• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian pengembangan peternakan sapi potong di Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian pengembangan peternakan sapi potong di Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI POTONG

DI KECAMATAN AGRABINTA, KABUPATEN CIANJUR

SKRIPSI

BAMBANG MAULANA HERMANSYAH

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

BAMBANG MAULANA HERMANSYAH. D34101029. 2006. KAJIAN

PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI POTONG DI KECAMATAN AGRABINTA, KABUPATEN CIANJUR. Skipsi. Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Pembimbing Anggota : Ir. Sudjana Natasasmita

Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Ternak sapi potong merupakan salah satu sumber protein penghasil daging, memiliki potensi untuk dikembangkan.

Potensi ternak sapi potong tersebar di kabupaten-kabupaten yang ada di Jawa Barat, salah satunya adalah Kabupaten Cianjur. Wilayah Kabupaten Cianjur yang mungkin dikembangkan adalah Kecamatan Agrabinta. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengetahui karakteristik peternak dan budidaya ternak sapi potong di Kecamatan Agrabinta, 2) menganalisa potensi teknis usaha ternak sapi potong di Kecamatan Agrabinta, 3) menganalisa tingkat pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Agrabinta dan 4) merumuskan strategi pengembangan ternak sapi potong yang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh Kecamatan Agrabinta.

Penelitian ini didesain dengan metode survei. Populasi yang diamati yaitu seluruh peternak sapi potong yang ada di Kecamatan Agrabinta yang berjumlah 1.516 rumah tangga peternak (RTP). Pengambilan sampel secara sengaja berdasarkan desa-desa yang memiliki populasi sapi potong yang terbanyak dilakukan di desa Sinarlaut sebanyak 10 responden peternak, desa Bojongkaso10 responden peternak, desa Sukamanah 2 responden peternak, desa Mekarsari 10 responden peternak, desa Tanjungsari 11 responden peternak dan desa Wanasari 10 responden peternak.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pemeliharaan ternak sapi potong oleh peternak masih bersifat tradisional. Kontribusi pendapatan usaha ternak sapi potong sebesar 11,11% dari total pendapatan keluarga atau sebesar Rp. 1.054.020,26 per tahunnya. Nilai Return Cost ratio (R/C rasio) menunjukan angka 1,51. Hal ini menegaskan bahwa usaha ternak sapi potong dapat dikembangkan di daerah ini.

Berdasarkan hasil dari analisa kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia (KPPTR) maka diantara desa-desa yang masih bisa dikembangkan adalah desa Bojongkaso, desa Tanjungsari, desa Sukamanah secara berturut-turut sebesar 242,44 Satuan ternak (ST); 5096 ST; 1145,90 ST.

(3)

Berdasarkan hasil analisa matrik SWOT dapat dipilih prioritas strategi, yaitu strategi SO yang meliputi : 1) Kerjasama dengan instansi lain dalam pengembangan pakan dengan memanfaatkan lahan yang ada, 2) Pemberian pengetahuan dan teknologi kepada peternak guna mengembangkan usaha ternak sapi potong, 3) Kerjasama dengan instansi penanam modal. Strategi ini dianggap prioritas karena diharapkan dangan cara ini dapat mengubah pola beternak yang telah ada serta menambah keterampilan peternak

(4)

ABSTRACT

BAMBANG MAULANA HERMANSYAH. D34101029. 2006. Study of

Development Farm of Cattle Livestock In Agrabinta Sub-District, in Cianjur Sub-Province, West Java. Script. Department of Social Economic of Livestock Industry, Bogor Agriculture University.

Adviser : Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Co Adviser : Ir. Sudjana Natasasmita

The objective of the research were 1) to know characteristic of beef cattle farmer in related to management of beef cattle farming, 2) to analyzed technical potency of beef cattle farm in Agrabinta Sub-District, 3) to analyzed farmer earning in beef cattle farm business , 4) to formulate the strategy of beef cattle development in Agrabinta Sub-District. Primary data obtained by direct interview with the beef cattle farmer, used questionnaire as the tool. Secondary data obtained from relevant institutions sources that related with the topic of the research, data analyzed descriptive corelation method. Base on data analyzed showed that technical management of beef cattle farm by farmer characterize still in the traditional system. The return cost ratio (R/C ratio) of beef cattle farm business analysis, showed that ratio as 1.51 value. It means that the beef cattle farm business were profitable. Beef

cattle farm income contributed 11.11 persen to total family income or Rp. 1,054,020.26. The results from Added Capacity of Ruminant Population (ACRP)

analyzed at Sinarlaut village, Bojongkaso village, Tanjungsari village, Wanasari village, Mekarsari village, Sukamanah village respectively were -903.58 Animal Unit (AU); 242.44 AU; -340.40 AU; 5096 AU; -337.90 AU, the positive value explain that in these villages can accept more beef cattle number, such Bojongkaso village and Wanasari village. The strategy of beef cattle farming development in Agrabinta Sub-District were showed at Growth Oriented Strategy, it can be implemented by making Demonstration Plot of beef cattle farm intensification, recruit more animal health officer to optimalisation of services and cooperation with other relevant institutions

(5)

KAJIAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI POTONG

DI KECAMATAN AGRABINTA, KABUPATEN CIANJUR

SKRIPSI

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Oleh

BAMBANG MAULANA HERMANSYAH D34101029

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

KAJIAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI POTONG DI KECAMATAN AGRABINTA, KABUPATEN CIANJUR

Oleh

BAMBANG MAULANA HERMANSYAH D34101029

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 09 Maret 2006

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Basita Ginting S., MA Ir. Sudjana Natasasmita NIP. 130 517 039 NIP. 130 517 040

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Januari 1982 di Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Hendra Suhara dan Ibu Sitriyanah.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SDN Perwira II Bogor, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1998 di SMPN 12 Bogor dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2001 di SMUN 6 Bogor.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2001, selama mengikuti pendidikan, penulis aktif dalam kegiatan organisasi HIMASEIP (Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Industri Peternakan) pada tahun 2002 – 2003 sebagai staf Departemen Kewirausahaan, sedangkan pada tahun 2003 – 2004 mengikuti Organisasi BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Peternakan sebagai staf Departemen Hubungan Luar Negeri.

(8)

KATA PENGANTAR

Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Peternakan sangat penting kontribusinya dalam penyediaan kebutuhan akan protein hewani yang berperan dalam peningkatan kualitas pangan dan gizi masyarakat. Pemenuhan protein hewani dengan baik maka akan meningkatkan kecerdasan masyarakat, peternakan juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai pendapatan dan taraf hidup peternak.

Peningkatan laju pertumbuhan penduduk serta kesadaran masyarakat akan produk pangan yang bergizi tinggi dan berprotein menyebabkan meningkatnya permintaan produk peternakan terutama daging, telur dan susu. Hal ini merupakan sebuah peluang yang bisa diambil bagi peternak untuk meningkatkan produktifitas guna memenuhi permintaan produk peternakan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh peternak yaitu dengan mengembangkan usaha ternak sapi potong. Ternak sapi potong merupakan salah satu sumber protein penghasil daging, memiliki potensi untuk dikembangkan.

Atas dasar itu penulis melakukan penelitian kajian pengembangan peternakan sapi potong di Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik budidaya ternak sapi potong di Kecamatan Agrabinta, menganalisa potensi teknis yang ada di Kecamatan Agrabinta, menganalisa tingkat pendapatan peternak dan merumuskan formulasi startegi pengembangan peternakan sapi potong yang berdasarkan potensi yang ada di Kecamatan Agrabinta.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan pra survei, penelitian, dan penyusunan skripsi. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan, untuk itu masukan dan sarannya sangat diharapkan untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Maret 2006

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ………..

