PENGARUH KEPEMIMPINAN, KEPUASAN KERJA, DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA AUDITOR PADA KANTOR AKUNTAN
PUBLIK DI DKI JAKARTA
Oleh: SULTON 203082001945
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PENGARUH KEPEMIMPINAN, KEPUASAN KERJA, DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA AUDITOR
(Studi Empiris Pada Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta)
Skrispi
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh :
SULTON NIM: 203082001945
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM Hepi Prayudiawan,SE.,Ak.,MM NIP.19690203 2001121 1 003 NIP. 19720516 200901 1 006
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
ABSTRACT
This study aims to analyze the influence of leadership, job satisfaction, and motivation on the performance of auditors. Data in the form of primary data from the accounting firm in Jakarta. The statistical method used is multiple linear regression. The test results showed that variable leadership, job satisfaction, and motivation significantly influences the performance of auditors. Partially leadership, job satisfaction, and motivation significantly influence auditors' performance, whereas the most dominant variables affect its performance of the auditor is leadership.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi kerja terhadap kinerja auditor. Data yang diperoleh berupa data primer dari KAP di DKI Jakarta. Metode statistik yang digunakan adalah regresi linear berganda. Hasil pengujian menunjukkan bahwa secara simultan variabel kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor. Secara parsial variabel kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor, sedangkan variabel yang paling dominan mempengaruh kinerja auditor adalah kepemimpinan.
Kata Kunci: Kinerja Auditor, Kepemimpinan, Kepuasan Kerja, dan Motivasi Kerja.
DAFTAR ISI
Daftar Isi ……… i
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Perumusan Masalah ………... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepemimpinan ……….. 9
1. Definisi Kepemimpinan ………. 9
2. Tanggung Jawab dan Wewenang Kepemimpinan ………. 10
3. Teori-Teori Kepemimpinan ……… 11
4. Gaya Kepemimpinan ……….. 14
B. Kepuasan Kerja ……….. 16
C. Motivasi Kerja ……… 17
1. Pengertian Motivasi Kerja ……….. 17
2. Teori-Teori Motivasi ……….. 20
D. Kinerja Auditor ……….. 23
1. Pengertian Kinerja Auditor ………. 23
2. Unsur-Unsur Pengukuran Kinerja Auditor ………. 25
F. Keterkaitan Antar Variabel ………. 33
G. Kerangka Pemikiran ………... 36
H. Hipotesis ………. 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian ……….. 38
B. Metode Penentuan Sampel ……….. 38
C. Metode Pengumpulan Data ………. 39
1. Data Primer (Primery Data) ………. 39
2. Data Sekunder (Secondary Data) ………. 40
D. Metode Analisis ………... 41
1. Uji Validitas ……….. 41
2. Uji Reliabilitas ……….. 41
3. Normalitas Data ……… 42
4. Analisis Jalur ……… 43
5. Pengujian Hipotesis ……….. 43
E. Operasionalisasi Variabel ………. 45
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai prestasi dan kinerja yang terus meningkat pada Kantor
Akuntan Publik tentunya tidak terlepas dari peran Sumber Daya Manusia
(SDM) didalamnya. Untuk itu kalangan auditor harus fokus untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM yang bisa meningkatkan kinerja.
Sumber daya manusia dalam suatu organisasi merupakan penentu yang sangat
penting bagi keefektifan berjalannya kegiatan di dalam organisasi.
Keberhasilan dan kinerja seseorang dalam suatu bidang pekerjaan banyak
ditentukan oleh tingkat kepemimpinan, kepuasan kerja, gaya kepemimpinan
dan juga motivasi kerja terhadap bidang pekerjaan yang ditekuninya.
Kinerja seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat kepuasaan kerja yang
dimiliki. Kepuasan kerja seseorang juga dipengaruhi baik dari dalam maupun
dari luar. Untuk sisi internal, tentu kepuasan kerja seseorang akan menyangkut
komitmennya dalam bekerja, baik komitmen profesional maupun komitmen
organisasional. Sedangkan dari sisi eksternal, tentu kepuasan kerja
dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka bekerja, baik dari atasan,
bawahan, maupun setingkat (Amilin dan Dewi, 2008).
Perubahan lingkungan, khususnya lingkungan bisnis dan organisasi saat
Implikasinya muncul fenomena-fenomena baru seperti globalisasi, dunia tanpa
batas atau hilangnya batas-batas antar negara, antara daerah, bahkan antar
individu. Dalam lingkungan bisnis yang semakin kompleks dan selalu berubah
seperti saat ini diperlukan kepemimpinan yang mampu mengantisipasi ke
depan yang lebih relevan dengan situasi kompleks seperti sekarang ini.
Sukses suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi
itu untuk beradaptasi pada perubahan lingkungan strategik yang
mempengaruhi kehidupan organisasi. Organisasi yang terus beradaptasi
dengan perubahan yang terjadi akan dapat tumbuh dan berkembang.
Sebaliknya organisasi yang tidak beradaptasi dengan perubahan lingkungan
akan mengalami kemunduran, oleh karena itu sangat perlu bagi organisasi
untuk memahami perubahan lingkungan strategik karena perubahan tersebut
menuntut adanya perubahan paradigma di dalam mengelola organisasi.
Untuk selalu siap menghadapi perubahan yang selalu terjadi tersebut,
Kantor Akuntan Publik (KAP) sebagai salah satu bisnis di bidang jasa
keuangan dituntut untuk selalu memberikan perhatian yang besar pada
upaya-upaya peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Upaya-upaya-upaya tersebut
dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan baik yang bersifat struktural
ataupun yang bersifat fungsional. Pendidikan dan pelatihan saja tidaklah
cukup, diperlukan adanya pembinaan dan motivasi kerja auditor untuk
menumbuhkan komitmen yang kuat dalam rangka meningkatkan prestasinya.
dewasa ini semakin besar, terutama disebabkan adanya pemahaman bahwa
kinerja berkaitan erat dengan komitmen (Meyer, at al., 1993) dalam Ujianto
dan Alwi (2005).
Seorang pemimpin diharapkan memiliki kecakapan teknis maupun
manajerial yang profesional. Kecakapan manajerial menuntut perannya dalam
memimpin orang lain. Keterampilan tersebut terpancar dalam tindakannya
seperti memyeleksi, mendidik, memotivasi, mengembangkan sampai
memutuskan hubungan kerja. Kepemimpinan mempunyai fungsi utama
sebagai penggerak atau dinamisator dan kordinator dari sumber daya manusia,
sumber daya alam, semua dana, dan sarana yang disiapkan oleh sekumpulan
manusia yang berorganisasi (Kartono, 2008).
Seorang pemimpin haruslah mempunyai pandangan akan kepemimpinan
yang ditangguknya sebagai suatu peluang yang nantinya bisa memberikan
suatu arti atau bahkan manfaat bagi banyak pihak, bukan malah berpandangan
sebagai suatu posisi atau property yang nantinya bisa mengambil hasil atau memanfaatkan banyak pihak untuk dijadikan keuntungan bagi dirinya sendiri,
pandangan inilah yang nantinya menjadi kekuatan besar bagi seseorang
pemimpin untuk memiliki, memahami, dan menerapkan secara kombinatif
faktor-faktor penentu keberhasilan dan pencapaian tujuan organisasi, dan
diantara faktor-faktor penentu tersebut adalah gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan merupakan suatu norma perilaku yang digunakan
bawahannya seperti yang ia lihat (Miftah Thoha, 2007), sehingga peranan
seorang pemimpin dalam hubungan antara manusia dalam kerja sangat terkait
dengan gaya kepemimpinan yang ditampilkannya. Seorang pemimpin
diharapkan juga dapat menampilkan gaya kepemimpinan segala situasi
tergantung kondisi dan situasi. Seorang pemimpin yang hanya menampilkan
satu macam gaya saja akan menjadi kurang efektif. Selain itu, diharapkan
seorang pemimpin tampil sebagai pemberi ilham dalam masa-masa sulit,
sehingga terpancar rasa keyakinan akan atasannya dalam diri para
bawahannya.
Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu
kelompok demi pencapaian tujuan (Robbins, 2001). Bentuk pengaruh tersebut
dapat secara formal seperti tingkat manajerial pada suatu organisasi. Penelitian
tentang gaya kepemimpinan telah berkembang pesat dan perhatiannya pada
efektivitas kepemimpinan yang menghubungkan perilaku pemimpin dengan
kepuasan dan motivasi bawahan (Jiambalvo dan Pratt, 1982).
Kepuasan kerja merupakan faktor kritis untuk dapat tetap
mempertahankan individu yang berkualifikasi baik. Aspek-aspek spesifik
yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu kepuasan yang berhubungan
dengan gaji, keuntungan, promosi, kondisi kerja, supervisi, praktek organisasi
dan hubungan dengan rekan kerja (Misener et.al., 1996). Diantara
indikator-indikator penentu kepuasan kerja, kepemimpinan dipandang sebagai prediktor
pada manajer dan gaya kepemimpinannya. Penelitian-penelitian akuntansi
mencoba untuk menerapkan model-model kepemimpinan dalam lingkup kerja
auditor dan mengusulkan penggunaan model kepemimpinan untuk
menganalisis kepuasan dan motivasi auditor. Secara empiris ditemukan bahwa
perilaku pemimpin dapat mempengaruhi kepuasan dan motivasi bawahan
(Jiambalvo dan Pratt, 1982).
Oleh karena itu, peneliti termotivasi melakukan penelitian ini karena
cukup penting untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
kinerja seorang auditor. Selain itu juga, peneliti ingin mengetahui seberapa
besar pengaruh variabel independen mempengaruhi variabel dependen.
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian yang berjudul
“Pengaruh Kepemimpinan, Kepuasan Kerja, dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Auditor Pada Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta”.
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Biatna (2008). Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Adanya penambahan variabel independen yaitu variabel kepuasan kerja dan
motivasi kerja yang diperoleh dari Amilin dan Rosita Dewi (2008) serta
dari Trisnaningsih (2003). Penambahan variabel kepuasan kerja dan
motivasi kerja selain disarankan oleh penelitian terdahulu, variabel tersebut
berjalannya kegiatan di dalam organisasi. Keberhasilan dan kinerja
seseorang auditor dalam suatu pekerjaannya agar menghasilkan kinerja
yang maksimal. Penelitian sebelumnya hanya menguji analisis faktor gaya
kepemimpinan dan faktor etos kerja terhadap pegawai pada organisasi yang
telah menerapkan SNI 19-9001-2001. Sedangkan penelitian ini menguji
pengaruh kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi kerja terhadap
kinerja auditor pada Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta.
2. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah auditor yang bekerja
pada Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta, sedangkan penelitian
sebelumnya menggunakan sampel pegawai pada organisasi yang telah
menerapkan SNI 19-9001-2001.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi kerja secara
simultan berpengaruh terhadap kinerja auditor?
2. Apakah kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi kerja secara parsial
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Sehubungan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empiris tentang:
a. Pengaruh kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi kerja secara
simultan berpengaruh terhadap kinerja auditor.
b. Pengaruh kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi kerja secara
parsial berpengaruh paling dominan terhadap kinerja auditor.
2. Manfaat penelitian
Dengan dilaksanakannya penelitian ini, maka hasil penelitian ini
diharapkan dapat memperoleh manfaat bagi banyak pihak antara lain:
a. Bagi Kantor Akuntan Publik
1. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan masukan
mengenai pentingnya kepemimpinan, kepuasan kerja dan motivasi
kerja untuk dapat lebih memaksimalkan kinerjanya.
2. Sebagai masukan untuk perusahaan dalam hal meningkatkan
kinerjanya, agar memperhatikan aspek-aspek apa saja yang menjadi
motivasi seorang auditor dalam menghasilkan kinerja yang optimal.
b. Bagi kepentingan akademik
Diharapkan menjadi bahan bacaan yang memberikan gambaran tentang
kepemimpinan, kepuasan kerja dalam memotivasi seorang auditor untuk
c. Bagi peneliti
Dapat menambah pengetahuan serta wawasan serta dapat menerapkan
pengalaman dan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah ke dalam
praktek, khususnya yang ada hubungannya dengan masalah penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepemimpinan
1. Definisi Kepemimpinan
Definisi kepemimpinan menurut Terry G. R dalam Kartono (2008)
adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan
mencapai tujuan organisasi. Menurut Benis dalam Kartono (2008)
kepemimpinan adalah “The process by which an agent induces a
subordinate to behave an a desires manner” maksudnya suatuproses dimana seorang agen menyebabkan bawahan bertingkah laku menurut
suatu cara tertentu.
Menurut Cholil (1990) kepemimpinan merupakan suatu bentuk tempat
tertinggi dimana dia menggunakan pengaruhnya untuk
mengkomunikasikan para bawahannya guna mencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan. Menurut Biatna (2008) kepemimpinan secara luas
meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi,
memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi
untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu juga
mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para
pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai
dukungan dan kerjasama dengan orang-orang diluar kelompok atau
organisasi.
Menurut definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
merupakan proses mempengaruhi, memotivasi, mengarahkan, dan
mengkomunikasikan kegiatan-kegiatan seseorang atau kelompok, dalam
usaha mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan pada situasi tertentu.
Dengan demikian proses kepemimpinan meliputi faktor pemimpin,
pengikut, dan situasi, oleh karena itu seorang pemimpin harus
memperhatikan tugas dan manusia dalam menjalankan kepemimpinannya.
2. Tanggung Jawab dan Wewenang Kepemimpinan
Menurut Kartono (2008) tanggung jawab dan wewenang seorang
pemimpin adalah:
a. Memelihara struktur kelompok, menjamin interaksi yang lancar, dan
memudahkan pelaksanaan tugas-tugas.
b. Menyinkronkan ideologi, ide, pikiran, dan ambisi anggota kelompok
dengan pola keinginan pemimpin.
c. Memberikan rasa aman dan status yang jelas kepada setiap anggota,
sehingga mereka bersedia memberikan partisipasi penuh.
d. Memanfaatkan dan mengoptimalisasikan kemampuan, bakat dan
e. Menegakkan peraturan, larangan, disiplin, dan norma-norma kelompok
agar tercapai kepaduan kelompok, meminimalisir konflik dan
perbedaan-perbedaan.
f. Merumuskan nilai-nilai kelompok, dan memilih tujuan-tujuan
kelompok, sambil menentukan sarana dan cara-cara operasional guna
mencapainya.
g. Mampu memenuhi harapan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan para
anggota, sehingga mereka merasa puas. Juga membantu adaptasi
mereka terhadap tuntutan-tuntutan eksternal ditengah masyarakat, dan
memecahkan kesulitan-kesulitan anggota kelompok setiap harinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya
kepemimpinan pada dasarnya menunjukkan perlu adanya pengarahan
kepada karyawan atau bawahannya, serta membantu mereka agar bisa
mengatasi kesulitan-kesulitan, dan memudahkan mereka dalam
menjalankan tugas-tugas sesuai dengan yang telah ditentukan.
3. Teori-Teori Kepemimpinan
Menurut Miftah Thoha (2007) terdapat beberapa teori tentang
kepemimpinan diantaranya: teori sifat, teori kelompok, dan teori
situasional. Teori-teori tersebut dijelaskan pada penjelasan dibawah ini:
a. Teori Sifat (trait theory)
Teori awal tentang sifat ini dapat ditelusuri kembali pada zaman
pemimpin itu dilahirkan, bukannya dibuat. Teori the Great Man
menyatakan bahwa seseorang pemimpin tanpa memperhatikan apakah
ia mempunyai sifat atau tidak mempunyai sifat sebagai pemimpin. Jadi
kepemimpinan adalah fungsi dari kualitas seseorang yang dibawah
sejak lahir dan bukan fungsi dari dukungan dan lingkungan. Seseorang
akan tampil lebih berhasil jika dapat mengenali potensi kualitas dirinya
maka dia harus memahami dan memenuhi kualitas yang diperlukan
bagi seorang pemimpin.
b. Teori Kelompok
Teori kelompok ini beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa
mencapai tujuan-tujuannya, harus terdapat suatu pertukaran yang
positif diantara pemimpin dan pengikut-pengikutnya atas dasar prinsip
saling menguntungkan, yaitu pemimpin memberikan perhatian kepada
bawahan. Dengan adanya porsi perhatian terhadap bawahan akan
memperluas pandangan, memperkokoh kekompakan kelompok
terhadap kepemimpinan seseorang yang pada gilirannya akan
meningkatkan komitmen kelompok itu terhadap tujuan organisasi.
c. Teori Situasional
Teori ini menjelaskan, bahwa harus terdapat daya lenting yang
tinggi atau luwes pada pemimpin untuk menyesuaikan diri terhadap
tuntutan situasi, lingkungan sekitar dan zamannya. Faktor lingkungan
mampu menyelesaikan masalah-masalah yang aktual. Sebab
permasalahan-permasalahan hidup yang penuh pergolakan, selalu akan
memunculkan tipe kepemimpinan yang relevan bagi masanya.
