• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Kimia Kulit Buah Kapuk Randu sebagai Bahan Energi Biomassa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Kimia Kulit Buah Kapuk Randu sebagai Bahan Energi Biomassa"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK KIMIA

KULIT BUAH KAPUK RANDU SEBAGAI BAHAN ENERGI

BIOMASSA

INDRA TRI PUTRA

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Kimia Kulit Buah Kapuk Randu sebagai Bahan Energi Biomassa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

INDRA TRI PUTRA. Karakteristik Kimia Kulit Buah Kapuk Randu sebagai Bahan Energi Biomassa. Dibimbing oleh DEDED SARIP NAWAWI.

Kulit buah kapuk merupakan salah satu jenis biomassa yang berpotensi sebagai sumber energi alternatif terbarukan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji karakteristik buah kapuk sebagai bahan energi berdasarkan analisis kadar komponen kimianya (holoselulosa, α-selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif) dan analisis proksimat (kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, kadar karbon terikat, dan nilai kalor). Sampel kulit buah kapuk berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Nilai kalor kulit buah kapuk berkorelasi positif dengan kadar lignin, zat ekstraktif, dan karbon terikat, tetapi berkorelasi negatif dengan kadar holoselulosa, hemiselulosa, abu, dan zat terbang. Walaupun secara umum kulit buah kapuk berpotensi menjadi bahan energi biomassa yang baik, akan tetapi berdasarkan karakter kimia dan nilai kalornya, kulit buah kapuk asal Jawa Barat memiliki karakteristik lebih baik dibandingkan dengan kulit buah kapuk asal Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kata kunci: kulit buah kapuk, energi biomassa, nilai kalor, komponen kimia, analisis proksimat.

ABSTRACT

INDRA TRI PUTRA. Chemical Characteristics of Kapuk Randu Fruit’s Hull as Biomass Energy Resources. Supervised by DEDED SARIP NAWAWI

Kapuk fruit’s hull is one of the potential biomass as an alternative

renewable energy. The aims of this research is to characterize kapuk fruit’s hull for biomass energy resources based on the analysis of its chemical components (holocellulose, α-cellulose, hemicellulose, lignin, and extractives contents) and proximate analysis (moisture content, volatile matter, ash, fixed carbon, and calorific value). Kapuk fruit’s hulls samples were taken from West, Central, and

East Java. Calorific value of kapuk fruit’s hull positively correlated with lignin,

extractives, and fixed carbon, however it negatively correlated with holocellulose, hemicelluloses, ash and volatile matter. Generally, kapuk fruit’s hull has good characteristics for biomass energy. Based on the chemical characteristics and

calorific value, kapuk fruit’s hull from West Java is better than that from Central

and East Java.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Hasil Hutan

INDRA TRI PUTRA

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Karakteristik Kimia Kulit Buah Kapuk Randu sebagai Bahan Energi Biomassa

Nama : Indra Tri Putra NIM : E24100084

Disetujui oleh

Ir Deded Sarip Nawawi, MSc Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir I Fauzi Febrianto, MS. Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir Deded Sarip Nawawi, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan, saran, dan arahan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis disampaikan kepada Bapak Supriatin dan Bapak Gunawan dari Laboratorium Kimia Hasil Hutan yang telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, kakak, dan adik serta seluruh keluarga besar, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

ABSTRAK ii

PENDAHULUAN 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

METODE 2

Waktu dan Lokasi 2

Bahan dan Alat 2

Prosedur Penelitian 2

Persiapan Bahan Baku 2

Penentuan Komponen Kimia 2

Analisis Proksimat 5

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kadar Komponen Kimia 6

Klasifikasi Biomassa Berdasarkan Nisbah Komponen Kimia 9 Karakteristik Kulit Buah Kapuk sebagai Bahan Energi 10 Hubungan Karakteristik Kimia Kulit Buah Kapuk dengan Nilai Kalor 14

Hubungan Parameter Proksimat dengan Nilai Kalor 16

SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17

Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 18

(10)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi komponen kimia kayu daun lebar 4

DAFTAR GAMBAR

1 Kadar ekstraktif kulit buah kapuk 6

2 Kadar holoselulosa dan selulosa kulit buah kapuk 7

3 Kadar hemiselulosa kulit buah kapuk 8

4 Kadar lignin klason kulit buah kapuk 9

5 Klasifikasi biomassa berdasarkan nisbah komponen kimia 10

6 Kadar air kulit buah kapuk 11

7 Kadar zat terbang kulit buah kapuk 11

8 Kadar abu kulit buah kapuk 12

9 Kadar karbon terikat kulit buah kapuk 13

10 Nilai kalor kulit buah kapuk 13

11 Pengaruh zat ekstraktif terhadap nilai kalor 14

12 Pengaruh polisakarida terhadap nilai kalor 15

13 Pengaruh lignin terhadap nilai kalor 15

(11)

1

PENDAHULUAN

Meningkatnya permintaan energi disertai dengan semakin terbatasnya sumber energi fosil serta masalah lingkungan telah membawa perhatian pada pencarian dan pengembangan sumber energi alternatif terbarukan salah satunya biomassa. Keuntungan biomassa sebagai sumber energi antara lain terbarukan, rendah emisi karbon dan sulfur. Potensi sumber energi biomassa antara lain berasal dari limbah kehutanan, limbah pertanian, limbah industri dan rumah tangga, dan tanaman untuk tujuan penggunaan energi (Basu 2010, McKendry 2002). Salah satu limbah pertanian di Indonesia yang berpotensi sebagai sumber energi biomassa adalah kulit buah kapuk randu yang merupakan limbah pengolahan serat kapuk.

Kapuk randu (Ceiba pentandra) merupakan tanaman tropis dan banyak dijumpai di Indonesia terutama di daerah Jawa (Ningrum dan Kusuma 2013). Areal tanaman kapuk di Indonesia mencapai 250500 ha, dengan sentra pengembangan terutama di Jawa Tengah (95107 ha) dan Jawa Timur (77449 ha) (Badan Pusat Statistika 2012). Satu pohon kapuk menghasilkan 4000-5000 buah dan menghasilkan sekitar 15-20 kg serat kapuk bersih dan 24-32 kg kulit buah kapuk (Barani 2006).

