Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
URGENSITAS PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA –
SINGAPURA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI
INDONESIA
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH
MULIA HADI S. HARAHAP NIM : 030200011
Departemen Hukum Internasional
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
URGENSITAS PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA –
SINGAPURA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI
INDONESIA
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
MULIA HADI S. HARAHAP NIM : 030200011
Departemen : Hukum Internasional
Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Internasional
Sutiarnoto, SH, M. Hum. NIP : 131 616 321
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Sanwani Nst SH. Rosmi Hasibuan, SH. M. Hum NIP : 130 231 548 NIP: 130 809 558
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, karena atas ridho dan
hidayah-Nya penulis dapat menjalani kuliah hingga dapat menyelesaikan skripsi
ini. Dan tak lupa pula Shalawat dan Salam pada Nabi Besar Muhammad SAW
yang menjadi suri teladan umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia
menuju akhirat yang kekal.
Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
berkewajiban untuk membuat karya ilmiah berupa skripsi yang ditujukan guna
melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, skripsi tersebut berjudul “Urgensitas Perjanjian
Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”
Dalam penulisan skripsi ini Penulis menyadari bahwa masih banyak
terdapat kekurangan serta hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna, oleh
sebab itu dengan segala kerendahan hati Penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada skripsi ini Penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan tak terhingga kepada Ayahanda
Halomoan Harahap dan Ibunda Aisyah S. Nasution, atas curahan kasih sayang,
doa, perhatian dan dengan kesabaran serta pengorbanannya membimbing dan
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Terima kasih Penulis ucapkan kepada Bapak Prof.Sanwani Nasution, SH.
M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, berkat perhatian, bantuan dan bimbingan
beliau kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini.
Tak lupa juga penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setulus-tulusnya kepada Ibu Rosmi Hasibuan, SH. M.Hum. selaku Dosen
pembimbing II. Berkat kesabaran dan kebijaksanaan beliau sehingga Penulis
selalu mendapatkan motivasi, dan solusi dalam menghadapi semua persoalan yang
menghambat dalam penulisan skripsi.
Selain itu, banyak juga pihak yang mempunyai peranan penting membantu
Penulis dalam menyelesaikan kuliah dan penyelesaian tugas akhir di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara ini, karena itu penulis mengucapkan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Prof. DR. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. DR. Suhaidi, SH, M.Hum., sebagai Pembantu Umum Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum., DFM, sebagai Pembantu Umum
Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum sebagai Pembantu Umum Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Sutiarnoto, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
6. Bapak Arif, SH, M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Hukum
Internasional.
7. Bapak Bachtiar Hamzah, SH, M.Hum., Bapak DR.Jelly Leviza, SH, M.Hum.,
Ibu Prof.DR. Ningrum N.Sirait, SH, MLI, Bapak Abdul Rahman SH,
M.Hum., Ibu Chairul Bariah, SH, M.Hum. serta para Bapak / Ibu Dosen dan
Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Affan Mukti, SH, M.Hum sebagai Penasehat Akademik selama Penulis
menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Terima kasih juga kepada abang-abang dan kakak-kakakku tersayang
Nursyahni Dewi Muliati Hrp, Amd., Najmul Alamsyah Hrp, SE, Yulianita
Fatimah S. Hrp, SP, Budi Mulia Warman Hrp, SE.
10.Terima kasih juga kepada sahabatku Ivo Andika Hsg. yang telah banyak
memberikan semangat bantuan dan cerita-cerita lucu ketika mengalami
masa-masa suka maupun duka bersama.
11.Seluruh Bapak dan Ibu guru yang telah berjasa mendidik dan memberikan
ilmu pengetahuan yang bermanfaat dalam mengarungi kehidupan ini mulai
dari Taman Kanak-Kanak (TK Aisyiah), SD (SD Percobaan Negeri Medan),
SLTP (SLTP Negeri 30 Medan, SLTP Negeri 1 Medan), dan SMU (SMU
Negeri 17 Medan).
12.Kepada teman-teman Stambuk 2004, 2005 dan 2006, yang telah banyak
membantu studi Penulis.
13.Kepada sahabat-sahabat Penulis, Rise Karmilia (Thanks for Your Attention),
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
M.Budi Ibrahim, Yoyok Adi S, Prima A.P Siregar, David R.J Pakpahan,
Shuheyantho V.Silalahi, Vina “ndut” T. Dewi, Mirvan Ariza Siregar, Fadilah
Haryono, Surya,
14.Teman-Teman Stambuk 2003 lainnya, yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Medan, Oktober 2007
Penulis
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... v
Abstraksi ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 2
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 2
D. Keaslian Penulisan ... 3
E. Tinjauan Kepustakaan ... 3
F. Metode Penelitian ... 6
G. Sistematika Penulisan ... 7
BAB II PENGERTIAN EKSTRADISI SECARA UMUM A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi Menurut Hukum Internasional ... 9
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
BAB III PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA UMUM
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 34
B. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
Ditinjau Dari Hukum Nasional Indonesia ... 39
C. Tindak Pidana Korupsi Menurut Konvensi Internasional... 40
BAB IV KEPENTINGAN NEGARA INDONESIA TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA – SINGAPURA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
A. Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura
Ditinjau Dari Hukum Internasional ... 50
B. Kepentingan Negara Indonesia Terhadap Perjanjian
Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Sarana
Untuk Mencegah Dan Memberantas Korupsi di Indonesia ... 53
C. Masalah Yang Dihadapai Indonesia Dalam Perjanjian
Ekstradisi Indonesia – Singapura ... 56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 63
B. Saran ... 65
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
URGENSITAS PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA – SINGAPURA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
ABSTRAKSI
Setelah menanti selama 28 tahun, akhirnya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura ditandatangani di Istana Tampak Siring, Bali , Indonesia pada hari Jum’at tanggal 27 April 2007 oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo yang disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Perjanjian ekstradisi kedua negara ini adalah merupakan langkah maju di dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Sebagaimana diketahui Pemerintah Indonesia sangat berkepentingan dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, hal ini didasarkan oleh Konvensi Anti Korupsi Internasional yang diadakan dan ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida, Mexico.
Sebelum perjanjian ekstradisi tersebut ditandatangani, banyak para pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) Indonesia menurut data-data yang ada melarikan diri dan bersembunyi di Singapura. Hal inilah yang menjadi alasan utama Indonesia untuk mengadakan perjanjian ekstradisi dengan Singapura yaitu ingin menangkap para koruptor dan mengembalikan aset-aset negara yang dibawa lari serta mengembalikan citra Indonesia di mata dunia sebagai wujud upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Akan tetapi masalah tersebut tidak serta merta terselesaikan, hal ini disebabkan oleh keadaan hubungan diplomatik kedua negara yang kurang kondusif. Terutama semenjak perjanjian kejasama di bidang pertahanan (Defence Cooperation Agreement) yang ditandatangani bersamaan dengan perjanjian ekstradisi tersebut.