1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

KERANGKA PEMIKIRAN ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Usaha Ternak Sapi Potong ... 6

Budidaya Ternak Sapi Potong ... 7

Pendapatan Usaha Ternak ... 16

METODE PENELITIAN ... 16

Lokasi dan Waktu ... 16

Populasi dan Sampel ... 16

Desain Penelitian ... 17

Data dan Instrumen ... 17

Analisa Data ... 17

Definisi Istilah ... 24

KEADAAN LOKASI PENELITIAN ... 26

Keadaan Umum Kabupaten Cianjur ... 26

(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

Karakteristik Peternak ... 30

Kepemilikan Ternak Sapi Potong ... 32

Aspek Manajemen Teknis ... 33

Kandang ... 33

Pemberian Pakan ... 36

Kesehatan ... 38

Perkawinan ... 39

Aspek Ekonomi ... 41

Modal ... 41

Pemasaran ... 42

Pendapatan ... 43

Penerimaan ... 44

Pengeluaran... 44

Pendapatan Keluarga Peternak ... 46

Potensi Teknis Usaha Ternak Sapi Potong ... 47

Tenaga Kerja ... 47

Lahan ... 47

Strateggi Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Potong ... 48

Analisa Korelasi Rank Spearman (rs) ... 48

Analisa Kapasitas Penambahan Populasi ternak Ruminansia (KPPTR)... ... 51

Analisa Strength-Weakness-Opportunities-Threats (SWOT) .... 53

KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

Kesimpulan ... 58

Saran ... ... 58

UCAPAM TERIMA KASIH ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Penggunaan Lahan di Kecamatan Agrabinta... 27

2. Keadaan Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian... 27

3. Keadaan Populasi Ternak di Kecamatan Agrabinta... 28

4. Sarana dan Prasarana Peternakan Di Kecamatan Agrabinta... 29

5. Karakteristik Peternak Sapi Potong Di Kecamatan Agrabinta... 30

6. Pengelompokan Peternak Sapi Potong Di Kecamatan Agrabinta.... 32

7. Keberadaan Kandang Ternak Sapi Potong Di Kecamatan Agrabinta... 34

8. Bahan Membuat Kandang Ternak Sapi Potong Di Kecamatan Agrabinta... 35

9. Jenis Pakan, Lokasi dan Cara Memperoleh Yang Diberikan Peternak di Kecamatan Agrabinta... 37

10.Kesehatan Ternak Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta... 38

11.Reproduksi Ternak Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta... 40

12.Pedoman Pelaksanaan Inseminasi Buatan Bagi Inseminator... 40

13.Modal, Cara memperoleh Usaha Ternak Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta... 41

14.Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta... 42

15.Rataan Penerimaan Usaha Ternak Sapi Potong... 44

16.Rataan Pengeluaran Usaha Ternak Sapi Potong... 44

17.Pendapatan Usaha Ternak Sapi Potong... 45

18.Nilai R/C Rasio Usaha Ternak Sapi Potong... 46

19.Kontribusi Pendapatan Usaha Ternak Sapi Potong... 46

20.Sumber Tenaga Kerja Usaha Ternak Sapi Potong... 47

21.Rataan Penggunaan Lahan Yang Dimiliki Peternak... 47

22.Keofisien Peubah bebas Terhadap peubah terikat... 48

23.Nilai Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia... . 51

24.Urutan Prioritas Wilayah Pengembangan Berdasarkan Nilai KPPTR Efektif... 52

25.Faktor Strategi Internal Usaha Ternak Sapi Potong... 54

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka pemikiran untuk strategi pengembangan

peternakan sapi potong... 5

2. Skema Pelaksanaan Inseminasi Buatan... 14

3. Diagram Analisa SWOT... 22

4. Matrik SWOT... 23

5. Jalur Pemasaran Ternak Sapi Potong... 43

6. Analisa SWOT Peternakan Sapi Potong... 55

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Rata-rata Pendapatan Usaha Ternak Sapi Potong... 63

2. Rata-rata Pendapatan Usaha Tani... 64

3. Perhitungan Analisa KPPTR... 65

4. Perhitungan Pengembangan Ternak Sapi Potong... 68

5. Hasil Perhitungan SPSS... 70

6. Susunan Kepengurusan SPT – IB... 71

7. Struktur Organisasi Kecamatan Agrabinta... 72

8. Peta Kecamatan Agrabinta... 73

(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Peternakan sangat penting kontribusinya dalam penyediaan kebutuhan akan protein hewani yang berperan dalam Penambahan kualitas pangan dan gizi masyarakat. Pemenuhan protein hewani dengan baik maka akan meningkatkan kecerdasan masyarakat, peternakan juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai pendapatan dan taraf hidup peternak.

Sektor peternakan saat ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi sudah berkembang menjadi salah satu alternatif usaha yang menguntungkan. Bahkan, sebagian telah menjadi usaha skala industri yang memberikan kesempatan kerja bagi sebagian besar masyarakat

Penambahan laju pertumbuhan penduduk serta kesadaran masyarakat akan produk pangan yang bergizi tinggi dan berprotein menyebabkan meningkatnya permintaan produk peternakan terutama daging, telur dan susu. Hal ini merupakan sebuah peluang yang bisa diambil bagi peternak untuk meningkatkan produktifitas guna memenuhi permintaan produk peternakan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh peternak yaitu dengan mengembangkan usaha ternak sapi potong.

Ternak sapi potong merupakan salah satu penghasil daging sebagai sumber protein, memiliki potensi untuk dikembangkan. Salah satu pendorong pengembangan peternakan sapi potong karena permintaan produksi sapi potong relatif bervariasi naik-turun dari tahun ke tahun termasuk daerah Jawa Barat. Seperti terlihat di Jawa Barat pada tahun 2000 produksi daging sapi potong sebesar 74.256 ton, tahun 2001 produksi daging sapi potong sebesar 70.993 ton, tahun 2002 produksi daging sapi potong sebesar 65.199 ton, tahun 2003 sebesar 74.898 ton dan tahun 2004 produksi daging sapi potong sebesar 76.053 ton (Direktorat Jenderal Bina Produksi Ternak, 2004).

(15)

dan luas lahan darat 291.563 Ha (83,3% dari luas Kabupaten Cianjur) memiliki potensi yang cukup tinggi untuk pengembangan usaha peternakan sapi potong. Produksi daging di Kabupaten Cianjur terus meningkat antara tahun 2001–2003, dengan perincian tahun 2001 produksi daging dengan total sebesar 22.650.705 kg, tahun 2002 produksi daging dengan total sebesar 26.316.457 kg, tahun 2003 produksi daging dengan total sebesar 34.291.472 kg. Hal ini menunjukan sebuah peluang dan sebuah tantangan bagi pemerintah daerah Kabupaten Cianjur

Dengan demikian sapi potong memiliki potensi untuk dikembangkan di Kabupaten Cianjur, salah satu wilayah yang mungkin dikembangkan adalah Kecamatan Agrabinta. Kecamatan Agrabinta yang memiliki ketinggian 7 m hingga 600 m dari permukaan laut, dengan luas wilayah 294.77 km2. Kecamatan Agrabinta memiliki populasi ternak sapi potong terbanyak diantara kecamatan yang ada di Kabupaten Cianjur yaitu 2.931 ekor jantan dan 8.463 ekor betina dengan jumlah rumah tangga ternak (RTP) sebanyak 1516 RTP (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Cianjur, 2004).

Oleh karena itu perlu dilakukan kajian terhadap pengembangan sapi potong di Kecamatan Agrabinta. Sehingga dapat disarankan formulasi strategi pengembangan ternak sapi potong yang dapat menjadi contoh untuk kecamatan lainnya.

Perumusan Masalah

Usaha ternak sapi potong di Indonesia pada umumnya masih berbentuk peternakan rakyat yang bersifat tradisional dan hanya sebagai usaha sampingan, sehingga budidaya dilaksanakan dalam kondisi yang tidak optimal. Hal ini memberikan kontribusi usaha peternakan sapi potong terhadap pendapatan rumah tangga peternak akan relatif kecil. Faktor lain belum optimalnya budidaya sapi potong disebabkan alokasi tenaga kerja, hijauan makanan ternak, permodalan dan pemasaran.

(16)

Besar kecilnya keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan usaha ternak sapi potong berhubungan dengan teknis beternak yang sesuai seperti pengalokasian tenaga kerja, hijauan makanan ternak, modal kepemilikan lahan beternak dan bibit ternak sapi potong. Alokasi tersebut belum diketahui secara mendalam di Kecamatan Agrabinta, maka permasalahan tersebut dapat diperinci sebagai berikut:

1. bagaimana karakteristik peternak dan budidaya ternak sapi potong di Kecamatan Agrabinta ?

2. bagaimana potensi teknis usaha ternak sapi potong di Kecamatan Agrabinta? 3. berapa besar tingkat pendapatan yang diperoleh peternak usaha ternak sapi

potong saat ini ?

4. bagaimana merumuskan strategi pengembangan ternak sapi potong yang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh Kecamatan Agrabinta ?

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. mengetahui karakteristik budidaya ternak sapi potong di Kecamatan Agrabinta; 2. menganalisa bagaimana potensi teknis usaha ternak sapi potong di Kecamatan

Agrabinta;

3. menganalisa tingkat pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Agrabinta; 4. merumuskan strategi pengembangan ternak sapi potong yang sesuai dengan

potensi yang dimiliki oleh Kecamatan Agrabinta.

Kegunaan Penelitian Penelitaian ini diharapkan dapat berguna bagi:

1. pengembangan ilmu ternak sapi potong, terutama dalam bidang penyusunan startegi pengembangan ternak sapi potong; dan

(17)

KERANGKA PEMIKIRAN

Pengembangan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Agrabinta, salah satunya dapat dilihat dari budidaya yang dilakukan oleh peternak. Budidaya ternak sapi potong dapat didukung oleh aspek manajemen teknis dan aspek ekonomi. Budidaya yang terjadi yang dilakukan oleh peternak pada umumnya masih bersifat tradisional, dimana usaha ternak sapi potong masih dianggap sebagai usaha sambilan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian pengembangan peternakan, khususnya ternak sapi potong sebagai salah satu sumber protein yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Pengembangan peternakan sapi potong di Kecamatan Agrabinta dapat dilihat dari aspek teknis dan aspek ekonomi. Aspek teknis ini dianalisa secara deskriptif dan aspek ekonomi dianalisa mengenai tingkat pendapatan peternak. Setelah itu dianalisa hubungan antara tingkat pendapatan dan aspek teknis, dimaksudkan untuk bisa menentukan hubungan yang dapat diidentifikasi.

