• Tidak ada hasil yang ditemukan

Obligasi syariah (sukuk) dan indikator makroekonomi Indonesia : sebuah analisis vector error correction models (VECM)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Obligasi syariah (sukuk) dan indikator makroekonomi Indonesia : sebuah analisis vector error correction models (VECM)"

Copied!
234
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Potensi ini seharusnya bisa menjadi pasar yang besar bagi industri perbankan ataupun lembaga keuangan syariah lainnya, termasuk di dalamnya pasar modal syariah. Masalah asymmetric information yang dihadapi oleh industri perbankan dan lembaga keuangan konvensional lainnya karena istrumen profit bunganya yang dapat menimbulkan cost yang lebih tinggi juga seharusnya menambah minat masyarakat Indonesia untuk beralih ke industri keuangan yang bersifat syariah dengan instrumen profit-loss sharing yang menimbulkan cost yang relatif lebih rendah. Keuangan yang bersifat syariah juga menerapkan prinsip-prinsip yang adil dan melarang terhadap praktik yang mengandung riba, gharar dan maysir sehingga lebih jelas kehalalannya bagi penduduk muslim.

Salah satu industri keuangan yang bersifat syariah yang sudah berkembang cukup lama yaitu industri pasar modal syariah. Pasar modal syariah merupakan pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip islami dalam setiap kegiatan dan sistemnya yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh DSN-MUI.1 Peran pasar modal syariah sebagai lembaga intermediasi dalam perekonomian suatu negarapun tidak dapat diabaikan.

1

(2)

Melalui pasar modal syariah, masyarakat dapat berpartisipasi dalam kegiatan bisnis dengan memperoleh bagian keuntungan dan risikonya. Selain itu, dengan adanya pasar modal syariah dapat memberikan alternatif instrumen investasi halal yang lebih beragam untuk masyarakat. Untuk pihak yang memerlukan dana dapat menerbitkan sekuritas sesuai kebutuhannya dengan waktu pengembalian yang relatif lama dan menghindari fluktuasi jangka pendek yang terdapat pada pasar modal konvensional.

Dalam perkembangannya, pasar modal syariah telah mengalami banyak kemajuan. Salah satunya dengan diterbitkannya enam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang berkaitan dengan industri pasar modal. Keenam fatwa tersebut yaitu :

1. No. 05/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Jual Beli Saham

2. No. 20/ DSN-MUI/ IX/ 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah

3. No. 32/ DSN-MUI/ IX/ 2002 tentang Obligasi Syariah

4. No. 33/ DSN-MUI/ IX/ 2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah

5. No. 40/ DSN-MUI/ IX/ 2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal

6. No. 41/ DSN-MUI/ III/ 2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.

(3)

berpartisipasi dalam kegiatan yang terjadi di pasar modal karena keragaman instrumen investasi yang halal.2

Di Indonesia, sejarah industri ini dimulai dengan diterbitkannya Reksa Dana Syariah oleh PT Danareksa Investment Management pada 3 Juli 1997. Tak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 3 Juli 2000 diterbitkan pula Jakarta Islamic Index (JII). Dari sisi institusional, sejarah pasar modal ini ditandai dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Bappepam LK dan DSN-MUI pada tanggal 14 Maret 2003 (Bappepam-LK, 2011). Pasar modal syariah ini mempunyai tiga macam produk yang diterbitkan, yaitu reksadana syariah, saham syariah yang lebih dikenal dengan Jakarta Islamic Index (JII), dan obligasi syariah (sukuk).

Istilah sukuk sendiri berasal dari bahasa Arab “Sakk” yang berarti sertifikat. Secara terminologi, sukuk berarti surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah, yang dikeluarka emiten kepada pemegang obligasi syariah (sukuk), yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo (Fatwa DSN MUI). Menurut sumber yang menerbitkan, sukuk terbagi menjadi dua jenis, yaitu sukuk yang diterbitkan oleh korporasi dan sukuk yang diterbitkan oleh negara yang lebih dikenal Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk global.

Manfaat yang diperoleh dari penerbitan sukuk yaitu untuk mendorong perkembangan industri pasar modal syariah, sebagai diversifikasi sumber pendanaan untuk membiayai pembangunan infrastruktur bagi negara dan perluasan usaha bagi 2

(4)

korporasi serta sebagai diversifikasi berbasis investor. Selain itu, sukuk juga sangat berperan dalam pertumbuhan sektor ril. Sukuk juga memiliki kelebihan yang unik jika dibandingkan produk investasi yang ada di pasar modal, yaitu risiko yang rendah atau relatif lebih aman karena memiliki underlying asset3.

Tabel 1.1. Jumlah Total Nilai Emisi Sukuk Indonesia 2002 - 2011

Tahun Sukuk Korporasi Sukuk Global

(SBSN)

Sumber : Bappepam-LK dan Direktorat Jendral Pengelolaan Utang (2012), diolah

Penerbitan sukuk yang pertama kali dilakukan oleh PT Indosat TBK pada Oktober 2002 merupakan sukuk korporasi dengan akad mudharabah dengan nilai nominal 175 miliar rupiah. Untuk sukuk global sendiri, pertama kali diterbitkan oleh pemerintah melalui tiga agen, yaitu PT Mandiri Sekuritas, PT Trimegah Securities dan PT Danareksa Sekuritas pada Agustus 2008 dengan akad ijarah dengan nilai nominal 4.699,7 miliar rupiah.

3

(5)

Terhitung sampai Desember 2011, total emisi sukuk yang diterbitkan oleh korporasi dan negara mencapai nilai masing-masing 7.915,4 miliar rupiah dan 6.2771 milyar rupiah. Sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 1.1 di atas.

Dari gambar 1.1 di bawah dapat dilihat perkembangan sukuk mengalami tren yang meningkat. Hal ini dikarenakan sejak awal diterbitkannya pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2011 penerbitan sukuk selalu mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Terlebih ketika diterbitkannya sukuk global (SBSN) pada tahun 2008. Pada awal penerbitan sukuk pada tahun 2002, jumlah total emiten dan jumlah nilai emisi sukuk hanya 1 dengan total nilai 175 miliar. Sampai tahun 2011, total emiten sukuk korporasi berjumlah 48 dengan nilai emisi total 70.686,4 milyar rupiah. Pertumbuhan terkecil terjadi pada tahun 2011 sebesar 2 persen untuk emiten sukuk korporasi dan pada tahun 2006 sebesar 10,10 persen untuk total nilai emisi sukuk. Sukuk yang telah dilunasi per 30 Desember 2011 sebesar 2.039,4 milyar rupiah. Hal ini tentu mencerminkan potensi penerbitan sukuk yang sangat besar.

Sumber : Bappepam-LK dan Direktorat Jendral Pengelolaan Utang (2012), diolah

Gambar 1.1. Grafik Perkembangan Penerbitan Sukuk di Indonesia (2002-2011)

(6)

Dari awal penerbitannya sampai Mei 2011, tipe emiten sukuk korporasi

didominasi emiten infrastruktur, utility dan transportasi sebanyak 25 persen. Sisanya

adalah emiten jasa keuangan 18 persen, emiten perdagangan, jasa, dan investasi

masing-masing 14 persen, emiten industri kimia dasar, dan pertanian masing-masing

11 persen, lalu emiten pertambangan, industri dan barang konsumsi masing-masing

tiga persen (Republika.co.id, 2011).

Para investor sukuk mayoritas berasal dari lembaga keuangan yang ada di

Indonesia. Masing-masing memiliki porsi tersendiri dari yang paling besar hingga

yang paling kecil porsinya, yaitu asuransi konvensional sebesar 29 persen, bank

syariah sebesar 27 persen, dana pensiun konvensional 12 persen, perusahan sekuritas

sembilan persen, asuransi syariah lima persen, bank konvensional dan reksadana

syariah masing-masing empat persen, reksadana konvensional dan dana pensiun

syariah masing-masing 1 persen dan 0,1 persen (Republika.co.id, 2011).