Sekarang perjanjian ekstradisi sedang menunggu ratifikasi oleh kedua parlemen. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia(DPR-RI) merasa DCA terlalu banyak merugikan negara Indonesia karena pasal-pasal di dalam DCA disinyalir berdampak buruk pada pertahanan dan keamanan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga DPR tidak segera meratifikasi kedua perjanjian tersebut.
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 27 April 2007 lalu, setelah 28 tahun dinanti-nantikan,
akhirnya perjanjian ekstradisi antara Republik Indonesia (RI) dan Singapura
ditandatangani oleh kedua belah pihak, Indonesia diwakili oleh Menteri Luar
Negeri RI Hassan Wirajuda dan Singapura diwakili oleh Menteri Luar Negeri
Singapura George Yeo, di Istana Tampak Siring, Bali. Penandatanganan tersebut
disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Sebelum dengan Singapura, Indonesia sudah menandatangani perjanjian
ekstradisi dengan berbagai negara termasuk negara-negara ASEAN, seperti
Malaysia, Thailand, Philipina, dan juga negara asia lainnya Hongkong, Korea
Selatan serta Australia
Tidak seperti perjanjian ekstradisi sebelumnya proses perjanjian antara
Indonesia dan Singapura ini lahir dari sejarah yang panjang dan perjuangan yang
alot. Perjanjian ini adalah kesepakatan untuk menyerahkan pelaku tindak pidana
ke negara asalnya untuk diadili, berlaku surut 15 tahun ke belakang, mencakup 42
jenis tindak pidana, antara lain korupsi, penyuapan, pemalsuan uang, kejahatan
perbankan dan terorisme.
Perjanjian ekstradisi ini disambut hangat oleh Indonesia, sebab di negara
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
khususnya para pelaku tindak pidana korupsi atau yang disebut koruptor, terutama
para koruptur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Akan tetapi isi perjanjian ekstradisi tersebut belum dapat dilaksanakan
atau diberlakukan, mengingat perjanjian tersebut masih di dalam proses ratifikasi
oleh Dewan Parlemen Singapura dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan, sebagai berikut :
1. Apa kepentingan Indonesia terhadap perjanjian ekstradisi Indonesia -
Singapura?
2. Apa yang menjadi faktor penghambat mengapa Dewan Perwakilan Rakyat
tidak segera meratifikasi perjanjian eksradisi antara Indonesia dan
Singapura?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut :
1. Mengetahui kepentingan Indonesia terhadap perjanjian ekstradisi Indonesia -
Singapura.
2. Mengetahui faktor penghambat ratifikasi perjanjian eksradisi antara Indonesia
dan Singapura oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan skripsi ini juga diharapkan
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
a. Manfaat Subjektif.
Skripsi ini bermanfaat bagi penulis untuk memenuhi syarat
kelulusan Strata 1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tempat
penulis menuntut ilmu.
b. Manfaat Objektif.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menerapkan hukum
internasional yang telah dipelajari guna menjawab permasalahan apa yang
menjadi kepentingan Indonesia di dalam perjanjian ekstradisi dan apa yang
menjadi faktor penghambat ratifikasi perjanjian ekstradisi oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang pengetahuan penulis, di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara belum ada yang mengangkat skripsi dengan judul “Urgensitas Perjanjian
Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
tindak Pidana Korupsi di Indonesia ”. Permasalahan maupun penyajiannya
merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri. Skripsi ini juga di
dasarkan pada referensi dari buku-buku, informasi dari media cetak dan
elektronik. Berdasarkan alasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
skripsi yang penulis kerjakan ini adalah asli.
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Perjanjian internasional sebagaimana ditegaskan di dalam pasal 2 ayat 1
butir a Konvensi Wina 1969 yang menyatakan sebagai berikut1
Rumusan mengenai perjanjian internasional dalam arti yang luas
dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai berikut :
“Treaty means an international agreement conclude between states in written form and governed by international law, whether embodied in asingle instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.”
( Perjanjian artinya, suatu persetujuan internasional yang diadakan antara
negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum
internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua
atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga
namanya).
2
Secara fungsional dilihat dari segi sumber hukum, maka pengertian
perjanjian internasional dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) golongan, yaitu ”Treaty
Contract” dan “Law Making Treaties”. Yang dimasudkan dengan treaty contract
adalah perjanjian-perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum
perdata yang mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian itu saja. Sedangkan pengertian law making treaties .
“Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.”
Dari batasan tersebut jelas kiranya, bahwa untuk dapat dinamakan
perjanjian internasional, perjanjian tersebut harus diadakan oleh subjek-subjek
hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.
1
Pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969 2
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
dimaksudkan sebagai perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau
kaedah-kaedah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan3
Menurut pasal 11 Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional
kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian dapat dinyatakan melalui
berbagai cara yaitu, penandatanganan, pertukaran instrument yang membentuk
perjanjian, ratifikasi, akseptasi, approval dan aksesi atau melalui cara lain yang
disetujui. Bentuk kesepakatan yang merupakan cara yang paling sering digunakan
adalah penandatanganan dan ratifikasi
.
4
Perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura telah ditandatangani akan
tetapi isi perjanjian tersebut belum dapat diberlakukan karena masih menunggu .
Konvensi Wina juga menjelaskan tentang ratifikasi sebagai tindakan
internasional dari suatu negara yang menyatakan kesepakatan dirinya untuk terikat
pada suatu perjanjian, meskipun demikian, dilihat dari segi nasional, ratifikasi
dapat diartikan sebagai tindakan pengesahan atas suatu perjanjian internasional
menurut ketentuan hukum nasional negara yang bersangkutan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian ekstradisi
antara Indonesia dan Singapura termasuk ke dalam jenis perjanjian internasional
yang bersumber hukum treaty contract. Karena perjanjian ekstradisi tersebut
dibuat oleh negara Indonesia dan negara Singapura sebagai subjek hukum
internasional, dan perjanjian ekstradisi tersebut hanya menimbulkan hak dan
kewajiban bagi Indonesia dan Singapura saja.
3
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, Alumni, Bandung, 2000, hal.107
4
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
ratifikasi dari kedua parlemen negara. Perjanjian ekstradisi adalah merupakan
perjanjian yang berkenaan mengenai masalah politik oleh karena itu berdasarkan
pasal 10 huruf a. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional maka perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura harus ditetapkan dan
disahkan dengan undang-undang5
F. Metode Penelitian
.