Miftah Thoha (2007) merumuskan empat sifat umum yang mempunyai
pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi yaitu: motivasi
diri, dorongan prestasi, dan orientasi sikap hubungan, hal tersebut
dijelaskan pada penjelasan dibawah ini:
a. Keunggulan Intelegensia (kecerdasan)
Hasil penelitian pada umumnya membuktikan bahwa pemimpin
mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tiggi dibandingkan dengan
yang dipimpin.
b. Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial
Pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang
stabil. Karena mempunyai perhatian yang luas terhadap
aktivitas-aktivitas sosial.
c. Motivasi diri dan dorongan berprestasi
Para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang
kuat untuk berprestasi.
d. Orientasi sikap hubungan
Para pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa teori kepemimpinan itu
ada tiga yaitu teori sifat, teori kelompok dan teori situasional. Untuk dapat
berhasil, seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan, kedewasaan,
mitivasi yang tinggi, serta menghargai bawahannya.
4. Gaya Kepemimpinan
Gaya artinya sikap, gerakan, tingkah laku, sikap yang elok, gerak-gerik
yang bagus, kekuatan, kesanggupan untuk berbuat baik. Dan gaya
kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari
falsafat, keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan seorang
pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya.
Dalam gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yaitu yang
mementingkan pelaksanaan tugas, yang mementingkan hubungan kerja
sama, dan yang mementingkan hasil yang dapat dicapai. Sehingga gaya
kepemimpinan yang paling tepat adalah suatu gaya yang dapat
memaksimumkan produktivitas, kepuasan kerja, penumbuhan, dan mudah
menyesuaikan dengan segala situasi (Biatna, 2008).
Gaya kepemimpinan (leadership styles) merupakan cara pimpinan untuk mempengaruhi orang lain atau bawahannya sedemikian rupa
sehingga orang tersebut mau melakukan kehendak pemimpin untuk
mencapai tujuan organisasi meskipun secara pribadi hal tersebut mungkin
tidak disenangi (Luthans, 2002). Gibson (1996) seperti yang dikutip
tentangperilaku pemimpin melalui dua deminsi, yaitu: consideration dan
initiaying structure. Consideration (konsiderasi) adalah gaya kepemimpinan yang menggambarkan kedekatan hubungan antara bawahan
dengan atasan, adanya saling percaya, kekeluargaan, menghargai gagasan
bawahan, dan adanya komunikasi antara pimpinan dengan bawahan.
Pemimpin yang memiliki konsiderasi yang tinggi menekankan pentingnya
komunikasi yang terbuka dan parsial. initiaying structure (struktur inisiatif) merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa
pemimpin mengorganisasikan dan mendefinisikan hubungan dalam
kelompok, cenderung membangun pola dan saluran komunikasi yang
jelas, serta menjelaskan cara mengerjakan tugas yang besar.
Trisnaningsih (2007) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan
seseorang manajer akan berpengaruh langsung terhadap efektivitas
kelompok kerja. Kelompok kerja dalam perusahaan merupakan
pengelompokan kerja dalam bentuk unit kerja dan masing-masing unit
kerja itu dipimpin oleh seorang manajer. Gaya manajer untuk mengelola
sumber daya manusia dalam suatu unit kerjaakan berpengaruh pada
peningkatan kinerja unit, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja
B. Kepuasan Kerja
Istilah kepuasan kerja (Job Statisfaction) merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Seorang dengan tingkat kepuasan
kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu seseorang yang
tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap
pekerjaan tersebut (Robbins, 2003).
Kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang
menyenangkan atau tidak pekerjaan mereka (Davis dan Newstron, 1989 dalam
Rahmawati dan Widagdo, 2001). Kepuasan kerja merupakan perasaan senang
atau tidaknya seseorang yang relatif terhadap pekerjaannya yang berbeda dari
pemikiran objektif dan keinginan perilaku. Masih menurut Davis dan
Newstron, apabila pegawai bergabung dalam suatu organisasi, ia membawa
serta seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu
yang menyatu membentuk harapan kerja. Dengan demikian sumber kepuasan
kerja adalah adanya kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan
imbalan yang disediakan pekerjaan, jadi kepuasan kerja juga berkaitan erat
dengan teori keadilan, perjanjian psikologis dan motivasi.
Anik dan Arifuddin (2005) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah
suatu tingkatan perasaan yang positif/negatif tentang beberapa aspek dari
pekerjaan, situasi kerja, dan hubungan dengan rekan sekerja. Kepuasan kerja
tergantung pada tingkat perolehan intrinsik dan ekstinsik pada pandangan
berbeda-beda bagi orang yang berbeda-beda. Bagi orang tertentu, pekerjaan
yang penuh tanggung jawab dan yang menantang mungkin menghasilkan
perolehan yang netral atau bahkan negatif. Bagi orang lain, perolehan
pekerjaan semacam itu mungkin mempunyai nilai yang positif. Orang
mempunyai nilai (valensi) yang berbeda-beda, yang dikaitkan dengan
perolehan pekerjaan. Perbedaan tersebut akan menimbulkan perbedaan tingkat
kepuasan kerja bagi tugas pekerjaan yang intinya sama.
Kepuasan kerja dapat pula didefinisikan sebagai keadaan emosi yang
menyenangkan sebagai hasil persepsi seseorang terhadap pekerjaannya,
apakah pekerjaan tersebut dapat memenuhi atau memfasilitasi tercapainya
pemenuhan nilai pekerjaan yang penting bagi orang tersebut. Kepuasan kerja
sebagai cara pandang seseorang terhadap pekerjaannya, apakah ia memandang
pekerjaannya sebagai sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang tidak
menyenangkan (Ciliana, 2008).
Berdasarkan pernyataan beberapa tokoh di atas, peneliti mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai perasaan, sikap, dan persepsi seseorang terhadap
pekerjaannya, baik secara keseluruhan maupun dari aspek-aspek
pekerjaannya, yang menghasilkan keadaan emosi yang menyenangkan bagi
orang tersebut.
Menurut Spector (1997) faktor-faktor penyebab kepuasan kerja dapat
pekerjaan dan faktor-faktor individu. Enam faktor penyebab kepuasan kerja
yang termasuk ke dalam faktor lingkungan pekerjaan antara lain:
1. Karakteristik pekerjaan.
Individu yang merasakan kepuasan intrinsik ketika melakukan tugas-tugas
dalam pekerjaannya akan menyukai pekerjaan mereka dan memiliki
motivasi untuk memberikan performa yang lebih baik.
2. Batasan dari organisasi (organizational constraints).
Batasan dari organisasi adalah kondisi lingkungan pekerjaan yang
menghambat performa kerja karyawan. Karyawan yang mempersepsikan
adanya tingkat batasan yang tinggi cenderung untuk tidak puas dengan
pekerjaannya.
3. Peran dalam pekerjaan
Ambiguitas peran dan konflik peran memiliki hubungan dengan kepuasan
kerja. Karyawan mengalami ambiguitas peran ketika ia tidak memiliki
kepastian mengenai fungsi dan tanggung jawabnya dalam pekerjaan.
