• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resistance of Three Wood Species from Community Forests Against Subterranean Termite

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Resistance of Three Wood Species from Community Forests Against Subterranean Termite"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

KETAHANAN TIGA JENIS KAYU HUTAN RAKYAT

TERHADAP SERANGAN RAYAP TANAH

LIZZA VERINITA

 

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

LIZZA VERINITA. E24080078. Ketahanan Tiga Jenis Kayu Rakyat terhadap Serangan Rayap Tanah. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr. dan Dra. Jasni, M.Si

Kayu yang berasal dari hutan rakyat umumnya mempunyai ketahanan yang rendah sehingga umur pakainya lebih pendek dibandingkan kayu dari hutan alam. Untuk meningkatkan umur pakainya maka perlu dilakukan cara atau proses yang sesuai dengan penggunaannya, salah satunya adalah proses pengawetan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ketahanan tiga jenis kayu dengan memakai bahan pengawet persenyawaan boron (asam borat 45% + Boraks pentahedrat 54%) dengan konsentrasi 1,5%, 3% dan 4,5% BAE. Jenis kayu yang digunakan adalah kayu karet (Hevea brasiliensis), mahoni (Swietenia macrophylla) dan mindi (Melia azedarach). Metode pengawetan yang digunakan adalah rendaman dingin selama 10 hari , dan pengukusan 2 jam dan rendam dingin 2 hari. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium dan lapangan.

Hasilnya menunjukkan dari ketiga jenis kayu diawetkan dengan berbagai konsentrasi, ternyata kayu karet dari ketahanan alami kelas V dapat meningkat kelas II dengan konsentrasi 4,5%. Untuk kayu mahoni dari kelas III dapat meningkat menjadi kelas I dengan konsentrasi 4,5%. Untuk kayu mindi dari kelas IV dapat meningkat menjadi kelas I dengan konsentrasi diatas 3%. Untuk penelitian lapangan, ketiga jenis kayu dengan perlakuan persenyawaan boron ini tidak tahan terhadap serangan rayap tanah terutama kayu karet, sehingga bahan pengawet ini tidak cocok digunakan untuk penggunaan diluar atap atau alam terbuka dan cocok digunakan untuk barang kerajinan, mebel dan peralatan rumah tangga.

(3)

by

Lizza Verinita1, Yusuf Sudo Hadi 2, Jasni 3

INTRODUCTION: Wood from community forest generally had a low resistant to subterranean termite, so the service life is shorter than the timber from natural forest. To increase the service life we need a way or process according to the use, one of it is the preservation processing. The purpose of this research was to determine the resistance of three wood species from community forest using preservation boron compounds (boric acid 45% + borac pentahedrat 54%) with a concentration of 1.5%, 3% and 4.5% BAE.

MATERIAL AND METHODS: Wood species used were rubber wood (Hevea brasiliensis), mahogany (Swietenia macrophylla) and mindi (Melia azedarach) and preservation boron compounds (boric acid boric pentahedrat 45% + 54%) with a concentration of 1.5%, 3% and 4.5% BAE. While the preservation methods used were cold soaked for 10 days and steaming 2 hours following by cold soak 2 days. This research was conducted in the laboratory regarding to Indonesian standard and the field regarding to Hadi et al. 2010.

RESULT AND DISCUSSION: The results showed that both preservation methods were effective increasing wood resistant to subterranean termite for laboratory test. Rubber-wood with has resistance class V increased to be class II with 4.5% concentration, mahogany from class III increased to be class I with 4.5% concentration and for mindi from class IV increased to be class I with 3% concentration or more. In the field test preservation with boron was not effective, so boron is assumed for interior goods such furniture, handycraft, and housing equipment.

Key words: Laboratory and field test, subterranean termites, boron compound, preservation.

1

Student of Forest Products Department, Faculty of Forestry, IPB 2

Lecturer of Forest Products Department, Faculty of Forestry, IPB 3

Researcher of Biology Forest Products Preservative Scientist, Putekolah, Bogor

Resistance of Three Wood Species from Community Forests Against Subterranean

Termite

 

(4)

KETAHANAN TIGA JENIS KAYU RAKYAT TERHADAP

SERANGAN RAYAP TANAH

LIZZA VERINITA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ketahanan Tiga Jenis Kayu Rakyat terhadap Serangan Rayap Tanah adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

 

Bogor, September 2012

(6)

Judul Skripsi

Nama NRP

:

: :

Ketahanan Tiga Jenis Kayu Rakyat terhadap Serangan Rayap Tanah

Lizza Verinita E24080078

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Mengetahui,

Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc.

NIP. 1966 0212 199103 1 002

Tanggal Lulus : Ketua,

Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr.

NIP. 19521113 197803 1 002

Anggota,

Dra. Jasni, M. Si.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Ketahanan Tiga Jenis Kayu Rakyat terhadap Serangan Rayap Tanah” yang bertujuan untuk mengetahui ketahanan kayu karet, kayu mahoni dan kayu mindi terhadap rayap menggunakan bahan pengawet senyawa boron dengan pengujian skala laboratorium terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus) dan pengujian lapangan

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat memenuhi tujuan penyusunan serta memberikan manfaat bagi pembaca sekalian.

Bogor, September 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekalongan, Jawa Tengah pada tanggal 23 Mei 1990 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mohammad Irsan dan Ibu Sutiyah. Penulis memperoleh pendidikan yang dimulai dari SD Muhammadiyah Paesan Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan yang diselesaikan pada tahun 2002 dan melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Kedungwuni Kabupaten Pekalongan dan lulus pada tahun 2005, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Kedungwuni Kabupaten Pekalongan pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi / Mayor Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Pada tahun 2011 penulis memilih Biokomposit sebagai bidang keahlian. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di sejumlah organisasi diantaranya adalah menjadi anggota Divisi Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) 2009-2010, dan panitia KOMPAK Departemen Hasil Hutan tahun 2010. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang kewirausahaan pada tahun 2011 yang didanai oleh Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional yang berjudul “Potensi Kamper Imitasi dengan Bahan Dasar Kayu Manis sebagai Alternatif Pemberi Wangi Aromatik dan Pencegah Bakteri”. Selama menjadi mahasiswa, penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktik lapang antara lain Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada bulan Juli 2010 di Baturaden dan Cilacap, Jawa Tengah. Pada bulan Juli 2011 penulis melakukan Praktik Pengelolaan Hutan (P2H) di Gunung Walat, Sukabumi. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di KBM IK Brumbung, Perum Perhutani Unit 1, Semarang pada tahun 2012.

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat.

Skripsi ini tidak dapat penulis selesaikan tanpa adanya dukungan beberapa pihak. Atas segala bantuan dari semua pihak, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Papi, Ibu, Kakak-kakaku (Tia dan Arista) dan segenap keluarga penulis atas doa, kasih sayang, perhatian dan semangat yang diberikan.

2. Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr. dan Dra. Jasni, M. Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan pengarahan, ilmu, bimbingan, dan motivasi kepada penulis.

3. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M. Si selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Jajang Suryana, M. Sc selaku pimpinan sidang.

4. Teman-teman satu bimbingan Shinta Hernawati, Fanji Sanjaya, dan Fasi Kristopani atas kebersamaan dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.

5. Teman-teman THH 45 atas kebersamaan dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.

6. Teman-teman Kost Putri Assy-syfa dan kawan-kawan serta teman-teman IMAPEKA atas dukungan dan keceriaan yang diberikan.

7. Seluruh keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu kelancaran studi penulis, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian skripsi ini.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Manfaaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Mahoni ... 3

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 11

3.1. Waktu dan Tempat ... 11

3.2. Alat dan Bahan ... 11

3.3. Metode ... 11

3.3.1. Persiapan Pembuatan Contoh Uji ... 11

3.3.2. Pengawetan Contoh Uji ... 11

3.3.3. Uji Laboratorium terhadap Rayap Tanah dengan Metode SNI 01. 7202 – 2006 ... 12

3.3.4. Uji Lapang (Graveyard Test) ... 15

3.3.5. Analisis Data ... 15

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

4.1. Retensi ... 17

4.2 Pengujian Laboratorium ... 18

4.2.1 Kehilangan Berat ... 19

4.2.2 Mortalitas ... 21

4.2.3 Derajat Serangan terhadap Rayap Tanah ... 23

4.3. Pengujian Lapangan ... 24

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

5.1 Kesimpulan ... 26

(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 27 LAMPIRAN ... 30  

 

 

 

 

 

 

 

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Klasifikasi Ketahanan Kayu terhadap Serangan Rayap Tanah Berdasarkan

Penurunan Berat ... 13

2. Derajat Serangan Rayap ... 14

3. Retensi Contoh Uji Laboratorium ... 17

4. Kehilangan Berat (%) Tiga Jenis Kayu terhadap Serangan Rayap Tanah ... 19

5. Mortalitas Rayap Tanah ... 22

6. Derajat Serangan Rayap Tanah ... 23

(13)

DAFTAR GAMBAR

 

No. Halaman

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

 

No. Halaman

1. Analisis Sidik Ragam Retensi ... 31

2. Analisis Sidik Ragam Kehilangan Berat Contoh Uji ... 32

3. Analisis Sidik Ragam Mortalitas Rayap ... 33

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1. 1. Latar Belakang

Potensi hutan rakyat sangatlah besar baik dari segi populasi pohon maupun masyarakat yang mengusahakannya yang ternyata mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Departemen Kehutanan RI (2010) menyatakan bahwa total produksi kayu bulat di Indonesia sebesar 34,32 juta m3, sebanyak 55,22% (18,95 juta m3) diantaranya dihasilkan dari hutan tanaman industri, 19,28% (6,62 juta m3) dari industri penggergajian kayu, 14,16% (4,86 juta m3) dari HPH, (3,80 juta m3) dihasilkan dari hutan rakyat dan kayu perkebunan, serta 0,25% (0,88 juta m3) dari Perhutani.

