• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODEL PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI TEPIAN HUTAN BERBASIS PERILAKU ADAPTIF: ANALISIS SOSIO KULTURAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "PENGEMBANGAN MODEL PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI TEPIAN HUTAN BERBASIS PERILAKU ADAPTIF: ANALISIS SOSIO KULTURAL"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

92

PENGEMBANGAN MODEL PEMBERDAYAAN EKONOMI

MASYARAKAT PETANI TEPIAN HUTAN BERBASIS

PERILAKU ADAPTIF: ANALISIS SOSIO KULTURAL

Imam Santoso

Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman

Abstract: We face some important and interesting problems about forest

degradation and peasants poverty. This problem has resulted in other dimentional matters such as: resources scarcity and barbarian behaviour in the future. This research aims to find out: (1) It is to know why peasants have non adaptive behaviour, (2) It is formulate alternative model for developing peasants economic empowerment based on adaptive behaviour. This research show that there are some factors for effecting non adaptive peasants behaviour, such as: custom institution disappearing, communal rights decreasing, immigrants raising and enterpreneour penetrating, consumtion raising and low accesibility on empowering institution. This research has yielded an alternative model for each specific location at three district. In that an alternative model, peasants must transform themselves from non adaptive behaviour to adaptive bahaviour. Peasants capability for identifying their economic problem is the most important things for achieving the first step of empowering process. Model of peasants economic empowering, therefore, have strategic function for raising peasant social welfare.

Keywords: Model of economic empowerment and adaptive behaviour of peasants

PENDAHULUAN

Pemanfaatan hutan sebagai aset strategis yang berfungsi sebagai sumberdaya alam utama bagi keberlanjutan ekonomi Indonesia tak dapat dipisahkan dari upaya penyelamatan petani yang berada di belakang hutan. Menyadari nilai strategis hutan sebagai pemberi kontribusi ekonomi besar telah menyebabkan banyak pihak menaruh perhatian untuk melakukan ragam bentuk pengelolaan. Suatu bentuk pengelolaan yang dikhawatirkan adalah pengelolaan hutan tanpa memperdulikan aspek kelestarian hutan dengan kaidah konservasi lahan dan air. Eksploitasi hutan yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi jangka pendek oleh para pengusaha komersial sudah merusak keuntungan sosial dan dan lingkungan jangka panjang.

Perilaku ekonomi merusak ekosistem hutan semakin menjadi-jadi khususnya sejak berlangsung krisis ekonomi yang menimpa Indonesia sejak medio Tahun 1997. Seiring realitas sosial ini, maka di level mikro sungguh tepat memperhatikan adagium ekologis yang menyebutkan bahwa “kemiskinan menyebabkan kerusakan hutan dan

kerusakan hutan menyebabkan kemiskinan.” Artinya, dampak kerusakan sumberdaya alam hutan yang makin parah bahkan dari sisi ekologi sudah sampai stadium lanjut menyebabkan proses kemiskinan masyarakat lokal khususnya petani. Selanjutnya, karena terbelenggu dalam lingkaran kemiskinan yang sulit terputuskan mendorong petani berperilaku non adaptif dalam memanfaatkan fungsi hutan sebagai sumber bahan pangan dan sumber pendapatan.

Ragam upaya mewujudkan pemulihan ekonomi (economic recovery) telah dilakukan pemerintah untuk memberdayakan petani tepian hutan seperti:

(2)

93

loncatan dan lip services saja sudah selayaknya ditinggalkan. Salah satu strategi yang perlu dikedepankan untuk mencapainya adalah melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat petani tepian hutan berbasis pada pengembangan perilaku adaptif. Maksud perilaku adaptif di sini adalah perilaku yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan melakukan kegiatan ekonomi baik di bidang pertanian maupun non pertanian; didasari modal sosial dan kearifan lokal untuk ikut bertanggungjawab menjaga kelestarian hutan dan lingkungan sosial yang kondusif.