Penerbitan sukuk yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun korporasi

beberapa kali mengalami oversubscribe. Seperti yang terjadi pada penerbitan sukuk negara seri IFR 0001 dan IFR 0002 yang mengalami oversubscribe 1,6 kali dimana total pemintaan mencapai 8,07 triliun rupiah dari target indikatif sebesar lima trilliun rupiah. Porsi permintaan dari investor domestik cukup tinggi yakni kurang lebih 7,1 triliun rupiah atau 88 persen dari total permintaan. Hal ini mengindikasikan minat dan kepercayaan pasar serta permintaan terhadap sukuk di Indonesia relatif tinggi. (backup.majalahekonomisyariah.com).

(7)

saat ini, seperti pengangguran, inflasi, jumlah uang beredar yang terlalu banyak, dan pertumbuhan ekonomi yang negatif.

Pengangguran selalu menjadi masalah utama bagi negara berkembang, seperti yang terjadi di Indonesia. Sedikitnya lapangan pekerjaan disebabkan oleh kelangkaan investasi yang ada di Indonesia. Inflasi merupakan indikator pergerakan harga barang dan jasa yang juga berkaitan dengan kemampuan daya beli. Inflasi akan menjadi masalah jika kenaikan harga barang-barang dan jasa tidak diikuti oleh kenaikan upah ril. Pertumbuhan ekonomi sendiri dapat dikatagorikan baik jika mengalami pertumbuhan yang positif.

Pada tahun 2010, jumlah pengangguran terbuka Indonesia sampai bulan Agustus mencapai angka 8,32 juta jiwa (BPS, 2012) dengan penurunan tingkat pengangguran sebesar 7,17 persen dibanding Agustus 2010 (year-on-year) dan untuk tingkat inflasi berada pada angka 6,96 persen. Seperti yang terlihat pada tabel 1.2 berikut ini.

Tabel 1.2. Indikator Makroekonomi Indonesia dalam Angka Tahun 2006-2010 Indikator Makroekonomi 2006 2007 2008 2009 2010

Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (%)

6 6 5 5 7

Tingkat Inflasi (%) 6 6 11 3 7

Tingkat Pengangguran Terbuka (%)

-13 6 6 -5 -7

Tingkat Jumlah Uang Beredar Luas (%)

15 19 15 13 15

Bonus SBIS (%) 8 7 10 6 6

(8)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sejak tahun 2006 pertumbuhan ekonomi, laju pengangguran, inflasi, jumlah uang beredar, dan bonus SBIS di Indonesia mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Laju pengangguran dan bonus SBIS mengalami tren yang menurun pada tahun 2009 dan 2010. Pertumbuhan ekonomi sempat menurun, tingkat inflasi dan tingkat jumlah uang beredar yang mengalami peningkatan pada tahun 2007 dan 2008 akibat adanya krisis subprime mortage di Amerika yang juga menjadi krisis keuangan dunia. Mulai tahun 2009 ketiga indikator makroekonomi tersebut mengalami perbaikan. tingkat inflasi terkendali di angka 3 persen dan jumlah uang beredar di angka 13 persen walau pertumbuhan ekonomi masih berada di angka 5 persen. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 7 persen. Hal ini menandakan Indonesia merupakan negara yang mampu bangkit setelah dilanda krisis.

Kestabilan kondisi makroekonomi Indonesia sangat mutlak diperlukan bagi perkembangan pasar modal di Indonesia umumnya dan penerbitan sukuk khususnya. Hal ini akan memengaruhi kondisi pasar uang yang terdapat di Indonesia. Pasar uang yang kondusif akan memengaruhi keputusan penerbitan sukuk yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh korporasi.

(9)

dan tingkat inflasi yang tinggi, jumlah uang beredar yang terlalu banyak, dan pertumbuhan ekonomi yang negatif.

1.2. Perumusan Masalah

(10)

1. Faktor makroekonomi apa saja yang mempengaruhi penerbitan Obligasi Syariah (sukuk) di Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh penerbitan Obligasi Syariah (sukuk) terhadap indikator makroekonomi di Indonesia, dalam hal ini inflasi, pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan jumlah uang beredar?

3. Bagaimana implikasi kebijakan yang akan diambil pemerintah terkait hubungan penerbitan sukuk dan indikator makroekonomi Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis faktor-faktor makroekonomi yang mempengaruhi penerbitan Obligasi Syariah (sukuk) di Indonesia.

2. Menganalisis pengaruh penerbitan Obligasi Syariah (sukuk) terhadap indikator makroekonomi di Indonesia, yaitu inflasi, pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan jumlah uang beredar.

3. Menganalisis implikasi kebijakan yang akan diambil pemerintah terkait hubungan penerbitan sukuk dan indikator makroekonomi Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

(11)

2. Bagi akademisi, penelitian ini bisa dijadikan bahan referensi bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan penelitian ini.

3. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan penulis tentang hal terkait lebih dalam lagi dan sebagai wadah dalam mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh.

4. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran

masyarakat untuk berinvestasi pada instrument yang “halal”,

meguntungkan, berisiko rendah, dan dapat membantu program pembangunan pemerintah yang didasari pada tujuan penerbitan sukuk.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KONSEP PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Konsep 2.1.1. Konsep Ekonomi Islam

Dan bahwasanya Dia yang memberikan kekayaan dan kecukupan.” (Q.S

Al-Najm [53] : 48)

Dalam ekonomi Konvensional, motif aktivitas ekonomi mengarah pada pemenuhan keinginan individu manusia yang tak terbatas dengan menggunakan factor-faktor produksi yang terbatas. Akibatnya, masalah yang dihadapinya adalah kelangkaan dan pilihan.

Dalam ekonomi Islam, aktivitas ekonomi diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar yang ada batasnya dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang tak terbatas (lihat surat Q.S Lukman [31] : 20). Prinsip-prinsip ekonomi islam yaitu,

1. Hidup hemat dan tidak bermewah-mewahan 2. Menjalankan usaha-usaha yang halal

3. Implementasi zakat

4. Penghapusan/pelarangan riba 5. Pelarangan maysir

(13)

Tabel 2.1. Perbedaan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional

No Isu Ekonomi Islam Ekonomi Konvensional

1. Sumber Al-Qur‟an dan Al-Hadist Daya pikir manusia

2. Motif Ibadah Rasional materialism

3. Paradigma Shariah Pasar

4. Pondasi Dasar Muslim Manusia Ekonomi

5. Landasan

Bebas dan dalam pengawasan Bebas

11. Pengawas Pasar Al-Hisbah NA

12. Fungsi Negara Penjamin Kebutuhan Minimal dan Pendidikan- pembinaan

Bercorak perekonomian ril Dikotomi Sektoral yang Sejajar Ekonomi Riil dan Moneter

Sumber : Ascarya, 2006

2.1.1.1. Konsep Dasar Keuangan Syariah

Uang merupakan alat tukar atau transaksi dan pengukur nilai barang dan jasa untuk memperlancar perekonomian. Uang bukan komoditi. Oleh karena itu motif memegang uang dalam islam adalah untuk bertransaksi dan berjaga-jaga bukan untuk spekulasi (Ascarya, 2006).

(14)

adalah dinar emas seberat 4,25 gram dan dirham perak seberat 2,975 gram (Ascarya, 2006).

2.1.1.2. Konsep Riba dan Maysir

Secara teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil (Saed, 1996 dalam Ascarya, 2006). Riba dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadl) dan riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melihat jangka waktu (riba nasiah). Riba dayn berarti „tambahan‟,

yaitu pembayaran “premi” atas setiap jenis pinjaman dalam transaksi utang-piutang

maupun perdagangan yang harusnya dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman di samping pengembalian pokok yang ditetapkan sebelumnya (Ascarya, 2006).

Maysir secara harfiah berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa kerja. Dalam islam, maysir yang dimaksud adalah segala sesuatu yang mengandung unsur judi, taruhan, atau permainan berisiko (Ascarya, 2006).

2.1.1.3.Sistem Bagi Hasil vs. Sistem Bunga

(15)

musyarakah yang masing-masing beragam jenisnya (Ascarya, 2006). Perbedaan antara sistem bunga dan bagi hasil ini dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2. Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

No. Bunga Bagi Hasil

1. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi usaha akan selalu menghasilkan keuntungan.

Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil disepakati pada waktu akad sesuai dengan kemungkinan untung rugi. 2. Besarnya presentase didasarkan pada

dana/modal yang dipinjamkan.