Umumnya, kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat didominasi oleh kayu yang memiliki kualitas yang relatif lebih rendah, khususnya dalam hal kekuatan dan keawetan alami jika dibandingkan dengan kayu-kayu dari hutan alam. Hal ini menyebabkan kayu tersebut sangat rentan terhadap serangan organisme perusak kayu sehingga masa pakai kayu tersebut pendek. Dari sekitar 4000 jenis kayu Indonesia sebagian besar (80-85%) berkelas awet rendah (III, IV, dan V) dan hanya sekitar 15 % saja yang berkelas awet tinggi (Martawijaya 1981 dalam Barly dan Martawijaya 2000)

(16)

jenis bahan pengawet tersebut tersedia secara komersial. Di Indonesia, bahan pengawet kebanyakan masih diimpor, salah satu diantaranya mengandung campuran garam tembaga-khromium-boron (Anonim 1999; Anonim 2003). Setelah beberapa negara melakukan pembatasan dan pelarangan bahan pengawet kayu dengan bahan aktif arsen terutama bagi kayu bangunan perumahan (Ahn et al. 2008; Anonim 2009), senyawa boron termasuk asam borat dan boraks merupakan bahan kimia yang banyak dipilih karena mempunyai toksisistas yang rendah (Yamauchi et al. 2007; Mampe 2010). Menurut Carr (1962) dalam Barly dan Supriana (1999) boron diketahui dapat menghambat aktivitas protozoa dalam perut rayap sehingga dapat menyebabkan rayap mati kelaparan.

1. 2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui ketahanan kayu mahoni, kayu mindi, dan kayu karet terhadap rayap tanah menggunakan bahan pengawet boron (asam borat 45% dan boraks pendahedrat 54%) dengan pengujian skala laboratorium dan pengujian lapangan.

1. 3. Manfaaat Penelitian

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mahoni

Mahoni merupakan famili Meliaceae yang meliputi dua jenis yaitu

Swietenia macrophylla King (mahoni daun besar) dan Swietenia mahagoni Jacq (mahoni daun kecil). Daerah penyebarannya di seluruh Jawa (Martawijaya et al. 1989). Jenis ini tergolong pohon yang mampu mengadakan pemangkasan alami dan dapat mencapai ketinggian 35 m. Tajuknya rapat dan lebat, daunnya berwarna hijau tua. Mahoni tumbuh menyebar luas secara alami atau dibudidayakan. Jenis ini merupakan jenis asli dari Meksiko, bagian tengah dan selatan Amerika yaitu sekitar wilayah Amazon. Penanaman dan pembudidayaannya secara luas dilakukan di daerah Asia Bagian Selatan dan Pasifik (Departemen Kehutanan RI 2001).

Menurut Samingan (1982) mahoni banyak digunakan sebagai bahan baku pelapis kategori mewah. Serat kayunya cukup indah memberikan lukisan-lukisan garis yang khas pada sayatan kayu, dengan berat jenis rata-ratanya 0,61 dan termasuk dalam katagori kelas awet III dan kelas kuat II – III, dengan kayu teras berwarna coklat kemerahan. Selain sebagai bahan baku kayu lapis mahoni juga banyak digunakan sebagai bahan bangunan, meubel, lantai dan rangka pintu.

2.2. Mindi

(18)

Kayu teras berwarna merah coklat muda keunguan, gubal berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Serat lurus atau agak berpadu, berat jenis rata-rata 0,53 (Martawijaya et al. 1989). Penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur 3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial). Kayu mindi tergolong kelas kuat III-II, setara dengan mahoni, sungkai, meranti merah, dan kelas awet IV-V. Pengeringan alami, pada papan tebal 2,5 cm dari kadar air 37% sampai 15% memerlukan waktu 47 hari, dengan kecenderungan pecah ujung dan melengkung. Pengeringan dalam kilang yang dianjurkan adalah pada suhu 60-80oC.

Kayu mindi sudah terbukti baik sebagai bahan baku mebel untuk ekspor dan domestik karena kayunya bercorak indah, mudah dikerjakan dan dapat mengering tanpa cacat (Martawijaya et al. 1989).

2.3. Karet

Kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) memiliki ciri umum yaitu kayu teras berwarna putih kekuning-kuningan pucat, terkadang warna merah jambu jika masih segar, lambat laun berubah menjadi kuning jerami atau coklat pucat, tidak tegas batasnya dengan gubal. Kayu karet juga memiliki corak kayu yang polos dengan tekstur yang agak kasar tetapi rata (Prosea 1997).

Menurut Pandit & Kurniawan (2008), kayu karet biasanya dibuat perabot rumah tangga, panel dinding, bingkai gambar atau lukisan, lantai parket, inti papan blok, palet, peti wadah, peti jenazah, vinir, kayu lamina untuk rumah tangga, kerangka pintu dan jendela.

Kayu karet memiliki berat jenis 0,61 (0,55-0,70), kelas awet V, kelas kuat II-III dan termasuk dalam famili Euphorbiaceae. Nama lain dari kayu karet adalah balam perak (Palembang), para rubber (Belanda).

2.4. Rayap Tanah

(19)

hidup dalam kelompok-kelompok sosial dengan sistem kasta yang telah berkembang. Kondisi iklim dan tanah, serta banyaknya ragam jenis tumbuhan di Indonesia membuat terdapat 200 jenis rayap di Indonesia (Nandika et al. 2003).

Dalam setiap koloni rayap, pada umumnya terdapat tiga kasta yang dinamai menurut fungsinya masing-masing yaitu kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif yang terdiri dari kasta primer (raja dan ratu). Dalam hal ini bentuk (morfologi) dari setiap kasta sesuai dengan fungsinya masing-masing (Kofoid 1946) dalam Nandika (1986).

Menurut Nandika (1986), kasta pekerja merupakan anggota terbesar dalam koloni, berbentuk seperti nimfa dan berkepala pucat dengan kepala hipognat tanpa mata faset, mandiblenya relatif kecil bila dibandingkan dengan kasta prajurit, sedangkan fungsinya mencari makanan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang. Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepala yang besar dengan penebalan kulit yang nyata, mempunyai rahang yang besar dan kuat. Sedangkan fungsi dari kasta prajurit melindungi koloni terhadap gangguan dari luar. Kasta reproduktif sendiri terdiri dari serangga-serangga dewasa yang bersayap dan menjadi pendiri koloni (raja dan ratu).

Sampai saat ini telah tercatat kira-kira 2000 jenis rayap tersebar di seluruh dunia, sedangkan di Indonesia telah ditemukan kurang lebih 200 jenis rayap (Tarumingkeng 2001). Dari sekian banyak jenis rayap, diketahuai bahwa kerusakan kayu lebih banyak ditimbulkan oleh golongan rayap subteran. Rayap subteran adalah golongan rayap yang bersarang di dalam tanah dan yang membangun liang-liang kembara yang berfungsi untuk menghubungkan sarang dengan benda yang diserang.

Golongan rayap subteran selalu menghindari cahaya dan membutuhkan kelembaban yang tinggi dalam kehidupannya. Karena sifatnya yang cryptobiotic

(20)

dikenal dengan sebutan rayap tanah. Coptotermes curvignathus merupakan rayap tanah yang berukuran besar dan memiliki serangan yang paling luas di Indonesia.

Coptotermes curvignathus Holmgren dapat bersarang di dalam kayu yang mati atau yang masih hidup serta di dalam tanah. Sistematika jenis rayap ini adalah :

Kelas : Insekta

Ordo : Blatodea

Famili : Rhinotermitidae subfamili : Coptotermitinae

Genus : Coptotermes

Spesies : Coptotermes curvignathus Holmgren

2.5. Keawetan Alami Kayu

Menurut Martawijaya (2000) dalam Barly (2007) keawetan merupakan salah satu sifat dasar kayu yang penting. Nilai suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh keawetannya, karena bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya akan kurang berarti jika keawetannya rendah. Selain bergantung kepada jenis kayunya, keawetan kayu bergantung kepada jenis organisme perusak kayu yang menyerangnya. Sesuatu yang mempunyai daya tahan tinggi terhadap suatu organisme, belum tentu tahan terhadap organisme lain. Di samping itu, sebagian besar kayu tidak tahan terhadap suhu udara yang berubah-ubah, kelembaban, dan air.

(21)

meningkat beberapa kali lipat. Untuk kayu perumahan minimal dapat mencapai 20 tahun (Abdurrohim 2007).

Pada tiap tahap pengolahan sampai pemakaian, kayu dihadapkan pada beragam jenis organisme perusak kayu yang siap mengancam, seperti bakteri, jamur, rayap kayu kering, rayap tanah, bubuk kayu kering, dan binatang penggerek kayu (Wilkinson 2005 dalam Barly 2007). Dalam keadaan basah kayu dapat diserang jamur, serangga bubuk kayu basah, dan rayap tanah jika disimpan terlalu lama. Dalam keadaan kering, kayu dapat diserang rayap kayu kering, rayap tanah, dan bubuk kayu kering. Kayu yang dipasang di laut dapat diserang binatang laut penggerek kayu (marine borer). Perubahan yang terjadi tidak hanya menurunkan kualitas tetapi kuantitas juga karena ada yang benar-benar memakan habis kayu (Tarumingkeng 2001 dalam Barly 2007).

