidak bisa lepas dari usahaternak sapi, baik untuk tenaga, pupuk dan sebagainya sehingga maju berarti menunjang produksi pakan ternak berupa hijauan, hasil ikutan pertanian berupa biji-bijian atau pakan penguat (Sugeng 1998).

Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia

(25)

tempat terselenggaranya kegiatan produksi pertanian seperti bercocok tanam, pemeliharaan ternak dan budidaya ikan (Cirylla dan Ismail 1988).

Kebutuhan lahan bagi pengembangan ternak ruminansia dirasakan sangat penting terutama sebagai sumber hijauan pakan akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa semakin padatnya penduduk, lahan yang tersedia untuk hijauan pakan ternak semakin menyempit. Akibatnya di daerah padat penduduk ternak lebih banyak tergantung pada limbah pertanian walaupun pada kenyataannya tidak seluruh limbah pertanian tersedia efektif untuk makanan ternak. Kebutuhan lahan untuk peternakan tidak menuntut lahan yang terbaik (subur atau sangat subur) namun usahaternak dapat dikembangkan pada lahan kelas bawah yang biasanya berupa lahan kering yang umumnya kurang cocok untuk sub sektor yang lain seperti sub sektor pertanian tanaman pangan dan sub sektor perkebunan. Lahan kering dapat berupa perladangan yang berpindah sehinggga lahan yang ditinggalkan berupa lahan alang-alang dalam jumlah yang luas, dapat pula berupa tegalan, pekarangan dan perkebunan yang tingkat kesuburannya umumnya rendah. Lahan kering dengan tingkat kesuburan rendah ini masih berpotensi untuk pengembangan sub sektor peternakan. Walaupun demikian, pengembangan usahaternak akan lebih baik dan menguntungkan bila dilakukan pada lahan-lahan utama atau lahan subur (Soekartawi 1986).

(26)

10

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), agar ternak dapat berproduksi dengan baik, maka perlu memperhatikan persyaratan penggunaan dan sifat-sifat pembatas lahan yang meliputi sekelompok kualitas lahan yang diperlukan dan yang mempunyai pengaruh merugikan untuk produksi ternak. Kualitas lahan yang perlu diperhatikan untuk produksi ternak tersebut meliputi: - Semua kualitas lahan untuk pertumbuhan tanaman/rumput ternak antara lain:

tersedianya air, tersedianya unsur hara, tersedianya oksigen di perakaran, daya memegang unsur hara, kondisi untuk perkecambahan, mudah tidaknya diolah, kadar garam, unsur-unsur beracun, kepekaan erosi, hama dan penyakit tanaman, bahaya banjir, suhu, sinar matahari, dan periode photosintesis, iklim, kelembaban udara dan masa kering untuk pematangan tanaman;

- Kesulitan-kesulitan iklim yang mempengaruhi hewan ternak; - Ketersediaan air minum ternak;

- Nilai nutrisi dari rumput; - Sifat-sifat racun dari rumput; - Penyakit-penyakit hewan;

- Ketahanan terhadap kerusakan rumput; - Ketahanan erosi akibat penggembalan.

(27)

Evaluasi Sumberdaya Lahan

FAO (1976) mendefinisikan lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaanya. Termasuk didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang. Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep ini.

Evaluasi sumberdaya lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaanya. Adapun kerangka dasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumberdaya yang ada pada lahan tersebut. Pada dasarnya evaluasi sumberdaya lahan membutuhkan keterangan-keterangan yang menyangkut tiga aspek utama, yaitu: lahan, penggunaan lahan, dan aspek ekonomis. Data tentang lahan dapat diperoleh dari kegiatan survai sumberdaya alam, termasuk survai tanah. Keterangan-keterangan tentang syarat-syarat/kebutuhan ekologik dan teknik dari berbagai jenis penggunaan lahan diperoleh dari keterangan agronomis, kehutanan dan disiplin ilmu lainnya yang sesuai (Sitorus 2004).