1. Bentuk Penelitian
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi
ini adalah melalui metode penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan
Studi Kepustakaan (Library Research) yang berhubungan dengan penulisan ini.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum dengan hanya mengolah dan
menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan Perjanjian Ekstradisi
Indonesia-Singapura dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi di
Indonesia.
2. Alat Pengumpul data
Materi dalam Skripsi ini diambil dari data-data sekunder yang dimaksud
ialah :
a. Bahan hukum primer,
Yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari United Nations Convention
Against Corruption 2003, Wina Convention 1969, Undang-Undang No.24 tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, Undang-Undang No.1 tahun 1979 tentang
5
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Perjanjian Ekstradisi, Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
b. Bahan hukum sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer seperti : buku-buku tentang perjanjian ekstradisi, dan surat kabar serta
media internet seperti
c. Bahan hukum tertier
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3. Analisis data
Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan dianalisis secara
deskriptif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab,
dimana masing-masing bab diuraikan permasalahannya secara tersendiri, namun
dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara
sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5
(lima) bab yang terperinci sebagai berikut :
Bab : Di dalam pendahuluan penulis menguraikan latar belakang yang
memberikan alasan mengapa penulis memilih permasalahan yang
tercakup dalam skripsi ini. Bab ini memberi penjelasan mengenai
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
pengertian yang ekslusi mengenai maksud dari konsep/batasan dan
judul skripsi ini. Tujuan penulisan dan metode pengumpulan data
yang dipakai juga dijelaskan dalam bab ini, berikut sistematika
penulisan.
Bab II : Di dalam bab ini penulis memberikan pengertian umum mengenai
ekstradisi baik menurut hukum internasional maupun menurut
hukum nasional Indonesia.
Bab III : Di dalam bab ini penulis memberikan pengertian umum dan ruang
lingkup mengenai tindak pidana korupsi baik menurut hukum
nasional Indonesia maupun menurut konvensi internasional.
Bab IV : Bab ini merupakan bagian yang menganalisa bagaimana
kepentingan Indonesia terhadap perjanjian ekstradisi
Indonesia-Singapura sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi
di Indonesia.
Penulis juga memberikan uraian tentang apa yang menjadi faktor
penghambat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
sehingga sampai dengan sekarang ini belum meratifikasi perjanjian
ekstradisi Indonesia – Singapura.
Bab V : Bab ini merupakan bagian penutup skripsi yang di dalamnya
terdapat kesimpulan dari tujuan penulisan skripsi serta saran-saran
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
BAB II
PENGERTIAN EKSTRADISI SECARA UMUM
A. Pengertian, Maksud Dan Tujuan Ekstradisi Menurut Hukum Internasional
1. Pengertian ekstradisi menurut hukum internasional
Lembaga ekstradisi telah diakui dan diterima oleh para sarjana hukum
internasional sebagai hukum kebiasaaan internasional (international customary
law). Hal ini memang bisa dipahami karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur
cukup tua.6
Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa sebuah
perjanjian yang tertua dimana isinya adalah perjanjian perdamaian antara Raja
Rameses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279
S.M. Yang isinya kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan
pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang diketemukan di dalam wilayah
pihak lain.7
Ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition) berasal dari bahasa
latin ”extradere”. Ex berarti ke luar, sedangkan Tradere berarti memberikan,
6
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, Yrama Widya Bandung, 2004 hal. 28.
7
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
yang arti dan maksudnya adalah menyerahkan. Kata bendanya adalah extradition
berarti penyerahan.8
Akhir-akhir ini masalah ekstradisi muncul lagi ke permukaan dan ramai
dibicarakan di kalangan masyarakat luas, terutama karena semakin lama semakin
banyaknya pelaku kejahatan yang melarikan diri dari suatu negara ke negara lain,
atau kejahatan yang menimbulkan akibat lebih dari satu negara. Dengan perkataan
lain, pelaku dan kejahatannya itu menjadi urusan dari dua negara atau lebih.
Kejahatan-kejahatan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang
berdimensi internasional, atau kejahatan transnasional, bahkan adapula yang
menyebut kejahatan internasional.9
1. L. Oppenheim mengatakan
Para sarjana hukum internasional yang memberikan defenisi dari ekstradisi
antara lain adalah:
10
2. J.G Starke, menyatakan sebagai berikut :
“ Extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have committed,or to have been convicted of, acrime by the state whose territory the alleged criminal happens for the time to be.”
11
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi :
“ The term extradition denotes the process whereby under treatyor upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence committed against the laws of the requesting state competent to try the alleged offender.”
12
8
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 12.
9
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, op.cit hal 127. 10
L.Oppenheim, International Law, a treatise,8th edition, 1960, vol.one-peace hal 696. 11
J.G.Starke, An Introduction to International Law, London, Butterwordhs, 7th edition hal 348.
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
“Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memidananya”.
Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara
formal baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya
ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atau seseorang yang
dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang
telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang
pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara-diminta)
kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya
(negara-peminta) atas permintaan negara peminta, dengan tujuan untuk mengadili
dan atau pelaksanaan hukumannya.13
Dari defenisi di atas dapatlah disimpulkan unsur-unsur dari ekstradisi itu,
yakni 14
a. Negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili
atau menghukumnya. Negara-negara inilah yang sangat
berkepentingan untuk mendapat kembali orang tersebut untuk diadili
atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Untuk
mendapat kembali orang yang bersangkutan negara atau negara-negara
tersebut harus mengajukan permintaan penyerahan kepada negara
tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara atau negara-negara :
1. Unsur Subyek, yang terdiri dari :
12
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, tanggal 18 Januari 1979 13
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, op.cit hal 129. 14
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
ini berkedudukan sebagai pihak yang meminta atau dengan singkat
disebut “negara- peminta” (The Requesting State).
b. Negara tempat si pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau
si terhukum itu bersembunyi. Negara ini dimintai oleh negara atau
negara-negara yang memilki yurisdiksi atau negara-peminta, supaya
menyerahkan orang yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka atau
terhukum), yang dengan singkat dapat disebut “negara-diminta” (The
Requested State).
2. Unsur Obyek
Yaitu si pelaku kejahatan itu sendiri (tersangka, tertuduh, terdakwa
atau terhukum) yang diminta oleh peminta kepada
negara-diminta supaya diserahkan. Dia inilah yang dengan singkat disebut
sebagai “orang yang diminta”. Meskipun dia hanya sebagai obyek saja
yang menjadi pokok masalah antara kedua pihak, tetapi sebagai manusia
dia harus tetap diperlakukan sebagai subyek hukum dengan segala hak
dan kewajibannya yang asasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun
juga.