Keterawetan kayu adalah kemampuan kayu untuk ditembus oleh bahan pengawet sampai mencapai retensi dan penetrasi tertentu yang secara ekonomis menguntungkan dan efektif untuk mencegah faktor perusak kayu. Sifat keterawetan jenis kayu tertentu diteliti dengan proses pengawetan, bahan pengawet, dan kadar air kayu tertentu. Ini akibat keterawetan dipengaruhi oleh jenis kayu, kadar air kayu yang diawetkan, proses pengawetan, dan bahan pengawet yang digunakan (Abdurrohim dan Martawijaya 1996 dalam Abdurrohim 2007).

2. 6. Pengawetan Kayu

Pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan kimia beracun atau bahan pengawet ke dalam kayu untuk memperpanjang masa pakai kayu. Pemberian bahan pengawet ke dalam kayu tidak awet diharapkan dapat memperpanjang usia pakai kayu, minimal sama dengan usia pakai kayu kelas awet I yang tidak diawetkan (Batubara 2006).

(22)

diperhatikan sifat-sifat bahan pengawet agar sesuai dengan tujuan pemakaian. Adapun syarat bahan pengawet yang baik adalah :

1. Bersifat racun terhadap makhluk perusak kayu. 2. Mudah masuk dan tinggal di dalam kayu.

3. Bersifat permanen, tidak mudah luntur dan menguap.

4. Bersifat toleran terhadap bahan-bahan lain misalnya logam, perekat, dan cat. 5. Tidak mempengaruhi kembang susut kayu.

6. Tidak merusak sifat-sifat kayu seperti sifat fisik, mekanik, dan kimia. 7. Tidak mudah terbakar atau mempertinggi bahaya kebakaran.

8. Tidak berbahaya bagi manusia dan hewan peliharaan. 9. Mudah dikerjakan, diangkut, mudah didapat, dan murah.

Bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah senyawa boron (asam borat 45% dan boraks pentahedrat 54%). Penggunaan bahan pengawet ini dikarenakan setelah beberapa negara melakukan pembatasan dan pelarangan bahan pengawet kayu dengan bahan aktif arsen terutama bagi kayu bangunan perumahan (Ahn et al. 2007; Anonim 2009) , senyawa boron termasuk asam borat dan boraks merupakan bahan kimia yang banyak dipilih karena mempunyai toksisistas yang rendah (Yamauchi et al. 2007; Mampe 2010). Menurut Carr (1962) dalam Barly (2007), boron diketahui dapat menghambat aktivitas protozoa dalam perut rayap sehingga dapat menyebabkan rayap mati kelaparan. Sodium tetraborat dekahidrat, atau yang lebih dikenal dengan nama boraks, merupakan salah satu senyawa sumber unsur boron. Boron tersebar luas di lingkungan, hadir dalam lebih dari 80 jenis mineral, dan menyusun 0,001% kerak bumi. Penggunaannya yang umum adalah sebagai herbisida, fungisida, pengawet kayu, dan penolak serangga. Bagi tanaman, boron merupakan elemen nutrisi yang esensial, sehingga dimanfaatkan dalam pupuk. Sementara bagi manusia dan hewan, boron juga diperlukan dalam banyak fungsi kehidupan seperti embriogenesis, pertumbuhan dan pemeliharaan tulang, fungsi imun, kemampuan psikomotor, dan fungsi kognitif.

(23)

natrium dikhromat dan asam borat dan mengujinya terhadap rayap tanah, rayap kayu kering, dan jamur pelapuk kayu.

Secara tunggal kelarutan boraks dan asam borat dalam air pada suhu kamar relatif rendah, yaitu masing-masing 1,3% dan 2, 6% (Lange 1967) sehingga dalam praktek pengawetan kayu lazim dipakai larutan campuran boraks dan asam borat (1,00 : 1,52), larutan tersebut dinyatakan setara dengan asam borat (boric acid equivalent = BAE) yang dipakai sebagai dasar perhitungan retensi (Anonim 1962). Penambahan boraks dalam jumlah banyak dapat meningkatkan pH larutan karena boraks bersifat basa dan pencampurannya dengan fungisida lain mempunyai harapan besar (Richardson 1978).

Efektifitas bahan pengawet tidak hanya ditentukan oleh daya racunnya saja, tetapi juga oleh metode pengawetan serta retensi dan penetrasinya ke dalam kayu. Ada beberapa cara untuk memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu, salah satunya dengan :

1. Metode Rendaman Dingin

Menurut Dumanau (2001), keuntungan dan kerugian metode rendaman dingin dalam pengawetan adalah :

• Keuntungan :

a. Retensi dan penetrasi bahan pengawet lebih banyak dibanding metode pelaburan, penyemprotan, dan pencelupan.

b. Kayu dalam jumlah banyak dapat diawetkan bersama.

c. Larutan dapat digunakan berulang kali (dengan menambah konsentrasi bila berkurang).

• Kerugian :

a. Waktu lebih lama dibanding rendaman dingin. b. Peralatan mudah terkena karat.

c. Pada proses panas, apabila tidak hati-hati kayu dapat terbakar. d. Kayu basah agak sulit diawetkan.

2. Metode Pengukusan

(24)

a. Mengeluarkan kandungan air dari dalam kayu. b. Mengeluarkan resin dari dalam kayu

c. Meningkatkan permeabilitas kayu. d. Pemakaian bahan pengawet lebih efisien.

(25)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2012 sampai dengan Mei 2012, bertempat di Laboratorium Pengelohan Hasil Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor dan Kawasan Hutan, Cikampek.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain timbangan elektrik, oven, desikator, bejana, jampot/botol kaca, alumunium foil, dan alat tulis.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain kayu solid karet (Hevea brasiliensis), kayu solid mahoni (Swietenia macrophylla), kayu solid mindi (Melia azedarach), pasir steril, bahan pengawet (asam boraks 45% dan borat pentahedrat 54%) dengan konsentrasi 1,5%, 3%, dan 4,5%, alkohol dan air mineral.

3.3. Metode

3.3.1. Persiapan Pembuatan Contoh Uji

Kayu mahoni, mindi, dan karet yang telah disiapkan dipotong-potong dengan ukuran 2,5 cm x 2,5 cm x 0,5 cm (pengujian laboratorium) yang mengacu pada SNI 01. 7217-2006 dan ukuran 20 cm x 2 cm x 1 cm (pengujian lapangan).

3. 3. 2. Pengawetan Contoh Uji

3. 3. 2. 1. Metode Rendaman Dingin

(26)

3. 3. 2. 2. Metode Pengukusan

Contoh uji dihitung volume dan berat awalnya. Setelah itu contoh uji pengukusan selama 2 jam dan kemudian direndam ke dalam larutan bahan pengawet 1,5%, 3%, dan 4,5% selama 2 hari. Berat akhir contoh uji lalu dihitung.

3. 3. 2. 3. Perhitungan Retensi

Sebelum dan sesudah diawetkan, contoh uji ditimbang untuk mengetahui retensi bahan pengawet. Retensi dihitung dengan menggunakan rumus, sebagai berikut :

dimana :

R : Retensi bahan pengawet (kg/m3) A : Absorpsi (kg)

V : Volume contoh uji yang dimasukan bahan pengawet (m3) K : Konsentrasi bahan pengawet (%)

3. 3. 3. Uji Laboratorium terhadap Rayap Tanah dengan Metode SNI 01. 7202 – 2006

Contoh uji kayu solid (mahoni, mindi, dan karet) dipilih secara acak dengan ulangan pengujian sebanyak 5 kali. Contoh uji dioven selama 48 jam dengan suhu 60 ± 2°C untuk mendapatkan nilai berat kayu sebelum pengujian (W1), serta dilakukan sterilisasi pada botol uji dan pasir yang akan digunakan.

(27)

Gambar 1 Botol Uji Standar SNI

Setiap minggu aktivitas rayap dalam botol uji diamati. Setelah 4 minggu pengujian dilakukan pembongkaran botol uji dan penghitungan jumlah rayap yang masih hidup. Sedangkan contoh uji kayu dicuci dan dibersihkan dengan menggunakan sikat halus dan dioven selama 48 jam dengan suhu 60 ± 2°C dan ditimbang (W2) dan dilihat derajat serangannya.