(28)

12

Menurut Arsyad (1989), berkaitan dengan parameter sosial ekonomi, pendekatan evaluasi lahan dapat dibedakan dalam dua pendekatan, yaitu evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif. Evaluasi kualitatif adalah evaluasi yang dilaksanakan dengan mengelompokkan lahan ke dalam beberapa katagori berdasarkan perbandingan relatif kualitas lahan tanpa melakukan perhitungan secara terinci dan tepat biaya dan pendekatan bagi penggunaan lahan tersebut. Sedangkan evaluasi kuantitatif diperlukan pada survai kelayakan (feasibility grade land evaluation). Evaluasi kualitatif biasanya dilaksanakan dengan melakukan klasifikasi lahan. Tergantung pada tujuan evaluasi, klasifikasi lahan dapat berupa klasifikasi kemampuan lahan atau klasifikasi kesesuaian lahan.

Kemampuan lahan (Land capability) adalah potensi lahan yang didasarkan atas kecocokan lahan untuk pengunaan pertanian secara umum yaitu daerah pertanian, padang penggembalaan (ternak), hutan dan cagar alam. Klasifikasi kemampuan lahan menunjukkan keragaman besarnya faktor-faktor penghambat, yaitu tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai VIII. Semakin tinggi kelasnya maka resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat semakin bertambah. Tanah pada kelas I sampai IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian (dari pertanian sangat intensif sampai pertanian terbatas), sedangkan tanah pada kelas V sampai VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya. Oleh karena itu penggunaannya untuk penggembalaan (kelas V sampai VII), hutan (kelas VII) dan cagar alam (kelas VIII). Sedangkan kesesuaian lahan (land suitability) adalah potensi lahan yang didasarkan atas kesesuaian lahan untuk penggunaan pertanian secara lebih khusus seperti padi sawah, tanaman palawija, tanaman perkebunan, atau bahkan untuk jenis tanaman tertentu berikut tingkat pengelolaannya seperti padi sawah dengan irigasi dan pemupukan lengkap, karet dengan teknologi tinggi, dan sebagainya (Hardjowigeno 2003).

(29)

memperhatikan aspek pengolahan dan produktivitas lahan. Sedangkan kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasarkan atas penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kualitatif (tidak dengan angka-angka) dan tidak ada perhitungan-perhitungan ekonomi. Biasanya dilakukan dengan cara membandingkan kriteria masing-masing kelas kesesuaian lahan dengan karakteristik (kualitas) lahan yang dimilikinya. Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh faktor penghambat terberat.

(30)

14

Hijauan Makanan Ternak

Hijauan makanan ternak (HMT) merupakan semua bahan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan. Kelompok hijauan makanan ternak meliputi bangsa rumput (gramineae), leguminosa, dan hijauan dari tumbuh-tumbuhan lain seperti daun nangka, daun waru, dan lain-lain. Hijauan sebagai bahan makanan ternak dapat diberikan dalam dua macam bentuk, yaitu hijauan segar dan hijauan kering. Hijauan segar berasal dari hijauan segar seperti rumput segar, leguminosa segar dan silase, sedangkan hijauan kering berasal dari hijauan yang sengaja dikeringkan (hay) ataupun jerami kering. Sebagai bahan makanan ternak, hijauan memegang peranan penting karena hijauan mengandung hampir semua zat yang diperlukan hewan. Khususnya di Indonesia, bahan hijauan memegang peranan istimewa karena diberikan dalam jumlah besar. Ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, domba yang diberi hijauan sebagai bahan tunggal, masih dapat mempertahankan hidupnya dan mampu tumbuh baik dan berkembang biak (AAK 1983).

Jenis tanaman budidaya maupun alami yang umum dipergunakan sebagai hijauan makanan ternak terdiri dari: (1) jenis rumput-rumputan (gramineae); (2) peperduan/semak (herba); dan (3) pepohonan. Cukup banyak pilihan tersedia bagi spesies hijauan yang berpotensi tinggi, diantaranya adalah: (a) rumput alam/lapangan lapangan antara lain; rumpu para (Brachiaria mutica), rumput benggala (Panicum maximum), rumput kolonjono (Panicum muticum), rumput buffel (Cenchrus ciliaris) dan lain-lain; (b) peperduan, baik berupa legum seperti kacang gude (Cajanus cajan), komak (Dolochos lablab) dan lain-lain; dan peperduan lainnya dari limbah tanaman pangan pertanian antara lain: jerami padi, jagung, kedelai, kacang tanah, daun ubi jalar, ubi kayu dan lain-lain; (c) legum pohon antara lain: sengon laut (Albazia falcataria), lamtoro (Leucaena leucocephala), kaliandra (Calliandra calothyrsus), turi (Sesbania sp) dan lain-lain. Rumput-rumputan yang berpotensi sebagai rumput budidaya antara lain: rumput gajah (Pennisetum purpereum), setaria (Setaria spachelata), rumput raja (Pennisetum purpuphoides) dan lain-lain (Reksohadiprojo 1984).