Sedangkan konflik peran terjadi ketika individu mengalami tuntutan yang
bertentangan terhadap fungsi dan tanggung jawabnya.
4. Konflik antara pekerjaan dan keluarga.
Konflik antara pekerjaan dan keluarga terjadi ketika tuntutan dalam
pekerjaan dan tuntutan keluarga saling bertentangan satu sama lain. Konflik
Karyawan yang mengalami tingkat konflik yang tinggi cenderung untuk
memiliki tingkat kepuasan kerja yang rendah.
5. Gaji
Hubungan antara tingkat gaji dan kepuasan kerja cenderung lemah.
Hubungan tersebut menunjukkan bahwa gaji bukan merupakan faktor yang
sangat kuat pengaruhnya terhadap kepuasan kerja. Walaupun tingkat gaji
bukan merupakan hal yang penting, keadilan dalam pembayaran gaji dapat
menjadi sangat penting karena karyawan membandingkan dirinya dengan
orang lain dan menjadi tidak puas jika memperoleh gaji yang lebih rendah
dari orang lain dan menjadi tidka puas jika memperoleh gaji yang lebih
rendah dari orang pada pekerjaan yang sama. Hal yang dapat menjadi lebih
penting daripada perbedaan gaji adalah bagaimana karyawan menyadari
bahwa pembagian gaji sudah diatur oleh kebijakan dan prosedur yang adil.
Oleh karena itu, proses pembagian gaji memiliki dampak yang lebih besar
terhadap kepuasan kerja daripada tingkat gaji yang sesungguhnya.
6. Stress kerja
Dalam setiap pekerjaan, setiap karyawan akan menghadapi kondisi dan
situasi yang dapat membuat mereka merasa tertekan (stress). Kondisi dan
situasi tersebut tidak hanya mempengaruhi keadaan emosional pada waktu
yang singkat, tetapi juga kepuasan kerja dalam jangka waktu yang lebih
lama. Adapun situasi dan kondisi dalam pekerjaan yang dapat membuat
dimiliki oleh karyawan, (b) kontrol: kebebasan yang diberikan pada
karyawan untuk membuat keputusan tentang pekerjaan mereka, dan (c)
jadwal kerja: jadwal kerja yang fleksibel, waktu kerja yang panjang, waktu
kerja malam, dan kerja paruh waktu. Ketiga kondisi tersebut memiliki
hubungan dengan kepuasan kerja.
Sedangkan dua faktor penyebab kepuasan kerja yang termasuk ke dalam
faktor individu (Spector, 1997) antara lain:
a. Karakteristik kepribadian.
Locus of control dan negative affectivity merupakan karakteristik kepribadian yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan
kerja. Locus of control merupakan variabel kognitif yang
merepresentasikan keyakinan individu terhadap kemampuan mereka untuk
mengontrol penguatan positif dan negatif dalam kehidupan. Karyawan
yang memiliki locus of control internal (yakin bahwa dirinya mampu mempengaruhi penguatan) akan memiliki kepuasan kerja yang lebih
tinggi. Sedangkan negative affectivity merupakan variabel kepribadian yang merefleksikan kecenderungan seseorang untuk mengalami emosi
negatif, seperti kecemasan atau depresi, dalam menghadapi berbagai
b. Kesesuaian antara individu dengan pekerjaan.
Pendekatan kesesuaian antara individu dengan pekerjaan menyatakan
bahwa kepuasan kerja akan timbul ketika karakteristik pekerjaan sesuai
atau cocok dengan karakteristik individu. Penelitian lain menyatakan
bahwa kesesuaian antara individu dengan pekerjaannya dilihat berdasarkan
perbedaan antara kemampuan yang dimiliki seseorang dan kemampuan
yang dituntut daam sebuah pekerjaan. Semakin kecil perbedaan tersebut,
semakin besar pula kepuasan kerja individu.
Selain anteseden di atas, Spector (2000) juga menyatakan bahwa
gender, usia, serta perbedaan budaya dan etnis dapat mempengaruhi kepuasan
kerja. Tujuh tingkah laku yang merupakan hasil dari kepuasan kerja seseorang
antara lain:
a. Performa kerja.
Seseorang yang menyukai pekerjaannya akan lebih termotivasi, bekerja
lebih keras, dan memiliki performa yang lebih baik. Selain itu, terdapat
bukti yang kuat bahwa seseorang yang memiliki performa yang lebih baik,
lebih menyukai pekerjaan mereka karena penghargaan yang sering
diasosiasikan dengan performa yang baik. Performa kerja dan kepuasan
kerja memiliki hubungan yang lebih kuat ketika organisasi mengaitkan
penghargaan dengan performa kerja yang baik.
OCB merupakan tingkah laku yang melebihi prasyarat formal dalam
pekerjaan seperti hal-hal yang dilakukan secara sukarela untuk membantu
rekan kerja dan organisasi. Seseorang yang menyukai pekerjaannya akan
melakukan hal-hal yang lebih dari apa yang diperlukan oleh pekerjaannya.
Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan bahwa kepuasan kerja dan
OCB saling berhubungan satu sama lain.
c. Withdrawal behavior.
Banyak teori membuat hipotesis bahwa orang yang tidak menyukai
pekerjaannya akan menghindari pekerjaan mereka, baik secara permanen
dengan keluar dari pekerjaan maupun secara temporer dengan absen atau
datang terlambat. Banyak peneliti juga menganggap perilaku absen dan
turnover sebagai fenomena yang berhubungan dan dilandasi oleh motivasi yang sama untuk melarikan diri dari pekerjaan yang tidak memuaskan.
Namun, korelasi yang ditemukan antara kepuasan kerja dan perilaku absen
cenderung lemah. Sedangkan penelitian menunjukkan adanya hubungan
yang konsisten antara kepuasan kerja dengan turnover. d. Burnout.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang tidak puas dengan
pekerjaannya memiliki tingkat burnout yang tinggi Selain itu, tingkat
kontrol dan kepuasan hidup yang rendah serta timbulnya gejala gangguan
kesehatan dan intense yang tinggi untuk berhenti dari pekerjaan.
Beberapa peneliti menyatakan adanya hubungan signifikan antara
kepuasan kerja dengan gejala fisik atau psikosomatik, seperti sakit kepala
dan sakit perut Selain itu, situasi kerja yang tidak memuaskan juga
memiliki potensi untuk mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis.
f. Counterproductive behavior.
Agresi terhadap rekan kerja dan atasan, sabotase, dan pencurian
merupakan bentuk dari Counterproductive behavior. Tingkah laku tersebut sering diasosiasikan dengan ketidakpuasan dan frustasi dalam bekerja.
Kepuasan kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan
Counterproductive behavior.
Pengukuran kepuasan kerja individu dengan menggunakan Job
Satisfaction Survey (Spector, 1997) mengandung pengukuran Sembilan aspek sebagai berikut:
a. Pay (gaji): kepuasan individu terhadap gaji dan kenaikan gaji.
b. Promotion (promosi): kepuasan individu terhadap kesempatan promosi. c. Supervision (atasan): kepuasan individu terhadap atasan.
d. Fringe benefits (tunjangan): kepuasan individu terhadap tunjangan yang diberikan perusahaan.
e. Contingent rewards (imbalan non-finansial): kepuasan individu terhadap
imbalan non-finansial yang diberikan karena performa baik yang
f. Operating conditions (kondisi operasional): kepuasan individu terhadap
peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang berlaku dalam organisasi.
g. Co-workers (rekan kerja): kepuasan individu terhadap rekan-rekan kerja. h. Nature of work (tipe/jenis pekerjaan): kepuasan individu terhadap tipe
pekerjaan yang dilakukan.
i. Communication (komunikasi): kepuasan individu terhaddap komunikasi
yang terjalin dalam organisasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan
kerja seorang auditor itu dapat dinilai dari gaji, promosi, atasan, tunjangan,
imbalan non-finansial, kondisi operasional, rekan kerja, tipe atau pekerjaan,
dan komunikasi yang didapat dari tempat kerja tersebut.
C. Motivasi Kerja
1. Pengertian Motivasi Kerja
Istilah motivasi, dalam kehidupan sehari-hari memiliki pengertian
yang meragam baik yang berhubungan dengan perilaku individu maupun
perilaku organisasi. Namun, apapun pengertiannya motivasi merupakan
unsur penting dalam diri manusia, yang berperan mewujudkan
keberhasilan dalam usaha atau pekerjaan manusia. Dasar utama
pelaksanaan motivasi oleh seorang pimpinan adalah pengetahuan dan
perhatian terhadap perilaku manusia yang dipimpinnya sebagai suatu
Motivasi menurut Hasibuan (2002) adalah pemberian daya penggerak
yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mau bekerja sama,
bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk
mencapai kepuasan.
Menurut Hafizurrahcman (2007), karakteristik pekerja yang
mempunyai motivasi berprestasi tinggi, antara lain: 1) Memiliki tanggung
jawab pribadi yang tinggi, 2) Memiliki Program kerja berdasarkan rencana
dan tujuan nyata serta berjuang untuk merealisasikannya, 3) Memiliki
kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil risiko
yang dihadapinya, 4) Melakukan pekerjaan yang berarti dan
menyelesaikan dengan hasil yang memuaskan, dan 5) Mempunyai
keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu. Dan
motivasi memiliki dua bentuk dasar: Pertama, motivasi buatan (extrinsic), yaitu segala hal yang dilakukan terhadap orang untuk memotivasi mereka.
Kedua, motivasi hakiki (intrinsic), yaitu faktor-faktor dari dalam diri seseorang yang mempengaruhi orang untuk berprilaku atau untuk bergerak
ke arah tertentu. Kenyataannya, bentuk motivasi tersebut saling berkaitan
erat, artinya pengaruh yang datang dari luar akan mempengaruhi motivasi
yang datang dari dalam diri seseorang. Motivasi adalah sesuatu yang
kompleks. Untuk memotivasi secara efektif diperlukan: Memahami proses
dasar motivasi, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi,
menciptakan perasaan puas, dan memahami bahwa disamping semua
faktor di atas, ada hubungannya yang kompleks antara motivasi dan
prestasi kerja.
Dari pengertian di atas, maka motif itu bersifat intristik dalam
motivasi, karena dorongan atau daya gerak diri muncul dari dalam diri
seseorang, tanpa adanya perangsang atau insentif. Motif yang bersifat
intristik merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan,
yang dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya yaitu pendidikan,
pengalaman serta sifat-sifat pribadi yang dimiliki seseorang. Di dalam
organisasi formal, adanya motif yang berasal dari dalam diri pegawai
membawa konsekunsi bagi pimpinan untuk dapat mendorong pegawai
tersebut untuk lebih meningkatkan kinerjanya, diantaranya melalui
pemberian reward dan penyediaan berbagai sarana dan prasarana kerja yang sesuai dengan pegawai tersebut.
Untuk dapat menumbuhkan motivasi kerja yang positif di dalam diri
pegawai, maka seorang pemimpin harus sungguh-sungguh memberikan
perhatian pada faktor-faktor sebagai berikut (Novari, 2009):
1. Achievement (keberhasilan pelaksanaan)
Agar seseorang bawahan dapat berhasil melaksanakan
pekerjaannya, maka pimpinan harus memberikan kesempatan kepada
bawahan untuk mencapai hasil. Pimpinan juga harus member semangat
dianggapnya tidak dikuasainya. Apabila ia berhasil melakukan hal
tersebut, maka pimpinan harus menyatakan keberhasilannya itu.
2. Recognition (pengakuan)
Adanya pengakuan dari pimpinan atas keberhasilan bawahan
melakukan suatu pekerjaan. Pengakuan tersebut dapat dilakukan
melalui berbagai cara, misalnya dengan menyatakan keberhasilannya
langsung di tempat kerjanya, memberikan surat penghargaan, hadiah
berupa uang tunai, medali, kenaikan pangkat atau promosi.
3. The Work it Self (pekerjaan itu sendiri)
Pimpinan membuat usaha-usaha yang nyata dan meyakinkan,
sehingga, bawahan mengerti akan pentingnya pekerjaan yang
dilakukannya. Untuk itu harus dihindarkan kebosanan yang mungkin
muncul dalam pekerjaan serta penempatan pegawai yang sesuai
dengan bidangnya.
4. Responsibilities (tanggung jawab)
Untuk dapat menumbuhkan sikap tanggung jawab terhadap
bawahan, maka pimpinan harus menghindari pengawasan yang ketat,
dengan memberikan kesempatan kepada bawahan untuk bekerja
sendiri pekerjaan itu memungkinkan dan menumbuhkan partisipasi.
Penerapan partisipasi akan membuat bawahan terlibat dalam
5. Advancement (pengembangan)
Pengembangan dapat menjadi motivator yang kuat bagi bawahan.
Pimpinan dapat memulainya dengan memberi bawahan suatu
pekerjaan yang lebih bertanggung jawab. Apabila hal ini sudah
dilakukan, pimpinan dapat memberikan rekomendasi tentang bawahan
yang siap untuk pengembangan, untuk menaikkan pangkatnya atau
untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan lebih lanjut.
2. Teori-teori Motivasi
Secara psikologi, aspek yang sangat penting dalam kepemimpinan
kerja adalah sejauh mana pimpinan mampu mempengaruhi motivasi kerja
sumber daya manusia yang memiliki agar mampu bekerja produktif
dengan penuh tanggung jawab. Hal ini karena beberapa alasan antara lain:
1. Karyawan harus senantiasa didorong untuk bekerja sama dalam
organisasi.
2. Karyawan harus senantiasa didorong untuk bekerja dan berusaha
sesuai dengan tuntutan kerja.
3. Motivasi karyawan merupakan aspek yang sangat penting dalam
memelihara dan mengembangkan sumber daya manusaia dalam
organisasi.
Teori motivasi dipahami agar pimpinan mampu mengidentifikasi apa
yang memotivasi karyawan bekerja, hubungan perilaku kerja dengan
dalam penelitian ini didasarkan pada teori berprestasi (Achievement Theory)
Menurut Mangkunegara (2005), motivasi yaitu produktivitas seseorang
sangat ditentukan oleh “virus mental” yang ada pada dirinya. Virus mental
adalah kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk mampu mencapai
prestasinya secara maksimal. Virus mental yang dimaksud terdiri dari tiga
dorongan kebutuhan, yaitu:
a. Kebutuhan untuk berprestasi (Need of achievement), merupakan kebutuhan untuk mencapai sukses, yang diukur berdasarkan standar
kesempatan dalam diri seseorang. Kebutuhan ini berhubungan erat
dengan pekerjaan dan mengarahkan tingkah laku pada usaha untuk
mencapai prestasi tertentu.
b. Kebutuhan berafiliasi (Need for affiliation), merupakan kebutuhan akan kehangatan dan sokongan dalam hubungannya dengan orang lain.
Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan
secara akrab dengan orang lain.
c. Kebutuhan kekuatan (Need for power), merupakan kebutuhan untuk menguasai dan mempengaruhi situasi dan orang lain agar menjadi
dominan dan pengontrol. Kebutuhan ini menyebabkan orang yang
bersangkutan kurang memperdulikan perasaan orang lain.
Pembinaan virus mental manajer dengan cara mengembangkan potensi
produktivitas perusahaan yang berkualitas tinggi dan tercapainya tujuan
utama organisasi. Ada tiga faktor atau dimensi dari motivasi, yaitu motif,
harapan dan insentif. Ketiga dimensi dari motivasi tersebut diuraikan
secara singkat pada bahasan berikut.
a. Motif
Motif adalah suatu prangsang keinginan dan daya penggerak
kemauan bekerja. Setiap motif mempunyai tujuan tertentu yang ingin
dicapai. Suatu dorongan di dalam diri setiap orang, tingkatan alasan
atau motif-motif yang menggerakkan tersebut menggambarkan tingkat
untuk menempuh sesuatu.
b. Harapan
Harapan merupakan kemungkinan mencapai sesuatu dengan aksi
tertentu. Seorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat
upaya tinggi bila karyawan meyakini upaya tersebut akan menghantar
ke suatu penilaian kinerja yang baik, suatu penilaian yang baik akan
mendorong ganjaran-ganjaran organisasional (memberikan harapan
kepada karyawan) seperti bonus, kenaikan gaji, atau promosi, dan
ganjaran itu akan memuaskan tujuan pribadi karyawan.
c. Insentif
Menurut Mangkunegara (2005), menyimpulkan bahwa insentif
berupa uang jika pemberiannya dikaitkan dengan tujuan pelaksanaan
karyawan. Pimpinan perlu membuat perencanaan pemberian insentif
dalam bentuk uang yang memadai agar karyawan terpacu motivasi
kerjanya dan mampu mencapai produktivitas kerja maksimal.
D. Kinerja Auditor
1. Pengertian Kinerja Auditor
Berikut adalah beberapa pendapat para ahli tentang kinerja yang
dikutip Sirulingga (2004), tiga diantaranya adalah:
1. Menurut Soeprihantono (2003), kinerja atau prestasi kerja adalah hasil
kerja seseorang atau kelompok selama periode tertentu dibandingkan
dengan berbagai kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran atau
kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan disepakati bersama.
2. Menurut Ruky (2002), kinerja adalah sebuah penilaian sistematis atas
individu karyawan mengenai prestasi kerjanya dan potensinya untuk
pengembangan.
3. Menurut Suyadi (2003), kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja
yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu
organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab
masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan
secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan
Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam
strategic planning suatu organisasi. Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok
individu (Mahsun Mohammad, Firma Sulistyowati, dan Heribertus, 2007).
Kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja
organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi
kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan,
sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu
dengan kinerja kelompok (Mangkunegara, 2005).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dapat disimpulkan
bahwa kinerja (prestasi kerja) auditor adalah suatu hasil karya yang
dicapai oleh seorang auditor dalam melaksanakan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan
kesungguhan waktu yang dikur dengan mempertimbangkan kuantitas,
kualitas, dan ketepatan waktu. Kinerja (prestasi kerja) dapat diukur melalui
pengukuran tertentu, dimana kualitas adalah berkaitan dengan mutu kerja
yang dihasilkan, sedangkan kuantitas adalah jumlah hasil kerja yang
dihasilkan dalam kurun waktu tertentu, dan ketepatan waktu adalah
2. Unsur-unsur Pengukuran Kinerja Auditor
Menurut Ruky (2002), unsur-unsur pengukuran kinerja sebagai
berikut:
1. Kinerja berorientasi pada input. Cara ini merupakan cara tradisional
yang menekankan pada pengukuran atau penilaian ciri-ciri
kepribadian Auditor. Ciri-ciri atau karakteristik kepribadian yang
banyak dijadikan objek pengukuran adalah kejujuran, ketaatan,
disiplin, loyalitas, kreativitas, adaptasi, komitmen, sopan santun dan
lain-lain.
2. Kinerja yang berorientasi pada proses. Melalui cara ini, kinerja atau
prestasi Auditor yang diukur dengan cara menilai sikap dan perilaku
seorang Auditor dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya,
dengan kata lain penilaian masih tetap tidak difokuskan langsung
pada kuantitas dan kualitas hasil yang dicapainya, yang diteliti
adalah meneliti bagaimana tugas-tugas dilakukan dan
membandingkan perilaku dan sikap yang diperlihatkan dengan
standar yang telah ditetapkan untuk setiap tugas yang telah
dibebankan padanya.
3. Kinerja yang berorientasi pada output. Sistem ini biasa juga disebut
sistem manajemen kinerja yang berbasiskan pencapaian sasaran
kerja individu. Sistem ini memfokuskan pada hasil yang diperoleh
manajemen kinerja berbasiskan pada konsep manajemen
berdasarkan sasaran.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja
Menurut Mangkunegara (2005) kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu:
1. Faktor individual yang terdiri dari kemampuan dan keahlian, latar
belakang, dan demografi.
2. Faktor psokologis yang terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian,
pembelajaran, dan motivasi.
3. Faktor organisasi yang terdiri dari sumber daya, kepemimpinan,
penghargaan, struktur, dan job design.
Faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal (disposisional), yaitu faktor yang dihubungkan dengan
sifat-sifat seseorang. Faktor eksternal, yaitu faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan, seperti
perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau
pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi. Faktor-faktor internal dan
eksternal ini merupakan jenis-jenis atribusi yang mempengaruhi kinerja
seseorang.
Masih menurut pendapat dari Mangkunegara (2005), faktor penentu
prestasi kerja individu dalam organisasi adalah faktor individu dan faktor
1. Faktor Individu.
Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang
memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisiknya.
Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu untuk
mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara
optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari
dalam mencapai tujuan organisasi.
2. Faktor Lingkungan.
Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu
dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang
dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang
memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif,
hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang
berkarier dan fasilitas kerja yang relatif memadai.
4. Penilaian Kinerja
Untuk mendapatkan informasi atas kinerja Auditor, maka ada beberapa
pihak baik itu perorangan ataupun kelompok yang biasanya melakukan
penilaian atas kinerja Auditor. Menurut Robbins (2001), ada lima pihak
yang dapat melakukan penilaian kinerja Auditor, yaitu:
1. Atasan langsung.
Semua evaluasi kinerja pada tingkat bawah dan menengah dari
langsung yang memberikan pekerjaan dan paling tahu kinerja
Auditornya.
2. Rekan sekerja.
Penilaian kinerja yang dilakukan oleh rekan sekerja dilaksanakan
dengan pertimbangan. Pertama, rekan sekerja dekat dengan tindakan.
Interaksi sehari-hari memberikan kepada Auditor pandangan
menyeluruh terhadap kinerja seseorang Auditor dalam pekerjaan.
Kedua, dengan menggunakan rekan sekerja sebagai penilaian
menghasilkan sejumlah penilaian yang independen.
3. Evaluasi diri.
Evaluasi ini cenderung mengurangi kedefensifan para Auditor
mengenai proses penilaian, dan evaluasi ini merupakan sarana yang
unggul untuk merangsang pembahasan kinerja Auditor dan atasan
Auditor.
4. Bawahan langsung
Penilaian kinerja Auditor oleh bawahan langsung dapat memberikan
informasi yang tepat dan rinci mengenai perilaku seorang atasan karena
lazimnya penilai mempunyai kontak yang sering dengan yang dinilai.
5. Pendekatan menyeluruh
Penilaian kinerja Auditor dilakukan oleh atasan, pelanggan, rekan
sekerja, dan bawahan. Penilaian kinerja ini cocok di dalam organisasi
Dimensi yang dipergunakan di dalam melakukan penilaian kinerja
Auditor menurut Lubis (2008) sebagai berikut:
1. Pengetahuan atas pekerjaan, kejelasan pengetahuan atas tanggung
jawab pekerjaan yang menjadi auditor.
2. Perencanaan dan organisasi, kemampuan membuat rencana pekerjaan
meliputi jadwal dan urutan pekerjaan, sehingga tercapai efisiensi dan
efektivitas.
3. Mutu pekerjaan, ketelitian dan ketepatan pekerjaan.
4. Produktivitas, jumlah pekerjaan yang dihasilkan dibandingkan dengan
waktu yang digunakan.
5. Pengetahuan teknis, dasar teknis dan kepraktisan sehingga pekerjaannya
mendekati standar kinerja.
6. Judgement, kebijakan naluriah dan kemampuan menyimpulkan tugas sehingga tujuan organisasi tercapai.
7. Komunikasi, kemampuan berhubungan secara lisan dengan orang lain.
8. Kerjasama, kemampuan bekerja sama dengan orang lain dan sikap yang
konstruktif dalam tim.
9. Kehadiran dalam rapat, kemampuan dan keikutsertaan (partisipasi)
dalam rapat berupa pendapat atau ide.
10. Manajemen proyek, kemampuan mengelola proyek, baik membina
tim, membuat jadwal kerja, anggaran dan meciptakan hubungan baik
11. Kepemimpinan, kemampuan mengarahkan dan membimbing bawahan,
sehingga tercipta efisiensi dan efektivitas.
12. Kemampuan memperbaiki diri sendiri, kemampuan memperbaiki diri
dengan studi lanjutan atau kursus-kursus.
E. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai komitmen organisasi, budaya organisasi, gaya
kepemimpinan, motivasi, dan kinerja auditor telah banyak dilakukan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut banyak
memberikan masukan serta kontribusi tambahan bagi auditor untuk
meningkatkan kinerjanya. Tabel 4.1 menunjukkan hasil-hasil penelitian
terdahulu mengenai kinerja auditor.
Tabel 4.1 Penelitian Terdahulu
No Peneliti (tahun) Judul Penelitian Variabel yang diteliti Metodologi
Penelitian Hasil Penelitian
1. Hian Ayu
Oceani Wibowo (2009) Pengaruh indepedensi auditor, komitmen organisasi, gaya kepemimpinan, dan pemahaman Good Governance terhadap kinerja auditor
1. Independensi Auditor (X1)
2. Komitmen Organisasi (X2)
3. Gaya
Kepemimpina n (X3)
4. Good Governance (X4)
5. kinerja auditor (Y)
Sampel: auditor yang bekerja pada KAP di DIY Metode Analisis data menggunakan Regresi Berganda
Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa variabel independensi auditor, komitmen organisasi, gaya kepemimpinan, dan pemahaman good governance mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja auditor
2. Amilin dan Rosita Dewi (2008) Pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja akuntan publik dengan role stress sebagai variabel moderating 1. komitmen organisasi (X1)
2. konflik peran (X2)
3. ketidakjelasan peran (X3)
4. kepuasan kerja (Y) Sampel: Auditor yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik di Jakarta Metode analisis data menggunakan multiple regression method
Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa variabel ketidakpastian peran bukanlah variabel yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Hanya variabel komitmen organisasi yang berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja
Tabel 4.1 (Lanjutan)
No Peneliti (tahun) Judul Penelitian Variabel yang diteliti Metodologi
Penelitian Hasil Penelitian
3. Cecilia Engko dan Gudono (2007) Pengaruh kompleksitas tugas dan locus of control terhadap hubungan antara gaya kepemimpinan dan kepuasan kerja auditor 1.Gaya kepemimpinan (X1)
2.Kompleksitas tugas (X2)
3.Kepuasan kerja (Y) Sampel: Auditor pada kantor akuntan publik di kota Surabaya, Semarang, Yogyakarta. Metode analisis data menggunakan Analisis Dua Jalan Varians (ANOVA)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin rendah
kompleksitas tugas maka gaya kepemimpinan suportif akan
meningkatkan kepuasan kerja auditor Yunior. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kompleksitas tugas tidak dapat memoderasi hubungan antara gaya kepemimpinan direktif dan kepuasan kerja, lokus kontrol tidak dapat memoderasi hubungan antara gaya kepemimpinan direktif dan kepuasan kerja dan lokus kontrol tidak dapat memoderasi hubungan antara gaya kepemimpinan suportif dan kepuasan kerja. 4 Biatna Dulbert Tampubol on (2007) Analisis faktor gaya kepemimpinan dan faktor etos kerja terhadap kinerja pegawai pada organisasi yang telah menerapkan sni 19-9001-2001 1. Gaya kepemimpinan (X1)
2. Etos Kerja(X2)
3. Kinerja (Y)
Sampel: Seluruh pegawai pada organisasi yang telah menerapkan SNI 19-9001-2001 Metode analisis data menggunakan regresi linear berganda
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa faktor gaya kepemimpinan dan faktor etos kerja secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja pegawai organisasi, sedangkan secara simultan faktor gaya kepemimpinan dan faktor etos kerja berpengaruh secara
signifikan terhadap kinerja pegawai organisai.
Tabel 4.1 (Lanjutan)
No Peneliti
(tahun) Judul Penelitian
Variabel yang diteliti
Metodologi
Penelitian Hasil Penelitian
5. Rosalina Kurniwati Tethool dan Rustiana (2003) Dampak interaksi tindakan supervisi dan pengalaman kerja terhadap kepuasan kerja auditor 1.Tindakan supervisi (X1)
2. Pengalaman (X2)
3. Kepuasan kerja (Y) Sampel: Auditor pada kantor akuntan publik di wilayah Yogyakarta, Semarang, Solo. Metode Analisis Menggunakan Analisis Regresi Berganda
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasilnya mendukung hipotesis. Ini menyiratkan bahwa manajer di perusahaan akuntan publik harus mempertimbangkan kombinasi tindakan supervisi dan pengalaman dalam audit dalam rangka meningkatkan kepuasan kerja untuk senior dan yunior auditor. 6. Trisnaningsih
S. (2003) Pengaruh Komitmen terhadap Kepuasaan Kerja Auditor: Motivasi sebagai Variabel Intervening (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Jawa Timur)
1. Komitmen (X1)
2. Motivasi (X2)
3. Kepuasan kerja auditor (Y)
Sampel: Auditor yang bekerja pada KAP di Jawa Timur Metode analisis data menggunakan analisis jalur Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa komitmen dan motivasi berpangaruh signifikan terhadap kepuasan kerja auditor, sedangkan motivasi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja auditor.
[image:48.595.40.544.137.617.2]F. Keterkaitan Antar Variabel
1. Kepemimpinan, Kepuasan Kerja, dan Motivasi Kerja dengan Kinerja Auditor
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2009) mengenai
pengaruh independensi auditor, komitmen organisasi, gaya kepemimpinan,
dan pemahaman good governance terhadap kinerja auditor, hasil membuktikan bahwa variabel independensi auditor, komitmen organisasi,
gaya kepemimpinan, dan pemahaman good governance mempunyai
pengaruh positif terhadap kinerja auditor.
Menurut Biatna (2008) dalam penelitiannya mengenai analisis faktor
gaya kepemimpinan dan faktor etos kerja pada kinerja pegawai pada
organisasi yang telah menerapkan SNI 19-9001-2001, menyimpulkan
bahwa faktor gaya kepemimpinan memberikan kontribusi yang relatif
besar dan sangat signifikan dalam meningkatkan kinerja karyawan dalam
organisasi tersebut, faktor etos kerja memberikan kontribusi yang relatif
kecil akan tetapi memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan
kinerja karyawan dalam organisasi, sedangkan secara bersama-sama atau
simultan faktor gaya kepemimpinan dan faktor etos kerja memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap peningkatan kinerja karyawan dalam
organisasi.
Menurut Trisnaningsih S. (2003) menunjukkan bahwa terdapat
dimiliki oleh seorang auditor. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen
organisasi dapat tumbuh manakala harapan kerja dapat terpenuhi oleh
organisasi dengan baik. Selanjutnya dengan terpenuhinya harapan kerja ini
akan menimbulkan motivasi yang dimiliki oleh seorang auditor akan
semakin tinggi pula.
Berdasarkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mendorong
peneliti untuk menguji kembali apakah variabel motivasi kerja berpengaruh
terhadap kinerja auditor. Dengan demikian maka hipotesis yang diajukan
adalah sebagai berikut:
Ha1: Kepemimpinan, Kepuasan Kerja, dan motivasi kerja memiliki
hubungan yang positif terhadap kinerja auditor.
2. Kepemimpinan dengan kinerja Auditor
Menurut Wibowo (2009) menunjukkan bahwa hubungan positif
antara gaya kepemimpinan dengan kinerja auditor. Hal tersebut berarti
semakin baik cara memimpin seorang pimpinan dimana auditor bekerja
maka akan semakin mempengaruhi kinerja auditor. Sehingga dapat
disimpulkan adanya hubungan antara gaya kepemimpinan dengan kinerja
auditor, bahwa seorang auditor yang dipimpin oleh seorang pimpinan yang
memiliki cara memimpin dengan baik dan disukai oleh bawahannya maka
dia akan merasa senang dalam bekerja sehingga kinerjanya akan
Berdasarkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mendorong
peneliti untuk menguji kembali apakah variabel kepemimpinan
berpengaruh terhadap kinerja auditor. Dengan demikian maka hipotesis
yang diajukan adalah sebagai berikut:
Ha2: Kepemimpinan memiliki hubungan yang positif terhadap kinerja
auditor.