Besarnya rasio bagi hasil didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.

3. Bunga dapat mengambang dan besarnya berfluktuatif sesuai dengan fluktuatif bunga patokan atau kondisi ekonomi

Rasio bagi hasil tetap tidak berubah selama akad masih berlaku, kecuali diubah atas kesepakatan bersama. 4. Pembayaran bunga tetap seperti yang

dijanjikan tanpa pertimbangan

Jumlah pembagian laba meningkat sesuai peningkatan keuntungan

6. Eksistensi bunga diragukan atau dikecam oleh semua agama

Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Sumber : Antonio, 2001 dalam Ascarya, 2006 ; diolah

2.1.2. Konsep Obligasi Syariah (SUKUK)

2.1.2.1.Pengertian SUKUK

(16)

sertifikat investasi atas kepemilikan sesuatu, dengan masing-masing sakk menunjukkan kepentingan kepemilikan yang proporsional dan tidak dapat dipisahkan dalam suatu aset atau kumpulan aset. Berikut ini akan dijelaskan definisi sukuk secara terminologi menurut AAOIFI (The Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions), DSN MUI (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia), dan Bapepam-LK.

AAOIFI dalam Shari‟a Standard No.17 mendefinisikan sukuk sebagai berikut

Investment Sukuk are certificates of equal value representing undivided share in ownership of tangible assets, usufructs and services, or (in the ownership of) the assets of particular projects or special investment activity, however, this is true after receipt of the value of the sukuk, the closing of subscription and the employment of funds received for the purpose for which the sukuk were issued”.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa sukuk merupakan sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.

DSN-MUI dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 32/DN-MUI/IX/2002, mendefinisikan obligasi syariah (sukuk) sebagai berikut

“….suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang

dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan

emiten untuk

(17)

hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh

tempo.”

Selanjutnya, menurut Bapepam-LK dalam Peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, Sukuk didefinisikan sebagai berikut

“Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama

dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share) atas:

1. Aset berwujud tertentu (a’yan maujudat);

2. Nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada;

3. Jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada; 4. Aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan); dan/atau

5. Kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah)”.

2.1.2.2. Karakteristik SUKUK

(18)

Berikut akan dijabarkan secara rinci karakteristik sukuk:

1. Merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial title)

2. Pendapatan berupa imbalan (kupon), marjin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad yang digunakan

3. Terbebas dari unsur riba, gharar dan maysir

4. Penerbitannya melalui special purpose vehicle (SPV) 5. Memerlukan underlying asset

6. Penggunaan proceeds harus sesuai prinsip syariah

Perbedaan sukuk dengan obligasi konvensional akan ditunjukkan oleh tabel 2.3 berikut ini.

Tabel 2.3. Perbandingan Sukuk dan Obligasi

Deskripsi Sukuk Obligasi

Penerbit Pemerintah, Korporasi Pemerintah, Korporasi Sifat Instrumen Sertifikat

kepemilikan/penyertaan atas suatu aset

Instrumen pengakuan utang

Penghasilan Imbalan, bagi hasil, margin Bunga/kupon, capital gain Jangka waktu Pendek – menengah Pendek - menengah

Underlying asset Perlu Tidak perlu

Pihak yang terkait Obligor, SPV, investor, Trustee Obligor/issuer, investor

Price Market Price Market Price

Investor Islami, konvensional Konvensional

Pembayaran pokok Bullet atau amortisasi Bullet atau amortisasi Penggunaan hasil

penerbitan

(19)

2.1.2.3. Jenis SUKUK

Menurut Direktorat Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, jenis-jenis Sukuk yang telah mendapatkan endorsement dari AAOIFI yaitu:

1. Sukuk Ijarah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Ijarah di mana satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sukuk Ijarah dibedakan menjadi Ijarah Al Muntahiya Bittamliek (Sale and Lease Back) dan Ijarah Headlease and Sublease. Gambar 2.1 berikut menunjukkan ringkasan sederhana skema struktur generik sukuk ijarah.

Sumber : Direktorat Jendral Pembiayaan Utang, 2012 (diolah) Gambar 2.1. Skema Sukuk Ijarah Keterangan :

1. SPV dan Obligor melakukan transaksi jual-beli aset, disertai dengan Purchase and Sale Undertaking di mana obligor menjamin untuk membeli kembali aset

Emiten /Obligor SPV (Penerbit) Investor Penjualan aset

1

Penerbitan Sukuk 2

Penyewaan kembali asset 3

4

Purchase and Sale Undertaking

(20)

dari SPV, dan SPV wajib menjual kembali aset kepada obligor, pada saat sukuk jatuh tempo atau dalam hal terjadi default.

2. SPV mendistribusikan penerbitan sukuk kepada investor untuk membiayai pembelian aset.

3. Pemerintah menyewa kembali aset dengan melakukan perjanjian sewa (Ijara Agreement) dengan SPV untuk periode yang sama dengan tenor sukuk yang diterbitkan. Berdasarkan servicing agency agreement, Obligor ditunjuk sebagai agen yang bertanggung jawab atas perawatan aset

4. Obligor membayar sewa (Imbalan) secara periodik kepada SPV selama masa sewa.

5. SPV melalui agen yang ditunjuk akan mendistribusikan imbalan kepada para investor.

6. Pada saat jatuh tempo, SPV melakukan penjualan kembali aset kepada obligor senilai nominal sukuk. Kemudian hasil penjualan aset tersebut digunakan SPV untuk melunasi sukuk kepada investor.

2. Sukuk Musyarakah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.

(21)

pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudharib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak yang menjadi penyedia modal. Gambar 2.2 menunjukkan skema struktur sukuk mudharabah.

Sumber : Huda, Nurul dan Mustafa Edwin, 2008

Gambar 2.2. Skema Sukuk Mudharabah Keterangan :

1. Investor menyerahkan modal untuk kegiatan usaha

2. Emiten menyerahkan keterampilan melakukan operasional dalam kegiatan usaha

3. Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan usaha tersebut akan dibagi sesuai nisbah masing-masing yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian yang terjadi sepenuhnya ditanggung oleh pihak pemilik modal, dalam hal ini investor.

4. Pada saat jatuh tempo, modal pokok akan dikembalikan ke para investor. Investor / Pemodal /

Shahib Al-Maal

Emiten / Korporasi / Mudharib Kegiatan

Usaha

Bagi Hasil Pendapatan

Nisbah Nisbah

1 2

(22)

4.Istisna’, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Istisna‟ di mana para pihak menyepakati jual-beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang sehingga barang yang akan diproduksi tersebut menjadi milik pemegang sukuk. Adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang/proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.

Dari awal penerbitannya pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2010, jenis akad sukuk yang diterbitkan di Indonesia hanya terdiri dari sukuk mudharabah dan sukuk ijarah (sale and lease back) dengan presentase masing-masing 2 persen dan 98 persen. Dalam penelitian ini juga hanya terbatas pada analisis mengenai sukuk mudharabah dan sukuk ijarah karena disesuaikan oleh data yang tersedia.

2.1.3. Konsep Indikator Makroekonomi

2.1.3.1. Pertumbuhan Ekonomi

(23)

Menurut Huda et al (2008), secara sederhana pendapatan nasional dapat diartikan sebagai jumlah barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara pada periode tertentu, biasanya satu tahun.

Pendapatan nasional yang merupakan ukuran terhadap aliran uang dan barang dalam perekonomian dapat dihitung dengan tiga pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan Produksi (Gross Domestic Product/ GDP)

Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan produksi diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto (gross value added) dari semua sector produksi. Penggunaan konsep nilai tambah dilakukan guna menghindari terjadinya perhitungan ganda.

b. Pendekatan Pengeluaran (Gross National Product/ GNP)

Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran dilakukan dengan menjumlahkan permintaan akhir unit-unit ekonomi, yaitu rumah tangga berupa konsumsi, perusahaan berupa investasi, pengeluaran pemerintah, serta pengeluaran ekspor dan impor.

c. Pendekatan Pendapatan (Net National Product/ NNP)

Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pendapatan merupakan GNP dikurangi penyusutan dari stok modal yang ada selama periode tertentu.