Strategi peternakan sapi potong di Kecamatan Agrabinta dianalisa secara

(18)

Gambar 1. Kerangka pemikiran untuk strategi pengembangan peternakan sapi potong Aspek Teknis

Budidaya Ternak Usaha Ternak Sapi Potong

Aspek Ekonomi

Kajian Fomulasi Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Potong Analisa

SWOT

Analisa Faktor Internal Analisa Faktor Eksternal

(19)

TINJAUAN PUSTAKA Usaha Ternak Sapi Potong

Bangsa sapi yang tersebar di seluruh dunia berasal dari bangsa sapi primitif di Asia Tengah, yang kemudian mengalami domestikasi. Sapi ini pada dasarnya digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu: Bos indicus (zebu: sapi berpunuk), Bos taurus dan Bos sondaicu /Bos bibos (Sugeng, 2000).

Menurut Talib dan Siregar (1991) bangsa sapi potong yang paling tinggi populasinya diantara bangsa-bangsa sapi lain di Indonesia yaitu bangsa sapi Ongole khususnya Peranakan Ongole.

Menurut Rahardi (2003) secara umum tipologi usaha peternakan yang dapat dipilih jika ingin terjun dalam usaha tersebut antara lain: 1) sebagai usaha sambilan dimana dikelola secara sambilan, tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha sambilan ini dibawah 30% dari total pendapatan keluarga; 2) Usaha peternakan sebagai cabang usaha, tingkat pendapatan yang biasa diperoleh dari usaha ternak sebagai cabang usaha sekitar 30–70%; 3) Usaha peternakan sebagai usaha pokok, tingkat pendapatan yang biasa diperoleh dari usaha ternak sebagai usaha pokok berkisar 70–100%; dan 4) Usaha peternakan sebagai usaha industri, usaha peternakan dikelola secara industri, tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha ini mencapai 100%. Pemeliharaan ternak sapi oleh peternak dapat dikategorikan dalam tiga cara, yaitu:

1. pemeliharaan intensif, dalam cara ini ternak dipelihara dalam kandang dan biasanya disebut kereman;

2. pemeliharaan semi intensif, dalam cara ini ternak dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari; dan

(20)

Budidaya Ternak Sapi Potong Perkandangan

Kandang berfungsi sebagai tempat berteduh atau berlindung dari hujan serta sebagai tempat istirahat yang nyaman. Kandang untuk sapi potong biasa dibuat dari bahan–bahan sederhana dan murah, tetapi harus dibuat dengan konstruksi yang cukup kuat (Murtidjo, 1990).

Kandang yang dibangun tidak hanya kuat dan nyaman tetapi harus mendukung budidaya ternak sapi potong. Abidin (2002) berpendapat bahwa pembuatan kandang harus memenuhi syarat–syarat sebagai berikut:

1. dibuat dari bahan berkualitas;

2. luas kandang harus dibuat sesuai dengan jumlah sapi;

3. konstruksi kandang harus dibuat dengan memperhatikan kemudahan dalam melakukan pembersihan, memandikan dan tidak licin;

4. ventilasi udara harus memungkinkan sirkulasi udara tidak terhambat;

5. kandang dibangun dengan memperhatikan arah angin yang dominan, diupayakan agar bagian muka tidak mendapat kontak langsung dengan angin yang bertiup; 6. sedapat mungkin dilalui anak sungai atau dekat sumber air; dan

7. atap kandang sedapat mungkin dibuat dari bahan–bahan yang ringan tetapi daya tahannya kuat dan mampu menjaga kehangatan didalam kandang.

Kandang sapi dapat berupa kandang barak atau kandang individual. Luas kandang barak diperhitungkan tidak boleh kurang dari 2,0 m2/ekor. Ukuran kandang individual dapat lebih kecil dari kandang barak, yaitu sekitar 1,7 m2/ekor, masing– masing untuk bobot badan sapi sekitar 150 kg. Saluran udara sebaiknya diperhitungkan 5,0–10,0% dari luas lantai atau 0,4–0,6 m3/ekor (Santosa, 2003).

Menurut Sarwono (2001), pemilihan lokasi kandang yang sesuai diantaranya dengan mempertimbangkan letak yang strategis, kondisi tanah dan kesesuaian iklim untuk ternak sapi.

(21)

sebagai pupuk. Lokasi kandang sebaiknya cukup jauh dari tempat pemukiman agar bau dan limbah peternakan tidak mengganggu penghuni pemukiman. Jarak kandang dari tempat pemukiman minimum 50 m atau dengan membangun tembok atau pagar tanaman setinggi 3 m untuk meredam angin. Lokasi peternakan juga harus memiliki sumber air bersih yang akan digunakan sebagai sumber air minum, pembuatan pakan, membantu proses pengampasan dan membersihkan areal kandang (Sarwono, 2001).

Membangun kandang ternak sapi sebaiknya dipilih lokasi yang berupa lahan terbuka dan tidak tertutup bangunan atau pepohonan (Sarwono, 2001). Lokasi kandang dipilih dengan kemiringan relatif landai dan tidak berlubang. Hal ini akan menguntungkan karena memiliki akses yang memadai terhadap jalan raya sehingga arus transportasi kebutuhan peternakan terpenuhi, serta memudahkan akses menuju sungai atau saluran pembuangan untuk pembangunan kelebihan air dari kolam pengolahan limbah.

Menurut Sarwono (2001) bahwa masing–masing bangsa sapi hanya cocok digemukan pada kondisi lingkungan tertentu. Bangsa sapi Peranakan Ongole, sapi Brahman, sapi Bali dan sapi Madura dapat berdaptasi dengan sangat baik apabila pada lokasi dengan ketinggian < 25 m diatas permukaan laut serta suhu antara 27o C hingga 34o C, tetapi kurang beradaptasi pada lokasi dengan ketinggiaan > 100 m diatas permukaan laut dengan suhu dibawah 24oC

Menurut Esmay (1986), banyak faktor selain suhu lingkungan yang harus dipertimbangkan dalam membangun kandang. Faktor tersebut seperti masalah teknis, manajemen budidaya sapi dalam menangani material dan operasional. Hal yang termasuk dalam manajeman tersebut adalah:

1. ternak (interaksi/tingkah laku); 2. pakan dan air;

3. limbah; 4. produk;

(22)

Pemberian Pakan

Secara tradisional, sapi potong hanya membutuhkan hijauan makanan ternak sebagai pakan. Berbeda dengan tradisional, usaha penggemukan yang orientasi terhadap keuntungan harus memperhatikan penggunaan pakan konsentrat. Hal ini agar dapat dicapai keuntungan yang diperoleh dalam waktu yang relatif singkat (Abidin, 2000).

Sugeng (2000) menyatakan pakan pokok untuk ternak sapi adalah berupa hijauan makanan ternak dan pakan penguat (konsentrat) sebagai tambahan. Pakan hijauan makanan ternak diberikan dengan jumlah 10% dari berat badan dan pakan konsentrat diberikan minimal 1% dari berat badan.

Menurut Santosa (2003) pengelolaan pakan akan sangat menentukan tingkat keberhasilan pemeliharaan sapi. Karena itu, cara–cara pengelolaannya harus dipahami. Ketersedian hijauan makanan ternak dapat diperoleh dari padang penggembalaan. Pemberian pakannya dapat dilakukan dengan pemotongan rumput tersebut, kemudian diberikan kepada ternak sapi di dalam kandang atau disebut dengan istilah cut and carry. Rumput dapat juga langsung dikonsumsi oleh sapi di areal padang penggembalaan berdasarkan pada daya tampung (stocking rate) padang penggembalaan tersebut untuk mencukupi kebutuhan penggembalaan setiap UT (unit ternak) pertahun.

Acuan terbaik adalah definisi dari Society for Range Management (1974) dalam Santosa (2003) bahwa satu unit ternak adalah setara dengan seekor sapi induk dewasa seberat 455 kg yang kebutuhan konsumsinya adalah 9,1 kg hijauan dalam bentuk bahan kering per hari. Dengan demikian, seekor sapi jantan yang bobot badannya 700 kg atau seekor sapi muda yang bobot badannya 225 kg, perhitungan kebutuhan konsumsinya per hari adalah sebagai berikut:

1. kebutuhan konsumsi seekor sapi jantan adalah 14 kg hijauan dalam bentuk bahan kering per hari (700/455 x 9,1 kg = 14 kg); dan

2. kebutuhan konsumsi seekor sapi muda adalah 4,5 Kg hijauan dalam bentuk bahan kering per hari (225/455 x 9,1 kg = 4,5 kg).

