1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negeri yang kaya dengan sumberdaya hayati yang
menjadi penyusun kehidupan di lingkungan laut. Salah satu penyusun kehidupan
di laut ialah biota yang hidupnya menempel pada substrat ataupun pada struktur
tegakan yang terpapar air laut. Kehadiran biota penempel adalah peristiwa wajar
yang dilakukan oleh kelompok bakteri, tumbuhan, dan hewan. Penempelan biota
tersebut dapat juga terjadi pada berbagai infrastruktur, yaitu pada kapal dan
bangunan pantai. Penempelan oleh biota penempel merupakan pengotoran
biologis yang dikenal dengan istilah biofouling. Adapun jenis biota penempel yang umum dijumpai terdiri dari berbagai jenis, yaitu teritip, hidrozoid, moluska,
bryozoa, ascidian, dan alga.
Beberapa jenis biota penempel ada yang berpotensi invasif terhadap
infrastruktur kelautan, sehingga menyebabkan kerusakan dan memperpendek
umur dan daya guna infrastruktur, menambah biaya operasional, perawatan
meningkat, selain itu dapat menimbulkan korosivitas pada infrastruktur tersebut.
Contohnya teritip, yang menempel pada bangunan pantai dan kapal, yang pada
kondisi tertentu dapat mengeluarkan suatu zat yang mampu merusak substrat yang
ditumpanginya.
Upaya yang dilakukan selama ini untuk mencegah pelekatan biota penempel
yang merusak tersebut ialah dengan mengecat bangunan pantai dan kapal
menggunakan cat antifouling yang mengandung logam berat. Penggunaan logam berat tersebut diduga sebagai salah satu sumber pencemaran logam berat yang
akan terakumulasi di laut, dan akhirnya berdampak pada penurunan
kualitas lingkungan. Dalam rangka memperkecil dampak dari biofouling pada struktur bangunan yang selalu terendam air, maka diperlukan antifouling yang ramah lingkungan dan mengandung unsur alami untuk menghindari pencemaran
lingkungan.
Penerapan bioteknologi dalam rangka menghasilkan produk bahan alami
yang berasal dari organisme laut umumnya tidak menimbulkan efek samping dan
bersifat mudah terurai secara alami (biodegradable). Salah satu alternatif yang saat ini mulai dilirik untuk mencegah keberadaan biota penempel adalah dengan
memanfaatkan kandungan bahan aktif yang berasal dari alam, khususnya laut.
Usaha penanggulangan biota penempel menggunakan bahan aktif atau yang
dikenal juga sebagai senyawa bioaktif ini merupakan alternatif yang lebih efisien
dan ramah terhadap lingkungan (Linawati, 1998).
Ascidian adalah salah satu biota laut yang belum banyak dikaji secara
intensif, namun mempunyai potensi yang cukup besar di perairan Indonesia, yang
habitatnya umum dijumpai di perairan terumbu karang. Biota yang termasuk
dalam Filum Chordata ini mendiami hampir seluruh perairan di dunia daerah
tropis, temperate, kutub, dan bahkan ada beberapa spesies yang ditemukan di laut dalam (Abrar, 2004). McClintock dan Baker (2001) mengemukakan bahwa
ascidian ini merupakan biota bentik yang memiliki kemampuan untuk
mengeluarkan metabolit sekunder pada proses metabolismenya sebagai
pertahanan diri. Senyawa bioaktif yang dikeluarkan oleh ascidian ini dapat
berfungsi sebagai antifouling, antikanker, antitumor, dan antivirus.
dimiliki oleh ascidian, kajian dalam penelitian ini diarahkan untuk meningkatkan
pemahaman dan pengetahuan di bidang ilmu kelautan terkait senyawa bioaktif
yang dimiliki ascidian Didemnum molle sebagai bahan potensial antifouling. Didemnum molle ini merupakan salah satu biota dari Famili Didemnidae, yang hidup berkoloni dan umum ditemukan di perairan Indonesia.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengeksplorasi potensi stok alami ascidian dari jenis Didemnum molle di perairan Kepulauan Seribu, khususnya di sekitar Pulau Pramuka
2.1. Ascidian
Ascidian merupakan nama bagi kelompok hewan yang termasuk ke dalam
Kelas Ascidiacea, yang menyusun hampir sebagian besar jenis-jenis dalam
Subfilum Urochordata dari Filum Chordata. Anatomi dari urochordata berbeda
dengan hewan chordata lainnya, terutama vertebrata. Pada fase larva, urochordata
memiliki tali syaraf (neural tube) dan notochord, namun akan hilang pada fase dewasa sehingga menyebabkan urochordata termasuk ke dalam invertebrata.
Subfilum Urochordata ini terdiri dari empat kelas, yaitu Ascidiacea (ascidian),
Sorbreacea (sorberacean), Thaliacea, dan Appendicularia (larvacean). Dari
keempat kelas tersebut, Kelas Ascidiacea adalah kelas terbesar yang paling
beragam (McClintock dan Baker, 2001).
Ascidian ditemukan tersebar hampir di semua perairan laut, mulai dari zona
dangkal litoral sampai zona abysal yang dalam, mendiami perairan tropis dan
subtropis bahkan perairan dingin Antartika serta hidup dalam perairan bersih
sampai tercemar berat. Kelompok tersebut ditemukan lebih melimpah dan
beragam pada habitat dengan perairan yang relatif terlindung dan tercemar oleh
bahan-bahan organik (Abrar, 2004). Kehadiran ascidian juga dibatasi oleh
salinitas perairan yang berubah-ubah (fluktuasi) atau berkurang dari kadar normal
air laut (30-32 ‰), namun beberapa jenis dapat bertahan dan ditemukan dalam jumlah melimpah (Abrar dan Manuputty, 2008). Ascidian ini merupakan
invertebrata di ekosistem terumbu karang yang banyak menghasilkan senyawa
bioaktif untuk farmakologi di mana hewan ini dapat berasosiasi dengan mikroba
fotosintetik dan mempunyai potensi molekular yang besar, karena kandungan
metabolit sekundernya yang merupakan substansi bioaktif ini sangat berguna
sebagai pertahanan diri organisme yang memproduksinya juga bagi kehidupan
manusia, yaitu sebagai antitumor/antikanker dan antibakteri/ antimikroba (Khoeri,
2009).
Di alam, ascidian dimanfaatkan untuk menyaring bahan pencemar dari
perairan, seperti logam berat dan bakteri. Kemampuan berbagai jenis ascidian
untuk menyerap vanadium dan logam berat lainnya dari air laut merupakan salah
satu keanehan fisiologi yang membedakan biota tersebut dari sebagian besar
hewan lainnya (Michibata et al., 1986). Racun vanadium yang ada dalam tubuh ascidian digunakan untuk menghindari penempelan epibiota di tubuh biota
tersebut (Stoecker, 1978). Selain itu, manusia juga dapat memanfaatkannya
dalam bidang embriologi (ilmu mempelajari perkembangan embrio) serta
mempelajari kekerabatan mereka yang dekat dengan hewan bertulang belakang
(Estradivari et al., 2009).
Ascidian merupakan biota hermafrodit yang dapat menghasilkan sel telur
dan sperma dalam satu individu yang sama. Semua jenis ascidian melepaskan
spermanya langsung di dalam perairan. Beberapa sel telur dilepaskan dan
mengalami pembuahan secara eksternal. Setelah sel telur dibuahi akhirnya
yang mendiami dasar perairan (substrat) dan dengan cepat akan kehilangan
notochord dan neural tube (Colin dan Arneson, 1995). Siklus hidup dari ascidian disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Siklus Hidup Ascidian (Hickman et al., 1993 in Abrar, 2004)
2.1.1.Klasifikasi dan Morfologi Ascidian Didemnum molle
Secara umum, ascidian dijumpai pada terumbu karang, baik yang masih
hidup maupun yang sudah mati, sedangkan pada substrat pasir, lumpur, dan
patahan karang keragamannya berkurang dan hanya ditempati oleh jenis-jenis
ascidian tertentu (Monniot et al., 1991; Colin dan Arneson, 1995). Salah satu jenis ascidian yang mendominasi perairan Kepulauan Seribu adalah Didemnum molle (Setyawan et al., 2011). Berikut ini adalah sistem klasifikasi Didemnum molle (Monniot et al., 1991):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Urochordata
Kelas : Ascidiacea
Famili : Didemnidae
Genus : Didemnum
Spesies : Didemnum molle
Didemnum molle merupakan salah satu ascidian lunak yang paling sering muncul dan berada di dalam ekosistem terumbu karang, berbentuk membulat
tampak seperti individu soliter pada pandangan sekilas, tetapi biota tersebut
berkoloni yang tersusun oleh zooid yang sangat kecil tertanam dalam substrat. Warna dari biota ini umumnya hijau yang disebabkan oleh alga simbion yang ada
pada tubuhnya (Allen, 1996). Visualisasi dari Didemnum molle disajikan pada Gambar 2C, sedangkan struktur morfologi ascidian secara umum ada pada
Gambar 2A dan 2B.