Pendapatan nasional juga terbagi ke dalam dua hal, yaitu:

(24)

b. GDP Ril : mengukur nilai output atau pendapatan nasional dalam suatu periode tertentu menurut harga pasar yang ditentukan (harga pada tahun dasar/ harga konstan)

Semua pendekatan pendapatan nasional di atas merupakan pendekatan ekonomi konvensional yang menyatakan bahwa pendapatan nasional dapat dijadikan sebagai suatu ukuran kesejahteraan ekonomi atau kesejahteraan pada suatu negara. Namun pada kenyataannya GDP merupakan ukuran kesejahteraan yang tidak sempurna karena tidak menghitung produk yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri (tidak masuk ke pasar), nilai waktu istirahat, bencana alam, serta polusi. Berbeda dengan ekonomi konvensional, ekonomi islam menggunakan parameter falah dalam tujuan kegiatan perekonomiannya. Falah adalah kesejahteraan yang hakiki, kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dimana komponen-komponen ruhaniah masuk ke dalamnya. Ekonomi islam harus menyediakan suatu cara untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan sistem islam (Mannan, 1984 dalam Huda et al, 2008). Setidaknya ada empat hal yang semestinya bisa diukur dengan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi islam, yaitu penyebaran pendapatan individu rumah tangga, produksi di sektor pedesaan, kesejahteraan ekonomi islami, dan perhitungan pendapatan nasional sebagai ukuran dari kesejahteraan sosial islami melalui pendugaan nilai santunan antar saudara dan sedekah.

2.1.3.2.Jumlah Uang Beredar

(25)

perkiraan tabungan dan giro. Penawaran uang yang terlalu banyak dibandingkan keluaran atau output barang yang dihasilkan akan cenderung mendorong naiknya suku bunga, naiknya harga, dan berkurangnya produksi serta menyebabkan pengangguran tenaga kerja dan penggunaan kapasitas pabrik (Huda, et al ; 2008).

Dalam perekonomian modern, jumlah uang beredar dikendalikan oleh Bank Sentral selaku pemegang otoritas moneter. Penciptaan uang beredar ini merupakan suatu mekanisme pasar, yakni merupakan suatu proses hasil interaksi antara permintaan dan peawaran uang, dan bukan sekedar pencetakan uang atau suatu keputusan pemerintah belaka (Boediono, 1985 dalam Vimala, 2005). Komposisi jumlah uang yang beredar di masyarakat dapat kita bedakan menjadi dua bagian. Pertama adalah uang beredar dalam pengertian sempit, yang digunakan untuk transaksi yaitu M1 (narrow money). Kedua adalah uang beredar dalam arti luas yang biasa disebut dengan M2 (broad money). Persamaan yang menunjukkan jumlah uang beredar ini adalah :

M1 = C + DD ………. ( 2.1 )

M2 = M1 + QM ..….……….. ( 2.2 )

QM=SD+TD ..………... ( 2.3 )

(26)

jumlah uang yang beredar melebihi permintaannya maka salah satunya akan menyebabkan inflasi. Pada akhirnya perlu suatu instrumen yang dapat mengatur jumlah uang beredar.

Instrumen yang digunakan oleh Bank Sentral untuk mengatur jumlah uang beredar di antaranya yaitu:

a. Operasi Pasar Terbuka (open market operation)

Jika Bank Sentral menginginkan jumlah uang beredar berkurang maka Bank Sental menjual surat berharga pasar uang (SPBU), begitu juga sebaliknya. b. Cadangan Minimum (reserve requirement)

Cadangan minimum yang dimaksud di sini adalah cadangan minimum yang dimiliki oleh bank umum. Jika Bank Sentral menginginkan jumlah uang beredar berkurang maka Bank Sentral dapat membuat kebijakan menambah besaran cadangan minimum yang dimiliki bank umum, begitu juga sebaliknya.

c. Discount Rate

Jika Bank Sentral menginginkan jumlah uang beredar berkurang maka Bank Sentral harus meningkatkan suku bunga Bank Indonesia (SBI)

d. Moral Situation

Merupakan kebijakan yang bersifat sugesti yang dilakukan oleh Bank Sentral pada bank umum untuk menaikkan atau menurunkan suku bunga guna menambah atau menurunkan jumlah uang beredar.

(27)

berharga alat yang dapat digunakan dalam operasi pasar terbuka. Diterbitkannya sukuk oleh pemerintah dan korporasi dapat menarik jumlah uang beredar pada masyarakat.

2.1.3.3. Inflasi

Inflasi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kenaikan harga barang-barang secara tajam yang berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu cukup lama. Seiring dengan kenaikan harga barang-barang tersebut, nilai uang turun secara tajam pula sebanding dengan kenaikan harga-harga tersebut (Boediono, 1985). Menurut Friedman dalam Mankiw (2002), inflasi selalu dan dimanapun merupakan suatu fenomena moneter dan terjadi apabila kenaikan jumlah uang yang beredar lebih cepat dari output.

Menurut Huda et all (2008) inflasi biasanya diekspresikan sebagai perubahan angka indeks. Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka sepuluh persen setahun; inflasi sedang antara sepuluh persen s.d. tiga puluh persen setahun; berat antara tiga puluh persen s.d. seratus persen setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas seratus persen setahun. Tingkat harga yang melambung sampai seratus persen atau lebih dalam setahun (hiperinflasi) menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uang, sehingga mereka cenderung menyimpan aktivanya dalam bentuk lain, seperti real estate atau emas, yang biasanya nilainya bertahan di masa-masa inflasi.

(28)

a. Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Customer Price Index (CPI) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.

b. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah.

c. Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga. Terdapat berbagai macam jenis inflasi. Beberapa kelompok besar dari inflasi adalah :

a. Policy induced, disebabkan oleh kebijakan ekspansi moneter yang juga bisa merefleksikan defisit anggaran yang berlebihan dan cara pembiayaannya. b. Cost-push inflation, disebabkan oleh adanya kelangkaan produksi dan/atau

(29)

perkebunan), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tersebut, aksi spekulasi (penimbunan), sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting. Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan dua hal, yaitu (1) kenaikan harga, misalnya bahan baku dan (2) kenaikan upah/gaji, misalnya kenaikan gaji PNS akan mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.

c. Demand-pull inflation, disebabkan oleh adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat.Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan

(30)

Dari faktor penyebab inflasi yang telah diuraikan di atas, sukuk sebagai surat berharga yang diterbitkan baik oleh pemerintah maupun korporasi dapat berpengaruh dalam penarikan jumlah uang beredar di masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan penawaran uang lebih kecil dari permintaannya, sehingga secara tidak langsung penerbitan sukuk dapat mengatasi inflasi yang terjadi.

Belum ada teori yang menyatakan hubungan antara inflasi dan penerbitan sukuk. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Litbang Provinsi Sumatera Utara, inflasi tidak berpengaruh nyata secara positif terhadap penerbitan obligasi daerah Provinsi Sumatera Utara.

2.1.3.4.Pengangguran Terbuka

Menurut BPS, mulai tahun 2000 definisi penduduk usia kerja merupakan penduduk berumur 15 tahun dan lebih. Penduduk usia kerja dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan kegiatan utama yang sedang dilakukannya, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja merupakan penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan (pengangguran). Pengangguran terbuka (open unemployment) terdari dari : (1) angkatan kerja yang mencari pekerjaan, (2) angkatan kerja yang mempersiapkan usaha, (3) angkatan kerja yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, (4) angkatan kerja yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.

(31)

dalam periode ekspansi bisnis. Berdasarkan alasannya, pengangguran dibedakan menjadi pengangguran siklis, friksional, dan struktural. Pengangguran friksional, dan struktural terjadi pada kondisi NAIRU (NonAccelerating Inflationary Rate of Unemployment) atau biasa disebut angka pengangguran alamiah.

Pengangguran siklis merupakan pengangguran yang disebabkan tidak tersedianya lapangan pekerjaan meskipun para pekerja dibayar dengan tingkat upah yang berlaku. Pengangguran ini terjadi pada senjang resesi. Pengangguran jenis ini dapat dikendalikan dengan kebijakan stabilisasi melalui ekspansi kebijakan fiskal dan moneter.