(31)

meningkatkan kualitas pakan. Leguminosa pohon banyak terdapat di daerah tropis, kaya akan nitrogen dan tidak tergantung pada kondisi nitrogen dalam tanah atau pemberian pupuk karena sifatnya dapat memanfaatkan nitrogen udara melalui bintik-bintil akar. Berdasarkan hasil penelitian, diantara tiga jenis leguminosa pohon (lamtoro, gliserida dan kaliandra) tidak terdapat perbedaan nyata dalam tingkat konsumsinya oleh ternak ruminansia, namun kaliandra memperlihatkan konsumsi yang lebih tinggi dikuti oleh gliserida dan lamtoro.

Limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, pucuk tebu, dan lain-lain merupakan sumber makanan ternak ruminansia yang dapat diperoleh dari tanaman pertanian. Pemanfaatan limbah pertanian untuk ternak tersebut akan mendukung integrasi usaha peternakan dengan usaha pertanian baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Dilain pihak kegiatan intensifikasi peternakan telah menyebabkan kotoran ternak melimpah dan cenderung mengganggu lingkungan. Hal ini akan memberikan prospek baru dalam mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan yaitu dengan inovasi teknologi sederhana dapat diubah menjadi kompos. Menurut Preston dan Willis (1974), pemberian dedak padi pada ransum sapi penggemukan sangat menentukan dalam pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan pakan. Sementara pemanfaatan dedak padi sebagai pakan konsentrat, baru dilakukan oleh sebagian peternak. Untuk menggantikan sebagian pakan konsentrat, dapat digunakan tanaman leguminosa, dengan perbandingan 75 persen konsentrat dan 25 persen leguminosa (Nasrullah et al. 1996). Cara ini selain dapat meningkatkan kualitas ransum, juga akan memberikan keuntungan, terutama pada penggemukan sapi lokal.

(32)

16

oleh ruminansia adalah: (1) Hasil dan limbah kebun kelapa sawit, yang terdiri dari: hijauan kebun antar tanaman (cover crop/ground) dan rumput; pelepah dan daun kelapa sawit; (2) Limbah pabrik minyak kelapa sawit, yang terdiri dari: serat buah (serabut/fiber); lumpur sawit; bungkil inti sawit (BIS); limbah padat (solid); dan tandan buah kosong kelapa sawit.

(33)

perbedaan jenis tanah dan tingkat kesuburannya. Semakin kaya tanah dengan unsur hara yang diperlukan maka hijauan akan tumbuh subur, berproduksi tinggi, dan bermutu (AAK 1983).

Menurut Parakkasi (1999), pada umumnya faktor pembatas produksi herbivora di daerah tropis disebabkan oleh undernutrisi, sebagai ketidakseimbangan zat-zat makanan yang diberikan kepada herbivora dan terutama defisiensi energi, protein dan mineral. Defisiensi, kelebihan/keracunan ataupun ketidakseimbangan zat-zat mineral dalam bahan makanan tersebut, sedikit banyak ada hubungannya dengan kadar mineral dalam tanah tempat bahan makanan atau hijauan tersebut ditanam. Beberapa faktor yang saling berinteraksi yang mempengaruhi kadar mineral dalam tanaman/hijauan, antara lain: tanah, iklim, pengelolaan, spesies tanaman, umur pemotongan, dan produksi hijauan.

Pada umumnya defisiensi mineral pada ruminansia, erat hubungannya dengan sifat-sifat tanah di daerah tersebut. Tanah bentukan baru bersifat alkalis lebih banyak mengandung mikro mineral dibanding dengan yang lebih tua, asam, kasar dan berpasir.