Gambar 2. (A) Bentuk dan Struktur Tubuh Ascidian Dewasa; (B) Organ Dalam Ascidian Dewasa; (C) Didemnum molle [Foto: Ulfa]
Menurut Colin dan Arneson (1995), Didemnum molle biasanya berada di area terumbu karang dan bebatuan di Samudera Pasifik dan Hindia. Biota ini
merupakan salah satu ascidian yang dapat hidup secara berkoloni dengan
tubuhnya yang sangat lunak berwarna hijau dan keputihan. Warna hijau dari biota
tersebut berasal dari alga Prochloron yang ada di dalam jaringan tubuhnya. 2.1.2.Pemanfaatan dan Senyawa yang Terkandung
Kelas Ascidiacea merupakan satu-satunya kelas dari urochordata yang
mewakili dalam literatur produk alami yang menunjukkan adanya metabolisme
asam amino yang dominan (McClintock dan Baker, 2001). Ascidian telah banyak
menarik perhatian sebagai salah satu sumber zat antikanker, antivirus, dan
antitumor. Sebagai contohnya di Thailand telah ditemukan alkaloid (ectinascidin)
yang berasal dari Ecteinascidia thurstoni yang bersifat sitotoksik untuk sel kanker payudara, paru-paru, dan jaringan nasofaring (Suwanborirux et al., 2001;
Rinehart, 2000). Di Karibia, anggota Famili Didemnidae, yaitu Trididemnum solidum diketahui memiliki senyawa didemnim-B yang bersifat antivirus dan antitumor (Rinehart, 2000).
Selain itu, ascidian juga mempunyai senyawa kimia untuk perlindungan dari
radiasi UV. Sejumlah metabolit pun berasal dari ascidian seperti seri didemnidae
berupa isolasi alkaloid dari Didemnum conchyliatum, ekstrak dari ascidian Ecteinascidia turbinate yang berisi alkaloid biologis aktif ecteinascidin, alkaloid tambjamine dari jenis Sigillina signifera, didemnim depsipeptide dari jenis
menunjukkan jenis-jenis ascidian yang umum ditemukan di perairan Indonesia
dan memiliki potensi untuk dimanfaatkan (Abrar, 2004).
Tabel 1. Jenis dan Beberapa Bentuk Pemanfaatan Ascidian
Jenis Pemanfaatan
Lissoclinum patella Hasil ekstrak terdiri dari Ulit-hyacyclamide, Patellamides, Ascidicyclamides, dan Lissoclamides untuk pengobatan kanker dan leukemia
Lissoclinum bistratum Ekstrak berupa polyether dengan dua fungsi Carboxamide, dalam bentuk bubuk Lyophilized merupakan toksik untuk investigasi paralisis mulut juga racun pada udang tingkat rendah Artemia salina Hampir semua jenis Bioindikator kondisi perairan, sehingga sering
digunakan sebagai biota uji Bioassay
Jenis dari Famili Styelidae Sebagai hidangan makanan laut (sea food) di beberapa negara (Jepang, Prancis, Yunani, Itali, dan Chili)
2.2. Biofouling
Penempelan jasad renik akuatik atau umum dikenal dengan istilah biofouling pada sarana transportasi (kapal, perahu) dan bangunan yang ada di laut, dapat
mengganggu kegiatan operasi alat serta mengurangi daya guna sarana tersebut.
Biota penempel ini merupakan fenomena yang kehadirannya dapat menimbulkan
kerugian dan kerusakan pada berbagai infrastruktur, seperti penghambatan laju
kapal, gangguan presisi, kerusakan peralatan bawah air, dan mempercepat
pelapukan kontruksi bangunan bawah air.
Biofouling secara umum dibagi menjadi dua, yaitu microfouling (bakteri) dan macrofouling (teritip). Pencemaran (fouling) juga dapat menyebabkan permasalahan korosif logam, rusaknya struktur bangunan dan bahan pada
bangunan pantai seperti dermaga, anjungan minyak, pelabuhan, dan tambak.
organisme laut. Sebagai contoh, konsentrasi tributyltin (TBT) dapat membunuh
biota laut dalam seketika. Tahapan pertumbuhan biofouling disajikan pada Gambar 3.
3.1. Waktu dan Lokasi
Penelitian mengenai “Eksplorasi Potensi dan Fungsi Senyawa Bioaktif Ascidian Didemnum molle sebagai Antifouling” dilaksanakan selama 4 bulan, dimulai pada bulan Maret 2011 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Pengambilan
sampel Didemnum molle dilakukan di Kepulauan Seribu, khususnya di sekitar Pulau Pramuka. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biokimia dan
Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK-IPB;
Pusat Studi Biofarmaka-LPPM IPB; Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan,
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA-IPB.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu yang digunakan saat eksplorasi potensi stok alami dan eksplorasi
senyawa bioaktif. Daftar alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian
Tahapan Alat Bahan
eksplorasi potensi stok alami 1. Pengambilan data
Alat scuba diving (AmScud) Rol meter 50 meter
Transek kuadrat 1m × 1m Hand GPS Garmin
Kamera underwater Sabak dan pensil
eksplorasi senyawa bioaktif 2. Pengambilan sampel
Alat scuba diving Timbangan digital Cool box
Es batu
Kamera underwater Kertas label
Tahapan Alat Bahan
3. Ekstraksi dan evaporasi
Erlenmeyer Hasil ekstrak etil asetat Hasil ekstrak n-heksan
5. Uji aktivitas antifouling
Kuas
3.3. Penentuan Stasiun Pengamatan dan Pengambilan Sampel
Penentuan stasiun pengamatan dan pengamblan sampel Didemnum molle dilakukan berdasarkan sampel acak yang mewakili beberapa bagian wilayah di
sekitar Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Lokasi pengamatan dan pengambilan
Gambar 4. Lokasi Pengambilan Sampel dan Survei Potensi Stok Didemnum molle di Kepulauan Seribu
2
3
3.4. Pengambilan Data Potensi Stok Alami
Pengamatan potensi stok alami ini meliputi distribusi dan persentase tutupan
ascidian. Pada masing-masing stasiun pengamatan, dibentangkan rol meter yang
arahnya tegak lurus dengan garis pantai sebagai transek garis. Selanjutnya pada
transek tersebut ditentukan empat titik pengambilan data yang dibedakan
berdasarkan kedalaman, yakni pada kedalaman 3, 6, 9, dan 12 meter.
Pengambilan data ascidian dilakukan dengan metode kuadrat (Suharsono,
1995), yaitu menggunakan besi berdiameter 8 mm, ukuran 1m × 1m yang
diletakkan secara acak pada setiap titik sampling dan dilakukan sebanyak tiga
ulangan. Jenis ascidian yang ditemukan pada setiap kuadrat dicatat dan dihitung
serta diidentifikasi berdasarkan morfologi tubuh dan warna yang disesuaikan
dengan buku identifikasi yang berjudul Tropical Pacific Invertebrate (Colin dan Arneson, 1995). Pengambilan data tersebut disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Pengambilan Data Potensi Stok Alami
Tegak lurus dengan garis pantai Rol meter
Transek kuadrat 1m x 1m
3 m
6 m
9 m
3.5. Pengambilan Sampel dan Pembuatan Substrat
Sampel Didemnum molle diambil di perairan Kepulauan Seribu, khususnya di sekitar Pulau Pramuka. Sampel tersebut kemudian disimpan di dalam coolbox selama perjalanan untuk menjaga kesegarannya, dan disimpan dalam freezer sampai akhirnya sampel tersebut akan diekstrak.
Selama menunggu hasil laboratorium untuk memperoleh senyawa bioaktif
dari Didemnum molle, dapat dilakukan pembuatan substrat untuk uji aktivitas antifouling. Substrat yang dibuat sebanyak tiga jenis substrat dengan jumlah masing-masing 18 kotak yang berukuran 10cm × 10cm. Adapun tiga jenis
substrat ini terdiri dari bahan beton yang merupakan tiruan dari jenis bangunan
pantai seperti dermaga dan pelabuhan; bahan besi yang merupakan tiruan dari
bahan kapal laut atau pipa bawah laut; bahan kayu sebagai tiruan dari kapal
nelayan atau bangunan pantai.