Selama ini, pemberdayaan ekonom i petani tepian hutan bersifat top down,

cenderung dilakukan secara sepotong-sepotong, homogen, berorientasi ekonomi jangka pendek, mengandalkan akumulasi kapital, tidak sesuai akar permasalahan dan kebutuhan petani. Model pemberdayaan ekonomi petani tepian hutan juga belum memanfaatkan aspek perilaku yang adaptif. Padahal langkah awal yang dibutuhkan saat memberdayakan masyarakat adalah bertumpu pada kemampuan memunculkan kesadaran berniat melakukan perubahan dan menyiapkan perilaku adaptif dalam menyikapi perubahan. Scott dan Jaffe (1991) menjelaskan bahwa pemberdayaan bukanlah proses tunggal atau sekedar jalinan kerjasama. Pemberdayaan merupakan proses menyeluruh yang dimotori perubahan perilaku ke arah lebih baik. Friedman (1992) menyebutkan faktor penting pemberdayaan memang terletak pada otonomi pengambilan keputusan masyarakat. Chamber (1997) juga senada menegaskan pemberdayaan pada tiga hal: berpusat pada manusia, partisipatoris dan berkelanjutan. Dalam terminologi ekonomi lingkungan, eksternalitas negatif mengakibatkan alokasi sumberdaya yang tidak bisa mencapai efisiensi maksimum dan menimbulkan ketidakadilan. Tanpa didasari dengan perilaku adaptif, maka upaya pemberdayaan ekonomi hanya menjadi suatu jalan pintas menuju pembangunan yang potensial merusak sumberdaya hutan.

Bertolak dari urgensi memperhatikan uraian latar belakang persoalan yang dipaparkan maka dirumuskan masalah penelitian yang menjadi pusat kajian yakni: (1) Bagaimana kondisi sosio kultural yang

melatarbelakangi petani tepian hutan berperilaku non adaptif dalam melakukan ragam kegiatan produktif

baik di bidang pertanian maupun non pertanian?

(2) Bagaimana model pemberdayaan ekonomi masyarakat petani tepian hutan yang berbasis perilaku adaptif?

METODE

Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja di pedesaan dengan tiga tipe hutan yaitu: Pertama, hutan rakyat di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Kedua, hutan adat wilayah di Kabupaten Mandailing Natal. Kedua kabupaten ini termasuk wilayah Propinsi Sumatera Utara. Ketiga,

hutan negara di wilayah Kabupaten

Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil orientasi lapangan terungkap bahwa pada ketiga wilayah pedesaan tepian hutan yang terpilih ditemukan permasalahan yang relevan dengan tema penelitian.

Desain penelitian yang digunakan merupakan pengkombinasian antara pendekatan kuantitatif dengan pendekatan kualitatif. Model kombinasi kuantitatif dan kualitatif yang dimanfaatkan mengacu pada pemikiran Cresswell (1994) yakni lebih dominan pendekatan kuantitatif (quantitatif dominant) dibanding pendekatan kualitatif (qualitative less dominant).

Cakupan populasi penelitian meliputi semua petani yang mukim di pedesaan tepian hutan pada tiga kabupaten yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian. Menyadari pendekatan penelitian yang dominan kuantitatif maka teknik penetapan responden dilakukan dengan memanfaatkan teknik gugus bertahap (multistage sampling) sesuai yang disyaratkan Cochran (1977). Jumlah responden dari pedesaan setiap tipe hutan masing-masing sebanyak 75 orang, sehingga total responden 225 orang. Untuk kepentingan pendekatan kualitatif ditetapkan informan penelitian dengan memakai teknik purposif.

(3)

94

lapangan. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran dan pengkajian hasil-hasil penelitian ahli terdahulu, dokumen resmi, arsip dan catatan terkait tema.

Teknik pengolahan dan analisis data dilaksanakan secara kuantitatif dan kualitatif.. Pengujian terhadap rumusan model pemberdayaan ekonomi masyarakat petani tepian hutan yang berbasis perilaku memakai teknik kuantitatif dengan Metode Struktur Koragam (MSK) atau yang lebih dikenal dengan istilah Model LISREL (Linear Structural Relationships Model). Model ini tepat untuk mengkonfirmasi dimensi dari sebuah konsep atau faktor dan model (Ferdinand, 2000). Teknik analisis secara kualitatif dilakukan dengan memanfaatkan Interactif Model of Analysis dan Triangulasi. Kesemua data yang telah diolah dan dianalisis disajikan dalam uraian deskriptif bersifat kualitatif dan kuantitatif yang saling melengkapi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Aspek Sosio Kultural yang Melatarbelakangi Perilaku Ekonomi Petani Tepian Hutan Non Adaptif

