• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pakan Dan Inang Terhadap Perkembangan Imago Parasitoid Xanthocampoplex Sp. ( Hymenoptera : Ichneumonidae) Di Laboratorium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pakan Dan Inang Terhadap Perkembangan Imago Parasitoid Xanthocampoplex Sp. ( Hymenoptera : Ichneumonidae) Di Laboratorium"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PAKAN DAN INANG TERHADAP PERKEMBANGAN IMAGO PARASITOID Xanthocampoplex sp. ( HYMENOPTERA :

ICHNEUMONIDAE) DI LABORATORIUM

SKRIPSI

Oleh:

BERTON SWANDI SIPAYUNG/100301166 AGROEKOTEKNOLOGI

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PENGARUH PAKAN DAN INANG TERHADAP PERKEMBANGAN IMAGO PARASITOID Xanthocampoplex sp. ( HYMENOPTERA :

ICHNEUMONIDAE) DI LABORATORIUM

SKRIPSI

Oleh:

BERTON SWANDI SIPAYUNG/100301166 AGROEKOTEKNOLOGI

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014

(3)

Nama : Berton Swandi Sipayung

Nim : 100301116

Program Studi : Agroekoteknologi

Minat : Hama dan Penyakit Tumbuhan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

(Ir. Suzanna Fitriany Sitepu, MSi.) (Prof. Dr. Dra. Maryani Cyccu Tobing, MS..) Ketua Anggota

Mengetahui,

(4)

ABSTRAK

Berton Swandi Sipayung, “ Pengaruh Pakan dan Inang Terhadap Perkembangan Imago Parasitoid Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera : Ichneumonidae) di Laboratorium ”, di bawah bimbingan Suzanna Fitriany Sitepu dan Maryani Cyccu Tobing. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis pakan dan inang yang sesuai untuk perkembangan dan perbanyakan massal parasitoid Xanthocampoplex sp. di laboratorium. Penelitian dilakukan di Laboratorium Riset dan Pengembangan Tebu Sei Semayang, Binjai, Medan, Sumatera Utara pada bulan Juni sampai Agustus 2014. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah jenis pakan parasitoid (air, 10 ml madu + 90 ml air, 30 ml madu + 70 ml air, 20 gr gula +100 ml air, dan 50 gr gula + 100 ml air). Faktor kedua yaitu jenis inang (Phragmatoesia castaneae dan Chilo sacchariphagus).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pakan berpengaruh terhadap persentase kokon, imago dan umur parasitoid. Pakan terbaik adalah 30 ml madu + 70 ml air dengan persentase kokon 70,00 % , persentase imago 63,33 %, dan umur imago 13 hari. Jenis inang berpengaruh terhadap persentase kokon dan imago. Inang terbaik adalah larva Chilo sacchariphagus dengan persentase : kokon 48,00% dan imago 44,00%, pada larva P. castaneae kokon 34,67 % dan imago 33,33%.

(5)

ABSTRACT

Berton Swandi Sipayung, “ The Influence of nutrition and host on adult of Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera : Ichneumonidae) in laboratory, supervised by Suzanna Fitriany Sitepu and Maryani Cyccu Tobing. The objectives of the research were to study the influence of nutrition and host on Xanthocampoplex sp. in laboratory. The research was held at Laboratory of Sugarcane Research and Development Sei Semayang, Binjai, Medan, North Sumatera from Juny until August 2014. The method used Randomized Complete Design with two factors and three replications, the first factor was kind of parasitoid nutrition (water, 10 ml honey + 90 ml water, 30 ml honey + 70 ml water, 20 gr sugar + 100 ml water, and 50 gr sugar + 100 ml water). the second factor was host (Phragmatoesia castaneae and Chilo sacchariphagus).

The results showed that nutrition significantly effected the percentage of cocoon, adult and longevity of parasitoid. The best nutrition was 30 ml honey + 70 % water, the percentage of cocoon (70,00%), adult (63,33%) and longevity (13 days). The kind of host significantly effected the percentage of cocoon adult parasitoid. The best host was larvae of C. sacchariphagus with the percentage of cocoon was 48,00%, and adult was 44,00%, in larvae of P. castaneae the percentage of cocoon was 34,67% and adult was 33,33..

Keywords : Parasitoid, Xanthocampoplex sp., nutrition, P. castaneae,

(6)

RIWAYAT HIDUP

Berton Swandi Sipayung, dilahirkan di Saribudolok, Sumatera Utara, pada tanggal 25 September 1992 dari pasangan Ayahanda Ramli Sipayung dan Ibunda Rosti Melinda Girsang. Penulis merupakan anak ke-4 dari 5 bersaudara. Tahun 2010 lulus dari Sekolah Menengah Atas Van Duynhoven Saribudolok dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, Program Studi Agroekoteknologi melalui jalur SNMPTN.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Anggota HIMAGROTEK (Himpunan Mahasiswa Agroekoteknologi) USU, sebagai asisten Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman di Fakultas Pertanian USU, Medan. Selain itu penulis juga aktif dalam organisasi ekstrauniversitas Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian Mahasiswa Kristen Unit Pelayanan Fakultas Pertanian (UKM KMK UP FP USU) dan Ikatan Mahasiswa Simalungun (IMAS).

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi berjudul “ Pengaruh Pakan dan Inang Terhadap Perkembangan Imago Parasitoid Xanthocampoplex sp ( Hymenoptera : Ichneumonidae) di Laboratorium ” merupakan salah satu syarat untuk dapat meraih gelar Sarjana di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Komisi Pembimbing Ir. Suzanna Fitriany Sitepu MS.selaku Ketua dan Prof.Dr. Dra.Maryani Cyccu Tobing, MS selaku Anggota yang telah memberikan saran dan kritik dalam menyelesaikan skripsi ini . Terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Balai Riset dan Pengembangan Tebu Sei Semayang beserta staf yang telah memberikan tempat dan fasilitas untuk penelitian skripsi ini sehingga dapat terlaksana hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini di masa yang akan datang. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, November 2014

(8)

DAFTAR ISI

Xanthocampoplex (Hymenoptera: Ichneumonidae) ... 5

Pragmatoecia castaneae Hubner(Lepidoptera: Cossidae) ... 7

Biologi ... 7

Gejala Serangan ... 9

Pengendalian ... 10

Chillo sacchariphagus Boyer (Lepidoptera: Crambidae) ... 10

Biologi ... 10

Gejala Serangan ... 12

Pengendalian ... 13

Pengaruh Jenis Inang terhadap Perkembangan Parasitoid ... 13

Jenis Pakan ... 14

(9)

Persiapan Penelitian ... 20

Penyediaan Imago Xanthocampoplex sp ... 20

Penyediaan Pakan Parasitoid Xanthocampoplex sp ... 20

Penyediaan Sogolan dan Gelagah ... 20

Penyediaan Larva Inang ... 20

Pelaksanaan Penelitian ... 21

Pemberian Pakan Parasitoid ... 21

Parasititasi Larva Inang ... 21

Peubah Amatan ... 22

Persentase Kokon Xanthocampoplex sp yang Terbentuk... 22

Persentase Imago Xanthocampoplex sp yang Muncul ... 22

Persentase Larva Inang Yang Menjadi Imago ... 22

Umur Imago Xanthocampoplex sp ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Kokon Xanthocampoplex sp yang Terbentuk ... 24