(23)

kira 500 kg makan 20–24 kg rumput gajah segar tiap hari, atau jika hijauan kering diperlukan 4–5 kg tiap hari. Banyaknya makanan tiap ekor harus diperhatikan sehingga keperluannya tiap hari dapat ditambah atau dikurangi.

Pada dasarnya, sumber pakan sapi dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat. Hal yang terpenting adalah pakan dapat memenuhi protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Sarwono, 2001).

Menurut Santosa (2003) bahwa ada beberapa cara yang dapat dilaksanakan untuk menata padang penggembalaan berdasarkan lamanya lahan dipergunakan sebagai sumber pakan ternak. Secara garis besar, penataan tersebut dapat dikelompokan menjadi dua: terus–menerus dipergunakan sebagai penghasil pakan ternak dan dipergunakan secara bergiliran dengan tanaman lain. Beberapa cara tata laksana padang rumput tersebut adalah sebagai berikut:

1. Padang rumput permanen

Padang rumput permanen adalah padang rumput yang terus-menerus dipergunakan sebagai sumber pakan ternak dalam jangka waktu yang cukup lama. Cara ini paling tepat apabila digunakan pada daerah yang bertopografi miring karena dapat mencegah terjadinya erosi tanah.

2. Padang rumput jangka pendek

Padang rumput jangka pendek hanya dipergunakan dalam jangka waktu dua atau lima tahun saja. Setelah masa pemakaian sebagai padang penggembalaan, lahan ini akan diolah dan digunakan untuk tanaman lain.

3. Padang rumput rotasi jangka panjang

Sistem padang rumput ini penggunaannya mencapai 6–10 tahun. Tata laksana penggunaannya perlu kombinasi dari kedua sistem diatas.

4. Padang rumput sementara

Padang rumput ini hanya dipergunakan sebagai sumber tanaman pakan untuk beberapa bulan saja atau paling lama satu tahun. Tujuan dari penggunaan sistem ini adalah sebagai sumber pakan ternak pada saat kritis, menjaga kesuburan tanah dalam sistem pergiliran tanaman, dan memperbaiki struktur tanah.

(24)

diusahakan agar kandungan zat–zat makanan di dalam ransum sesuai dengan zat–zat makanan yang dibutuhkan ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, untuk pertumbuhan dan untuk berproduksi.

Menurut Santosa (2003) bahwa dalam memilih bahan pakan, beberapa pengetahuan penting berikut ini harus diketahui sebelumnya:

1. bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan kesulitan mencarinya;

2. bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dan jumlah yang mencukupi keperluan;

3. bahan pakan harus mempunyai harga layak dan sedapat mungkin mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar;

4. bahan pakan harus diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan yang demikian, usahakan agar bahan pakan tersebut hanya satu macam saja;

5. bahan pakan harus dapat diganti oleh bahan pakan lain yang kandungan zat–zat makanannya hampir setara; dan

6. bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak menampakan perbedaan warna, bau, atau rasa dari keadaan normalnya.

Penanganan Kesehatan

Menurut Abidin (2000), pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan berbagai upaya salah satunya adalah dengan penggunaan kandang karantina yang bertujuan agar sapi dapat menyesusaikan dengan lingkungan yang baru, kebersihan kandang dan lingkungannya, serta lakukan vaksinasi berkala.

(25)

Menurut Smith (1988) menganjurkan tiga prinsip untuk pengendalian yang efektif yaitu:

1. mengurangi tingkat tekanan kepada pedet yang baru lahir terhadap penyebab infeksi. Tekanan dikurangi dengan menyediakan fasilitas yang baik dan bersih di tempat pedet dilahirkan. Setiap pedet terinfeksi harus segera dipisahkan dari pedet lain. Tempat pakan harus dibersihkan benar–benar dan dikeringkan setiap hari, harus dicegah hewan terlalu berdesak–desakan;

2. memberi ketahanan maksimum non spesifik dengan kolostrum cukup dan cara beternak sebaik–baiknya. Pedet harus diberi kolostrum secepat mungkin sesudah lahir dan harus dalam 24 jam pertama. Idealnya pedet harus memperoleh susu paling sedikit 50 ml/kg berat badan 2 jam pertama sesudah lahir, jika pedet lambat menyusui harus diberi kolostrum dengan pipa lambung; dan

3. meningkatkan ketahanan spesifik pada anak yang baru lahir dengan vaksinasi induk atau anak. Vaksinasi dilakukan dengan menggunakan bakterin yang dibunuh dengan formalin (formalin–killed bacterin) dari Escherichia coli galur

enterotoksigenik. Induk bunting divaksinasi 2–4 minggu sebelum melahirkan untuk merangsang produksi antibodi. Antibodi diteruskan kepada anak melalui kolostrum.

Perkawinan

Pengembangbiakan sapi dapat dilakukan beberapa metode diantaranya, yaitu: 1. metode kawin alamiah, dimana sapi jantan pemacak dikawinkan dengan sapi

betina yang birahi; dan

2. metode inseminasi buatan (IB), metode ini dikenal dengan sebutan kawin suntik. Metode ini menggunakan alat khusus (Artificial Insemination Gun) yang digunakan oleh seorang inseminator (Murtidjo, 1990).

Keberhasilan perkawinan ternak sapi dapat ditentukan dengan penilaian dalam melihat tanda–tanda birahi. Tanda yang lazim tampak adalah:

1. sapi betina tidak tenang (gelisah); 2. nafsu makan kurang;

3. sering melenguh dan mendekati jantan; dan

(26)

Selain tanda–tanda tersebut, tanda khusus dari vulva adalah keadaannya yang tampak memerah, membengkak dan keluar lendir bening (Santoso, 2003).

Birahi pada sapi mudah diketahui jika orang mengenal tingkah–laku normal hewan ini. Sapi sedang birahi sedikit tidak tenang, lebih sering urin dibanding biasanya dan akan menaiki sapi lain. Ovulasi terjadi kira 10–11 jam sesudah mulai birahi sehinga jika sapi diketahui sedang birahi pada pagi hari, inseminasi dilakukan pada sore hari. Jika birahi terlihat pada sore hari, diinseminasi pagi hari berikutnya.

Berbagai faktor mempengaruhi kemampuan reproduksi dalam suatu kalompok ternak sapi antara lain digolongkan sebagai berikut:

1. lingkungan dan kondisi manajemen. (contoh: iklim, musim, sistem perkandangan dan jumlah dalam kelompok);

2. kondisi genetik;

3. penyakit menular dan tidak menular; dan

4. manajemen seperti pakan, pencegahan penyakit, sanitasi lingkungan, pengamatan birahi, penyapihan anak dan program pencatatan (Dinas Perikanan dan Peternakan, Kabupaten Cianjur, 2004).

Pengetahuan dalam pengamatan birahi sangat penting, karena pendugaan pelaksanaan akan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya konsepsi (kebuntingan). Ilustrasi dibawah dapat menjelaskan tingkat keberhasilan konsepsi berkaitan dengan Inseminasi buatan:

a. inseminasi pada permulaan birahi memberikan 44% kemungkinan kebuntingan; b. inseminasi pada pertengahan birahi memberikan 82% kemungkinan kebuntingan; c. inseminasi pada akhir birahi memberikan 75% kemungkinan kebuntingan;

d. inseminasi pada 6 jam sesudah birahi memberikan 62,5% kemungkinan kebuntingan;

e. inseminasi pada 12 jam sesudah birahi memberikan 32,5% kemungkinan kebuntingan;

f. inseminasi pada 18 jam sesudah birahi memberikan 28% kemungkinan kebuntingan;

(27)

h. inseminasi pada 36 jam sesudah birahi memberikan 8% kemungkinan kebuntingan; dan

i. inseminasi pada 48 jam sesudah birahi memberikan 0% kemungkinan kebuntingan.

Skema dibawah menjelaskan waktu birahi dalam hitungan jam dan kaitannya dengan konsepsi (Kebuntingan)

A B C D E

0 6 9 13 24 28 39 Gambar 2. Skema pelaksanaan inseminasi buatan

Keterangan:

Waktu A. merupakan waktu yang terlalu cepat untuk melakukan Inseminasi; Waktu B. merupakan waktu yang baik untuk melakukan Inseminasi;

Waktu C. merupakan waktu yang sangat baik untuk melakukan Inseminasi; Waktu D. merupakan waktu yang baik untuk melakukan Inseminasi; dan

Waktu E. merupakan waktu yang terlambat untuk melakukan Inseminasi (Dinas Perikanan dan Peternakan, Kabupaten Cianjur, 2004)

Modal

Modal adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru, dalam hal ini hasil pertanian. Modal petani yang berupa barang diluar tanah adalah ternak beserta kandang, cangkul, bajak dan alat-alat pertanian lainnya, pupuk, bibit, hasil panen yang belum dijual, tanaman yang masih disawah dan lain-lain (Mubyarto, 1989).