3.6. Ekstraksi dan Evaporasi Komponen Antifouling
Senyawa bioaktif dapat diperoleh dengan beberapa cara, salah satunya ialah
dengan metode ekstraksi. Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu
atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponen
tersebut. Komponen yang dipisahkan dengan ekstraksi dapat berupa padatan atau
cairan. Ada beberapa metode umum ekstraksi yang dapat dilakukan, namun
metode yang banyak digunakan adalah distilasi dan ekstraksi menggunakan
pelarut.
tunggal dengan menggunakan tiga jenis pelarut. Pelarut yang digunakan terdiri
dari pelarut polar (metanol) untuk mengekstrak senyawa polar, semi polar (etil
asetat) untuk mengekstrak senyawa semi polar, dan nonpolar (n-heksan) untuk
memisahkan lemak (lipid) atau melarutkan senyawa nonpolar. Pelarutan
menggunakan pelarut nonpolar hasil akhirnya lebih sedikit dibandingkan dengan
pelarut polar dikarenakan zat-zat bermuatan (polar) umumnya yang terlibat dalam
reaksi-reaksi untuk pemeriksaan kimia (Rivai, 1995).
Sampel segar Didemnum molle yang disimpan dalam freezer di-thawing terlebih dahulu kemudian dipotong-potong dan dimaserasi menggunakan ketiga
pelarut tersebut dengan banyak sampel yang telah dipotong-potong 50 gram pada
masing-masing pelarut. Adapun banyaknya masing-masing pelarut yang
digunakan untuk maserasi ialah 200 ml. Sampel yang dimaserasi tersebut dikocok
menggunakan orbital shaker selama 24 jam. Hasil maserasi yang berupa larutan disaring menggunakan kertas saring Whatman sehingga dihasilkan residu dan
filtrat. Diagram alir proses ekstraksi disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Diagram Alir Proses Ekstraksi Tunggal (Sumber: Quinn, 1988 in Safitri, 2010)
Pelarut PA (Pro Analisis)
Evaporasi
Filtrat Hasil
ekstrak Maserasi dengan pelarut
selama 24 jam
Penyaringan Sampel basah
50 gram
Pencacahan
Hasil ekstrak (filtrat) yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor,
yaitu kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran
partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan
perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel. Filtrat yang dihasilkan
kemudian dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan ekstraknya. Proses
evaporasi ini menggunakan rotary vacuum evaporator sehingga dihasilkan
ekstrak kasar. Ekstrak kasar ini kemudian dimasukkan ke dalam botol dan ditutup
rapat. Botol tersebut kemudian dilapisi alumunium foil agar tidak terjadi oksidasi dikarenakan botol yang digunakan berupa botol bening. Hasil ekstrak ini pun siap
untuk diuji fitokimia dan uji aktivitas antifouling.
3.7. Uji Fitokimia
Uji fitokimia merupakan analisis kualitatif yang mencakup pada aneka
ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup
(Harborne, 1987). Pada penelitian ini dilakukan uji fitokimia untuk menentukan
komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar Didemnum molle masing-masing pelarut. Identifikasi kandungan kimia tersebut terdiri dari uji alkaloid,
steroid/triterpenoid, fenolik, dan uji kuinon.
a. Uji Alkaloid
Alkaloid adalah golongan terbesar dari senyawa hasil metabolisme sekunder
yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait, 2007).
Senyawa alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau
dua lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid yang
mengandung heterosiklik biasanya disebut protoalkaloid. Keduanya merupakan
turunan dari asam amino (Harborne, 1987). Beberapa senyawa yang tergolong ke
dalam alkaloid berperan sebagai pengatur pertumbuhan dan pemikat serangga
(Suradikusumah, 1989).
Pengujian keberadaan alkaloid dilakukan dengan cara mengambil sampel
sebanyak 1 ml, kemudian diberi larutan NH3 1-3 tetes, dan dipanaskan beberapa
saat. Setelah itu, ditambahkan larutan kloroform 5 ml, kemudian ditambahkan
H2SO4 2M. Sampel dengan penambahan berbagai larutan kemudian
dihomogenisasi. Lapisan asam yang terbentuk kemudian diambil dan dibagi
menjadi tiga ke dalam spot test untuk diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu pereaksi dragendroff, meyer, dan wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan
pereaksi dragendroff terbentuk endapan merah hingga jingga, endapan putih
dengan pereaksi meyer, dan endapan coklat dengan pereaksi wagner.
b. Uji Steroid/Triterpenoid
Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30
asiklik, yaitu skualena. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik
lebur yang tinggi, dan umumnya sulit dikarakterisasi karena secara kimia tidak
reaktif (Harborne, 1987).
Steroid merupakan triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin
siklopentana perhidrofenantrena. Pada awalnya, steroid diduga merupakan
senyawa yang hanya terdapat pada hewan (sebagai hormon seks dan asam
empedu). Saat ini, senyawa tersebut telah ditemukan pada jaringan tumbuhan
Pengujian keberadaan triterpenoid/steroid dilakukan dengan cara mengambil
sampel sebanyak 1 ml, kemudian diberi larutan dietil eter 1 ml, lalu dituangkan ke
dalam cawan dan ditambahkan larutan H2SO4 pekat dan larutan CH3COOH
anhidrat 1 tetes. Hasil uji dinyatakan positif dengan ditemukan kerak berwarna
merah atau ungu untuk triterpenoid dan kerak warna hijau untuk steroid.
c. Uji Fenolik
Uji fenolik pada penelitian ini terdiri dari tiga uji, yaitu uji flavonoid, uji
tanin, dan uji saponin. Flavonoid merupakan senyawa fenol terbanyak yang
ditemukan di alam, dapat larut dalam air, dan dapat terekstraksi dengan etanol
70% (Suradikusumah, 1989). Flavonoid memiliki banyak kegunaan baik bagi
tumbuhan maupun manusia. Flavonoid digunakan tumbuhan sebagai penarik
serangga dan binatang lain untuk membantu proses penyerbukan dan penyebaran
biji. Sedangkan bagi manusia, dalam dosis kecil flavon bekerja sebagai stimulan
pada jantung, dan flavon yang terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai
antioksidan pada lemak (Sirait, 2007).
Tanin merupakan substansi yang tersebar luas dalam tanaman, seperti daun,
buah yang belum matang, batang dan kulit kayu. Pada buah yang belum matang,
tanin digunakan sebagai energi dalam proses metabolisme dalam bentuk oksidasi
tanin. Tanin juga sebagai sumber asam pada buah.
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam
lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan,
bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya
membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne, 1987). Saponin
yang menyebabkan saponin dapat dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saponin
yang beracun disebut sapotoksin (Sirait, 2007).
Adapun cara untuk menguji keberadaan flavonoid, tanin, dan saponin
dengan cara menyediakan sampel sebanyak 2 ml yang dimasukkan ke dalam
tabung reaksi kemudian ditambah akuades hingga 2 kali tinggi sampel. Setelah
itu, sampel tersebut dipanaskan beberapa saat dan dibagi menjadi tiga untuk
menguji keberadaan flavonoid, tanin, dan saponin.
Cara untuk menguji keberadaan flavonoid dengan cara menambahkan
sedikit serbuk magnesium, HCl pekat, dan amil alkohol ke dalam sampel.
Kemudian dihomgenisasi dan akan terlihat lapisan amil alkohol pada bagian atas.
Hasil uji positif sampel mengandung flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya
warna jingga atau kuning pada lapisan amil alkohol.
Cara untuk menguji keberadaan tanin dengan cara menambahkan 3 tetes
FeCl3 10% ke dalam sampel, kemudian dihomogenisasi. Hasil uji positif sampel
mengandung tanin ditunjukkan dengan terbentuknya warna hitam kehijauan.
Cara untuk menguji keberadaan saponin dengan cara mengocok kuat sampel
yang telah disiapkan sebelumnya. Hasil uji positif sampel mengandung saponin
ditunjukkan dengan terbentuknya busa atau buih yang stabil sekitar 15 menit dan
tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N.
d. Uji Kuinon
Kuinon merupakan senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar.
Kuinon dapat diidentifikasikan berdasarkan tujuannya menjadi empat kelompok,
yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga
glikosida atau dalam bentuk kuinon tanpa warna, dan juga bentuk dimer.
Isoprenoid kuinon terlihat dalam respirasi sel (ubikuinon) dan fotosintesis
(plastokuinon) yang secara umum terdapat dalam tumbuhan (Suradikusumah,
1989).