Persentase Imago Xanthocampoplex sp yang Muncul ... 26

Persentase Larva Inang Yang Menjadi Imago ... 29

(10)

DAFTAR TABEL

No. Keterangan Hlm

1. Pengaruh jenis pakan terhadap terhadap persentase kokon

Xanthocampoplex sp ... 24 2. Pengaruh jenis inang terhadap persentase kokon Xanthocampoplex

sp ... 25

3. Pengaruh jenis pakan terhadap terhadap persentase imago

Xanthocampoplex sp ... 26

4. Pengaruh jenis inang terhadap terhadap persentase imago

Xanthocampoplex sp ... 27

5. Pengaruh jenis inang terhadap persentase larva P. castanae dan C. saccariphagus yang menjadi imago ... 29

6. Pengaruh pakan terhadap umur imago Parasitoid Xanthocampoplex

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Keterangan Hlm

1. Larva Xanthocampoplex sp ... 6

2. Kokon Xanthocampoplex sp ... 6

3. Imago Xanthocampoplex sp ... 7

4. Telur P. castanae ... 7

5. Larva P. castanae ... 8

6. Pupa P. castanae ... 8

7. Imago P. castanae ... 9

8. Gejala Serangan P. castanae ... 9

9. Telur C. sacchariphagus ... 11

10. Larva C. sacchariphagus ... 11

11. Pupa C. sacchariphagus ... 11

12. Imago C. sacchariphagus... 12

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Keterangan Hlm

1. Bagan Penelitian ... 36

2. Data Persentase Kokon Xanthocampoplex sp ... 37

3. Data Persentase Imago Xanthocampoplex sp yang muncul ... 39

4. Data Persentase Larva P. castanae dan C. saccariphagus yang menjadi imago ... 41

5. Data Umur Imago Xanthocampoplex sp ... 43

8. Data Suhu dan Kelembababan Udara Laboratorium ... 45

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penurunan produksi tebu di Indonesia telah terjadi dari tahun ke tahun. Salah satu faktor penting yang berpotensi mengganggu produktivitas perkebunan tebu di Indonesia adalah serangan hama tanaman. Serangan hama penggerek batang menjadi kendala dalam peningkatan produktivitas tebu karena menyebabkan kerugian dan kehilangan hasil gula yang cukup tinggi yaitu sekitar 15%. Tingginya intensitas serangan hama ini pula yang menjadi salah satu faktor penyebab turunnya produktivitas rata-rata tebu giling PTPN II dari 70 ton/ha menjadi hanya 40 ton/hektar. Akibat serangan penggerek batang terjadi penurunan bobot tebu atau rendemen karena kerusakan pada ruas batang, bahkan batang tebu bisa mati dan tidak dapat digiling. Kerugian gula akibat serangan hama ini ditentukan oleh jarak waktu antara saat penyerangan dan saat tebang. Kehilangan rendemen dapat mencapai 50% jika menyerang tanaman tebu umur 4 - 5 bulan dan 4 - 15% pada tebu yang berumur 10 bulan (Diyasti, 2013).

Penggerek batang tebu bergaris Chillo sacchariphagus Boyer (Lepidoptera : Crambidae), merupakan penggerek batang yang paling penting yang hampir selalu ditemukan di semua perkebunan tebu sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar dan menyebabkan penurunan produksi (Indrawanto et al., 2010 ; Prabowo et al. 2013).

(14)

perkebunan tebu dan telah ada di Sumatera Utara sejak tahun 1977 yang ditemukan di perkebunan tebu khususnya di PTPN II (Diyasti, 2013). Karena perilaku biologi penggerek batang lebih banyak berada di dalam jaringan tanaman tebu, hama ini sulit dikendalikan secara kimiawi. Pengendalian hama dapat mencegah meluasnya serangan hama pada areal pertanaman tebu. Pencegahan meluasnya hama dapat meningkatkan produktivitas (Sudarsono, 2011).

Salah satu pengendalian hama adalah pengandalian hayati. Pengendalian hayati dalam skala luas memerlukan jumlah agens hayati yang banyak sehingga perlu usaha pembiakan massal. Pembiakan massal dilakukan untuk mengembangbiakkan agens hayati dengan menggunakan media alami maupun media buatan dalam habitat atau lingkungan yang dibentuk sesuai lingkungan aslinya sehingga diperoleh sejumlah tertentu sesuai kebutuhan (Untung, 2006).

(15)

akan meningkatkan umur, keperidian ataupun kecepatan parasitoid memarasit (Gunduz et al., 2009).

Alternatif terbaik untuk pengendalian penggerek batang tebu dalam skala luas adalah dengan menggunakan varietas tebu resisten dan menggunakan musuh alami sebagai agensia hayati (Sudarsono, 2011). Pengendalian hayati dengan memanfaatkan parasitoid untuk menekan populasi hama di lapangan saat ini mendapat perhatian yang serius terutama dalam kaitannya dengan merebaknya isu konservasi keanekaragaman hayati, kesehatan ekosistem, dan pengembangan teknologi alternatif (non-pestisida) bagi pengendalian hama (Hasriyanty, 2008).

Sejak tahun 1985 telah dilepaskan parasitoid telur Tumidiclava sp, parasitoid larva Sturmiopsis inferens dan Xanthocampoplex sp ke lapangan. Jumlah parasitoid telur yang dilepas lebih kurang 5000/ha untuk sekali pelepasan dan Sturmiopsis inferens lebih kurang 20 pasang/ha dan Xanthocampoplex sp 15 ekor /ha. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pelepasan parasitoid menyebabkan turunnya intensitas serangan penggerek batang tebu hingga di bawah 5 % pada tanaman umur 6 bulan (Saragih et al.,1986).

Perbanyakan parasitoid Xanthocampoplex sp. di PTPN II Risbang Tebu Sei Semayang selama ini menggunakan P. castanae sebagai inang, tetapi ternyata

(16)

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pakan dan jenis inang terhadap perkembangan parasitoid

Xanthocampoplex sp. Tujuan Penelitian

Untuk mendapatkan jenis pakan dan inang yang sesuai dalam perkembangan dan perbanyakan parasitoid Xanthocampoplex sp. di laboratorium. Hipotesis Penelitian

Pemberian pakan dan inang yang berbeda berpengaruh terhadap parasitisasi, kapasitas reproduksi dan lama hidup parasitoid Xanthocampoplex sp. Kegunaan Penelitian

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dan diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk perbanyakan parasitoid

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera : Ichneumonidae)

Famili Ichneumonidae merupakan salah satu famili serangga terbesar yang diperkirakan lebih dari 60.000 spesies di dunia (Noort, 2004). Kebanyakan spesiesnya memiliki antena yang panjang dan ovipositor panjang yang selalu tampak, tetapi ada juga spesies lainnya memiliki ovipositor yang pendek dan tidak tampak (Driesche et al ., 2008). Sebagian besar dari famili Ichneumonidae adalah parasitoid larva dan berkembang pada satu inang lalu kemudian akan membunuh inangnya. Pada umumnya Ichneumonidae adalah soliter, satu individu tunggal berkembang dari satu induk. Inang dari famili Ichneumonidae ini antara lain

dari ordo Lepidoptera, Hymenoptera, Diptera, Coleoptera, Neuroptera dan Macoptera (Borror et al., 1992).