(28)

1. peternak atau pengusaha harus mengetahui seluk–beluk usaha peternakan yang akan dijalankan baik secara teknis maupun manajemen (pengelolaan). Hal ini agar peternak mengetahui pengalokasian biaya yang akan digunakan;

2. besarnya biaya yang akan digunakan tergantung skala usaha. Semakin besar skala usaha semakin besar modal atau biaya yang dibutuhkan;

3. biaya yang terjadi dipengaruhi oleh jenis usaha. Biaya yang dikeluarkan pada usaha subsistem produksi (budidaya ternak) berbeda dengan biaya yang dikeluarkan pada usaha di subsistem pasca produksi;

4. besarnya biaya atau modal tergantung lokasi usaha. Lokasi usaha di daerah sentra produksi ternak membutuhkan biaya relatif lebih sedikit dibandingkan di daerah bukan sentra produksi ternak; dan

5. perencanaan modal sangat erat kaitannya dengan sumber modal usaha. Dengan perencanaan, akan diketahui sumber modal yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan usaha peternakan.

Pemasaran

Menurut Mubyarto (1994) Pemasaran atau distribusi diartikan sama dengan tataniaga yaitu suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Ditegaskan oleh Soekartawi (1993) bahwa pemasaran atau marketing pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen.

(29)

Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)

Potensi wilayah dapat diketahui dengan menggunakan metode pengembangan pemetaan potensi wilayah. Pendekatan perhitungan potensi wilayah dan pengembangan ternak ruminansia dapat dihitung dengan cara perhitungan Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (Ayuni, 2005).

Pendapatan Usaha Ternak

Pendapatan usahatani merupakan selisih dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh (Hernanto,1989). Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani, sama halnya dengan usaha ternak. Karena merupakan mengukur ukuran keuntungan usaha ternak yang dapat dipakai untuk membandingkan penampilan beberapa usaha ternak (Soekartawi, 1986).

Maharani (2005) mengungkapkan bahwa Kondisi sosial ekonomi petani-peternak salah satunya dicirikan oleh tingkat pendapatan yang diperoleh dalam periode tertentu. Rata-rata petani-ternak memiliki pendapatan yang rendah dari hasil usaha taninya, hal ini disebabkan harga yag berlaku tidak menguntungkan para peternak.

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur. Penelitian ini dilakukan selama empat bulan dimulai pada bulan April hingga Juli 2005.

Populasi dan Sampel

(30)

Tanjungsari 11 responden peternak peternak, dan desa Wanasari 10 responden peternak.

Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif koreasional dengan menggunakan metode survei pada peternakan sapi potong rakyat di Kecamatan Agrabinta.

Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan tentang gambaran umum dari suatu kegiatan usaha peternakan sapi potong. Hal ini termasuk budidaya ternak, pemasaran, pemeliharaan, permodalan, dan lain–lain.

Data dan Instrumentasi

Data penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung dilokasi penelitian dan informasi dari responden peternak dengan menggunakan kuisioner. Data sekunder merupakan data pelengkap yang diperoleh dari instansi-instansi yang berupa data pelaporan dan literatur-literatur.

Data primer yang dikumpulkan meliputi usaha budidaya dari peternakan sapi potong. Data sekunder diperoleh dari literatur yang menunjang penulisan serta informasi dari instansi yang terkait.

Analisa Data

Dalam penelitian ini digunakan beberapa alat analisa, yaitu: 1. Analisa Statistik Deskriptif

Analisa ini bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai:

a. karakteristik peternak yang meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pengalaman beternak, tanggungan keluarga serta persepsi peternak tentang pengembangan usaha ternak sapi potong; dan

(31)

2. Analisa Pendapatan

Untuk menghitung pendapatan peternak sapi potong, dihitung denga rumus:

Keterangan:

П = Total Pendapatan TR = Total Revenue

TC = Total Cost, baik berupa tunai dan non tunai

Selanjutnya adalah tingkat pendapatan usaha ternak sapi potong, dengan rumus :

Dengan kriteria : R / C > 1, berarti usaha tersebut menguntungkan R / C < 1, berarti usaha tersebut rugi

R / C = 1, berarti usaha tersebut impas

3. Analisa korelasi Rank Spearman melalui tahapan prosedur sebagai berikut:

a. Data mengenai faktor peubah bebas meliputi kandang, kesehatan, perkawinan, tenaga kerja, pakan, jumlah sapi modal yang telah diolah menjadi data yang dikatagorikan ke dalam data ordinal menggunakan bantuan program komputer Windows XL.

b. Data mengenai faktor peubah terikat yaitu tingkat pendapatan yang telah diolah menjadi data ordinal menggunakan bantuan program komputer

Windows XL.

c. Data mengenai hubungan peubah bebas dan peubah terikat dianalisa menggunakan uji korelasi (Rank Spearman) menggunakan bantuan program komputer SPSS Ver. 11,5 for Windows

Perhitungan korelasi Rank Spearman mengunakan rumus dibawah ini :

6 ∑ di2 rs =

n (n2 – 1)

=TRTC

Cost Total

venue Total

C

(32)

4. Kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia (KPPTR)

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan potensi wilayah dan pengembangan ternak ruminansia didasarkan pada proporsi-proporsi sebagai berikut:

1. potensi wilayah dan pengembangan peternakan didefinisikan sebagai kapasitas wilayah yang bersangkutan untuk menampung tambahan populasi ternak ruminansia;

2. potensi penambahan populasi ternak ruminansia memiliki pengertian yang dinamis, berubah dari waktu ke waktu, dapat bertambah dan dapat berkurang; 3. potensi kapasitas Penambahan populasi ternak suatu wilayah dianggap

sebagai suatu sistem tertutup, yaitu potensi yang ada didaerah tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan ternak daerahnya;

4. ternak ruminansia adalah sapi, kerbau, kambing dan domba yang telah dikonversikan ke Satuan Ternak (ST);

5. peubah penentu dari potensi sumberdaya lahan adalah lahan garapan (LG), padang rumput (PR) dan rawa (R) yang dianggap sebagai proksi pemeliharaan ternak ruminansia. Populasi riil ternak adalah populasi ternak yang ada pada saat penelitian dilakukan; dan

6. skala prioritas wilayah hanya didasarkan atas nilai kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia (KPPTR) Efektif dengan memperlakukan peubah lain sebagai peubah kebijakan (Gantini, 2003).

Perhitungan kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia (KPPTR) didasarkan atas dua sumberdaya, yaitu lahan dan tenaga kerja. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

1) potensi maksimum berdasarkan sumberdaya lahan = a LG+ b PR+ c R keterangan :

PMSL = potensi maksimum berdasarkan sumberdaya lahan.

a = koefisien kapasitas tampung lahan garapan, yaitu 1,6 ST/ha LG = luas lahan garapan (ha)

b = koefisien kapasitas tampung padang rumput, yaitu 0,5 ST/ha PR = luas padang rumput alami (ha)

(33)

R = luas rawa (ha)

2) potensi maksimum berdasarkan sumberdaya tenaga kerja = d KK

PMKK = potensi maksimum berdasarkan sumberdaya tenaga kerja d = koefisien rataan jumlah ternak ruminansia yang dapat dipelihara oleh setiap kepala keluarga (KK), yaitu 3 ST/KK

KK = jumlah kepala rumah tangga atau 1/4 jumlah populasi penduduk

3) KPPTR (SL) = PMSL – Populasi riil 4) KPPTR (KK) = PMKK – Populasi riil

Kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia efektif ditentukan dengan malihat kendala yang paling besar.

a) KPPTR (SL) efektif jika dan hanya jika KPPTR (SL) < KPPTR (KK) b) KPPTR (KK) efektif jika dan hanya jika KPPTR (KK) < KPPTR (SL) 5. Analisa SWOT

Suatu analisa yang digunakan untuk mengetahui pengaruh internal dan aksternal usaha ternak sapi potong atas kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta perumusan strategi pengembangan berdasarkan potensi yang dimiliki oleh Kecamatan Agrabinta.

Menurut Rangkuti (2001), kinerja suatu perusahaan dapat ditentukan oleh kombinasi faktor lingkungan Internal strength dan Weakness serta lingkungan eksternal Opportunities dan Threats yang dihadapi dunia bisnis, kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisa SWOT.

Matrik Faktor Strategi Internal. Merupakan suatu strategi dimana mengidentifikasi faktor internal pada Kecamatan Agrabinta, suatu tabel IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) disusun untuk merumuskan faktor-faktor internal tersebut dalam kerangka Strength and Waekness. Tahapan dari matrik faktor strategi internal adalah:

a. tentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan dalam kolom 1; b. beri bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala mulai dari 1,0 (paling

(34)

c. hitung rating (dalam kolom 3 untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Peubah yang bersifat positif (semua peubah yang masuk kategori kekuatan) diberi nilai mulai dari +1 sampai dengan +4 (sangat baik) dengan membandingkannya dengan rata-rata industri atau dengan pesaing utama. Sedangkan peubah yang negatif , kebalikannya;

d. kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor);

e. gunakan kolom 5 untuk memberikan komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu dipilih, dan bagaimana skor pembobotannya; dan

f. jumlahkan skor pembobot (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukan bagaimana perusahaan tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor strategis internalnya.