Adapun cara untuk menguji keberadaan kuinon dengan cara mengambil
sampel sebanyak 1 ml, kemudian ditambahkan metanol 2 ml, dan dipanaskan
selama beberapa saat. Setelah itu, ditambahkan NaOH 10% 1 ml. Hasil uji
positif sampel mengandung kuinon ditunjukkan dengan terbentuknya warna
merah.
3.8. Uji Aktivitas Antifouling
Uji aktivitas antifouling dilakukan beberapa tahap. Tahap pertama ialah percampuran cat dengan hasil ekstrak Didemnum molle yang terbaik dari hasil uji fitokimia. Setelah dilakukan pencampuran, cat tersebut dioleskan pada substrat
yang telah disiapkan sebelumnya menggunakan kuas. Kemudian substrat tersebut
ditanam di perairan yang banyak dijumpai biota penempel (khususnya teritip),
salah satunya di area dermaga yang menjadi tempat singgahnya kapal. Lokasi
penanaman substrat pada penelitian ini ialah di tiang-tiang dermaga Pulau Karya,
dengan cara mengikatkan substrat buatan pada tiang-tiang tersebut. Pengamatan
aktivitas antifouling dilakukan selama 1 bulan dengan melihat berapa banyak biota penempel dan apa saja yang menempel pada substrat setiap minggunya.
Semua jenis substrat yang telah dibuat mengalami 5 perlakuan yang
dibedakan dari komposisi bahan cat dan hasil ekstrak, yaitu 100% diolesi bahan
50% hasil ekstrak (P3); 25% bahan cat ditambah 75% hasil ekstrak (P4); 100%
diolesi hasil ekstrak (P5). Adapun yang menjadi kontrol dalam uji aktivitas
antifouling ini ialah substrat yang tidak mengalami perlakuan apapun. Rancangan penanaman substrat buatan disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Rancangan Penanaman Substrat Buatan
3.9. Analisis Data
3.9.1.Struktur Komunitas Ascidian
Pengambilan data jenis dan jumlah dari masing-masing spesies pada semua
stasiun ditujukan untuk mengetahui struktur komunitas ascidian pada stasiun
pengamatan. Data tersebut diolah sehingga dapat diketahui nilai Kepadatan,
Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dispersi Morisita.
Kepadatan menyatakan perbandingan jumlah individu per satuan luas,
Di=
... (1)
Keterangan:
Di = Jumlah individu ke-i per satuan luas Ni = Jumlah individu ke-i
A = Luas pengambilan data (m2)
Indeks Keanekaragaman (H’) digunakan untuk mendapatkan gambaran komunitas organisme secara matematis agar mempermudah analisis informasi
jumlah individu masing-masing spesies dalam suatu komunitas (Odum, 1971).
Keanekaragaman jenis ini dihitung dengan indeks Shannon-Wiener dengan rumus
sebagai berikut:
H’ = ... (2)
Keterangan:
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
pi = Perbandingan antara jumlah individu spesies ke-i (ni) dengan jumlah individu (N)
i = 1, 2, ... n
Kategori penilaian untuk keanekaragaman jenis adalah sebagai berikut:
H’ < 1 = Keanekaragaman rendah 1 < H’ < 3 = Keanekaragaman sedang
H’ > 3 = Keanekaragaman tinggi
Indeks keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas. Semakin merata penyebaran individu antar
spesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Indeks
E = ... (3)
Keterangan:
E = Indeks Keseragaman
H’ = Indeks Keanekaragaman
H’ max = Indeks Keanekaragaman maksimum (log2 S)
S = Jumlah total spesies
Kategori nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1 dengan kategori
sebagai berikut:
0 < E < 0,4 = Keseragaman kecil, komunitas tertekan 0,4 < E < 0,6 = Keseragaman sedang, komunitas labil 0,6 < E < 1 = Keseragaman tinggi, komunitas stabil
Untuk mengetahui pola sebaran spesies Ascidian ditentukan dengan
menghitung indeks dispersi Morisita (Brower et al., 1989) dengan persamaan:
Id = ……….…..… (4)
Keterangan:
Id = Indeks Dispersi Morisita
n = Jumlah plot pengambilan contoh N = Jumlah indvidu dalam n plot X = Jumlah individu pada setiap plot
Pola dispersi ascidian ditentukan dengan menggunakan kriteria sebagai
berikut (Brower et al., 1989): Id < 1 : Pola dispersi seragam Id = 1 : Pola dispersi acak
3.9.2. Potensi Stok Alami Ascidian
Data potensi stok alami ascidiandianalisis berdasarkan kepadatan, frekuensi
kemunculan jenis yang ditemukan, dan dominansi yang selanjutnya menentukan
Indeks Nilai Penting (INP) jenis tersebut. INP digunakan untuk menghitung dan
menduga dari peranan satu spesies atau jenis di dalam suatu komunitas (Brower et al., 1989). Semakin tinggi nilai INP suatu spesies relatif terhadap spesies lainnya, maka semakin tinggi peranan spesies tersebut dalam komunitasnya (Fachrul,
2007). INP dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kepadatan Relatif (RDi), Frekuensi Relatif (RFi), dan Dominansi Relatif (RCi)
(Soerianegara dan Indrawan, 2005).
RDi = ... (5)
Keterangan:
RDi = Kepadatan relatif Ni = Jumlah individu
= Jumlah total individu seluruh spesies
Fi = ... (6)
Keterangan:
Fi = Frekuensi jenis ke-i
Keterangan:
RFi = Frekuensi relatif Fi = Frekuensi jenis ke-i
= Jumlah frekuensi seluruh jenis
Ci = ... (8)
Keterangan:
Ci = Luas area yang tertutupi spesies ke-i ai = Luas total penutupan spesies ke-i A = Luas total pengambilan contoh
RCi = ... (9)
Keterangan:
RCi = Penutupan relatif
Ci = Luas area yang tertutupi spesies ke-i = Penutupan seluruh spesies
INP = RDi + RFi + RCi…... (10) Keterangan:
INP = Indeks Nilai Penting RDi = Kepadatan relatif RFi = Frekuensi relatif RCi = Penutupan relatif
3.9.3. Hasil Ekstrak Komponen Bioaktif Didemnum molle
Untuk mengetahui persentase dari sampel yang terekstraksi atau yang
dikenal dengan istilah rendemen ekstrak kasar pada suatu sampel digunakan
NRE = …... (11) Keterangan:
NRE = Nilai rendemen ekstrak (%) b1 = Bobot sampel awal
b2 = Bobot akhir (hasil ekstrak)
3.7.4. Uji Aktivitas Antifouling
Data yang diperoleh dari hasil uji aktivitas antifouling ialah berupa data pertambahan macrofouling. Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial in time. Faktor pertama adalah jenis substrat yang terdiri dari 3 taraf, yaitu kayu, besi, dan beton. Faktor kedua adalah perlakuan dengan komposisi bahan cat dan
hasil ekstrak yang terdiri dari 6 taraf, yaitu Kontrol tanpa perlakuan apapun (K);
100% diolesi bahan cat (P1); 75% bahan cat ditambah 25% hasil ekstrak (P2); 50%
bahan cat ditambah 50% hasil ekstrak (P3); 25% bahan cat ditambah 75% hasil
ekstrak ( P4); 100% diolesi hasil ekstrak (P5). Masing-masing kombinasi
perlakuan mendapat 3 ulangan. Model matematika rancangan tersebut menurut
Steel dan Torrie (1991):
Keterangan:
Yijk = Variabel respon akibat pengaruh substrat ke-i dan perlakuan ke-j pada ulangan ke-k
µ = Nilai tengah umum
Pi = Pengaruh substrat level ke-i Yj = Pengaruh perlakuan level ke-j
Pyij = Pengaruh interaksi antara substrat ke-i dengan perlakuan ke-j
ε
ij = Pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan ke-ijData yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan Analisis Ragam
(ANOVA) yang dioperasikan dengan bantuan software SAS. Jika hasil analisis ragam berbeda nyata atau berpengaruh nyata, data tersebut akan diuji lanjut
dengan uji Duncan. Adapun peubah yang diamati adalah jumlah macrofouling yang menempel pada substrat.