Selama ini buah kapuk randu yang telah dimanfaatkan secara intensif adalah seratnya, terutama untuk pengisi kasur, bantal, dan isolator suara. Selain itu, beberapa penelitian berupaya untuk meningkatkan kegunaan kulit buah randu, antara lain sebagai sumber mineral untuk pembuatan sabun (Ningrum dan Kusuma 2013) atau sebagai sumber serat selulosa (Astika 2010; Handayani et al. 2012). Sementara itu, pemanfaatan kulit buah kapuk sebagai bahan energi biomassa belum berkembang, hanya terbatas sebagai pengganti kayu bakar. Untuk pengembangan kulit buah kapuk sebagai sumber energi baru terbarukan diperlukan penelitian karakteristiknya sebagai dasar pemanfaatan yang lebih baik, seperti untuk bahan pembuatan pellet kayu, pirolisis, dan gasifikasi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kadar komponen kimia kulit buah kapuk yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Karakteristik bahan baku energi biomassa diukur dengan analisis proksimat meliputi kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, karbon terikat, dan nilai kalor. Karakteristik kimia

yang diukur meliputi holoselulosa, α-selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif.

Manfaat Penelitian

(12)

2

METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan sejak bulan Januari sampai dengan April 2014 di Laboratorium Kimia Hasil Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Nilai kalor kulit buah kapuk diukur di Pustekolah Badan Litbang Kehutanan Bogor.

Bahan dan Alat

Buah kapuk diambil dari daerah Bogor Jawa Barat, Kabupaten Pati Jawa Tengah, dan Sampang Madura, Jawa Timur. Contoh kulit buah diambil dari buah kapuk matang, kering dan berwarna coklat. Bagian kulit dipisahkan dari bagian serat dan biji. Alat yang digunakan antara lain Willey mill, saringan bertingkat, timbangan analitik, oven, desikator, cawan porselin, tanur listrik, dan bomb calorimeter, penangas air, aluminium foil, kertas saring, soxhlet, dan peralatan gelas laboratorium.

Prosedur Penelitian

Persiapan Bahan Baku (TAPPI T 257 om-85)

Sampel kulit buah kapuk dipotong menjadi ukuran-ukuran kecil dan dikeringudarakan. Potongan kecil kulit buah kapuk digiling dengan alat willey mill dan partikel disaring dengan saringan bertingkat. Serbuk kulit buah kapuk yang digunakan untuk analisis kimia dan proksimat adalah serbuk yang lolos saringan 40 mesh dan tertahan pada saringan 60 mesh. Serbuk disimpan dalam wadah tertutup untuk menghindari perubahan kadar air.

Penentuan Komponen Kimia

Kadar Zat Ekstraktif Terlarut dalam Etanol-Benzena (1:2) (TAPPI T 204 om-88)

Serbuk sebanyak 10 g diekstraksi dengan campuran pelarut etanol-benzena (1:2 v/v) selama 8 jam. Sampel dibilas dengan etanol, direndam selama satu malam dan setelah kering udara kemudian dioven pada suhu 103±2 ºC sampai beratnya konstan. Untuk penyiapan sampel bebas zat ekstraktif, ekstraksi dilanjutkan dengan air panas selama 3 jam. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam etanol-benzena (1:2), dihitung dengan rumus:

Kadar zat ekstraktif % = BKTA−BKTB

BKTA × 100%

(13)

3 Kadar Zat Ektraktif Terlarut dalam Air Panas (TAPPI T 207 0m-93)

Serbuk sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan 100 ml air destilata panas dan diekstraksi dalam penangas air selama 3 jam. Sampel disaring dan dibilas dengan air panas, lalu dioven pada suhu 103±2 ºC sampai beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air panas

Kadar Zat Ektraktif Terlarut dalam Air Dingin (TAPPI T 207 0m-93)

Serbuk sebanyak 2 g diekstraksi dengan 300 ml air destilata dalam gelas piala 400 ml selama 48 jam pada suhu kamar. Sampel disaring dan dibilas dengan 200 ml air destilata, lalu dioven pada suhu 103±2º C sampai beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin dihitung dengan rumus:

Kadar zat ekstraktif % = BKTA−BKTB

BKTA × 100%

dengan BKTA= berat serbuk kering sebelum ekstraksi (g), BKTB= berat serbuk kering setelah ekstraksi (g).

Kadar Zat Ektraktif Terlarut dalam NaOH 1% (TAPPI T 212 om-93)

Serbuk sebanyak 2 g diekstraksi dengan 100 ml larutan NaOH 1% dalam gelas piala 200 ml. Sampel dipanaskan dalam penangas air pada suhu 100 ºC selama 1 jam. Larutan diaduk setelah pemanasan 10, 15, dan 25 menit. Sampel disaring dan dicuci dengan 100 ml air panas, kemudian ditambahkan 25 ml asam asetat 10% sebanyak 2 kali. Sampel dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 103±2 ºC sampai beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam NaOH 1% dihitung dengan rumus:

Kadar zat ekstraktif % = BKTA−BKTB

BKTA × 100%

dengan BKTA= berat serbuk kering sebelum ekstraksi (g), BKTB= berat serbuk kering setelah ekstraksi (g).

Kadar Holoselulosa (Browning 1967)

(14)

4

Holoselulosa % = Berat holoselulosa (g)

Berat serbuk bebas ekstraktif (g)× 100%

Kadar α-selulosa (Browning 1967)

Holoselulosa sebanyak 2 g dimasukkan dalam gelas piala 250 ml dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH 17.5% pada suhu 20 ºC dan diaduk. Setelah itu, pada 5, 10, dan 15 menit pertama ditambahkan 5 ml larutan NaOH 17.5%, lalu

Berat serbuk kering bebas zat ekstraktif (g)× 100%

Kadar Hemiselulosa

Kadar hemiselulosa diperoleh dengan mengurangi kadar holoselulosa dengan kadar selulosa. Kadar hemiselulosa dihitung dengan rumus:

Hemiselulosa % = Holoselulosa % – α-Selulosa (%)

Kadar Lignin Klason (TAPPI T 222 m 88 dengan modifikasi)