Masyarakat petani tepian hutan memiliki aspek sosio kultural yang khas dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupan. Kekhasan yang dimiliki berbeda dengan kelompok masyarakat agraris lain. Petani tepian hutan merupakan figur yang mempunyai kedekatan ekonomi, sosial, kultural dan religi dengan eksistensi hutan. Fungsi hutan bagi petani yang bermukim di sekitarnya tak sekedar sumber kehidupan pada masa sekarang namun juga menjadi harapan hidup di masa yang akan datang. Petani memanfaatkan hutan untuk bekal kemajuan kesejahteraannya dan hal ini berawal saat kegiatan mambuka harangan.

Bagi masyarakat petani di pedesaan bertipe hutan rakyat dan adat, status sosial sebagai partombak harangan atau parhauma di harangan sebagai pihak pembuka hutan untuk kegiatan bertani (sawah, ladang/huma) merupakan suatu atribut yang harus prestisius karena padanya melekat hak dan kewajiban tentang pengaturan tatacara pengelolaan lingkungan hutan dan tata kehidupan lingkungan sosial masyarakat lokal. Partombak harangan beserta generasi keturunannya mempunyai kewajiban menjadi pemimpin wilayah yang dituahkan

menjaga lingkungan sosial masyarakat beserta keamanan kelestarian hutan.

Begitu juga pada petani di pedesaan bertipe hutan negara, pembuka hutan (mbabat alas) dilakukan oleh para pendahulu desa yang juga bertanggungjawab terhadap keberlangsungan kehidupan sosial ekonomi anggota masyarakat dan juga keberlangsungan sumberdaya hutan. Dalam menjalankan hak dan kewajibannya,

partombak harangan dan mbabat alas

membuat aturan hukum adat yang mengatur sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat sehingga tersirat kesan bahwa hutan merupakan eksistensi masyarakat yang hidup di pedesaan tepian hutan. Pada hukum adat tertuang aturan ketat untuk menjaga kelestarian hutan dan inilah yang dikenal sebagai hak ulayat. Akan tetapi, seiring dengan diberlakukannya kebijakan pengelolaan hutan oleh pemerintah maka fungsi hukum adat tergeser. Fungsi hutan yang diorientasikan pada kepentingan ekonomi untuk devisa negara mempersempit kesempatan dan akses masyarakat tepian hutan yang mayoritas petani untuk mengelola hasil hutan. Sejak kehadiran pemegang HPH yang bermodal besar di hutan bertipe adat dan rakyat serta Perum Perhutani di hutan negara, fungsi hutan bagi petani berubah menjadi kawasan tertutup. Meskipun terdapat aktivitas ekonomi yang bisa dilakukan pada kawasan hutan, tetapi sifatnya terbatas misalnya bertani dengan luas lahan yang ditentukan pengelola hutan,

parbalok (buruh penebang kayu pada pengusaha HPH), pesanggem (buruh tani hutan pada Perum Perhutani).

(4)

95

keterbatasan dalam mengelola lahan hutan untuk kegiatan produktif (pertanian).

Keperdulian petani tepian hutan terhadap kelestarian hutan menipis karena rasa memiliki tergeser oleh kepentingan ekonomi, sehingga perilakunya cenderung ikut merusak kelestarian hutan. Pada Tabel 1 diuraikan tentang aspek sosio kultural yang melatarbelakangi mengapa perilaku ekonomi petani kurang adaptif di pedesaan dengan tiga tipe hutan yang diteliti.

Informasi yang tertuang pada Tabel 1 menyatakan bahwa aspek sosio kultural yang melatarbelakangi perilaku ekonomi ternyata

mempunyai perbedaan nyata antara petani di pedesaan tepian hutan rakyat, adat dan negara. Petani di tepian hutan negara paling kuat mengalami pengaruh perubahan aspek sosio kultural baik ditinjau dari: pemudaran fungsi hak ulayat, pengikisan Peran tokoh

partombak harangan dan mbabat alas dalam menjaga kelestarian hutan, Meningkatnya jumlah pendatang ke pedesaan tepian hutan, intervensi pihak luar (Pemegang HPH dan Perum Perhutani) yang komersil dan peningkatan tuntutan ekonomi kebutuhan keluarga.

