• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Kapasitas Panas Wilayah Akibat Perubahan Komposisi Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Landsat-5 TM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Kapasitas Panas Wilayah Akibat Perubahan Komposisi Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Landsat-5 TM"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN KAPASITAS PANAS WILAYAH AKIBAT

PERUBAHAN KOMPOSISI TUTUPAN LAHAN

MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT-5 TM

WINDA ARYANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Kapasitas Panas Wilayah Akibat Perubahan Komposisi Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Landsat-5 TM adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Winda Aryani

(4)

ABSTRAK

WINDA ARYANI. Perubahan Kapasitas Panas Wilayah Akibat Perubahan Komposisi Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Landsat-5 TM. Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO SSi, MSc.

(5)

ABSTRACT

WINDA ARYANI. Regional Heat Capacity Changes due to Changes of Land Cover Composition Using Landsat-5 TM Data. Supervised by IDUNG RISDIYANTO SSi, MSc.

Regional heat capacity change is calculated from the ratio between the addition or subtraction of heat (ΔQ) with the increase or decrease in temperature (ΔT) region. The purpose of this study is to calculate the regional heat capacity change due to the changes of land cover composition with forest, shrubs, oil palm plantation and bare soil using Landsat-5 TM satellite data on 1994, 2000 and 2010. Total area that used on this study is 12971 ha. In 1994-2000, 4 % of forest area and 2% shrubs were increased, followed by additional of biomass forest 4.01 tons/ha and 2.83 tons/ha for shrubs. The increased of forest area and biomass (tons/ha) caused by forest and shrubs growth processing towards climax that added the canopy volume. So that, the regional heat capacity in 1994 amounted 19384 MJCo-1 increased to 19929 MJCo-1 in 2000. Data observation for 2000-2010 showed that forest area decreased by 66% due to forest’s clearing into oil palm plantations (47%), shrubs (8%), and bare soil (11%). But, plant’s biomass continue to increased, i.e 1.48 ton/ha for forest, 2.73 tons/ha for shrubs and 4.63 tons/ha for bare soil. Before 2000, there was no land cover by oil palm plantations, so the increasing rate from this land was the biggest than the three other lands, amounting to 122.29 tons/ha. Decreasing in the percentage of forest area does not cause a decrease in the heat capacity of the region. Intensive maintenance on oil plam plantation such as water management, fertilizer and planting space made it biomass productivity and ability to save the heat is greater than the forest. As the result, in 2010 regional heat capacity increased to 22508 MJCo-1.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

PERUBAHAN KAPASITAS PANAS WILAYAH AKIBAT

PERUBAHAN KOMPOSISI TUTUPAN LAHAN

MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT-5 TM

WINDA ARYANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Perubahan Kapasitas Panas Wilayah Akibat Perubahan Komposisi Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Landsat-5 TM

Nama : Winda Aryani NIM : G24090003

Disetujui oleh

Idung Risdiyanto, SSi MSc Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Rini Hidayati, MS Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah meteorologi satelit, dengan judul Perubahan Kapasitas Panas Wilayah Akibat Perubahan Komposisi Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Landsat-5 TM.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1 Bapak Idung Risdiyanto, SSi MSc selaku pembimbing skripsi. Terima kasih atas arahan dan bimbingan dalam proses penelitian dan penulisan skripsi. 2 Prof Dr Ir Ahmad Bey selaku pembimbing akademik penulis.

3 Terima kasih ayah (Ade Holis), ibu (Aminah), adik (Juandi Arya Nugraha), serta keluarga besar tercinta atas segala dukungan, semangat, do’a dan kasih sayang yang kalian berikan.

4 Cibantengers (Lidel, Normi, Wayan, Dwi, teh Enit dan Ika Farah), terima kasih atas kebersamaan dan kenangan selama ini.

5 Ibu Dr Ir Rini Hidayati, MS selaku ketua departemen GFM, serta seluruh dosen dan staf departemen Geofisika dan Meteorologi Terapan IPB, khususnya pak Pono yang telah membantu dalam proses pencarian pustaka dan mas Aziz dalam proses administrasi.

6 Teman-teman GFM 46, PSDM BEM FMIPA Sahabat Scientist, Keluarga FOSMA IPB, terima kasih atas kebersamaanya selama ini.

7 Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungannya selama ini

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODE 2

Bahan 2

Alat 3

Prosedur Analisis Data 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Profil Wilayah Kajian 7

Perubahan Luasan Penutupan Lahan 7

Distribusi Spasial Suhu Permukaan 8

NDVI dan LAI 13

Kapasitas Panas Wilayah 14

SIMPULAN DAN SARAN 18

Simpulan 18

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 22

(12)

DAFTAR TABEL

1 Nilai albedo hasil ektraksi data citra satelit Landsat-5 TM dan referensi 10 2 Distribusi spasial neraca energi tiap tutupan lahan dengan data citra

satelit Landsat-5 TM 12

3 Nilai NDVI dan LAI tiap jenis penutupan lahan 13

4 Nilai LAI pada beberapa tutupan lahan 14

DAFTAR GAMBAR

1 Peta wilayah kajian 7

2 Luasan tiap jenis tutupan lahan dengan data citra Landsat-5 TM 8 3 Kisaran suhu permukaan di wilayah kajian dengan citra Landsat-5 TM 9 4 Sebaran spasial albedo dengan citra Landsat-5 TM 11 5 Kapasitas panas tiap jenis penutupan lahan dengan Landsat-5 TM 15 6 Perubahan kapasitas panas wilayah kajian per hektar dengan Landsat-5

TM 15

7 Biomassa potensial (ton/ha) dengan data citra Landsat-5 TM 16 8 Biomassa total wilayah kajian dengan citra Landsat-5 TM 16 9 Hubungan antara biomassa potensial dengan kapasitas panas 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai jarak astronomi bumi-matahari (d) dan sudut elevasi matahari saat

tanggal akuisisi citra Landsat-5 22

2 TM spectral range, post-calibration dynamic ranges, and mean

exoatmospheric solar irradiance (ESUN ) 22

dan kebun sawit (d) tahun 2010 23

6 Sebaran nilai albedo hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 1994 24 7 Sebaran nilai albedo hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 2000 24 8 Sebaran nilai albedo hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) dan kebun

(13)

13Sebaran nilai sensible heat flux (H) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan

terbuka (c) tahun 2000 27

14Sebaran nilai sensible heat flux (H) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan

terbuka (c) dan kebun sawit (d) tahun 2010 28

15Sebaran nilai latent heat flux (LE) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan

terbuka (c) tahun 1994 28

16Sebaran nilai latent heat flux (LE) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan

terbuka (c) tahun 2000 29

17Sebaran nilai latent heat flux (LE) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan

terbuka (c) dan kebun sawit (d) tahun 2010 29

18Sebaran nilai NDVI hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 1994 30 19Sebaran nilai NDVI hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 2000 30 20Sebaran nilai NDVI hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) dan kebun

sawit (d) tahun 2010 31

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak awal tahun 1970-an di Indonesia terjadi penebangan hutan secara komersial untuk keperluan pertambangan, perkebunan, dan perumahan. Selama periode 1985-1997 lebih dari 20 juta ha hutan mengalami deforestasi. Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah yang mengalami deforestasi terbesar, yaitu 6.7 juta ha dan 8.5 juta ha (Holmes 2002). Sumargo et al. (2011) menyatakan bahwa luas hutan Indonesia pada tahun 2000 adalah 103.33 juta ha dan berkurang menjadi 88.17 juta ha pada tahun 2009 dengan deforestasi terbesar tetap berada di Kalimantan (4.95 juta ha) dan Sumatera (3.33 juta ha). Konversi lahan ini didominasi oleh perkebunan sawit. Selama 10 tahun, yaitu periode 1984-1998 terjadi peningkatan sekitar 2.4 juta ha lahan yang dikonversi menjadi perkebunan sawit, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan berdasarkan data Departemen Pertanian (2009), luas perkebunan sawit meningkat dua kali lipat, yaitu 4.16 juta ha pada tahun 2000 menjadi 8.25 juta ha pada tahun 2009.