Serbuk bebas zat ekstraktif sebanyak 0.5 g dimasukkan ke dalam gelas piala 50 ml dan ditambahkan 5 ml asam sulfat 72% sambil diaduk setiap 15 menit dengan suhu dijaga tetap 20 °C selama 3 jam. Sampel diencerkan hingga mencapai konsentrasi asam sulfat 3%. Larutan direaksikan pada suhu 121 °C selama 30 menit dengan alat autoclave. Lignin diendapkan, disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan air destilata sampai bebas asam, lalu sampel dioven pada suhu 103±2 ºC sampai beratnya konstan. Kadar lignin dihitung dengan rumus:

Lignin % = Berat lignin (g)

Berat serbuk kering bebas zat ekstraktif (g) × 100%

Komponen kimia biomassa tumbuhan terdiri atas komponen penyusun dinding sel (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) dan zat ekstraktif. Kadar komponen kimia kayu daun lebar diklasifikasikan ke dalam kelas rendah, sedang, dan tinggi (Tabel 1).

Tabel 1 Klasifikasi komponen kimia kayu daun lebar

Komponen kimia Kelas komponen

(%) Tinggi Sedang Rendah

Selulosa*) >44 40-44 <40

Hemiselulosa*) >30 20-30 <20

Lignin*) >25 18-25 <18

Zat ekstraktif**) >4 2-4 <2

Keterangan : Zat ekstraktif dinyatakan sebagai kelarutan dalam etanol:benzena.

(15)

5

Analisis Proksimat

Kadar Air (ASTM E-871)

Sampel serbuk kulit buah kapuk ditimbang sebanyak 1 g kemudian dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 103±2 °C. Sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga berat konstan. Kadar air dihitung dengan rumus:

Kadar air (%) =Berat serbuk awal−Berat serbuk kering tanur

Berat serbuk kering tanur × 100%

Kadar Zat Terbang (ASTM E-872)

Serbuk sebanyak 1 g dimasukan ke dalam cawan porselin yang bobotnya sudah diketahui. Sampel dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu 950 °C selama 7 menit. Sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar zat terbang dihitung dengan rumus:

Kadar zat terbang % = Kehilangan berat sampel

Berat kering serbuk awal× 100%

Kadar Abu (ASTM D-1102)

Serbuk sebanyak 2 g ditempatkan dalam cawan porselen kemudian dimasukkan ke dalam tanur listrik bersuhu 600 °C selama 6 jam. Sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya sampai konstan.

Kadar abu % = Berat abu

Berat kering serbuk awal× 100%

Kadar Karbon Terikat

Kadar karbon terikat merupakan hasil pengurangan 100% terhadap kadar zat terbang dan kadar abu. Kadar karbon terikat dihitung dengan rumus:

Karbon terikat % = 100%− Kadar zat terbang % −Kadar abu (%)

Nilai Kalor Kayu

Pengujian nilai kalor dilakukan di Pustekolah Badan Litbang Kehutanan Bogor. Nilai kalor diukur menggunakan Bomb Calorimeter dan nilainya dinyatakan dalam (kkal/kg).

Analisis Data

(16)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Komponen Kimia

Komponen kimia diklasifikasikan menjadi komponen struktural dan komponen non struktural. Komponen struktural tersebut terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin, sedangkan komponen non struktural terdiri atas komponen zat ekstraktif dan abu (Barnett dan Jeronimidis 2003). Pohon memiliki kandungan dan komposisi kimia yang beragam bergantung pada kondisi tempat tumbuh yang dipengaruhi oleh jenis tanah, curah hujan, unsur hara, dan ketinggian tempat (McKendry 2002).

Kadar Zat Ekstraktif

Zat ekstraktif terutama berada dalam rongga sel dan sebagian kecil terdapat di dalam dinding sel. Zat ekstraktif meliputi banyak jenis senyawa yang dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut polar dan nonpolar.

Gambar 1 Kadar zat ekstraktif pada kulit buah kapuk

Gambar 1 menunjukkan kadar zat ekstraktif kulit buah kapuk beragam bergantung pada asal sampel uji dan jenis pelarut yang digunakan. Secara umum, kulit buah kapuk asal Jawa Barat memiliki kadar zat ekstraktif lebih tinggi dibandingkan dengan kulit buah kapuk asal Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kadar zat ekstraktif kulit buah kapuk terlarut dalam etanol-benzena (1:2) berkisar 3.68-4.92%. Zat ekstraktif akan larut sesuai dengan sifat pelarut yang digunakan. Kelompok zat ekstraktif yang larut dalam etanol adalah pati dan tanin. Kelompok zat ekstraktif yang larut dalam benzena adalah lilin, lemak, dan terpen (Sjostrom 1981).

Kadar zat ekstraktif terlarut dalam air panas berkisar 11.36-12.86%, dan dalam air dingin berkisar 8.96-10.23%. Kelarutan dalam air panas lebih tinggi dibandingkan dalam air dingin karena air panas memiliki kemampuan selain

(17)

7 melarutkan bahan yang terlarut dalam air dingin juga dapat mengekstrak pati. Zat ekstraktif yang larut dalam air panas antara lain tanin, pati, zat warna dan flavonoid (Fengel dan Wegener 1984).

Kelarutan kulit buah kapuk dalam NaOH 1% berkisar 30.20-37.68%. Tingginya kelarutan dalam NaOH 1% dibandingkan jenis pelarut lainnya diduga karena tingginya fraksi polisakarida berbobot molekul rendah seperti pati dan hemiselulosa. Hemiselulosa merupakan polisakarida berderajat polimer lebih rendah dan polimer bercabang sehingga lebih rentan terdegradasi dan terlarut dibandingkan dengan selulosa (Sjostrom 1981).

Berdasarkan klasifikasi kadar komponen kimia kayu (Tabel 1), kadar zat ekstraktif kulit buah kapuk dari ketiga tempat asal termasuk kelas tinggi. Haygreen dan Bowyer (1996) dan Richardson et al. (2002) menyatakan bahwa zat ekstraktif yang tinggi pada kayu mempengaruhi nilai kalor yang semakin tinggi. Richardson et al. (2002) menyatakan bahwa kelompok zat ekstraktif resin, terpen, lilin, dan fenolik mempengaruhi tingginya nilai kalor biomassa energi. Kulit buah kapuk diketahui mengandung lilin (Barani 2006) dan terpen (Gaur dan Reed 1995).

