• Tidak ada hasil yang ditemukan

Serat Blustru sebagai Bahan Baku Dissolving Pulp dan Kertas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Serat Blustru sebagai Bahan Baku Dissolving Pulp dan Kertas"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Sponge Gourd Fibers for Dissolving Pulp and Paper Raw Material

By

1)

Yuhana Rahayu, 2)Nyoman J. Wistara

INTRODUCTION:Sponge Gourd or Blustru (Luffa cylindrica L. Roem) is a tropical plant with fast growing characteristic and can be easily planted. Its fruit bears a thick web of fibers with relatively high content of cellulose. Therefore, it can be a potential lignocellulosic raw material for dissolving pulp and paper, and evaluation on its fiber and pulping properties is paramount.

MATERIAL AND METHODS:In the present works, the fiber web of blustru of 5 and 8 months old were converted into pulp by pre-hydrolyzed soda pulping process. Hydrolysis was carried out either in acidic (pH = 5) or neutral (pH = 7) media at 165 ° C for 3 hours. Successively, soda pulping was carried out with active alkali of 20% at 170 °C for 4 hours and L/W of 12:1. The resulting pulp was then bleached by an ECF bleaching method following DEDED sequences. Dissolving pulp quality was compared to the requirement of SNI 14-03-1989. Evaluation of pulp also involved the measurement of fiber dimensions and strength properties of pulp according to relevant TAPPI standards.

RESULT AND DISCUSSION:It was found that α-cellulose content of a pre-hydrolyzed soda pulp of blustru satisfied the requirement of SNI 14-03-1989 (> 90,5%). However, it was unsuitable for raw material of dissolving pulp due to its high content of extractives, ash, and silica, as well as the viscosity of pulp was lower than the standard requirement. Derived fiber value and pulp strength indicated that blustru fibers are suitable for papermaking.

Keywords: Dissolving pulp, Luffacylindrica, Sponge Gourd, Pre-hydrolyzed, Blustru.

1)

Student of Forest Products Department, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University

2)

(2)

Yuhana Rahayu. E24070039. Serat Blustru sebagai Bahan Baku Dissolving Pulp

dan Kertas. Dibimbing oleh Nyoman J. Wistara, Ph.D

RINGKASAN

Dissolving pulp merupakan bahan baku produk turunan selulosa yang permintaan globalnya mengalami peningkatan dalam dekade terakhir ini. Bahan baku

dissolving pulp dan kertas dapat berasal dari kapas, kayu dan bahan-bahan berlignoselulosa bukan kayu. Blustru (Luffa cylindrica) adalah bahan berlignoselulosa bukan kayu penghasil selulosa murah dan lestari yang kemungkinan berpotensial untuk dikembangkan menjadi bahan baku dissolving pulp dan produk kertas lainnya. Sabut blustru yang berumur 5 bulan dan 8 bulan diberi perlakuan prahidrolisis pada kondisi asam (pH = 5) dan netral (pH = 7) pada suhu 165 °C selama 3 jam, kemudian dimasak dengan proses soda pada kadar alkali aktif 20% selama 4 jam pada suhu 170°C dan diputihkan melalui proses ECF mengikuti urutan pemutihan DEDED. Pulp putih blustru yang dijadikan sebagai bahan baku dissolving pulp dianalisa komponen kimianya sesuai dengan SNI 14-03-1989 sedangkan pulp blustru untuk kertas, diukur dimensi serat, turunan serat, dan sifat kekuatan seratnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan α -selulosa blustru memenuhi syarat SNI 14-03-1989 ( > 90,5%) dan kurang sesuai dipergunakan sebagai bahan baku dissolving pulp karena memiliki kandungan ekstraktif, abu, silika, dan viskositas pulp yang tidak memenuhi syarat. Akan tetapi, serat blustru potensial sebagai bahan baku kertas karena memiliki sifat kekuatan dan mutu serat yang cukup baik.

(3)

PENDAHULUAN

Dissolving pulp merupakan bahan baku produk turunan selulosa (Wan Rosli et al.

2004) yang permintaan globalnya mengalami peningkatan dalam dekade terakhir ini (Gehmayr dan Sixta 2011). Bahan baku dissolving pulp dapat berasal dari kapas, kayu dan bahan-bahan berlignoselulosa bukan kayu (Ma et al. 2011).

Blustru adalah bahan berlignoselulosa bukan kayu yang kemungkinan potensial dikembangkan menjadi bahan baku dissolving pulp. Blustru terdiri dari 5 – 7 spesis, dimana hanya dua (Luffa cyclindrica dan L. acutangula) yang telah dibudidayakan (Bal et al. 2004). Blustru adalah penghasil selulosa murah dan lestari dengan nilai ekonomi yang semakin meningkat (Mazali dan Alves 2005). Komposisi kandungan kimia blustru dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh dan iklim dengan rata-rata kandungan selulosa, hemiselulosa, lignin, ekstraktif dan abu blustru masing-masing sebesar 55-90 %, 8-22 %, 10-23 %, 3,2 % dan 0,4 % (Satyanarayana et al. 2007) dengan rata-rata kerapatan berselang dari 0,82 – 0,92 g/cm3 (Tanobe et al. 2005). Bahan-bahan dengan kadar selulosa tinggi sangat sesuai untuk bahan baku dissolving pulp dan produk kertas lainnya.

Dissolving pulp dapat dibuat dengan proses soda, sulfit dan pre-hidrolized kraft (Barba et al. 2002). Dissolving pulp harus memiliki kemurnian tinggi, bebas hemiselulosa dan lignin dengan kadar abu, kadar silika dan derajat polimerisasi yang sangat terkendali (Jahan 2009). Untuk mendapatkan pulp dengan kemurnian tinggi, pulp dapat diputihkan dengan proses ramah lingkungan ECF (Hamzeh et al. 2007). Proses hidrolisis, baik hidrolisis fase uap (Kauto et al. 2007), autohidrolisis (Leschinsky et al. 2009) maupun hidrolisis dengan asam encer (Al-Dajani et al.

2009) sebelum proses pulping membantu penurunan kadar hemiselulosa, lignin dan abu (Garrote et al. 2003;Lavarack et al. 2000) yang memudahkan proses

pulping dan bleaching untuk menghasilkan pulp dengan kemurnian tinggi. Hidrolisis pada kondisi asam telah dilaporkan dapat menurunkan rendemen dan derajat putih pulp, tetapi meningkat dalam kelarutan alkali (El-Ghany 2009).

Dimensi dan nilai turunan serat seperti Runkle ratio, felting power, flexibility ratio, Muhlstep ratio dan coeficient of rigidity merupakan parameter yang sangat berguna untuk menduga kelayakan suatu bahan baku untuk kertas. Nilai turunan serat telah dipergunakan untuk mengevaluasi mutu serat kenaf sebagai bahan baku kertas (Vesveris et al. 2004). Peneliti ini menemukan bahwa serat batang kenaf memiliki

Runkle ratio dan felting power masing-masing sebesar 0,7 dan 105,9 dan menduga bahwa serat batang kenaf akan menghasilkan kertas dengan kekuatan mekanik yang baik.

(4)

Informasi kelayakan blustru sebagai bahan baku pulp dan kertas akan diperlukan dalam mencari alternatif bahan berlignoseluosa bukan kayu.

BAHAN DAN METODE

Buah blustru (Luffa cylindrica) yang berumur 5 bulan dan 8 bulan diperoleh dari Kabupaten Garut, Jawa Barat dikupas kulitnya, diambil sabutnya dan dikeringkan. Sabut blustru yang telah kering dibuat menjadi chip berukuran 3 – 7 mm menggunakan gunting.

Sebelum dilakukan pemasakan, sabut blustru yang telah menjadi chip diberi perlakuan prahidrolisis dalam kondisi asam dan netral. Prahidrolisis dilakukan pada suhu 165°C dengan L/W 12:1 selama 3 jam menggunakan larutan H2SO4

dengan pH 5, dan air demineralisasi dengan pH 7. Serpih yang telah mengalami perlakuan prahidrolisis kemudian dimasak menggunakan proses soda pada suhu 170°C, L/W 12:1 dengan AA 20 % selama 4 jam. Setelah itu, dilakukan perhitungan rendemen prahidrolisis, rendemen unbleached pulp, bleached pulp dan bilangan kappa. Rendemen prahidrolisis adalah rendeman yang diperoleh setelah sampel atau bahan baku diberi perlakuan prahidrolisis dan rendemen bleaching

dihitung berdasarkan berat kering blustru yang dimasak. Bilangan kappa pulp blustru kemudian ditentukan mengikuti metode standar TAPPI T 236 cm-85. Metode dalam standar ini sedikit dimodifikasi, yaitu dengan menggunakan KMnO4

sebanyak 25 ml.