3. Kepuasan Kerja dengan Kinerja Auditor
Menurut Amilin dan Rosita Dewi (2008) mengenai pengaruh
komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja akuntan publik dengan role
stress sebagai variabel moderating, berhasil membuktikan bahwa variabel
ketidakpastian peran bukanlah variabel yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja. Hanya variabel komitmen organisasi yang berpengaruh
secara signifikan terhadap kepuasan kerja.
Berdasarkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mendorong
peneliti untuk menguji kembali apakah variabel kepuasan kerja
berpengaruh terhadap kinerja auditor. Dengan demikian maka hipotesis
yang diajukan adalah sebagai berikut:
Ha3: Kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif terhadap kinerja
auditor.
4. Motivasi Kerja dengan Kinerja Auditor
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Trisnaningsih S. (2003)
dengan motivasi yang dimiliki oleh seorang auditor. Hal ini menunjukkan
bahwa komitmen organisasi dapat tumbuh manakala harapan kerja dapat
terpenuhi oleh organisasi dengan baik. Selanjutnya dengan terpenuhinya
harapan kerja ini akan menimbulkan motivasi yang dimiliki oleh seorang
auditor akan semakin tinggi pula.
Berdasarkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mendorong
peneliti untuk menguji kembali apakah variabel motivasi kerja berpengaruh
terhadap kinerja auditor. Dengan demikian maka hipotesis yang diajukan
adalah sebagai berikut:
Ha4: Motivasi kerja memiliki hubungan yang positif terhadap kinerja
auditor.
G. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan tujuan penelitian di atas mengenai pengaruh kepemimpinan,
kepuasan kerja, dan motivasi kerja terhadap kinerja auditor pada kantor
akuntan publik di DKI Jakarta, maka dibuat kerangka pemikiran penelitian
H. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan suatu
hipotesis yang merupakan dugaan sementara dalam pengujian dalam suatu
1. Ho : Diduga bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel
kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi kerja secara simultan
terhadap kinerja auditor.
Ha : Diduga bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel
kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi kerja secara simultan
terhadap kinerja auditor.
2. Ho : Diduga bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel
kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi kerja secara parsial
terhadap kinerja auditor.
Ha : Diduga bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel
kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi kerja secara parsial
terhadap kinerja auditor.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian empiris dimana peneliti
terlibat langsung dalam penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis seberapa besar Pengaruh Kepemimpinan, Kepuasan Kerja, Dan
Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Auditor Pada Kantor Akuntan Publik di
DKI Jakarta.
B. Metode Penentuan Sampel
Penelitian ini dibatasi pada populasi Auditor pada Kantor Akuntan
Publik (KAP) di DKI Jakarta. Metode pengambilan sampel yang digunakan
pada penelitian ini adalah non random sampling, artinya peneliti tidak memberikan kesempatan yang sama pada anggota populasi untuk dijadikan
anggota sampel. Teknik yang digunakan dalam penentuan sampel adalah
Purposive Sampling atau Judgment Sampling, yakni teknik yang dilakukan berdasarkan kriteria yang disesuaikan dengan tujuan penelitian atau
pertimbangan dari peneliti. Dengan kata lain, asal saja calon responden
tersebut sesuai dengan karakteristik populasi yang diinginkan, siapapun
responden yang bersangkutan, dimana dan kapan saja ditemui dijadikan
C. Metode Pengumpulan Data 1. Data Primer (Primary Data)
Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara
langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara), berupa persepsi
(opini, sikap, pengalaman) secara individual atau kelompok, hasil
observasi suatu kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian. Adapun data
primer yang gunakan yaitu:
a. Kuesioner
Kuesioner merupakan penelitian dengan cara mengajukan daftar
pertanyaan langsung kepada responden, yaitu Auditor yang bekerja
pada Kantor Akuntan Pablik (KAP). Skala yang digunakan adalah
skala likert untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang
tentang kejadian atau gejala sosial. Kuesioner ini terdiri dari 2 bagian,
yaitu bagian A yang berisi pernyataan data dan keterangan pribadi
responden, bagian B berisi pernyataan yang merupakan penjabaran
dari operasional variabel Kepemimpinan, Kepuasan Kerja, Motivasi
Kerja, dan Kinerja Auditor.
Kategori dari penilaian skala likert:
SS = Sangat Setuju diberi skor 5
S = Setuju diberi skor 4
N = Netral diberi skor 3
STS = Sangat Tidak Setuju diberi skor 1
Manfaat penggunaan skala Likert yaitu keragaman skor (variability of score) dengan menggunakan skala tingkat 1-5.
b. Observasi
Penelitian ini dilakukan dengan observasi pada Kantor Akuntan Pablik
(KAP) berupa pengamatan langsung dan pengambilan data objek
penelitian.
2. Data Sekunder (Secondary Data)
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh
peneliti secara tidak langsung melalui media perantara. Adapun data
sekunder yang peneliti pakai yaitu:
a. Riset kepustakaan
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan,
membaca buku, literatur, catatan perkuliahan, artikel, jurnal dan data
dari internet.
b. Teknik dokumentasi
Teknik dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara
mengutip langsung data yang diperoleh dari lembaga (instansi) terkait,
D. Metode Analisis 1. Uji Validitas Data
Uji validitas digunakan untuk mengetahui apakah item-item yang ada
di dalam kuesioner mampu mengukur peubah yang didapatkan dalam
penelitian ini (Ghozali, 2005). Maksudnya untuk mengukur valid atau
tidaknya suatu kuesioner dilihat jika pertanyaan dalam kuesioner tersebut
mampu mengungkapkan suatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut.
Uji validitas ini dapat dilakukan dengan menggunakan korelasi antar
skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk atau variabel. Setelah itu
tentukan hipotesisi H0: skor butir pertanyaan berkorelasi positif dengan
total skor konstruk dan Ha: skor butir pertanyaan tidak berkorelasi positif
dengan total skor konstruk. Setelah menentukan hipotesis H0 dan Ha,
kemudian uji dengan membandingkan rhitung (tabel corrected item-total correlation) dengan rtabel (tabel Product Moment dengan signifikan 0.05)
untuk degree of freedom (df) = n-k. Suatu kuesioner dinyatakan valid apabila rhitung > rtabel (Ghozali, 2005).
2. Uji Reliabilitas
Instrumen dikatakan reliabel apabila terdapat kesamaan data dalam
waktu yang berbeda. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika
jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten meskipun diuji
3. Uji Asumsi Klasik a. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya kolerasi antar variabel bebas (independen).
Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara
variabel independen. Jika variabel independen berkorelasi maka
variabel-variabel ini tidak ortogonal (Ghozali, 2005). Nilai cutoff yang
umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah
nilai Tolerance < 0.10 atau sama dengan nilai VIF > 10.
b. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
suatu model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Uji heteroskedastisitas dapat
dilihat dengan menggunakan grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat (ZPRED) dengan residual (SRESID). Jika grafik plot
menunjukkan suatu pola titik seperti titik yang bergelombang atau
melebar kemudian menyempit, maka dapat disimpulkan bahwa telah
terjadi heteroskedastisitas. Tetapi jika grafik plot tidak membentuk pola yang jelas, maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2005).
c. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk melakukan pengujian apakah
distribusi normal. Dalam uji normalitas terdapat dua cara untuk
medeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak yaitu dengan
analisis grafik dan uji statistik (Ghozali, 2005).
1) Analisa Grafik
Salah satu cara termudah untuk melihat normalitas residual adalah
dengan melihat histogram yang membandingkan antara data
observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi normal.
2) Uji Statistik
Selain dengan analisis grafik maka perlu dianjurkan dengan uji
statistik, agar mencapai keakuratan yang lebih baik lagi. Uji
statistik sederhana dapat dilakukan dengan melihat nilai kurtosis
dan skewness dari residual.
Pada prinsipnya normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran
data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik atau dengan melihat
histogram dari residualnya. Adapun dasar pengambilan keputusan:
1) Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah
garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola
distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi
normalitas.
2) Jika data menyebar jauh dari diagonal dan atau tidak mengi