Deforestasi dan konversi lahan yang mengarah pada perubahan komposisi tutupan lahan menyebabkan komposisi radiasi surya yang sampai di permukaan bumi berubah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan permukaan bumi dalam menyerap, memantulkan dan meneruskan radiasi matahari yang datang. Misalnya, nilai albedo akan berubah akibat konversi hutan menjadi semak, lahan terbuka ataupun perkebunan sawit karena besarnya albedo dipengaruhi oleh jenis permukaan, sifat radiasi permukaan, kondisi atmosfer dan sifat fisik permukaan seperti warna, kandungan air dan kekasaran permukaan (Dobos 2003).

Perubahan komposisi tutupan lahan juga dapat merubah distribusi spasial unsur iklim mikro, seperti suhu permukaan. Weng et al. (2001) mengkombinasi-kan data GIS (Geographic Information System) dan citra satelit Landsat 7 untuk mengestimasi perubahan suhu permukaan akibat peluasan daerah urban. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan daerah urban meningkatkan suhu permukaan sebesar 13.01 K yang berkorelasi positif dengan penurunan biomassa tumbuhan. Selanjutnya, Weng et al. (2004) menduga suhu permukaan vegetasi dan wilayah urban dengan pendekatan indeks vegetasi dan menemukan bahwa terdapat korelasi negatif antara suhu permukaan dan indeks vegetasi sebesar -0.73 untuk hutan dan -0.67 untuk urban. Indeks vegetasi yang kecil menunjukkan kerapatan vegetasi dan biomassa yang rendah. Perubahan suhu permukaan dan biomassa vegetasi suatu wilayah akan mempengaruhi kapasitas panas wilayah, yaitu kemampuan wilayah dalam menyimpan energi atau panas yang berasal dari radiasi matahari. Kapasitas panas dari yang terbesar terdapat pada tutupan badan air, vegetasi dan lahan terbuka (Geiger et al.1961).

(16)

2

menyerap band merah dengan baik (Lillesand et al. 2004). Landsat-5 TM juga menyediakan data series terpanjang yang berbasis pada observasi satelit sehingga dapat digunakan sebagai sumber daya untuk memonitoring bumi dalam skala global dan melihat pengaruh perubahan lahan pada nilai kapasitas panas wilayah secara spasial.

Perumusan Masalah

Apakah perubahan tata guna lahan suatu wilayah menyebabkan perubahan nilai neraca energi dan kapasitas panas wilayah tersebut. Jika ya, mengapa dan seberapa besar perubahan tersebut terjadi. Jika tidak, hal dominan apakah yang menyebabkan perubahan tersebut tidak terjadi.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menghitung perubahan kapasitas panas yang disebabkan oleh perubahan komposisi luas tutupan lahan hutan, semak, kebun sawit dan lahan terbuka dengan menggunakan data citrasatelit Landsat-5 TM.

Manfaat Penelitian

Perhitungan neraca energi dan kapasitas panas dapat memberikan informasi mengenai kemampuan hutan, semak, lahan terbuka dan perkebunan sawit dalam menyerap, memantulkan, ataupun metransmisikan energi radiasi matahari yang sampai di permukaan objek tersebut. Selain itu, hasil perhitungan kapasitas panas dapat digunakan dalam perencanaan tata ruang suatu wilayah sehingga tetap berada pada kisaran suhu dan kondisi iklim yang nyaman.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini hanya dibatasi untuk wilayah dengan tutupan lahan hutan, semak, kebun sawit dan lahan terbuka. Nilai yang diperoleh menggambarkan nilai kapasitas panas pada waktu pengambilan citra dilakukan.

METODE

Bahan

(17)

3 Alat

Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan software Ms. Office 2007, Minitab 15, ER Mapper 7.1 dan Arc Map 10.0 (Lisensi IPB dengan No. Lisensi EFL588104064).

Prosedur Analisis Data

Pengolahan Awal Data Citra

Pengolahan awal data citra terdiri dari koreksi geometrik, pengambilan wilayah kajian dan klasifikasi penutupan lahan. Koreksi geometrik dilakukan untuk mengurangi error geometri sehingga proyeksi dan anotasi citra sesuai dengan peta (Jensen 2000). Pengambilan wilayah kajian dilakukan pada software ER Mapper 7.1 untuk membatasi dan memfokuskan penelitian. Klasifikasi penutupan lahan dilakukan dengan metode klasifikasi tak terbimbing, yaitu proses pengelompokan nilai digital number citra menjadi beberapa kelas menggunakan analisis cluster (Indarto dan Faisol 2009).

Perhitungan Komponen Neraca Energi

1 Konversi Nilai Digital Number Menjadi Spectral Radiance

Nilai yang ditangkap oleh citra merupakan raw data dalam bentuk digital number, sehingga perlu dilakukan konversi nilai digital number menjadi

spectral radiance dengan persamaan dari USGS (2013): L = LMAX –LMIN Nilai LMAX dan LMIN terdapat pada lampiran 2.

Konversi nilai digital number ke spectral radiance dilakukan pada band 123 untuk perhitungan neraca energi dan band 6 untuk suhu permukaan. 2 Perhitungan Suhu Permukaan (Ts)

Suhu permukaan adalah suhu terluar dari suatu objek yang dipengaruhi oleh sifat fisik permukaan seperti emisivitas, panas jenis objek dan konduktivitas termal. Suhu kecerahan adalah perhitungan intensitas radiasi termal yang diemisikan oleh suatu objek yang diturunkan dari nilai spectral

(18)

4 Griend & Owe 1993). Keterbatasan perhitungan nilai suhu permukaan dan neraca radiasi menggunakan data citra satelit adalah periode ulang pemotretan suatu wilayah yang cukup lama serta gangguan atmosferik berupa awan ataupun embun yang terdapat di atas permukaan objek.

3 Perhitungan Komponen Radiasi Netto

Nilai radiasi gelombang pendek yang sampai di permukaan bumi dapat diduga dari data citra Landsat-5 TM band visible (band 1, 2 dan 3). Persamaan albedo USGS (2013) adalah:

α = πL d

2

ESUN cosθ

Nilai radiasi gelombang pendek yang keluar dari permukaan bumi juga diduga dari data citra. Persamaan yang digunakan mengikuti rumus spectral radiance dengan nilai QCAL, LMIN dan LMAX untuk band 1, 2 dan 3. Satuan nilai Rsout masih dalam Wm-2 sr-1 µ m-1, yaitu besar laju perpindahan energi (Watt) yang terekam oleh sensor per luas permukaan (m-2), untuk satu steredian (sudut tiga dimensi dari sebuah titik di permukaan bumi ke sensor satelit) per unit panjang gelombang dalam satu kali pengukuran, sehingga perlu dilakukan konversi satuan menjadi satuan energi radiasi (Wm-2) yang tidak tergantung pada sifat lengkung permukaan bumi, agar dapat dilakukan perhitungan untuk mencari parameter radiasi netto dan neraca energi. Persamaan yang digunakan adalah:

Rs out= π x L x d2x 1 band

Nilai radiasi yang diperoleh merupakan fungsi dari nilai irradiance yang terbebas dari besaran arah (isotropic radiance) dan 1 pendek (Rs netto) dapat dihitung dengan rumus:

Rs netto = Rs in - Rs out

Perhitungan nilai radiasi netto (Rn) memerlukan nilai radiasi gelombang panjang yang keluar permukaan bumi (RL out). Partikel dan aerosol yang memiliki suhu diatas 0 Kelvin dapat memancarkan radiasi gelombang panjang, namun karena massa pertikel/aerosol tersebut sangat kecil, maka radiasi yang dipancarkan dapat diabaikan. Nilai RL out diturunkan dari persamaan Stefan-Boltzman dengan ε = emisivitas benda, σ = tetapan Stefan-Boltzman dan Ts = suhu permukaan.