Hasil pengujian merupakan nilai rata-rata dari keseluruhan contoh uji dan dinyatakan berdasarkan penurunan berat dan dihitung dengan menggunakan persamaan:

Dengan keterangan :

W = Kehilangan berat contoh uji kayu / weight loss (%)

W1 = Berat keringoven contoh uji kayu sebelum pengujian (gram) W2 = Berat kering oven contoh uji kayu setelah pengujian (gram)

(28)

Tabel 1 Klasifikasi Ketahanan Kayu terhadap Serangan Rayap Tanah Berdasarkan Penurunan Berat

Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%)

I Sangat Tahan < 3,52

II Tahan 3,52 – 7,50

III Sedang 7,50 – 10,96

IV Buruk 10,96 – 18,94

V Sangat Buruk 18,94 – 31,89

Mortalitas rayap yang diamati dalam standar ini. Mortalitas rayap dihitung dengan menggunakan persamaan :

Dengan keterangan :

D = Jumlah rayap yang mati (ekor)

200 = Jumlah rayap pada awal pengujian (ekor)

Parameter yang digunakan untuk menilai ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah yang harus diperhatikan adalah derajat serangan. Derajat serangan rayap ditentukan berdasarkan klasifikasi SNI 01-7207-2006 seperti di bawah ini :

Tabel 2 Derajat Serangan Rayap

Tingkat Kondisi Contoh Uji Nilai

A Utuh, tidak ada serangan 0

B Ada bekas gigitan 40

C Serangan ringan, berupa saluran-saluran yang tidak dalam

dan tidak lebar

70

D Serangan berat, berupa saluran yang dalam dan lebar 90

(29)

3.3.4. Uji Lapang (Graveyard Test)

Prosedur pengujian lapang dilakukan mengacu pada penelitian yang dilakukan Hadi et al. (2010) menggunakan contoh uji dengan ukuran (20 x 2 x 1) cm3 dan ulangan sebanyak lima kali. Selanjutnya contoh uji dikubur secara acak dalam tanah Kawasan Hutan, Cikampek dengan kedalaman contoh uji yang terkubur 15 cm dari panjangnya dengan jarak kubur antar contoh uji adalah 30 cm dan antar baris sejauh 60 cm. Pengujian dilakukan selama tiga bulan. Setelah tiga bulan contoh uji dicabut dari tanah dengan posisi tegak, dibersihkan dan diamati derajat serangannya.

Parameter yang digunakan untuk menilai ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah yang harus diperhatikan adalah derajat serangan. Derajat serangan rayap ditentukan berdasarkan klasifikasi SNI 01-7207-2006 seperti pada Tabel 2.

3.3.5. Analisis Data

Analisis data hasil pengujian dilakukan dengan mengukur rata-rata dari seluruh data yang terkumpul dari setiap parameter. Nilai rata-rata parameter tersebut dibandingkan dengan nilai rata-rata parameter yang lain pada variabel dependent yang sama.

Untuk melihat pengaruh jenis kayu, metode dan konsentrasi terhadap parameter, dilakukan analisis statistik dengan rancangan acak lengkap faktorial tiga faktor.

• Faktor α bertaraf 3, yaitu jenis kayu Mahoni, Mindi, dan Karet. • Faktor bertaraf 2, yaitu metode secara pengukusan dan rendaman

dingin.

• Faktor bertaraf 3, yaitu konsentrasi bahan pengawet yang digunakan 1,5%, 3%, dan 4,5%.

Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali.

Model untuk rancangan percobaan untuk mengetahui pengaruh jenis kayu, kerapatan dan metode berdasarkan standar terhadap parameter tersebut adalah :

(30)

Dimana :

Yijk = Parameter pada jenis kayu ke-i, metode ke-j, konsentrasi ke-k dan ulangan ke-l

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh jenis kayu taraf ke-i j = Pengaruh metode taraf ke-j k = Pengaruh konsentrasi taraf ke-k

(α )ij = Pengaruh interaksi antara jenis kayu taraf ke-i dan metode taraf ke-j

(α )ik = Pengaruh interaksi antara jenis kayu taraf ke-i dan konsentrasi bahan pengawet yang digunakan taraf ke-k

( )jk = Pengaruh interaksi antara metode taraf ke-j dan konsentrasi bahan pengawet yang digunakan taraf ke-k

(α )ijk = Pengaruh interaksi antara jenis kayu taraf ke-i, metode taraf ke-j dan konsentrasi bahan pengawet yang digunakan taraf ke-k

εijkl = Pengaruh acak dari jenis kayu taraf ke-i, metode taraf ke-j, konsentrasi bahan pengawet yang digunakan taraf ke-k serta ulangan ke-l

Jika berdasarkan hasil analisis ragam ditemukan faktor yang berpengaruh nyata terhadap parameter, maka dilakukan analisis lanjutan dengan menggunakan analisis perbandingan berganda Duncan. Pengolahan data ini dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16.0

(31)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Retensi

Retensi adalah banyak atau jumlah bahan pengawet yang terdapat dalam kayu. Rata-rata retensi dalam metode pengawetan rendaman dingin selama 10 hari dan metode pengukusan 2 jam dan direndam selama 2 hari tidak berbeda nyata, namun berdasarkan perbedaan jenis kayu dan konsentrasi bahan pengawet boron memberikan perbedaan nyata (Lampiran 1). Sedangkan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Retensi Contoh Uji Laboratorium

K

Rendaman Dingin Pengukusan

Karet AB Mahoni A Mindi B Karet AB Mahoni A Mindi B

x±sd* x±sd* x±sd* x±sd* x±sd* x±sd*

1,5% 6±0,44a 7±0,59a 7±1,29a 7±0,80a 7±2,53a 8±1,36a

3,0% 10±1,09b 12±0,86b 11±1,87b 12±1,64b 12±1,78b 15±1,43b

4,5% 17±2,08c 19±2,44c 19±3,40c 18±5,14c 19±3,64c 20±1,91c

Keterangan : Jenis kayu yang berpangkat huruf besar yang sama tidak berbeda nyata

* Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata

K = Konsentrasi Bahan Pengawet, SD= Standart Deviasi

(32)

untuk dilakukan proses pengukusan terlebih dahulu sebelum diawetkan (Abdurrohim dan Martawijaya 1992).

Retensi ketiga jenis kayu (Tabel 3), menunjukkan retensi yang meningkat dengan meningkatnya konsentrasi baik dengan metode rendaman dingin maupun metode pengukusan. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi berarti bahan aktif semakin banyak. Semakin banyak bahan aktif, maka peluang terjadinya ikatan antara bahan aktif dengan gugus hidroksil bebas (-OH-) akan semakin besar, berarti bahan aktif semakin tinggi terabsorsi sehingga nilai retensinya meningkat, disamping itu peningkatan konsentrasi bahan pengawet juga akan meningkatkan retensi, karena retensi merupakan absorbsi dikalikan konsentrasi bahan pengawet (Hunt dan Garrat 1986; Ishkiwa et al. 2004)

Hasil penelitian sebelumnya bahan pengawet boraks dengan retensi 6-7 kg/m3 sudah dapat menahan serangan rayap kayu kering, sedangkan untuk mencegah serangan rayap tanah dianjurkan retensi bahan pengawet asam borat 8 kg/m3. Bahan pengawet boron (boraks dan asam borat 1,54:1) 8,4 kg/m3, sudah cukup menanggulangi serangan organisme perusak kayu barang kerajinan seperti bubuk kayu kering dan rayap kayu kering (Findlay dalam Abdurrohim 1994; Martawijaya dan Supriana 1973 dalam Abdurrohim 1992). Dengan demikian ketiga jenis kayu yang diawetkan dengan senyawa boron ini baik metode rendaman dingin maupun metode pengukusan dengan konsentrasi 3% ke atas sudah cukup efektif menahan serangan rayap tanah untuk barang kerajinan dan mebel, karena rata-rata retensinya diatas 10 kg/m3.

Pengujian ketahanan beberapa kayu dari hutan rakyat dilakukan dengan dua cara yaitu pengujian laboratorium dan pengujian lapangan. Indikator yang digunakan untuk pengujian laboratorium adalah kehilangan berat contoh uji, mortalitas, dan derajat serangan terhadap rayap tanah sedangkan indikator untuk pengujian lapangan adalah menggunakan derajat serangan rayap tanah.

4.2 Pengujian Laboratorium

(33)

kadar bahan pengawet terhadap kehilangan berat contoh uji terhadap rayap tanah dapat dilihat pada Tabel 4, untuk mortalitas dapat dilihat pada Tabel 5, dan untuk derajat serangan dapat dilihat pada Tabel 6.

4.2.1 Kehilangan Berat

Salah satu parameter yang digunakan untuk menilai ketahanan contoh uji adalah kehilangan berat. Untuk mengetahui pengaruh jenis kayu, metode pengawetan, dan konsentrasi bahan pengawet yang digunakan terhadap kehilangan berat rayap dilakukan uji statistik dan hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Nilai rata-rata kehilangan berat contoh uji ketiga jenis kayu setelah pengumpanan selama empat minggu pada uji laboratorium dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kehilangan Berat (%) Tiga Jenis Kayu terhadap Serangan Rayap Tanah

K (%)

Rendaman Dingin

Karet A Mahoni B Mindi B

x±sd* KK x±sd* KK x±sd* KK

0 39,96±11,20a V 8,63±3,11a III 11,25±1,11a IV

1,5 10,91±1,99b III 5,63±1,46b II 5,60±2,85b II

0 39,96±11,20a V 8,63±3,11a III 11,25±1,11a IV

1,5 8,54±1,81b III 5,50±1,83b II 4,32±0,48b II

3 6,34±1,42b II 4,77±1,68b II 3,45±1,21b I

4,5 5,48±2,92b II 1,83±0,90b I 2,07±1,82b I

keterangan : Jenis kayu yang berpangkat huruf besar yang sama tidak berbeda nyata

* huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata

K = Konsentrasi Bahan Pengawet; KB = Kehilangan Berat; KK = Kelas Ketahanan

(34)

III, sesuai dengan SNI untuk kelas ketahanan III kehilangan beratnya berkisar 7,50 – 10,96%. Sedangkan untuk kayu mindi rata-rata nilai kehilangan beratnya 11,25% termasuk kelas ketahanan IV, sesuai dengan SNI untuk kelas ketahanan IV kehilangan beratnya 10,96 – 18,94%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pandit dan Kurniawan (2008) yang menyatakan bahwa kayu karet termasuk dalam kelas

awet V dan pernyataan Martawijaya et al. (1989) bahwa kayu mahoni masuk

kedalam kelas awet III dan kayu mindi termasuk kedalam kelas awet IV.