3. Unsur Tata Cara atau Prosedur
Unsur ini meliputi tentang tata cara untuk mengajukan permintaan
penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak
penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan
itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan, apabila sebelumnya ada diajukan
negara-Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
diminta. Permintaaan tersebut haruslah didasarkan pada perjanjian
ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua pihak atau apabila
perjanjian itu belum ada, juga bisa didasarkan pada asas timbal balik
yang telah disepakati. Jadi bila sebelumnya tidak ada permintaan untuk
menyerahkan dari negara-peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh
ditangkap atau ditahan maupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan
penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atas
orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan
orang itu dalam wilayah negara tersebut. Permintaaan penyerahan itu
sendiri harus diajukan secara formal kepada negara-diminta, sesuai
dengan prosedur yang ditentukan dalam perjanjian ekstradisi atau hukum
kebiasaaan internasional. Jika permintaan itu tidak diajukan secara
formal, melainkan hanya secara informal saja misalnya hanya
dikemukakan secara lisan oleh wakil negara-peminta kepada wakil
negara-diminta yang kebetulan bertemu dalam suatu pertemuan atau
konferensi internasional, hal itu tidak dapat dianggap sebagai
permintaaan untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup
ekstradisi, tetapi barulah merupakan tahap penjajakan saja. Seperti
halnya permintaan penyerahan yang harus diajukan secara formal, maka
penyerahan itu sendiri harus juga dilakukan secara formal.15
15
Harvard Research Draft Convention on Extradition, dalam pasal 1 (a) menyatakan sebagai berikut : “Extradition is the formal surrender of a person by a state to another state for prosecution of punishment”.
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Yaitu untuk tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan
penyerahan atau diserahkan. Penyerahan itu dimintakan oleh
negara-peminta kepada negara-diminta oleh karena dia telah melakukan
kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara/negara-negara-peminta. Atau
dia melarikan diri ke negara-diminta setelah dijatuhi hukuman yang telah
mempunyai kekuatan mengikat yang pasti. Untuk dapat mengadili atau
menghukum orang yang bersangkutan negara-peminta lalu mengajukan
permintaan penyerahan atas diri orang tersebut kepada negara-diminta.
Jadi permintaan penyerahan atau penyerahan itu sendiri bertujuan untuk
mengadili atau menghukum si pelaku kejahatan itu, sebagai realisasi dari
kerjasama antar negara-negara tersebut dalam menanggulangi dan
memberantas kejahatan.
2. Maksud dan Tujuan Ekstradisi Menurut Hukum Internasional
Istilah “Ekstradisi” menunjuk kepada proses di mana berdasarkan traktat
atau atas dasar resiprositas suatu negara menyerahkan kepada negara lain atas
permintaannya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak
kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan,
negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh
pelaku tindak pidana tersebut. Biasanya, tindak kejahatan yang dituduhkan
dilakukan di dalam wilayah atau di atas kapal yang mengibarkan bendera negara
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
untuk mencari perlindungan. Permintaan ekstradisi biasanya dimuat dan dijawab
melalui saluran diplomatik16
Maksud dan tujuan ekstradisi ialah untuk menjamin agar pelaku kejahatan
berat tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan atau pemidanaan, karena
sering kali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh
seorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya
semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena
tidak adanya yurisdiksi atas penjahat tersebut. Karena itu patut dan tepatlah
penjahat tersebut diserahkan untuk diperiksa dan diadili oleh negara yang
mempunyai yurisdiksi atas penjahat tersebut. Penjahat harus dipidana oleh negara
tempat ia berlindung atau diserahkan kepada negara yang dapat dan mau
memidananya (aut punier aut dedere). Kecuali dari itu negara yang wilayahnya
merupakan tempat dilakukannya kejahatan adalah yang termampu mengadili
penjahat karena di tempat tersebut bukti-bukti dapat diperoleh dengan lebih bebas,
dan negara tersebut mempunyai kepentingan terbesar dalam memidana penjahat
tersebut serta mempunyai fasilitas terbesar untuk mencapai kebenaran.17
3. Asas-Asas Umum Dalam Ekstradisi
Berhubung dengan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dicapai oleh umat manusia , terutama di bidang transportasi dan komunikasi
internasional maka masalah ekstradisi semenjak abad ke-19 menjadi sangat
16
J.G.Starke, An Introduction to International Law,London, Butterwordhs, 10th edition hal. 469. 17
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
penting. Kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta
berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang poltik, ketatanegaraan,
dan kemanusiaan, turut pula memberikan warna tersendiri pada ekstradisi ini.
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada satu sisinya dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, pada sisi lain menimbulkan
pelbagai efek negatif, misalnya seperti timbulnya kejahatan baru dengan akibat
yang cukup besar dan luas. Tindakan kejahatan serta akibat-akibatnya tidak hanya
menjadi urusan para korban dan kelompok masyarakat sekitarnya saja, tetapi
sering melibatkan negara-negara bahkan kadang-kadang merupakan persoalan
umat manusia, sehingga untuk pencegahan dan pemberantasannya, diperlukan
kerjasama antar negara.18
Perjanjian ekstradisi merupakan salah satu bagian dari perjanjian
internasional, dimana perjanjian internasional merupakan sumber hukum utama Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi tersebut
maka ekstradisi juga yang telah lama dikenal dalam praktek berkembang menjadi
hukum kebiasaan.
Dari praktek dan hukum kebiasaaan inilah negara-negara mulai
merumuskannya ke dalam bentuk perjanjian-perjanjian ekstradisi yang berdiri
sendiri dengan mengadakan pengkhususan dalam bidang-bidang tertentu,
sehingga tidak lagi berkaitan atau menjadi bagian dari masalah-masalah lain yang
lebih luas ruang lingkupnya.
18
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
dan sempurna karena dibuat oleh negara-negara dan juga dibuat secara tertulis
hingga menjamin kepastian hukum.19
Dilihat dari penggolongan dari segi struktur, perjanjian ekstradisi dapat
diklasifikasikan ke dalam Treaty Contract (perjanjian yang bersifat kontrak).