Matrik Faktor Strategi Eksternal. Merupakan suatu strategi dimana mengidentifikasi faktor internal pada Kecamatan Agrabinta, suatu tabel EFAS (Eksternal Strategic Factors Analysis Summary) disusun untuk merumuskan faktor-faktor internal tersebut dalam kerangka Opportunities and Threats. Tahapan dari matrik faktor strategi internal adalah:

a. susunlah dalam kolom 1 (5 sampai dengan 10 peluang dan ancaman);

b. beri bobot masing-masing faktor dalam kolom , mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis;

(35)

kebalikannya. Misalnya, jika nilai ancaman sangat besar, ratingnya adalah 1. Sebaliknya, jika nilai ancamannya sedikit maka ratingnya 4;

d. kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dengan kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor);

e. gunakan kolom 5 untuk memberikan komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung; dan

f. jumlahkan skor pembobotnya (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukan bagaiman perusahaan tertentu bereaksi terhadp faktor-faktor strategis eksternalnya. Total skor ini dapat digunakan untuk membandingkan perusahaan ini dengan perusahaan lainnya dalam kelompok industri yang sama.

Susunan strategi tersebut dimasukan ke dalam gambar diagram dibawah ini:

3. Mendukung 1. Mendukung strategi strategi turn-around agresif

4. Mendukung 2. Mendukung

strategi strategi defensif diversifikasi

Gambar 3. Diagram Analisa SWOT

Kuadran 1: ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Perusahaan tersebut memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan

Kekuatan Internal

Berbagai Ancaman Kelemahan

Internal

(36)

dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan petumbuhan yang agresif (Growth oriented strategy);

Kuadran 2: Meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara diversifikasi baik produk atau pasar;

Kuadran 3: Perusahaan menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi dilain pihak, menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Kondisi bisnis pada kuadran ini mirip dengan Qeustion Mark pada BCG matrik. Fokus strategi perusahaan ini adalah meminimalkan masalah– masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik; dan

Kuadran 4: Ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. Matrik TOWS atau SWOT. Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis adalah Matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat diseduaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matrik ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis.

ƒ Tentukan 5-10 faktor peluang eksternal

ƒ Tentukan 5-10 faktor ancaman eksternal

(37)

a. Strategi SO

Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pemikiran perusahaan, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

b. Strategi ST

Stategi ini adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman.

c. Strategi WO

Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada

d. Strategi WT

Strategi ini berdasarkan pada kegiatan yang bersifat defernsif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

Definisi Istilah

1. Peternak adalah orang yang mempunyai usaha dibidang pembudidayaan dan atau pembibitan ternak. Apabila anggota rumah tangga hanya membantu, tidak diketegorikan sebagai peternak.

2. Usaha peternakan rakyat merupakan kegiatan yang menghasilkan produk peternakan (melakukan pemeliharaan ternak sapi potong) dengan tujuan sebagian atau seluruhnya untuk dijual sehingga memperoleh pendapatan atau keuntungan. 3. Budidaya ternak sapi potong adalah kegiatan pemeliharaan ternak sapi potong

dengan tujuan utama pembesaran atau penggemukan ternak sapi potong.

4. Penerimaan adalah hasil yang dinilai dengan uang yang diterima atas hasil penjualan dari hasil.

5. Biaya (pengeluaran) adalah nilai dari semua korbanan ekonomis yang diperlukan yang tidak dapat dihindarkan, dapat diperkirakan dan dapat diukur untuk menghasilkan sesuatu produk.

6. Pendapatan adalah laba atau keuntungan dari usaha ternak sapi potong merupakan hasil pengurangan penerimaan total dengan biaya total

(38)

8. Satuan Ternak adalah satuan yang digunakan untuk menentukan populasi ternak sapi potong yang dipeliahara 1 ST setara dengan 1 ekor sapi dewasa dan 0.5 ST setara dengan 1 ekor sapi dara, sapi jantan muda serta 0.25 setara dengan 1 ekor pedet. Perhitungan jumlah ternak ke dalam Satuan Ternak (ST) secara keseluruhan ternak dianggap dewasa dengan ketentuan, Kerbau: 1.15 ST; Sapi: 1.0 ST; Kuda: 0.8 ST; Kambing: 0.16 ST; Domba: 0.14 ST; Ayam dan Itik: 0.02 ST.

9. KPPTR adalah Suatu metode yang digunakan untuk mengetahui potensi suatu wilayah melalui pengembangan pemetaan potensi wilayah. Pendekatan perhitungan potensi wilayah dan pengembangan ternak ruminansia dapat dihitung dengan cara perhitungan kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia (KPPTR).

(39)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Cianjur

Kabupaten Cianjur memiliki luas 350.148 Ha dengan luas tanah sawah 58.585 Ha (16,7% dari luas Kabupaten Cianjur) dan luas lahan darat 291.563 Ha (83,3% dari luas Kabupaten Cianjur) memiliki potensi yang cukup tinggi untuk pengembangan usaha peternakan sapi potong. Produksi daging di Kabupaten Cianjur yang terus meningkat antara tahun 2001–2003. Dengan perincian tahun 2001 produksi daging dengan total sebesar 22.650.705 kg, tahun 2002 produksi daging dengan total sebesar 26.316.457 kg dan tahun 2003 produksi daging dengan total sebesar 34.291.472 kg. Hal ini menunjukan sebuah peluang dan sebuah tantangan bagi pemerintah daerah Kabupaten Cianjur.

Khusus untuk ternak sapi potong sebagian besar didatangkan dari Jawa Tengah, kontribusi pengadaan dari Kabupaten Cianjur berkisar 40%. Hal ini terjadi karena sebagian besar pemasarannya tujukan ke luar wilayah Kabupaten Cianjur

Keadaan Umum Kecamatan Agrabinta

Kecamatn Agrabinta merupakan bagian wilayah dari Kabupaten Cianjur yang berada di sebelah Selatan, yang berjarak + 142 km dari Kota Cianjur dan berbatasan langsung dengan:

1. Sebelah Utara : Kecamatan Leles 2. Sebelah Selatan : Samudera Indonesia 3. Sebelah Barat : Kabupaten Sukabumi

4. Sebelah Timur : Kecamatan Sindang Barang dan Kecamatan Cibinong

(40)

Tabel 1. Penggunaan Lahan di Kecamatan Agrabinta

Uraian Luas (Ha) Persentase (%)

1. Tanah Sawah

Irigasi Pedesaan 60 Ha 0,03

Tadah Hujan 315 Ha 0,18

2. Tanah kering 159.644 Ha 90,73

Perkarangan 957 Ha 0,54

Perkebunan rakyat 2.659 Ha 1,51

Ladang/tegalan 4.381 Ha 2,48

Perkebunan besar 2.180 Ha 1,24

Kolam /tambak 45,4 Ha 0,02

Hutan 1.124 Ha 0,66

3. Lain-lain 4.598 Ha 2,61

JUMLAH 175.963,4 Ha 100

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan, Kabupaten Cianjur (2005)

Bulan pergantian musim yang terjadi di Kecamatan Agrabunta mengalami beberapa tingkatan, antara lain: bulan basah (4-5 bulan), bulan lembab (2-3 bulan) dan bulan kering (4-6 bulan).Jumlah hari dengan curah hujan terbanyak 128 hari dengan temperatur suhu udara yang terjadi di Kecamatan Agrabinta berkisar antara 20-340 C serta kelembaban udara 60-70%.

Kecamatan Agrabinta secara administratif terbagi menjadi 10 desa dengan jumlah penduduk 40.020 orang yang terrdiri dari 11.685 kepala keluarga. Tingkat kepadatan penduduk untuk tiap km2 adalah sekitar 63 orang/km2 dengan sebaran tidak merata. Umumnya masyarakat kecamatan Agrabinta bermata pencaharian petani 50% dari penduduk Kecamatan Agrabinta dan sisanya terbagi menjadi berbagai mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Keadaan Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian

No Mata pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Petani pemilik 3534 14

2 Pemilik/penggarap 5769 23

3 Buruh tani 3307 13

4 Ternak dan Ikan 4977 20

5 Nelayan 150 1

6 Pengusaha/pedagang 420 2

7 PNS / TNI 325 1

8 Lain-lain 6500 26

(41)

Kecamatan Agrabinta merupakan daerah yang potensial untuk pengembangan peternakan. Masyarakat Kecamatan Agrabinta menjadikan ternaknya sebagai penunjang usaha taninya serta dijadikan sebagai tabungan disaat masa paceklik sebagai modal cadangan modal. Inseminasi buatan masuk ke Kecamatan Agrabinta pada tahun 2002, untuk pengembangan peternakan sapi potong dimana teknologi tersebut mulai dibutuhkan untuk menjaga populasi dan kebutuhan akan daging bagi masyarakat Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Keadaan Populasi Ternak di Kecamatan Agrabinta.