Kadar Holoselulosa dan Selulosa

Holoselulosa merupakan fraksi polisakarida total penyusun dinding sel tumbuhan yang terdiri atas selulosa dan hemiselulosa (Rowell et al. 2005, Sjostrom 1981). Bagian selulosa yang tahan dan tidak terlarut dalam NaOH 17.5% disebut alpha-selulosa dan sering dinyatakan sebagai selulosa murni (Fengel dan Wegener 1989). Selulosa merupakan komponen utama struktural dinding sel biomassa, memliki derajat polimerisasi yang tinggi, berat molekul yang tinggi, dan mempunyai struktur kristalin yang dibangun oleh molekul glukosa (Sjostrom 1981).

Gambar 2 Kadar holoselulosa dan α-selulosa kulit buah kapuk

Kadar holoselulosa kulit buah kapuk berkisar 50.94-69.55% dan kadar alfa-selulosa berkisar 23.82-36.3% (Gambar 2). Kadar holoalfa-selulosa dan alfa-alfa-selulosa tertinggi terdapat pada kulit buah kapuk asal Jawa Timur dan diikuti oleh kulit buah kapuk asal Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kadar holoselulosa kulit buah kapuk lebih rendah dibandingkan dengan kadar holoselulosa kayu yaitu sekitar 75% (Fengel dan Wegener 1984), dan kadar selulosa kulit buah kapuk tergolong rendah (Tabel 1). Khristova dan Khalifa (1993) dan Richardson et al. (2002)

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur

(18)

8

menyatakan bahwa kontribusi selulosa terhadap nilai kalor lebih rendah dibandingkan dengan lignin, oleh sebab itu walaupun kadar selulosa suatu biomassa rendah tetapi jika kadar ligninnya tinggi maka secara keseluruhan akan memiliki nilai kalor tinggi.

Kadar Hemiselulosa

Menurut Bowyer et al. (2007), kadar hemiselulosa kayu dapat diduga dari selisih kadar holoselulosa dengan α-selulosa. Hal ini karena hemiselulosa dapat terlarut dalam larutan alkali 17.5%. Hemiselulosa memiliki rantai polimerisasi yang lebih rendah dibandingkan selulosa, struktur yang amorf, dan memiliki struktur rantai yang bercabang.

Gambar 3 menunjukkan bahwa kadar hemiselulosa kulit buah kapuk berkisar 27.12-33.25%. Kadar hemiselulosa tertinggi dimiliki oleh kulit buah kapuk asal Jawa Timur sedangkan terendah asal Jawa Barat. Kadar hemiselulosa sering dianggap berkontribusi kecil terhadap nilai kalor biomasa karena tingginya kadar oksigen dalam hemiselulosa. Hal tersebut menyebabkan tingginya zat menguap pada saat proses pembakaran atau pirolisis. Kadar zat menguap tinggi akan menghasilkan nilai kalor kayu yang rendah (Basu 2010). White (1987) menyatakan bahwa hemiselulosa memiliki jumlah atom karbon yang rendah sehingga berpengaruh pada nilai kalor yang rendah pula. Berdasarkan Tabel 1, hemiselulosa kulit buah kapuk semua sampel yang diuji tergolong sangat tinggi. Walaupun kulit buah kapuk asal Jawa Timur dan Jawa Tengah memiliki kadar holoselulosa cukup tinggi tetapi disusun oleh fraksi hemiselulosa yang tinggi pula, sehingga diduga kontribusinya terhadar nilai kalor lebih kecil.

Kadar Lignin Klason

Sjostrom (1981) menyatakan bahwa lignin merupakan polimer bercabang fenilpropana yang kompleks berbentuk tiga dimensi. Unit monomer yang dominan dalam polimer adalah cincin benzena yang berfungsi sebagai agen untuk merekatkan serat selulosa yang saling berdekatan.

Gambar 3 Kadar hemiselulosa kulit buah kapuk

27.12 31.17

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur

(19)

9

Kadar lignin kulit buah kapuk yang berasal dari tiga daerah berbeda berkisar 10.54-26.02%. Kadar lignin tertinggi dimiliki oleh kulit buah kapuk asal Jawa Barat sedangkan terendah dimiliki kulit buah kapuk asal Jawa Timur (Gambar 4). Berdasarkan Tabel 1, kadar lignin kulit buah kapuk asal Jawa Tengah dan Jawa Timur tergolong rendah, sedangkan kadar lignin kulit buah kapuk asal Jawa Barat tergolong tinggi. Kadar lignin dalam biomassa sering dijadikan parameter kimia penting dalam kaitannya dengan nilai kalor. Hal ini karena lignin memiliki nilai kalor yang lebih tinggi dibandingkan dengan selulosa dan hemiselulosa (White 1987). Oleh sebab itu, kulit buah kapuk asal Jawa Barat diduga memiliki nilai kalor tinggi sehingga baik digunakan untuk bahan energi, misalnya digunakan untuk briket arang (Pari et al. 2005).

Lignin memiliki kadar atom karbon yang lebih banyak dibandingkan dengan selulosa dan hemiselulosa. Jumlah atom karbon mempengaruhi kadar karbon terikat pada bahan, semakin tinggi kadar karbon terikat semakin tinggi pula nilai kalornya (Bhavanam dan Sastry 2011; White 1987; Richardson et al. 2002). Tingginya lignin dalam kulit buah kapuk asal Jawa Barat baik untuk pirolisis lambat karena prosesnya memerlukan atom karbon tinggi untuk menghasilkan produk arang padat (Bhavanam dan Sastry 2011). Sementara itu, rendahnya lignin Jawa Tengah dan Jawa Timur baik untuk pirolisis cepat karena prosesnya memerlukan atom karbon rendah untuk menghasilkan produk bio oil (Titiloye et al. 2013).