Dengan Treaty Contract dimaksudkan perjanjian hanya mengikat pihak-pihak
yang mengadakan perjanjian-perjanjian. Legal Effect dari Treaty Contract ini
hanya menyangkut pihak-pihak yang mengadakannya dan tertutup bagi pihak
ketiga. Oleh karena perjanjian ekstradisi tidak melahirkan aturan-aturan hukum
yang berlaku umum, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang
membentuk hukum (Law Making Treaties). Tetapi pada hakekatnya perjanjian
ekstradisi secara tidak langsung dapat membentuk kaedah-kaedah yang berlaku
umum karena telah melalui hukum kebiasaan.20
Sebab di samping adanya perbedaan-perbedaaan tersebut, justru di antara
sekian banyak perjanjian-perjanjian itu banyak terdapat kesamaan-kesamaan di
dalam pengaturan mengenai pelbagai pokok masalah. Bahkan pokok-pokok
masalah yang terdapat pula di dalam perundang-undangan ekstradisi. Dengan Tetapi satu hal patut untuk dicatat bahwa sampai pada saat ini masih
belum terdapat sebuah konvensi ekstradisi yang berlaku secara universal. Oleh
karena itu mungkin akan timbul anggapan bahwa perjanjian-perjanjian ekstradisi
bilateral dan multilateral tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Anggapan ini mengandung nilai kebenaran, tetapi tidak seluruhnya benar.
19
Lihat pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional 20
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
demikian dapat disimpulkan adanya kesamaan-kesamaan di dalam
dasar-dasarnya.
Dasar-dasar yang sama ini diikuti terus oleh negara-negara baik di dalam
merumuskan perjanjian-perjanjian ekstradisi maupun dalam perundang-undangan
ekstradisi. Atau dengan perkataan lain dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar yang
sama ini telah diterima dan diakui sebagai asas-asas yang melandasi ekstradisi.
Asas-asas pokok ekstradisi tersebut, antara lain adalah21
1. Asas kejahatan ganda (Double Criminality Principle) :
Menurut asas ini, kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk
meminta ekstradisi atas orang yang diminta, haruslah merupakan kejahatan
(tindak pidana) baik menurut hukum negara-peminta maupun negara–
diminta. Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun unsur-unsurnya
semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masing-masing negara itu
berbeda-beda. Sudah cukup jika hukum kedua negara sama-sama
mengklasifikasikan kejahatan atau tindak pidana.
2. Asas Kekhususan (Principle of Speciality)
Apabila orang yang diminta telah diserahkan, negara-peminta
hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang yang diminta,
hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk
meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili dan atau dihukum atas
kejahatan lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan alasan sebagai
alasan untuk meminta ekstradisi.
21
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
3. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non-Extradition of
Political Criminal).
Jika negara-diminta berpendapat, bahwa kejahatan yang dijadikan
sebagai alasan untuk meminta ektradisi oleh negara-peminta adalah
tergolong sebagai kejahatan politik, maka negara-diminta harus menolak
permintaan tersebut. Tentang apa yang disebut dengan kejahatan politik,
serta apa kriterianya, hingga kini tidak ada kesatuan pendapat, baik di
kalangan para ahli maupun dalam praktek negara-negara. Apakah suatu
kejahatan digolongkan sebagai kejahatan politik ataukah tidak, memang
merupakan masalah politik yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja sangat subyektif.
Karena sukarnya menentukan kriteria obyektif tentang kejahatan
politik tersebut, maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini,
negara-negara baik dalam perjanjian ataupun perundang-undangan
ekstradisinya, menggunakan sistem negatif, yaitu dengan menyatakan
secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan tertentu secara tegas dinyatakan
sebagai bukan kejahatan politik, atau dinyatakan sebagai kejahatan yang
dijadikan alasan untuk meminta maupun mengekstradisikan orang yang
diminta (extraditable crime). Dengan demikian, dapat dimasukkan sebagai
kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi ataupun
mengekstradisikan orang yang diminta di dalam perjanjian ataupun
perundang-undangan tentang ekstradisi.
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Jika orang yang diminta ternyata adalah warga negara dari
diminta, maka diminta “dapat” menolak permintaan dari
negara-peminta. Asas ini berlandaskan pada pemikiran, bahwa negara
berkewajiban melindungi warga negaranya dan sebaliknya warga negara
memang berhak untuk memperoleh perlindungan dari negaranya. Tetapi
jika negara-diminta menolak permintaan negara-peminta, negara-diminta
tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum warga
negaranya itu berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri.
5. Asas Non Bis in Idem atau Ne Bis in Idem
Menurut asas ini, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk
meminta ekstardisi atas orang yang diminta, ternyata sudah diadili dan
atau dijatuhi hukuman yang telah memilki kekuatan mengikat yang pasti,
maka permintaan negara-peminta harus ditolak oleh negara-diminta.
6. Asas Daluarsa
Yaitu permintaan negara-peminta harus ditolak apabila penuntutan
atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan sebagai
alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, sudah daluarsa
menurut hukum dari salah satu atau kedua pihak.
B. Ekstradisi Menurut Hukum Nasional Indonesia (Undang-Undang No. 1 Tahun 1979)
1. Sejarah lahirnya undang-undang No. 1 tentang perjanjian ekstradisi di Indonesia
Walaupun masalah ekstradisi pada dasarnya dipandang sebagai bagian dari
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
hanya ditekankan pada segi-segi hukum internasional saja. Sebab, ada hal-hal
yang tidak mungkin diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam
perjanjian-perjanjian ekstradisi terutama hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri
masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam hal seperti inilah
perjanjian-perjanjian ekstradisi menunjuk kepada hukum nasional masing-masing pihak
untuk menentukannya dan pengaturannya secara lebih mendetail. Oleh karena itu,
negara-negara memandang perlu memiliki sebuah undang-undang nasional yang
secara khusus mengatur tentang ekstradisi, disamping mengadakan
perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain.22
Sebelum lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 1979 tentang ekstradisi, di
Indonesia masih tetap berlaku peraturan perundang-undangan tentang ekstradisi
yang merupakan peninggalan Zaman Hindia-Belanda. Peraturan tersebut adalah
Stb.No.188 Tahun 1883 tentang penyerahan orang-orang asing, yang pada tahun
1932 diubah dan ditinjau kembali dan diundangkan dalam Stb.No.490 Tahun
1932.23
Sejak Indonesia merdeka, Stb.188 tahun 1883 masih dapat berlaku dan
menjadi dasar hukum bagi pemerintah Indonesia Indonesia dalam menghadapi
persoalan ekstradisi.24
Pada tanggal 18 Januari 1979 oleh Presiden Soeharto diundangkanlah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi di Jakarta ibukota
negara Indonesia, melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979
22
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal.22.
23
Ibid hal 161. 24
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Nomor 2 dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3130.
Undang-undang tersebut menggantikan “Koninklijk Besluit” tanggal 8 Mei
1883 Nomor 26 (Staatblad 1883-188) yang dianggap sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan tata hukum di dalam Negara Republik Indonesia.25
Adapun isi-isi pokok dari undang-undang
Undang-undang ini terdiri dari 12 bab dan 48 pasal, disertai lampiran
daftar kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta penyerahan sebanyak
32 jenis kejahatan.