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa dengan perlakuan pengawetan dengan

metode rendaman dingin maupun metode pengukusan dapat menurunkan kehilangan

berat. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kedua metode yang digunakan tidak

berpengaruh nyata terhadap kehilangan berat, akan tetapi perbedaan jenis kayu dan

konsentrasi yang digunakan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kehilangan

berat. Hasil uji lanjut yaitu uji Duncan (Lampiran 1) menunjukan pengaruh jenis kayu

dan konsentrasi. Hasil perlakuan pengawetan dengan konsentrasi 1,5%, 3%, dan 4,5%

dengan metode rendaman dingin, berdasarkan SNI 01-7207-2006 kelas ketahanan

kayu untuk kayu karet dapat meningkat dari kelas ketahanan V menjadi kelas

ketahanan III dengan konsentrasi 1,5% dan 3%, pada konsentrasi 4,5% meningkat

menjadi kelas ketahanan II. Untuk kayu mahoni kontrol memiliki kelas ketahanan III

meningkat dengan perlakuan pengawetan dengan konsentrasi 1,5% dan 3% menjadi

kelas II, dan pada konsentrasi 4,5% meningkat menjadi kelas ketahanan I. Untuk

kayu mindi kontrol memiliki kelas ketahanan IV, meningkat dengan perlakuan

pengawetan dengan konsentrasi 1,5% dan 3% menjadi kelas ketahanan II, dan pada

konsentrasi 4,5% meningkat menjadi ketas ketahanan I. Dengan demikian untuk kayu

karet dengan konsentrasi 4,5% hanya mencapai kelas ketahanan II, sedangkan untuk

kayu mahoni dan mindi sudah mencapai kelas ketahanan I.

(35)

perlakuan pengawetan dengan konsentrasi 1,5% menjadi kelas ketahanan II, sedangkan konsentrasi 3% dan 4,5% menjadi kelas ketahanan I. Dengan demikian untuk kayu karet dengan konsentrasi 4,5% hanya menjadi kelas ketahanan II, sedangkan untuk kayu mahoni dengan konsentrasi 4,5% menjadi kelas ketahanan I dan untuk kayu mindi konsentrasi diatas 3% sudah mencapai kelas I.

Perbedaan nilai kehilangan berat kayu antar jenis kayu diduga terkait dengan

nilai retensi yang berhubungan dengan tingkat keterawetan kayu. Kayu-kayu yang

keterawetannya tinggi-sedang (mudah diawetkan) sehingga nilai retensinya tinggi

yang mengakibatkan terjadinya peningkatan ketahanan kayu terhadap serangan faktor

perusak sehingga nilai kehilangan beratnya rendah.

Peningkatan kelas ketahanan kayu contoh uji diduga terkait dengan bahan

pengawet yang digunakan yaitu boron yang bersifat racun bagi rayap. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Carr (1962) dalam Barly dan Supriana (1999), boron diketahui

dapat menghambat aktivitas protozoa dalam perut rayap sehingga dapat menyebabkan rayap mati kelaparan. Metode pengawetan juga mempengaruhi peningkatan kelas ketahanan kayu contoh uji. Menurut Dumanau (2001), efektifitas bahan pengawet tidak hanya ditentukan oleh daya racunnya saja, tetapi juga oleh metode pengawetan serta retensi dan penetrasinya ke dalam kayu. Menurut Wibowo (2012), semakin tinggi konsentrasi larutan bahan pengawet, peluang terjadinya retensi yang lebih banyak akan semakin besar sehingga kayu menjadi lebih tahan terhadap serangan faktor perusak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan bahwa dengan semakin meningkatnya konsentrasi larutan bahan pengawet, maka peningkatan kelas ketahanan kayu semakin tinggi.

4.2.2 Mortalitas

(36)

terhadap mortalitas rayap pada pengujian kayu karet, mahoni dan mindi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Mortalitas Rayap Tanah

K (%)

Rendaman Dingin Pengukusan

Karet A Mahoni B Mindi B Karet A Mahoni B Mindi B

x±sd* x±sd* x±sd* x±sd* x±sd* x±sd*

0 23,5±6,8a 31,1±4,8a 30,9±5,2a 23,5±6,8a 31,1±4,8a 30,9±5,24a

1,5 100,0±0,0b 100,0±0,0b 100,0±0,0b 100,0±0,0b 100,0±0,0b 100,0±0,0b

3 100,0±0,0b 100,0±0,0b 100,0±0,0b 100,0±0,0b 100,0±0,0b 100,0±0,0b

4,5 100,0±0,0b 100,0±0,0b 100,0±0,0b 100,0±0,0b 100,0±0,0b 100,0±0,0b

keterangan : Jenis kayu yang berpangkat huruf besar yang sama tidak berbeda nyata

* huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata

K = Konsentrasi Bahan Pengawet, SD= Standart Deviasi

Berdasarkan Tabel 5 mortalitas rayap tanah pada kontrol lebih rendah dari contoh uji yang diawetkan dengan boron. Untuk kontrol kayu karet, mortalitas yang paling rendah yaitu 23,5%, kemudian kayu mindi 30,9% dan tertinggi kayu mahoni 31,1%. Sebagaimana diketahui kayu karet merupakan jenis kayu yang digunakan sebagai standar metode pengujian efikasi pestisida, karena kayu karet memiliki kualitas dan keawetan yang paling rendah (Anonim 1995). Sedangkan untuk perlakuan pengawetan dengan konsentrasi boron 1,5% keatas, nilai mortalitas rayap tanah sudah mencapai 100%. Kematian rayap diduga karena adanya senyawa boron yang bersifat racun (toksik) bagi rayap. Kematian rayap juga disebabkan oleh perilaku rayap yang beradaptasi terhadap lingkungan tanpa pilihan makanan (no choice) sehingga yang terjadi adalah sifat kanibalistik (rayap sehat memakan rayap yang lemah dalam proses adaptasi).

(37)

serangan rayap tanah. Jasni dan Supriana (1992), melaporkan bahwa penelitian dianggap berhasil apabila mortalitas rayap tidak kurang dari 55%.

Secara statistik (lampiran 2) pengujian perlakuan jenis kayu dan konsentrasi larutan bahan pengawet terhadap mortalitas rayap tanah sangat signifikan. Hal ini berarti bahwa konsentrasi larutan bahan pengawet boron yang dipakai mampu membunuh rayap tanah sampai 100% jika dibandingkan dengan kontrol.

4.2.3 Derajat Serangan terhadap Rayap Tanah

Derajat serangan merupakan salah satu parameter untuk menilai ketahanan kayu. Nilai derajat serangan contoh uji kayu terhadap serangan rayap tanah setelah pengumpanan selama empat minggu pada uji laboratorium dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Derajat Serangan Rayap Tanah

K (%)

Rendaman Dingin Pengukusan

Karet Mahoni Mindi Karet Mahoni Mindi

0 90 70 70 90 70 70

1,5 40 40 40 40 40 40

3 40 40 40 40 40 40

4,5 40 40 40 40 40 40

 keterangan : K = Konsentrasi

(38)

pengawet boron yang bersifat toksik, sehingga rayap tidak dapat menyerang kayu secara besar. Namun masih terjadi serangan yang diduga disebabkan oleh sifat rayap yang suka bergerombol, makan kayu, kemudian terjadi kerusakan kayu akibat diserang rayap tersebut.

4.3. Pengujian Lapangan

Hasil pengujian ketiga jenis kayu setelah 3 bulan pengujian terhadap serangan rayap di lapangan dengan metode rendaman dingin dan metode pengukusan ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Derajat Serangan Rayap Tanah Uji Lapang

K (%)

Rendaman Dingin Pengukusan

Karet Mahoni Mindi Karet Mahoni Mindi

0 100 70 70 100 70 70

1,5 100 70 70 100 70 70

3 100 70 70 100 70 70

4,5 100 40 70 100 40 70

 keterangan : K = Konsentrasi

Pada metode rendaman dingin derajat serangan yang paling tinggi dimiliki oleh contoh uji kayu karet semua konsentrasi yaitu nilainya 100, untuk contoh uji kayu mahoni derajat serangannya bernilai 70 untuk konsentrasi 1,5% dan 3%, sedangkan untuk konsentrasi 4,5% derajat serangannya bernilai 40. Nilai derajat serangan contoh uji kayu mindi untuk tiap konsentrasinya adalah 70.

Metode pengukusan, contoh uji kayu karet memiliki derajat serangan yang tinggi yaitu bernilai 100 untuk konsentrasi 1,5%, 3% dan 4,5%. Contoh uji kayu mahoni memiliki derajat serangan yang paling rendah yaitu untuk konsentrasi 1,5% dan 3% bernilai 70, pada konsentrasi 4,5% derajat serangannya bernilai 40. Sedangkan untuk contoh uji kayu mindi memiliki derajat serangan untuk konsentrasi 1,5%, 3%, dan 4,5% bernilai 70.

(39)

maupun mindi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pandit & Kurniawan (2008) bahwa kayu karet masuk ke dalam kelas V. Kayu mahoni memiliki derajat serangan dengan nilai yang paling rendah diantara kayu karet maupun mindi. Menurut Jasni et al. (2012), sama halnya dengan rayap kayu kering, rayap tanah juga lebih menyukai kayu mindi dari pada kayu mahoni. Hal ini mungkin disebabkan tingginya kandungan selulosa pada kayu mindi. Kandungan selulosa yang merupakan makanan utama rayap pada kayu mindi berkisar 51% dibanding kayu mahoni yang berkisar 47% - 78%.