(34)

18

Bersama dengan iklim dan pengelolaan, produksi hijauan akan mempengaruhi komposisi mineral hijauan. Sedangkan penggembalaan akan mempengaruhi komposisi botani hijauan dan selanjutnya akan mempengaruhi rasio daun dengan batang dan tentu saja mempengaruhi komposisi mineral. Meningkatnya produksi akan mengambil sejumlah mineral dari tanah secara lebih cepat dan defisiensi akan sering terlihat pada peternakan progresif. Penggunaan N dan K secara berlebihan akan meningkatkan insiden grass tetany, sedangkan dengan pupuk K akan menurunkan kadar Na hijauan. Terlampau banyak menggunakan kapur dapat meningkatkan kejadian keracunan Se atau Mo karena kedua mineral ini akan meningkat konsentrasinya dalam jaringan tanaman; saat yang sama tanaman akan kekurangan Co atau Mn karena pengambilannya dari tanah oleh tanaman bersangkutan akan berkurang. Kebutuhan berbagai mineral untuk sapi pedaging dapat ditunjukkan pada Tabel 1 (Parakkasi 1999).

Tabel 1 Kebutuhan berbagai mineral untuk sapi pedaging1)

Elemen Kebutuhan

(35)

Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak

Daya dukung dapat digunakan sebagai alat dalam suatu kegiatan pembangunan berkelanjutan. Pengertian daya dukung sudah dikenal di kalangan pakar biologi, peternak sapi dan pengelola satwa liar. Pada spesies hewan, daya dukung dapat didefinisikan sebagai populasi maksimum yang dapat didukung dalam suatu habitat (Khanna et al. 1999). Daya dukung menunjukkan besarnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan hewan, yang dinyatakan dalam jumlah ekor per satuan luas lahan. Jumlah hewan yang dapat didukung kehidupannya itu tergantung pada biomas (bahan organik tumbuhan) yang tersedia untuk hewan. Daya dukung ditentukan oleh banyaknya bahan organik tumbuhan yang terbentuk dalam proses fotosintesis per satuan luas dan waktu, yang disebut produktivitas primer (Soemarwoto 1983).

Menurut Dasman et al. (1977), daya dukung adalah suatu ukuran jumlah individu dari suatu spesies yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu, dengan tingkatan sebagai berikut:

1. Suatu daya dukung absolut atau maksimum, yaitu jumlah maksimum individu yang dapat didukung oleh sumberdaya lingkungan pada tingkatan sekedar hidup (tingkatan ini disebut kepadatan subsisten untuk spesies tertentu). 2. Suatu daya dukung dengan jumlah individu berada dalam keadaan yang

disebut kepadatan keamanan atau ambang pintu keamanan. Kepadatan keamanan lebih rendah dari kepadatan subsisten. Pada kepadatan keamanan ini, tingkatan populasi suatu spesies ditentukan oleh pengaruh populasi spesies lainnya yang hidup di lingkungan yang sama.

3. Suatu daya dukung dengan jumlah individu berada dalam keadaan yang disebut kepadatan optimum. Pada kepadatan optimum ini, individu-individu dalam populasi akan mendapatkan segala keperluan hidupnya dengan cukup serta menunjukkan pertumbuhan dan kesehatan individu yang baik. Kepadatan optimum hanya dapat dipertahankan oleh pembatasan yang kuat terhadap pertumbuhan yang diatur oleh tingkah laku spesies tersebut.

(36)

20

herbivora. Menurut Natasasmita dan Murdikdjo (1980), dalam memperhitungkan potensi suatu wilayah untuk mengembangkan ternak secara teknis, maka perlu dilihat populasi ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi hijauan makanan ternak yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Dalam memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka lahan-lahan yang potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang diperhitungkan, antara lain: lahan pertanian, perkebunan, padang penggembalaan, dan sebagian kehutanan.