26
2. Asas-asas yang dianut oleh Undang-undang No. 1 tahun 1979 tentang ekstradisi
tersebut adalah tentang
ketentuan umum mengenai ekstradisi (Bab I), asas-asas ekstradisi yang dianut
(Bab II), selanjutnya syarat-syarat penyerahan, penahanan yang diajukan oleh
negara-peminta (Bab III), permintaan ekstradisi dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh negara peminta (Bab IV), pemeriksaan terhadap orang yang
dimintakan ekstradisi (Bab V), dan pencabutan dan perpanjangan penahanan (Bab
VI), pelaksanaan ekstradisi yang meliputi kejahatan mengenai permintaan
ekstradisi (Bab VII), penyerahan orang yang dimintakan ekstradisi (Bab VIII),
barang bukti (Bab IX), dan permintaan ekstradisi oleh Pemerintah Indonesia (Bab
X), ketentuan peralihan (Bab XI), dan ketentuan penutup (Bab XII).
a) Ekstradisi atas dasar perjanjian dan hubungan baik
25
M.Budiarto, Ekstradisi Dalam Hukum Nasional, Ghalia Indonesia, 1981, Hal.12. 26
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Pasal 2 ayat (1) menegaskan kesediaan Indonesia untuk melakukan
ekstradisi atau penyerahan atas diri seseorang pelaku kejahatan, apabila antara
Indonesia dengan negara yang meminta tersebut sudah terikat dalam suatu
perjanjian ekstradisi. Perjanjian ini baik meliputi perjanjian ekstradisi sebelumnya
maupun sesudah diundangkannya undang-undang ini. Akan tetapi di samping atas
dasar suatu perjanjian, Indonesia juga menyatakan kesediaan untuk melakukan
ekstradisi atas dasar hubungan baik dengan pihak atau negara lain. Inilah yang
lebih dikenal dengan prinsip atas asas timbal balik atau prinsip resiprositas.
Prinsip ini bisa dianut dan diterapkan dalam hal antara Indonesia dengan
pihak lain itu belum terikat dalam perjanjian ekstradisi. Dalam prinsip
timbal-balik ini, terkandung suatu pengertian tentang kesediaan kedua pihak (Indonesia
dan negara asing) untuk saling menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri
ke dalam wilayah masing-masing27
b). Asas kejahatan ganda (double criminality) dan sistem daftar (list system)
.
Dalam pasal 3 ayat (1) ditegaskan tentang siapa yang dapat diekstradisikan
atau dimintakan ekstradisinya. Yang dapat diekstradisikan adalah setiap orang
yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing, diminta kepada Indonesia,
atas dasar bahwa orang yang bersangkutan disangka melakukan kejahatan atau
untuk menjalani pidana atau perintah penahanan.
Berdasarkan asas kejatahan ganda, kejahatan yang disangka telah
dilakukan atau hukuman pidana yang telah dijatuhkan itu, haruslah merupakan
kejahatan, baik menurut hukum negara asing yang meminta ekstradisinya maupun
27
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
menurut hukum pidana Indonesia. Kejahatan-kejahatan yang dapat dijadikan
dasar/alasan untuk meminta ekstradisi biasanya dicantumkan dalam satu daftar
yang berisi jenis-jenis kejahatan yang dimaksud tersebut. Kejahatan-kejahatan
yang tercantum dalam daftar itu, harus dapat dipidana baik menurut hukum
Indonesia maupun hukum negara asing yang bersangkutan.28
c). Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik
Asas ini ditegaskan dalam pasal 5 ayat (1) yang secara singkat
menyatakan, ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik. Akan tetapi apa
yang dimaksud dengan kejahatan politik sama sekali tidak ditegaskan. Hanya saja
pasal 5 ayat (2) ada ditegaskan, dalam hal apa suatu kejahatan dapat dikatakan
sebagai kejahatan politik dan dalam hal apa sebagai kejahatan biasa29
Yang termasuk kejahatan militer di Indonesia adalah kejahatan-kejahatan
seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer/Tentara
(KUHPT). Sudah tentu yang dapat melakukan kejahatan militer ini adalah mereka .
Di samping terhadap kejahatan politik, kejahatan lain yang tidak boleh
diekstradisikan adalah kejahatan militer, hal ini ditegaskan dalam pasal 6 yang
menyatakan;
“Ekstradisi terhadap kejahatan menurut hukum pidana militer yang bukan kejahatan menurut hukum pidana umum tidak dilakukan, kecuali apabila dalam suatu perjanjian ditentukan lain.”
Tidak diekstradisikannya pelaku kejahatan militer, menurut pasal 6 ini,
oleh karena kejahatan militer mempunyai ciri dan sifat yang berbeda dengan
kejahatan menurut huku m pidana umum.
28
Ibid hal.173 29
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
yang berstatus sebagai militer, sedangkan orang yang bukan militer tidak dapat
dituduh atau dikenakan kejahatan militer.
d). Asas tidak menyerahkan warga negara
Asas ini ditegaskan dalam pasal 7 ayat (1) yang menyatakan, permintaan
ekstradisi terhadap warga negara Indonesia ditolak. Dari ketentuan ini sudah jelas
maknanya, bahwa jika ternyata orang yang diminta itu adalah berkewarga
negaraan Indonesia, maka pemerintah Indonesia berwenang untuk menolak
penyerahan warga negaranya tersebut.
Untuk menentukan apakah orang yang dimintakan ekstradisi adalah warga
negara Indonesia ataukah warga negara asing, ditentukan menurut hukum
Indonesia (Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia).
Dari pasal 7 ayat (1) ini dapat disimpulkan bahwa penolakan untuk
menyerahkan warga negara Indonesia bukanlah merupakan kewajiban bagi
Indonesia, melainkan merupakan hak. Maka jika pemerintah Indonesia
berpendapat bahwa orang yang berangkutan lebih baik diserahkan, maka dapat
saja hak tersebut tidak dipergunakan. Bahkan pasal 7 ayat (2) secara tegas
memperkenankan pemerintah Indonesia untuk menyimpang dari pasal 7 ayat (1).
Ditegaskan bahwa penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) tersebut di atas
dapat dilakukan apabila orang yang bersangkutan karena keadaan yang lebih baik
diadili di tempat dilakukannya kejahatan30
30
Ibid hal.179
. Keadaan yang dimaksud di sini adalah
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
e). Kejahatan yang seluruhnya atau sebagian dilakukan di dalam wilayah Indonesia
Pasal 8 menentukan bahwa permintaaan ekstradisi dapat ditolak jika
kejahatan yang dituduhkan dilakukan seluruhnya atau sebagian dalam wilayah
negara Republik Indonesia31
f). Orang yang diminta sedang diproses di Indonesia
.