Pulp yang dihasilkan dari proses pemasakan (unbleached pulp) diputihkan melalui proses bleaching ECF yang terdiri atas 5 tahapan yaitu D0-E1-D1-E2-D2. Pada akhir

proses (D2) dilakukan pencucian dengan menggunakan HCl 1 %. Setelah itu,

dilakukan pencucian kembali dengan menggunakan air panas sampai bebas asam. Kondisi dari proses bleaching tercantum di dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi pemutihan (bleaching) pulp

Parameter D0 E1 D1 E2 D2

(5)

Informasi kelayakan blustru sebagai bahan baku pulp dan kertas akan diperlukan dalam mencari alternatif bahan berlignoseluosa bukan kayu.

BAHAN DAN METODE

Buah blustru (Luffa cylindrica) yang berumur 5 bulan dan 8 bulan diperoleh dari Kabupaten Garut, Jawa Barat dikupas kulitnya, diambil sabutnya dan dikeringkan. Sabut blustru yang telah kering dibuat menjadi chip berukuran 3 – 7 mm menggunakan gunting.

Sebelum dilakukan pemasakan, sabut blustru yang telah menjadi chip diberi perlakuan prahidrolisis dalam kondisi asam dan netral. Prahidrolisis dilakukan pada suhu 165°C dengan L/W 12:1 selama 3 jam menggunakan larutan H2SO4

dengan pH 5, dan air demineralisasi dengan pH 7. Serpih yang telah mengalami perlakuan prahidrolisis kemudian dimasak menggunakan proses soda pada suhu 170°C, L/W 12:1 dengan AA 20 % selama 4 jam. Setelah itu, dilakukan perhitungan rendemen prahidrolisis, rendemen unbleached pulp, bleached pulp dan bilangan kappa. Rendemen prahidrolisis adalah rendeman yang diperoleh setelah sampel atau bahan baku diberi perlakuan prahidrolisis dan rendemen bleaching

dihitung berdasarkan berat kering blustru yang dimasak. Bilangan kappa pulp blustru kemudian ditentukan mengikuti metode standar TAPPI T 236 cm-85. Metode dalam standar ini sedikit dimodifikasi, yaitu dengan menggunakan KMnO4

sebanyak 25 ml.

Pulp yang dihasilkan dari proses pemasakan (unbleached pulp) diputihkan melalui proses bleaching ECF yang terdiri atas 5 tahapan yaitu D0-E1-D1-E2-D2. Pada akhir

proses (D2) dilakukan pencucian dengan menggunakan HCl 1 %. Setelah itu,

dilakukan pencucian kembali dengan menggunakan air panas sampai bebas asam. Kondisi dari proses bleaching tercantum di dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi pemutihan (bleaching) pulp

Parameter D0 E1 D1 E2 D2

(6)

Analisis komposisi kimia pulp putih (bleached pulp) dilakukan menurut spesifikasi pulp rayon biasa Indonesia (SNI 14-0938-1989) dengan parameter seperti tercantum dalam Tabel 2. Analisis mengenai kadar α-selulosa, kelarutan dalam NaOH 10% dan 18%, kadar sari, kadar abu dan silika, dan masing-masing mengacu pada standar TAPPI 236 cm-85, TAPPI T 203 88, TAPPI T 244 om-88, dan TAPPI T 211 om-85. Sedangkan analisis pengujian sifat kekuatan dan optik pulp terdiri dari kekuatan tarik, kekuatan sobek, kekuatan retak, derajat putih dan viskositas masing-masing mengacu pada standar TAPPI T 494 om-96, TAPPI T 414 om-98, TAPPI 403 om-97, SNI 14-0936-1989, dan SNI 14-4733-1989.

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan Rancangan percobaan acak lengkap (RAL) dua faktor masing-masing sebanyak dua ulangan, yaitu faktor A menunjukkan tingkat keasaman proses prahidrolisis terdiri dari taraf A. 1 kondisi asam (pH 5) dan A.2 kondisi netral (pH 7), dan faktor B terdiri dari taraf B.1 umur 5 bulan dan B.2 umur 8 bulan.

Model umum rancangan percobaan yang dilakukan adalah : Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + Eij

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan akibat pengaruh tingkat keasaman prahidrolisis pada

taraf ke-i dan umur pada taraf ke-j pada ulangan ke-k µ = Nilai tengah populasi (rata-rata sebenernya)

Ai = Pengaruh faktor tingkat keasaman prahidrolisis pada taraf ke-i

Bj = Pengaruh faktor umur pada taraf ke-j

ABij = Pengaruh interaksi antara tingkat keasaman pada taraf ke-i dan umur pada

taraf ke-j

Eij = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-i yang memperoleh kombinasi ij

Data mengenai analisis pengujian pulp rayon diolah menggunakan SAS 9.1 for windows dengan uji lanjut Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Blustru sebagai Bahan Baku Dissolving Pulp. Setelah dilakukan proses pemutihan, dilakukan analisa terhadap komposisi kimia pulp. Hasil analisis tersebut disajikan dalam Tabel 2.

Kadar α-selulosa menunjukkan tingkat kemurnian dissolving pulp dimana SNI mensyaratkan kadar α-selulosa minimal 90,5%. Nilai kadar α-selulosa blustru hasil penelitian ini tergolong tinggi, yaitu berselang dari 91,17 % - 94,74%. Umur dan

keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi kadar α-selulosa blustru. Proses prahidrolisis sebelum pulping (Wan Rosli et al. 2004) dan pulping dengan alkali aktif lebih dari 17% (Fengel dan Wegener 1984) akan menghasilkan pulp dengan

(7)

Analisis komposisi kimia pulp putih (bleached pulp) dilakukan menurut spesifikasi pulp rayon biasa Indonesia (SNI 14-0938-1989) dengan parameter seperti tercantum dalam Tabel 2. Analisis mengenai kadar α-selulosa, kelarutan dalam NaOH 10% dan 18%, kadar sari, kadar abu dan silika, dan masing-masing mengacu pada standar TAPPI 236 cm-85, TAPPI T 203 88, TAPPI T 244 om-88, dan TAPPI T 211 om-85. Sedangkan analisis pengujian sifat kekuatan dan optik pulp terdiri dari kekuatan tarik, kekuatan sobek, kekuatan retak, derajat putih dan viskositas masing-masing mengacu pada standar TAPPI T 494 om-96, TAPPI T 414 om-98, TAPPI 403 om-97, SNI 14-0936-1989, dan SNI 14-4733-1989.

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan Rancangan percobaan acak lengkap (RAL) dua faktor masing-masing sebanyak dua ulangan, yaitu faktor A menunjukkan tingkat keasaman proses prahidrolisis terdiri dari taraf A. 1 kondisi asam (pH 5) dan A.2 kondisi netral (pH 7), dan faktor B terdiri dari taraf B.1 umur 5 bulan dan B.2 umur 8 bulan.

Model umum rancangan percobaan yang dilakukan adalah : Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + Eij

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan akibat pengaruh tingkat keasaman prahidrolisis pada

taraf ke-i dan umur pada taraf ke-j pada ulangan ke-k µ = Nilai tengah populasi (rata-rata sebenernya)

Ai = Pengaruh faktor tingkat keasaman prahidrolisis pada taraf ke-i

Bj = Pengaruh faktor umur pada taraf ke-j

ABij = Pengaruh interaksi antara tingkat keasaman pada taraf ke-i dan umur pada

taraf ke-j

Eij = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-i yang memperoleh kombinasi ij

Data mengenai analisis pengujian pulp rayon diolah menggunakan SAS 9.1 for windows dengan uji lanjut Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Blustru sebagai Bahan Baku Dissolving Pulp. Setelah dilakukan proses pemutihan, dilakukan analisa terhadap komposisi kimia pulp. Hasil analisis tersebut disajikan dalam Tabel 2.

Kadar α-selulosa menunjukkan tingkat kemurnian dissolving pulp dimana SNI mensyaratkan kadar α-selulosa minimal 90,5%. Nilai kadar α-selulosa blustru hasil penelitian ini tergolong tinggi, yaitu berselang dari 91,17 % - 94,74%. Umur dan

keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi kadar α-selulosa blustru. Proses prahidrolisis sebelum pulping (Wan Rosli et al. 2004) dan pulping dengan alkali aktif lebih dari 17% (Fengel dan Wegener 1984) akan menghasilkan pulp dengan

(8)

Tabel 2. Komposisi kimia pulp blustru pada berbagai tingkat umur dan keasaman

Kelarutan pulp dalam NaOH 10 % menunjukkan kadar hemiselulosa dan selulosa terdegradasi (rantai pendek), sedangkan kelarutan pulp dalam NaOH 18 % menunjukkan kadar hemiselulosa pulp. Hemiselulosa tidak dikehendaki di dalam

dissolving pulp dan produk-produk turunan selulosa lainnya. Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar pulp memiliki nilai kelarutan dalam NaOH 10% lebih tinggi dari persyaratan SNI (maksimal 10%) dan semua pulp memiliki nilai kelarutan dalam NaOH 18% yang lebih tinggi dari persayaratan SNI (maksimal 6,5%). Umur dan keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi kelarutan dalam NaOH 10% dan 18% (tingkat α= 95%). Kadar hemiselulosa yang tinggi di dalam dissolving pulp

mengganggu proses pembuatan viskosa (Gehmayer dan Sixta 2011) dan menyebabkan kerapuhan benang rayon (Pari et al. 2005).

Kadar silika pulp blustru berumur 5 bulan lebih rendah dari kadar silika pulp blustru berumur 8 bulan (tingkat α= 95%) kecuali pulp yang diperoleh melalui prahidrolisis netral untuk blustru umur 8 bulan (PNU8), yaitu 85 ppm. Semua pulp memiliki kadar silika lebih rendah dari 50 ppm dan sesuai dengan standar SNI 14-03-1989. Umur dan keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi kadar abu pulp yang diperoleh (tingkat α = 95%). Kadar abu pulp blustru umur 5 bulan dalam kondisi prahidrolisis asam (0,12%) memenuhi standar SNI 14-03-1989.

Kadar abu dan silika yang tinggi dapat menyebabkan turunnya kekuatan pulp karena dapat mengganggu terjadinya ikatan hidrogen antar serat dengan konsekuensi menurunnya kekuatan pulp (Wirawan et al. 2010). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa PAU5, PNU5, dan PAU8 memiliki kadar silika yang sama, sedangkan PNU8 memiliki kadar silika lebih tinggi dari tiga perlakuan lainnya.

(9)

noda coklat pada pulp dan menyulitkan proses pemintalan dan penyaringan benang rayon.

Derajat putih menyatakan banyaknya sinar yang dipantulkan kembali oleh suatu bahan relatif terhadap bahan standar (titanium oksida) yang dinyatakan dalam % ISO atau °GE. Nilai derajat putih pulp putih blustru hasil penelitian ini berkisar dari 90% - 91%. Umur blustru dan keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi derajat putih pulp (tingkat α = 95%) dan memenuhi standar SNI 14-03-1989. Derajat putih pulp kemungkinan dapat ditingkatkan dengan menambahkan tahap pemutihan peroksida (P) yang berfungsi mengubah gugus kromofor menjadi gugus tidak berwarna (Fengel dan Wegener 1984).

Viskositas pulp mengindikasikan derajat polimerisasi selulosa dan tingkat degradasinya. Degradasi selulosa dapat menurunkan viskositas (Joutsimo 2004) dan kekuatan pulp (Wathen et al. 2005). Data di dalam Tabel 2, menunjukkan bahwa viskositas pulp berkorelasi positif dengan kadar selulosa. Seperti temuan Jahan et al. (2008), dalam penelitian ini ditemukan bahwa derajat putih berkorelasi negatif terhadap viskositas pulp. Viskositas pulp blustru yang diperoleh berkisar dari 4,75 mPa.S sampai dengan 5,35 mPa.S dan tidak memenuhi standar SNI 14-03-1989 (minimal 18 mPa.S). Umur dan tingkat keasaman prahidrolisis

memberikan pengaruh yang berbeda terhadap viskositas yang diperoleh (α = 95%).

Menurunnya viskositas pulp dapat disebabkan oleh kerusakan kristalinitas selulosa akibat proses hidrolisis (Xu et al. 2006). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa PAU8, PAU5, dan PNU5 memiliki viskositas yang sama, sedangkan PNU8 memiliki viskositas yang lebih tinggi.

Rendemen dan Bilangan Kappa. Rendemen prahidrolisis, unbleached pulp,

bleached pulp dan bilangan kappa yang diperoleh disajikan dalam Tabel 3.

Rendemen prahidrolisis yang diperoleh berkisar dari 53,75% - 65,36%. Umur dan keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi rendemen prahidrolisis dan

unbleached pulp yang diperoleh (tingkat α = 95%).

Rendemen pulp putih blustru umur 8 bulan lebih tinggi dari rendemen pulp putih

umur 5 bulan (tingkat α = 95%). Rendemen pulp putih blustru yang diperoleh tergolong rendah, yaitu berselang dari 41,13% - 49,63%. Uji lanjut Duncan

(tingkat α = 95%) menunjukkan bahwa PAU5 dan PNU5 memiliki rendemen

bleached pulp yang sama, sedangkan PNU8 dan PAU8 memiliki rendemen

bleached pulp yang lebih tinggi dari pulp perlakuan lainnya.

(10)

Tabel 3. Bilangan kappa dan rendemen prahidrolisis, unbleacheddan bleached

pulp blustru (Luffa cylindrica) pada berbagai tingkat umur dan keasaman prahidrolisis

Sampel Rendemen (yield), % Bilangan

Kappa Prahidrolisis Unbleached pulp Bleached pulp

PNU5 57,48 43,12 41,13 11,1

Potensi Blustru sebagai Bahan Baku Kertas. Tabel 4 menunjukkan klasifikasi kualitas serat blustru menurut klasifikasi serat sebagai bahan baku pulp dan kertas menurut LPHH (1976).

Tabel 4. Klasifikasi kualitas dan kelas serat blustru sebagai bahan baku pulp dan kertas

Keasaman prahidrolisis (pH=5) mempengaruhi panjang serat, diameter serat, dan diameter lumen serat blustru (tingkat α = 95%) yang dihasilkan. Tabel 4 menunjukkan bahwa serat blustru hasil penelitian ini lebih panjang dari panjang serat blustru Kostarika (1,31 mm) hasil penelitian Rojas (2007) dan diameternya lebih kecil dari diameter serat blustru brazil (233 µ m) hasil penelitian Guimaraes et al (2009). Sampai panjang serat tertentu, peningkatan panjang serat akan meningkatkan kekuatan retak pulp.

(11)

Runkle ratio-nya, serat hasil perlakuan PAU8 secara teoritis akan memberikan pulp dengan kekuatan tarik dan retak yang relatif lebih tinggi.

Felting power sangat mempengaruhi kekuatan lembaran pulp terutama kekuatan sobek. Felting power pulp blustru hasil penelitian ini berkisar dari 57,63 – 68,61, tergolong kelas kualitas II. Meskipun tergolong ke dalam kelas yang sama, nilainya lebih tinggi dari felting power serat acacia mangium provenan Papua New Guinea, Queensland, dan Indonesia timur hasil penelitian Syafii dan Siregar (2006). Felting power berkolerasi positif terhadap kekuatan sobek pulp dan kertas. Umur blustru dan keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi felting power serat blustru yang diperoleh (tingkat α = 95%).

Muhlstep ratio berkorelasi positif terhadap kerapatan lembaran pulp. Peningkatan

Muhlstep ratio akan meningkatkan sifat kekuatan pulp yang bergantung pada ikatan antar serat (kerapatan pulp) seperti kekuatan tarik, lipat, dan retak. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa peningkatan keasaman hirolisis (pH=7) akan menurunkan nilai Muhlstep ratio (tingkat α = 95%). Nilai Muhlstep ratio serat blustru hasil penelitian ini berkisar dari 47,88% - 56,09% sehingga tergolong ke dalam kelas kualitas II, setara dengan Muhlstep ratio serat kayu mangium dari tiga provenan hasil penelitian Syafii dan Siregar (2006).

Nilai Coeffisient of rigidity serat blustru berkisar dari 0,66 – 0,72, tergolong kelas kualitas III. Pada tingkat α = 95%, hidrolisis pada kondisi asam menyebabkan serat lebih kaku (coefisien of rigidity meningkat). Serat yang kaku akan memiliki tingkat formasi yang rendah didalam lembaran kertas dan menyebabkan kekuatan kertas yang bergantung pada ikatan antar serat akan menurun.

Flexibility ratio serat pulp blustru hasil penelitian ini berkisar dari 0,22 – 0,34 tergolong kelas kualitas III. Hasil uji lanjut Duncan (α = 95%) menunjukkan bahwa pulp perlakuan PNU8 memiliki nilai flexibility ratio yang lebih tinggi dari pulp perlakuan lainnya. Serat dengan flexibility ratio yang tinggi akan menghasilkan kekuatan lembaran pulp yang baik.

Scoring nilai turunan serat blustru (Tabel 4) menunjukkan bahwa serat pulp blustru tergolong ke dalam kelas kualitas II. Menurut LPHH (1976), serat seperti ini akan menghasilkan keteguhan lembaran kertas dengan keteguhan sobek, pecah, dan tarik yang sedang. Uji lanjut Duncan (tingkat α = 95%) menunjukkan bahwa

kecuali untuk tebal dinding sel dan felting power, semua nilai dimensi dan turunan serat secara nyata dipengaruhi oleh keasaman proses hidrolisis. Semakin asam hidrolisis yang diberikan maka semakin tinggi nilai dimensi dan turunan serat blustru.

(12)

hidrolisis pada kondisi asam terhadap blustru berumur 5 bulan (PAU5) menghasilkan pulp dengan kekuatan tarik yang lebih tinggi dari pulp hasil perlakuan lainnya.

Tabel 5. Sifat kekuatan lembaran pulp blustru pada berbagai tingkat umur dan keasaman prahidrolisis

P= prahidrolisis, N = netral, A= asam U5= umur 5 bulan, dan U8= umur 8 bulan

Meskipun score mutu serat dari pulp PAU5 tidak dapat menjelaskan kenapa kekuatan tarik pulp-nya relatif lebih tinggi dari kekuatan pulp tarik pulp hasil perlakuan lainnya, tetapi Minor dan Atalla (1992) menyatakan bahwa perubahan karakter komponen selulosa dan hemiselulosa dapat berperan meningkatkan mutu ikatan antar serat. Kekuatan retak hanya dipengaruhi oleh umur. Kekuatan retak dipengaruhi oleh faktor yang sama dengan indeks tarik. Kekuatan sobek umumnya memang berbanding terbalik dengan kekuatan tarik. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 5, dimana pulp PAU5 yang memiliki kekuatan tarik dan retak tertinggi memiliki kekuatan sobek terendah.

KESIMPULAN

Umur blustru dan keasaman prahidrolisis berpengaruh terhadap kadar silika, viskositas, rendemen, dan kekuatan retak pulp. Nilai dimensi dan turunan serat hanya dipengaruhi oleh keasaman prahidrolisis. Meskipun kadar α-selulosanya tinggi, menurut SNI 14-03-1989, serat blustru kurang sesuai dipergunakan sebagai bahan baku dissolving pulp karena memiliki kandungan ekstraktif, abu, silika, dan viskositas pulp yang tidak memenuhi syarat. Tetapi serat blustru potensial sebagai bahan baku kertas karena memiliki sifat kekuatan dan mutu serat yang cukup baik.

(13)

hidrolisis pada kondisi asam terhadap blustru berumur 5 bulan (PAU5) menghasilkan pulp dengan kekuatan tarik yang lebih tinggi dari pulp hasil perlakuan lainnya.

Tabel 5. Sifat kekuatan lembaran pulp blustru pada berbagai tingkat umur dan keasaman prahidrolisis

P= prahidrolisis, N = netral, A= asam U5= umur 5 bulan, dan U8= umur 8 bulan

Meskipun score mutu serat dari pulp PAU5 tidak dapat menjelaskan kenapa kekuatan tarik pulp-nya relatif lebih tinggi dari kekuatan pulp tarik pulp hasil perlakuan lainnya, tetapi Minor dan Atalla (1992) menyatakan bahwa perubahan karakter komponen selulosa dan hemiselulosa dapat berperan meningkatkan mutu ikatan antar serat. Kekuatan retak hanya dipengaruhi oleh umur. Kekuatan retak dipengaruhi oleh faktor yang sama dengan indeks tarik. Kekuatan sobek umumnya memang berbanding terbalik dengan kekuatan tarik. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 5, dimana pulp PAU5 yang memiliki kekuatan tarik dan retak tertinggi memiliki kekuatan sobek terendah.

KESIMPULAN

Umur blustru dan keasaman prahidrolisis berpengaruh terhadap kadar silika, viskositas, rendemen, dan kekuatan retak pulp. Nilai dimensi dan turunan serat hanya dipengaruhi oleh keasaman prahidrolisis. Meskipun kadar α-selulosanya tinggi, menurut SNI 14-03-1989, serat blustru kurang sesuai dipergunakan sebagai bahan baku dissolving pulp karena memiliki kandungan ekstraktif, abu, silika, dan viskositas pulp yang tidak memenuhi syarat. Tetapi serat blustru potensial sebagai bahan baku kertas karena memiliki sifat kekuatan dan mutu serat yang cukup baik.

(14)

SERAT BLUSTRU SEBAGAI BAHAN BAKU

DISSOLVING

PULP

DAN KERTAS

YUHANA RAHAYU

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

Mazali IO, Alves OL. 2005. Morphosynthesis: High Fidelity Inorganic Replica of the Fibrous Network of Loofa Sponge (Luffa cylindrica). Anais da Academia Brasileira de Ciências 77(1) : 25-31.

Minor JL, Atalla, RH. 1992. Strength Loss in Recyled Fibers and Methodeof Restoration. Material Research Society 266 : 215 - 258.

Pari G, Roliadi H, Setiawan D, Saepulloh. 2005. Chemical Component of Ten Planted Wood Species Originiated from West Java. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor (4) : 11-15.

Rachman AN, Rena MS. 1976. Dimensi Serat Jenis Kayu Indonesia Bagian III. Bogor : Laporan LPHH no. 75.

Rojas M. 2007. Pasta Hidrotermica y Termoquimica a la Soda Obtenida a Partir de Residuos de Paste (Luffa cylindrica). Ingenieria 17 (1) : 77 - 84.

Satyanarayana KG, Guilmaraes JL, Wypych F. 2007. Studies on Lignocellulosic Fibers of Brazil. Part I: Source, Production, Morphology, Properties and Applications. Composite: Part A 38 (7) : 1694 - 1709.

Syafii W, Iskandar ZS. 2006. Chemical Properties and Fiber Dimension of Acacia mangium Willd. from Three Provenances. Jurnal Tropical Wood Science and Technology 4(1) : 28 - 32.

Tanobe VOA, Sydenstricker THD, Munaro M, Amico SC. 2005. A Comprehensive Characterization of Chemically Treated Brazilian Sponge-Gourd (Luffa cylindrica). Polym. Test. 24(4) : 474 - 482.

Ververis C, Georghiou K, Christodoulakis N, Santas P, Santas R. 2004. Fiber Dimension, Lignin and Cellulose Content of Various Plant Materials and Their Suitability for Paper Production. Ind. Crops Prod. (19) : 245-254. Wan Rosli WD, Leh CP, Zainuddin Z. 2004. Effects of Prehidrolysis on the

Production of Dissolving pulp from Empty Fruit Bunches. Journal of Tropical Forest Science 16 : 343-349.

Wathen R, Joutsimo O, Tamminen T. 2005. Effect of Different Degradation Mechanism on Axial and Z-directional Fiber Strength. In: Proc, Of the 13th Fundamental Res. Sy.,, Cambridge, September 2005. 631-647.

Wirawan KS, Rismijana J, Cucu, Asid DS. 2010. Bleached Ramie Pulp for Paper Making Raw Material. Berita Selulosa 45(2) : 57-63.

(16)

SERAT BLUSTRU SEBAGAI BAHAN BAKU

DISSOLVING

PULP

DAN KERTAS

YUHANA RAHAYU

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(17)

SERAT BLUSTRU SEBAGAI BAHAN BAKU

DISSOLVING

PULP

DAN KERTAS

YUHANA RAHAYU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)

ABSTRACT

Sponge Gourd Fibers for Dissolving Pulp and Paper Raw Material

By

1)

Yuhana Rahayu, 2)Nyoman J. Wistara

INTRODUCTION:Sponge Gourd or Blustru (Luffa cylindrica L. Roem) is a tropical plant with fast growing characteristic and can be easily planted. Its fruit bears a thick web of fibers with relatively high content of cellulose. Therefore, it can be a potential lignocellulosic raw material for dissolving pulp and paper, and evaluation on its fiber and pulping properties is paramount.

MATERIAL AND METHODS:In the present works, the fiber web of blustru of 5 and 8 months old were converted into pulp by pre-hydrolyzed soda pulping process. Hydrolysis was carried out either in acidic (pH = 5) or neutral (pH = 7) media at 165 ° C for 3 hours. Successively, soda pulping was carried out with active alkali of 20% at 170 °C for 4 hours and L/W of 12:1. The resulting pulp was then bleached by an ECF bleaching method following DEDED sequences. Dissolving pulp quality was compared to the requirement of SNI 14-03-1989. Evaluation of pulp also involved the measurement of fiber dimensions and strength properties of pulp according to relevant TAPPI standards.

RESULT AND DISCUSSION:It was found that α-cellulose content of a pre-hydrolyzed soda pulp of blustru satisfied the requirement of SNI 14-03-1989 (> 90,5%). However, it was unsuitable for raw material of dissolving pulp due to its high content of extractives, ash, and silica, as well as the viscosity of pulp was lower than the standard requirement. Derived fiber value and pulp strength indicated that blustru fibers are suitable for papermaking.

Keywords: Dissolving pulp, Luffacylindrica, Sponge Gourd, Pre-hydrolyzed, Blustru.

1)

Student of Forest Products Department, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University

2)

(19)

Yuhana Rahayu. E24070039. Serat Blustru sebagai Bahan Baku Dissolving Pulp

dan Kertas. Dibimbing oleh Nyoman J. Wistara, Ph.D

RINGKASAN

Dissolving pulp merupakan bahan baku produk turunan selulosa yang permintaan globalnya mengalami peningkatan dalam dekade terakhir ini. Bahan baku

dissolving pulp dan kertas dapat berasal dari kapas, kayu dan bahan-bahan berlignoselulosa bukan kayu. Blustru (Luffa cylindrica) adalah bahan berlignoselulosa bukan kayu penghasil selulosa murah dan lestari yang kemungkinan berpotensial untuk dikembangkan menjadi bahan baku dissolving pulp dan produk kertas lainnya. Sabut blustru yang berumur 5 bulan dan 8 bulan diberi perlakuan prahidrolisis pada kondisi asam (pH = 5) dan netral (pH = 7) pada suhu 165 °C selama 3 jam, kemudian dimasak dengan proses soda pada kadar alkali aktif 20% selama 4 jam pada suhu 170°C dan diputihkan melalui proses ECF mengikuti urutan pemutihan DEDED. Pulp putih blustru yang dijadikan sebagai bahan baku dissolving pulp dianalisa komponen kimianya sesuai dengan SNI 14-03-1989 sedangkan pulp blustru untuk kertas, diukur dimensi serat, turunan serat, dan sifat kekuatan seratnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan α -selulosa blustru memenuhi syarat SNI 14-03-1989 ( > 90,5%) dan kurang sesuai dipergunakan sebagai bahan baku dissolving pulp karena memiliki kandungan ekstraktif, abu, silika, dan viskositas pulp yang tidak memenuhi syarat. Akan tetapi, serat blustru potensial sebagai bahan baku kertas karena memiliki sifat kekuatan dan mutu serat yang cukup baik.

(20)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Serat Blustru sebagai Bahan Baku Dissolving Pulp dan Kertas Nama : Yuhana Rahayu

NRP : E24070039

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Nyoman J. Wistara, Ph.D NIP. 19631231 198903 1 027

Mengetahui,

Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, IPB

(21)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Serat Blustru sebagai Bahan Baku Dissolving Pulp dan Kertas adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2012

(22)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Serat Blustru sebagai Bahan Baku Dissolving Pulp dan Kertas”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB.

Penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini terutama kepada Bapak Nyoman J. Wistara, Ph.D selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan penuh keikhlasan telah memberikan bimbingan dan arahannya selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

(23)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 09 Desember 1989. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara keluarga M. Sutirman dan Imas Maskanah.

Pendidikan formal penulis dimulai dengan memasuki Sekolah Dasar Negeri Ngamplang II pada tahun 1995 dan lulus tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 3 Tarogong Kidul dan lulus tahun 2004, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tarogong Kidul dan lulus tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Departemen Hasil Hutan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.

Selama menjalani pendidikan di Fakultas Kehutanan, penulis pernah aktif sebagai anggota Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan dan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan pada tahun 2009. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia Kayu dan atlet dalam berbagai kejuaraan, Seperti OMI IPB, FORESTER CUP, dan DIES NATALIS IPB pada tahun 2010.

Penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekowisata Hutan (P2EH) di BKPH Kamojang - Sancang Barat dan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). Selain itu, penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Pindo Deli Pulp and Paper Mills pada tahun 2011.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul

(24)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... iii

RINGKASAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

PERNYATAAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTARTABEL ... x

PENDAHULUAN ... 1

BAHAN DAN METODE ... 2

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 3

Potensi Blustru sebagai Bahan Baku Dissolving pulp ... 3

Rendemen dan Bilangan Kappa ... 5

Potensi Blustru sebagai Bahan Baku Kertas ... 6

Sifat Kekuatan Pulp ... 7

KESIMPULAN ... 8

(25)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kondisi pemutihan (bleaching) pulp ... 2 2. Komposisi kimia pulp blustru pada berbagai tingkat umur dan keasaman

prahidrolisis ... 4 3. Bilangan kappa dan rendemen prahidrolisis, unbleached dan bleached pulp

blustru pada berbagai tingkat umur dan keasaman prahidrolisis ... 6 4. Klasifikasi kualitas dan kelas serat kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas. 6 5. Sifat kekuatan lembaran pulp blustru pada berbagai tingkat umur dan keasaman

(26)

PENDAHULUAN

Dissolving pulp merupakan bahan baku produk turunan selulosa (Wan Rosli et al.

2004) yang permintaan globalnya mengalami peningkatan dalam dekade terakhir ini (Gehmayr dan Sixta 2011). Bahan baku dissolving pulp dapat berasal dari kapas, kayu dan bahan-bahan berlignoselulosa bukan kayu (Ma et al. 2011).

Blustru adalah bahan berlignoselulosa bukan kayu yang kemungkinan potensial dikembangkan menjadi bahan baku dissolving pulp. Blustru terdiri dari 5 – 7 spesis, dimana hanya dua (Luffa cyclindrica dan L. acutangula) yang telah dibudidayakan (Bal et al. 2004). Blustru adalah penghasil selulosa murah dan lestari dengan nilai ekonomi yang semakin meningkat (Mazali dan Alves 2005). Komposisi kandungan kimia blustru dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh dan iklim dengan rata-rata kandungan selulosa, hemiselulosa, lignin, ekstraktif dan abu blustru masing-masing sebesar 55-90 %, 8-22 %, 10-23 %, 3,2 % dan 0,4 % (Satyanarayana et al. 2007) dengan rata-rata kerapatan berselang dari 0,82 – 0,92 g/cm3 (Tanobe et al. 2005). Bahan-bahan dengan kadar selulosa tinggi sangat sesuai untuk bahan baku dissolving pulp dan produk kertas lainnya.

Dissolving pulp dapat dibuat dengan proses soda, sulfit dan pre-hidrolized kraft (Barba et al. 2002). Dissolving pulp harus memiliki kemurnian tinggi, bebas hemiselulosa dan lignin dengan kadar abu, kadar silika dan derajat polimerisasi yang sangat terkendali (Jahan 2009). Untuk mendapatkan pulp dengan kemurnian tinggi, pulp dapat diputihkan dengan proses ramah lingkungan ECF (Hamzeh et al. 2007). Proses hidrolisis, baik hidrolisis fase uap (Kauto et al. 2007), autohidrolisis (Leschinsky et al. 2009) maupun hidrolisis dengan asam encer (Al-Dajani et al.

2009) sebelum proses pulping membantu penurunan kadar hemiselulosa, lignin dan abu (Garrote et al. 2003;Lavarack et al. 2000) yang memudahkan proses

pulping dan bleaching untuk menghasilkan pulp dengan kemurnian tinggi. Hidrolisis pada kondisi asam telah dilaporkan dapat menurunkan rendemen dan derajat putih pulp, tetapi meningkat dalam kelarutan alkali (El-Ghany 2009).

Dimensi dan nilai turunan serat seperti Runkle ratio, felting power, flexibility ratio, Muhlstep ratio dan coeficient of rigidity merupakan parameter yang sangat berguna untuk menduga kelayakan suatu bahan baku untuk kertas. Nilai turunan serat telah dipergunakan untuk mengevaluasi mutu serat kenaf sebagai bahan baku kertas (Vesveris et al. 2004). Peneliti ini menemukan bahwa serat batang kenaf memiliki

Runkle ratio dan felting power masing-masing sebesar 0,7 dan 105,9 dan menduga bahwa serat batang kenaf akan menghasilkan kertas dengan kekuatan mekanik yang baik.

(27)

Informasi kelayakan blustru sebagai bahan baku pulp dan kertas akan diperlukan dalam mencari alternatif bahan berlignoseluosa bukan kayu.

BAHAN DAN METODE

Buah blustru (Luffa cylindrica) yang berumur 5 bulan dan 8 bulan diperoleh dari Kabupaten Garut, Jawa Barat dikupas kulitnya, diambil sabutnya dan dikeringkan. Sabut blustru yang telah kering dibuat menjadi chip berukuran 3 – 7 mm menggunakan gunting.

Sebelum dilakukan pemasakan, sabut blustru yang telah menjadi chip diberi perlakuan prahidrolisis dalam kondisi asam dan netral. Prahidrolisis dilakukan pada suhu 165°C dengan L/W 12:1 selama 3 jam menggunakan larutan H2SO4

dengan pH 5, dan air demineralisasi dengan pH 7. Serpih yang telah mengalami perlakuan prahidrolisis kemudian dimasak menggunakan proses soda pada suhu 170°C, L/W 12:1 dengan AA 20 % selama 4 jam. Setelah itu, dilakukan perhitungan rendemen prahidrolisis, rendemen unbleached pulp, bleached pulp dan bilangan kappa. Rendemen prahidrolisis adalah rendeman yang diperoleh setelah sampel atau bahan baku diberi perlakuan prahidrolisis dan rendemen bleaching

dihitung berdasarkan berat kering blustru yang dimasak. Bilangan kappa pulp blustru kemudian ditentukan mengikuti metode standar TAPPI T 236 cm-85. Metode dalam standar ini sedikit dimodifikasi, yaitu dengan menggunakan KMnO4

sebanyak 25 ml.

Pulp yang dihasilkan dari proses pemasakan (unbleached pulp) diputihkan melalui proses bleaching ECF yang terdiri atas 5 tahapan yaitu D0-E1-D1-E2-D2. Pada akhir

proses (D2) dilakukan pencucian dengan menggunakan HCl 1 %. Setelah itu,

dilakukan pencucian kembali dengan menggunakan air panas sampai bebas asam. Kondisi dari proses bleaching tercantum di dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi pemutihan (bleaching) pulp

Parameter D0 E1 D1 E2 D2

(28)

Analisis komposisi kimia pulp putih (bleached pulp) dilakukan menurut spesifikasi pulp rayon biasa Indonesia (SNI 14-0938-1989) dengan parameter seperti tercantum dalam Tabel 2. Analisis mengenai kadar α-selulosa, kelarutan dalam NaOH 10% dan 18%, kadar sari, kadar abu dan silika, dan masing-masing mengacu pada standar TAPPI 236 cm-85, TAPPI T 203 88, TAPPI T 244 om-88, dan TAPPI T 211 om-85. Sedangkan analisis pengujian sifat kekuatan dan optik pulp terdiri dari kekuatan tarik, kekuatan sobek, kekuatan retak, derajat putih dan viskositas masing-masing mengacu pada standar TAPPI T 494 om-96, TAPPI T 414 om-98, TAPPI 403 om-97, SNI 14-0936-1989, dan SNI 14-4733-1989.

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan Rancangan percobaan acak lengkap (RAL) dua faktor masing-masing sebanyak dua ulangan, yaitu faktor A menunjukkan tingkat keasaman proses prahidrolisis terdiri dari taraf A. 1 kondisi asam (pH 5) dan A.2 kondisi netral (pH 7), dan faktor B terdiri dari taraf B.1 umur 5 bulan dan B.2 umur 8 bulan.

Model umum rancangan percobaan yang dilakukan adalah : Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + Eij

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan akibat pengaruh tingkat keasaman prahidrolisis pada

taraf ke-i dan umur pada taraf ke-j pada ulangan ke-k µ = Nilai tengah populasi (rata-rata sebenernya)

Ai = Pengaruh faktor tingkat keasaman prahidrolisis pada taraf ke-i

Bj = Pengaruh faktor umur pada taraf ke-j

ABij = Pengaruh interaksi antara tingkat keasaman pada taraf ke-i dan umur pada

taraf ke-j

Eij = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-i yang memperoleh kombinasi ij

Data mengenai analisis pengujian pulp rayon diolah menggunakan SAS 9.1 for windows dengan uji lanjut Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Blustru sebagai Bahan Baku Dissolving Pulp. Setelah dilakukan proses pemutihan, dilakukan analisa terhadap komposisi kimia pulp. Hasil analisis tersebut disajikan dalam Tabel 2.

Kadar α-selulosa menunjukkan tingkat kemurnian dissolving pulp dimana SNI mensyaratkan kadar α-selulosa minimal 90,5%. Nilai kadar α-selulosa blustru hasil penelitian ini tergolong tinggi, yaitu berselang dari 91,17 % - 94,74%. Umur dan

keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi kadar α-selulosa blustru. Proses prahidrolisis sebelum pulping (Wan Rosli et al. 2004) dan pulping dengan alkali aktif lebih dari 17% (Fengel dan Wegener 1984) akan menghasilkan pulp dengan

(29)

Tabel 2. Komposisi kimia pulp blustru pada berbagai tingkat umur dan keasaman

Kelarutan pulp dalam NaOH 10 % menunjukkan kadar hemiselulosa dan selulosa terdegradasi (rantai pendek), sedangkan kelarutan pulp dalam NaOH 18 % menunjukkan kadar hemiselulosa pulp. Hemiselulosa tidak dikehendaki di dalam

dissolving pulp dan produk-produk turunan selulosa lainnya. Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar pulp memiliki nilai kelarutan dalam NaOH 10% lebih tinggi dari persyaratan SNI (maksimal 10%) dan semua pulp memiliki nilai kelarutan dalam NaOH 18% yang lebih tinggi dari persayaratan SNI (maksimal 6,5%). Umur dan keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi kelarutan dalam NaOH 10% dan 18% (tingkat α= 95%). Kadar hemiselulosa yang tinggi di dalam dissolving pulp

mengganggu proses pembuatan viskosa (Gehmayer dan Sixta 2011) dan menyebabkan kerapuhan benang rayon (Pari et al. 2005).

Kadar silika pulp blustru berumur 5 bulan lebih rendah dari kadar silika pulp blustru berumur 8 bulan (tingkat α= 95%) kecuali pulp yang diperoleh melalui prahidrolisis netral untuk blustru umur 8 bulan (PNU8), yaitu 85 ppm. Semua pulp memiliki kadar silika lebih rendah dari 50 ppm dan sesuai dengan standar SNI 14-03-1989. Umur dan keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi kadar abu pulp yang diperoleh (tingkat α = 95%). Kadar abu pulp blustru umur 5 bulan dalam kondisi prahidrolisis asam (0,12%) memenuhi standar SNI 14-03-1989.

Kadar abu dan silika yang tinggi dapat menyebabkan turunnya kekuatan pulp karena dapat mengganggu terjadinya ikatan hidrogen antar serat dengan konsekuensi menurunnya kekuatan pulp (Wirawan et al. 2010). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa PAU5, PNU5, dan PAU8 memiliki kadar silika yang sama, sedangkan PNU8 memiliki kadar silika lebih tinggi dari tiga perlakuan lainnya.

(30)

noda coklat pada pulp dan menyulitkan proses pemintalan dan penyaringan benang rayon.

Derajat putih menyatakan banyaknya sinar yang dipantulkan kembali oleh suatu bahan relatif terhadap bahan standar (titanium oksida) yang dinyatakan dalam % ISO atau °GE. Nilai derajat putih pulp putih blustru hasil penelitian ini berkisar dari 90% - 91%. Umur blustru dan keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi derajat putih pulp (tingkat α = 95%) dan memenuhi standar SNI 14-03-1989. Derajat putih pulp kemungkinan dapat ditingkatkan dengan menambahkan tahap pemutihan peroksida (P) yang berfungsi mengubah gugus kromofor menjadi gugus tidak berwarna (Fengel dan Wegener 1984).

Viskositas pulp mengindikasikan derajat polimerisasi selulosa dan tingkat degradasinya. Degradasi selulosa dapat menurunkan viskositas (Joutsimo 2004) dan kekuatan pulp (Wathen et al. 2005). Data di dalam Tabel 2, menunjukkan bahwa viskositas pulp berkorelasi positif dengan kadar selulosa. Seperti temuan Jahan et al. (2008), dalam penelitian ini ditemukan bahwa derajat putih berkorelasi negatif terhadap viskositas pulp. Viskositas pulp blustru yang diperoleh berkisar dari 4,75 mPa.S sampai dengan 5,35 mPa.S dan tidak memenuhi standar SNI 14-03-1989 (minimal 18 mPa.S). Umur dan tingkat keasaman prahidrolisis

memberikan pengaruh yang berbeda terhadap viskositas yang diperoleh (α = 95%).

Menurunnya viskositas pulp dapat disebabkan oleh kerusakan kristalinitas selulosa akibat proses hidrolisis (Xu et al. 2006). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa PAU8, PAU5, dan PNU5 memiliki viskositas yang sama, sedangkan PNU8 memiliki viskositas yang lebih tinggi.

Rendemen dan Bilangan Kappa. Rendemen prahidrolisis, unbleached pulp,

bleached pulp dan bilangan kappa yang diperoleh disajikan dalam Tabel 3.

Rendemen prahidrolisis yang diperoleh berkisar dari 53,75% - 65,36%. Umur dan keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi rendemen prahidrolisis dan

unbleached pulp yang diperoleh (tingkat α = 95%).

Rendemen pulp putih blustru umur 8 bulan lebih tinggi dari rendemen pulp putih

umur 5 bulan (tingkat α = 95%). Rendemen pulp putih blustru yang diperoleh tergolong rendah, yaitu berselang dari 41,13% - 49,63%. Uji lanjut Duncan

(tingkat α = 95%) menunjukkan bahwa PAU5 dan PNU5 memiliki rendemen

bleached pulp yang sama, sedangkan PNU8 dan PAU8 memiliki rendemen

bleached pulp yang lebih tinggi dari pulp perlakuan lainnya.

(31)

Tabel 3. Bilangan kappa dan rendemen prahidrolisis, unbleacheddan bleached

pulp blustru (Luffa cylindrica) pada berbagai tingkat umur dan keasaman prahidrolisis

Sampel Rendemen (yield), % Bilangan

Kappa Prahidrolisis Unbleached pulp Bleached pulp

PNU5 57,48 43,12 41,13 11,1

Potensi Blustru sebagai Bahan Baku Kertas. Tabel 4 menunjukkan klasifikasi kualitas serat blustru menurut klasifikasi serat sebagai bahan baku pulp dan kertas menurut LPHH (1976).

Tabel 4. Klasifikasi kualitas dan kelas serat blustru sebagai bahan baku pulp dan kertas

Keasaman prahidrolisis (pH=5) mempengaruhi panjang serat, diameter serat, dan diameter lumen serat blustru (tingkat α = 95%) yang dihasilkan. Tabel 4 menunjukkan bahwa serat blustru hasil penelitian ini lebih panjang dari panjang serat blustru Kostarika (1,31 mm) hasil penelitian Rojas (2007) dan diameternya lebih kecil dari diameter serat blustru brazil (233 µ m) hasil penelitian Guimaraes et al (2009). Sampai panjang serat tertentu, peningkatan panjang serat akan meningkatkan kekuatan retak pulp.

(32)

Runkle ratio-nya, serat hasil perlakuan PAU8 secara teoritis akan memberikan pulp dengan kekuatan tarik dan retak yang relatif lebih tinggi.

Felting power sangat mempengaruhi kekuatan lembaran pulp terutama kekuatan sobek. Felting power pulp blustru hasil penelitian ini berkisar dari 57,63 – 68,61, tergolong kelas kualitas II. Meskipun tergolong ke dalam kelas yang sama, nilainya lebih tinggi dari felting power serat acacia mangium provenan Papua New Guinea, Queensland, dan Indonesia timur hasil penelitian Syafii dan Siregar (2006). Felting power berkolerasi positif terhadap kekuatan sobek pulp dan kertas. Umur blustru dan keasaman prahidrolisis tidak mempengaruhi felting power serat blustru yang diperoleh (tingkat α = 95%).

Muhlstep ratio berkorelasi positif terhadap kerapatan lembaran pulp. Peningkatan

Muhlstep ratio akan meningkatkan sifat kekuatan pulp yang bergantung pada ikatan antar serat (kerapatan pulp) seperti kekuatan tarik, lipat, dan retak. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa peningkatan keasaman hirolisis (pH=7) akan menurunkan nilai Muhlstep ratio (tingkat α = 95%). Nilai Muhlstep ratio serat blustru hasil penelitian ini berkisar dari 47,88% - 56,09% sehingga tergolong ke dalam kelas kualitas II, setara dengan Muhlstep ratio serat kayu mangium dari tiga provenan hasil penelitian Syafii dan Siregar (2006).

Nilai Coeffisient of rigidity serat blustru berkisar dari 0,66 – 0,72, tergolong kelas kualitas III. Pada tingkat α = 95%, hidrolisis pada kondisi asam menyebabkan serat lebih kaku (coefisien of rigidity meningkat). Serat yang kaku akan memiliki tingkat formasi yang rendah didalam lembaran kertas dan menyebabkan kekuatan kertas yang bergantung pada ikatan antar serat akan menurun.

Flexibility ratio serat pulp blustru hasil penelitian ini berkisar dari 0,22 – 0,34 tergolong kelas kualitas III. Hasil uji lanjut Duncan (α = 95%) menunjukkan bahwa pulp perlakuan PNU8 memiliki nilai flexibility ratio yang lebih tinggi dari pulp perlakuan lainnya. Serat dengan flexibility ratio yang tinggi akan menghasilkan kekuatan lembaran pulp yang baik.

Scoring nilai turunan serat blustru (Tabel 4) menunjukkan bahwa serat pulp blustru tergolong ke dalam kelas kualitas II. Menurut LPHH (1976), serat seperti ini akan menghasilkan keteguhan lembaran kertas dengan keteguhan sobek, pecah, dan tarik yang sedang. Uji lanjut Duncan (tingkat α = 95%) menunjukkan bahwa

kecuali untuk tebal dinding sel dan felting power, semua nilai dimensi dan turunan serat secara nyata dipengaruhi oleh keasaman proses hidrolisis. Semakin asam hidrolisis yang diberikan maka semakin tinggi nilai dimensi dan turunan serat blustru.

(33)

hidrolisis pada kondisi asam terhadap blustru berumur 5 bulan (PAU5) menghasilkan pulp dengan kekuatan tarik yang lebih tinggi dari pulp hasil perlakuan lainnya.

Tabel 5. Sifat kekuatan lembaran pulp blustru pada berbagai tingkat umur dan keasaman prahidrolisis

P= prahidrolisis, N = netral, A= asam U5= umur 5 bulan, dan U8= umur 8 bulan

Meskipun score mutu serat dari pulp PAU5 tidak dapat menjelaskan kenapa kekuatan tarik pulp-nya relatif lebih tinggi dari kekuatan pulp tarik pulp hasil perlakuan lainnya, tetapi Minor dan Atalla (1992) menyatakan bahwa perubahan karakter komponen selulosa dan hemiselulosa dapat berperan meningkatkan mutu ikatan antar serat. Kekuatan retak hanya dipengaruhi oleh umur. Kekuatan retak dipengaruhi oleh faktor yang sama dengan indeks tarik. Kekuatan sobek umumnya memang berbanding terbalik dengan kekuatan tarik. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 5, dimana pulp PAU5 yang memiliki kekuatan tarik dan retak tertinggi memiliki kekuatan sobek terendah.

KESIMPULAN

Umur blustru dan keasaman prahidrolisis berpengaruh terhadap kadar silika, viskositas, rendemen, dan kekuatan retak pulp. Nilai dimensi dan turunan serat hanya dipengaruhi oleh keasaman prahidrolisis. Meskipun kadar α-selulosanya tinggi, menurut SNI 14-03-1989, serat blustru kurang sesuai dipergunakan sebagai bahan baku dissolving pulp karena memiliki kandungan ekstraktif, abu, silika, dan viskositas pulp yang tidak memenuhi syarat. Tetapi serat blustru potensial sebagai bahan baku kertas karena memiliki sifat kekuatan dan mutu serat yang cukup baik.

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Dajani WW, Tschimer UW. 2008. Pre-extraction of Hemicellulose and Subsequent Kraft Pulping Part I: Alkaline Extraction. Tappi Journal 7(6) : 3-8.

Barba C, Montane D, Rinaudo M, Farriol X. 2002. Synthesis and Charactherization of Carboxy Methyl Celluloses (CMC) from Non-Wood Fibers I. Accessibility of Cellulose and CMC Synthesis. Cellulose 9 : 319 - 326.

El-ghany N. 2009. Organosolv Pulping of Cotton Linters. Cellulose Chemical Technology 43 (9-10) : 419 - 426.

Fengel D, Wegener G. 1984. Wood : Chemistry, Ultrastructure Reaction. Berlin : Walter de Guyter.

Garrote G, Eugenio ME, Diaz MJ, Ariza J, Lopez F. 2003. Hydrothermal and Pulp Processing of Eucalyptus. Bioresour Technol (88) : 61-68.

Gehmayr V, Sixta H. 2011. Dissolving pulp from Enzyme Treated Kraft Pulps for Viscose Application. Lenzinger Berichte (89) : 152 - 160.

Guimaraes JL, Frollini E, Da Silva CG, Wypych F, Satyanarayana KG. 2009. Characterization of Banana, Sugarcane Baggase and Sponge Gourd Fibers of Brazil. Industrial Crops and Products (30) : 407 - 415.

Hamzeh Y, Benattar N, Mortha G, Calais C. 2007. Modified ECF Bleaching Sequence Optimizing the Use of Chlorine Dioxide. APPITA J 60(2) : 150 - 155.

Hartono R, Ibnusantosa G. 2005. Kondisi Optimum Pemasakan Abaca (Musa Textius Nee) dengan Proses Sulfat. Peronema Forestry Science Journal 1(1). ISSN 18296343.

Jahan MS, Rawsan SDA, Chowdhury N, Al-Maruf A. 2008. Dissolving pulp from Jute. Bioresources 3(4) : 1950 - 1970. Properties [Dissertation]. Finland: The Helsinki University of Technology. Kautto J, Saukkonen E. Henricson K. 2010. Prehydrolyzed Softwood Pulps.

Bioresources 5(4) : 2502-2519.

Lavarack BP, Griffin GJ. 2000. Measured Kinetics of the Acid-Catalysed Hydrolysis of Sugar Cane Baggase to Produce Xylose. Catalysis Today (63) : 257-265.

Leschinsky M, Sixta H, Patt R. 2009. Detailed Mass Balances of the Autohydrolysis of Eucalyptus Globulus at 170°C. Bioresources 4(2) : 687-703.

Ma X, Huang L, Chen Y, Cao S, Chen L. 2011. Preparation of Dissolving Pulp.

(35)

Mazali IO, Alves OL. 2005. Morphosynthesis: High Fidelity Inorganic Replica of the Fibrous Network of Loofa Sponge (Luffa cylindrica). Anais da Academia Brasileira de Ciências 77(1) : 25-31.

Minor JL, Atalla, RH. 1992. Strength Loss in Recyled Fibers and Methodeof Restoration. Material Research Society 266 : 215 - 258.

Pari G, Roliadi H, Setiawan D, Saepulloh. 2005. Chemical Component of Ten Planted Wood Species Originiated from West Java. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor (4) : 11-15.

Rachman AN, Rena MS. 1976. Dimensi Serat Jenis Kayu Indonesia Bagian III. Bogor : Laporan LPHH no. 75.

Rojas M. 2007. Pasta Hidrotermica y Termoquimica a la Soda Obtenida a Partir de Residuos de Paste (Luffa cylindrica). Ingenieria 17 (1) : 77 - 84.

Satyanarayana KG, Guilmaraes JL, Wypych F. 2007. Studies on Lignocellulosic Fibers of Brazil. Part I: Source, Production, Morphology, Properties and Applications. Composite: Part A 38 (7) : 1694 - 1709.

Syafii W, Iskandar ZS. 2006. Chemical Properties and Fiber Dimension of Acacia mangium Willd. from Three Provenances. Jurnal Tropical Wood Science and Technology 4(1) : 28 - 32.

Tanobe VOA, Sydenstricker THD, Munaro M, Amico SC. 2005. A Comprehensive Characterization of Chemically Treated Brazilian Sponge-Gourd (Luffa cylindrica). Polym. Test. 24(4) : 474 - 482.

Ververis C, Georghiou K, Christodoulakis N, Santas P, Santas R. 2004. Fiber Dimension, Lignin and Cellulose Content of Various Plant Materials and Their Suitability for Paper Production. Ind. Crops Prod. (19) : 245-254. Wan Rosli WD, Leh CP, Zainuddin Z. 2004. Effects of Prehidrolysis on the

Production of Dissolving pulp from Empty Fruit Bunches. Journal of Tropical Forest Science 16 : 343-349.

Wathen R, Joutsimo O, Tamminen T. 2005. Effect of Different Degradation Mechanism on Axial and Z-directional Fiber Strength. In: Proc, Of the 13th Fundamental Res. Sy.,, Cambridge, September 2005. 631-647.

Wirawan KS, Rismijana J, Cucu, Asid DS. 2010. Bleached Ramie Pulp for Paper Making Raw Material. Berita Selulosa 45(2) : 57-63.

Gambar

Tabel 2. Komposisi kimia pulp blustru pada berbagai tingkat umur dan keasaman    prahidrolisis
Tabel 2. Komposisi kimia pulp blustru pada berbagai tingkat umur dan keasaman    prahidrolisis

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini diberitahukan bahwa setelah dilakukan evaluasi oleh Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dibentuk berdasarkan surat keputusan Bupati

Dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan Evaluasi dan Pembuktian Kualifikasi oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa Dinas Sosial Provinsi Maluku Utara menurut

Bahan baku dalam pembuatan dodol buah adalah yang akan diolah.. menjadi dodol harus matang penuh dan seragam

Hasil pengujian hipotesis kedua yang menguji pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Intellectual Capital Disclosure mengungkapkan bahwa Kinerja Keuangan tidak berpengaruh

PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN, PERTUMBUHAN PENJUALAN, CURRENT RATIO, DEBT TO TOTAL ASSET RATIO DAN PERPUTARAN PERSEDIAAN TERHADAP ROA PADA PERUSAHAAN FOOD AND BEVERAGES

Pesawat tempur awalnya dikembangkan pada Perang &unia I untuk menghadapi pesawat pengebom dan balon udara yang mulai la!im digunakan untuk melakukan serangan darat dan

Untuk mempertahankan kesehatan bagi penduduk usia senja diperlukan solusi agar yang bersangkutan dengan kemampuan / kemauan yang ada diharapkan untuk tetap bekerja

Semakin tinggi Person-Organization Fit (P-O) Fit semakin tinggi pula Organizational citizenship behaviour (OCB) karyawan dan Hipotesis Minor (3) Kepuasan kerja