4.1. Struktur Komunitas Ascidian
Pengambilan data jenis dan jumlah dari masing-masing spesies di semua
stasiun pengamatan dilakukan untuk mengetahui struktur komunitas ascidian di
perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Diagram mengenai komposisi famili
dari seluruh stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Komposisi Famili Ascidian di Lokasi Penelitian
Di perairan Kepulauan Seribu, khususnya di perairan sekitar Pulau Pramuka
ditemukan 19 spesies dari 6 famili ascidian, dengan spesies dominan Didemnum molle (n = 790 individu) dari Famili Didemnidae. Hal tersebut menunjukkan bahwa spesies Didemnum molle sangat adaptif sesuai dengan pengamatan jangka panjang yang dilakukan oleh Yayasan TERANGI pada tahun 2005-2009
(Setyawan et al., 2011) menyatakan bahwa spesies Didemnum molle termasuk ke Ascidiidae, 1
Diazonidae, 165
Didemnidae, 945 Polycitoridae, 93
dalam 10 jenis makrobentos dengan kepadatan tertinggi (urutan kelima) di
wilayah Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS). Data yang diperoleh
kemudian diolah untuk mengetahui korelasi struktur komunitas ascidian
berdasarkan nilai Kepadatan, Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E).
4.1.1. Kepadatan Ascidian
Hasil pengamatan yang dilakukan di lima stasiun penelitian ini memiliki
kepadatan yang berbeda-beda, sebagaimana disajikan dalam pada Tabel 3.
Tabel 3. Kepadatan Ascidian di Kepulauan Seribu
[Keterangan: - tidak ditemukan adanya jenis ascidian tertentu]
Stasiun Spesies Kepadatan (ind/m
Stasiun Spesies Kepadatan (ind/m
Tabel 3 menunjukkan bahwa kepadatan ascidian di setiap stasiun pada
masing-masing kedalaman berbeda-beda. Kepadatan tertinggi terdapat di Stasiun
2 pada kedalaman 3 meter, sedangkan yang terendah terdapat di Stasiun 3 pada
kedalaman 12 meter. Stasiun 2 terletak di Selatan Pulau Panggang yang memiliki
kondisi perairan tampak jernih dengan penutupan karang lunak dan karang keras
yang cukup tinggi. Perairan di Timur Gosong Sekati merupakan stasiun
pengamatan ketiga (Stasiun 3) dengan kondisi tutupan karang terumbu yang
tergolong buruk, serta didominasi substrat pasir dan patahan karang.
Menurut Colin dan Arneson (1995), ascidian umumnya dijumpai di habitat
karang terumbu, baik yang didominasi karang hidup maupun yang sudah mati,
sedangkan pada substrat pasir, lumpur, dan patahan karang keragaman ascidian
berkurang dan hanya ditempati oleh jenis-jenis tertentu. Adanya perbedaan
kedalaman bukan menjadi faktor utama yang menyebabkan tinggi atau rendahnya
kepadatan ascidian. Hal tersebut terlihat dari variabilitas nilai kepadatan yang
tinggi untuk komunitas ascidian dari masing-masing kedalaman.
4.1.2.Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E) Ascidian Berdasarkan jumlah spesies dan jumlah individu pada setiap stasiun
keseragaman berupa rataannya. Diagram mengenai nilai rata-rata H’ dan E disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Nilai Rata-rata dan Standard Error (SE) H’ dan E Komunitas Ascidian di Lokasi Penelitian
Stasiun 1 (Selatan Karang Lebar), memiliki nilai keanekaragaman 1,36
dan keseragaman 0,56, yang mengindikasikan bahwa sekitar 56% populasi
tersebar merata pada seluruh spesies yang ada di lokasi tersebut. Di stasiun ini
ditemukan 12 spesies dengan populasi tertinggi untuk Rhopalaea sp., khususnya pada kedalaman 12 meter.
Stasiun 2 (Selatan Pulau Panggang), memiliki nilai keanekaragaman 1,08
dan keseragaman 0,80, yang mengindikasikan bahwa sekitar 80% populasi
tersebar merata pada seluruh spesies yang ada di lokasi tersebut. Di stasiun ini
ditemukan 4 spesies dengan populasi tertinggi untuk Didemnum molle, khususnya pada kedalaman 3 meter.
-0.50 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00
1 2 3 4 5
N
il
ai
H
'
d
an
E
Stasiun Pengamatan
Stasiun 3 (Timur Gosong Sekati), memiliki nilai keanekaragaman 1,31 dan
keseragaman 0,61, yang mengindikasikan bahwa sekitar 61% populasi tersebar
merata pada seluruh spesies yang ada di lokasi tersebut. Di stasiun ini ditemukan
9 spesies dengan populasi tertinggi untuk Diplosoma virens, khususnya pada kedalaman 9 meter.
Stasiun 4 (Timur Pulau Pramuka) memiliki nilai keanekaragaman dan
keseragaman 0 (nol). Hal ini terjadi dikarenakan di Stasiun 4 hanya terdapat satu
spesies (Didemnum molle) dalam transek pengambilan data.
Stasiun 5 (Utara Pulau Pramuka), memiliki nilai keanekaragaman 0,92 dan
keseragaman 0,62, yang mengindikasikan bahwa sekitar 62% populasi tersebar
merata pada seluruh spesies yang ada di lokasi tersebut. Di stasiun ini ditemukan
4 spesies dengan populasi tertinggi untuk Didemnum molle, khususnya pada kedalaman 12 meter.
4.2. Potensi Stok Alami dan Pola Sebaran Ascidian
Potensi stok alami dilihat berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP) yang
menggambarkan peranan suatu spesies relatif terhadap spesies lainnya dalam
suatu komunitas. Semakin besar INP berarti semakin tinggi peranan spesies
tertentu dalam komunitas. Kisaran INP menunjukkan apakah spesies tertentu
mempunyai peranan yang besar, sedang, atau rendah. Pada penelitian ini, INP
dianalisis per stasiun pengamatan karena jarak antar stasiun cukup jauh sehingga
memiliki karakteristik yang berbeda. Adapun untuk mengetahui pola sebaran
INP pada masing-masing stasiun pengamatan dari spesies yang ditemukan di
Kepulauan Seribu sangat bervariasi, mulai dari 6,05-300% dengan pola sebaran
secara umum seragam.
Tabel 4. Indeks Nilai Penting dan Indeks Dispersi Morisita Ascidian
[Keterangan: St stasiun; - tidak ditemukan adanya jenis ascidian tertentu; Id < 1 seragam; Id = 1 acak; Id > 1 mengelompok]
Jenis Indeks Nilai Penting (%) Id Sebaran
St 1 St 2 St 3 St 4 St 5
Didemnum mosleyi - - 39,33 - 59,04 0,1362 Seragam
Didemnum rubeum
Rhopalaea sp. 108,96 67,73 28,31 - - 0,4069 Seragam
Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa Didemnum molle paling dominan dibandingkan dengan spesies lain yang kehadirannya berada di semua stasiun
dengan INP yang cukup tinggi (74,26-300%). Stasiun 4 (Timur Pulau Pramuka)
memperoleh nilai tertinggi sebesar 300% dikarenakan pengambilan data
menggunakan kuadrat secara acak, di mana di stasiun tersebut hanya ditemukan
tertinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa Didemnum molle memiliki peranan besar pada komunitas ascidian.
Pola penyebaran Ascidian dengan Indeks Dispersi Morisita secara umum
seragam. Pada Tabel 4 terlihat bahwa Ascidian jenis Didemnum molle memiliki pola sebaran yang berbeda dengan spesies lain, yaitu sebaran mengelompok. Hal
tersebut dikarenakan spesies ini cukup berlimpah dibanding spesies lainnya dan
ditemukan pada semua stasiun pengamatan dan hampir ditemukan di semua
kedalaman. Pada spesies lainnya, nilai Id < 1 yang menandakan spesies tersebut memiliki pola sebaran seragam dengan frekuensi kemunculan yang lebih sedikit
dibandingkan dengan spesies Didemnum molle.
4.3. Hasil Ekstrak Komponen Bioaktif Didemnum molle
Ekstraksi merupakan peristiwa pemindahan zat terlarut antara dua pelarut
yang tidak saling bercampur. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan
bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif.
Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Rendemen Ekstrak Didemnum molle
Jenis Pelarut Bobot Awal (g) Bobot Akhir (g) Rendemen (%)
n-Heksan 50,15 2,14 4,27
Etil Asetat 50,02 5,96 11,91
Metanol 50,32 34,23 68,03
Ekstraksi dengan pelarut n-heksan bertujuan untuk memisahkan lemak
(lipid), pelarut etil asetat untuk mengekstrak senyawa semi polar, dan pelarut
metanol untuk mengekstrak senyawa polar.
Proses evaporasi dari filtrat Didemnum molle dengan ketiga jenis pelarut menghasilkan ekstrak kasar dengan karakteristik yang berbeda-beda. Ekstrak
ekstrak metanol memiliki warna hijau tua. Hasil ekstrak menggunakan ketiga
jenis pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda sehingga
menghasilkan rendemen ekstrak yang berbeda-beda.
Tabel 5 menunjukkan bahwa rendemen dengan pelarut polar (metanol)
memiliki nilai yang cukup tinggi dibanding pelarut lainnya. Menurut Rivai
(1995), pelarutan zat-zat yang tak bermuatan (nonpolar) itu tidak penting karena
zat-zatbermuatan (polar) inilah umumnya yang terlibat dalam reaksi-reaksi untuk
pemeriksaan kimia. Penggunaan pelarut metanol yang merupakan salah satu
pelarut polar akan lebih banyak terjadi reaksi-reaksi yang menyebabkan
terbentuknya senyawa kompleks yang terikat secara kimia sehingga rendemennya
lebih banyak dibandingkan dengan pelarut lainnya. Pelarut etil asetat yang
merupakan pelarut semi polar memiliki rendemen lebih besar dibanding pelarut
n-heksan (nonpolar), hal tersebut menunjukkan bahwa semakin polar suatu pelarut
maka semakin banyak senyawa kompleks yang terbentuk sehingga menghasilkan
rendemen ekstrak yang lebih tinggi.
Apabila dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, hasil
ekstrak metanol pada penelitian ini sangat tinggi (mencapai 68%) yang
diakibatkan karena hasil evaporasi berupa cairan pekat, diduga kadar air dalam
hasil ekstrak tersebut masih tinggi. Menurut Rivai (1995) menyatakan bahwa
semakin polar suatu pelarut maka kecenderungan dalam membentuk air akan
semakin tinggi. sehingga hasil ekstrak metanol akan memiliki kadar air yang jauh
4.4. Uji Fitokimia
Hasil ekstrak Didemnum molle menggunakan tiga pelarut yang berbeda, yaitu n-heksan (nonpolar), etil asetat (semi polar), dan metanol (polar) diuji
komponen bioaktifnya menggunakan uji fitokimia. Hasil uji fitokimia ekstrak
Didemnum molle disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Didemnum molle
[Keterangan : +++ sangat kuat, ++ kuat, + lemah, - tidak terdeteksi]
Jenis Uji
Jenis Pelarut
Standar (Warna)
n-Heksan Etil Asetat Metanol
1 2 1 2 1 2
Endapan merah atau jingga Endapan putih
Tabel 6 tersebut menunjukkan bahwa Didemnum molle memiliki beberapa kandungan senyawa yang terdeteksi dalam uji fitokimia. Dari tujuh senyawa yang
diuji, terdeteksi ada tiga senyawa yang terkandung pada sampel Didemnum molle, yaitu senyawa alkaloid, flavonoid, dan steroid. Banyaknya senyawa yang tidak
terdeteksi diduga sebagai akibat dari sampel basah Didemnum molle yang diekstraksi kemudian dievaporasi hingga dalam bentuk cairan pekat ini masih
memiliki kadar air yang masih tinggi.
Pada penelitian ini, dari tiga senyawa yang terdeteksi dalam analisis
fitokimia, dipilih hasil ekstrak metanol sebagai hasil ekstrak terbaik dikarenakan
(2007), alkaloid adalah golongan terbesar dari senyawa hasil metabolisme
sekunder yang terbentuk. Berdasarkan lokasi atom nitrogen di dalam stuktur
alkaloid, alkaloid terbagi menjadi beberapa golongan dengan fungsi yang berbeda.
Selain itu, yang menjadi pertimbangan digunakannya senyawa alkaloid tersebut
ialah pernyataan McClintock dan Baker (2001) yang mengemukakan bahwa salah
satu ascidian yang berpotensi sebagai antifouling adalah Eudistoma olivaceum yang memiliki senyawa alkaloid eudistomin.
4.5. Uji Aktivitas Antifouling
Uji aktivitas antifouling dilakukan dengan mencampurkan cat dengan hasil ekstrak terbaik yang diperoleh dari hasil uji fitokimia sebelumnya. Adapun hasil
uji fitokimia yang terbaik ialah hasil ekstrak dengan pelarut metanol. Setelah
ditentukan hasil ekstrak terbaik tersebut, kemudian pencampuran dengan cat
dilakukan dengan komposisi-komposisi tertentu yang kemudian dioleskan pada
substrat buatan. Adapun penentuan lokasi penempelan substrat buatan ini
meliputi area dermaga yang banyak ditemukan macrofouling (teritip) ialah di Pulau Karya. Hasil uji aplikasi lapang penempelan microfouling dan
Gambar 10. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Microfouling pada Kayu
Gambar 11. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Macrofouling pada Kayu
Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4
-2
Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4
[Keterangan : P1 (100% diolesi bahan cat); P2 (75% bahan cat ditambah 25% hasil ekstrak ); P3 (50% bahan cat ditambah 50% hasil ekstrak); P4 (25% bahan cat ditambah 75% hasil ekstrak); P5 (100% diolesi hasil ekstrak) Nilai 0 menandakan tidak ada; 0-0,9 menandakan sekitar 1/6 dari luasan substrat; 1-1,9 menandakan sekitar 2/6 dari luasan substrat; 2-2,9 menandakan sekitar 3/6 dari luasan substrat; 3-3,9 menandakan sekitar 4/6 dari luasan substrat; 4-4,9 menandakan sekitar 5/6 dari luasan substrat; 5 menandakan seluruh luasan substrat telah ditumbuhi microfouling]
Gambar 12. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Microfouling pada Besi
Gambar 13. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Macrofouling pada Besi
Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4
-0.3
Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4
[Keterangan : P1 (100% diolesi bahan cat); P2 (75% bahan cat ditambah 25% hasil ekstrak ); P3 (50% bahan cat ditambah 50% hasil ekstrak); P4 (25% bahan cat ditambah 75% hasil ekstrak); P5 (100% diolesi hasil ekstrak) Nilai 0 menandakan tidak ada; 0-0,9 menandakan sekitar 1/6 dari luasan substrat; 1-1,9 menandakan sekitar 2/6 dari luasan substrat; 2-2,9 menandakan sekitar 3/6 dari luasan substrat; 3-3,9 menandakan sekitar 4/6 dari luasan substrat; 4-4,9 menandakan sekitar 5/6 dari luasan substrat; 5 menandakan seluruh luasan substrat telah ditumbuhi microfouling]
Gambar 14. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Microfouling pada Beton
Gambar 10 menunjukkan penambahan jumlah microfouling pada substrat kayu semakin banyak pada setiap minggunya. Gambar 11 menunjukkan bahwa
penambahan jumlah macrofouling pada substrat kayu paling banyak ditemukan pada substrat yang menjadi kontrol. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh
penambahan komposisi bahan cat dan hasil ekstrak yang dioleskan pada substrat
kayu. Substrat P1 mengalami penambahan yang lebih rendah menunjukkan
adanya pengaruh komposisi hasil ekstrak dalam mengundang biota macrofouling berupa ascidian, terlihat dengan lebih besarnya penambahan biota macrofouling pada P5. Hal tersebut serupa dengan dominasi Balanus amphitrite yang
disebabkan oleh senyawa arthropodine yang diproduksinya sehingga spesies
teritip yang sama akan berkumpul dan tumbuh hingga terjadi penumpukkan
-0.5
Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4
(Boesono, 2008). Pada substrat kayu, P1 merupakan perlakuan yang cukup
efektif.
Gambar 12 menunjukkan penambahan jumlah microfouling pada substrat besi semakin banyak pada setiap minggunya. Dari Gambar 13 diketahui bahwa
penambahan macrofouling tertinggi teramati pada P4. Berbeda dengan substrat
kayu, pada substrat besi ini diduga bahwa hasil olesan bahan ekstrak pada P5 tidak
menempel pada besi tersebut, sehingga P5 tampak sama dengan kontrol yang tidak
mengalami perlakuan apapun. Hal tersebut terjadi karena bahan besi yang licin
dan diolesi oleh hasil ekstrak 100% tanpa ada bahan cat yang dapat merekatkan
olesan tersebut. Pada substrat besi, P1, P2, dan P5 merupakan perlakuan yang
efektif dikarenakan tidak ditemukannya macrofouling pada perlakuan tersebut. Gambar 14 menunjukkan penambahan jumlah microfouling pada substrat beton semakin banyak pada setiap minggunya, akan tetapi pada P3 dan P4
memiliki penampakan microfouling lebih sedikit dibanding dengan yang lainnya. Pada substrat beton tidak ada penambahan macrofouling selama periode 1 bulan pengamatan. Hal tersebut terjadi dikarenakan pada penempatan substrat beton
tersebut ditemukan predator seperti bulu babi (Diadema setosum) yang
merupakan biota filter feeder dan grazing. Diduga dengan keberadaan predator tersebut telah memakan microfouling dan larva biota yang akan menempel, sehingga memutus siklus terbentuknya macrofouling. Pada substrat beton P3, dan
P4 merupakan perlakuan yang paling efektif dikarenakan penambahan
microfouling di minggu keempat bernilai lebih rendah dibanding perlakuan yang lain.terbentuknya macrofouling. Pada substrat beton, P3, dan P4 merupakan
perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap penambahan jumlah biota
setiap minggunya. Terlihat adanya tingkat kesukaan dari biota penempel untuk
tumbuh pada subsrat, terutama pada jenis kayu tampak jelas lebih disukai
dibanding substrat yang lainnya.
Macrofouling yang menempel pada substrat buatan merupakan biota yang menjadi asal bahan ekstrak yang ditujukan sebagai antifouling pada penelitian ini, yaitu Didemnum molle. Hal tersebut menandakan bahwa senyawa alkaloid polar pada Didemnum molle kurang sesuai digunakan sebagai antifouling yang
ditunjukkan dengan adanya kecenderungan semakin banyak komposisi hasil
ekstrak yang digunakan, akan semakin banyak biota penempelnya. Diduga
adanya unsur-unsur tertentu dari Didemnum molle yang masih melekat pada hasil ekstrak sehingga menyebabkan banyaknya Didemnum molle yang menempel pada substrat buatan. Hal tersebut terjadi karena Didemnum molle merupakan hewan yang dapat berkoloni sehingga dapat mengundang jenisnya sendiri untuk tumbuh
di sekitarnya.
MenurutSetyawan et al.(2009), ascidian merupakan hewan yang
mengandung vanadium pada jaringan tubuhnya di mana vanadium tersebut akan
bersifat racun pada hewan lainnya sehingga menyebabkan suatu substrat yang
telah ditumbuhi oleh suatu koloni dari jenis ascidian akan kecil kemungkinan
untuk ditumbuhi oleh jenis biota lain. Penggunaan hasil ekstrak yang berasal dari
Analisis ragam terhadap substrat, perlakuan, dan minggu memperlihatkan
5.1. Kesimpulan
Didemnum molle merupakan salah satu spesies ascidian adaptif dengan Indeks Nilai Penting (INP) 74,26-300%, sehingga berperan penting secara ekologi
pada komunitas ascidian. Dari 5 lokasi di perairan Pulau Pramuka yang disurvei,
dijumpai 19 spesies ascidian, termasuk Didemnum molle. Kepadatan ascidian tertinggi terdapat di Stasiun 2 (Selatan Pulau Panggang). Pola sebaran ascidian
umumnya seragam, kecuali untuk Didemnum molle yang memiliki pola sebaran mengelompok.
Bioaktif Didemnum molle yang digunakan untuk uji aktivitas antifouling ialah senyawa alkaloid dari hasil ekstrak metanol. Komposisi bahan cat dan hasil
ekstrak yang digunakan untuk uji aktivitas antifouling paling efektif diterapkan pada substrat beton P3 (cat 50% + hasil ekstrak 50%) dan P4 (cat 25% + hasil
ekstrak 75%) berdasarkan lebih sedikitnya microfouling pada substrat tersebut. Hasil uji pada substrat besi bersifat efektif untuk P1 (cat 100%), P2 (cat 75% +
hasil ekstrak 25%), dan P5 (hasil ekstrak 100%) berdasarkan ketiadaan
macrofouling pada substrat tersebut, sedangkan pada substrat kayu hanya cukup efektif untuk P1. Senyawa alkaloid polar dari Didemnum molle kurang optimal
sebagai antifouling, karena biota penempel (macrofouling) pada penelitian ini adalah Didemnum molle.
5.2. Saran
Penanganan sampel harus dilakukan secara hati-hati dan cermat untuk
proses ekstraksi bioaktif dimana sampel yang akan diekstrak sebaiknya dilakukan
pengeringan terlebih dahulu untuk mengurangi kadar air dalam sampel.
Perlu penempatan atau pemasangan substrat buatan pada lokasi yang minim
ULFA NI’MAL AULIA
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
EKSPLORASI POTENSI DAN FUNGSI SENYAWA BIOAKTIF
ASCIDIAN
Didemnum molle
SEBAGAI
ANTIFOULING
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Oktober 2011
ULFA NI’MAL AULIA. Eksplorasi Potensi dan Fungsi Senyawa Bioaktif
Ascidian Didemnum molle sebagai Antifouling. Dibimbing oleh DIETRIECH GEOFFREY BENGEN dan ADRIANI SUNUDDIN
Penggunaan cat antifouling yang mengandung logam berat umum digunakan untuk memperkecil dampak penempelan biota pada struktur bangunan yang selalu terendam air, sehingga menjadi sebagai salah satu sumber pencemaran logam berat yang lambat laun akan terakumulasi di laut, dan akhirnya berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Penggunaan bahan antifouling yang ramah lingkungan dapat meminimalisir pencemaran lingkungan, salah satunya ialah dengan memanfaatkan senyawa bioaktif yang terkandung dalam suatu organisme. Didemnum molle merupakan salah satu spesies ascidian yang umum dijumpai di perairan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi potensi stok alami ascidian dan senyawa bioaktif Didemnum molle sebagai bahan antifouling.
Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu untuk pengamatan potensi stok ascidian, pengambilan sampel, dan uji aktivitas
antifouling. Laboratorium Biokimia dan Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Pusat Studi Biofarmaka-LPPM IPB, dan Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB menjadi lokasi untuk analisis sampel Didemnum molle. Untuk penilaian potensi stok ascidian digunakan metode transek kuadrat. Sampel Didemnum molle selanjutnya mengalami proses ekstraksi, evaporasi, uji fitokimia, dan uji aktivitas antifouling dengan mengaplikasikannya pada 3 jenis substrat, yaitu beton, besi, dan kayu. Uji aktivitas antifouling dilakukan dengan 5 perlakuan (P1
= cat 100%; P2 = cat 75% + hasil ekstrak 25%; P3 = cat 50% + hasil ekstrak 50%;
P4 = cat 25% + hasil ekstrak 75%; P5 = hasil ekstrak 100%).
Penilaian potensi stok alami ascidian pada penelitian ini dilakukan di 5 stasiun pengamatan. Ditemukan 19 spesies dari 6 famili ascidian, dengan spesies dominan Didemnum molle (790 individu) dari Famili Didemnidae. Kepadatan tertinggi ascidian terdapat di Stasiun 2 (Selatan Pulau Panggang) sebesar 114 individu/m2. Pola sebaran ascidian pada umumnya seragam, kecuali untuk Didemnum molle yang memiliki pola sebaran mengelompok dengan Indeks Nilai Penting berkisar antara 74,26-300%. Hal tersebut menunjukkan peranan
Didemnum molle yang penting secara ekologi dalam komunitas ascidian di perairan Pulau Pramuka.
Hasil uji fitokimia menggunakan 7 senyawa uji hanya mendeteksi 3 senyawa, yaitu alkaloid, flavonoid, dan steroid. Senyawa alkaloid pada hasil ekstrak
menggunakan pelarut metanol terdeteksi cukup kuat dibanding yang lain, sehingga hasilnya digunakan untuk uji aktivitas antifouling. Penambahan biota penempel paling banyak ditemukan pada substrat kayu, dan paling rendah pada substrat beton. Komposisi bahan cat dan hasil ekstrak yang paling efektif
digunakan pada substrat beton P3 dan P4; efektif digunakan pada substrat besi P1,
P2, dan P5; serta cukup efektif digunakan pada substrat kayu P1. Adapun yang
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya
2. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
ULFA NI’MAL AULIA C54070008
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : EKSPLORASI POTENSI DAN FUNGSI SENYAWA BIOAKTIF ASCIDIAN Didemnum molle SEBAGAI ANTIFOULING
Nama Mahasiswa : Ulfa Ni’mal Aulia Nomor Pokok : C54070008
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Utama
Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA, DAA
Anggota
Adriani Sunuddin, S.Pi NIP. 19590105 198312 1 001 NIP. 19790206 200604 2 013
Mengetahui,
Ketua Departemen
Tanggal Ujian: 15 November 2011
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi yang berjudul “EKSPLORASI POTENSI DAN FUNGSI SENYAWA
BIOAKTIF ASCIDIAN Didemnum molle SEBAGAI ANTIFOULING”. Penelitian ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar kesarjanaan, yaitu Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada orang tua atas doa, dukungan,
motivasi, dan pengertiannya bagi penulis; Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA,
DAA dan Adriani Sunuddin, S.Pi selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan; Dr. Ir. Nurjanah, MS selaku dosen penguji
atas saran-saran yang telah diberikan; para Dosen lainnya yang telah bersedia
melayani penulis dalam diskusi dan pencarian literatur; Fisheries Diving Club
(FDC-IPB) atas pendidikan dan pelatihan yang diberikan; ITK’44 atas dukungan dan kebersamannya; dan pihak lainnya yang telah memberi sumbang saran dan
bantuan terhadap penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini banyak terdapat
kekurangan sehingga saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Oktober 2011
Ulfa Ni’mal Aulia
Halaman DAFTAR TABEL ... vii DAFTAR GAMBAR ... viii DAFTAR LAMPIRAN ... ix 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 2.1 Ascidian ... 4 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi ascidian Didemnum molle ... 6 2.1.2 Pemanfaatan dan senyawa yang terkandung ... 8 2.2 Biofouling ... 9 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 11
3.1 Waktu dan Lokasi ... 11 3.2 Alat dan Bahan ... 11 3.3 Penentuan Stasiun Pengamatan dan Pengambilan Sampel... 12 3.4 Pengambilan Data Potensi Stok Alami ... 14 3.5 Pengambilan Sampel dan Pembuatan Substrat ... 15 3.6 Ekstraksi dan Evaporasi Komponen Antifouling ... 15 3.7 Uji Fitokimia ... 17 3.8 Uji Aktivitas Antifouling ... 21 3.9 Analisis Data ... 22 3.9.1 Struktur komunitas ascidian ... 22 3.9.2 Potensi stok alami ascidian ... 25 3.9.3 Hasil ekstrak komponen bioaktif Didemnum molle ... 26 3.9.4 Uji aktivitas antifouling ... 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29 4.1 Struktur Komunitas Ascidian ... 29 4.1.1 Kepadatan ascidian ... 30 4.1.2 Indeks keanekaragaman (H’) dan keseragaman (E) ascidian .. 31 4.2 Potensi Stok Alami dan Pola Sebaran Ascidian ... 33 4.3 Hasil Ekstrak Komponen Bioaktif Didemnum molle ... 35 4.4 Uji Fitokimia ... 37 4.5 Uji Aktivitas Antifouling ... 38
5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45 5.1 Kesimpulan ... 45 5.2 Saran ... 46
Halaman 1. Jenis dan Beberapa Bentuk Pemanfaatan Ascidian ... 9
2. Alat dan Bahan Penelitian ... 11
3. Kepadatan Ascidian di Lokasi Penelitian ... 30
4. Indeks Nilai Penting dan Indeks Dispersi Morisita Ascidian ... 34
5. Nilai Rendemen Ekstrak Didemnum molle ... 35 6. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Didemnum molle ... 37
1. Siklus Hidup Ascidian ... 6
2. [A] Bentuk dan Struktur Tubuh Ascidian Dewasa; [B] Organ Dalam Ascidian Dewasa; [C] Didemnum molle ... 7 3. Tahapan Pertumbuhan Biofouling pada Substrat ... 10 4. Lokasi Pengambilan Sampel dan Survei Potensi Stok Didemnum
molle di Kepulauan Seribu ... 13 5. Pengambilan Data Potensi Stok Alami ... 14
6. Diagram Alir Proses Ekstraksi Tunggal ... 16
7. Rancangan Penanaman Substrat Buatan ... 22
8. Komposisi Famili Ascidian di Lokasi Penelitian ... 29
9. Nilai Rata- rata dan Standard Error (SE) H’ dan E Komunitas
Ascidian di Lokasi Penelitian ... 32
10. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Microfouling
pada Kayu ... 39
11. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Macrofouling
pada Substrat Kayu ... 39
12. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Microfouling
pada Besi ... 40
13. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Macrofouling
pada Besi ... 40
14. Penambahan Rata- rata dan Standard Error (SE) Microfouling
pada Beton ... 41
Halaman 1. Jumlah Individu dari Masing-Masing Spesies yang Ditemukan
pada Penelitian ... 49
2. Indeks Nilai Penting (INP) Ascidian di Kepulauan Seribu ... 51
3. Hasil Uji Aktivitas Antifouling ... 52 4. Dokumentasi Kegiatan Penelitian ... 53
5. Hasil Analisis Stastistik Menggunakan Software SAS ... 55
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negeri yang kaya dengan sumberdaya hayati yang
menjadi penyusun kehidupan di lingkungan laut. Salah satu penyusun kehidupan
di laut ialah biota yang hidupnya menempel pada substrat ataupun pada struktur
tegakan yang terpapar air laut. Kehadiran biota penempel adalah peristiwa wajar
yang dilakukan oleh kelompok bakteri, tumbuhan, dan hewan. Penempelan biota
tersebut dapat juga terjadi pada berbagai infrastruktur, yaitu pada kapal dan
bangunan pantai. Penempelan oleh biota penempel merupakan pengotoran
biologis yang dikenal dengan istilah biofouling. Adapun jenis biota penempel yang umum dijumpai terdiri dari berbagai jenis, yaitu teritip, hidrozoid, moluska,
bryozoa, ascidian, dan alga.
Beberapa jenis biota penempel ada yang berpotensi invasif terhadap
infrastruktur kelautan, sehingga menyebabkan kerusakan dan memperpendek
umur dan daya guna infrastruktur, menambah biaya operasional, perawatan
meningkat, selain itu dapat menimbulkan korosivitas pada infrastruktur tersebut.
Contohnya teritip, yang menempel pada bangunan pantai dan kapal, yang pada
kondisi tertentu dapat mengeluarkan suatu zat yang mampu merusak substrat yang
ditumpanginya.
Upaya yang dilakukan selama ini untuk mencegah pelekatan biota penempel
yang merusak tersebut ialah dengan mengecat bangunan pantai dan kapal
menggunakan cat antifouling yang mengandung logam berat. Penggunaan logam berat tersebut diduga sebagai salah satu sumber pencemaran logam berat yang
akan terakumulasi di laut, dan akhirnya berdampak pada penurunan
kualitas lingkungan. Dalam rangka memperkecil dampak dari biofouling pada struktur bangunan yang selalu terendam air, maka diperlukan antifouling yang ramah lingkungan dan mengandung unsur alami untuk menghindari pencemaran
lingkungan.
Penerapan bioteknologi dalam rangka menghasilkan produk bahan alami
yang berasal dari organisme laut umumnya tidak menimbulkan efek samping dan
bersifat mudah terurai secara alami (biodegradable). Salah satu alternatif yang saat ini mulai dilirik untuk mencegah keberadaan biota penempel adalah dengan
memanfaatkan kandungan bahan aktif yang berasal dari alam, khususnya laut.
Usaha penanggulangan biota penempel menggunakan bahan aktif atau yang
dikenal juga sebagai senyawa bioaktif ini merupakan alternatif yang lebih efisien
dan ramah terhadap lingkungan (Linawati, 1998).
Ascidian adalah salah satu biota laut yang belum banyak dikaji secara
intensif, namun mempunyai potensi yang cukup besar di perairan Indonesia, yang
habitatnya umum dijumpai di perairan terumbu karang. Biota yang termasuk
dalam Filum Chordata ini mendiami hampir seluruh perairan di dunia daerah
tropis, temperate, kutub, dan bahkan ada beberapa spesies yang ditemukan di laut dalam (Abrar, 2004). McClintock dan Baker (2001) mengemukakan bahwa
ascidian ini merupakan biota bentik yang memiliki kemampuan untuk
mengeluarkan metabolit sekunder pada proses metabolismenya sebagai
pertahanan diri. Senyawa bioaktif yang dikeluarkan oleh ascidian ini dapat
berfungsi sebagai antifouling, antikanker, antitumor, dan antivirus.
dimiliki oleh ascidian, kajian dalam penelitian ini diarahkan untuk meningkatkan
pemahaman dan pengetahuan di bidang ilmu kelautan terkait senyawa bioaktif
yang dimiliki ascidian Didemnum molle sebagai bahan potensial antifouling. Didemnum molle ini merupakan salah satu biota dari Famili Didemnidae, yang hidup berkoloni dan umum ditemukan di perairan Indonesia.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengeksplorasi potensi stok alami ascidian dari jenis Didemnum molle di perairan Kepulauan Seribu, khususnya di sekitar Pulau Pramuka