Pengangguran friksional merupakan pengangguran yang diakibatkan oleh perputaran (turnover) normal tenaga kerja. Orang-orang yang menganggur sambil mencari pekerjaan termasuk jenis pengangguran friksional. Cara mengendalikan pengangguran jenis ini yaitu dengan meningkatkan pengetahuan pekerja tentang peluang-peluang pasar.

Pengangguran struktural merupakan pengangguran yang terjadi karena ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja dan struktur permintaan akan tenaga kerja. Pengangguran ini dapat dikendalikan dengan cara menahan perubahan yang menyertai pertumbuhan dan menerima perubahan itu serta mencoba mempercepat langkah penyesuaian.

(32)

2.1.3.5.Bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)

Pengertian Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) menurut peraturan Bank Indonesia No 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Tujuan dikeluarkannya peraturan Bank Indonesia tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah ini ditujukan sebagai salah satu instrument operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Perhitungan besar bonus yang diberikan pada SBIS maengacu pada tingkat diskonto hasil lelang SBI berjangka waktu sama yang diterbitkan bersamaan dengan penerbitan SBIS.

Suku bunga mengukur biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi yang dilakukan masa kini dengan hasil yang diperoleh pada masa yang akan datang (Mankiw, 2006). Suku bunga terbagi menjadi dua, yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil. Tingkat suku bunga nominal adalah tingkat suku bunga yang dibayar bank atau investor. Tingkat suku bunga riil adalah tingkat suku bunga yang diukur dengan kenaikan daya beli atau sudah memperhatikan nilai inflasi.

(33)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ahmadi Sarip (2011), tingkat suku bunga yang cenderung menurun akan menjadi momentum bagi para emiten, baik korporasi BUMN dan swasta maupun pemerintah untuk menerbitkan obligasi. Dengan turunya tingkat suku bunga, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar bunga atau kupon menjadi lebih rendah sehingga obligasi yang diterbitkan menjadi bertambah. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara tingkat suku bunga Bank Indonesia dengan penerbitan obligasi pemerintah adalah negatif.

2.2. Tinjauan Teori

2.2.1. Teori Investasi

Menurut Mankiw (2006) investasi adalah barang-barang yang dibeli oleh individu dan perusahaan untuk menambah persediaan modal mereka. Menurut Lipsey (1997) investasi adalah pengeluaran barang yang tidak dikonsumsi saat ini, dimana berdasarkan periode waktunya investasi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: investasi jangka pendek, investasi jangka menengah, dan investasi jangka panjang. Tujuan individu atau perusahaan yang melakukan investasi adalah untuk memperoleh kesejahteraan bagi dirinya atau perusahaan tersebut.

2.2.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi

(34)

output secara positif, pertumbuhan angkatan kerja memengaruhi secara negatif, dan kemajuan teknologi merupakan variabel eksogen yang diasumsikan tetap. Sedangkan untuk teori pertumbuhan endogen menjelaskan tingkat kemajuan teknologi yang memengaruhi output nasional secara positif. Jika output dan barang suatu negara tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa perekonomian suatu negara mengalami pertumbuhan yang positif.

2.2.3. Teori Kuantitas Uang

Teori ini merupakan teori ekonomi klasik yang berasal dari salah satu ahli moneter pertama, yaitu David Hume (1711-1776). Teori ini dapat dijadikan alat utama untuk menjelaskan pengaruh uang terhadap ekonomi dalam jangka panjang.

Hubungan antara transaksi dan uang ditunjukkan oleh persamaan yang disebut persamaan kuantitas, sebagai berikut :

M x V = P x T ... (2.4) Sisi kanan persamaan kuantitas menyatakan transaksi. T menunjukkan total jumlah transaksi selama periode waktu tertentu. P adalah harga dari suatu transaksi. Sisi kiri persamaan kuantitas menyatakan uang yang digunakan untuk melakukan transaksi. M adalah kuantitas uang. V adalah perputaran uang.

(35)

Sampai saat ini, untuk mengurangi jumlah uang beredar melalui operasi pasar terbuka pemerintah hanya menggunakan instrument Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Standing Facility yang terdiri atas Fasilitas Simpanan Bank Indonesia, Fasilitas Pembiayaan, dan SBI Repo baik yang bersifat konvensional maupun yang bersifat syariah, serta Pasar Uang Antar Bank (PUAB) baik yang bersifat syariah dan konvensional. Hal ini menyebabkan penerbitan sukuk belum memberikan dampak terhadap jumlah uang beredar di Indonesia.

2.2.4. Hubungan antara Penerbitan Sukuk dan Indikator Makroekonomi Sukuk merupakan surat berharga syariah yang dapat menjadi arus sumber-sumber keuangan yang dilakukan oleh pihak perusahaan sebagai emiten untuk memperluas usaha (membangun pabrik) dan negara untuk pembangunan suatu proyek, serta dapat menjadi tujuan investasi bagi para investor sukuk (masyarakat). Hal ini tentu akan berdampak pada perekonomian Indonesia.

Menurut Keynes dalam The General Theory, investasi (I) merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan pengeluaran nasional (Mankiw, 2007). Karena sukuk merupakan instrumen investasi pada sektor ril, maka ketika penerbitan sukuk diperbanya akan meningkatkan investasi yang pada akhirnya akan menyebabkan kurva output nasional (AE0) bergeser ke atas (AE1). Hal ini kemudian akan ditransmisikan ke kurva keseimbangan pasar uang (LM) dan pasar barang (IS).

(36)

ketika IS bergeser ke kanan maka akan menyebabkan naiknya tingkat bunga (ro ke r1).

Hal ini ditransmisikan kembali ke kurva keseimbangan agregat supply (AS) dan agregat demand (AD). Pergesaran kurva IS ke kanan (IS0 ke IS1) menyebabkan bergesernya kurva AD ke kanan (AD0 ke AD1) sehingga menyebabkan harga (P0*) dan output (Y0*) keseimbangan meningkat (P0* ke P1*) yang berarti terjadi inflasi dan pertumbuhan pendapatan nasional. Meningkatnya AD ditansmisikan ke kurva philiph sehingga menyebabkan menurunnya jumlah pengangguran (U0 ke U1). Transmisi kurva ini dapat dilihat pada lampiran 1.

2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai perekonomian syariah, mulai banyak diminati. Mulai dari industri perbankan syariah beserta produknya sampai dengan lembaga keuangan lainnya beserta produknya. Walaupun yang secara khusus membahas tentang hubungan obligasi syariah (sukuk) dengan indikator makroekonomi masih sangat jarang, namun penulis tetap berusaha untuk melakukan penelitian ini dengan tetap mengacu pada penelitian sebelumnya. Penulis mengacu pada penelitian tentang obligasi konvensional yang kemudian diaplikasikan ke obligasi syariah (sukuk). Berikut adalah beberapa penelitian tentang obligasi syariah (sukuk) dan hubungannya dengan perekonomian.

(37)

Pemerintah dan Penerimaan Pajak, diprediksi akan mengurangi pertumbuhan ekonomi.

Litbang Provinsi Sumatera Utara pada tahun (2005) melakukan penelitian

dengan judul “Kajian Penerbitan Obligasi Daerah Sebagai Salah Satu Sumber

Pembiayaan Pembangunan” menggunakan regresi berganda. Penelitian ini

menunjukkan bahwa hasil variabel ekonomi realisasi penerimaan pemerintah berpengaruh nyata secara positif terhadap penerbitan obligasi daerah pada tingkat kepercayaan 95 persen. Variabel pendapatan perkapita, tingkat ekspor, dan variabel inflasi tidak berpengaruh nyata secara positif terhadap penerbitan obligasi daerah pada tingkat kepercayaan 95 persen. Variable pengangguran tidak berpengaruh nyata secara negatif Kinerja ekonomi Pempropsu memberi dorongan peluang positif terhadap penerbitan Obligasi daerah.

Lubis (2009), meneliti tentang pengaruh nilai kurs, tingkat suku bunga SBI, dan GDP terhadap Permintaan Obligasi Swasta di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kurs, tingkat suku bunga SBI, dan GDP berpengaruh simultan dan signifikan terhadap Permintaan Obligasi Swasta di Indonesia.