RL out = εσ Ts 4

Nilai radiasi netto (Rn) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: Rn = Rs netto – RL out

(19)

5 d : Jarak astronomi bumi-matahari (lampiran 1)

Cosθ : Sudut zenith matahari (90o–sun elevation) (lampiran 1)

ESUN :Rata-rata nilai solar spectral irradiance pada band ke-i (Wm-2 µ m1) (lampiran 2)

σ : Konstanta Stefan-Boltzman (5.67 x 10-8 Wm-2 K-4) Rs in : Radiasi gelombang pendek yang menuju bumi (Wm-2) Rs out : Radiasi gelombang pendek yang keluar dari bumi (Wm-2) RL out : Radiasi gelombang panjang yang diemisikan bumi (Wm-2) 4 Perhitungan Soil Heat Flux (G)

Perpindahan bahang tanah (soil heat flux) dipengaruhi oleh perbedaan suhu permukaan, suhu tanah dan nilai konduktivitas thermal (k) dari suatu jenis tanah. Allen et al. (2001) menghitung soil heat flux darinilai radiasi netto, suhu permukaan, albedo dan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) sebagai berikut. α : Albedo permukaan (diturunkan dari data satelit)

NDVI : Normalized Difference Vegetation Index (diturunkan dari data satelit) 5 Perhitungan Sensible Heat Flux (H)

Fluks pemanasan udara merupakan energi radiasi netto yang digunakan untuk proses pemanasan udara di atmosfer dan sekitarnya secara konveksi (Monteith & Unsworth 1990), dihitung dari modifikasi persamaan neraca energi Rn=H+G+LE dan bowen rasio β=H

LE, sehingga diperoleh:

H=β(Rn-G) 1+β

Nilai β hutan tropis = 0.47 dan β perkebunan sawit = 0.2λ (Fowler 2011), β semak = 0.93 (Fisch et al. 2001), dan β lahan terbuka = 4 (Oliver 1λ73).

6 Perhitungan Latent Heat Flux (LE)

Fluks pemanasan laten (LE) merupakan bentuk energi yang digunakan untuk menguapkan sejumlah air di permukaan objek ke atmosfer, atau sejumlah energi yang diperlukan untuk mengubah satu unit massa air menjadi uap pada suhu yang sama (Monteith & Unsworth 1990). Nilai LE dapat dihitung sebagai: LE = Rn – G – H

7 Perhitungan Suhu Udara (Ta)

(20)

6

raH : Tahanan Aerodinamik (sm-1), raH = 31.9× u-0.96, dimana u merupakan kecepatan angin normal pada ketinggian 1–2 meter sebesar 1.41 m/s untuk tutupan vegetasi dan 1.79 m/s untuk tutupan non vegetasi (Rosenberg 1974). Perhitungan Indeks Vegetasi

Kisaran panjang gelombang merah dan infrared yang tercakup dalam satelit Landsat-5 TM band 3 (0.63-0.6λ m) dan band 4 (0.76-0.λ0 m) dapat digunakan untuk menghitung nilai indeks vegetasi (Sobrino et al. 2004) dengan rumus:

NDVI = (NIR - Red)

(NIR + Red)

Secara teoritis nilai NDVI berkisar antara (-1) sampai (+1), tetapi kisaran sebenarnya yang menggambarkan kehijauan vegetasi adalah 0.1 sampai 0.6. Nilai indeks vegetasi yang tinggi menunjukkan vegetasi tersebut rapat. Nilai NDVI tersebut dapat digunakan untuk menduga nilai LAI (Leaf Area Index) dengan persamaan Twele et al. (2006) yaitu :

LAI = –0.392 + 11.543 NDVI Perhitungan Biomassa

Biomassa potensial suatu lahan dapat diduga dengan data citra satelit, yaitu dengan menggunakan rumus beer-lambert:

Bb = ε Qint = ε (1- e-k∙Lai) Qs Keterangan :

Bb : Produksi biomassa potensial (kg ha-1d-1)

ε : Efisiensi penggunaan radiasi matahari (kg MJ-1) Qs : Radiasi surya di atas tajuk tanaman (RSin data satelit) Qint : Radiasi intersepsi (MJ m-2)

LAI : Leaf Area Index

k : Koefisien pemadaman

Nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari (ε) untuk tanaman sawit adalah 2 g MJ-1 (Imanto 2000), ε semak 1.25 g MJ-1 (Pangle et al. 200λ), ε hutan hujan

tropis 1.50 g MJ-1 (Garbulsky et al. 2010) dan ε lahan terbuka 0.74 g MJ-1 (Nouvellon et al. 2000). Nilai LAI diperoleh dari ektraksi data satelit dengan pendekatan NDVI. Koefisien pemadaman (k) untuk daun vertikal berkisar 0.3– 0.5, k daun horizontal 0.7–1.0 (June 1993), k tanaman kelapa sawit 0.46 (Oil palm buletin 2004) dan k lahan terbuka 0.35 (Domingo et al. 1999).

Perhitungan Kapasitas Panas (C) Wilayah

Kapasitas panas merupakan banyaknya panas/energi yang dapat dikandung oleh benda, sedangkan kapasitas panas wilayah menggambarkan kemampuan suatu wilayah dalam menyimpan panas yang diterima dari radiasi matahari. Nilai kapasitas panas biasa diperoleh dari hasil kali antara panas jenis dengan massa benda, karena informasi mengenai panas jenis tutupan lahan tidak ada, maka kapasitas panas wilayah pada penelitian ini dihitung dari rasio antara penambahan atau pengurangan panas (ΔQ) terhadap kenaikan atau penurunan suhu (ΔT) wilayah tersebut.

(21)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Wilayah Kajian

Secara geografis wilayah kajian berada pada 112o24’2λ’’–112o34’1’’BT dan 2o30’54’’–2o37’37’’LS. Secara administratif, wilayah kajian terletak di kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Timur. Berdasarkan data pemerintahan Kalimantan Tengah (2013), topografi kabupaten Kotawaringin Timur bervariasi antara 0-60 mdpl (meter di atas permukaan laut). Sebagian besar bagian selatan sampai tengah memanjang dari timur ke barat merupakan dataran rendah, sedangkan bagian utara merupakan dataran tinggi berbukit. Di kabupaten Seruyan, bagian barat dan timur merupakan daerah rawa pasang surut dan rawa lebak dengan vegetasi hutan mangrove. Bagian utara merupakan daerah berbukit yang ditumbuhi hutan lebat dengan ketinggian 150 mdpl dan elevasi 15-40o. Bagian selatan merupakan dataran rendah berupa rawa dan pantai dengan ketinggian 0-8 mdpl.

Perubahan Luasan Penutupan Lahan

Perubahan penutupan lahan diidentifikasi dengan klasifikasi wilayah kajian metode klasifikasi tidak terbimbing, yaitu proses pengelompokkan piksel-piksel pada citra menjadi beberapa kelas menggunakan analisis cluster sehingga dihasilkan kelas spektral yang menggambarkan nilai natural spektral citra (Indarto dan Faisol 2009). Kelas tersebut dibagi menjadi kelas penutupan hutan, semak, perkebunan sawit dan lahan terbuka. Kombinasi band yang digunakan adalah

(22)

8

band 542 yang dapat mendeteksi dan membedakan hasil pemotretan citra secara visual dengan menempatkan band 542 pada ruang tiga warna primer (red green blue, RGB) secara berurutan, yaitu band 5 (mid IR) untuk merah, band 4 (NIR) untuk hijau, dan band 2 (hijau) untuk biru. Band 5 menangkap gelombang mid NIR (mid near infrared, 1.567-1.784 µm) yang peka terhadap pantulan batuan dan kelembaban tanah. Band 4 menangkap gelombang NIR (near infrared, 0.776– 0.904 µm) yang peka terhadap pantulan struktur internal daun sehingga dapat digunakan untuk menentukan kandungan biomassa, tipe vegetasi dan daerah dengan pantulan vegetasi tinggi. Band 2 menangkap gelombang hijau (0.528-0.609 µm) yang peka terhadap kesuburan dan pantulan nilai hijau vegetasi, penduga konsentrasi sedimen serta pemetaan batimetri (EROS data center 1995).