No Jenis Ternak Jantan (ekor) Betina (ekor) Jumlah (ekor)

1 Sapi Potong 3.334 8.404 11.738

2 Kerbau 152 694 846

3 Domba 6.037 13.622 19.659

4 Kambing 2.300 4.009 6.309

5 Ayam Buras 16.700 31.500 48.200

6 Itik 656 1.659 2.315

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan, Kabupaten Cianjur (2005)

(42)

Secara ekonomi letak Kecamatan Agrabinta meupakan daerah yang strategis, hal ini disebabkan wilayah ini merupakan daerah perlintasan utama bagi masyarakat Cianjur Selatan khususnya.

Keberadaaan fasilitas perekonomian merupakan salah satu faktor yang mendukung pengembangan pembangunan di daerah Kecamatan Agrabinta. Fasilitas perekonomian sering dijadikan acuan kesejahteraan masyarakat suatu daerah.

Tabel 4. Sarana dan Prasarana Petenakan di Kecamatan Agrabinta

No. Jenis Sarana dan Prasarana Jumlah

1 Sumberdaya manusia

a. Petugas inseminasi buatan 5 Orang

b. Petugas Asisten Teknis Reproduksi 1 Orang

c. Petugas Pemeriksa Kebuntingan 2 Orang

d. Rekording 1 Orang

e. Kader 9 Orang

2 Prasarana

a. Kendaraan roda dua 1 Unit

b. Konteiner besar 3 Unit

c. Konteiner sedang 1 Unit

d. Konteiner lapang 6 Unit

e. Kit Inseminasi buatan 6 Unit

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peternak

Usaha peternakan sapi potong tidak hanya didukung oleh aspek teknis ataupun aspek ekonomi. Aspek karakteristik peternak dapat mendukung budiaya atau usaha peternakan sapi potong. Salah satu contoh karakteristik yang mendukung seperti tingkat pendidikan, karena tingkat pendidikan dapat menentukan pengetahuan peternak akan pengetahuan budidaya peternakan sapi potong. Secara umum beberapa karakteristik peternak dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Peternak Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta

No Uraian Desa-desa Kec

DSL DBJ DTS DWS DMS DSM

....………Persentase (%)………..

1 umur (tahun)

18–35 tahun 10 60 9,1 20 20 0 22,65

36–55 tahun 90 20 63,63 70 70 0 60,37

56–62 tahun 0 20 27,27 10 10 100 16,98

2 Pendidikan formal

Tidak sekolah/tidak tamat

sekolah 0 0 0 10 0 0 1,9

SD/Sederajat 90 80 100 90 90 100 90,5

SLTP/Sederajat 0 10 0 0 10 0 3,8

SMU/Sederajat 0 10 0 0 0 0 1,9

D3/S0 10 0 0 0 0 0 1,9

3 Pendidikan non formal

Pernah 30 50 63, 6 40 90 0 47,2

Tidak pernah 70 50 34, 6 60 10 100 52,8

4 Mata pencaharian utama

Petani 70 100 81, 8 90 90 100 86,7

Buruh tani/buruh PTPN

VIII 20 0 0 10 10 0 7,6

PNS/pegawai desa 10 0 18, 2 0 0 0 5,7

Jumlah responden peternak (n) 10 10 11 10 10 2 53

Keterangan : DSL (desa Sinarlaut), DBJ (desa Bojongkaso), DTS (desa Tanjungsari),

(44)

Tabel 5. Karakteristik Peternak Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta (Lanjutan)

No Uraian Desa-desa Kec DSL DBJ DTS DWS DMS DSM

....………Persentase (%)………..

5 Mata pencaharian sambilan

Tidak memiliki pekerjaan

sambilan 60 0 54, 8 20 10 100 32 Wiraswasta/pedagang 10 10 18, 2 30 40 0 20,7 Sektor jasa (ojeg, pnybr

perahu) 10 60 0 10 10 0 16,9

Tani/ternak 10 20 9 10 30 0 15,2 Buruh tani/ternak 10 10 9 0 10 0 7,6

Kader IB 0 0 9 20 0 0 5,7 Nelayan 0 0 0 10 0 0 1,9

6 Jumlah tanggungan keluarga (jiwa)

1–3 jiwa 20 20 36,36 40 20 50 28,30

4–6 jiwa 80 80 36,36 50 70 50 62,26

7–9 jiwa 0 0 27,28 10 10 0 9,44 7 Pengelaman beternak (tahun)

1–11 tahun 60 50 90,9 70 30 100 62,26

12–20 tahun 0 30 9,1 30 50 0 22,64

21–30 tahun 40 20 0 0 20 0 15,1

Jumlah responden peternak (n) 10 10 11 10 10 2 53

Keterangan : DSL (desa Sinarlaut), DBJ (desa Bojongkaso), DTS (desa Tanjungsari),

DWS (desa Wanasari), DMS (desa Mekarsari), DSK (desa Sukamanah), Kec (Kecamatan Agrabinta)

(45)

Sebagian besar mata pencaharian utama adalah 86,7% sebagai petani. Mata pencaharian lainnya yaitu 7,6% sebagai buruh tani/ternak serta buruh PTPN VIII Kebun Agrabinta, 5,7% bermata pencaharian PNS/pegawai desa. Hal ini menunjukan bahwa usaha ternak sapi potong mulai diminati oleh berbagai macam lapisan, karena ternak sapi potong dianggap dapat memberikan penambahan penghasilan, disela waktu kosong banyak petani/ternak menambah penghasilannya dengan melakukan pekerjaan sambilan, hal ini dilakukan untuk menambah pendapatan keluarga. Diantara pekerjaan sambilan, yaitu 20,7% melakukan wiraswasta/pedagang.

Pemilikan Ternak Sapi Potong

Rata-rata skala pemilikan ternak sapi potong dalam setiap desanya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengelompokan Peternak Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta Uraian Desa-desa Kec Keterangan : DSL (desa Sinarlaut), DBJ (desa Bojongkaso), DTS (desa Tanjungsari),

DWS (desa Wanasari), DMS (desa Mekarsari), DSK (desa Sukamanah), Kec (Kecamatan Agrabinta)

(46)

Mekarsari sebagian besar berada skala II dengan 60% dari skala kepemilikan yang ada.

Alasan peternak ketika memulai usaha peternakan sapi potong cukup beragam, sebagian besar peternak atau sebanyak 56,6% memiliki alasan untuk memperoleh keuntungan atau penambahan pendapatan dan diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup keluarga peternak. Telah tejadi pergeseran alasan beternak sapi potong. Umumnya masyarakat peternak sapi potong digunakan untuk menunjang kegiatan usaha pertanian, seperti digunakan dalam membajak sawah. Berdasarkan pengamatan dan wawancara lisan dengan para peternak dan petugas kesehatan hewan, bahwa pergeseran tersebut diakibatkan nilai jual sapi hasil inseminasi buatan lebih tinggi dibandingkan dengan sapi lokal dewasa, sebagai contoh sapi hasil inseminasi buatan yang dijual pada umur 5 bulan dapat berharga senilai + Rp. 1.500.000. Sedangkan sapi lokal untuk memperoleh harga tersebut maka umur jualnya harus diatas 1 Tahun. Alasan untuk menunjang kegiatan usaha pertanian di Kecamatan Agrabinta sebesar 20,8%. Sedangkan sisanya 7,5% peternak beralasan untuk sebagai tabungan yang digunakan pada saat darurat atau pada masa musim paceklik sebagai modal tambahan. Sedangkan 9,5% peternak memiliki alasan berusaha ternak sapi potong sebagai hobi, yang merupakan kebiasaan telah ada pada masa kecil peternak.

Asal kepemilikan dari ternak sapi yang dimiliki di Kecamatan Agrabinta, sebagian besar peternak atau sebanyak 54,7% merupakan ternak milik sendiri yang dibeli baik antar peternak atau tengkulak. Selanjutnya peternak yang memperoleh bantuan sapi potong dari pemerintah melalui Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Cianjur sebanyak 20,8% peternak. Pemilikan ternak sapi potong yang merupakan dari bagi hasil antar peternak/ maro sebanyak 16,9%, kepemilikan ternak sapi potong dari warisan sebanyak 7,6%.

Aspek Manajemen Teknis Kandang

(47)

tradisional yang beranggapan bahwa dalam usaha sapi potong fungsi kandang tidak dianggap terlalu penting. Sehingga ternak yang dimiliki hanya diikat di padang rumput atau di perkebunan. Pola ini dapat dikategorikan budidaya pemeliharaan dengan semi intensif. Hal ini bila tidak dicermati akan pakan dan kesehatan ternak sapi potong, maka mudah terkena berbagai resiko baik dari segi penyakit dan dari segi keamanan, seperti penyakit yang diakibatkan caplak. Sedangkan 49,1% dari peternak membuat kandang yang relatif sederhana. Tetapi secara pemeliharaan ternak sapi potong, masih tergolong dalam kategori pemeliharaan ternak semi-intensif dimana pada waktu siang hari ternak digembalakan dan menjelang malam ternak dikembalikan pada kandang.