(40)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Proses pengawetan secara rendaman dingin 10 hari maupun pengukusan 2 jam kemudian rendaman dingin 2 hari pada tiga jenis kayu yang diawetkaan boron tidak berbeda nyata. Metode pengukusan membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan metode rendaman dingin sehingga proses pengawetan lebih efektif dalam waktu.

2. Retensi bahan pengawet boron dengan konsentrasi 1,5-4,5 % pada proses pengukusan lebih tinggi dibandingkan rendaman dingin. Disamping itu dengan kenaikan konsentrasi akan meningkatkan retensi baik rendaman dingin maupun pengukusan.

3. Kayu karet, mahoni, dan mindi yang diawetkan dengan boron berpengaruh nyata terhadap kematian rayap tanah, kehilangan berat, dan derajat serangan.

4. Kayu karet, mahoni, dan mindi yang diawetkan dengan boron diatas 3%, dapat meningkatkan kelas ketahanan kayu karet dari kelas V menjadi kelas II, kayu mahoni dari kelas III menjadi kelas I, dan kayu mindi dari kelas IV menjadi kelas I dalam pengujian laboratorium.

5. Bahan pengawet boron ini tidak cocok digunakan di luar ruangan atau lapangan,

karena dalam waktu singkat (3 bulan) sudah diserang rayap karena bahan

pengawet yang digunakan mudah luntur apabila terkena air.

5.2 Saran

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim S, Martawijaya A. 1992. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Keterawetan Kayu. Makalah Utama. Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu. Di Jakarta dan diselenggarakan oleh Puslitbang Hasil Hutan, Bogor

Abdurrohim S. 1994. Pengawetan Tiga Jenis Kayu Secara Rendaman Dingin dengan Bahan Pengawet Boraks dan Asam Borat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Pusat penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor. Vol 12(6):157-163 

Abdurrohim S. 2007. Keterawetan Kayu Kurang Dikenal. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor 25 Oktober 2007. Hal: 103 – 112.

Ahn SH, Oh SC, Choi IG, Kim HY, Yang I. 2008. Efficacy of Wood Preservatives Formulated from Okara with Copper and/or Boron Salts. J. Wood Sci. 54:495-501.

Anonim. 1962. 'Timbor' Preservative. Plan Operator's Manual. Borax Consolidated Limited. Borax House, Carlisle Place, London, S. W. I.

Anonim. 1995. Metoda Standar Pengujian Efikasi Pestisida. Komisi Pestisida Departemen Pertanian. Jakarta

Anonim. 1999. Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. SNI 03-5010-1999.

Anonim. 2003. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Direktorat Pupuk dan Pestisida. Departemen Pertanian. Jakarta.

Anonim. 2006. Uji Ketahanan Kayu dan Produk Kayu terhadap Organisme Perusak Kayu. SNI 01-7207-2006. Jakarta.

Anonim. 2009. Wood Preservation. http: //en. wikipedia. org / wiki / Timber_treatment. Diakses tanggal 26 Juni 2012.

Barly. 2007. Penyempurnaan Sifat Bahan Bangunan dan Mebel. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor 25 Oktober 2007. Hal : 67-80. Barly, Martawijaya A. 2000. Keterawetan 95 Jenis Kayu terhadap Impregnasi

dengan Pengawet CCA. Buletin Penelitian Hasil Hutan, Vol 18. Hal: 69 – 78.

(42)

Batubara R. 2006. Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan. http:// library.usu.ac.id/download/fp/06010040. pdf. [3 Agustus 2009].

Departemen Kehutanan RI. 2001. Informasi Singkat Benih Edisi-5. Direktorat Pembenihan Tanaman Hutan. Jakarta.

Departemen Kehutanan RI. 2010. Statistik Kehutanan 2009. Jakarta. Dumanauw. 2001. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Hadi YS, Nurhayati T, Jasni J, Yamamoto H, Kamiya N. 2010. Smoked Wood as an Alternative for Wood Protection against Termites. Forest Prod. J. 60(6):496-500.

Hunt GM, Garat GA. 1986. Pengawetan Kayu. Edisi 1 cetakan 1 : Penerjemah Mohamad Yusuf. Jakarta: Akademika Presindo.

Ishikawa A, Kuroda N, Kato A. 2004. In Situ Measurement of Wood Moisture Content in High-Temperature Steam. The Japan Wood Research Society. Vol. 50(1):7-14

Jasni, Supriana N. 1992. Pencegahan Rayap dan Bubuk Perusak Kayu dengan Pestisida Berbahan Aktif Phoxim dan Cyflutrhrin. Kongres Entomologi IV. Yogyakarta. BUKU I.

Jasni, Damayanti R, Krisdianto, Malik J. 2012. Ketahanan Empat Jenis Kayu Rakyat terhadap Serangan Rayap. Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI). Bogor. BUKU I.

Large NA. 1967. Handbook of Chemistry. McGraw Hill Book Company. New York.

Mampe CD. 2010. Effectiveness and Uses of Borate.

http://www.enviromentsensitive.com/effectiveusesofborate.htm. Diakses

tanggal 26 Juni 2012.

Martawijaya A, Kartasujana, Kadir K, Mandang YI, Prawira SA. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Nandika D. 1986. Ancaman Rayap pada Bangunan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap, Biologi dan Pengendaliannya. Muhammadiah University press: Universitas Muhammadiyah Surakarta. PT. Prima Infosarana Media.

(43)

PROSEA. 1997. Seri Manual : Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Yayasan Prosea. Bogor.

Richardson BA. 1978. Wood Preservation. The Construction Press Ltd. Lancaster. p. 37.

Samingan T. 1982. Dendrologi. Gramedia. Jakarta.

Sumarni G, Muslich M. 2004. Keawetan 52 Jenis Kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Bogor. Vol 22(1):1-8.

Tarumingkeng RC. 2001. Biologi dan Perilaku Rayap. Bunga Rampai Jejak Langkah Pengabdian. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Wibowo SM. 2012. Pengaruh Proses Rendaman Dingin dan Fumigasi terhadap

Serangan Faktor Perusak Biologis Kayu di Dua Lokasi Pengujian [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Bogor

Wistara IN, Rachmansyah R, Denes F, Young RA. 2002. Ketahanan 10 Jenis Kayu Tropis-Plasma CF4 Terhadap Rayap Kayu Kering (Cryptotermes cynocephalus Light). Jurnal Teknologi Hasil Hutan Volume XV (No.2). Yamauchi S, Sakai Y, Watanabe Y, Kubo MK, Matsue H. 2007. Distribution

Boron in Wood Treated with Aqueous and Methanolic Boric Acid Solutions. J. Wood Sci. 53:324-331.

(44)
(45)

Lampiran 1 Analisis Sidik Ragam Retensi

Source

Type III Sum of

Squares Mean Square F Sig.

Corrected Model 3060.222a 17 180.013 26.538 .000

Intercept 16755.378 1 16755.378 2.470E3 .000

Jenis_kayu 45.356 2 22.678 3.343 .041

Metode pengawetan 23.511 1 23.511 3.466 .067

Konsentrasi 2764.289 2 1382.144 203.756 .000

Jenis_kayu * Metode

pengawetan 92.822 2 46.411 6.842 .002

Jenis_kayu * Konsentrasi 21.778 4 5.444 .803 .527

Metode pengawetan*

Konsentrasi 73.756 2 36.878 5.437 .006

Jenis_kayu * Metode

pengawetan * Konsentrasi 38.711 4 9.678 1.427 .234

Error 488.400 72 6.783

Total 20304.000 90

Corrected Total 3548.622 89

Uji Duncan Pengaruh Jenis Kayu terhadap Retensi

Jenis_kayu N

Subset

1 2

kayu mahoni 30 13.0000

kayu karet 30 13.3000 13.3000

kayu mindi 30 14.6333

Sig. .657 .051

Uji Duncan Pengaruh Konsentrasi terhadap Kehilangan Berat

Konsent

(46)

Lampiran 2 Analisis Sidik Ragam Kehilangan Berat Contoh Uji

Source

Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 13031.867a 23 566.603 41.945 .000

Intercept 4813.333 1 4813.333 356.323 .000

jenis_kayu 1142.917 2 571.458 42.304 .000

Metode pengawetan .033 1 .033 .002 .960

Konsentrasi 6944.067 3 2314.689 171.353 .000

jenis_kayu * Metode

pengawetan

2.217 2 1.108 .082 .921

jenis_kayu * konsentrasi 4939.683 6 823.281 60.946 .000

Metode pengawetan *

Error 1296.800 96 13.508

Total 19142.000 120

Corrected Total 14328.667 119

Uji Duncan Pengaruh Jenis Kayu terhadap Kehilangan Berat

jenis_kayu N

Uji Duncan Pengaruh Konsentrasi terhadap Kehilangan Berat

(47)

Lampiran 3 Analisis Sidik Ragam Mortalitas Rayap Tanah

Source

Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 116133.067a 23 5049.264 607.126 .000

Intercept 808192.533 1 808192.533 9.718E4 .000

Jenis_kayu 88.867 2 44.433 5.343 .006

Metode pengawetan .000 1 .000 .000 1.000

Konsentrasi 115777.600 3 38592.533 4.640E3 .000

Jenis_kayu * Metode

pengawetan .000 2 .000 .000 1.000

Jenis_kayu * Konsentrasi 266.600 6 44.433 5.343 .000

Metode pengawetan*

Konsentrasi .000 3 .000 .000 1.000

Jenis_kayu * Metode

pengawetan * Konsentrasi .000 6 .000 .000 1.000

Error 798.400 96 8.317

Total 925124.000 120

Corrected Total 116931.467 119

Uji Duncan Pengaruh Jenis Kayu terhadap Mortalitas Rayap Tanah

Jenis_kayu N

Subset

1 2

kayu karet 40 80.8500

kayu mindi 40 82.6500

kayu mahoni 40 82.7000

Sig. 1.000 .938

Uji Duncan Pengaruh Konsentrasi terhadap Mortalitas Rayap Tanah

(48)

Lampiran 4 Gambar Contoh Uji Sesudah Pengujian di Laboratorium dan Lapangan

Gambar Contoh Uji sesudah Pengujian di Lapangan

(49)

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1. 1. Latar Belakang

Potensi hutan rakyat sangatlah besar baik dari segi populasi pohon maupun masyarakat yang mengusahakannya yang ternyata mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Departemen Kehutanan RI (2010) menyatakan bahwa total produksi kayu bulat di Indonesia sebesar 34,32 juta m3, sebanyak 55,22% (18,95 juta m3) diantaranya dihasilkan dari hutan tanaman industri, 19,28% (6,62 juta m3) dari industri penggergajian kayu, 14,16% (4,86 juta m3) dari HPH, (3,80 juta m3) dihasilkan dari hutan rakyat dan kayu perkebunan, serta 0,25% (0,88 juta m3) dari Perhutani.

Umumnya, kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat didominasi oleh kayu yang memiliki kualitas yang relatif lebih rendah, khususnya dalam hal kekuatan dan keawetan alami jika dibandingkan dengan kayu-kayu dari hutan alam. Hal ini menyebabkan kayu tersebut sangat rentan terhadap serangan organisme perusak kayu sehingga masa pakai kayu tersebut pendek. Dari sekitar 4000 jenis kayu Indonesia sebagian besar (80-85%) berkelas awet rendah (III, IV, dan V) dan hanya sekitar 15 % saja yang berkelas awet tinggi (Martawijaya 1981 dalam Barly dan Martawijaya 2000)

(50)

jenis bahan pengawet tersebut tersedia secara komersial. Di Indonesia, bahan pengawet kebanyakan masih diimpor, salah satu diantaranya mengandung campuran garam tembaga-khromium-boron (Anonim 1999; Anonim 2003). Setelah beberapa negara melakukan pembatasan dan pelarangan bahan pengawet kayu dengan bahan aktif arsen terutama bagi kayu bangunan perumahan (Ahn et al. 2008; Anonim 2009), senyawa boron termasuk asam borat dan boraks merupakan bahan kimia yang banyak dipilih karena mempunyai toksisistas yang rendah (Yamauchi et al. 2007; Mampe 2010). Menurut Carr (1962) dalam Barly dan Supriana (1999) boron diketahui dapat menghambat aktivitas protozoa dalam perut rayap sehingga dapat menyebabkan rayap mati kelaparan.

1. 2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui ketahanan kayu mahoni, kayu mindi, dan kayu karet terhadap rayap tanah menggunakan bahan pengawet boron (asam borat 45% dan boraks pendahedrat 54%) dengan pengujian skala laboratorium dan pengujian lapangan.

1. 3. Manfaaat Penelitian

(51)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mahoni

Mahoni merupakan famili Meliaceae yang meliputi dua jenis yaitu

Swietenia macrophylla King (mahoni daun besar) dan Swietenia mahagoni Jacq (mahoni daun kecil). Daerah penyebarannya di seluruh Jawa (Martawijaya et al. 1989). Jenis ini tergolong pohon yang mampu mengadakan pemangkasan alami dan dapat mencapai ketinggian 35 m. Tajuknya rapat dan lebat, daunnya berwarna hijau tua. Mahoni tumbuh menyebar luas secara alami atau dibudidayakan. Jenis ini merupakan jenis asli dari Meksiko, bagian tengah dan selatan Amerika yaitu sekitar wilayah Amazon. Penanaman dan pembudidayaannya secara luas dilakukan di daerah Asia Bagian Selatan dan Pasifik (Departemen Kehutanan RI 2001).

Menurut Samingan (1982) mahoni banyak digunakan sebagai bahan baku pelapis kategori mewah. Serat kayunya cukup indah memberikan lukisan-lukisan garis yang khas pada sayatan kayu, dengan berat jenis rata-ratanya 0,61 dan termasuk dalam katagori kelas awet III dan kelas kuat II – III, dengan kayu teras berwarna coklat kemerahan. Selain sebagai bahan baku kayu lapis mahoni juga banyak digunakan sebagai bahan bangunan, meubel, lantai dan rangka pintu.

2.2. Mindi

(52)

Kayu teras berwarna merah coklat muda keunguan, gubal berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Serat lurus atau agak berpadu, berat jenis rata-rata 0,53 (Martawijaya et al. 1989). Penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur 3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial). Kayu mindi tergolong kelas kuat III-II, setara dengan mahoni, sungkai, meranti merah, dan kelas awet IV-V. Pengeringan alami, pada papan tebal 2,5 cm dari kadar air 37% sampai 15% memerlukan waktu 47 hari, dengan kecenderungan pecah ujung dan melengkung. Pengeringan dalam kilang yang dianjurkan adalah pada suhu 60-80oC.

Kayu mindi sudah terbukti baik sebagai bahan baku mebel untuk ekspor dan domestik karena kayunya bercorak indah, mudah dikerjakan dan dapat mengering tanpa cacat (Martawijaya et al. 1989).

2.3. Karet

Kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) memiliki ciri umum yaitu kayu teras berwarna putih kekuning-kuningan pucat, terkadang warna merah jambu jika masih segar, lambat laun berubah menjadi kuning jerami atau coklat pucat, tidak tegas batasnya dengan gubal. Kayu karet juga memiliki corak kayu yang polos dengan tekstur yang agak kasar tetapi rata (Prosea 1997).

Menurut Pandit & Kurniawan (2008), kayu karet biasanya dibuat perabot rumah tangga, panel dinding, bingkai gambar atau lukisan, lantai parket, inti papan blok, palet, peti wadah, peti jenazah, vinir, kayu lamina untuk rumah tangga, kerangka pintu dan jendela.

Kayu karet memiliki berat jenis 0,61 (0,55-0,70), kelas awet V, kelas kuat II-III dan termasuk dalam famili Euphorbiaceae. Nama lain dari kayu karet adalah balam perak (Palembang), para rubber (Belanda).

2.4. Rayap Tanah

(53)

hidup dalam kelompok-kelompok sosial dengan sistem kasta yang telah berkembang. Kondisi iklim dan tanah, serta banyaknya ragam jenis tumbuhan di Indonesia membuat terdapat 200 jenis rayap di Indonesia (Nandika et al. 2003).

Dalam setiap koloni rayap, pada umumnya terdapat tiga kasta yang dinamai menurut fungsinya masing-masing yaitu kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif yang terdiri dari kasta primer (raja dan ratu). Dalam hal ini bentuk (morfologi) dari setiap kasta sesuai dengan fungsinya masing-masing (Kofoid 1946) dalam Nandika (1986).

Menurut Nandika (1986), kasta pekerja merupakan anggota terbesar dalam koloni, berbentuk seperti nimfa dan berkepala pucat dengan kepala hipognat tanpa mata faset, mandiblenya relatif kecil bila dibandingkan dengan kasta prajurit, sedangkan fungsinya mencari makanan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang. Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepala yang besar dengan penebalan kulit yang nyata, mempunyai rahang yang besar dan kuat. Sedangkan fungsi dari kasta prajurit melindungi koloni terhadap gangguan dari luar. Kasta reproduktif sendiri terdiri dari serangga-serangga dewasa yang bersayap dan menjadi pendiri koloni (raja dan ratu).

Sampai saat ini telah tercatat kira-kira 2000 jenis rayap tersebar di seluruh dunia, sedangkan di Indonesia telah ditemukan kurang lebih 200 jenis rayap (Tarumingkeng 2001). Dari sekian banyak jenis rayap, diketahuai bahwa kerusakan kayu lebih banyak ditimbulkan oleh golongan rayap subteran. Rayap subteran adalah golongan rayap yang bersarang di dalam tanah dan yang membangun liang-liang kembara yang berfungsi untuk menghubungkan sarang dengan benda yang diserang.

Golongan rayap subteran selalu menghindari cahaya dan membutuhkan kelembaban yang tinggi dalam kehidupannya. Karena sifatnya yang cryptobiotic

(54)

dikenal dengan sebutan rayap tanah. Coptotermes curvignathus merupakan rayap tanah yang berukuran besar dan memiliki serangan yang paling luas di Indonesia.

Coptotermes curvignathus Holmgren dapat bersarang di dalam kayu yang mati atau yang masih hidup serta di dalam tanah. Sistematika jenis rayap ini adalah :

Kelas : Insekta

Ordo : Blatodea

Famili : Rhinotermitidae subfamili : Coptotermitinae

Genus : Coptotermes

Spesies : Coptotermes curvignathus Holmgren

2.5. Keawetan Alami Kayu

Menurut Martawijaya (2000) dalam Barly (2007) keawetan merupakan salah satu sifat dasar kayu yang penting. Nilai suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh keawetannya, karena bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya akan kurang berarti jika keawetannya rendah. Selain bergantung kepada jenis kayunya, keawetan kayu bergantung kepada jenis organisme perusak kayu yang menyerangnya. Sesuatu yang mempunyai daya tahan tinggi terhadap suatu organisme, belum tentu tahan terhadap organisme lain. Di samping itu, sebagian besar kayu tidak tahan terhadap suhu udara yang berubah-ubah, kelembaban, dan air.

(55)

meningkat beberapa kali lipat. Untuk kayu perumahan minimal dapat mencapai 20 tahun (Abdurrohim 2007).

Pada tiap tahap pengolahan sampai pemakaian, kayu dihadapkan pada beragam jenis organisme perusak kayu yang siap mengancam, seperti bakteri, jamur, rayap kayu kering, rayap tanah, bubuk kayu kering, dan binatang penggerek kayu (Wilkinson 2005 dalam Barly 2007). Dalam keadaan basah kayu dapat diserang jamur, serangga bubuk kayu basah, dan rayap tanah jika disimpan terlalu lama. Dalam keadaan kering, kayu dapat diserang rayap kayu kering, rayap tanah, dan bubuk kayu kering. Kayu yang dipasang di laut dapat diserang binatang laut penggerek kayu (marine borer). Perubahan yang terjadi tidak hanya menurunkan kualitas tetapi kuantitas juga karena ada yang benar-benar memakan habis kayu (Tarumingkeng 2001 dalam Barly 2007).

Keterawetan kayu adalah kemampuan kayu untuk ditembus oleh bahan pengawet sampai mencapai retensi dan penetrasi tertentu yang secara ekonomis menguntungkan dan efektif untuk mencegah faktor perusak kayu. Sifat keterawetan jenis kayu tertentu diteliti dengan proses pengawetan, bahan pengawet, dan kadar air kayu tertentu. Ini akibat keterawetan dipengaruhi oleh jenis kayu, kadar air kayu yang diawetkan, proses pengawetan, dan bahan pengawet yang digunakan (Abdurrohim dan Martawijaya 1996 dalam Abdurrohim 2007).

2. 6. Pengawetan Kayu

Pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan kimia beracun atau bahan pengawet ke dalam kayu untuk memperpanjang masa pakai kayu. Pemberian bahan pengawet ke dalam kayu tidak awet diharapkan dapat memperpanjang usia pakai kayu, minimal sama dengan usia pakai kayu kelas awet I yang tidak diawetkan (Batubara 2006).

(56)

diperhatikan sifat-sifat bahan pengawet agar sesuai dengan tujuan pemakaian. Adapun syarat bahan pengawet yang baik adalah :

1. Bersifat racun terhadap makhluk perusak kayu. 2. Mudah masuk dan tinggal di dalam kayu.

3. Bersifat permanen, tidak mudah luntur dan menguap.

4. Bersifat toleran terhadap bahan-bahan lain misalnya logam, perekat, dan cat. 5. Tidak mempengaruhi kembang susut kayu.

6. Tidak merusak sifat-sifat kayu seperti sifat fisik, mekanik, dan kimia. 7. Tidak mudah terbakar atau mempertinggi bahaya kebakaran.

8. Tidak berbahaya bagi manusia dan hewan peliharaan. 9. Mudah dikerjakan, diangkut, mudah didapat, dan murah.

Bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah senyawa boron (asam borat 45% dan boraks pentahedrat 54%). Penggunaan bahan pengawet ini dikarenakan setelah beberapa negara melakukan pembatasan dan pelarangan bahan pengawet kayu dengan bahan aktif arsen terutama bagi kayu bangunan perumahan (Ahn et al. 2007; Anonim 2009) , senyawa boron termasuk asam borat dan boraks merupakan bahan kimia yang banyak dipilih karena mempunyai toksisistas yang rendah (Yamauchi et al. 2007; Mampe 2010). Menurut Carr (1962) dalam Barly (2007), boron diketahui dapat menghambat aktivitas protozoa dalam perut rayap sehingga dapat menyebabkan rayap mati kelaparan. Sodium tetraborat dekahidrat, atau yang lebih dikenal dengan nama boraks, merupakan salah satu senyawa sumber unsur boron. Boron tersebar luas di lingkungan, hadir dalam lebih dari 80 jenis mineral, dan menyusun 0,001% kerak bumi. Penggunaannya yang umum adalah sebagai herbisida, fungisida, pengawet kayu, dan penolak serangga. Bagi tanaman, boron merupakan elemen nutrisi yang esensial, sehingga dimanfaatkan dalam pupuk. Sementara bagi manusia dan hewan, boron juga diperlukan dalam banyak fungsi kehidupan seperti embriogenesis, pertumbuhan dan pemeliharaan tulang, fungsi imun, kemampuan psikomotor, dan fungsi kognitif.

(57)

natrium dikhromat dan asam borat dan mengujinya terhadap rayap tanah, rayap kayu kering, dan jamur pelapuk kayu.

Secara tunggal kelarutan boraks dan asam borat dalam air pada suhu kamar relatif rendah, yaitu masing-masing 1,3% dan 2, 6% (Lange 1967) sehingga dalam praktek pengawetan kayu lazim dipakai larutan campuran boraks dan asam borat (1,00 : 1,52), larutan tersebut dinyatakan setara dengan asam borat (boric acid equivalent = BAE) yang dipakai sebagai dasar perhitungan retensi (Anonim 1962). Penambahan boraks dalam jumlah banyak dapat meningkatkan pH larutan karena boraks bersifat basa dan pencampurannya dengan fungisida lain mempunyai harapan besar (Richardson 1978).

Efektifitas bahan pengawet tidak hanya ditentukan oleh daya racunnya saja, tetapi juga oleh metode pengawetan serta retensi dan penetrasinya ke dalam kayu. Ada beberapa cara untuk memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu, salah satunya dengan :

1. Metode Rendaman Dingin

Menurut Dumanau (2001), keuntungan dan kerugian metode rendaman dingin dalam pengawetan adalah :

• Keuntungan :

a. Retensi dan penetrasi bahan pengawet lebih banyak dibanding metode pelaburan, penyemprotan, dan pencelupan.

b. Kayu dalam jumlah banyak dapat diawetkan bersama.

c. Larutan dapat digunakan berulang kali (dengan menambah konsentrasi bila berkurang).

• Kerugian :

a. Waktu lebih lama dibanding rendaman dingin. b. Peralatan mudah terkena karat.

c. Pada proses panas, apabila tidak hati-hati kayu dapat terbakar. d. Kayu basah agak sulit diawetkan.

2. Metode Pengukusan

(58)

a. Mengeluarkan kandungan air dari dalam kayu. b. Mengeluarkan resin dari dalam kayu

c. Meningkatkan permeabilitas kayu. d. Pemakaian bahan pengawet lebih efisien.

(59)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2012 sampai dengan Mei 2012, bertempat di Laboratorium Pengelohan Hasil Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor dan Kawasan Hutan, Cikampek.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain timbangan elektrik, oven, desikator, bejana, jampot/botol kaca, alumunium foil, dan alat tulis.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain kayu solid karet (Hevea brasiliensis), kayu solid mahoni (Swietenia macrophylla), kayu solid mindi (Melia azedarach), pasir steril, bahan pengawet (asam boraks 45% dan borat pentahedrat 54%) dengan konsentrasi 1,5%, 3%, dan 4,5%, alkohol dan air mineral.

3.3. Metode

3.3.1. Persiapan Pembuatan Contoh Uji

Kayu mahoni, mindi, dan karet yang telah disiapkan dipotong-potong dengan ukuran 2,5 cm x 2,5 cm x 0,5 cm (pengujian laboratorium) yang mengacu pada SNI 01. 7217-2006 dan ukuran 20 cm x 2 cm x 1 cm (pengujian lapangan).

3. 3. 2. Pengawetan Contoh Uji

3. 3. 2. 1. Metode Rendaman Dingin

Gambar

Tabel 1 Klasifikasi Ketahanan Kayu terhadap Serangan Rayap TanahBerdasarkan Penurunan Berat
Gambar Contoh Uji sesudah Pengujian di Lapangan
Tabel 1 Klasifikasi Ketahanan Kayu terhadap Serangan Rayap TanahBerdasarkan Penurunan Berat
Gambar Contoh Uji sesudah Pengujian di Lapangan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah melalui pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan menyimak cerita anak siswa kelas II SD Kanisius Bantul

Peneliti melakukan pengamatan langsung proses belajar yang dilakukan guru pada tanggal 13 Agustus 2016, dari pengamatan ini diketahui, penyebabnya seperti : (1) selama

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri (X1) dan

Lebih lanjut berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2005), stimulasi verbal yang dapat dilakukan orang tua untuk mengembangkan kemampuan bicara

Napsu badan jeung sagala panga- jakna teh ku jelema anu geus jadi kagungan Kristus Yesus mah geus Ka pan urang teh geus maot tina dosa, piraku bisa keneh hirup dina

Simpulan dalam penelitian ini yaitu penerapan metode eksperimen untuk pembelajaran pelajaran IPA materi energi panas dan bunyi dapat meningkatkan prestasi belajar

P SURABAYA 03-05-1977 III/b DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH RSUD Dr.. DEDI SUSILA, Sp.An.KMN L SURABAYA 20-03-1977 III/b ANESTESIOLOGI DAN

Koloni yang tumbuh pada media diamati. Setiap koloni yang memiliki kenampakan berbeda diisolasi pada media starch-casein agar hingga diperoleh isolat murni. Isolat