Klasifikasi Biomassa Kulit Buah Kapuk Berdasarkan Nisbah Komponen Kimia

Basu (2010) mengklasifikasikan bahan energi biomassa berdasarkan nisbah komponen kimianya. Klasifikasi ini digunakan untuk menduga sifat-sifat bahan bakar yang paling potensial yang dapat dipertimbangkan untuk densifikasi, pirolisis, dan gasifikasi.

Gambar 4 Kadar lignin klason kulit buah kapuk 24.18

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur

(20)

10

Gambar 5 Klasifikasi biomassa kulit buah kapuk berdasarkan nisbah komponen kimia menurut Basu (2010)

Gambar 5 menunjukkan posisi kulit buah kapuk sebagai bahan energi dibandingkan dengan biomassa lainnya. Berdasarkan nisbah komponen kimianya, terlihat bahwa terdapat perbedaan diantara ketiga sampel. Kulit buah kapuk asal Jawa Barat berpotensi menghasilkan nilai kalor tinggi karena nisbah polisakarida terhadap ligninya rendah. Sementara itu, kulit buah kapuk asal Jawa Timur kemungkinan memiliki nilai kalor yang lebih rendah dibandingkan dengan kulit buah kapuk asal Jawa Barat. Hal ini disebabkan tingginya fraksi menguap karena tingginya nisbah polisakarida terhadap lignin. Kulit buah kapuk Jawa Barat dan Jawa Tengah termasuk dalam kelompok biomassa setara biomassa kayu sehingga diduga akan menghasilkan nilai kalor yang tinggi.

Karakteristik Kulit Buah Kapuk sebagai Bahan Energi

Karakteristik biomassa untuk bahan energi, selain dapat diduga dari nisbah komponen kimianya, dapat juga diduga dengan analisis proksimat yang menunjukkan karakter biomassa pada kondisi pembakaran suhu tinggi. Analisis proksimat mengukur karakteristik biomassa untuk bahan energi meliputi kadar air, zat terbang, abu, karbon terikat, dan nilai kalor. Analisis proksimat merupakan indikator yang baik untuk menentukan kualitas biomassa sebagai bahan energi biomassa (Capareda 2011).

Kadar Air

Kadar air berpengaruh besar terhadap sifat biomassa yang akan dijadikan sebagai sumber energi terutama pengaruhnya terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar air mengakibatkan semakin rendahnya nilai kalor biomassa. Hal ini disebabkan lebih banyak kalor yang dibutuhkan untuk mengeluarkan air dalam biomassa tersebut menjadi uap sehingga energi yang tersisa dalam bahan bakar menjadi lebih kecil (Haygreen dan Bowyer 1996). Biomassa yang baik untuk bahan energi adalah yang memiliki kadar air yang rendah karena tidak banyak mengeluarkan asap pada saat pembakaran (Hendra dan Wirnani 2003).

(21)

11

Gambar 6 Kadar air kulit buah kapuk

Kadar air kulit buah kapuk kondisi kering udara bervariasi berkisar 9.54-14.04% (Gambar 6). Cahyono et al. (2008) menyatakan bahwa kadar air kondisi kering udara dari kayu sebagai bahan energi biomassa sebaiknya 12%, maka kadar air kulit buah kapuk semua tempat tumbuh tergolong baik.

Kadar Zat Terbang

Zat terbang adalah fraksi menguap dari bahan biomassa pada saat bahan bakar dipanaskan (Basu 2010). Zat-zat yang menguap diantaranya metana, hidrokarbon, hidrogen, karbon monoksida dan karbon dioksida (Ragland dan Aerts 1991; Capareda 2011).

Gambar 7 Kadar zat terbang kulit buah kapuk

Kadar zat terbang kulit buah kapuk yang diteliti berkisar 71.62-74.17%. Kadar zat menguap tertinggi dimiliki oleh kulit buah Jawa Timur sedangkan yang terendah adalah Jawa Barat (Gambar 7). Tingginya kadar zat terbang kulit buah kapuk asal Jawa Timur diduga karena banyaknya zat volatil yang berasal dari selulosa amorf dan hemiselulosa yang dapat terdegradasi saat karbonisasi berlangsung. Hal ini, sejalan dengan tingginya kadar holoselulosa dan hemiselulosa pada kulit buah kapuk asal Jawa Timur. Stahl et al. (2004) menyatakan bahwa kadar zat terbang untuk biomassa kayu energi sekitar 84%, maka kadar zat terbang kulit buah kapuk semua tempat tumbuh termasuk rendah. Penelitian Fauziah (2009) menunjukkan kadar zat terbang berbanding terbalik

14.04

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur

K

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur

(22)

12

dengan karbon terikat, semakin rendah zat terbang maka semakin tinggi karbon terikatnya, maka biomassa kulit buah kapuk semakin baik untuk sumber energi. Kadar Abu

Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari sisa pembakaran dan gasifikasi (Basu 2010). Kandungan abu yang terdapat dalam biomassa umumnya kalsium, potassium, magnesium, dan silika (Ragland dan Aerts 1991).

Gambar 8 menunjukkan bahwa kadar abu kulit buah kapuk ketiga sampel berkisar 5.25-6.08%. Titiloye et al. (2013) menyatakan bahwa kadar abu pada biomassa yang berbeda, dipengaruhi oleh tanah di tempat tumbuh yang berbeda pula. Kulit buah kapuk asal Jawa Tengah memiliki kadar abu yang paling tinggi sedangkan yang paling rendah adalah kulit buah kapuk asal Jawa Barat. Kadar abu dari semua sampel termasuk tinggi dibandingkan dengan biomassa kayu yang dapat mencapai 5% (Fengel dan Wegener 1984). Menurut Haygreen dan Bowyer (1996), mineral-mineral cenderung terkonsenstrasi dalam jaringan bagian luar termasuk kulit buah karena kandungannya sangat penting untuk fungsi fisiologis pohon. Berdasarkan kadar abunya, kulit buah kapuk yang diteliti termasuk kelompok bahan energi berpotensi slagging pada proses gasifikasi, yaitu bahan energi biomassa yang dapat menyebabkan pembentukan kerak metal (Rajvanshi 1986). Kandungan abu tinggi terutama silika pengaruhnya kurang baik terhadap energi biomassa, karena nilai kalor yang dihasilkan semakin rendah (Satmoko 2013).