Keberadaan ternak dalam arahan kebijakan pengembangan pertanian terdapat beberapa tingkat, antara lain yaitu:

a) Intensifikasi, merupakan suatu kegiatan yang dapat dilakukan sebagai usaha pokok non ternak.

b) Diversifikasi, merupakan alternatif usaha bagi berbagai kegiatan usaha, dimana arahan pengembangan peternakan berupa alternatif lokasi penyebaran dan pengembangan pada hamparan lahan yang telah mempunyai peruntukan tertentu, misalnya pada tanaman pangan, dan perkebunan.

c) Ekstensifikasi, merupakan kegiatan yang menempatkan ternak sebagai perintis bagi kegiatan usaha-usaha rehabilitasi dan menuju suatu kegiatan diversifikasi dan intensifikasi, misalnya dalam persiapan pemukiman baru dan perluasannya. Merupakan arahan kegiatan pengembangan peternakan pada lahan yang saat ini belum mempunyai peruntukan khusus bagi suatu kegiatan pengembangan atau pembangunan seperti hamparan alang-alang, semak belukar, dan hutan.

d) Rehabilitasi, merupakan kegiatan yang menempatkan ternak atau komponen peternakan bagi perbaikan lahan-lahan kritis, baik melalui ternaknya maupun melalui peran tanaman sumber pakannya yang menunjang pengembangan peternakan termasuk dalam bagian kegiatan ini yang bersifat khusus adalah reklamasi lahan.

Karakteristik Peternakan Sapi Potong di Indonesia

(37)

Menurut Aziz (1993), karakteristik peternakan sapi potong yang ada di Indonesia dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Peternakan sapi potong tradisional

Dimana ternak sapi potong baru bersifat dimiliki, belum diusahakan, biasanya ternak merupakan status sosial, ternak tidak digunakan untuk tenaga kerja, pamasaran ternak baru dilakukan bila ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan. Harga yang terbentuk biasanya sangat rendah dan jumlah ternak yang dimiliki cukup bervariasi pada umumnya relatif banyak.

2. Peternakan sapi potong keluarga

Usaha ternak yang dilakukan untuk membantu kegiatan usaha tani keluarga, seperti sumber pupuk kandang, sebagai tabungan, serta untuk dimanfaatkan tenaganya. Pada kondisi ini harga yang terbentuk di bawah harga pasar tetapi lebih tinggi daripada harga di peternakan tradisional. Skala kepemilikan ternak berkisar antara 1-5 ekor.

3. Peternakan sapi potong skala kecil

Usaha ternak sudah mulai berorientasi ekonomi, perhitungan rugi laba dan input teknologi sudah mulai diterapkan walaupun masih sederhana. Pada usaha ini, ternak umumnya diarahkan pada produksi daging dan skala kepemilikan ternak berkisar antara 6-10 ekor per rumah tangga.

4. Peternakan sapi potong skala menengah

Usaha yang dilakukan sepenuhnya menggunakan input teknologi yang berorientasi pada produksi daging dan kebutuhan pasar dan adanya jaminan kualitas. Jumlah ternak yang diusahakan berkisar antara 11-50 ekor per produk.

5. Peternakan sapi potong skala besar

(38)

22

Kelayakan Finansial

Kelayakan proyek merupakan suatu ukuran untuk menentukan apakah suatu proyek dapat dilanjutkan dalam implementasi karena diprediksi akan menghasilkan keuntungan, atau tidak perlu diimplementasikan karena sudah dapat dipastikan tidak akan menghasilkan keuntungan. Idealnya secara finansial setiap aktivitas dapat berjalan secara berkelanjutan. Suatu sistem usaha yang mandiri dan berkelanjutan harus menjadi usaha yang sehat, menguntungkan dan mampu melakukan investasi-investasi secara jangka pendek dan panjang. Aspek finansial pada dasarnya terutama menyangkut perbandingan antara pengeluaran dengan pendapatan (revenue earning) dari industri atau aktivitas usaha ekonomi, serta waktu didapatkannya hasil (return). Untuk mengetahui secara komprehensif tentang layak atau tidaknya suatu aktivitas usaha atau proyek maka dikembangkan berbagai kriteria yang pada dasarnya membandingkan antara biaya dan manfaat atas dasar suatu tingkat harga umum tetap yang diperoleh suatu industri yang menggunakan nilai sekarang (present value) yang telah didiskonto selama umur usaha atau industri tersebut. Cara penilaian industri jangka panjang yang paling banyak diterima dengan menggunakan Discounted cash Flow Analiysis (DCF) atau analisis aliran kas yang didiskonto (Gittinger 1986).