Persentase luas hutan meningkat sebesar 4% dari tahun 1994 hingga 2000, peningkatan tersebut diperkirakan berasal dari semak dan perdu yang mengalami suksesi hingga mencapai klimaks dan menjadi hutan. Tutupan lahan terbuka pada tahun 1994 juga mengalami suksesi dengan munculnya beberapa jenis perdu yang kemudian menjadi semak. Akibatnya, pada tahun 1994-2000 luasan tutupan semak meningkat sebesar 2% dan luasan lahan terbuka menurun sebesar 6%. Pada tahun 2010 luas hutan berkurang sebesar 66% akibat pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan sawit (47%), semak (8%), dan lahan terbuka (11%), sehingga luas hutan hanya tersisa 4% dari luas total wilayah kajian. Lahan terbuka hasil pembukaan hutan sebesar 11% tersebut, sebagian digunakan untuk membangun pabrik atau tempat pengolahan sementara yang biasanya dibangun ditengah-tengah kebun sawit. Luasan tiap tutupan lahan di wilayah kajian tidak sepenuhnya menunjukkan kondisi di lapangan karena kemungkinan terjadi error spasial saat proses klasifikasi dilakukan.

Distribusi Spasial Suhu Permukaan

Suhu permukaan merupakan suhu terluar dari suatu objek (suhu kanopi pada tutupan vegetasi dan suhu tepat di permukaan tanah untuk lahan terbuka). Suhu permukaan diekstraksi dari band thermal citra Landsat-5 TM, yaitu band 6 yang menangkap gelombang dikisaran 10.45-12.42 µm. Band 6 dapat mendeteksi gejala alam yang berhubungan dengan panas sehingga dapat digunakan untuk

(23)

9 pemetaan dan informasi geologi thermal (Eros Data Center 1995). Suhu hasil ekstraksi data citra merupakan suhu kecerahan yang dikonversi dari nilai spectral

radiance dengan asumsi bahwa permukaan bumi merupakan benda hitam

(emisivitas=1) (Chander et al. 2009). Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi emisivitas dengan pendekatan NDVI dimana emisivitas vegetasi sebesar 0.96 dan emisivitas lahan terbuka sebesar 0.95 (Jin & Liang 2006, Van De Griend & Owe 1993).

Suhu permukaan rataan hasil ekstraksi data citra Landsat-5 TM pada tutupan hutan, semak dan lahan terbuka berturut-turut adalah 27.5oC, 28.2oC, 30.4oC untuk tahun 1994 dan 24.8oC, 25.5oC, 27.6oC untuk tahun 2000. Tahun amatan 2010 dengan tutupan hutan, semak, lahan terbuka dan kebun sawit memiliki suhu permukaan berturut-turut sebesar 21.8oC, 22.6oC, 22.9oC dan 21.7oC. Peningkatan suhu permukaan dari tutupan lahan kebun sawit, hutan, semak dan lahan terbuka disebabkan oleh perbedaan emisivitas, konduktivitas dan kapasitas panas tiap jenis permukaan tutupan lahan. Selain itu, nilai NDVI dari tutupan lahan kebun sawit, hutan, semak dan lahan terbuka semakin berkurang (Tabel 3), hal ini sesuai dengan hasil penelitian Weng et al. (2004) yang menyatakan bahwa suhu permukaan berkorelasi negatif dengan NDVI.

Gambar 3 menyajikan kisaran nilai suhu permukaan di wilayah kajian hasil ekstraksi data citra Landsat-5 TM band 6. Pada jenis tutupan lahan berupa hutan, semak dan lahan terbuka, range nilai suhu permukaan pada tanggal akuisisi 1 September 1994 lebih besar daripada 9 Maret 2000. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan komposisi luasan tiap jenis penutupan lahan, dimana dari tahun 1994-2000 terjadi peningkatan luas hutan dan semak (Gambar 2), sedangkan pada tanggal akuisisi 16 Januari 2010 range nilai suhu permukaan di wilayah kajian lebih kecil dibandingkan dua tanggal akuisisi sebelumnya. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan tata guna lahan dimana sebesar 47% luasan hutan tahun 2000 dikonversi menjadi perkebunan sawit. Range nilai suhu permukaan yang semakin kecil menunjukkan bahwa diperlukan energi/panas yang lebih banyak untuk menaikkan suhu permukaan wilayah sebesar 1oC. Artinya, kemampuan wilayah dalam menyimpan panas/energi yang berasal dari radiasi matahari pada tahun amatan 1994 sampai 2010 mengalami peningkatan.

(24)

10

Terlihat juga pada Gambar 3 bahwa rata-rata suhu permukaan wilayah tiap tanggal akuisisi citra berbeda-beda, dimana rata-rata suhu permukaan wilayah tanggal akuisisi 1 September 1994 lebih besar daripada 9 Maret 2000 lebih besar daripada 16 Januari 2010. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan kondisi data citra pada tiap-tiap tanggal akuisisi citra. Data citra tahun 1994 dan 2000 diambil pada 1 September dan 9 Maret, yaitu saat matahari berada di sekitar equator. Akibatnya, nilai suhu permukaan lebih besar dibandingkan tahun amatan 2010 yang diambil pada 16 Januari saat matahari berada di sekitar daerah subtropis dan di wilayah kajian sedang terjadi musim hujan. Weng et al. (2001, 2004) juga menjelaskan bahwa kondisi amtosfer saat pemotretan citra, kondisi vegetasi, biomassa vegetasi, tutupan lahan, serta perbedaan pencahayaan radiasi matahari pada data citra dapat mempengaruhi nilai suhu permukaan.

Distribusi Spasial Neraca Energi

Albedo (α)

Mengacu pada Stull (2000), albedo adalah “rasio dari total radiasi matahari yang dipantulkan (Rs out) terhadap total radiasi yang masuk (Rs in)”. Nilai albedo berkisar antara 0 sampai 1 (α=0, maka objek menyerap seluruh radiasi gelombang pendek yang datang; α=1 maka objek memantulkan seluruh radiasi gelombang pendek yang datang). Albedo merupakan fungsi dari panjang gelombang, sehingga nilainya memberikan informasi fisik yang terjadi pada panjang gelombang tersebut. Nilai Rs in untuk semua jenis tutupan lahan cenderung sama, yaitu sebesar 765-766 Wm-2 untuk tahun 1994, 799-801 Wm-2 untuk tahun 2000, dan 804-806 Wm-2 untuk tahun 2010. Nilai Rs out tiap jenis tutupan lahan berbeda-beda, Rs out dari yang terkecil adalah kebun sawit (52.9 Wm-2), hutan (53-66 Wm-2), semak (62-72 Wm-2) dan lahan terbuka (70-79 Wm-2). Nilai albedo (Tabel 1) dari yang terkecil terdapat pada tutupan lahan perkebunan sawit yaitu 0.07, albedo hutan berkisar 0.07-0.08, albedo semak berkisar 0.08-0.09, dan lahan terbuka memiliki albedo terbesar dengan kisaran 0.09-0.10. Perubahan jenis tutupan lahan tahun 1994 hingga 2010 tidak terlalu signifikan karena alih guna lahan hutan masih digunakan untuk tutupan lahan bervegetasi, sehingga perubahan nilai albedo dari tahun ke tahun pun tidak terlalu besar.

Tabel 1 Nilai albedo hasil ektraksi data citra satelit Landsat-5 TM dan referensi Albedo hasil ekstraksi data citra Albedo referensi

Tutupan

(25)

11 Tabel 1 menyajikan nilai albedo tiap jenis permukaan hasil beberapa penelitian dan ekstraksi data citra satelit Landsat-5 TM. Kisaran nilai albedo hasil ekstraksi data citra pada penelitian ini masih berada dalam kisaran albedo hasil penelitian sebelumnya, sehingga hasil yang diperoleh dapat menggambarkan albedo di wilayah kajian. Nilai albedo tiap jenis tutupan lahan yang berbeda-beda disebabkan oleh perbedaan sifat fisik permukaan seperti kandungan air, warna dan kekasaran permukaan. Albedo tanah ditentukan oleh ukuran partikel, komposisi mineral, kelembaban, kandungan bahan organik dan kekasaran permukaan. Dobos (2003) menambahkan bahwa permukaan objek yang halus mampu memantulkan radiasi yang lebih besar dibandingkan permukaan kasar. Albedo vegetasi ditentukan oleh tipe, warna dan luas daun (Geiger et al 1961). Nilai albedo yang kecil pada tutupan lahan bervegetasi disebabkan juga oleh multilevel kanopi yang dapat menyerap radiasi matahari pada beberapa tingkatan kanopi. Artinya, ketika radiasi matahari yang datang dipantulkan kembali oleh daun/batang tumbuhan secara baur, level kanopi dan tajuk tanaman di bagian bawah kanopi dapat menyerap kembali radiasi tersebut.

Gambar 4 menunjukkan nilai albedo di wilayah kajian yang sebarannya semakin bergeser ke kiri (ke nilai yang lebih kecil) dari tahun amatan 1994, 2000 dan 2010. Albedo wilayah kajian untuk tiap tahun amatan 1994, 2000 dan 2010 berturut-turut adalah 0.090, 0.089 dan 0.086. Nilai albedo yang besar menunjukkan radiasi gelombang pendek yang dipantulkan permukaan juga besar, sedangkan albedo yang kecil menunjukkan radiasi gelombang pendek yang dipantulkan permukaan tersebut rendah. Albedo yang kecil juga menunjukkan radiasi gelombang pendek yang diserap oleh permukaan suatu wilayah semakin

(26)

12

besar. Oleh karena itu, nilai albedo dapat dijadikan sebagai salah satu indikator perubahan kapasitas panas wilayah, yaitu kemampuan wilayah dalam menyimpan panas yang berasal dari radiasi matahari. Salah satu penyebab pergesaran nilai albedo ke arah yang lebih kecil adalah perbedaan komposisi luasan penutupan lahan tiap tahun amatan, dimana kebun sawit dan hutan lebih mampu menyerap radiasi yang datang dibandingkan semak dan lahan terbuka.

Radiasi Netto (Rn)

Pola umum nilai radiasi netto adalah semakin besar albedo dan suhu permukaan (Ts) maka radiasi netto akan semakin kecil. Nilai radiasi netto dari yang terbesar terdapat pada tutupan lahan sawit, hutan, semak dan lahan terbuka. Peningkatan nilai radiasi netto dari tutupan lahan terbuka ke lahan bervegetasi disebabkan oleh nilai indeks vegetasi atau NDVI (Tabel 3) yang semakin besar, sehingga semakin banyak radiasi matahari yang diserap. Energi radiasi netto yang sampai di permukaan bumi selanjutnya digunakan untuk proses pemanasan tanah (soil heat flux, G), udara (sensible heat flux, H), penguapan (latent heat flux, LE) dan energi sisaan yang digunakan untuk proses metabolisme makhluk hidup (storage, S). Menurut Sellers (1965) nilai sisaan untuk wilayah daratan dapat diabaikan karena sangat kecil. Nilai G diperoleh dari persamaan Allen et al. (2001), dimana G berbanding lurus dengan Ts, sehingga energi untuk pemanasan tanah pada lahan terbuka akan lebih besar dibandingkan lahan bervegetasi.

Berdasarkan data hasil perhitungan (Tabel 2) terlihat bahwa nilai H dan LE berhubungan negatif. Nilai H dari yang terbesar terdapat pada lahan terbuka, semak, hutan dan perkebunan sawit. Sebaliknya, nilai LE dari yang terbesar terdapat pada perkebunan sawit, hutan, semak dan lahan terbuka. Nilai LE yang kecil pada lahan terbuka disebabkan oleh konduktivitas dan gelombang pantul yang tinggi. Selain itu, energi yang sampai di lahan terbuka sebagian besar digunakan untuk proses pemanasan udara sehingga energi yang tersimpan untuk proses evapotranspirasi rendah. Nilai LE yang tinggi pada lahan bervegetasi disebabkan oleh energi pantul dan konduktivitas thermal vegetasi yang rendah, sehingga energi yang sampai di atas kanopi vegetasi sebagian besar digunakan untuk proses evapotranspirasi dan sedikit untuk pemanasan udara. Perkebunan sawit memiliki LE tertinggi dari semua tutupan vegetasi karena terdapat sistem pengolahan air yang mampu mempertahankan kelembaban di sekitar perkebunan. Tutupan lahan bervegetasi dengan nilai latent heat flux yang tinggi memiliki nilai Tabel 2 Distribusi spasial neraca energi tiap tutupan lahan dengan data citra satelit

(27)

13 suhu permukaan yang rendah. Hal tersebut disebabkan oleh proporsi radiasi netto untuk panas terasa (sensible heat flux) yang dapat menyebabkan kenaikan suhu semakin kecil (Handoko et al. 1994).

NDVI dan LAI

Stefanov (2001) mendefinisikan NDVI sebagai rasio nilai yang mengguna-kan band NIR dan band merah untuk membedamengguna-kan tutupan vegetasi dan non-vegetasi. Gelombang NIR (0.776-0.904 µm) peka terhadap pantulan struktur internal daun sehingga dapat digunakan untuk menentukan kandungan biomassa, daerah dengan pantulan vegetasi tinggi dan tipe vegetasi. Band 3 menangkap gelombang merah pada kisaran 0.626–0.693 µm yang peka terhadap serapan sinar merah oleh klorofil (pigmen hijau) daun sehingga dapat digunakan untuk membedakan daerah penyerapan klorofil (EROS data center 1995). Menurut Sobrino et al. (2004), nilai NDVI yang dihasilkan dari data citra Landsat dapat menggambarkan kerapatan vegetasi suatu wilayah. Jensen (2000) berpendapat bahwa nilai NDVI hasil ekstraksi data citra Landsat dapat merepresentasikan distribusi vegetasi dan memetakannya berdasarkan pola karakteristik reflektansi klorofil serta perbedaan jumlah vegetasi pada tiap piksel.

Nilai NDVI hasil ekstraksi data citra satelit (Tabel 3) di wilayah kajian sesuai dengan hasil penelitian Sobrino et al. (2004), dimana nilai NDVI<0.2 maka wilayah tersebut dianggap sebagai bare soil dan emisivitas diperoleh dari nilai reflektivitas di tutupan lahan yang berwarna merah. Piksel dengan nilai NDVI > 0.5 dianggap sebagai tutupan lahan bervegetasi penuh dimana nilai emisivitas diasumsikan konstan. Jika NDVI antara 0.2–0.5, maka wilayah tersebut tersusun oleh campuran antara bare soil dengan vegetasi. NDVI yang tinggi pada hutan, semak dan perkebunan sawit disebabkan oleh kemampuan tumbuhan hijau berklorofil dalam memantulkan radiasi gelombang NIR lebih banyak dibanding-kan gelombang merah, sedangdibanding-kan NDVI yang kecil pada lahan terbuka disebabkan oleh substansi yang memantulkan gelombang merah lebih banyak daripada NIR, misalnya tanah, batu dan lahan terbangun di sekitar wilayah kajian. Nilai NDVI lahan terbuka yang berada pada kisaran 0.35-0.44 menunjukkan bahwa pada lahan tersebut masih ditemukan vegetasi berupa rumput pendek atau belukar kering dengan rasio yang kecil di tiap piksel data citra Landsat-5 TM.

Nilai NDVI dapat digunakan untuk mengestimasi LAI (leaf area index) dengan persamaan Twele et al. (2006), yaitu LAI = –0.392+11.543NDVI. LAI merupakan rasio luas daun dengan luas lahan yang diasumsikan tegak lurus penutupan tajuk tanaman. Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai LAI berbanding lurus

Tabel 3 Nilai NDVI dan LAI tiap jenis penutupan lahan

(28)

14

dengan NDVI, dimana semakin tinggi NDVI maka LAI pun semakin tinggi. LAI yang tinggi pada tutupan lahan hutan (5.67-6.75), semak (5.53-6.25) dan perkebunan sawit (7.19) menunjukkan bahwa komposisi tutupan vegetasi lebih besar dibandingkan dengan luasan lahan yang tegak lurus terhadap kanopi. LAI lahan terbuka lebih kecil dibandingkan tiga tutupan lahan lainnya, yaitu berkisar 3.46-4.71, hal ini disebabkan oleh rendahnya nilai NDVI yang menggambarkan tutupan di lahan tersebut berupa rumput pendek atau belukar yang renggang.

Penelitian tentang LAI telah banyak dilakukan, Hildanus (2005), Turner et al. (1999) dan Htut (2004) menduga nilai LAI dengan pendekatan NDVI, sedangkan Schneider & Eugster (2006) menduga LAI dengan model yang menghubungkan keadaan atmosfer pada suatu lokasi dengan kondisi tanah dan iklim lokal. Kisaran nilai LAI hasil penelitian (Tabel 3) dapat menunjukkan kondisi di wilayah kajian karena berada pada kisaran penelitian sebelumnya (Tabel 4).

Kapasitas Panas Wilayah

Nilai kapasitas panas yang dihasilkan menggambarkan banyaknya energi sesaat yang terdapat di wilayah kajian pada perubahan suhu udara dan suhu permukaan. Kapasitas panas tiap jenis tutupan lahan berbeda-beda. Gambar 5 menyajikan data mengenai kapasitas panas tiap jenis tutupan lahan menggunakan data citra Landsat-5 TM. Jika dilihat dari jenis tutupan lahan, kapasitas panas terbesar terdapat pada perkebunan sawit karena hanya dengan persentase sebesar 47% dari total luas wilayah dapat menyimpan panas sebesar 14991 MJCo-1 mendekati nilai kapasitas panas hutan tahun 1994 sebesar 14929 MJCo-1 yang persentase luasnya mencapai 66% dari luas wilayah kajian. Kapasitas panas semak dan lahan terbuka hampir sama karena walaupun penutupan lahan diklasifikasikan sebagai lahan terbuka, NDVI nya berkisar antara 0.35-0.44, artinya di lahan terbuka masih ditemui vegetasi berupa rerumputan yang cukup untuk menahan panas. Akumulasi kapasitas panas wilayah tiap tahun mengalami peningkatan, yaitu 19384 MJCo-1 pada tahun 1994, 19929 MJCo-1 pada tahun 2000 dan 22508 MJCo-1 pada tahun 2010. Peningkatan kapasitas panas dari tahun 1994 ke 2000 merupakan dampak dari peningkatan luas hutan dan semak, sedangkan peningkatan kapasitas panas dari tahun 2000 ke 2010 disebabkan oleh konversi hutan menjadi kebun sawit yang memiliki kapasitas panas terbesar.

Tabel 4 Nilai LAI pada beberapa tutupan lahan Tipe Penutupan Lahan Kisaran LAI

Hutan Tropis* 5.9 - 8.0

Lahan hutan terbuka** 2.5 - 5.0

Rumput dan semak** 1.0 - 4.0

Perkebunan sawit*** 1.4 - 7.2

Lahan terbuka bersemak**** 1.0 - 3.3

Ket: * Hildanus (2005) *** Htut (2004)

(29)

15

Gambar 6 menunjukkan nilai kapasitas panas wilayah per hektar yang dihitung dari akumulasi kapasitas panas wilayah dibagi dengan luasan wilayah kajian. Kapasitas panas wilayah tahun amatan 1994, 2000 dan 2010 berturut-turut adalah 1494 kJCo-1Ha-1, 1536 kJCo-1Ha-1 dan 1738 kJCo-1Ha-1. Peningkatan kapasitas panas wilayah tahun amatan 1994-2000 disebabkan oleh penambahan persentase hutan sebesar 4% dan semak 2%. Berbeda dengan tahun amatan 1994-2000, peningkatan kapasitas panas wilayah tahun amatan 2000-2010 disebabkan oleh alih guna lahan hutan menjadi perkebunan sawit sebesar 47% yang mampu menyimpan panas lebih baik daripada semak, hutan dan lahan terbuka.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kapasitas panas wilayah pada penelitian ini adalah biomassa potensial tiap jenis tutupan lahan, yaitu massa yang berasal dari konversi energi matahari menjadi material organik melalui proses fotosintesis dan mengganggap ketersediaan air bukan sebagai faktor pembatas. Biomassa potensial dihitung dengan pendekatan hukum beer-lambert yang merupakan fungsi dari efisiensi penggunaan radiasi matahari dan radiasi intersepsi, dengan asumsi bahwa cahaya sampai di permukaan objek optik yang bersifat homogen (kanopi hutan, semak, tanaman sawit dan lahan terbuka), artinya radiasi yang datang sampai ke permukaan daun tanpa error dari keawanan.

Gambar 6 Perubahan kapasitas panas wilayah kajian per hektar dengan Landsat-5 TM

(30)

16

Zhenga et al. (2004) mengestimasi biomassa hutan campuran dan pinus di Wisconsin dengan citra Landsat, biomassa hutan campuran adalah 80-100 ton/ha dan hutan pinus 20-80 ton/ha. Zhang dan Kondragunta (2006) mengestimasi biomassa dengan model alometrik dan mendapatkan biomassa hutan sebesar 141.1±28.8 tons/ha. Henson et al. (2007) mengukur produksi biomassa vegetatif dan standing biomass kelapa sawit dan menghasilkan nilai sebesar 106.05 ton/ha (umur 9 tahun) dan 125.33 ton/ha (umur 11 tahun). Henson et al. (2012) juga mengestimasi rataan standing biomass kelapa sawit sebesar 70.49-105.33 ton/ha.

Biomassa terbesar terdapat pada tutupan lahan sawit, yaitu 122.19 ton/ha, hutan 88.74-94.23 ton/ha, semak 67.00-72.56 ton/ha dan lahan terbuka 33.54-36.70 ton/ha (Gambar 7). Peningkatan biomassa (ton/ha) hutan dan semak tahun 1994 sampai 2010 mengindikasikan bahwa terjadi pertumbuhan pohon dan semak yang ditunjukkan dengan peningkatan kerapatan vegetasi (Tabel 3). Basri et al. (2012) menemukan bahwa biomassa dan NDVI berhubungan positif dengan koefisien determinasi 90%. Biomassa juga dipengaruhi oleh radiasi netto (Tabel 2, Rn 2010 > Rn 2000 > Rn 1994), dimana semakin besar energi matahari yang dapat digunakan untuk proses fotosintesis, maka biomassa potensial yang akan dihasilkan juga semakin besar.

Gambar 8 Biomassa total wilayah kajian dengan citra Landsat-5 TM

980784

(31)

17 Biomassa yang besar pada sawit disebabkan oleh nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari sawit yang tinggi, yaitu 2 gMJ-1. Selain itu, pemeliharaan intensif berupa pemberian pupuk, pengelolaan air dan jarak tanam menyebabkan tanaman sawit dapat memanfaatkan radiasi matahari yang datang untuk digunakan dalam proses fotosintesis secara maksimal. Akibatnya, terjadi peningkatan biomassa wilayah kajian total (Gambar 8) pada tahun 1994-2010. Biomassa yang semakin meningkat tersebut juga merupakan salah satu indikator penambahan kemampuan wilayah dalam menyimpan energi atau panas.

Kapasitas panas merupakan fungsi dari massa benda dan panas jenis benda tersebut. Gambar 9 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara biomassa potesial (kgm-2) dan kapasitas panas wilayah (JCo-1m-2) dengan korelasi sebesar 0.90 pada tahun 1994, 0.82 pada tahun 2000 dan 0.93 pada tahun 2010. Hubungan semakin erat jika nilai korelasi semakin mendekati 1. Hal tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh dari ektraksi data citra Landsat-5 TM dimana semakin besar biomassa suatu wilayah maka semakin besar pula kemampuan suatu lahan/wilayah tersebut dalam menyimpan energi atau panas yang berasal dari radiasi matahari.

Perhitungan nilai kapasitas panas yang merupakan fungsi dari massa benda dan panas jenis benda tidak dapat dilakukan karena tidak ada informasi mengenai panas jenis tutupan lahan hutan, semak, kebun sawit dan lahan terbuka, sehingga perhitungan kapasitas panas hanya didasarkan pada rasio penambahan atau pengurangan panas (ΔQ) dengan kenaikan atau penurunan suhu (ΔT). Kelemahan pada perhitungan nilai kapasitas panas dengan menggunakan data citra Landsat-5 TM adalah waktu repeat coverage citra (waktu yang diperlukan citra satelit untuk memotret objek dengan koordinat dan path/row yang sama) yang cukup lama, yaitu 16 hari. Selain itu, secara geografis wilayah Indonesia berada di sekitar lintasan ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone), yaitu daerah dengan proses pengangkatan massa udara yang intensif sehingga menyebabkan tingginya faktor keawanan yang dapat menghamburkan radiasi matahari yang datang .

(32)

18

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perubahan komposisi tutupan lahan di wilayah kajian pada tahun 1994, 2000 dan 2010 menyebabkan terjadinya peningkatan kapasitas panas wilayah. Peningkatan luas hutan sebesar 4% dan semak 2% pada tahun amatan 1994-2000, meningkatkan biomassa tumbuhan sebesar 8.7% sehingga kapasitas panas wilayah meningkat sebesar 3%. Tanaman kelapa sawit menghasilkan biomassa terbesar, yaitu sekitar 122 ton/ha sehingga walaupun persentase luasan kebun sawit tahun 2010 hanya 47% dari luas total wilayah kajian, sudah dapat meningkatkan kapasitas panas wilayah sebesar 11.5% dari kapasitas panas tahun 2000. Peningkatan kapasitas panas wilayah dari tahun 1994, 2000 dan 2010 menyebabkan range nilai suhu permukaan di wilayah kajian semakin kecil pada penambahan panas atau energi yang berasal dari radiasi matahari.

Saran

Kapasitas panas yang diperoleh pada penelitian ini masih bernilai sesaat, yaitu kapasitas panas yang terhitung pada saat dilakukan pemotretan citra yang dihitung dari selisih antara perubahan energi terhadap perubahan suhu. Hal tersebut dilakukan karena kurangnya data dan informasi mengenai panas jenis tutupan hutan, semak, lahan terbuka dan perkebunan sawit. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan skala harian, yaitu kapasitas panas yang terjadi selama satu hari penuh dengan perubahan suhu antara pukul 07.00-14.00 ketika matahari mulai memanaskan udara hingga tercapainya suhu udara maksimum. Sehingga nilai kapasitas panas yang diperoleh menggambarkan besar energi yang dikandung oleh suatu tutupan lahan selama satu hari. Perhitungan terhadap nilai kapasitas panas dapat digunakan dalam perencanaan tata ruang suatu wilayah sehingga tetap berada pada kisaran suhu dan kondisi iklim yang nyaman.

DAFTAR PUSTAKA

Allen RG, Morse A, Tasumi M, Bastiaansen W, Kramber W, Anderson H. 2001. Evapotranspiration from Landsat (SEBAL) for water right management and compliance with multi-state water compact. University of Idaho Kimberly, ID 83341

Artis DA & Carnahan WH. 1982. Survey of emissivity variability in thermography of urban areas. J Remote Sens. Environ. 12: 313-329.

(33)

19 Chander G, Markham BL, Barsi JA. 2007. Revised Landsat-5 Thematic Mapper Radiometric Calibration. J IEEE Geoscince and Remote Sens. Letters. 4(3):490–494. doi: 10.1109/LGRS.2007.898285

Chander G, Markham BL, Helder DL. 2009. Summary of current radiometric calibration coefficients for Landsat MSS, TM, ETM+ and EO-1 ALI sensors. J Remote Sens. Environ. 113(2009):893–903. doi:10.1016/j.rse.2009.01. 007. [Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Basis data statistik pertanian [internet].

[diacu 2012 Desember 6]. Tersedia dari: http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp /newlok.asp.

Dobos E. 2003. Albedo. Encyclopedia of Soil Science. doi:10.1081/E-ESS 120014334.

Domingo F, Villagarcia L, Brenner AJ, Puigdefabregas J. 1999. Evapotranspiration model for semi-arid shrub-lands tested against data from SE Spain. J Agricultural and Forest Meteorology . 95 (1999): 67-84.

EROS Data Center. 1995. Landsat-7 Technical Working Group. Sioux Falls, USA South Dakota. October 31-November 2, 1995.

Fisch G, Tota J, Machado LAT, Dias MAFS, Lyra RF da F, NobreCA, Dolman AJ, Culf AD, Halverson J and Fuentes JD. 2001. The convective boundary layer over pasture and forest in Amazonia. Aerospace Technical Center, Institute of Aeronautics and Space, University Sao Jose dos. Brazil.

Fowler D, Nemitz E, Misztal P, Marco CD, Skiba U, Ryder J, Helfter C, Cape JN, Owen S, Dorsey J et al. 2011. Effects of land use on surface–atmosphere exchanges of trace gases and energy in Borneo: comparing fluxes over oil palm plantations and a rainforest. J Environ. Science. 366:3196–3209. doi:10.1098/rstb.2011.0055.

Garbulsky MF, Peñuelas J, Papale D, Ardö J, Goulden ML, Kiely G, Richardson AD, Rotenberg E, Veenendaal EM and Filella I. 2010. Patterns and controls of the variability of radiation use efficiency and primary productivity across terrestrial ecosystems. J Macroecology. 19:253–267. doi: 10.1111/j.1466-8238.2009.00504.x

Geiger R, Aron RH, Paul T. 1961. The Climate Near The Ground. Ed ke-5. Cambridge : Harvard University Press.

Handoko, Abujamin AN, Tania J, Rini H. 1994. Klimatologi Dasar: Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim. Edisi ke-2. Jakarta (ID): Pustaka Jaya.

Henson IE, Betitis T, Tomda Y, Chase LDC. 2012. The estimation of frond base biomass (FBB) of oil palm. J Oil Palm Research. 24: 1473-1479.

Henson IE, Yahya Z, Noor MRMD, Harun MH, Mohammed AT. 2007. Predicting soil status, evapotranspiration, growth and yield of young oil palm in a seasonally dry region of Malaysia. J Oil Palm Research. 19: 398-415. Hildanus. 2005. Pendugaan beberapa parameter tegakan hutan tropika dataran

rendah menggunakan data satelit landsat (studi kasus di hutan lindung G. Beratus, Kalimantan Timur). Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pascasarjana. IPB Bogor

(34)

20

Holmes DA. 2002. Where Have All the Forest Gone?. Environmental and Social Development East Asia and Pasific Region Discussion Paper. The World Bank. Imanto H. 2000. Model simulasi dinamika nitrogen pada pertanaman kelapa sawit

(Elaeis guineensis Jacq.) [skripsi]. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor.

Indarto & Faisol A. 2009. Identifikasi dan klasifikasi peruntukan lahan menggunakan Citra ASTER. J Media Teknik Sipil. 9(1):1–8. ISSN: 1412-0976 Jensen JR. 2000. Remote Sensing of the Environment: An Earth Resource

Perspective. New Jersey: Prentice Hall.

Jin M and Liang S. 2006. An improved land surface emissivity parameter for land surface models using global remote sensing observations. J Climate. 19:2867-2881.

Lillesand TM, Kiefer RW, Chipman JW. 2004. Remote Sensing and Image Interpretation. 5th ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Monteith JL and Unsworth MH. 1990. Principles of Environmental Physics. 2nd ed. London: Edward Arnold

Noor MRM and Harun MH. 2004. The Role of Leaf Area Index (LAI). Oil Pal Bulletin 48 [Mei 2004]. pg 11 – 16.

Nouvellon Y, Seen DL, Rambal S, Begue A, Moran MS, Kerr Y and Qi J. 2000. Time course of Radiation Use Efficiency in a shortgrass ecosystem: consequences for remotely sensed estimation of primary production. J Remote Sens. Environ. 71:43–55. New York: Elsevier Science Inc.

Oke TR. 1987. Boundary Layer Climates. 2nd ed. Methuen, London, England and New York, NY,USA, 452 pp.

Oliver JE. 1973. Climate and Man’s Environment: An Introduction to Applied

Climatology. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Pangle L, Vose JM and Teskey RO. 2008. Radiation use efficiency in adjacent hardwood and pine forests in the Southern Appalachians. J Forest Ecology and Management. 257(2009):1034–1042. doi:10.1016/j.foreco.2008.11.004

Pemerintahan Propinsi Kalimantan Tengah. 2013. Kondisi iklim dan geografi [internet]. [diacu 2013 Mei 13]. Tersedia dari: http://kalteng.bps.go.id/

Post DF, Fimbres A, Matthias AD, Sano EE, Accioly L, Batchily AK dan Ferreira LG. Predicting Soil Albedo from Soil Color and Spectral Reflectance Data. J Applied Meteorology. 64(3):1027-1034. doi: 10.2136/sssaj2000.6431027. Risdiyanto I dan Setiawan R. 2007. Metode neraca energi untuk perhitungan

indeks luas daun menggunakan data citra satelit multi spektral. J Agromet Indonesia. 21 (2) : 27 – 38.

(35)

21 Stefanov WL. 2001. Monitoring urban land cover change: An expert system approach to land cover classification of semiarid to urban centers. J Remote Sens. Environ. 77: 173–185.

Stull RB. 2000. Meteorology for Scientists and Engineers. 2nd ed. USA. Brooks/Cole, Cengange Learning. Brooks/Cole, Cengage Learning, Belmont, CA, USA, 528 pp

Sumargo W, Nanggara SG, Nainggolan FA, Apriani I. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. Edisi Ke-1. Forest Watch Indonesia.

Turner DP, Cohen WB, Kennedy RE, Fassnacht, Briggs JM. 1999. Relationships between Leaf Area Index and Landsat TM Spectral Vegetation Indices across Three Temperate Zone Sites. J Remote Sens. Environ. 70:52–68. New York: Elsevier Science Inc.

Twele A, Erasmi S dan Martin K. 2006. Estimation Leaf Area Indexunder Dense Kanopi Conditionsusing Hemispherical Photographyand Optical Earth Observation Data: Prediction Capabilities of Spectral Indices and Artifical

Neural Networks. Gottingen : Workshop STORMA.

[USGS] United State Geological Survey. 2013. Landsat 7 science data users handbook [internet]. [diacu 2013 Februari 20]. Tersedia dari: http:// landsathandbook.gsfc.nasa.gov/pdfs/Landsat7_Handbook.pdf .

Van De Griend AA and Owe M. 1993. On the relationship between thermal emissivity and the normalized difference vegetation index for nature surfaces.

Int. J. Remote Sens. 14:1119–1131.

Weng Q. 2001. A remote sensing – GIS evaluation of urban expansion and its impact on surface temperature in the Zhujiang Delta, China. Int. J. Remote Sens. 22(10) : 1999-2014.

Weng Q, Lu D, Schubring J. 2004. Estimation of land surface temperature– vegetation abundance relationship for urban heat island studies. J Remote Sens. Environ. 89 (2004): 467-383. doi:10.1016/j.rse.2003.11.005

Zhang X and Kondragunta S. 2006. Estimating forest biomass in the USA using generalized allometric models and MODIS land products. Geophysical Research Letters. Vol. 33,L09402, doi:10.1029/2006GL025879.

(36)

22

Lampiran 3 Sebaran nilai suhu permukaan hutan (a); semak (b) dan lahan terbuka (c) tahun 1994

Lampiran 2 TM spectral range, post-calibration dynamic ranges, and mean exoatmospheric solar irradiance (ESUN )

Band Spectral Range Center Wavelength LMIN LMAX ESUN (µm) (µm) (Wm-2sr-1µ m-1) (Wm-2µ m-1)

1 0.452 - 0.518 0.485 -1.52 193 1983

2 0.528 - 0.609 0.569 -2.84 365 1796

3 0.626 - 0.693 0.660 -1.17 264 1536

4 0.776 - 0.904 0.840 -1.51 221 1031

5 1.567 - 1.784 1.676 -0.37 30.2 220

6 10.45 - 12.42 11.435 1.2378 15.3032 N/A

7 2.097 - 2.349 2.223 -0.15 16.5 83.44

Sumber: Chander el al. 2009

Lampiran 1 Nilai jarak astronomi bumi-matahari (d) dan sudut elevasi matahari saat tanggal akuisisi citra Landsat-5

Tanggal akuisisi d Sun-Elevation (o)

1 September 1994 1.00922 50.29418

9 Maret 2000 0.99286 53.49809

16 Januari 2010 0.98371 53.95352

(37)

23

Lampiran 5 Sebaran nilai suhu permukaan hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) dan kebun sawit (d) tahun 2010

(38)

24

Lampiran 7 Sebaran nilai albedo hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 2000

(39)

25

Lampiran 9 Sebaran nilai radiasi netto (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 1994

(40)

26

Lampiran 11 Sebaran nilai radiasi netto (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) dan kebun sawit (d) tahun 2010

(41)

27

Lampiran 13 Sebaran nilai sensible heat flux (H) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 2000

(42)

28

Lampiran 15 Sebaran nilai latent heat flux (LE) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 1994

(43)

29

Lampiran 17 Sebaran nilai latent heat flux (LE) (Wm-2) hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) dan kebun sawit (d) tahun 2010

(44)

30

Lampiran 19 Sebaran nilai NDVI hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) tahun 2000

(45)

31 Lampiran 20 Sebaran nilai NDVI hutan (a); semak (b); lahan terbuka (c) dan kebun

(46)

32

Lampiran 21 Diagram alir penelitian

(47)

33

RIWAYAT HIDUP

Penulis skripsi bernama lengkap Winda Aryani, lahir di kota Tasikmalaya pada tanggal 30 Maret 1991 dari pasangan ibu Aminah dan bapak Ade Holis. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara dengan satu orang adik laki-laki dan satu orang kakak perempuan.

Penulis telah menyelesaikan pendidikan tingkat menegah pertama di MTs Negeri Cilendek Tasikmalaya tahun ajaran 2003-2006 dan pendidikan tingkat menegah atas di MAN 2 Ciamis tahun ajaran 2006-2009. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di jurusan Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam.

Gambar

Gambar 1 Peta wilayah kajian
Gambar 2  Luasan tiap jenis tutupan lahan dengan data citra Landsat-5 TM
Gambar 3  Kisaran suhu permukaan di wilayah kajian dengan citra Landsat-5 TM
Tabel 1  Nilai albedo hasil ektraksi data citra satelit Landsat-5 TM dan referensi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Data tersebut menunjukkan bahwa mencit 1 dengan perlakuan kontrol negative lebih banyak memberikan efek geliat, hal ini disebabkan karena pada mecit 1 tidak diberikan

tak terlupakan.. Kontribusi Media Pembelajaran, Motivasidan Kondisi Tempat Belajar Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas X Sekolah Menengah Kejuruan

Zairin Zain, dan dari pihak Jerman diwakili oleh Hans Gunther Weber (Walikota Braunschweig). Di Bandung sendiri piagam persahabatan ini di tandatangani langsung oleh

Produk ini juga sangat cocok untuk dikonsumsi bagi anak-anak yang mengalami kesulitan untuk memakan sejenis protein karena produk SOSTU ini yaitu sosis yang berasal dari tahu yang

[r]

Perintah Allah melalui mimpi kepada Nabi Ibrahim AS adalah untuk menyembelih ….. Bagaimana sikap Raja Namruz ketika disuruh agar menyemabah Allah

Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal-hal apa saja yang dilakukan masyarakat Desa Lhok Pawoh dalam melaksanakan khanduri tersebut dengan

niger, maka cendawan dipindahkan ke dalam media PDA yang telah disiapkan untuk di identifikasi.Biakan induk diperbanyak dengan menumbuhkannya ke dalam media PDA