Siahaan (2006), menganalisis pengaruh inflasi dan suku bunga SBI terhadap penerbitan obligasi pemerintah dalam rangka Rekapitalisasi perbankan. Dengan menggunakan metode estimasi Ordinary Least Square pada periode 1989-2005, menyimpulkan bahwa inflasi dan suku bunga SBI memiliki pengaruh negatif terhadap penerbitan obligasi pemerintah dalam rangka rekapitalisasi perbankan.

(38)

memengaruhi obligasi pemerintah di Indonesia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Variabel penerimaan negara tahun sebelumnya, pengeluaran pemerintah, pinjaman luar negeri pemerintah dan suku bunga SBI secara bersama-sama mampu memengaruhi penerbitan obligasi pemerintah Indonesia, signifikan pada α = 1%. Pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh yang positif terhadap penerbitan obligasi pemerintah, sedangkan penerimaan negara tahun sebelumnya, pinjaman luar negeri pemerintah dan suku bunga SBI mempunyai pengaruh yang negatif terhadap penerbitan obligasi pemerintah Indonesia.

2.4. Kerangka Pemikiran Konseptual

Sumber : Penulis, 2012

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual Perkembangan Pesat

Obligasi Syariah (SUKUK) di Indonesia

Pertumbuhan Ekonomi Penganggura

n Inflasi

Sukuk Korporasi Sukuk Global (SBSN)

Masalah Makroekonomi

Jumlah Uang Beredar

Model VAR/VECM

(39)

2.5. Hipotesis

Berdasarkan penelitian terdahulu maka dalam penelitian ini akan dirumuskan beberapa hipotesia. Adapun hipotesis pada penelitian ini yaitu :

1. Variabel penerbitan sukuk dipengaruhi oleh variabel GDP, jumlah uang beredar, inflasi, pengangguran terbuka, dan bonus SBIS.

2. Variabel GDP berpengaruh positif terhadap penerbitan sukuk.

3. Variabel jumlah uang beredar berpengaruh positif terhadap penerbitan sukuk. 4. Variabel pengangguran terbuka tidak berpengaruh secara negatif terhadap

penerbitan sukuk.

5. Variable inflasi tidak berpengaruh secara positif terhadap penerbitan sukuk. 6. Sukuk berdampak pada GDP yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi,

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang akan dipakai dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series) dari bulan Mei 2006 – Desember 2010 yang merupakan data jumlah total nilai emisi sukuk, Indeks Harga Konsumen (IHK), jumlah pengangguran terbuka, Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah uang beredar (M2), dan bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Semua data ini diperoleh yang di peroleh dari instansi-instansi terkait, yaitu Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia Bank Indonesia (SEKI-BI), Badan Pusan Statistik (BPS), Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), dan sumber lainnya.

Table 3.1. Variabel, Notasi, dan Sumber Data

Variabel Notasi Satuan Sumber Data

Total Nilai Emisi Sukuk LnSukuk Milyar Rupiah Bapepam-LK dan

Direktorat Utang Kemenkeu Indeks Harga Konsumen LnIHK Indeks SEKI-BI

Pengangguran Terbuka LnPT Jiwa BPS Gross Domestic Product LnPDB Milyar Rupiah SEKI-BI Jumlah Uang Beredar LnM2 Milyar Rupiah SEKI-BI

(41)

3.2. Metode Analisis

Penelitian ini terdiri dari metode kuantitatif dan metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan kondisi perkembangan sukuk di Indonesia dan kondisi makroekonomi di Indonesia sebelum diterbitkannya sukuk. Metode kuantitatif digunakan untuk pengujian model Vector Autoregressive

(VAR) yang akan dipakai untuk menganalisis dampak penerbitan sukuk terhadap indicator makroekonomi Indonesia. Jika variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini stasioner pada first difference-nya maka akan menggunakan metode

kuantitatif Vector Error Correction Model (VECM).

Menurut Arsana (2005) dalam Firdaus (2011), alat analisa yang disediakan oleh VAR/VECM dilakukan melalui empat macam penggunaannya, yakni :

1. Forecasting : ekstrapolasi nilai saat ini dan nilai masa depan seluruh variable dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu dari variable tersebut.

2. Impulse Respons Function (IRF) : melacak respon saat ini dan masa depan dari setiap variable akibat shock atau perubahan suatu variable tertentu.

3. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) : sebagai prediksi kontribusi persentase varians setiap variable terhadap perubahan suatu variable tertentu.

4. Granger Causality Test : untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variable.

(42)

Sumber : Azam Noer Achsani (2011)

Gambar 3.1. Proses Analisis VAR dan VECM

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian. Adapun data yang dikumpulkan adalah data-data yang secara umum dianggap relevan dan mempunyai hubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.

(43)

hasilnya terkointegrasi, maka dapat dilakukan estimasi terhadap data menggunakan estimasi VECM. Karena pada penelitian ini hampir semua data tidak stasioner pada data levelnya maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah estimasi pada model VECM. Model VAR hanya digunakan untuk pengujian FEDV dan IRF.

3.2.1. MetodeVector Error Correction Model (VECM)

Vector Error Correction Model (VECM) adalah VAR terestriksi yang digunakan

untuk variabel yang nonstasioner tetapi memiliki potensi untuk terkointegrasi. Setelah

dilakukan pengujian kointegrasi pada model yang digunakan maka dianjurkan untuk

memasukkan persamaan kointegrasi ke dalam model yang digunakan. Pada data time

series kebanyakan memiliki tingkat stasioneritas pada first difference atau I(1). VECM

kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya.

Oleh karena itu, VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series nonstasioner yang

memiliki hubungan kointegrasi. Dengan demikian, dalam VECM terdapat speed of

adjustment dari jangka pendek ke jangka panjang.

Adapun spesifikasi model VECM secara umum adalah sebagai berikut :

Δyt =µ0x + µ1xt + πxyt-1 + Δyt-I + t ……… ( 3.2 )

di mana :

yt = vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian µ0x = vector intercept

µ1x = vector koefisien regresi t = time trend

πx = αx βy di mana b‟ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang

(44)

Γix = matriks koefisien regresi

k -1 = ordo VECM dari VAR

εt = error term

3.2.2. Pengujian Sebelum Estimasi

Sebelum melakukan estimasi VAR atau VECM terlebih dahulu harus dilakukan beberapa pengujian. Berikut ini adalah beberapa pengujian yang harus dilakukan:

1. Uji Stasioneritas Data

Uji stasioneritas dapat dilakukan dengan metode Augmented Dickey Fuller (ADF) sesuai dengan bentuk tren deterministik yang dikandung oleh setiap variabel. Apabila hasil dari pengujian ini menunjukkan nilai mutlak t-ADF lebih besar dari nilai mutlak MacKinnon critical values-nya maka data telah stasioner pada taraf nyata sebesar lima persen atau satu persen. Dapat juga dilihat pada nilai probabilitasnya. Apabila nilai probabilitasnya kurang dari taraf satu persen, lima persen, dan sepuluh persen maka data tersebut stasioner pada taraf tersebut.

(45)

2. Penentuan Lag Optimal

Untuk memperoleh panjang selang yang tepat, maka perlu dilakukan tiga bentuk pengujian secara bertahap. Pada tahap pertama akan dilihat panjang selang maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil atau stasioner jika seluruh akar unitnya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle (Lutkepohl, 1991).

Pada tahap kedua, panjang selang optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat selang yang terpilih adalah panjang selang menurut kriteria Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwarz Information Criterion (SC). Jika kriteria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat selang, maka kandidat selang tersebut optimal. Jika diperoleh lebih dari satu kandidat, maka pemilihan dilanjutkan pada tahap ketiga. Selain melalui kriteria AIC, pemillihan lag optimum juga dapat dilakukan berdasarkan Schwarz Information Criterion (SC).

Pada tahap terakhir, nilai Adjusted R2 variabel VAR dari setiap kandidat selang dibandingkan dengan penekanan pada variabel-variabel penting dalam model VAR tersebut. Selang optimal akan dipilih dari sistem VAR dengan selang tertentu yang menghasilkan nilai Adjusted R2 terbesar pada variabel-variabel penting dalam sistem.