Pasal 9 menegaskan, jika orang yang diminta sedang diproses di negara RI
untuk kejahatan yang sama, permintaan ekstradisi negara peminta terhadap orang
bersangkutan dapat ditolak. Menurut penjelasan, yang dimaksud dengan diproses
adalah pemeriksaan terhadap diri orang yang diminta itu dari tingkat pemeriksaan
pendahuluan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Pemerosesan tersebut,
pada akhirnya menentukan tentang bersalah tidaknya orang yang bersangkutan
atas kejahatannya32
g). Asas non bis in idem
.
Asas ini dimaksudkan untuk tetap terjaminnya kepastian hukum bagi
semua pihak, khususnya bagi individu yang bersangkutan. Seorang yang sudah
diadili dan dihukum dan dijatuhi hukuman atas kejahatan yang sama, tidaklah
layak untuk diadili dan dihukum untuk kedua kalinya. Hal ini penting juga dalam
ekstradisi, sebab ekstradisi juga bermaksud untuk mengadili dan menghukum
orang yang bersangkutan di negara-peminta.
31
Pasal 8 UU No.1 Tahun 1979 32
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Asas ini sudah merupakan asas umum dalam hukum setiap negara di
dunia. Dalam pasal 10 Undang-undang ekstradisi Indonesia ini ditegaskan bahwa
apabila putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan Republik Indonesia yang
berwenang untuk mengadili kejahatan yang dimintakan ekstradisinya telah
mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka permintaan ekstradisi ditolak.
Penolakan ini bukanlah merupakan hak bagi Indonesia, melainkan merupakan
suatu kewajiban. Jadi tidak boleh diambil kebijaksanaan lain yang menyimpang
dari asas ini33
h). Asas kedaluwarsa
.
Pasal 11 memperluas asas non bis in idem ini, jika yang mengadili atau
menghukum orang yang bersangkutan atas kejahatan yang dimintakan ekstradisi
itu adalah pengadilan negara lain atau negara ketiga, permintaan ekstradisi juga
harus ditolak. hal ini berarti bahwa Indonesia juga mengakui putusan pengadilan
negara lain.
Asas kedaluwarsa ini juga bermaksud untuk memberikan kepastian
hukum. Ditegaskan dalam pasal 12 bahwa, permintaan ekstradisi ditolak jika
menurut hukum negara Republik Indonesia hak untuk menuntut atau hak untuk
melaksanakan putusan pidana telah daluwarsa. Meskipun hak untuk menuntut
atau hak untuk melaksanakan pidana menurut hukum negara-peminta masih
berlaku, tetapi jika menurut hukum negara Republik Indonesia telah gugur karena
kedaluwarsa (lewat waktu) maka Indonesia harus menolak penyerahan orang yang
diminta itu.
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Sebaliknya, jika menurut hukum Indonesia hak tersebut masih berlaku,
tetapi menurut hukum negara-peminta adalah daluwarsa, dalam hal ini sudah tentu
Indonesia tidak boleh menolaknya. Akan tetapi jika orang yang bersangkutan
diserahkan, kemudian diadili oleh negara peminta tersebut atau diperintahkan
untuk menjalani hukuman, maka orang yang bersangkutan dapat mengajukan
pembelaannya bahwa hak untuk menuntut atau menjalani atau menjalani hukuman
terhadap kejahatannya itu telah kedaluwarsa.
Apabila terbukti benar, negara-peminta itu wajib untuk melepaskan orang
yang bersangkutan. Oleh karena itu dalam kasus seperti ini, tidak ada gunanya
bagi negara-peminta untuk meminta penyerahan apabila nanti setelah orang
tersebut diserahkan, dia akan lepas dari penuntutan atau penghukuman karena
sudah kedaluwarsa34
i). Penolakan ekstradisi karena ada sangkaan yang cukup kuat
.
Hal ini diatur dalam pasal 14 yang lengkapnya menyatakan35
Pasal 14 ini dapat dikatakan sebagai penegasan atau penjabaran dari asas
kekhususan atau asas spesialitas, seperti tercantum dalam pasal 15, yang sudah
umum dianut dalam setiap perundang-undangan dan perjanjian ekstradisi.
Berdasarkan asas kekhususan, orang yang diminta atau si pelaku kejahatan hanya ;
“Permintaan ekstradisi ditolak, jika menurut instansi yang berwenang terdapaat sangkaan yang cukup kuat, bahwa orang yang dimintakan ekstradisinya akan dituntut, dipidana, atau dikenakan tindakan lain karena alasan yang bertalian dengan agamanya, keyakinan politiknya, atau kewarganegaraannya, ataupun karean ia termasuk suku bangsa atau golongan penduduk tertentu”.
34
Ibid hal.182 35
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
boleh diadili, dipidana atas kejahatannya yang dijadikan sebagai dasar untuk
meminta penyerahannya.
Negara-peminta tersebut tidak boleh mengadili orang yang diminta
terhadap kejahatan-kejahatannya yang lain, walaupun negara-peminta tersebut
memiliki yurisdiksi untuk mengadilinya. Beberapa perjanjian ekstradisi, juga telah
banyak yang mencantumkan ketentuan semacam ini misalnya Konvensi Ekstradisi
Eropa 1957.
Dalam hal ini Indonesia yang berkedudukan sebagai negara yang dimintai
penyerahan oleh suatu negara-peminta, haruslah cukup jeli untuk melihat,
menganalisis dan mempertimbangkan sejauh mana negara peminta tersebut cukup
jujur, melaksanakan asas rule of law, sistem politik nasional/internasional negara
itu, prakteknya dalam hal pelaksanaan hak asasi manusia dan lain-lain36
j). Asas kekhususan
.
Asas ini tercantum dalam pasal 15 yang menyatakan permintaan ekstradisi
ditolak, jika orang yang dimintakan ekstradisi akan dituntut, dipidana, atau
dipidana atau ditahan karena melakukan kejahatan lain daripada kejahatan
karenanya ia dimintakan ekstradisinya, kecuali dengan izin Presiden. Dalam
rumusan secara positif, asas kekhususan itu mengandung makna, bahwa orang
yang diminta penyerahannya, hanya boleh dituntut, diadili, dan dihukum oleh
negara peminta hanya atas kejahatan yang dijadikan sebagai dasar/alasan untuk
meminta ekstradisinya. Jika negara-peminta akan menuntut mengadili atau di
samping kejahatan yang dijadikan dasar untuk meminta ekstradisinya juga atas
36
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
kejahatan lainnya di luar itu, maka negara-diminta (Indonesia) harus menolak
permintaaan ekstradisi tersebut37
k). Orang yang diminta, akan diekstradisikan kepada negara ketiga
.