Alasan penggunaan metode ini adalah adanya pengaruh waktu terhadap nilai uang selama umur kegiatan usaha. Cash flow analysis dilakukan setelah komponen-komponennya ditemukan dan diperoleh nilainya. Komponen-komponen tersebut dikelompokkan dalam dua bagian yaitu penerimaan atau manfaat (benefit) dan pengeluaran atau biaya. Selisih antara keduanya disebut manfaat bersih (net benefit). Nilai-nilai manfaat dan biaya tersebut dijadikan nilai sekarang (present value) dan mengalikannya dengan tingkat diskonto (discount rate) yang berlaku. Untuk mengetahui tingkat kelayakan finansial dan ekonomi, dapat digunakan kriteria investasi, yaitu Payback Period, Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Rasio (Net BCR) dan Internal Rate of Return (IRR). Tiga kriteria terakhir lebih umum dipakai dan dipertanggungjawabkan untuk penggunaan-penggunaan tertentu.

(39)

Apabila nilai NPV > nol (positif) maka usaha tersebut diprioritaskan pelaksanaannya. Apabila besarnya NPV sama dengan nol berarti usaha tersebut mengembalikan persis sebesar Social Opportunity Cost of Capital. Sedangkan apabila besarnya NPV < nol (negatif) maka sebaiknya usaha ditolak dan sekaligus mengindikasikan ada jenis penggunaan lain yang lebih menguntungkan.

Net Benefit Cost Ratio (Net BCR) merupakan cara evaluasi usaha atau industri dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh suatu usaha dengan nilai sekarang seluruh biaya usaha atau industri. Net BCR akan menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan jika mempunyai nilai lebih besar dari satu atau Benefit Cost Ratio (BCR) lebih besar dari nol.

Internal Rate of Return (IRR) tingkat suku bunga yang membuat usaha atau industri akan mengembalikan semua investasi selama umur usaha atau industri. Suatu usaha atau industri akan diterima jika IRR-nya lebih besar dari opportunity cost of capital atau lebih besar dari suku bunga yang didiskonto yang telah ditetapkan, dan jika sebaliknya usaha atau industri akan ditolak.

Payback Period merupakan perhitungan seberapa cepat investasi yang dilakukan dapat kembali dan hasil perhitungannya dinyatakan dalam satuan waktu, yaitu tahun atau bulan. Perhitungan payback period dilakukan dengan mem-present-value-kan arus kas. Payback period ini digunakan untuk memperoleh gambaran yang sederhana berkaitan dengan jangka waktu kembalinya modal, oleh karena itu semakin pendek periode payback period maka semakin menarik investasi tersebut (Husnan 1999).

(40)

24

didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang banyak mengandung ketidakpastian tentang apa yang terjadi pada masa yang akan datang. Salah satu penyebab ketidakpastian tersebut adalah adanya pengaruh harga baik harga input maupun output.

Proses produksi adalah proses memadukan beberapa input menjadi satu atau lebih output. Proses produksi dalam usahaternak sapi potong merupakan pengorganisasian dari berberapa input antara lain sapi potong, pakan, tenaga kerja dan faktor lingkungan. Selain itu proses produksi juga mengangkut biaya-biaya yang dikeluarkan baik yang dibayar secara tunai atau diperhitungkan, disebut juga biaya produksi. Biaya produksi (input) yang dikeluarkan terdiri dari biaya tidak tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost).

Kajian Penelitian Terdahulu

Menurut Sudjatmiko (2004), dalam laporan prosiding lokakarya nasional sapi potong dari BPTP Kepulauan Bangka Belitung tentang prospek pengembangan sapi potong di Kepulauan Bangka Belitung, berpendapat bahwa prospek budidaya dan pengembangan usahatani ternak sapi di Kepulauan Bangka Belitung sangat menjanjikan, baik usahatani sapi potong maupun pembibitan. Beberapa faktor pendukung antara lain adalah: (1) potensi lahan untuk

(41)

ketergantungan yang saling menguntungkan. Selain itu penanaman hijauan makanan ternak (rumput gajah, rumput raja, paspalum, dan lain-lain) perlu digalakkan selain untuk pakan ternak juga sebagai tanaman penutup tanah, pencegah erosi, dan fungsi lainnya (misalnya leguminosa sebagai penyedia N bagi tanaman).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti ZAE BPTP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Suwardih et al. (2005), tentang pewilayahan komoditas berdasarkan zona agroekologi (ZAE) semi detail (skala 1: 50 000) melalui analisis terrain di Provinsi Bangka Belitung, menyimpulkan bahwa status kesuburan tanah-tanah di Kabupaten Bangka umumnya rendah sampai sangat rendah. Kondisi ini disebabkan bahan induk tanahnya sendiri miskin cadangan mineral, dan ditambah lagi dengan terjadinya pencucian hara secara intensif, sehingga tanah miskin hara terutama NPK, C organik dan basa-basa dapat ditukar. Tanah-tanah yang drainase terhambat mempunyai status kesuburan sedikit lebih baik dari tanah lahan kering. Penambahan pupuk NPK, pengapuran dan bahan organik sangat dibutuhkan guna memperbaiki dan meningkatkan status kesuburannya. Berdasarkan hasil penilaian kesesuaian lahan, lahan yang berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan maupun tanaman tahunan sekitar 185 000 Ha, dimana tanaman sebaiknya dikembangkan pada lahan dengan lereng < 8%. Faktor penghambat utama penggunaan lahan di daerah ini adalah retensi hara (pH, KTK) dan ketersediaan unsur hara (NPK, C organik) rendah sampai sangat rendah tetapi mudah untuk diperbaiki, sedang media perakaran relatif sulit untuk diperbaiki, dan pada wilayah berlereng curam sangat tertoreh kemungkinan bahaya erosi.

(42)

26

melalui introduksi komposisi pakan dengan pemanfaatan limbah sawit berupa bungkil inti sawit 15% dan lumpur sawit 20% lebih baik bila dibandingkan dengan teknologi yang diperbaiki yaitu: 10.62 kg berbanding 8.22 kg dengan pertambahan berat badan harian (ADG) 0.35 kg berbanding 0.27 kg. Selain itu rata-rata jumlah konsumsi pakan dan rata-rata nilai konversi pakan pada teknologi introduksi lebih rendah dibandingkan dengan teknologi yang diperbaiki. Hal ini disebabkan zat-zat pakan (nutrisi) yang diberikan pada teknologi introduksi lebih baik sehingga mencukupi kebutuhan untuk produksi (pertambahan berat badan) dan juga berarti teknologi introduksi lebih efisien dalam pemanfaatan pakan (konsumsi lebih sedikit tetapi diimbangi dengan hasil daging yang lebih banyak).

Masbulan dan Kondi (1999), dalam penelitian tentang analisis kelayakan usaha penggemukan sapi di kawasan Timor Barat NTT, menganalisis perkembangan usaha sapi potong di daerah potensial dengan aspek daya dukung lingkungan, sistem pengolahan, teknologi produksi, analisis pendapatan usaha, analisis kelayakan usaha dan analisis resiko usaha maka disimpulkan bahwa usaha penggemukan sapi potong layak untuk diusahakan di daerah tersebut dan pada tingkat peternak, usaha perkembangan sapi potong yang layak adalah pada skala 2, 3 dan 4 ekor. Selain itu dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian IPB tahun 1998, menunjukkan bahwa skala usaha yang ekonomis ditingkat peternak Indonesia adalah 6 ekor. Sedangkan penelitian yang dilakukan Daslina (2006), tentang kajian kelayakan dan skala ekonomi usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Kampar Provinsi Riau menunjukkan usaha perkembangan sapi potong yang layak adalah pada skala besar >10 ekor atau rata-rata 15 ekor.

(43)

hanya mengeluarkan biaya transport kendaraan (bensin). Untuk meningkatkan produktifitas ternak sapi potong maka peternak biasanya memberikan feed supplement antara lain berupa jamu tradisional. Untuk menghitung kelayakan usahaternak, maka usahaternak dibagi menjadi skala kecil (1 – 5 ekor atau rata-rata 4 ekor), skala sedang (6 – 10 ekor atau rata-rata-rata-rata 6 ekor) dan skala besar (> 10 ekor atau rata-rata 20 ekor).

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai peran yang penting dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis, berbagai macam informasi dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisa dan dikaitkan dengan letaknya di muka bumi (proyeksinya). Sistem informasi geografis saat ini lebih sering diterapkan bagi teknologi informasi spasial atau geografis yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer. SIG secara harfiah diartikan sebagai suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis, dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. Dengan demikian SIG merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang tidak dapat berdiri sendiri (Puntodewo et al. 2003). Sedangkan secara lebih spesifik SIG merupakan suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan menangani data yang bereferensi geografi yang mempunyai kemampuan menangani data yang bereferensi geografi yang mencakup: (a) pemasukan; (b) manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan lagi); (c) manipulasi dan analisis; dan (d) pengembangan produk dan pencetakan (Aronof 1993 dalam Barus dan Wiradisastra 2000).

Menurut Dulbahri (2003), SIG mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan SIG diantaranya adalah :

(44)

28

dibandingkan dari format peta kerja, data tabuler atau bentuk konvensional lainnya.

b. Memiliki kemampuan menyimpan dan mengolah data spasial dalam jumlah besar dalam waktu cepat dengan harga per unitnya lebih murah.

c. Memiliki kemampuan untuk menganalisis berbagai jenis data spasial dan atribut dengan mengintegrasikan berbagai jenis data tersebut dalam satu analisis yang komplek dengan kecepatan tinggi yang tidak mungkin dapat dilakukan secara manual.

Sedangkan kelemahan yang paling menonjol dari SIG adalah proses input data untuk membangun data awal ke dalam format digital yang dapat diolah oleh SIG seringkali merupakan bottle neck (masalah serius) karena penyiapan input data awal ini memerlukan biaya cukup besar dan memakan waktu yang cukup lama karena data harus dibangun memerlukan ketelitian yang tinggi.

Produk yang dihasilkan SIG dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu: (1) cetak keras (hardcopy), produk ini bersifat permanen yang dicetak pada kertas, mylar, film fotografik atau bahan-bahan sejenis, antara lain dapat berupa peta dan tabel; (2) cetak lunak (softcopy), umumnya digunakan untuk penyajian yang bersifat interaktif melalui layar komputer atau demonstrasi atau persiapan sebelum dicetak ke bentuk cetak keras; dan (3) elektronik, yaitu keluaran dalam bentuk elektronik terdiri dari berkas (file) yang dapat dibaca komputer. Bentuk ini dihasilkan untuk mentransfer data dari satu sistem komputer ke sistem lain atau untuk tambahan analisis.

(45)

Gambar

Tabel 1  Kebutuhan berbagai mineral untuk sapi pedaging1)
Tabel 2  Jenis dan sumber data sekunder
Gambar 1  Peta  lokasi  penelitian  Kabupaten  Bangka  Provinsi  Kepulauan          Bangka Belitung
Gambar 2  Diagram alir kerangka pemikiran.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Superkapasitor merupakan alat penyimpan energi yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan baterai dan kapasitor konvensional, diantaranya adalah waktu

By opposition, the combined interval analysis and homotopy continuation technique calibration obtained by continuous deformation of the function mapping the

Ketiga, dalam penelitian yang berjudul pengaruh motivasi dan lingkungan kerja terhadap kinerja karyawan dengan kepuasan kerja sebagai variabel mediasi pada PT BNI life Insurance

Efektivitas penerapan sistem pengendalian internal perusahaan tidak akan tercapai, apabila pertimbangan yang keliru digunakan dalam pembuatan keputusan, terjadi

Dari hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan joyful learning melalui metode mind map maka diperoleh hasil belajar berpikir kreatif kelas eksperimen lebih tinggi

The Attitude In A l’arc -En-Ciel Song: An Analysis Of Interpersonal Meaning.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

[r]

Dalam penelitian ini, penulis menyarankan agar PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) KCP Karanganyar meningkatkan kualitas penerapan manajemen risiko dengan