Xanthocampoplex sp. berwarna kuning jingga. Mesoscutum bagian anterior berwarna agak kecoklatan atau terdapat garis gelap pada bagian tengah, scape dan pedicel berwarna jingga dengan garis sempit pada bagian luar, flagellum berwarna coklat kehitaman dan lebih jelas pada bagian ujung , memiliki panjang sayap 5,6 - 6,2 mm. Opovisitor diselubungi oleh warna coklat gelap (Rousse dan Villemant, 2012).

Xanthocampoplex sp. adalah parasitoid larva P. castaneae yang dapat dibiakkan di laboratorium. Parasitoid ini bersifat partenogenesis deuterotoky yaitu betina yg tidak kawin menghasilkan keturunan betina dan jantan sehingga diharapkan mempunyai daya biak yang cukup besar di lapangan. Daur hidup

(18)

3,6 hari (3-4 hari), rata–rata periode dari telur hingga menjadi larva 20,8 hari (16– 28 hari ) (Gambar 1) (Fernandes et al., 2010).

Gambar 1. Larva Xanthocampoplex sp.

Periode kokon rata-rata 11,8 hari (11-13 hari) dan rata–rata masa hidup imago 14,4 (10–24 hari). Kokon berbentuk bola agak lonjong, berukuran diameter 3-5 mm, berwarna coklat bening dengan gelang kuning ditengahnya (Gambar 2). Seekor parasitoid Xanthocampoplex sp. dapat menghasilkan 11–16 ekor kokon.

Total masa siklus hidup Xanthocampoplex sp. adalah 37–66 hari (Penteado, 2006).

Gambar 2. Kokon Xanthocampoplex sp.

Seekor parasitoid Xanthocampoplex sp. betina memiliki panjang sayap 3,5 mm (Gambar 3). Imago yang keluar berukuran 5 – 8 mm, toraks berwarna hitam, abdomen merah coklat. Dari beberapa kokon parasitoid ini terlihat serangan hiperparasitoid, berupa sejenis tabuhan berwarna hitam, ukuran 5 - 6

(19)

Gambar 3. Imago betina Xanthocampoplex sp.

Penggerek Batang Raksasa Phragmatoecia castaneae (Lepidoptera: Cossidae)

Biologi

Telur penggerek batang tebu raksasa Phragmatoecia castaneae

(Lepidoptera: Cossidae) diletakkan secara berkelompok di permukaan bawah daun pucuk yang mati atau pada daun tua dan kering yang masih (Gambar 4) melekat pada batang, telur berbentuk oval dengan panjang 1,8 mm dan lebar 0,8 mm dan berwarna putih.Telur yang dihasilkan seekor kupu betina 282 - 376 butir (Hasibuan dan Panjaitan, 2010).

Gambar 4. Telur Phragmatoecia castaneae

(20)

membuat lorong gerekan dari pelepah daun. Panjang larva 35 mm dan pupa 22 mm (Diyasti, 2013).

Gambar 5. Larva Phragmatoecia castaneae

Sebelum menjadi pupa, larva melewati fase pra pupa selama 2-3 hari Stadia pupa berlangsung selama 14-19 hari di dalam batang tebu (Gambar 6). Beberapa jam sebelum muncul menjadi imago, pupa bergerak dan berpindah ke ujung lubang gerekan. Pupa menetas dan menjadi imago, sedangkan kulit pupa tertinggal dan menonjol keluar dari lubang gerekan. Imago keluar dari pupa pada sore hari (Hasibuan dan Panjaitan, 2010).

Gambar 6. Pupa Phragmatoecia castaneae

(21)

Gambar 7. Imago betina Phragmatoecia castaneae Sumber Gejala Serangan

Serangan penggerek batang tebu terjadi pada tanaman tebu berumur 2 – 3 bulan dan serangan akan meningkat pada umur 5 bulan. Biasanya

menyebabkan kematian karena rusaknya titik tumbuh tanaman tersebut. Penggerek batang raksasa (PBR) menyebabkan terjadi penurunan bobot tebu atau rendemen karena kerusakan pada ruas batang, bahkan batang tebu bisa mati dan tidak dapat diolah di pabrik (Gambar 8). Kerugian gula akibat serangan hama ini ditentukan oleh jarak waktu antara saat penyerangan dan saat tebang. Kehilangan rendemen dapat mencapai 50 % jika menyerang tanaman tebu umur 4-5 bulan dan 4-15 % pada tebu yang berumur 10 bulan. Pada serangan berat, bagian dalam batang tebu hancur dimakan oleh larva PBR (Diyasti, 2013).

(22)

Pengendalian

Penyebaran hama PBR dapat dicegah agar tidak semakin meluas dengan melakukan eradikasi tanaman dengan cara memanen tebu lebih awal yaitu sekitar umur 7-8 bulan. Tindakan ini dilakukan untuk memutus siklus hidup hama dan tidak terjadi kehilangan hasil yang lebih besar, karena tebu yang terserang masih dapat digiling meskipun kualitas rendemennya turun. Pengendalian bisa juga dilakukan secara hayati dengan melepas musuh alami hama PBR yaitu parasitoid telur Tumidiclava sp. dan parasitoid larva Xanthocampoplex sp.serta Sturmiopsis inferens. Selain itu, penggunaan cendawan entomopatogen Beauveria bassiana dan Metarrhizium anisopliae juga cukup efektif dalam mengendalikan hama PBR. Sanitasi kebun juga perlu dilakukan dengan memusnahkan sumber inokulum berupa serasah daun kering, sisa batang dan pucuk tebu pasca tebangan, serta memusnahkan gelagah (Saccharum spontaneum) yang merupakan inang hama PBR (Diyasti, 2013).

Penggerek Batang Bergaris Chillo sacchariphagus (Lepidoptera: Crambidae)

Biologi

(23)

Gambar 9. Telur C. sacchariphagus

Larva yang baru menetas panjangnya ± 2,5 mm dan berwarna kelabu (Gambar 10).(Prabowo et al., 2013). Periode larva berlangsung selama 35 – 54

hari. Larva terdiri dari 6 instar (Yalawar et al., 2010).

Gambar 10. Larva C. sacchariphagus

Pupa penggerek batang bergaris agak keras dan berwarna coklat kehitaman

(Gambar 11) (Prabowo et al., 2013). Pupa terletak di dekat lobang atau pintu keluar pada tebu bekas gerekan. Periode pupa selama 8 – 10 hari (Yalawar et al., 2010).

(24)

Imago (ngengat) bersifat nokturnal, terdapat titik berwarna gelap pada masing – masing sayap depan (Gambar 12). Ngengat betina lebih besar dari ngengat jantan. Umur ngengat jantan dan betina adalah 4 – 8 hari dan 4 – 9 hari dengan rata – rata 6 – 7 hari (Yalawar et al., 2010).

Gambar 12. Imago C. sacchariphagus Gejala Serangan

Serangan penggerek batang pada tanaman tebu muda berumur 3-5 bulan atau kurang dapat menyebabkan kematian tanaman karena titik tumbuhnya mati. Sedang serangan pada tanaman tua menyebabkan kerusakan ruas-ruas batang dan pertumbuhan ruas diatasnya terganggu, sehingga batang menjadi pendek, berat batang turun dan rendemen gula menjadi turun pula. Tingkat serangan hama ini dapat mencapai 25% (Indrawanto et al., 2010).

Larva muda yang baru menetas hidup dan menggerek jaringan dalam

pupus daun yang masih menggulung, sehingga apabila gulungan daun ini nantinya

membuka maka akan terlihat luka-luka berupa lubang gerekan yang tidak teratur

pada permukaan daun. Setelah beberapa hari hidup dalam batang tebu gejala

serangan ditandai dengan adanya lubang gerek pada permukaan batang (Gambar

13). Apabila ruas-ruas batang tersebut dibelah membujur maka akan terlihat

(25)

titik tumbuh mati, daun muda layu atau kering. Biasanya dalam satu batang

terdapat lebih dari satu ulat penggerek. Setiap ada 1% kerusakan ruas yang

diakibatkan penggerek batang bergaris artinya mampu menurunkan 0,5% bobot

tebu (Prabowo et al., 2013).

Gambar 13. Gejala serangan C. saccariphagus Pengendalian

Beberapa cara pengendalian yang dilakukan yaitu secara hayati dengan menggunakan parasitoid telur Trichogramma sp. dan lalat jatiroto (Diatraeophaga striatalis) (Goebel et al., 2001). Secara mekanis dengan rogesan. Kultur teknis dengan menggunakan varietas tahan yaitu PS 46, 56,57 dan M442-51. Secara kimia yaitu dengan penyemprotaan insektisida atau secara terpadu dengan memadukan 2 atau lebih cara-cara pengendalian tersebut (Indrawanto et al.,

2010). Selain itu pengendalian penggerek batang bergaris dapat dilakukan dengan cara menggunakan perangkap feromon (Way et al., 2004)

Pengaruh Jenis Inang terhadap Perkembangan Parasitoid

(26)

studi awal, ketidaktersediaan inang tersebut dapat mempengaruhi perilaku peletakan telur parasitoid (Akbar dan Buchori, 2012).

Perilaku pemilihan inang di antaranya dipengaruhi oleh biologi dan fase inang yang diserang, faktor fisik, dan morfologi inang yang spesifik. Selain itu, keberhasilan hubungan inang dengan parasitoid dipengaruhi berbagai hal, yaitu lokasi habitat inang, lokasi inang, penerimaan inang, dan kesesuaian inang (Ratna, 2008)..Hasil penelitian Purnomo (2006) diperoleh bahwa bahwa tingkat parasitisasi Cotesia flavipes dipengaruhi oleh jenis inang. Tingkat parasitisasi C. flavipes tertinggi ditemukan pada inang C. sacchariphagus. Kapasitas reproduksi parasitoid C. flavipes tertinggi juga terdapat pada inang C. sacchariphagus, diikuti pada C. auricilius.

Selain jenis inang, instar inang juga mempengaruhi perkembangan parasitoid. Ratna (2008) dan Nelly et al. (2011) menyatakan bahwa laju perkembangan parasitoid Snellenius manilae

dan

Eriborus argenteopilosus

Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) lebih cepat terjadi pada larva inang

Spodoptera litura instar 3 karena semakin tinggi tingkatan instar larva inang waktu yang tersedia bagi parasitoid lebih pendek untuk menyelesaikan siklus hidup.

Jenis Pakan Parasitoid Madu

(27)

diubah dan dicampur dengan zat-zat tertentu dari tubuh lebah sendiri, disimpan dan dibiarkan dalam sisiran madu hingga matang. Madu adalah bahan yang rasanya manis yang dihasilkan oleh lebah madu (Apis mellifera) dan berasal dari sari bunga atau dari cairan yang berasal dari bagian-bagian tanaman hidup yang dikumpulkan, diubah dan diikat dengan senyawa - senyawa tertentu oleh lebah dan disimpan dalam sarangnya (Saputro, 2009).

Madu paling sedikit mengandung 181 substansi yang terdiri dari gula, umumnya tersusun oleh fruktosa (38%) dan glukosa (31%). Madu juga mengandung mineral, protein, asam lemak bebas, enzim dan vitamin (Suarez et al., 2009). Sukrosa pada madu hanya 1%. Total disakarida seperti maltosa, isomaltosa dan maltulosa terdiri dari 7 % dari komposisi madu dengan komponen utama yaitu air (Food and Health Inovation, 2012). Menurut Adji (2004) madu mengandung banyak mineral seperti natrium, kalsium, magnesium, alumunium, besi, fosfor, dan kalium. Vitamin – vitamin yang terdapat dalam madu adalah thiamin (B1), riboflavin (B2), asam askorbat (C), piridoksin (B6), niasin, asam pantotenat, biotin, asam folat, dan vitamin K. Sedangkan enzim yang penting dalam madu adalah enzim diastase, invertase, glukosa oksidase, peroksidase, dan lipase. Selain itu unsur kandungan lain madu adalah memiliki zat antibiotik atau antibakteri.

Hasil penelitian Nelly dan Damayanti (2008) menunjukkan bahwa pakan berpengaruh terhadap keperidian dan lama hidup imago Eriborus argenteopilosus

(28)

juga dengan keperidian, imago yang diberi pakan madu jumlah total telur yang dihasilkan adalah 257,8 butir, lebih tinggi dibandingkan bila diberi yeast (112,2 butir) dan diberi aquades (116,9 butir).

Gula

Gula pasir atau sukrosa adalah jenis gula terbanyak di alam, diperoleh dari ekstraksi batang tebu, umbi bit, nira palem dan nira pohon maple. Sukrosa lebih dikenal sebagai gula pasir. Sebuah molekul sukrosa terdiri dari 2 molekul gula yaitu satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Oleh pemberian zat kimia (asam) molekul sukrosa pecah menjadi dua molekul tersebut. Bila sukrosa atau gula pasir dinilai memiliki kemanisan 1, maka glukosa hanya memiliki kemanisan 0,74, laktosa 0,16, maltosa 0,32, galaktosa 0,32 dan fruktosa 1,73 serta gula invert (glukosa dan fruktosa perbandingannya 1 : 1) 1,30. Sedangkan bila dibandingkan dengan pemanis buatan maka perbandingan kemanisannya adalah sebagai berikut :xilitol 1, sukralosa 600, siklamat 30, acesulfame-K 150, dulcin 250, thaumatin 3.500, steviosida 300, suosan 350, aspartam 200, P-4000 4.000, D-triptofan 35 dan asam sukrolonik 200.000 (Koswara, 2007).

(29)

mengkonsumsi gula secara signifikan hidupnya akan lebih lama daripada parasitoid yang hanya mengkonsumsi air (Lightle et al., 2010).

(30)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Pengembangan Tanaman Tebu Sei Semayang Km 13,5 PTPN II Binjai (± 50 m dpl) dan dimulai dari bulan Juni sampai dengan Agustus 2014.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah imago parasitoid Xanthocampoplex sp., inangnya yaitu larva P. castanae dan larva C. sacchariphagus, madu, gula, aquades, timbangan, gelagah, sogolan tebu atau batang tebu yang masih muda, selotip, dan kertas label.

Alat yang digunakan adalah kandang inokulasi berukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm, kandang pemeliharaan kokon berukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm, wadah plastik diameter 4 cm dan tinggi 7 cm, solder, termohygrograph kuas, gelas ukur, cawan petri, serbet,handsprayer dan kamera.

Metode Penelitian

Penelitian ini mengunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial terdiri dari 2 faktor dengan tiga ulangan.

Faktor 1 : Pakan parasitoid Xanthocampoplex sp. (P), dengan 5 taraf yaitu : P1 : Air

(31)

Faktor 2 : Jenis Inang (I), dengan 2 taraf yaitu : I1 : Larva P. castanae

I2 : Larva C. sacchariphagus Kombinasi perlakuan : 5 x 2 = 10

Adapun kombinasi perlakuannya adalah sebagai berikut: P1I1 P2I1 P3I1 P4I1 P5I1

Metode liniernya adalah sebagai berikut :

(32)

(αβ)ij : pengaruh taraf ke- i dari faktor A dan pengaruh taraf ke- j dari faktor B

εijk : pengaruh acak dari satuan percobaan ke- k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij.

Persiapan Penelitian

a. Penyediaan imago Xanthocampoplex sp.

Imago Xanthocampoplex sp. yang digunakan berasal dari perbanyakan di laboratorium. Perbanyakan dilakukan dengan menginfestasikan larva P. castanae dengan parasitoid Xanthocampoplex sp. Setelah terparasit, larva dipelihara dalam gelagah kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik hingga menjadi kokon. Kokon Xanthocampoplex sp. dipelihara sampai imago keluar yang akan digunakan sebagai sumber sediaan.

b. Penyediaan pakan untuk parasitoid Xanthocampoplex sp.

Pakan yang digunakan sebagai bahan makanan Xanthocampoplex sp yaitu madu dan gula yang dicampur dengan air. Konsentrasi pakan dibuat sesuai dengan masing – masing perlakuan.

c. Penyediaan sogolan dan gelagah

Sogolan tebu dan gelagah diambil dari lapangan. Sogolan dipotong dengan panjang 5 - 6 cm agar tidak melebihi tinggi wadah plastik lalu dimasukkan ke dalam wadah plastik tersebut dengan cara disusun secara vertikal sampai penuh. Gelagah dipotong dengan panjang 15 – 16 cm, ujungnya dilubangi dengan kedalaman ± 4 cm menggunakan alat khusus.

d. Penyediaan larva inang

Larva diperoleh dari areal perkebunan Riset dan Pengembangan Tebu Sei

(33)

C. sacchariphagus yang sehat masing – masing dengan ukuran ± 1 - 2 cm. Jumlah larva P. castanae dan larva C. sacchariphagus yang akan diinfestasikan pada Xanthocampoplex sp. sebanyak 5 ekor untuk setiap perlakuan. Total larva inang yang dibutuhkan adalah 150 ekor (75 ekor larva

P. castanae dan 75 ekor larva C. sacchariphagus) Pelaksanaan Penelitian

a. Pemberian pakan

Sumber sediaan imago Xanthocampoplex sp. yang berumur 0 hari dimasukkan ke dalam kandang inokulasi berbentuk kotak dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm yang terbuat dari kain kasa berwarna putih. Pakan diberikan 3 kali sehari yaitu pagi, siang dan sore. Pemberian pakan dilakukan dengan cara mengoleskan pakan pada bagian atas kurungan kasa menggunakan kuas dan dilakukan setiap hari hingga parasitoid mati.

b. Parasititasi larva Inang

Selama pemeliharaan imago parasitoid, dilakukan pemarasitan secara buatan (mendekatkan larva inang dengan parasitoid) terhadap masing – masing jenis larva yang sesuai dengan perlakuan. Pemarasitan dilakukan saat imago

(34)

Xanthocampoplex sp. lalu dipindahkan ke dalam cawan petri dan dimasukkan ke dalam kandang pemeliharaan. Kemudian ditunggu sampai imago keluar. Peubah Amatan

1. Persentase Kokon Xanthocampoplex sp. yang terbentuk

Setelah larva inang telah terparasit oleh Xanthocampoplex sp., semua larva tersebut dipelihara dalam sogolan dan gelagah kemudian disimpan dalam toples selama 19-21 hari. Setelah 19-21 hari kemudian, sogolan dan gelagah dibongkar lalu dihitung persentase kokon yang terbentuk dengan rumus :

�= k

� x 100 %

Keterangan:

K = Persentase kokon yang terbentuk, k = Jumlah larva yang membentuk kokon, N = Jumlah awal dari larva yang diuji.

2. Persentase imago Xanthocampoplex sp. yang muncul

Persentase imago dapat dihitung dengan cara kokon dipelihara dalam kasa pemeliharaan selama 2-14 hari hingga muncul imago parasitoid. Persentase imago yang muncul dihitung dengan menggunakan rumus:

�= i

� x 100 %

Keterangan :

I = Persentase pembentukan imago, i = Jumlah kokon yang membentuk imago, N = Jumlah awal dari larva yang diuji.

(35)

Persentase larva yang menjadi imago dihitung dengan rumus :

� = u

� x 100 %

Keterangan :

U = Persentase pembentukan imago P. castanae / C. saccariphagus,

u = Jumlah larva yang membentuk imago P. castanae / C. saccariphagus,

N = Jumlah awal dari larva yang diuji.

4. Lama hidup imago Xanthocampoplex sp. (hari)

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Persentase Kokon

Xanthocampoplex sp. yang terbentuk

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium dengan kisaran suhu 26 – 280C dan kelembaban nisbi 65 – 79%.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pakan berpengaruh sangat nyata terhadap persentase kokon Xanthocampoplex sp. yang terbentuk (Tabel 1) dan (Lampiran 1),

Tabel 1. Pengaruh jenis pakan terhadap persentase kokon Xanthocampoplex sp. .

Jenis Pakan Kokon yang Terbentuk (%)

P1 (Air) 0,00 d

P2 (10 ml madu + 90 ml air) 56,67 b P3 (30 ml madu + 70 ml air) 70,00 a P4 (20 g gula + 100 ml air) 40,00 c P5 (50 g gula + 100 ml air) 40,00 c

Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5%.

(37)

mengandung sukrosa dan air mengandung mineral. Pada dasarnya imago parasitoid membutuhkan karbohidrat sebagai sumber energi. Karbohidrat yang terkandung dalam pakan mempengaruhi perkembangan imago parasitoid. Hal ini sesuai dengan Gunduz et al. (2009) yang menyatakan bahwa imago parasitoid membutuhkan karbohidrat sebagai sumber energi.

. Sesuai dengan hasil pengamatan kokon yang terbentuk berwarna kuning kecoklatan yang diselubungi oleh lapisan benang-benang halus dan berbentuk bulat panjang. Fernandes et al. (2008) menyatakan bahwa larva parasitoid

Xanthocampoplex sp. akan membentuk benang-benang halus seperti sebuah benang sutera, kokon berbentuk bulat panjang kuning kecoklatan.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis inang berpengaruh nyata terhadap persentase kokon Xanthocampoplex sp. yang terbentuk ( Tabel 2) dan (Lampiran 1),

Tabel 2. Pengaruh jenis inang terhadap persentase kokon Xanthocampoplex sp. Jenis Inang Kokon yang Terbentuk (%)

I1 (P. castaneae) 34,67 b

I2 (C. saccariphagus) 48,00 a

Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5%.

Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase kokon nyata lebih tinggi pada

jenis inang C. saccariphagus (I2) yaitu 48,00% sedangkan pada inang

(38)

jenis inang. Serangga uji yang digunakan adalah penggerek batang tebu bergaris (Chilo sacchariphagus), penggerek batang tebu berkilat (Chilo auricilius), dan penggerek pucuk (Scirpophaga nivella).Tingkat parasitisasi tertinggi ditemukan pada inang C. sacchariphagus. Kapasitas reproduksi parasitoid C. flavipes

tertinggi juga terdapat pada inang C. sacchariphagus, diikuti pada C. auricilius. Sesuai dengan hasil pengamatan lama terbentuknya kokon pada kedua jenis inang berbeda. Pada C. saccariphagus kokon sudah mulai terbentuk setelah 16 hari sedangkan pada P. castanae kokon terbentuk setelah 20 hari. Jika dilihat dari segi ukuran maka ukuran kokon yang terbentuk dari larva P. castanae

cenderung lebih besar daripada C. saccariphagus. Hal ini diduga karena pada dasarnya ukuran tubuh larva P. castanae lebih besar daripada larva C. saccariphagus.

2. Persentase Imago

Xanthocampoplex sp. yang muncul

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pakan berpengaruh sangat nyata terhadap persentase imago Xanthocampoplex sp. yang muncul (Tabel 3) dan (Lampiran 2),

Tabel 3. Pengaruh jenis pakan terhadap persentase imago Xanthocampoplex sp. yang muncul.

Jenis Pakan Imago yang Muncul (%)

P1 (Air) 0,00e

P2 (10 ml madu + 90 ml air) 56,67b P3 (30 ml madu + 70 ml air) 63,33a P4 (20 g gula + 100 ml air) 33,33d P5 (50 g gula + 100 ml air) 40,00c

Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5%.

(39)

persentase imago terendah (0%) dari imago yang diberikan pakan hanya air (P1). Imago akan muncul jika kokon terbentuk. Persentase imago tersebut menyatakan bahwa jenis pakan sangat mempengaruhi parasitoid dalam menghasilkan keturunan. Hasil penelitian Salmah et al. (2012) menyatakan bahwa pemberian madu dan sukrosa dengan konsentrasi yang berbeda memiliki pengaruh terhadap kesuburan imago parasitoid Apanteles metesae. Imago dengan pakan larutan madu (P3 dan P2) kesuburannya lebih tinggi dibanding imago yang diberi pakan larutan gula (P4 dan P5) dan air (P1). pakan merupakan sumber nutrisi yang dipergunakan oleh serangga untuk hidup dan berkembang. Jika makanan tersedia dengan kualitas yang cocok maka parasitoid akan dapat bereproduksi. Menurut Driesche et al, (2008) pakan yang digunakan oleh sejumlah musuh alami dapat mempengaruhi ukuran, kesuburan, dan nisbah kelamin. Pakan yang mengandung karbohidrat akan meningkatkan umur, fekunditas ataupun kecepatan memarasit parasitoid. Berdasarkan penelitian ini, parasitoid yang diberi pakan air (P1) tidak meletakkan telur pada inang. Hal ini menunjukkan bahwa jenis pakan sangat mempengaruhi kesuburan parasitoid.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis inang berpengaruh nyata terhadap persentase imago Xanthocampoplex sp. yang muncul (Tabel 4) dan (Lampiran 2),

Tabel 4. Pengaruh jenis inang terhadap persentase imago Xanthocampoplex sp. yang muncul.

Jenis Inang Imago yang Muncul (%)

I1 (P. castaneae) 33,33b

I2 (C. saccariphagus) 44,00a

(40)

Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase imago Xanthocampoplex sp. nyata lebih tinggi pada inang C. saccariphagus (I2) yaitu 44,00% sedangkan pada larva P. castaneae (I1) yaitu 33,33%. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan parasitoid dipengaruhi oleh jenis inang, morfologi maupun kesesuaian inang. Inang yang berbeda akan mempengaruhi tingkat parasitasi. Menurut Ratna (2008) perilaku pemilihan inang di antaranya dipengaruhi oleh biologi dan fase inang yang diserang, faktor fisik, dan morfologi inang yang spesifik. Selain itu keberhasilan hubungan inang dengan parasitoid dipengaruhi berbagai hal, yaitu lokasi habitat inang, lokasi inang, penerimaan inang, dan kesesuaian inang. Dalam penelitian ini morfologi antara kedua inang berbeda.

Berdasarkan pengamatan diperoleh bahwa imago yang muncul dari kokon yang inangnya berbeda antara perlakuan P. castaneae (I1) dan P. castaneae (I2) tidak menunjukkan perbedaan bentuk, namun dilihat dari segi ukuran maka imago yang menetas dari larva P. castaneae (I1) ukurannya lebih besar daripada imago yang menetas dari larva C. saccariphagus (I2). Hal ini disebabkan karena pada dasarnya larva P. castanae ukuran tubuhnya lebih besar daripada larva C. saccariphagus.

(41)

Sesuai pengamatan diperoleh bahwa waktu munculnya imago

Xanthocampoplex sp. adalah sekitar 2 – 10 hari setelah terbentuknya kokon. 3. Persentase larva P. castanae dan C. saccariphagus yang menjadi imago

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis inang berpengaruh nyata terhadap persentase larva P. castanae dan C. saccariphagus yang menjadi imago ( Tabel 5) dan (Lampiran 3)

Tabel 5. Pengaruh jenis inang terhadap persentase larva P. castaneae dan C. saccariphagus yang menjadi imago

Jenis Inang Imago (%)

I1 (P. castaneae) 6,67b

I2 (C. saccariphagus) 18,67a

Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5%.

Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase larva inang yang menjadi imago (ngengat) nyata lebih tinggi pada perlakuan I1 (C. saccariphagus) yaitu 18,67% sedangkan pada perlakuan I2 (P. castanae) yaitu 6,67%. Hal ini diduga karena adanya perbedaan lama hidup diantara kedua larva dan ketersediaan pakan bagi larva tersebut. Menurut Yalawar et al. ( 2010), periode larva C. saccariphagus

(42)

4. Lama hidup imago Xanthocampoplex sp. (hari)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pakan berpengaruh sangat nyata terhadap lama hidup imago Xanthocampoplex sp. (Tabel 6) dan (Lampiran 4).

Tabel 6. Pengaruh jenis pakan terhadap lama hidup imago Xanthocampoplex sp ( Tabel 6).

Jenis Pakan Umur Imago (Hari)

P1 (Air) 2,83e

P2 (10 ml madu + 90 ml air) 11,00b P3 (30 ml madu + 70 ml air) 13,00a P4 (20 g gula + 100 ml air) 8,00,d P5 (50 g gula + 100 ml air) 9,67c

Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5%.

(43)

Tabel 6 juga menunjukkan imago Xanthocampoplex sp. yang diberikan pakan larutan madu ( P2 dan P3) lebih panjang umurnya diikuti dengan imago yang diberikan pakan larutan gula (P4 dan P5) dan air (P1). Hal ini diduga karena madu mempunyai kandungan fruktosa dan glukosa juga bersifat alami karena tanpa diolah, sehingga lebih disukai parasitoid. Kandungan fruktosa dan glukosa yang terdapat pada madu mampu memberi energi bagi parasitoid sehingga mampu memperpanjang lama hidupnya. Menurut Nelly dan Damayanti (2008), parasitoid yang diberi pakan larutan madu, lama hidupnya dua atau tiga kali lebih lama dibandingkan dengan hanya diberi akuades. Hasil penelitian Salmah et al. (2012) juga menunjukkan bahwa larutan sukrosa dengan konsentrasi 20% merupakan pakan yang lebih baik dari pada larutan madu dengan konsentrasi 50% terhadap penambahan umur dan kesuburan parasitoid.

(44)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Persentase terbentuknya kokon tertinggi (70,00%) terdapat pada perlakuan parasitoid yang diberi pakan 30 ml madu + 70 ml air (P3) dengan inang larva C. sacchariphagus ( 48,00%) dan terendah (0,00%) yang diberi pakan hanya air (P1) dengan inang larva P. castaneae (34,67%)

2. Persentase imago yang muncul tertinggi (63,33%) pada perlakuan parasitoid yang diberi pakan 30 ml madu + 70 ml air (P3) dengan inang larva C. sacchariphagus (44,00%) dan terendah (0,00%) yang diberi pakan hanya air (P1) dengan inang 89larva P. castaneae (33,33%).

3. Persentase larva inang menjadi imago tertinggi (18,67%) terdapat pada larva

C. sacchariphagus dan terendah (6,67%) pada larva P. castaneae.

4. Umur imago parasitoid paling lama (13 hari) pada perlakuan parasitoid yang diberikan pakan 30 ml madu + 70 ml air (P3) dan paling singkat (2,8 hari) pada pakan hanya air (P1).

Saran

Perbanyakan parasitoid Xanthocampoplex sp. di laboratorium lebih baik

diberi pakan larutan madu ( 30 ml madu + 70 ml air) dengan inang

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Adji, S. 2004. Khasiat dan Manfaat Madu Herba. Agromedia Pustaka. Jakarta. Akbar, M.E.dan D. Buchori. 2012. Pengaruh Lama Ketiadaan Inang terhadap

Kapasitas Reproduksi Parasitoid Snellenius manilae Ashmead (Hymenoptera : Braconidae). J. Entomol. Indon.9(1):14–22.

Balfas, R dan Wikardi, E.A., 1983. Inventarisasi Musuh Alami dan Studi Biologi Parasa lepida Cramer (Lepidoptera: Limacodidae). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Prosiding Temu Ilmiah Entomologi Perkebunan Indonesia. Hlm. 118-126.

Borror, D.J., Charles A. T dan Norman F.J., 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Diyasti, F. 2013. Waspasda Penggerek Batang Tebu Raksasa.

[ 9 Maret 2014 ].

Driesche, R. V., M. Hoddle, dan T. Center. 2008. Control of Pest and Weeds by Natural Enemies. Blackwell Publishing. Australia.

Food and Health Inovation. 2012. Honey: Nature’s Natural Sweetener Review of Recent Scientific Literature Linking Consumption with Health Benefits. Hlm. 1-6.

Fernandes, L.B.D.R., Manoel M.D. F., Marcelo A. F., and Angelica M. P. D. 2010. Ichneumonidae (Hymenoptera) parasitoids of Lepidoptera caterpillars feeding on Croton floribundus Spreng (Euphorbiaceae). Rev. Bras. Entomol.54(2):263-269.

Goebel, R., E. Etabone, J. Rochat, dan E. Fernandes. 2001. Biological Control of The Sugarcane Stem Borer Chilo Sacchariphagus (Lep: Pyralidae) in Reunion Island: Current and Future Studies on the Use of Trichogramma

spp. Proc. S. Afr .Sug.Technol. Ass.75:171-174.

Gunduz, E.K., A. Gulel, O.Varer Isitan, A. Boz, dan O. Cesuer. 2009. Effects of Sugar on Lipid, Glycogen, and Total Sugar Levels of a Female Parasitoid,

Bracon hebetor (Say) (Hymenoptera: Braconidae). Tubitak 34:343–347.

Hasibuan, M, L dan Panjaitan, R. M. M, 2010. Hama Tanaman Tebu dan Early Warning System (EWS), Kumpulan Makalah Inhouse Training Budidaya Tebu di Pabrik Gula Sei Semayang 11 s.d 14 Januari 2010 PTP. Nusantara II (Persero) Medan. Hlm 1-6.

(46)

chilotraeae Nagaraja dan Nagarkatti (Hymenoptera : Trichogrammatidae).

J. Agroland. 15(1):27–21.

Indrawanto, C., Purwono, Siswanto, M. Syakir, dan W. Rumini. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Eska Media. Jakarta.

Koswara, S.2007.Makanan Bergula dan Kerusakan Gigi. http:/www. ebookpangan .com. [20 Februari 2014].

Lightle, D., M. Ambrosino., dan J. C. Lee. 2010. Sugar in Moderation : Sugar Diet Affect Short – Term Parasitoid Behavior. Physiol. Entomol.10:1–7.

Nelly, N. dan D. Buchori. 2008. Pengaruh Pakan terhadap Lama Hidup dan Kebugaran Imago Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae).J. Entomol. Indon.5(1):1–9.

Nelly, N., Yunisman, dan Y. Rahmawati. 2011. Pengaruh Instar Larva Inang

Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae) terhadap Keberhasilan Hidup Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron

(Hymenoptera: Ichneumonidae). J. Entomol. Indon. 8(1):36–64.

Penteado, A. M. 2006. Aiura, A New Genus of Campoplegnae (Hymenoptera : Ichneumonidae) from Brazil. J. Biol. Sao Carlos, 66(2):755-758.

Prabowo, H., N. Asbani, dan Supriadi. 2013. Penggerek Batang Bergaris ( Bojer) Hama Penting Tanaman Tebu Chilo sacchariphagus. InfoTek Perkebunan 5(5):18-19.

Purnomo. 2006. Parasitisasi dan Kapasitas Reproduksi Cotesia flavipes (Hymenoptera : Braconidae) pada Inang dan Instar Larva yang Berbeda di Laboratorium. J. HPT. Tropika 6(2):87–91.

Ratna, E. S. 2008. Efisiensi Parasitasi Inang Spodoptera litura oleh Endoparasitoid Snellenius ashamead di Laboratorium. J.HPT.Tropika 8(1) :(8–16).

Rousse, P. dan C. Villement. 2012. Ichneumons in Reunion Island: A Catalogue of the Local Ichneumonidae (Hymenoptera) Species, including 15 New Taxa and a Key to Species. Zootaxa 3278:1-57.

Salmah, M., M. W. Basri, dan A. B. Idris. 2012. Effects of Honey and Sucrose on Longevity and Fecundity of Apanteles metesae (Nixon), a Major Parasitoid of the Oil Palm Bagworm, Metisa plana (Walker). Sains Malaysia 41(12):1543–1548.

(47)

Saragih, R., Zuraida B., dan Zainal A., 1885. Influences of the Parasitoid's Release for Intensity of the Giant Stem Borer Phragmatoecia castaneae

in the Sugar Cane Plantation of PT Perkebunan IX. Prosiding Temu Ilmiah Entomologi Perkebunan Indonesia. Hlm. 147-152.

Siekmann, G., B. Tenhumberg, dan M. A. Keller. 2001. Feeding and Survival in Parasitic Wasps: Sugar concentration and Timing Matter.Oikos 95(3):425 – 430.

Suarez, J. M. A., Sara T., Stefania R., Enrico B., dan Maurizio B. 2010. Contribution of Honey in Nutrition and Human Health. J. Nutr. Metab.3:15-23.

Sudarsono, H. 2011. Kajian Beberapa Karakteristik Biologi Penggerek Batang Tebu Berkilat Chillo auricilius dan Parasitoidnya (Trichogramma chilonis). Prosiding. Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdiaan Kepada Masyarakat. 21 September 2011.Hlm.33 – 38 .

Untung, 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu, Gajah Mada University Press. Yoyakarta.

Way, M. J., F. R. Goebel and D. E. Conlong. 2004. Trapping

Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Crambidae) in Sugarcane using Synthetic Pheromones. Proc. S. Afr. Sug. Technol. Ass. 78:291-296.

(48)

Lampiran 1. Bagan Penelitian

(49)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Transformasi Data Arc Sin √x + 0,5

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(50)

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01 Ket

Lampiran 3. Data Persentase Imago Xanthocampoplex sp. yang muncul FK= 41497,6

KK= 0,97%

(51)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Transformasi Data Arc Sin √x + 0,5

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(52)
(53)

Lampiran 3. Data Persentase Larva inang yang Menjadi Imago

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III Transformasi Data Arc Sin √x + 0,5

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(54)

Daftar Sidik Ragam

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01 Ket

Perlakuan 9 2139,37 237,71

P (Jenis Pakan) 4 1003,36 250,84 1,74 2,87 4,43 tn I( Jenis Inang) 1 998,34 998,34 6,94 4,35 8,1 *

PxI 4 137,67 34,42 0,24 2,87 4,43 tn

Galat 20 2875,61 143,78

Total 29 5014,98

FK= 9006,662

KK= 2,08%

Uji Jarak Duncan Jenis Inang

SY 0,80 4,31 16,20

I 2,00 3,00

SSR 0.05 2,95 3,09

LSR 0.05 2,36 2,47

Perlakuan I1 I2

Rataan 6,67 18,67

a b

(55)

Lampiran 4. Umur Imago Xanthocampoplex sp

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(56)

Uji Jarak Duncan Jenis Pakan Parsitoid

SY 0,32 1,88 7,01 8,65 9,96 11,94

I 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00

SSR 0.05 2,95 3,09 3,19 3,25 3,30

LSR 0.05 0,95 0,99 1,02 1,04 1,06

Perlakuan P1 P4 P5 P2 P3

Rataan 2,83 8,00 9,67 11,00 13,00

a b

c d

(57)

Lampiran 9. Data rataan suhu dan kelembaban udara harian di laboratorium saat perlakuan dan pengamatan.

(58)

Lampiran 9. Foto Penelitian

(59)
(60)
(61)

Kokon Xanthocampoplex sp.

(62)

Imago Xanthocampoplex sp. yang Muncul

Gambar

Gambar 1. Larva Xanthocampoplex sp.
Gambar 4. Telur Phragmatoecia castaneae
Gambar 5. Larva  Phragmatoecia castaneae
Gambar 8. Gejala serangan  Phragmatoecia castaneae
+7

Referensi

Dokumen terkait

a.KUD-KUD yang akan diikutsertakan dalam pelaksanaan Kredit Luaha Tani pertama diseleksi oleh Kepala Kantor Departemen Koperasi Kabupaten/Kodya sesuai dengan kriteria

inspect h323 h225 inspect h323 ras inspect netbios inspect rsh inspect rtsp inspect skinny inspect esmtp inspect sqlnet inspect sunrpc inspect tftp

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian penyuluhan tentang sadari mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sikap wanita usia 20- 49 tahun untuk melakukan sadari,

Keadaan ini akan mewujudkan corak permintaan dan penawaran yang boleh membawa kepada ketidakmampuan golongan miskin dalam mendapatkan barangan atau produk yang

Penelitian ini bertujuan menilai manfaat ekstrak etanol ciplukan (EEC) terhadap penurunan kadar TSH tikus jantan galur Wistar yang meningkat di atas batas nilai rujukan

Pada pengukuran kadar kolesterol total sebelum dan setelah perlakuan didapatkan bahwa kelompok yang diberi diet tinggi lemak (kelompok 2) mengalami peningkatan kadar

Sehubungan dengan telah selesainya koreksi aritmatik yang dilakukan oleh Pokja V Unit Layanan.. Pengadaan Barang/Jasa Kabupaten Musi Banyuasin

Penelitian-penelitian tentang pengaruh budaya perusahaan terhadap komitmen organisasi terhadap kinerja diantaranya penelitian dari Fauzi dkk (2016) yaitu ada