3. Pengujian Hubungan Kointegrasi

(46)

tercapai keseimbangan jangka panjang adalah galat keseimbangan harus berfluktuasi di sekitar nol. Dengan kata lain, error term harus menjadi sebuah data time series yang stasioner. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk melakukan uji kointegrasi, seperti Eagle-Granger Cointegration Test, Johansen Cointegration Test, dan Cointegration Regression Durbin-Watson Test. Suatu data time series dikatakan terintegrasi pada tingkat ke-d atau sering disebut I(d) jika data tersebut bersifat stasioner setelah pendiferensian sebanyak d kali.

4. Uji Stabilitas Model VAR

Dalam prakteknya, stabilitas sistem VAR dapat dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai modulus di tabel AR roots-nya, jika seluruh nilai AR roots-nya di bawah satu, maka sistem tersebut stabil. 5. Bentuk Urutan Variabel (ordering)

Kebutuhan bentuk urutan variabel sesuai dengan uji kausalitas hanya terjadi jika nilai korelasi residual antar variabel di dalam sistem secara mayoritas (lebih dari 50 persen) menjadi 0,2. Jika mayoritas nilai korelasi antar variabelnya bernilai di atas 0,2 maka spesifikasi urutan variabel sesuai dengan teori ekonomi atau uji kausalitas perlu dilakukan. Jika hasilnya yang ditemukan kontradiktif atau sebaliknya, maka bentuk urutan yang tepat tidak perlu dipermasalahkan.

3.3. Model Penelitian

(47)

LnSukukt = LnSukukt-i + LnPDBt-i + LnM2t-i +

LnIHKt-i + t-i + + LnSBISt-i + t di mana :

Ln Sukuk = Total Nilai Emisi Penerbitan Sukuk Ln PDB = Gross Domestic Product

Ln M2 = Jumlah Uang Beredar Luas Ln IHK = Indeks Harga Konsumen Ln PT = Pengangguran Terbuka

Ln SBIS = Bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah 3.4. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini defisnisi operasional dari setiap variabel yang dipakai, yaitu :

1. Penawaran Sukuk

(48)

2. Inflasi

Variabel inflasi yang dipakai dalam penelitian ini merupakan indeks harga konsumen (IHK) gabungan di 66 kota di Indonesia. Sejak tahun 2004, IHK dihitung berdasarkan tahun dasar 2002 (2002 = 100) di 45 kota. Sejak bulan Juni 2008, IHK dihitung berdasarkan tahun dasar 2007 (2007 = 100) di 66 kota.

3. Pengangguran Terbuka

Setelah tahun 2000, yang dimaksud jumlah pengangguran terbuka merupakan angkatan kerja yang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja. Angkatan kerja mulai tahun 2000 dihitung berdasarkan penduduk usia kerja 15 tahun atau lebih. Data pengangguran terbuka dalam penelitian ini pun mendapatkan perlakuan karena data yang diterbitkan oleh BPS merupakan data semesteran. Perlakuan yang dilakukan untuk data semesteran tersebut menggunakan metode Qubic’s Plien pada software e-views, sehingga data semesteran tersebut menjadi data bulanan dan memudahkan dalam melakukan estimasi.

4. Pertumbuhan Ekonomi

(49)

tersebut menggunakan metode Qubic’s Plien pada software e-views, sehingga data kuartalan tersebut menjadi data bulanan dan memudahkan dalam melakukan estimasi. 5. Jumlah Uang Beredar

Variabel jumlah uang beredar yang dipakai dalam penelitian ini yaitu data bulanan uang beredar luas (M2) yang merupakan penjumlahan antara uang beredar sempit (M1) dengan uang kuasi. Uang beredar sempit (M1) terdiri dari Uang Kartal di Luar Bank Umum dan BPR serta Simpanan Giro Rupiah.

6. Bonus SBIS

(50)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1. Gambaran Umum Obligasi Syariah (Sukuk) di Indonesia 4.1.1. Sejarah Sukuk dan Perkembangan Sukuk Dunia

Sukuk pertama kali diperkenalkan di daerah Timur Tengah pada abad pertengahan yang dipergunakan dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk

berasal dari bentuk jamak “Sakk” dalam Bahasa Arab yang berarti sertifikat atau surat

kepemilikan. Kata tersebut kemudian menjadi asal dari kata “Cheque” dalam Bahasa Eropa yang berarti dokumen yang merepresentasikan sebuah kontrak (contracts) atau pengalihan kepemilikan (conveyance of rights), obligasi (obligations) atau kewajiban yang harus dipenuhi (monies done) berdasarkan prinsip syari‟ah. Sukuk digunakan secara luas oleh masyarakat pada zaman itu dalam bentuk surat berharga yang mewakili kewajiban pembiayaan yang berasal dari perdagangan dan kegiatan komersil.4

Dalam perkembangannya, upaya mengembangkan dan meluncurkan kembali surat berharga yang serupa obligasi syari‟ah dilakukan di Negara Yordania pada tahun 1978. Pemerintah setempat memberikan izin kepada Bank Islam Jordan untuk menerbitkan obligasi islam yang dikenal dengan obligasi mukharadah. Hal ini menjadi inspirasi bagi Negara Pakistan yang pada akhirnya menerbitkan undang-undang (UU) khusus yang disebut Peraturan tentang Perusahaan Mudarabah dan Aturan Pengembangan dan Kontrol Mudarabah 1980.

4

(51)

Sayangnya kedua upaya ini tidak diikuti oleh infrastruktur yang sesuai dan transparansi di dalam pasar sehingga tidak menghasilkan aktivitas yang berarti. Penerbitan obligasi Islam yang pertama kali sukses adalah Government Investment Issues (GII) –sebelumnya dikenal dengan Government Investment Certificate (GIC)– yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia pada 1983. Namun lagi-lagi pasar bagi sekuritas ini tidak berkembang karena inovasi yang lamban dan tidak adanya dukungan dari institusi finansial islami.

Dalam perkembangannya, The Islamic Jurisprudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA - Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001, kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan Global Corporate Sukuk si pasar keuangan Islam internasional. Hal ini menambah jumlah total nilai emisi sukuk pada tahun 2001 menjadi 250 juta dolar AS. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional. Struktur ini dianggap menarik oleh para investor dan peminjam karena merupakan kendaraan yang

potensial untuk mengembangkan pasar modal syari‟ah. Hal ini menjadi pionir bagi

(52)

Tabel 4.1. Perkembangan Sukuk Global Internasional tahun 2002-2007

Pada tahun 2002 tercatat penerbitan sukuk dunia bernilai 4,9 milyar dolar AS. Total perkembangan yang terjadi sampai tahun 2007 menjadi senilai 71,5 milyar dolar AS meningkat sebanyak 14 kali lipat dari tahun 2002. Namun pada tahun 2008 terjadi penurunan yang drastis pada penerbitan sukuk global dunia yang hanya mencatat angka penjualan sebesar 14,1 milyar dolar AS. Pada tahun ini penjualan sukuk berkurang sebesar 54 persen jika dibandingkan dengan penjualan sukuk pada tahun 2007. Penjualan sukuk meningkat kembali pada tahun 2009 menjadi senilai 20,2 milyar dolar AS. Kembali mengalami penurunan, pada 2010 penjualan sukuk global internasional tercatat hanya mencapai angka 17,1 milyar dolar AS menurun sebesar 15 persen dari penjualan di tahun 2009. Tercatat sampai Februari tahun 2011 total seluruh penerbitan sukuk global dunia dari tahun ke tahun mencapai angka 125,7 milyar dolar AS. Meningkat hampir dua kali lipatnya hanya dalam kurun waktu kurang dari empat tahun.

Total Sukuk Issues (in USD mio)

2002 2003 2004 2005 2006 2007 Total %

(53)

Perkembangan sukuk global ini didukung oleh regulator di kawasan Teluk dan Asia yang semakin kuat. Kini, makin banyak negara yang telah menerbitkan sukuk sebagai instrumen pembiayaan. Pada tahun 2007, ada sepuluh negara penerbit sukuk, padahal pada tahun 2001 baru ada dua negara.