Tabel 7. Keberadaan Kandang Ternak Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta

Uraian Desa-desa Kec DSL DBJ DTS DWS DMS DSK

....………Persentase (%)………..

Keberadaan kandang

Membangun kandang 10 0 72,8 80 90 0 49,1

Tidak membangun

kandang 90 100 27,2 20 10 100 50,9 Jumlah responden

peternak (n) 10 10 11 10 10 2 53 Keterangan : DSL (desa Sinarlaut), DBJ (desa Bojongkaso), DTS (desa Tanjungsari),

DWS (desa Wanasari), DMS (desa Mekarsari), DSK (desa Sukamanah), Kec (Kecamatan Agrabinta)

Kandang berfungsi sebagai tempat berteduh atau berlindung dari hujan serta sebagai tempat istirahat yang nyaman. Kandang untuk sapi potong biasa dibuat dari bahan–bahan sederhana dan murah, tetapi harus dibuat dengan konstruksi yang cukup kuat ( Murtidjo, 1990 ).

(48)

tersebut dikarenakan kondisi jalan yang menghubungi desa ke pos kesehatan sangat jauh dan apabila kondisi hujan sulit untuk dilalui. Sehingga informasi atau pengetahuan yang diperoleh peternak terhadap budidaya usaha ternak sapi potong.

Tabel 8. Bahan-bahan Membuat Kandang Ternak Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta

Uraian Desa-desa Kec DSL DBJ DTS DWS DMS DSK

....………Persentase (%)………..

1. Bahan atap

Genteng 0 0 85,7 75 100 0 84

Rumbia 100 0 14,3 25 0 0 16

2. Bahan lantai

Tanah 100 0 100 100 100 0 100

3. Bahan dinding

Kayu 100 0 100 100 100 0 100

Jumlah responden

peternak (n) 10 10 11 10 10 2 53 Keterangan : DSL (desa Sinarlaut), DBJ (desa Bojongkaso), DTS (desa Tanjungsari),

DWS (desa Wanasari), DMS (desa Mekarsari), DSK (desa Sukamanah), Kec (Kecamatan Agrabinta)

Dengan sebagian besar peternak tidak membangun kandang bagi ternaknya, maka jarak rata-rata antara rumah dengan tempat ternak disimpan relatif jauh yaitu sekitar 228,1 m. Jarak yang tersebut dikarenakan sebagian besar peternak mengikat ternaknya di areal perkebunan. Walaupun ternak berada jauh dari rumah peternak, dilihat dari segi keamanan beresiko tingggi tetapi tidak terjadi tindak pencurian ternak.

(49)

dari luas lantai atau 0,4–0,6 m3/ekor.Kandang ternak sapi potong yang ada di Kecamatan Agrabinta terbuat dari bahan-bahan yang sederhana serta tersedia cukup melimpah, Tabel 8 menjelaskan bahan yang digunakan peternak untuk membangun kandangnya

Kandang pada umumnya berada tidak jauh dari rumah peternak, serta dekat dengan daerah pertanian. Hal ini sesuai dengan pendapat Sarwono (2001) bahwa ternak memanfaatkan sisa hasil pertanian, sedangkan pertanian akan memanfaatkan limbah kandang seperti kotoran dan air urin ternak sebagai pupuk.

Pemberian Pakan

Pada Tabel 9. diperlihatkan sebagian besar peternak atau sebanyak 50,9% menggunakan rumput lapang sebagai pakan ternak utama yang diberikan kepada ternak sapi. Rumput merupakan pakan yang ketersediaannya yang cukup melimpah di Kecamatan Agrabinta, dapat ditemukan hampir kawasan wilayah ini baik diareal Perkebunan PTPN VIII, padang rumput, perkebunan rakyat, ladang, dan lain-lainnya. Rumput merupakan pakan yang tidak membebani peternak terhadap biaya pakan atau gratis.

Sebagian peternak atau sebanyak 41,5% ada yang memberikan ragam pakan pada ternak sapi, yaitu dengan menambahkan pola makan dengan konsentrat jenis dedak padi, petani juga menambahkan campuran mineral pada pakan ternaknya. dedak padi diberikan rata-rata satu kali sehari yaitu pada waktu sore hari dengan pemberian dedak padi 1 kg dedak padi/pemberian/ekor, harga dedak padi dianggap cukup mahal berkisar Rp. 700–Rp. 1000 per kg hal ini menyebabkan pemberian dedak padi tidak rutin. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Sugeng (2000) bahwa pakan pokok untuk ternak sapi adalah berupa hijauan makanan ternak dan pakan penguat (konsentrat) sebagai tambahan. Pakan hijauan makanan ternak diberikan dengan jumlah 10% dari berat badan dan pakan konsentrat diberikan minimal 1% dari berat badan.

(50)

tersebut karena para petugas yang gencar merekomendasikan pakan penguat kepada peternak untuk diberikan kepada ternak sapinya.

Tabel 9. Jenis Pakan, Lokasi dan Cara Memperoleh Yang Diberikan Peternak di Kecamatan Agrabinta

Uraian Desa-desa Kec DSL DBJ DTS DWS DMS DSK

....………Persentase (%)………..

1. Jenis pakan

R. Lapang 90 90 45,5 10 10 0 50,9

R. Lapang + R. Unggul 0 0 9 30 0 0 7,6

R Lapang + Konsentrat (Dedak Padi)

10 10 45,5 60 90 100 41,5

2. Cara memperolah pakan

Digembalakan 90 100 54,5 90 10 0 56,6

Diaritkan, digembalakan 10 0 45,5 10 90 100 43,4

3. Lokasi Pakan

PTPN VIII Kebun Agrabinta 10 40 40 10 90 100 54,7

Non PTPN VIII 90 60 60 90 10 0 45,3

Jumlah responden peternak (n) 10 10 11 10 10 2 53

Keterangan : DSL (desa Sinarlaut), DBJ (desa Bojongkaso), DTS (desa Tanjungsari),

DWS (desa Wanasari), DMS (desa Mekarsari), DSK (desa Sukamanah), Kec (Kecamatan Agrabinta)

(51)

Kesehatan

Pengembangan peternakan sapi potong sering terbentur kendala, salah satu kendala adalah pengendalian penyakit. Penyakit yang menyerang ternak sapi potong di Kecamatan Agrabinta cukup beragam, begitupun cara penyembuhannya seperti terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Kesehatan Ternak Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta

Uraian Desa-desa Kec Pestisida, patah tulang, penyakit kulit)

3.Obat yang digunakan

Obat tradisional 50 90 33,3 20 0 50 48,2

Obat ternak 50 10 66,7 80 100 50 51,8

Jumlah responden peternak (n) 10 10 11 10 10 2 53

Keterangan : DSL (desa Sinarlaut), DBJ (desa Bojongkaso), DTS (desa Tanjungsari),

DWS (desa Wanasari), DMS (desa Mekarsari), DSK (desa Sukamanah), Kec (Kecamatan Agrabinta)

Gambar

Gambar 3. Diagram Analisa SWOT
Gambar 4. Matrik SWOT
Tabel 2. Keadaan Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian
Tabel 3. Keadaan Populasi Ternak di Kecamatan Agrabinta.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengetahui hal-hal yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi usaha peternakan sapi potong, berdasarkan pembahasan penelitian yang telah

Konsekwensi dari sistem pemeliharaan yang bersifat tradisional tersebut adalah rendahnya produktivitas ternak dan perkembangan peternakan sapi potong menjadi terhambat,

USAHA PENGEMBANGAN TERNAK SAP1 POTONG DALAM NEGERI Studi Kasus di Peternakan Sapi

mengetahui potensi pengembangan peternakan sapi potong dari berbagai aspek, yaitu lingkungan, SDA (Sumber Daya Alam), SDM (Sumber Daya Manusia) dan masukan teknologi yang ada

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah (1) penilaian kesesuaian lingkungan fisik sapi potong (yang digembalakan dan dikandangkan); (2) penilaian

Pengembangan Ternak Sapi Tahun 2015-2019 di kabupaten-kabupaten dalam wilayah NTB yang ditetapkan oleh Kementerian Pertanian sebagai kawasan pengembangan ternak sapi, salah

Dari hasil penelitian ini menunjukkan 2 faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap daya dukung lingkungan peternakan sapi potong di Kecamatan Kerek Kabupaten

Untuk lebih jelasnya implementasi program dan kegiatan yang dilakukan dalam pengembangan usaha peternakan sapi potong di Kecamatan Tinangkung Utara dapat dilihat pada