Kadar Karbon Terikat

Kadar karbon terikat adalah fraksi karbon padat yang tertinggal dalam biomassa setelah proses pirolisis (Basu 2010). Kadar karbon terikat kulit buah kapuk berkisar 20.10-23.14%. Kadar karbon terikat yang paling tinggi dimiliki oleh kulit buah kapuk asal Jawa Barat sedangkan yang paling rendah asal Jawa Timur (Gambar 9). Kadar karbon terikat semua sampel termasuk kategori tinggi dibandingkan dengan kadar karbon terikat biomassa kayu sebesar 16-18% (Stahl et al. 2004). Tingginya kadar karbon terikat akan semakin meningkatkan nilai kalor sehingga baik digunakan sebagai sumber energi.

Gambar 8 Kadar abu kulit buah kapuk

5.24 6.06 5.75

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur

(23)

13

Gambar 9 Kadar karbon terikat kulit buah kapuk Nilai Kalor

Nilai kalor merupakan jumlah panas yang dihasilkan oleh 1 g atau 1 kg biomassa yang terbakar habis. Nilai kalor merupakan parameter penting karena mempengaruhi efisiensi bahan bakar (Basu 2010).

Gambar 10 Nilai kalor kulit buah kapuk

Nilai kalor kulit buah kapuk berkisar 4126-4493 kkal/kg (Gambar 10). Nilai kalor kulit buah kapuk asal Jawa Barat termasuk tinggi tetapi asal Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk rendah dibandingkan dengan nilai kalor biomassa kayu sekitar 4400 kkl/kg (Stahl et al. 2004). Titiloye et al. (2013) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai kalor semakin potensial digunakan sebagai sumber energi biomassa. Jamilatun (2011) menyatakan bahwa nilai kalor yang tinggi akan menghasilkan pembakaran yang efisien dan menghemat kebutuhan biomassa. Tiruno dan Sabit (2011) menyatakan bahwa tingginya nilai kalor menyebabkan laju pembakaran semakin lambat. Tingginya nilai kalor kulit buah kapuk asal Jawa Barat berkorelasi dengan tingginya kadar lignin dan rendahnya kadar hemiselulosa. Tingginya kadar lignin tersebut berkorelasi juga dengan tingginya kadar karbon terikat. Hal ini didukung oleh White (1987) bahwa adanya hubungan linier antara nilai kalor tinggi dengan tingginya atom karbon yang terkandung dalam lignin.

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur

K

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur

(24)

14

Hubungan Karakteristik Kimia Kulit Buah Kapuk dengan Nilai Kalor

Pengaruh Zat Ekstraktif terhadap Nilai Kalor

Zat ekstraktif merupakan komponen kimia minor dalam biomasaa, tetapi dapat berkontribusi terhadap nilai kalor. Hal ini disebabkan oleh tingginya nilai kalor zat ekstraktif, yaitu sekitar 7764 kkal/kg (Gaur et al. 1998). Hasil penelitian ini menunjukkan pula kontribusi positif zat ekstraktif terhadap nilai kalor dalam kulit buah kapuk. Zat ekstraktif terlarut dalam air panas antara lain pati, zat warna, dan tanin, sedangkan zat ekstraktif terlarut etanol benzena terutama dari kelompok terpen, minyak dan lemak (Fengel dan Wegener 1984). Kedua kelompok zat ekstraktif tersebut berkorelasi positif dengan nilai kalor (Gambar 11).

Hasil analisis regresi linier sederhana menunjukkan adanya korelasi positif antara nilai kalor dengan kadar zat ekstraktif terlarut dalam air panas dan dalam etanol benzena dengan koefisien korelasi (r) masing-masing sebesar 0.806 dan 0.775. Hal yang sama disampaikan oleh White (1987) bahwa kadar zat ekstraktif larut dalam etanol-benzena berkorelasi positif dengan nilai kalor kayu. Richardson et al. (2002) menyatakan bahwa zat ekstraktif kelompok terpen, resin, lilin, dan fenolik adalah kelompok zat ekstraktif yang mempengaruhi tingginya nilai kalor biomassa.

a b

ar Gambar 11 Pengaruh zat ekstraktif terhadap nilai kalor; a. air panas dan b. etanol- benzena (1:2).

Pengaruh Kadar Polisakarida Dinding Sel terhadap Nilai Kalor

Holoselulosa adalah polisakarida penyusun dinding sel tumbuhan. Fraksi polisakarida ini terdiri atas selulosa dan hemiselulosa. Berdasarkan Gambar 12, terdapat korelasi negatif antara kadar holoselulosa dengan nilai kalor pada kulit buah kapuk. Hal ini diduga karena tingginya proporsi kadar hemiselulosa dalam holoselulosa sehingga menyebabkan tingginya fraksi menguap pada saat pembakaran. Hemiselulosa adalah polimer karbohidrat bersifat amorf dengan derajat polimerisasi rendah dan bercabang. Sifat kimia hemiselulosa seperti itu menyebabkan mudah terdegradasi pada suhu tinggi menghasilkan zat menguap. Basu (2010) menyatakan bahwa biomassa dengan kadar zat menguap tinggi akan menghasilkan nilai kalor kayu yang rendah.

Hasil analisis regresi menunjukkan kadar holoselulosa dan hemiselulosa berkorelasi negatif dengan nilai kalor dengan koefisien korelasi (r) masing-masing

y = 192.2x + 1944.

(25)

15 sebesar 0.962 dan 0.937 (Gambar 12). Hal ini sejalan dengan penelitian Khristova dan Khalifa (1993) bahwa ditemukan korelasi negatif yang tinggi antara nilai kalor dengan holoselulosa. Semakin tinggi kadar holoselulosa, semakin rendah nilai kalor biomassa tersebut. Rendahnya nilai kalor holoselulosa diakibatkan oleh rendahnya atom karbon yang menyusun selulosa dan hemiselulosa (White 1987).

a b

Gambar 12 Pengaruh polisakarida; a. holoselulosa, b. hemiselulosa terhadap nilai kalor

Pengaruh Lignin terhadap Nilai Kalor

Lignin adalah polimer berbobot molekul tinggi yang dibangun oleh unit-unit fenilpropana (Bowyer et al. 2007). Berdasarkan Gambar 13, terdapat korelasi positif antara kadar lignin dengan nilai kalor kulit buah kapuk. Hal ini karena kadar lignin tinggi menyebabkan kadar karbon terikat tinggi. Lignin merupakan makromolekul yang dibentuk oleh polimerisasi dari tiga monomer fenilpropana yaitu p-koumaril alkohol, koniferil alkohol, dan sinapil alkohol (Barnett dan Jeronimidis 2003). Struktur lignin stabil pada suhu tinggi pembakaran karena disusun oleh atom karbon yang tinggi. Pada tahap akhir pembakaran proporsi atom karbon yang berasal dari lignin akan lebih banyak menjadi karbon terikat. Tingginya atom karbon lignin menyebabkan semakin tinggi kadar karbon terikat (Basu 2010). Tingginya kadar karbon terikat akan semakin meningkatkan nilai kalor (Hindi et al. 2012).

Gambar 13 Pengaruh kadar lignin terhadap nilai kalor

Nilai kalor kulit buah kapuk berkorelasi positif dengan kadar ligninnya dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.945 (Gambar 13). Hal ini karena tingginya

(26)

16

kontribusi lignin pada kadar karbon terikat sehingga nilai kalor juga tinggi (White 1987). Richardson et al. (2002) bahwa ada korelasi positif antara nilai kalor dengan kadar lignin.

Hubungan Parameter Proksimat dengan Nilai Kalor

Kadar zat terbang, kadar abu, dan kadar karbon terikat merupakan parameter yang berpengaruh terhadap nilai kalor biomassa (Richardson et al. 2002). Berdasarkan Gambar 14, kadar abu berpengaruh negatif terhadap nilai kalor kulit buah kapuk. Hal ini diduga karena kadar abu kulit buah kapuk tinggi menyebabkan mineral-mineral lebih banyak menyerap panas tanpa menambahkan nilai panas pada saat pembakaran.

a

b

c

Gambar 14 Pengaruh parameter proksimat; a. kadar zat terbang, b. kadar abu, dan c. kadar karbon terikat terhadap nilai kalor

(27)

17

Kadar zat terbang juga berkontribusi negatif terhadap nilai kalor dan berbanding terbalik dengan kadar karbon terikat yang berkontribusi positif terhadap nilai kalor. Zat terbang merupakan fraksi dalam biomassa yang menguap selama proses pembakaran dan tidak berkontribusi terhadap nilai kalor. Sementara itu, karbon terikat merupakan komponen yang paling menentukan pada nilai kalor pembakaran (Hindi et al. 2012).

Nilai kalor kulit buah kapuk berkorelasi negatif dengan kadar zat terbang dan kadar abu dengan koefisien korelasi (r) masing-masing sebesar 0.778 dan 0.743. Korelasi positif ditunjukkan oleh kadar karbon terikat dengan nilai kalor dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.906. Hal yang sama ditemukan pula pada biomassa lainnya, yang menunjukkan adanya korelasi negatif antara nilai kalor dengan kadar abu (Khristova dan Khalifa 1993) dan kadar zat terbang (Hindi et al. 2012), serta adanya korelasi positif antara nilai kalor dengan kadar karbon terikat (Hindi et al. 2012).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kadar komponen kimia kulit buah kapuk bervariasi menurut asal tempat bahan baku, meliputi kadar zat ekstraktif terlarut etanol-benzena (1:2) 3.68-4.92%, air dingin 8.96-10.23%, air panas 11.36-12.18%, dan terlarut NaOH 1% 30.20%-37.68%, kadar holoselulosa berkisar 50.94-69.55%, alfa-selulosa 23.82-36.3%, hemiselulosa 27.12-33.25%, dan lignin 10.54-26.02%. Sebagai bahan baku energi, kulit buah kapuk memiliki kadar air berkisar 9.54-14.04%, kadar zat terbang 71.62-74.17%, kadar abu 5.25-6.08%, kadar karbon terikat 20.10-23.14%, dan nilai kalor 4126-4493 kkal/kg. Secara umum, kulit buah kapuk dari ketiga daerah memiliki nilai kalor yang tinggi sehingga baik untuk bahan energi biomassa. Kulit buah kapuk asal Jawa Barat memiliki karakteristik bahan energi biomassa lebih baik dibandingan dengan kulit buah kapuk asal Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Saran

(28)

18

DAFTAR PUSTAKA

Astika IMJ. 2010. Eksplorasi α-selulosa buah kapuk sebagai bahan baku pembuatan propelan [disertasi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya.

[ASTM] American Society for Testing Material. 2013. ASTM D-1102. Test Method for Ash in Wood. West Conshohocken (US): ASTM International. ________________________________________. 2013. ASTM E-871. Test

Method for Moisture in the Analysis of Particulate Wood Fuels. West Conshohocken (US): ASTM International.

________________________________________. 2013. ASTM E-872. Test Method for Volatile Matter in the Analysis of Particulate Wood Fuels. West Conshohocken (US): ASTM International.

[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi. 2012. Luas Perkebunan Kapuk/Randu 2005-2012. Surabaya (ID): BPS Provinisi Jawa Timur.

Barani AM. 2006. Pedoman Budidaya Kapuk. Jakarta (ID): Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan, Dirjen Perkebunan.

Barnett J, Jeronimidis. 2003. Wood Qualtiy and its Biological Basis. Oxford (UK): Blackwell Publishing Ltd, CRC press.

Basu P. 2010. Biomass Gasification and Pyrolysis: Practical Design and Theory. Burlington (US): Academic Pr.

Bhavanaman A, Sastry RC. 2011. Biomass gasification processes in downdraft fixed bed reactors: a review. IJCEA. 2 (6): 1-9.

Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2007. Forest Products and Wood Science an Introduction-Fifth Edition. Iowa (US): Blackwell Publishing.

Cahyono D, Coto Z, Febrianto F. 2008. Aspek thermofisis pemanfaatan kayu sebagai bahan bakar substitusi di pabrik semen. J. Ilmu Teknologi Hasil Hutan 1(1): 45-53.

Capareda SC. 2011. Biomass energy conversion. Sustain. Growth Apll. Renew. Energy Sources.10: 210-226.

Fauziah N. 2009. Pembuatan arang aktif secara langsung dari kulit acacia mangium dengan aktivasi fisika dan aplikasinya sebagai adsorben [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fengel D, Wegener G. 1984. Wood: Chemistry Ultrastructure and Reactions. Berlin (DE): Walter de Guyter & Co.

Gaur S, Reed T, Dekker M. 1998. Thermal data for natural and synthetic fuels - proximate and ultimate analyses. Biomass Energy Foundation. 1 (1):1-4. Gaur S, Reed T. 1995. An Atlas of Thermal Data for Biomass and other Fuels.

Colorado (US): NREL Pr.

Handayani P, Tanuwijaya J, Karsono. 2012.Pengaruh selulosa mikrokristal kulit buah kapuk terhadap laju disolusi tablet. J. Farmasi Farmakologi. 1 (1): 55–62. Haygreen JG, Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar.

Hadikusumo SA, Penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari: Forest Products and Wood Science: an Introduction.

Hendra D, Wirnarni I. 2003. Sifat fisis dan kimia briket arang campuran limbah kayu gergajian dan sebetan kayu. Bull. Penelitian Hasil Hutan 18:1-9.

(29)

19 Jamilatun S. 2011. Kualitas sifat-sifat penyalaan dari pembakaran briket biomassa,

briket batu bara dan arang kayu. J. Rekayasa Proses. 2 (2): 37-40.

Khristova P, Khalifa AW. 1993. Carbonization of some fast-growing species in Sudan. Appl Energy. 45 (4): 347-354.

McKendry P. 2002. Energy production from biomass (part 1): overview of biomass. Biores. Technol. 83: 37-46.

Ningrum NP, Kusuma MA. 2013. Pemanfaatan minyak goreng bekas dan abu kulit buah kapuk randu sebagai bahan pembuatan sabun mandi organik berbasis teknologi ramah lingkungan. J. Teknologi Kimia Industri. 2: 275-285. Pari G, Roliadi H, Setiawan D. 2005. Komponen kimia sepuluh jenis kayu

tanaman dari jawa barat. J. Penelitian Hasil Hutan. 1: 1-21.

Ragland KW, Aerts DJ. 1991. Properties of Wood for Combustions Anlaysis. Wisconsin (US): University of Wisconsin-Madison Pr.

Rajvanshi AK. 1986. Biomass gasification. NARI. 1: 1-21

Richardson J, Bjorheden R, Hakkila P, Lowe AT, Smith CT. 2002. Bioenergy from Sustainable Forestry. Boston (US): Kluwer Academic Pr.

Satmoko ME. 2013. Karakteristik briket dari limbah pengolahan kayu sengon dengan metode cetak panas. J. Mech Eng Learn. 2 (1): 1-8.

Sjostrom E. 1981. Wood Chemistry: Fundamental and Application. London (UK): Academic Press.

Sthal R, Henrich E, Gehrmann HJ, Vodegel S, Koch M. 2004. Definition of Standard Biomass.Germany (DE): Forschungszentrum Karlsruhe.

[TAPPI] Technical Association of Pulp and Paper Industry. 1996. TAPPI Test Methods. Atlanta (US): TAPPI Press.

Tiruno, Sabit. 2011. Efek suhu pada proses pengarangan terhadap nilai kalor arang tempurung kelapa (Coconut Shell Charcoal). J. Neutrino. 3 (2): 149-151. Titiloye JO, Bakar MSA, Odetoye TE. 2013. Thermochemical characterization of

agricultural wastes from west Africa. Industrial Crops Prod. 47: 199-203. White RH. 1987. Effect of lignin content and extractives on the higher heating

(30)

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 28 Juli 1991 yang merupakan putra ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Abdul Manan dan Ibu Kusniati. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Babakan Cirebon pada tahun 2010 dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis diterima di Mayor Teknologi Hasil hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2013 penulis memilih Bagian Kimia Hasil Hutan sebagai bidang minat studi tugas akhir.

Penulis pernah mengikuti Praktek Pengenalan ekosistem Hutan (PPEH) di Pangandaran dan Gunung Sawal, Jawa Barat dan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PGT. Paninggaran Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Penulis juga pernah mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) yang didanai oleh DIKTI pada tahun 2013.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dan menyelesaikan

Gambar

Gambar 1 Kadar zat ekstraktif pada kulit buah kapuk
Gambar 2 Kadar holoselulosa dan α-selulosa kulit buah kapuk
Gambar 3  Kadar hemiselulosa kulit buah kapuk
Gambar 4  Kadar lignin klason kulit buah kapuk
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENELITIAN ENERGI ALTERNATIF (BIOGAS) DARI KULIT BUAH COKLAT DAN RUMPUT 14 2. Bahan baku dalam bentuk selulosa akan lebih. mudah dicerna oleh bakteri anaerob. 2002) yang

Ekstraksi selulosa kulit buah nangka muda tanpa menggunakan metode delignifikasi juga perlu dilakukan penelitian karena dengan adanya lignin maupun hemiselulosa juga dapat

Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan konsentrasi dan suhu optimum asam trikloroasetat pada pembuatan Na-CMC dari kulit buah kapuk randu, serta mengetahui

Telah dilakukan penelitian biodiesel menggunakan minyak biji karet dan abu kulit buah kapuk yang digunakan sebagai sumber katalis basa.. Adanya kadar basa

Tulisan ini merupakan Skripsi dengan judul “ Pembuatan Sabun dengan Menggunakan Kulit Buah Kapuk (Ceiba petandra) Sebagai Sumber Alkali ”, berdasarkan hasil

“Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas dan Abu Kulit Buah Kapuk Randu (Soda Qie) Sebagai Bahan Pembuatan Sabun Mandi Organik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan..

penelitian ini adalah menghasilkan produk asap cair kakao yang berasal dari kulit buah kakao, menganalisis kandungan bahan baku dengan menentukan kadar

Isolasi selulosa terdiri dari 2 tahapan, tahap pertama adalah proses delignifikasi atau proses penghilangan komponen-komponen pengotor pada serbuk kulit buah durian