Dalam pasal 16 ditegaskan, bahwa permintaan ekstradisi ditolak, jika
orang yang dimintakan ekstradisinya tersebut akan diserahkan kepada negara
ketiga untuk kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan sebelum dia dimintakan
ekstradisi itu.
Jelasnya, pasal ini menentukan jika negara-peminta mengajukan
permintaan ekstradisinya kepada Indonesia terhadap diri seorang pelaku
kejahatan, tidak dengan maksud untuk mengadili dan menghukum atas kejahatan
yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi, tetapi hanya sekedar
untuk mendapat kembali orang tersebut untuk diekstradisikan lagi kepada negara
ketiga, permintaan tersebut harus ditolak38
l). Permintaan yang ditunda pemenuhannya
.
Indonesia yang berkedudukan sebagai negara-diminta, dapat menunda
pelaksanaan atau pemenuhan permintaan ekstradisi negara-peminta, apabila orang
yang diminta atau si pelaku kejahatan ternyata juga terlibat dalam suatu kejahatan
lain yang dilakukannya di Indonesia. Misalnya untuk kejahatan tersebut, dia
sedang diperiksa, atau sedang diadili atau sudah dijatuhi hukuman dan sedang
menjalani hukumannya. Setelah perkaranya itu mempunyai kekuatan hukum yang
pasti dan/atau setelah dia selesai menjalani masa hukumannya, barulah
37
Ibid 185 38
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
permintaan ekstradisi yang memenuhi syarat tersebut (yang ditunda itu) harus
dipenuhi pelaksanaannya39
3. Prosedur, dan Pelaksanaan Ekstradisi Menurut Hukum Nasional Indonesia
.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi, yang
merupakan dasar hukum nasional dalam melakukan ekstradisi kepada pelaku
kejahatan ada beberapa prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi di dalam
pelaksanaan ekstradisi.
Di dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi tersebut
pada bab X diatur tentang permintaan ekstradisi oleh pemerintah Indonesia.
Dengan perkataan lain, Pemerintah Indonesia berkedudukan sebagai
negara-peminta.
Didalam pasal 44 ditegaskan, apabila seseorang disangka melakukan
sesuatu kejahatan atau harus menjalani pidana karena melakukan sesuatu
kejahatan yang dapat diekstradisikan di dalam yurisdiksi Negara Republik
Indonesia dan diduga berada di negara asing, maka atas permintaan Jaksa Agung
Republik Indonesia, Menteri Kehakiman Republik Indonesia atas nama Presiden
dapat meminta ekstradisi orang tersebut yang harus diajukan melalui saluran
diplomatik.
Dalam pasal 45 diatur tentang penyerahan orang yang diminta itu kepada
Indonesia. Menurut pasal ini, apabila orang yang dimintakan ekstradisinya
39
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
tersebut dalam pasal 44, telah diserahkan oleh negara asing, orang tersebut dibawa
ke Indonesia, dan diserahkan kepada instansi yang berwenang.
Dalam hal Indonesia sebagai negara-peminta dan permintaan ekstradisi
Indonesia dikabulkan oleh negara-diminta, maka Indonesialah yang datang
mengambil orang yang diminta itu ke tempat yang telah ditentukan oleh
diminta. Hal ini memang sudah sewajarnya sebab Indonesia sebagai
negara-peminta adalah sangat berkepentingan untuk mengambil atau menghukum orang
yang bersangkutan oleh karena itulah pihak yang berkepentingan harus
mengambil dan membawa kembali orang tersebut ke negaranya sendiri.
Menurut pasal 46 tata cara mengenai penyerahan dan penahanan
sementara orang yang diminta penyerahannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Akan tetapi jika dilihat dari perjanjian ekstradisi yang telah ada
seperti perjanjian ekstradisi Indonesia-Thailand, Indonesia-Malaysia, dan
Indonesia-Philipina, maka tata cara mengenai penyerahan dan penahanan
sementara orang yang diminta adalah dengan tunduk semata-mata pada hukum
Pihak yang diminta, dengan kata lain tata cara tersebut diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan negara-diminta.
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut ketiga perjanjian
ekstradisi tersebut antara lain :
1. Permintaan penyerahan wajib dinyatakan secara tertulis dan dikirim di
Indonesia kepada menteri Kehakiman dan di negara-diminta kepada Menteri
yang bertanggung jawab atas pelaksanaan peradilan melalui saluran
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
2. Permintaan penyerahan wajib disertai :
a) Lembaran asli atau salinan yang disahkan dari penghukuman dan pidana
yang dapat segera dilaksanakan atau surat perintah penahanan atau surat
perintah lainnya yang mempuyai akibat yang sama dan dikeluarkan sesuai
dengan tata cara yang ditetapkan dalam hukum negara-peminta.
b) Keterangan dari kejahatan yang dimintakan penyerahannya. Waktu dan
tempat kejahatan dilakukan, uraian yuridis, dan penunjukan pada
ketentuan-ketentuan hukum yang bersangkutan diuraikan secermat
mungkin, dan
c) Salinan dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau jika ini tidak
mungkin suatu keterangan tentang hukum yang bersangkutan dan uraian
yang secermat mungkin dari orang yang diminta penyerahannya
bersama-sama dengan keterangan lain apapun juga yang dapat membantu
menentukan identitas dan kebangsaannya.
3. Dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses penyerahan akan dibuat
Mulia Hadi S. Harahap : Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
BAB III
PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA UMUM
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar negara yang
tergolong kejahatan transnasional, bahkan atas implikasi buruk multidimensi
kerugian ekonomi dan keuangan negara yang besar maka korupsi dapat
digolongkan sebagai extra ordinary crime sehingga harus diberantas.40
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin “coruptio” atau “corruptus” yang
berarti kerusakan atau kebobrokan
Pemberantasan korupsi harus selalu dijadikan prioritas agenda
pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak serta sebagai
bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia
internasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang
bersangkutan.
41
40
IGM.Nurdjana, dkk, Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2005, hal.20.
41
Fockema Andreae, Kamus Hukum Terjemahan Bina Cipta, Bina Cipta, Bandung, 1983 huruf c
. Pada mulanya pemahaman masyarakat
tentang korupsi mempergunakan bahan kamus, yang berasal dari bahasa Yunani
Latin “corruptio” kemudian turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu
“corruption”, corrupt; Perancis, yaitu “corruption”; dan Belanda, yaitu corruptie
(korruptie) yang arti harafiahnya adalah perbuatan yang tidak baik, buruk, curang,
dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma