• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika politik Islam Sasak; tuan guru dan politik pasca orde baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika politik Islam Sasak; tuan guru dan politik pasca orde baru"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA POLITIK ISLAM SASAK;

TUAN GURU DAN POLITIK PASCA ORDE BARU

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh

MUH. SAMSUL ANWAR NIM: 105033201139

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAKSI

Muh. Samsul Anwar

Dinamika Politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Pasca Orde Baru

Skripsi yang berjudul “Dinamika Politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Pasca Orde Baru” ini membicarakan tentang bangkitnya Tuan Guru dalam kancah politik, setelah terjadinya reformasi politik atau pada masa pasca Orde Baru. Karena pada masa Orde Baru Tuan Guru hanya dijadikan sebagai juru kampaye atau sebagai lumbung suara pada hajatan lima tahunan. Pada tingkatan legislatife maupun eksekutif pun Tuan Guru tidak memiliki peran apa-apa. Post-post tersebut diisi oleh para kaum Menak. Tanpa memperoleh jabatan apapun Tuan Guru hanya sebagai legitimasi pada tataran keagamaan.

Munculnya reformasi politik pada pasca Orde Baru, memberikan ruang kepada Tuan Guru dalam terjun di dunia politik. Pada pasca Orde Baru ini kemudian memberikan dinamika baru dalam politik masyarakat Sasak dan juga bangkitnya politik Islam, yang diwakili oleh para Tuan Guru.

Pencalonan Tuan Guru “Bajang” pada Pilkada 2008 di Nusa Tenggara Barat memberikan bukti bahwa tokoh agama tidak hanya sebagai pemimpin keagamaan, melainkan juga dapat memimpin pemerintahan. Dalam pencalonan Tuan Guru “Bajang” ini juga memberikan warna pada dinamika politik pada masyarakat Sasak yang sebelumnya selalu dikuasai oleh golongan Menak.

Kemenangan Tuan Guru Bajang ini bukan hanya dikarenakan faktor ketokohan yang dimilikinya, melainkan juga memiliki modal sosial yang cukup, memiliki masa yang jelas dan momentum yang tetap. Karena dari semua calon yang ada memiliki keterlibatan korusi. Sehingga Tuan Guru Bajang adalah calon alternatife yang paling bersih dari calon-calon yang ada.

Skripsi ini, memperkuat temuan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2010, yang dilakukan di Lombok Timur. Yaitu tentang pergeseran peran Tuan Guru yang dulunya sebagai pendakwah kemudian bergeser pada pasca Orde Baru menjadi politisi.

(6)

KATA PENGANTAR

Al Hamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puja dan puji syukur kepada Allah

Subhanahu wa ta’ala atas karunia dan kesempatan mengembangkan potensi diri

dan keilmuan, sehingga skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)

Prodi Ilmu Politik ini, selesai dengan baik, walaupun melalui proses yang

panjang. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan keharibaan

junjungan alam Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam atas syafaat-Nya.

Selanjutnya berkaitan dengan penyelesaian Skripsi ini, penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh sivitas

akademika, instansi baik lembaga maupun perorangan yang telah membantu

dalam proses penyelesaian skripsi ini. Ucapan trima kasih penulis kepada :

Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berserta jajarannya.

Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak

Dr. Hendro Prasetyo, selaku Wakil Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ibunda Dra. Hj. Wiwi Siti Sajaroh, M. Ag., selaku Pembantu Dekan (Pudek).

Bapak Ali Munhanif, Ph.D selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik sekaligus Pakar

Politik Islam Timur Tengah. dan Bapak M. Zaki Mubarok M.Si, selaku Sekretaris

Jurusan sekaligus Pengamat Politik. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik (FISIP) yang telah memberikan senjata inspirasi, desir angin

(7)

Secara khusus terima kasih saya haturkan kepada pembimbing skripsi saya

Bapak Ahmad Bakir Ihsan, M. Si, yang sedang dalam proses penyelesaian studi

S3 di UI, senantiasa mengoreksi, sabar dan menunggu penulis dalam penyelesaian

skripsi ini. Semoga sukses pak.

Kedua orang tua penulis yang salalu sabar dalam setiap pengkabaran

keadaan selalu menanyakan kepada penulis kapan penulis wisuda. Adik-adik

penulis yang setiap kali menelpon memberikan suport dan semangat untuk segera

menyelesaikan study.

Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru ” Bajang”, Dr. Zainul Majdi,

M.A, yang sekaligus Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (NW) yang

memberikan pendidikan di Aliyah sehingga memberikan watak dan karakter yang

tangguh. Dan tidak lupa Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) NW Pancar

berserta para Tuan Guru, Ustaz dan Ustazah; TGH Abdul Hamdi, Ust Amin, Ust

Abdul Hadi, Ust Anshari, Ustzh Zakiya,Ustzh Ella dan kawan-kawan alumni

MAK NW Pancor terwadah dalam FORKOMA (Forum Komunikasi Alumni

MAK NW Pancor).

Sahabat-sahabat penulis dan seluruh aktivis Pergerakan Mahasiswa

Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat. Seluruh senior, alumni dan keluarga

besar PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum

(KOMFUSPERTUM); PMII Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (KOMFISIP),

FORUM KAJIAN CIPUTAT SCHOOL (Revolusi Kesadaran); Imam Muslim,

Gus Jamal, Ust. Shoffi, , Januari A ”Tuyul”, Bimbim, Habib Ahyat, Alysiah, Luna

(8)

Cak Kholid, Mas Lum’an, Mas Syamsuddin, Putro (gitas fortuna band), Fajar,

Yudha, Iby, Piyan, Yasir, Johan, Adriayansah (presiden sosiologi). Mahasiswa

Ilmu Politik Angkatan 2005 (FUF-FISIP). Dan saudara-saudaraku sedaerah yang

terkumpul dalam Ikatan Mahasiswa Sasak (IMSAK) Jakarta; Amid, Daut, Muid,

Akib, Zuh, Lina, Uyi, Enong, Fauzan, Tina, Maria dan teman-teman IMSAK di

Madinatunnajah, Darunnah, Ibnu Kholdun, STT, Surabaya, Yogyakarta, Bandung

dan Bogor.

Akhirnya, kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, penulis memohon semoga

mereka semua mendapat balasan yang mulia dan pahala yang berlipat ganda di

sisi-Nya. Terakhir semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi kontribusi

bagi khazanah keilmuan politik Islam, serta menjadi amal shalih di hadapan Allah

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ……….. i

KATA PENGANTAR ………... ii

DAFTAR ISI ………... iv

BAB I : PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah ……….. 1

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….. 12

C.

Tujuan Penelitian ………... 12

D.

Metode Penelitian ……… 13

E.

Kajian Terdahulu yang Relevan ……….………... 14

F.

Sistematika Penulisan ……….. 16

BAB II : TUAN GURU DAN POLITIK

A.

Agama dan Politik ……….. 17

B.

Tuan Guru sebagai Elit Lokal ………..… 23

C.

Tuan Guru dan Politik ………... 30

BAB III : SEJARAH SOSIAL-POLITIK LOMBOK

A.

Sosio-kultural dan Religiusitas Masyarakat Sasak Lombok …………... 36

B.

Tuan Guru dan Konstelasi Politik Orde Baru ……….. 44

C.

Dinamika Politik Islam Pasca Orde Baru ……… 49

BAB IV : PERAN POLITIK TUAN GURU PASCA ORDE BARU

A.

NW dan Pusaran Perubahan Politik ……….55

(10)

C.

Tuan Guru dan Pilkada :

1.

Kemenangan Tuan Guru “Bajang” dalam Pemilihan Gubernur NTB

pada 2008 ………... 67

BAB V : PENUTUP

A.

Kesimpulan ………..… 72

B.

Saran ………... 73

DAFTAR PUSTAKA

………... 74

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama1 apapun yang datang ke dunia ini, tidak memasuki ruang vakum

budaya2. Katolik datang ke Timur Tengah dan kemudian berkembang di wilayah

Barat juga setelah adanya budaya lokal setempat. Protestan berkembang di

wilayah Barat, juga ada Katolik yang establish di daerah itu. Agama Hindu yang

berkembang di Anak Benua India, juga sudah terdapat keyakinan local yang kuat.

Agama Budha berkembang di Anak Benua India, juga sudah ada agama Hindu

yang sudah mengakar. Demikian juga, Islam datang ke wilayah Jazirah Arab,

maka sudah mengakar dan berkembang keyakinan-keyakinan agama dari para

Nabi sebelumnya3.

Ketika Islam datang ke tanah Arab, maka keyakinan-keyakinan lokal atau

agama-agama lokal (tribal religion) sudah mengakar dan berbudaya, baik yang

1

Dalam bahasa Arab agama disebut dengan din, dan religi dalam bahasa Eropa. Agama berasal dari kata Sankrit. Ada pendapat mengatakan bahwa agama terdiri dari dua kata, yaitu a artinya tidak dan gama artinya pergi. Jadi artinya tidak pergi, tetap di tempat, tidak diwarisi turun-temurun. Untuk itu agama memiliki sifat yang demikian. Ada juga pendapat mengatakan agama adalah teks atau kitab karena agama-agama memang memiliki kitab-kitab suci. Selanjutnya ada juga yang berpendapat bahwa agama adalah tuntunan. Karena memang agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya. Religi berasal dari bahasa Latin. Satu pendapat berasal dari kata relegere yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain, berasal dari kata religare yang artinya mengikat. Artinya bahwa agama pun mengikat manusia dengan Tuhan. Lihat Harun Nasutian, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, ( Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), cet I, h. 1

2

Komaruddin Hidayat, Ketika Agama Menyerah, dikutip oleh Nur Syam dalam “Pengantar”, M. Ahyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumi Sasak, (Nusa Tenggara Barat; STAIIQH, 2008), cet. I, h. xiii

3

(12)

barbasis pada agama Yahudi, Majusi, atau Masehi4. Oleh karena itu agama yang

baru datang harus berdialog dengan budaya lokal setempat. Dan perjumpaan ini

nantinya yang akan saling mempengaruhi dan bahkan juga berujung pada

ketegangan; agama yang baru akan mempengaruhi budaya lokal (keyakinan

lokal), atau begitu juga sebaliknya budaya lokal mempengaruhi agama yang baru

datang.

Hal ini juga terjadi kepada agama-agama yang ada di Nusantara. Ketika

agama Hindu datang ke Nusantara pada abad 55, maka sudah ada bertebaran ke

berbagai wilayah dengan macam kepercayaan dan budaya dalam corak yang

animistik6 dan dinamistik7. Ketika agama Budha datang ke Nusantara dan tempat

lain di belahan Timur, maka agama Hindu dan kebudayaan lokal sudah mengakar

kuat. Hampir-hampir tidak dijumpai ruang hampa budaya dalam kehidupan

manusia8. Dan bisa dipastikan bahwa agama-agama yang mengalami perjumpaan

4

M. Ahyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumi Sasak, h. xiv

5

Bahkan ada yang berpendapat bahwa sebelum abad 5 sudah ada agama lokal yang dipercayai di Nusantara ini. Agama local itu bernama Kapitaya, Sang Yang Tu. Yaitu agama yang meyakini adanya kekuata yang berada di luar manusia, tetapi belum berwujud atau termanifestasikan dalam bentuk benda. Dalam agama ini terdapat dua kekuatan besar. Pertama kekuatan baik yang kemudian disebut dengan Tu. Misalnya Tumpeng, Tuhan, dan lain-lainnya yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Kedua, kekuatan jahat yang kemudian dinamakan Han, yang kemudian termanifestasikan menjadi Hantu. Yaitu kekuatan gaib jahat. Hasil diskusi yang disampaikan oleh Agus Sunyoto, yang diselenggarakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di Situ Gintung pada Jum’at sampai Sabtu, 15-17 April 2007.

6

Animistik adalah agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai roh. Roh dalam masyarakat primitif belum berbentuk roh dalam paham masyarakat yang lebih maju. Roh bagi masyarakat primitif tesusun dari materi halus sekali yang dekat menyerupai uap. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,( Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), cet I, h. 4

7

Dinamistik adalah kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Yaitu kekuatan gaib yang mempengaruhi kehidupan manusia. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,( Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), cet I, h. 1

8

(13)

dengan budaya lokal atau kepercayaan lokal di mana ia berpijak ini yang

kemudian disebut dengan integrasi kultural.

Begitu pula ketika agama Islam datang ke Nusantara ini9, maka agama

Hindu, Budha dan agama-agama lokal sudah ada, mengakar dan berkembang ke

seluruh penjuru Nusantara. Sehingga perjumpaan agama Islam dengan budaya

Nusantara memunculkan apa yang disebut dengan singkretisme dan akulturasi10

yang menjadi “pembeda” dengan Islam dari daerah aslinya, Mekkah dan

Madinah. Islam di Nusantara disebut dengan – meminjam istilah Azyumardi Azra

– sebagai Islamique peripheque (“Islam pinggiran”) bahkan disebut juga “Islam

yang tidak murni”. Sedangkan Islam di Timur Tengah disebut Islamic core(Islam

pusat, inti). Atau ada juga menyebut Islam di Timur Tengah (Mekkah dan

Madinah) sebagai great tradition (tradisi besar) dan Islam di Nusantara disebut

little tradition (tradisi kecil)11.

Datangnya agama Islam ke Nusantara ini nyaris tanpa ketegangan. Oleh

para ahli ditengarai bahwa gelombang pertama transmisi Islam ke Nusantara

melalui para pendakwah sufi yang datang ke tanah air untuk kepentingan

berdakwah dan berdagang. Pola sufistik ini dijadikan pintu masuk untuk

menyebaran agama di tengah-tengah masyarakat. Dengan pendekatan sufistik

9

Sejarah masuknya Islam ke Nusantara ada beberapa teori. Yaitu teori dari India, teori dari Arab, teori dari Persia dan teori dari Cina. Lebih lengkapnya lihat Noor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, ( Yogyakata; Ar-Ruzz Media, 2007); Azyumardi Azra, Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & VIII, ( Jakarta; Kencana Media, 2007), cet. III

10

Singkretisme dipakai untuk menggambarkan berbagai upaya untuk memadukan berbagai unsur di dalam agama menjadi satu kesatuan. Sedangkan akulturasi terjadi ketika menghasilkan pola baru yang khas. Dikutip dalam Nur Syam, Islam Pesisir, ( Yogyakarta; LKiS, 2005), cet. I, h. 11

11

(14)

inilah, pesan-pesan yang dibawa oleh para pendakwah saat itu menemukan

tempatnya di kalangan masyarakat lokal12. Artinya bahwa masyarakat tetap bisa

menjadi Islam tanpa harus kehilangan identitas lokalnya. Misalnya Islam yang

bernegosiasi dengan budaya local Sunda, Jawa, Sasak, Batak, Dayak dan lain-lain.

Mereka akan tetap dengan tradisi yang dianut dan menjadi Islam dengan pesona

budaya lokalnya masing-masing.

Agama apapun bahkan tak terkecuali Islam ketika berdialog dengan

budaya local, maka ia akan menjadi agama yang singkretis dan akulturatis.

Singkretis dan akulturatis, hingga tingkat tertentu, berfungsi membuat agama

memiliki makna spiritual dan bernilai social13.

Begitu juga ketika Islam datang ke Lombok14, dengan bentuk budaya lokal

atau keyakinan lokal (agama lokal)15 yang sudah mentradisi kuat di masyarakat Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, “Tashwirul Afkar”, edisi nomer 23 tahun 2007, h. 2

13

Asnawi, Respon Kultural Masyarakat Sasak terhadap Islam, dalam Jurnal Studi Islam dan Masyarakat, “Ulumuna”, volume IX, edisi 15 nomer I, 2005, h. v

14

Ada yang berpendapat bahwa Lombok berasal dari kata Lomboq, yang artinya lurus. Nama Lombok ini juga dijumpai dalam Negarakertagama, dengan menyebut Lombok Mirah untuk Lombok Barat da Sasak Adi untuk Lombok Timur. Lihat Fawaizul Umam, Dari Terma ke Stigma; Geneologi Islam Waktu Telu Lombok Nusa Tenggara Barat, dalam Jurnal Penelitian Direktorat Perguruan Tinggi Islam, “ISTiQRO’, volume 4, nomor 01, 2005, h. 280

15

(15)

Wetu Telu adalah orang Sasak yang meski mengaku sebagai muslim, tetapi

terus memuja roh para leluhur, berbagai dewa roh dan lain-lain. Dalam

kehiduapan sehari-hari mereka cenderung kepada budayaan. Tidak ada

penggarisan batas yang jelas-tegas antara agama dan adat. Sehingga anatsir adat

bercampur-baur dengan agama dalam sistem kepercayaan mereka18. Berbeda

dengan Waktu Lima sebagai lawan dari Waktu Telu. Islam Waktu Lima memiliki

komitmen yang begitu tinggi pada syari’ah Islam sehingga ketaatan kepada

aturan-aturan adat lokal menipis dan bahkan ditinggalkan19.

Inilah yang kemudian disebut dengan bagian dari Islam Indonesia. Yaitu

Islam yang mengakomodir, bernegosiasi, berdialog dan bahkan berdialektika

dengan budaya lokal setempat. Sehingga coraknya akan berbeda antara daerah

yang satu dengan daerah yang lain, tergantung letak geografis, budaya, etnik dan

bahasanya.

Dari sinilah muncul akar-akar geneologis hubungan Islam dan politik di

Indonesia. Yaitu pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di Indonesia ini

dengan dialog yang bermakna dengan realitas sosio-kultural dan politik setempat,

lain juga mengatakan bahwa nama Sasak adalah nama kerajaan yang pertama-tama ada di pulau Lombok. Tempatnya di bagian barat daya dari pulau Lombok. Lebih lengkapnya lihat Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pecatatan 1977/1978, h. 7-8

17 Dalam bahasa Sasak, Wetu atinya waktu dan telu artinya tiga. Jadi waktu tiga. Ada

pendapat yang mengatakan bahwa Wetu berasal dari kata metu, artinya lahir (reproduksi), telu artinya tiga. Jadi wetu telu artinya tiga macam terjadinya reproduksi, yaitu melahirkan (menganak), seperti manusia dan hewan mamalia; bertelur (menteluk), seperti burung; berkembang biak dari benih atau buah (mentiuk), seperti biji-bijian, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Lihat Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 98-99; Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet I, h. 8

18

Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet I, h. 7-8

(16)

terlibat dalam politik. Dapat dikatakan bahwa Islam, sepanjang perkembangannya

di Indonesia, telah menjadi bagian yang inheren dari sejarah politik negeri ini20.

Serikat Islam (SI) misalnya, adalah partai massa yang pertama di

Indonesia yang didirikan pada tahun 1912. Walaupun ketika itu SI tidak dianggap

sebagai partai politik karena peraturan yang berlaku pada saat itu, Hindia Belanda,

- walaupun pada 1919 peraturan itu dicabut. Serikat Islam inilah adalah partai

pertama yang secara ideologis dan sosiologis menyediakan wadah bagi

pergerakan politik secara nasional, yang merangkul sejauh mungkin anak negeri

di Hindia Benda21.

Begitu juga di Lombok, pada masa penjajahan Hindia Belanda (1897),

para Tuan Guru mengadakan pemberontakan dan berperang melawan Belanda -

walaupun corak Islam pada waktu itu adalah tariqat (sufi) – seperti misalnya Tuan

Guru Haji Bangkol di Praya, Tuan Guru Haji Muahammad Amin di Pejeruk, Tuan

Guru Haji Muhammad Sidiq di Karang Kelok, Tuan Guru Haji Arsyad di Gtap,

Tuan Guru Haji Munawar di Gebang, Tuan Guru Haji Munir di Karang Badil,

Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Pancor dan lainnya22.

Begitu juga pasca kemerdekaan, politik Islam mempunyai peran yang

urgent dalam membangun negeri ini. Pembentukan Badan Penyelidikan

Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beberapa anggotanya

adalah para aktivis politik Islam atau Kyai atau Tuan Guru, bertugas merumuskan

20

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transportasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, diterjemahkan oleh Ihsan Ali Fauzi, (Jakarta; Paramadina, 1998), cet. I, h. 21-22

21

Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat; Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta; LP3ES, 1996), cet. II, h. 1-2

22

(17)

ideologi dan konstitusi Negara, adalah bukti dari keterlibatan mereka. Dan juga

para aktivis politik Islam ini juga “dipakai” oleh Angkatan Darat sebagai

penyeimbang dan bahkan melawan Soekarno dan Partai Komunis Indonesia

(PKI).

Pada masa Orde Baru, politik Islam menjadi kekuatan yang dianggap

“berbahaya” oleh pemerintahan Orde Baru. Sehingga politik Islam tidak diberikan

ruang dan dipersempit ruang geraknya. Pemerintah Orde Baru memberlakukan

beberapa kebijakan dalam mempersempit ruang gerak aktifitas politik Islam,

diantaranya, setiap organisasi kemasyarakatan (ormas) atau partai politik harus

berasaskan ideologI tunggal, yaitu Pancasila. Ini yang kemudian disebut oleh

Bahtiar Effendy dengan kebijakan depolitisasi Islam23. Akan tetapi ini yang

membuat Islam Politik berubah menjadi apa yang disebut dengan Islam Kultural.

Islam kultural mengandung pengertian bahwa sosialisasi dan institusosialisasi

ajaran Islam dilakukan dalam upaya-upaya yang menekankan pada perubahan

kesadaran dan tingkah laku umat tanpa campur tangan Negara dan tanpa

perubahan sistem nasional menjadi sistem Islami24. Islam kultural itu sendiri pada

dasarnya bukan konsep yang apolitis, melaikan mengandung dimensi dan muatan

politis. Hanya saja dalam Islam kultural dimensi dan muatan politiknya tidaklah

diartikulasikan dengan siapa mendapat apa (who gets what) dalam meraih

23

Menurut Bahtiar Effendy, depolitisasi Islam yang dimaksud adalah depolitisasi politik bukan Islam. Akan tetapi karena Islam bagian dari kehidupan politik nasional, berimbas sebagai grand design politik Orde Baru. Lihat Bahtiar Effendi, (Re) Politisasi Islam; Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik, (Bandung; Mizan Media Utama, 2000), cet. I, h. 108

24

(18)

kekuasaan. Atau dalam bahasa lain dimensi dan muatan politiknya tidak terputus

pada bentuk politik praktis yang bersifat temporer, instrumental dan partisan

melaikan melalui apa yang David Easton sebut dengan politik alokatif. Yaitu

alokasi otoritatif nilai-nilai tertentu dalam suatu masyarakat untuk kepentingan

masyarakat tersebut secara menyeluruh25.

Pasca Orde Baru atau disebut juga dengan reformasi politik pada tahun

1998 di Indonesia ditandai oleh tiga hal, yaitu demokrasi yang berlangsung cepat

dan dinamis; civil society yang tumbuh sebagai kekuatan penyeimbang Negara;

dan proses integrasi masyarakat Indonesia ke dalam kapitalis dunia seraca

massif26. Setelah lengsernya rezim otoriter Orde Baru, berdampak pada dinamika

politik lokal yang melahirkan aktor, inisiator, dan budaya lokal dalam memainkan

peranan di dalam politik lokal27. Ini yang kemudian disebut dengan desentralisasi

dari kekuasaan pusat ke daerah, yang dibarengi dengan tuntutan otonomi daerah

maupun otonomi khusus yang memberi kesempatan pada daerah mengelola

nasibnya sendiri. Dan pasca Orde Baru juga memperlihatkan fenomena

menguatnya gejala politik identitas yang berwujud dengan kekerasan komunal

serta rivalitas politik kekuasaan di daerah-daerah28. Tentu, ini memberikan ruang

kesempatan kepada elit baru lokal (masyarakat biasa, elit tradisional, Tuan Guru,

25

Ahmad Al-Fajri, Delima Islam Kultural, dalam Jurnal Politik Islam, volume II, 2007, Laboratorium Politik Islam (LPI) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, h. 38

26

Irene Hiraswati, dkk, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur, dalam Ringkasan Laporan Penelitian Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010, h. 1

27

Anis Baswedan, “Pengantar”, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, Politik Lokal di Indonesia, (Jakarta: KITLV dan YOI, 2007), cet. I, h. Ix-x

28

(19)

dan lain-lain) duduk dalam posisi-posisi politik yang selama ini dinikmati kaum

manak (bangsawan).

Secara psikologis dan kultural, tipologi masyarakat Sasak cenderung

bersifat paternalistik. Di mana figur atau tokoh kharismatik historis menjadi

kemestian mutlak sebagai tempat menyandarkan masalah-masalah sosial dan

agama. Tokoh ini menjadi sentral dan tempat lahir serta bergeraknya ide, wacana

dan agenda perubahan dan pembangunan sosial, bahkan pembentukan

mental-kognitif dan spiritual masyarakat disandarkan pada tokoh-tokoh kharismatik

tersebut29.

Dalam bidang politik, terdapat tokoh-tokoh yang mewarisi darah biru

politik kerajaan, sehingga ditemukan beberapa istilah gelar keturunan, seperti

Datu, Raden, Lalu, Baiq30. Dan pada saat setelah diberlakukannya otonomi daerah

oleh pemerintah pusat, mereka tampil sebagai pemimpin daerah. Mereka inilah

yang menjadi harapan masyarakat untuk melakukan perubahan dan pembangunan

dalam kehidupan sosial dalam segala aspek, baik ekonomi, pendidikan, budaya

dan lain sebagainya. Harapan tersebut terbukti dengan didominasi jabatan

29

Fahurrozi, Desertasi 2010, Dakwah Tuan Guru dan Transposmasi Sosial di Nusa Tenggara Barat. Desertasi ini membahas peran Tuan Guru dalam perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya dalam masyarakat Lombok Timur, h.

30

(20)

pemerintah oleh para Lalu (kaum menak) mulai dari Gubernur, Bupati, Kepala

Desa, dan jabatan birokrat lainnya.

Dalam bidang keagamaan terdapat Tuan Guru31 yang memainkan peran

sebagai pelaksana masalah suprastruktur masyarakat. Dari Tuan Guru ini lahir

kebijakan dan pemahaman agama yang dikomsumsi oleh masyarakat Sasak dalam

menjalankan ajaran Islam. Dalam perkembangannya sebagai umat Islam,

masyarakat Sasak kemudian menjadi masyarakat yang paternalistik, fanatik dan

memiliki kultus yang tinggi terhadap Tuan Guru secara dogmatis, eksklusif apatis,

fanatik dan militan. Semua yang dikatakan Tuan Guru dianggap sebagai ajaran

Islam itu sendiri secara an sich. Semua yang dipeintahkan Tuan Guru menjadi

kemestian yang harus dijalani, sebab jika tidak, berarti tidak mematuhi ajaran

Islam32. Dengan demikian sikap masyarakat Sasak yang demikian telah dibentuk

oleh para figur historis secara doktrinal dan kultural. Tuan Guru menjadi figur

yang disegani dan diagung-agungkan. Hal ini disebabkan oleh mitos kekeramatan

yang dimiliki Tuan Guru, yang sengaja disebarluaskan untuk membius dan

menghegemoni masyarakat, sehingga status ketuanan gurunya menjadi abadi.

Hegemoni terhadap masyarakat Sasak dimulai dari hegemoni teologis sampai

pada hegemoni kehidupan sosial-politik.

31

Tuan Guru (bahasa Jawa: Kyai), terdiri dari kata Tuan artinya ia sudah menunaikan ibadah haji; dan Guru adalah seorang yang memiliki kapasitas ilmu yang luas dan mengajarkannya kepada masyarakat. Jadi Tuan Guru adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kapasitas ilmu pengetahuan agama yang luas. Dalam istilah Azyumardi Azra disebut sebagai fungsionaris agama, yakni orang-orang yang menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan agama, memimpin dan mengarahkan pemeluk agama, seperti masalah keimanan , ibadah, ritual dan lain sebagainya, baik secara individual maupun kolektif. Tapi sering kali bukan hanya dalam urusan agama (sakral), akan tetapi juga dalam urusan keduniawian (propan). Lihat, Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. I, h. 56

(21)

Terjunnya Tuan Guru dalam politik praktis menjadi bukti bahwa

hegemoni teologis berujung pada hegemoni sosial-politik. Dikarenakan bahwa

dalam dunia politik penuh dengan kebohongan dan kemunafikan. Sedangkan

wilayah Tuan Guru (Kyai) adalah wilayah sakral. Dimensinya adalah gerakan

moral yang penuh dengan nilai-nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi serta

menjadi milik semua golongan dan umat. Jika Tuan Guru berpolitik praktis dan

menjadi juru kampanye yang banyak mengumbar janji yang tidak pasti, maka

akibatnya para Tuan Guru tejebak pada logika politik (the logic of politic)33. Hal

ini sering memanipulasi umat atau masyarakat, yang pada gilirannya menggiring

ke arah logika kekuasaan (the logic of power). Dan akibatnya, kekuatan logika

politik (the power of logic politic) ini pada akhirnya mempengaruhi logika

moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian terhadap masyarakat34.

Terbukti bahwa dominasi Tuan Guru berpengaruh besar pada

sosial-politik, ketika misalnya pelaksanaan pemilu daerah (PILKADA) di Nusa

Tenggara Barat (NTB) yang digelar pada tahun 2008 yang lalu, yang kemudian

memunculkan seorang Tuan Guru sebagai Gubernur NTB dan sebagaian Tuan

Guru lainnya menjadi anggota parlemenm baik di tingkat Propinsi maupun

Kabupaten yang banyak lakangan menganggap bahwa Tuan Guru melakukan

penggiringan jama’ahnya ke dalam kekuasaan.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis

Dinamika Politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Pasca Orde Baru, yang

33

Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), cet. I, h. 5

34

(22)

terutama kedua tokoh tradisional karismatik ini, yang dalam sosiologi-politik

golongan Menak (bangsawan) selalu mendominasi pada tingkatan birokrasi

pemerintahan dan kancah politik, dan para Tuan Guru yang hanya pada ranah

sosial-keagamaan bergeser ke ranah politik praktis.

B. Batasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis hanya

membatasinya pada kajian Dinamika Politik Islam Sasak, yang berkaitan dengan

Tuan Guru dalam Politik Masyarakat Sasak pada Pasca Orde Baru. Agar

pembahasan ini lebih terfokus, maka penulis merumuskan masalahnya pada:

1. Bagaimana peran politik Tuan Guru dalam masyarakat Sasak Pasca

Orde Baru?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini adalah penulis ingin memeberikan kontribusi

– berupa karya tulis ilmiyah dengan mengkaji kedaerahan- kepada daerah tempat

penulis dilahirkan dan dibersarkan; tulisan ini adalah sebagai tugas akhir untuk

mendapatkan gelar keserjanaan; penulis ingin menambah pengetahuan dan

mengetahui dinamika politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Paca Orde Baru.

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif,

(23)

menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan cara melibatkan

berbagai metode yang ada35. Sehingga dalam memerlukan penelitian ini

memerlukan pendekatan deskriptif analisis. Deskriptif artinya memaparkan

fenomena sosial dengan apa adanya. Sedangkan analisisnya, memberikan

interpretasi terhadap fenomena sosial tersebut36. Dalam mempermudah kajian ini,

penulis mengunakan pendekatan historis analisis dengan teori kharismatik Max

Weber. Historis analisis adalah memaparkan data-data sejarah yang ada kemudian

dianalisis. Sedangkan teori kharisma Weber (1864-1920), yaitu sesuatu yang luar

biasa yang dimiliki oleh seorang dan mempunyai daya tarik serta karakter pribadi

yang memberikan inspirasi pada mereka yang bakal menjadi pengikutnya37.

Untuk itu dibutuhkan kajian pustaka (library reseach). Penelitian ini

mengandalkan data dari dokumen-dokumen baik primer maupun skunder; seperti

buku, jurnal, arsip dokumen dan tulisan-tulisan yang terkait dengan tema tersebut.

Dan penulis juga menggunakan teknik wawancara untuk mendapatkan

data dan informasi melalui tanya jawab, dengan mengajukan beberapa pertanyaan

kepada nara sumber atau responden. Teknik wawancara ini memberikan informasi

secara langsung dari nara sumber atau responden yang berkompeten dalam

bidangnya.

Adapun pedoman penulisan ini, penulis menggunakan panduan buku yang

diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu

35

Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007, cet. X, h. 5

36

Makalah Metodelogi Penelitian yang ditulis oleh Anas Saidi Machfus (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), h. 39

37

(24)

Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, Desertasi) oleh Center for

Development Assurance (CEQDA) terbitan tahun 2007.

E. Kajian Terdahulu yang Relevan

Dalam membahas tema ini, ada beberapa buku yang pernah ditulis atau

berkaitan dengan tema yang penulis bahas antara lain :

1. Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu

Muhammad Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok.

Buku ini membahas seorang peran Tuan Guru bernama Tuan Guru

Haji Lalu Muhammad Faisal dalam politik pasca kemerdekaan dan

peranannya dalam mengembangkan NU di Lombok.

2. Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan

Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid

1904-1997. Buku ini membahas tokoh Tuan Guru Haji Muhammad

Zainuddin Abdul Madjid dalam peranannya melakukan transformasi sosial

dalam bidang pendidikan dan dakwah dengan organisasi Nahdatul Wathan

(NW) yang didirikannya di Pancor.

3. Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima. Buku ini

mambahas Islam yang berartikulasi dengan budaya Sasak sehingga

menimbulkan Islam Waktu Telu.

4. Fahurrozi, Dakwah Tuan Guru dan Transposmasi Sosial di Nusa Tenggara

Barat, Desertasi, 2009 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Desertasi ini

membahas peran Tuan Guru dalam perubahan sosial, ekonomi, politik dan

(25)

5. Zulkarain, Tuan Guru Bajang; Berpolitik dengan Dakwah dan Bedakwah

dengan Politik. Buku ini membahas tentang visi dan misi Tuan Guru Bajang

dalam menghadapi pemilihan gurubernur di NTB pada tahun 2008.

6. Irene Hiraswati, dkk, 2009, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca

Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur. Ini

adalah laporan hasil penelitian dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dilakukan di Lombok Timur yang

meneliti pergeseran peran Tuan Guru yang dulunya sebagai pendakwah yang

kemudian bergeser pada pasca orde baru menjadi politisi atau para Tuan

Guru terjun dalam politik praktis.

Perbedaan skripsi ini dari kajian yang terdahulu yaitu terdapat

pembahasan-pembahasan yang masih menyangkut biografi atau ketokohan.

Misalnya kajian yang ditulis oleh Nasir Anggara yang mengkaji tentang

perlawanan seorang tokoh NU bernama Tuan Guru Muhammad Faisal dalam

melawan penjajahan Belanda di Lombok. Muhammad Noor dan dkk, mengkaji

refleksi pemikiran kebangsaan Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid,

yang masih focus terhadap biografi. Berbeda dengan Erni Budiwanti yang

membahas Lombok tetapi melihat dari segi teologisnya. Fahrurrozi, desertasi yang

mengkaji Tuan Guru dalam trasformasian sosial melalui dakwah. Dan Zulkarnain,

mengkaji sekitar visi dan misi Tuan Guru “Bajang” dalam menjelang Pilkada.

Sedangkan penelitian Irene Hiraswati, dkk, melihat pergeseran peran Tuan Guru

sebagai pendakwah beralih menjadi politisi pada masa pasca Orde Baru. Dan

(26)

Dalam skripsi ini, yang menjadikannya berbeda dengan kejian terdahulu

tersebut yaitu sktipsi ini mengambil posisi pada aspek sejarah, yang kemudian

menjabarkan peran Tuan Guru tidak hanya dimulai pada masa pasca Orde Baru,

melainkan juga sudah sejak lama sebelum bangsa ini merdeka. Sehingga

kehadiran Tuan Guru dalam politik praktis adalah sebuah keniscayaan, bukan

merupakan hal yang baru.

F. Sistematika Penulisan

Bab pertama, merupakan bab pendahlu yang membahas tentang gambaran

awal dalam kajian penelitian skripsi ini. Isinya terdiri atas latar belakang yang

menggambarkan secara umum penulisan skripsi ini, kemudian dilanjutkan dengan

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan

kajian terdahulu yang relevan dan sistematika penulisan.

Bab kedua, membahas kerangka teoritis yang digunakan dalam menelaah

keterkaitan antara agama dan politik, tuan guru sebagai elit lokal, dan tuan guru

dalam politik .

Bab ketiga, membahas tentang dinamika sosial politik masyarakat sasak

yang kemudian mengelaborasi sosio-kultural masyarakat sasak lombok, dan

pergulatan tuan guru dalam konstelasi politik pada Orde Baru, dan dinamika

politik Islam Pasca Orde Baru secara umum.

Bab keempat, mambahas tentang dinamika politik Islam Sasak dengan

melihat peran politik tuan guru pasca Orde Baru. Peran sosial politik tuan guru

(27)

keterlibatannya di dalam berbagai partai politik termasuk dalam Pemilihan

Gubernur NTB pada tahun 2008.

Bab kelima, penutup yang berisikan penjabaran subtansif dalam bentuk

(28)

BAB II

TUAN GURU DAN POLITIK

A. Agama dan Politik

Zoon politicon, manusia adalah binatang politik. Arti dari konsep ini

adalah manusia berbeda dengan binatang yang memiliki peralatan ilmiah untuk

mengorganisir diri guna mencapai hidup yang adil1. Inilah politik. Miriam

Budiarjo, mendefinisikan politik sebagai usaha menggapai kehidupan yang lebih

baik2. Sehingga pada zaman Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles

menamakannya dengan en dam onia atau the good life. Hidup lebih baik.

Berbeda perspektif yang lebih luas, Ramlan Surbakti melihat politik tidak

hanya usaha-usaha warga negara untuk memperoleh kebaikan bersama,

melainkan lebih luas lagi, yaitu segala hal yang berkaitan dengan

penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Politik sebagai kegiatan yang

berkaitan dengan mempertahankan kekuasaan dan masyarakat; Politik sebagai

kegiatan perumusan kebijakan umum; dan politik sebagai konflik dalam

mempertahankan atau mencari sumber-sumber yang dianggap penting3.

Namun demikian, ada juga pengertian yang dianggap “pragmatis” dalam

mengartikan politik. Harold D. Laswell, misalnya mengartikan politik dengan

1

Robertus Robert dan Ronny Agustunis (ed), Kembalinya Politik;Pemikiran Politik Kontemporer dari Arendt sampai Zizek, Jakarta: Buku Kita, cet I, 2008, h. viii-ix

2

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pusaka Utama, cet III, 2008, h. 13

3

(29)

who get what and when, siapa mendapat apa dan bagaimana4. Artinya bahwa

dalam berpolitik atau untuk memperoleh kekuasaan, akan membutuhkan

transaksi oleh siapa mendapat apa setelah itu bagaimana?

Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang artinya

kota atau negara kota. Kemudian berkembang menjadi polites yang berarti

warganegara; politea yang berarti semua yang berhubungan dengan negara;

politika yaitu pemerintahan Negara; dan politikos ialah kewarganegaraan5.

Dalam bahasa Arab, politik disebut dengan siyasah, yang berasal dari kata

sasa – yasusu – siyasatan, artinya mengatur, memerintah dan mengurusi atau

bisa juga pemerintahan dan politik atau pembuat kebijakan 6.

Dalam kontek hubungan politik dan agama, masih terdapat banyak

perdebatan yang tak kunjung selesai sampai sekarang. Bahkan masih

diperbincangkan baik di Indonesia maupun di Dunia Islam sendiri (Timur

Tengah).

Di Indonesia, hubungan antara agama dan politik memiliki tradisi yang

panjang. Akar geneologisnya bisa dilihat pada akhir abad ke-13 dan awal ke- 14,

ketika Islam disebarkan di Nusantara ini.7

Kemunculan Islam di Nusantara dengan berdialog dengan realitas sosial,

memunculkan kesan Islam di Indonesia terintegrasi dengan politik. Bisa terlihat

4

Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia, cet. IV, 1999, h. 7

5

Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), cet. I, h. 133

6

Hamid Fahmy Zarkasyi, Identitas dan Problem Politik Islam, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Volume V No. 2, h. 6; Inu Kencana, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996, h. 74

7

(30)

beberapa kerajaan Muslim misalnya yang ada di Jawa, Sumatra, Maluku,

Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan di beberapa tempat lainnya.

Kerajaan-kerajaan ini adalah bangunan politik dengan penguasa-penguasa

muslim sejak akhir abad ke-13. Itu dikarenakan bahwa, kerajaan ini punya

kedaulatan masing-masing, tanpa satu ikatan federasi atau otonom8.

Agama, seperti banyak orang katakan, menuruh Robert N. Bellah, yang

dikutip oleh Bahtiar Effendy, sebagai instrumen Ilahi yang dipakai untuk

memahami dunia9. Islam adalah agama yang sesuai dengan premis ini. Karena,

sifat Islam yang hadir di mana-mana (omnipresence)10. Artinya bahwa Islam

memilihi nilai-nilai, aturan-aturan sebagai panduan moral dalam segala kehidupan

manusia.

Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang besifat ilahi

sekaligus transenden. Tetapi, secara sosiologis, Islam merupakan fenomena

peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia11. Oleh karen itu,

Islam tidak hanya sejumlah doktrin yang bersifat ilahiah yang universal

melainkan juga terejawantahkan dalam institusi sosial yang dipengaruhi oleh

kondisi-sosial, ruang dan waktu12. Itu sebabnya Islam tidak menjadi tunggal,

8

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik; Upaya Membingkai Peradaban, Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999, cet I, h. 63

9

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 6

10

Bahtiar Effendy, “Kata Pengantar” dalam Islam dan Politik; Pada Era Orde Baru, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001, h. xi; Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 6

11

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta : Paramadina, 1996, cet. I, h. i

12

(31)

bahkan memiliki multiinterpretatif dalam kaitannya Islam dengan realitas sosial

atau Islam berkaitan dengan politik (Negara).

Dalam kaitan hubungan antara Islam dengan realitas sosial, yaitu politik,

tentu akan menimbulkan beragam argumentasi dan corak pemikiran yang

berbeda-beda. Salah satunya misalnya argumentasi bahwa Islam adalah sebuah

totalitas yang padu. Sehingga Islam tidak hanya mengenal ritual atau ritus bahkan

lebih khusus lagi, Islam tidak mengenal dinding pemisah antara yang bersifat

spiritual dan temporal. Sebaliknya Islam memberikan panduan bagi setiap aspek

kehidupan13. Atau dalam bahasa lainnya, dengan istilah tiga “d”, Islam adalah din

(agama), dunya (dunia) dan daulah (pemerintahan). Sebagaimana Nazir Ayubi

katakan,

A sizeable group believes in the complete and holistic nature of revealed Islam so that, according to them, it encompasses the three famous “Ds” (din, religion; dunya, life and dawla, state)……….

Typical of the first trend is, for exemple, the distinguished Islamic writer Yusuf al-Qardawi. He maintains that Islam is an integrated totality that offers a solution to all problems of life. Is has to be accepted in its entirety, and to be applied to the family, to the economy and to politics..14

Bagi sebagian besar kalangan muslim menganggap bahwa pemikiran

tentang agama yang terintegralkan dengan kehidupan bukanlah hal yang luar

13

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, dalam Jurnal Prisma, No.5-1995, h. 6

14

(32)

biasa, melainkan itu adalah kalaziman yang dimandatkan oleh Tuhan. Bahkan

tidak ada dikotomi tajam antara yang profan dengan yang sakral15.

Tetapi pandangan ini dikomentari oleh Arkoun dengan mangakatan bahwa

gagasan ini tetap terpenjara dalam suasana kedaerahan dan etnografis, terbelenggu

oleh pendapat-pendapat klasik yang tidak memadai dan artikulasi mereka lebih

didominasi oleh kebutuhan ideologis untuk melegitimasi rezim masyarakat Islam

dewasa ini16.

Ali Abd Al-Raziq (1888-1966) dalam bukunya, Islam wa Ushul

Al-Hukm(Islam dan Akar pemerintahan), yang dikatakan oleh Eickelman dan James,

banyak memicu kontroversi pada 1952, mengatakan bahwa kekuasaan agama dan

administratif Nabi terpisah. Pemerintahan Nabi Muhammad atas komunitas

muslim Madinah bukanlah bagian dari misi kenabiannya, dan penerusnya para

khalifah, hanyalah meneruskan kekuasaan temporalnya17. Penulis Pakistan,

Qomaruddin Khan tutur Eickelman dan James, berpendapat bahwa teori politik

Islam bukanlah berasal dari al-Qur’an, melainkan berasal dari keadaan dan

pembembentukan Negara, bukanlah dipaksakan dari Ilahi ataupun dibutuhkan

sebagai sebuah institusi sosial18. Dan menegaskan bahwa tidak ada ketentuan atau

ketetapan yang mencampur adukkan agama dan politik19. Qomaruddin Khan

mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Eickelman dan James :

15

John L. Esposito, Islam Warna Warni; Rragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus(al Shirat al-Mustaqim),diterjemahkan oleh Arif Matuhin, Jakarta: Paramadina, cet. I, 2004, h. 197

16

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 6

17

Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, diterjemahkan oleh Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1998, cet. I, h. 67

18

Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, h. 67

19

(33)

“Klaim bahwa Islam merupakan sebuah paduan agama dan politik yang harmonis adalah sebuah slogan modern, yang jejaknya tidak dapat ditemukan dalam sejarah masa lalu Islam. Istilah “Negara Islam” tidak pernah digunakan di dalam teori atau praktik ilmu politik Muslim sebelum abad ke-20. Juga, seandainaya tiga puluh tahun pertama Islam dikecualikan, perilaku Negara-negara Muslim di dalam sejarah hampir tidak dapat dibedakan dari perilaku Negara-negara lainya dalam sejarah dunia”20.

Perdebatan ini tidak kunjung selesai hingga saat ini, antara kelompok yang

mengitegrasikan Agama (Islam) dan politk dan pemisahan antara Agama dan

politik. Ini bukan disebabkan karena kompleksitasnya hubungan Islam dan politik,

bukan juga oleh tingkat kesalehan umat Islam, melaikan karena Islam tidak

mungkin diterjemahkan dalam bentuk tunggal atau bersifat multiinterpretatif21.

Akan tetapi, dalam pengaitan atau hubungan antara agama dan politik paling tidak

bisa digolongkan dalam tiga golongan besar, seperti yang digagas oleh Bahtiar

Effendy.

Pertama, golongan yang mengatakan bahwa antara Islam dan politik tidak

terpisahkan atau terintegrasi. Bagi golongan ini, Islam mencakup segala sesuatu,

termasuk persoalan Negara dan politik. “inna al-Islam din wa dawlah” adalah

salah satu jargon dalam aliran ini. Dan merujuk padaa Negara Madinah pada masa

Nabi Muhammad sebagai pengalaman dan par excellence. Kedua, golongan yang

bisa dikatan dari kebalikan dari golongan yang pertama. Bahwa Islam dan politik

adalah dua entitas yang berbeda, karenanya dipisahkan atau sering disebut dengan

sekularisme. Bagi mereka Islam adalah sistem keagamaan dan tidak mengatur

hal-hal yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Islam tidak mempunyai

20

Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, , h. 67-68

21

(34)

system politik dan pengalaman Nabi pada masanya bukanlah disebut sebagai

pengalaman pemerintahan Islam klasik. Ketiga, bisa dikatakan sebagai sintesa

kedua golongan ini. Bahwa meskipun persoalan agama dan politik adalah

persoalan yang berbeda. Tetapi tidak meski harus dipisahkan atau digabungkan.

Secara legal-formal dan simbolik, keterkaitan antara Islam dan politik tidak bisa

diterima. Akan tetapi, secara subtansi keduanya sulit untuk dipisahkan22.

Dari tiga arus besar argumentasi itu, Indonesia pada masa Orde Baru,

dianggap mewakili argumentasi golongan ketiga berkaitan dengan hubugan antara

Islam dan politik. Sehingga sampai sekarang, hubungan Islam dan politik dalam

argument golongan ketiga, dianggap paling cocok dengan Indonesia. Itu

sebabnya, Indonesia adalah bukan negara teokrasi dan juga bukan negara sekuler.

Akan tetapi pemerintah Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi

nilai-nilai agama, terbukti dengan Indonesia tidak hanya memperbolehkan warga

negaranya menjalankan ajaran agama mereka masing-masing, melainkan juga

difasilitasi kehidupan keagamaan warga negaranya dan pembentukan Departemen

Agama23.

Oleh karena itu, praktek yang dijalankan Indonesia saat ini dalam

kaitannya hubungan Islam dan politik adalah hubungan yang pada tataran

simbolik dan formal tidak bisa diterima, sedangkan pada tataran subtansial saling

terkait satu dengan yang lainya.

22

Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam dan Negara yang Tidak Mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005,cet. 1, h. 7-10

23

(35)

B. Tuan Guru sebagai Elit Lokal

Pada tahun 1950-an, ada kecenderungan pandangan bahwa aspirasi lokal

berseberangan dengan pemerintah pusat. Aspirasi local dianggap tidak nasionalis

dan bertentangan dengan aspirasi nasional, karena itu perlu dikesampingkan.

Kebudayaan local akhirnya menjadi terkubur dan memunculkan keseragaman

symbol dan kebudayaan atas nama persatuan dan kesatuan24.

Setelah pasca Orde Baru, pada tahun 1998, dinamika politik di daerah

memulai babak baru. Aktor, institusi, dan budaya lokal bermunculan kembali dan

memainkan peranannya di dalam panggung politik lokal25.

Inilah yang kemudian disebut dengan desentralisasi, yang mana kekuasaan

tidak lagi terpusat tetapi sudah menyebar. Desentralisasi dari tangan lembaga

presiden kepada lembaga-lembaga tinggi Negara lainnya. Desentralisasi otoritas

politik dan administrasi dari pusat kepada daerah.

Untuk itu studi-studi mengenai politik lokal, peran elit sangat penting. Elit

menempati posisi yang sangat penting dalam pembangunan maupun politik. Di

masa Orde Baru elit dijadikan sebagai distributor program pemerintah dari pusat.

Pada masa Orde Baru pula, nampaknya pemerintah mengadopsi Negara

neokolonialisme, di mana memanfaatkan peran-peran elit lokal ketika melakukan

alokasi atau distribusi sumber-sumber lokal termasuk ekonomi dan politik kepada

24

Anies Baswedan, “Kata Pengantar”, Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (eds), Politik Lokal di Indonesia, diterjemahkan oleh Yayasan Obor, Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV, 2007, cet. I, h. x

25

(36)

masyarakat. Selain itu juga elit lokal, dijadikan aset politik dalam perayaan lima

tahunan seperti pemilu26.

Pada pasca Orde Baru juga, para elit tidak lagi dikekang atau berpatron

kepada pemerintah pusat. Ini disebabkan oleh akibat dari kebijakan desentralisasi.

Elit local ini kemudian menyebar di berbagai kelompok masyarakat atau birokrasi,

sehingga mereka berpeluang melakukan bermacam peran dalam sector ekonomi

maupun politik. Di samping itu juga, karena status sosial elit yang tingggi

memberikan mereka peluang manakala menjadi bagian dari perubahan sosial yang

memobilisasi sumber daya lokal27. Dalam aspek politik lokal, kemunculan elit-elit

baru ini memperlihatkan rivalitas di antara mereka ketika terjadi alokasi

sumber-sumber kekuasaan terutama dengan adanya pilkada yang mengisyaratkan transfer

kekuasaan dari aktor atau elit pusat ke aktor atau elit daerah28.

Dalam teori politik, Elit didefinisikan oleh Pareto (1848-1923) adalah

sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan kehadirannya

untuk mendapatkan kekuasaan sosial politik29. Sedangkan Gaetano Mosca (

1858-1941), mengartikan elit dengan seorang yang cakap dalam memimpin dan

menjalankan control sosial30. Robert D. Putman, mendefinisikan elit dengan

26

Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur oleh LIPI, h. 2

27

Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur oleh LIPI, h. 2

28

Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur, h. 2

29SP. Varma, Teori Politik Modern, diterjemahkan oleh Yohanes Kristianto, Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2007, h. 198

(37)

beberapa orang yang memiliki lebih banyak kekuasaan politik daripada yang

lain31

Dalam sejarah kemunculan elit di Nusa Tenggara Barat, yang terdiri dari

dua pulau, yaitu Pulau Sumbawa dan pulau Lombok memiliki tipografi yang

berbeda. Sehingga, tentu saja kedua pulau ini juga memiliki tipologi elit yang

berbeda. Ini disebabkan karena perbedaan setting dan kondisi yang pada awalnya

berbeda. Sebagaimana dikutip dalam Ringkasan Laporan Penelitian yang

dilakukan oleh LIPI yang mewawancarai Dr. Rosiyadi Sayuti, Kepala Bappeda

Propensi Nusa Tenggara Barat yang mengatakan :

“Di Pulau Lombok bisa dikatan tumpuan pada pimpinan informal lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Sumbawa, sehingga tokoh-tokoh semacam Tuan Guru, pimpinan pondok pesantren banyak tampil menjadi pimpinan partai politik bahkan menjadi anggota dewan. Sementara di Pulau Sumbawa fenomena seperti itu relative tidak ada, karena pengkaderan lebih berada pada di jalur formal bukan informal. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan kultur yang berkembang di kedua wilayah tersebut. Kondisi dan setting awalnya memang sudah seperti itu. Secara sejarah kerajaan-kerajaan yang hidup di Lombok memang mungkin sudah ditopang oleh organisasi-organisasi seperti itu sehingga ketika kerajaan-kerajaan itu hilang dan muncul ke republic ini, organisasi dan eksistensi para pimpinan informal tetap masih bisa dikatakan ada. Berbeda dengan di Sumbawa dimana organisasi semacam itu tidak ada, maka jalur yang ada dalam kepemimpinannya lebih pada jalur formal. Maka kategori elit sendiri bisa dipisahkan menjadi dua, formal dan informal. Formal tentu saja tergambarkan pada jabatan politik formal semacam gubernur, bupati dan posisi-posisi lainnya. Sedangkan informal terepresentasikan di dalam sosok Tuan Guru atau tokoh agama yang memiliki jamaah. Bisa dikatakan semakin besar jamaah yang dimilikinya, maka semakin besar pula ketokohannya yang dia miliki. Sebagai contoh Nahdlatul Wathan yang merupakan lembaga sosial kemasyarakatan yang memiliki lembaga pendidikan yang terbesar di hampir seluruh desa di Nusa Tenggara Barat, sehingga tidak heran jika elitnya menjadi tokoh masyarakat yang memiliki

31

(38)

banyak pengikut. Posisi ini menjadi penting dan berbeda dibandingkan dengan posisi elit-elit yang lain”32.

Oleh karena itu, dalam konteks Nusa Tenggara Barat pada umumnya dan

Lombok pada khususnya mempunyai dua kategori elit, yaitu elit formal dan elit

informal. Dan direpresentasikan dalam kaum bangsawan (menak) dari elit formal

dan kaum agamawan (Tuan Guru atau Kyiai) dari elit informal.

Elit formal adalah seseorang yang dipilih melalui mekanisme legal-formal

atau melalaui mekanisme Pemilu atau Pilkada. Elit formal ini termasuk menjadi

gubernur, bupati, camat dan anggota dewan.

Sedangkan Elit informal didapat bukan melalaui proses melainkan

pengakuan. Pengakuan diberikan berdasarkan pada tradisi dan kharisma yang

dimilikinya. Biasanya elit ini memiliki kharisma yang membuat orang percaya

bahwa kekuasaan yang dimiliki adalah sah adanya. Sehingga Tuan Guru sebagai

elit lokal juga mempunyai posisi yang penting dalam perubahan sosial.

Dalam tradisi sejarah Islam, istilah tuan guru, kiai, ajengan, bendere, buya

dan lainnya tidaklah dikenal, melainkan mengggunakan istilah yang baku untuk

penyebutan tersebut, seperti alim, ustadz, syekh, dan wali. Bahkan dalam perintis

penyebaran agama Islam di Indonesia disebut dengan syeh, wali, dan sunan33.

Istilah Tuan Guru dalam masyarakat Sasak, Kyai dalam masyarakat Jawa,

Ajengan untuk masyarakat Sunda, Bendere untuk masyarakat Madura, Buya untuk

masyarakat Sumatra Barat, Topanrita untuk masyarakat Sulawesi Selatan dan

32

Irine Hiraswari dkk, dalamRingkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur, h.6-7

33

(39)

lainnya. Secara etnografis merupakan istilah lokal, tetapi secara terminologis dan

kultural sama sebagai sebutan ulama34. Istilah lokal ini muncul, ada yang

mengatakan bahwa strategi Belanda pada waktu penjajahan, dengan tujuan

menjadikan Islam sebagai fenomena budaya local yang menyatu dengan tradisi

kerajaan. Dengan strategi itu, peyebaran agama Islam dapat diisolasi dan ditutup

kemungkinannya untuk menjadi gerakan Islam secara nasional35.

Menurut Hasan Basri Marwah, istilah Tuan Guru bisa ditelusuri sampai

abad ke 18 ketika tiga orang alim ini menggunakannya pertama kali. Pertama

Tuan Guru Umar Kelayu, Tuan Guru Abdul Hamid Presak Pagutan dan Tuan

Guru Sekar Bela36. Konon mereka bertiga sangat harmonis dan sangat tinggi

tingkat toleransinya dalam perbedaan pandangan. Mereka bertiga cukup lama

tinggal di Hizaj untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu37.

Dalam masyarakat Sasak, Untuk menjadi tokoh yang mendapat gelar

sebagai Tuan Guru, sebagai orang yang berpengaruh di masyarakat Sasak, ada

beberpa syarat, meskipun antara daerah yang satu dengan daerah yang lain

memiliki persamaan, akan tetapi ada beberapa hal yang perbedaan. Syarat-Syarat

tersebut adalah telah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah, menguasai

kitab suci Al-Qur’an, Hadis dan kitab kuning, mengenyam pendidikan di Timur

Tengah, biasanya memiliki pondok pesantren dan jamaan yang terwadahi dalam

34

Imam Suprayogo, Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai, h. 28

35

Imam Suprayogo, Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai, h. 28

36

Hasan Basri Munawar, Tuan Guru dan Politik di Gumi Sasak , artikel di situs Sasak.Org, diakses pada tanggal 24/1/2011

37

(40)

pesantren yang dimilikinyam dan mendapat pengakuan dari jama’ahnya maupun

dari jama’ah di luarnya38.

Masyarakat Sasak memandang sosok Tuan Guru sebagai seorang yang

“serba bisa”, “mampu”, dan berpengaruh39. Itu karena kemampuan seorang Tuan

Guru (Kyai) dalam pengetahuannya tentang ajaran-ajaran Islam, sehingga

seringkali dilihat sebagai orang yang mampu memahami keagungan Tuahan dan

rahasia alam, dan mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau,

terutama oleh kebanyakan orang awam40. Biasanya gelar Tuan Guru (Kyai)

diberikan kepada golongan ulama dari golongan Islam tradisional41.

Tuan Guru, dalam masyarakat Sasak diakui sebagai pemimpin yang

kharismatik, pemimpin yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain

dengan kelebihan-kelebihan tertentu. Seorang dikatakan sebagai pemimpin yang

kharismatik, apabila kepemimpinannya bersumber dari kekuatan yang luar biasa,

yang diistilahkan dengan charismatic authority42. Kepemimpinan jenis ini lebih

didasarkan pada identifikasi psikologis. Makna identifikasi adalah keterlibatan

emosional individu dengan individu lain yang akhirnya nasib orang sendiri

38

Irine Hiraswari dkk, dalamRingkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur, h.8-9

39

Jamaluddin, Tuan Guru dan Dinamika Politik Kharisma dalam Masyarakat Sasak Lombok, dalam Buku Dialektika Teks Suci Agama; Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat, Yogyakarta: Sekolah Pascaserjana UGM, 2008, cet. I, h. 138

40

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982, cet. I, h. 56

41

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, h. 56

42

(41)

berkaitan degan orang lain. Bagi para pengikut, pemimpin adalah harapan untuk

membawa ke arah yang lebih baik, penyelamat, pelindung43.

Kharisma dan status Tuan Guru makin berkembang ketika jama’ah atau

santri yang mengikuti pengajian semakin banyak. Pengajian-pengajian yang

dilakukan selain di rumah Tuan Guru juga di desa-desa yang dilakukan setiap

seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali. Selain itu, Tuan Guru juga biasanya

diundang dalam perayaan-perayaan hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, hari

besar Islam, Isra’ Mi’raj atau acara-acara selamatan44.

Oleh karena itu, dalam masyarakat Sasak, khusunya Tuan Guru sebagai

elit local terlihat memiliki peran ganda dalam masyarakat. Pertama sebagai elit

agama atau pemimpin spiritual yang memperikan pencerahan atau bahkan

memberikan solusi-solusi terhadap permasalahan-permasalahan agama yang di

hadapi masyarakat. Kedua sebagai aktifis politik yang langsung terlibat dalam

perpolitikan nasional maupun local dan bahkan ikut dalam pencalonan gubernur,

bupati dan dewan perwakilan rakyat.

C. Tuan Guru dan Politik

Persoalan Tuan Guru dalam Politik sebenarnya bukan hal yang baru. Jauh

sebelumnya juga terjadi perdebatan baik dikalangan politisi, intelektual maupun

agamawan. Persoalan ini kemudian memunculkan pro dan kontra terhadapa Tuan

43

Jamaluddin, Tuan Guru dan Dinamika Politik Kharisma dalam Masyarakat Sasak Lombok, dalam Buku Dialektika Teks Suci Agama; Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat, h. 138

44

(42)

Guru dalam Politik. Yang Pro misalnya beranggapan bahwa politik adalah ladang

dakwah. Di mana dakwah memasuku kekuasaan lebih efektif, karena jangkauan

dan otoritasnya yang besar. Sedangkan yang kontra beranggapan bahwa wilayah

agama dan politik adalah dua domain yang berbeda dan harus dipisahkan.

Dalam sejarah Islam mencatat bahwa, keterlibatan pemimpin agama/tokoh

agama dalam politik merujuk kepada masa Nabi Muhammad SAW. Di mana Nabi

Muhammad saw tidak hanya sebagai tokoh spiritual, tokoh agama; yaitu di mana

tempat orang menyandarkan segala persoalan kehidupan sehari-hari; dan juga

tokoh pemerintahan; yaitu pemimpin Negara yang mengurusi kepemerintahan

dengan berbagai banyak suku-suku Arab. Sehingga Montgomery Watt45 menyebut

Nabi Muhammad sebagai Nabi pembawa ajaran agama dan juga negarawan.

Ketika Nabi Muhammad wafat, digantikan dengan empat khalifah ar

Rasyidin, Abu Bakar as-Siddinq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali

bin Abi Thalib, pada waktu itu tidak ada pemisahan antara agama dan politik.

Keempat khalifah ini masih memegang kepemimpinan agama dan kenegaraan.

Karena kualitas individu mereka dan melihat kualifikasi keagamaan yang tidak

diragukan lagi. Mereka sangat berkompeten sebagai pemimpin agama sekaligus

45

Referensi

Dokumen terkait

Judul Penelitian : Politik Islam Orde Baru: Studi Sikap Organisasi.. Islam Atas Kebijakan

Pada dasarnya, dalam kajian sejarah politik Islam Orde Baru ini secara.. mendalam hendak dilakukan analisis tentang faktor-faktor

Sikap yang digunakan oleh Muhammadiyah terhadap politik Orde Baru sama. dengan

Abstrak: Tujuan penulisan artikel ini yaitu: 1) menjelaskan dinamika gerakan guru Indonesia setelah era Orde Baru. Fase ini ditandai dengan bermunculan berbagai organisasi

Pada awal Orde Baru, sebenarnya sempat muncul romantisme politik Islam, yang telah mati suri di era Demokrasi Terpimpin. Harapan baru ini terutama dilandaskan pada

Keberadaan ‘sang Ayah’ (tanzhim tarbiyah) yang ingin anaknya terlibat dalam politik juga membuat sang Anak takut dan tunduk pada perintah ‘Sang Ayah’ Ia kemudian keluar dari

Judul Penelitian : Orientasi Politik Perempuan Etnis Cina (Tionghoa) Kota Padang Terhadap Kepolitikan Pasca Orde Baru.. Bidang Ilmu :

Abstrak: Tujuan penulisan artikel ini yaitu: 1) menjelaskan dinamika gerakan guru Indonesia setelah era Orde Baru. Fase ini ditandai dengan bermunculan berbagai organisasi guru