Negara penerbit sukuk dengan pangsa pasar terbesar di dunia ialah Malaysia dengan pangsa pasar sebesar 60 persen. Sementara Uni Emirat Arab menjadi pemimpin penerbit sukuk di Gulf Cooperation Countries (GCC) dengan total 26,8 miliar dolar AS dari 34 penerbitan antara 2000-2008. Diikuti dengan Bahrain yang mencatat 89 penerbitan sukuk senilai 4,5 miliar dolar AS di kurun waktu yang sama (Irawan Febrianto).

Selain dukungan yang kuat dari pemerintah setempat, perkembangan pesat sukuk juga tidak terlepas dari kinerja sukuk itu sendiri. Perkembangan indeks surat berharga yang berbasis syariah (saham dan sukuk), kinerjanya lebih baik dibandingkan indeks surat berharga konvensional. Nilai nominal rata-ratanya juga terus meningkat, dari US$375 juta pada tahun 2002 menjadi US$516,47 juta pada 2007. Fenomena ini mencerminkan semakin pentingnya sukuk sebagai sumber pendanaan berskala besar dan semakin diterimanya sukuk sebagai alternatif investasi para investor global (Abida Muttaqiena, 2009).

Anjloknya penerbitan sukuk global internasional pada tahun 2008 disebabkan oleh krisis ekonomi dan keuangan dunia serta pernyataan dari ulama fiqh, Maulana Taqi Usmani bahwa 85 persen penerbitan sukuk tidak sesuai syariah2.

4

(54)

Untuk tahun 2010, anjloknya penjualan sukuk disebabkan oleh kekacauan politik yang menyebabkan krisis di Timur Tengah sehingga orang-orang menjauh dari pasar sukuk Timur Tengah. Selain itu anjloknya penjualan sukuk pada tahun 2010 juga dikarenakan para investor lebih selektif memilih instrument investasi akibat gagal bayar Dubai World atas sebagian obligasinya pada tahun 2009 lalu (Sumber : Republika).

4.1.2. Kondisi dan Perkembangan Sukuk di Indonesia

Tidak mau menyia-nyiakan potensi sukuk yang telah diterbitkan oleh negara tetangga Malaysia, Indonesia pun mulai melirik untuk turut serta menerbitkan sumber pendanaan dengan risiko yang rendah namun berpotensi besar tersebut. Diawali oleh PT Indosat Tbk yang menerbitkan sukuk korporasi pada 30 Oktober 2002 dengan akad mudharabah senilai 175 milyar rupiah. Namun pada saat itu belum ada regulasi yang memadai. Kerangka peraturan masih menggunakan Peraturan Penerbitan Efek Konvensional, dengan tambahan dokumen pernyataan kesesuaian syariah dari DSN MUI (Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia). Pada akhirnya diterbitkanlah Fatwa DSN MUI No.32 dan No.33 pada tahun 2002 sebagai basis penerbitan obligasi syariah. Sejak saat itu, penerbitan sukuk korporasi di Indonesia kian berkembang pesat.

(55)

hukum atas penerbitan SBSN. Sukuk ini diterbitkan pada 27 Agustus 2008 dengan akad akad ijarah senilai 2.714,7 dan 1.985 miliar rupiah. Sukuk seri IFR merupakan sukuk yang diterbitkan untuk investor institusi yang umumnya memiliki dana yang sukuk banyak untuk membeli sukuk.

Selain untuk institusi, pemerintah juga menerbitkan sukuk untuk investor individual, yakni sukuk negara ritel. Sukuk jenis ini yang pertama terbit adalah SR001 yang diterbitkan pada tanggal 25 Februari 2009 senilai 5.556,29 milyar rupiah. Berikut akan disajikan penerbitan sukuk selanjutnya sampai tahun 2011.

Tabel 4.2 Jumlah Total Nilai Emisi Sukuk Indonesia Tahun 2002 - 2011

Tahun Sukuk Korporasi Sukuk Global

(SBSN)

Sumber : Bappepam-LK dan Direktorat Jendral Pengelolaan Utang (2012), diolah

(56)

meningkat sepuluh kali lipat hanya dalam selang waktu tujuh tahun. Selain itu tercatat pula sukuk yang telah dilunasi senilai 2.039,4 oleh 17 emiten. Perkembangan yang lebih menggembirakan terjadi pada sukuk negara. Hal ini dikarenakan sukuk negara menghasilkan nilai multiplier yang sama dengan sukuk korporsi namun dengan waktu yang relatif lebih singkat. Sukuk negara yang semula hanya bernilai 4699,7 milyar rupiah menjadi 62.771 milyar rupiah pada tahun 2011. Karena baru berselang waktu empat tahun dari pertama kali diterbitkan dan baru jatuh tempo pada tahun 2015, sukuk ini belum ada yang dilunasi.

Perkembangan penerbitan yang sangat menggembirakan ini tidak lepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Menurut Tim Studi Minat Emiten di Pasar Modal faktor yang mempengaruhi penerbitan sukuk bagi para emiten sukuk korporasi dapat dikelompokan menjadi tiga faktor, dari yang paling kuat pengaruhnya, yaitu faktor eksternal, faktor internal ,dan faktor peraturan.

Pertama, ditinjau dari faktor eksternal, faktor yang sangat berpengaruh bagi emiten sukuk dalam menerbitkan sukuk dipasar modal yaitu adanya kelebihan likuiditas pasar, ketersediaan informasi mengenai pasar modal syariah dan faktor benchmark risk free rate (SUN/SBSN), dan cost of fund.

(57)

Ketiga, faktor yang berkaitan dengan peraturan yaitu faktor adanya ketentuan bahwa aset/kegiatan usaha yang mendasari penerbitan sukuk tidak bertentangan dengan prinsip syariah, faktor perlakuan perpajakan atas sukuk dan faktor kebijakan perusahaan dalam pendanaan (financing).

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerbitan sukuk negara oleh pemerintah Indonesia yaitu faktor pendanaan stimulus fiskal yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan untuk membiayai defisit APBN. Penawaran sukuk yang dilakukan oleh korporasi dan perusahaan juga dipengaruhi oleh permintaan pasar.

Menurut Achsein (2004) dalam Huda, et al (2008), selain mengalami perkembangan yang terus meningkat, sukuk di Indonesia juga tidak luput dari tantangan dan kekurangan yang tak sedikit, diantarnya yaitu sosialisasi yang masih

kurang, opportunity cost yang secara sederhana diterjemahkan sebagai “second best choice”, perdagangan obligasi syariah di pasar sekunder yang kurang likuid karena merupakan investasi jangka panjang. Hal ini dibuktikan oleh porsi sukuk yang diterbitakan di Indonesia sampai September 2011 hanya sebesar 9,52 persen jika dibandingkan dengan obligasi konvesional yang total nilai emisi penerbitannya sudah mencapai 90,48 persen.

4.2. Kondisi Makroekonomi Indonesia Setelah Penerbitan Obligasi Syariah (2006-2011)

(58)

negatif. Kondisi perekonomian ini dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal ikut mempengaruhi karena Indonesia merupakan negara dengan perekonomian terbuka dan mengalami arus globalisasi sehingga tidak dapat lepas dari perekonomian dunia. Salah satu faktor tersebut adalah guncangan ekonomi dunia seperti krisis subprime mortage pada tahun 2007, krisis keuangan Eropa, serta krisis Timur Tengah yang mengakibatkan kenaikan harga minyak dunia. Faktor internal sendiri berasal dari dalam negeri, seperti guncangan pada kondisi makroekonomi itu sendiri, guncangan pada harga-harga dalam negeri serta situasi politik. Gambaran kondisi makroekonomi Indonesia dapat dilihat pada tabel 4.3

Tabel 4.3. Indikator Makroekonomi Indonesia 2006-2011 Tahun Pertumbuhan

Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi berada di angka 6,05 persen dengan tingkat inflasi 6,6 persen, tingkat jumlah uang beredar yang tinggi di 14,94 persen, dan tingkat pengangguran terbuka turun sebesar 13,44 persen dari tahun sebelumnya.

Gambar

Gambar 2.1. Skema Sukuk Ijarah
Gambar 2.2. Skema Sukuk Mudharabah
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual
Gambar 3.1. Proses Analisis VAR dan VECM
+7

Referensi

Dokumen terkait