Tabel 1. Aspek Sosio Kultural yang Melatarbelakangi Perilaku Ekonomi

Aspek Sosio Kultural

Perilaku Ekonomi Non Adaptif Persentase Petani

Tepian Hutan *) Rakyat

(%)

Adat (%)

Negara (%) Fungsi hak ulayat

memudar

♠ Fungsi produksi dalam usahatani tidak

sustainable

66,66 25,33 93,33

Peran tokoh partombak harangan dan mbabat alas dalam menjaga kelestarian hutan mengalami pengikisan

♠ Figur yang mengontrol pemanfaatan sumberdaya hutan kehilangan hak dan kewajibannya sehingga kegiatan pemanfaatan lahan dan isi sumberdaya hutan untuk pertanian dan non pertanian non didasari prinsip konservasi lahan dan air menurut kaidah adat

45,33 29,33 94,66

Meningkatnya jumlah pendatang ke pedesaan tepian hutan

♠ Mengubah sistem pengelolaan usahatani ♠ Mempersempit luasan lahan garapan ♠ Menuntut pengaturan musim tanam intensif

(masa bero tanah bernon) sehingga menurunkan produktivitas usahatani, rawan erosi dan lahan semakin tak subur karena kehilangan top soil

41,33 22,66 100.00

Intervensi pihak luar (Pemegang HPH dan Perum Perhutani) yang bersifat komersial

♠ Petani kurang memperhatikan kelangsungan usahataninya

♠ Lebih tertarik pada pekerjaan yang langsung dapat memberikan nilai rupiah (menjadi buruh tani hutan, penebang/ penggergaji kayu atau

parbalok)

78,66 54,66 100,00

Tuntutan ekonomi meningkat untuk memenuhi kebutuhan keluarga

♠ Mengurangi modal produksi

♠ Mendorong petani berperilaku menerabas dan merusak kelestarian hutan

76,00 56,00 100,00

Respon dan akses terhadap upaya pemberdayaan ekonomi yang top down dan berciri homogen rendah

♠ Kemampuan kewirausahaan rendah ♠ Akses terhadap informasi peluang bisnis

pertanian dan non pertanian rendah ♠ Usaha produktif yang dikelola belum

menguntungkan belum memiliki efisiensi ekonomi

72,00 32,00 97,33

Sumber: Diolah dari data primer (2004)

(5)

96

Production oriented sebagai wujud kuatnya misi ekonomi yang dihadapkan ke pemanfaatan sumberdaya hutan telah mengurangi porsi fungsi sosial, ekonomi dan kultural untuk masyarakat petani tepian hutan. Tidak heran jika perilaka non adaptif yang tidak peka terhadap sumberdaya alam (“hutan”) ini semakin menggejala dari waktu ke waktu baik di hutan rakyat, adat maupun negara seiring dengan semakin langkanya sumberdaya alam akibat ekstraksi yang semakin besar terhadap hutan dan segala isinya oleh berbagai pihak Perilaku ekonomi petani tepian hutan dengan semangat dan kemampuan dalam kewirausahaan (sebagai salah satu ciri perilaku adaptif) akan tetap sulit ditingkatkan; karena yang sedang trend

terjadi justru adalah perilaku menerabas, misalnya: mencuri kayu, meningkatkan ekstraksi terhadap hutan alam dan ikut menjadi pelaksana illegal logging. Pemanfaatan hutan dengan perilaku yang non adaptif terhadap kelestarian hutan merupakan ancaman yang dapat menghilangkan modal ilmiah dan pada gilirannya akan merusak berbagai fungsi ekologis (Atje, et al., 2001).

2. Pengembangan Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Petani Tepian Hutan Berbasis Perilaku Adaptif

Strategi pemberdayaan ekonomi petani mengandung makna peningkatan

kemandirian petani dan keluarganya dan peningkatan semua potensi agar petani lebih berdaya secara sosial (terdistribusikannya kekuasaan untuk mengelola usaha taninya) dan berdaya secara ekonomi (berbentuk redistribusi sumberdaya ekonomi melalui kegiatan produktif). Pendekatan demikian lebih menekankan pentingnya petani sebagai subyek pelaku ekonomi bukan semata-mata sebagai obyek pasar saja. Dalam perspektif pertanian lama, sering pelaku wirausaha di bidang pertanian mencakup pedagang pengumpul di tingkat desa, tengkulak, pedagang pengumpul di tingkat kecamatan, pengusaha penggilingan padi, pedagang eceran, pedagang besar atau para pengusaha yang menyewakan traktor/tresher/alat tabur benih langsung atau alat-alat mekanik pertanian lainnya. Dengan paradigma ekonomi pertanian yang baru di era kini, sudah saatnya petani pengelola usahatani dan menjadi pelaku utama kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan penerima manfaat. Strategi untuk terbebas dari kondisi keterpurukan bersumber dari dua hal, yaitu: kesiapan petani menghadapi globalisasi dan kedua berupa pemanfaatan peluang-peluang yang tersedia (Sumardjo, 2004). Pada Gambar 1 dirinci rumusan model pemberdayaan ekonomi petani tepian hutan yang berbasiskan perilaku adaptif.

Gambar 1. Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Petani Tepian Hutan Berbasis Perilaku Adaptif

Perilaku Non Adaptif

Kelestarian Penyuluhan Pelatihan

(6)

97

Upaya yang dituju dalam konteks pemberdayaan petani ini memang adalah kesejahteraan. Dalam beberapa disiplin ilmu melahirkan beberapa indikator yang berbeda dalam konsep kesejahteraan ini. Para ekonom biasanya melihat dari sudut peningkatan pendapatan, tingkat konsumsi, daya beli petani. Ditinjau dari antropologi ekonomi kesehateraan lebih dilihat sebagai relativitas antar budaya. Konsep sosiologi memandang kesejahteraan dari aspek stratifikasi sosial berupa semakin terbukanya akses bagi strata sosial ekonomi di bawah untuk naik tangga sosial dengan aturan baku yang lebih fair dan berkeadilan. Dalam kajian ini penulis menyoroti dari gabungan beberapa aspek sekaligus (pemberdayaan terpadu) menuju ke arah kemandirian petani melalui perilaku adaptif.

Model pemberdayaan ekonomi masyarakat petani tepian hutan di pedesaan rakyat, adat dan negara selayaknya bertolak dari tahap paling awal dan terpenting dilakukan yakni melalui identifikasi terhadap berbagai jenis kebutuhan keluarganya. Hasil identifikasi disusun dalam jenjang prioritas untuk menetapkan antara kebutuhan yang mendesak untuk segera dipecahkan dan berikutnya sesuai kadar keperluan yang dirasakan petani. Petani diajak untuk mengenali perilaku lamanya yang bersifat non adaptif beserta kelemahannya dalam mendukung pemberdayaan ekonominya. Serangkaian upaya pemberdayaan ekonomi petani tepian yang berbasis perilaku adaptif membutuhkan kesadaran dan kemauan yang termotivasi dari dalam diri petani sendiri (intrinksi). Kegiatan penyuluhan, pelatihan, pendampingan, penyadaran dan penguatan kelembagaan ekonomi lokal merupakan sederetan teknik pembelajaran yang sesuai permasalahan dan kondisi petani dalam mengikuti proses transformasi perilaku dari non adaptif menjadi adaptif.

KESIMPULAN

1. Ragam aspek sosio kultural yang melatarbelakangi mengapa petani tepian hutan berperilaku non adaptif dalam melakukan kegiatan ekonominya.

2. Cakupan aspek sosio kultural yang mempunyai pengaruh kuat terhadap perilaku ekonomi petani tepian hutan yang non adaptif meliputi: fungsi hak ulayat memudar, peran tokoh partombak

harangan dan mbabat alas dalam menjaga kelestarian hutan terkikis, jumlah pendatang meningkat, intervensi pihak luar (Pemegang HPH dan Perum Perhutani) bersifat komersial, tuntutan ekonomi meningkat, respon dan akses terhadap pemberdayaan ekonomi rendah. 3. Rumusan model pemberdayaan ekonomi petani yang berbasis perilaku adaptif merupakan upaya memutus akar permasalahan yang menjadi penyebab perilaku non adaptif. Pada model termuat pentingnya petani tepian hutan melakukan proses transformasi perilaku.

4. Kemampuan mengidentifikasi kesesuaian kebutuhan petani tepian hutan

menjadi modal awal dalam pemberdayaan ekonomi petani tepian hutan, sehingga model berfungsi strategis karena bersifat bottom up dan spesifik lokasi.

SARAN

1. Diperlukan upaya terpadu dan terintegrasi untuk dapat mengembalikan fungsi hutan melalui pemberdayaan ekonomi untuk penyelematan dan penumbuhkembang kemampuan petaninya.

2. Upaya penanganan secara parsial hanya menyentuh pemberdayaan di areal permukaan yang kita kenal sebagai bentuk pemberdayaan sloganistik dan belum menyentuh aspek struktural dari pemberdayaan, yaitu semakin terbukanya peluang petani untuk meningkatkan strata ekonomi, sosial dan budayanya. Tentu saja kajian yang lebih mendalam dan terinci masih tetap dibutuhkan untuk membangun model pemberdayaan ekonomi petani tepian hutan yang berbasiskan perilaku adaptif.

3. Identifikasi kebutuhan dan pengenalan akar penyebab permasalahan merupakan tahap penting dicermati dalam memulai transformasi perilaku petani tepian hutan tentu saja terintegrasi antara dukungan internal maupun eksternalnya.

DAFTAR RUJUKAN

(7)

98

Management”. CSIS Forestry Policy Research Working Paper. Jakarta. Chamber, Robert.1987. Pembangunan Desa

Mulai Dari Belakang. LP3ES. Jakarta. Cresswell, John W., 1994. Research Design

Qualitative and Qualitative Approaches. Thousand Oaks Sage. London.

Cochran, Robert. 1997. Sampling Techniques. John Wiley. New York. Ferdinand, August. 2000. Structural

Equation Model di Bidang Managemen. Universitas Diponegoro Press. Semarang.

Friedman, John. 1992. The Politic of Alternative Development. Blackwell Publisher. Cambridge.

Santoso, Imam. 2004. Pemberdayaan Petani Tepian Hutan Melalui Pembaharuan Perilaku Adaptif. Disertasi (belum diterbitkan). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Scott, James C dan Michael Jaffe.1991.

Empowerment. Blackwell Publisher. Cambridge.

Gambar

Gambar 1.   Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Petani Tepian Hutan Berbasis Perilaku Adaptif

Referensi

Dokumen terkait

Cirebon Dita Rizki Amalia, M.Kom 73 41132672 LISMA AUDINA P Badan Pusat Statistik Odi Nurdiawan, S.Kom 74 41132607 MAULIDA WIDIANI P Kantor Imigrasi Kelas II Cirebon Tri

Perlengkapan yang digunakan dalam ritual pamakkang boe, dipercayai oleh sebagian masyarakat bahwa peralatan tersebut bisa mendatangkan rezki yang lebih banyak, hasil panen padi

Diaplikasikannya suhu serta waktu produk lain untuk proses pasteurisasi santan dikhawatirkan dapat merusak nilai nutrisi yang terdapat dalam santan akibat suhu terlalu tinggi

1. Bentuk alih kode terjadi pada penyiar radio Jazirah 104,3 FM yakni alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Melayu Bengkulu, bahasa Serawai dialek Kaur, dan

Sumbat selongsong kertas yang berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80 o C selama kurang lebih 1 jam, kemudian dimasukkan pada labu ekstraksi Soxhlet..

Tito Sepriadi, NIM: C100100075, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Tahun 2015, Judul: “PENGARUH IZIN USAHA PERTAMBANGAN BATU TUF TERHADAP

Sistem ini dapat memberikan kemudahan kepada pengguna yang akan melakukan seleksi fitur pada dokumen teks berbahasa Indonesia, dapat membantu mengurangi fitur untuk

Oleh karena itu penelitian ini mencoba memperoleh informasi yang lebih banyak lagi tentang bagaimana adopsi lean dengan menggunakan metode JIT pada industri farmasi