• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SIG UNTUK

PENATAGUNAAN LAHAN MANGROVE DI KABUPATEN

SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

oleh:

AULIA ATMANEGARA 041201015/ MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

ABSTRAK

Aulia Atmanegara, 2009 “Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG Untuk

Penatagunaan Lahan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara” dibawah bimbingan Bapak Agus Purwoko, S.Hut, M.Si dan Bapak Ahmad Shiddik, S.Hut, M.Si. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi luasan hutan mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, menguraikan faktor penyebab perubahan penutupan lahan hutan dan memberikan arahan dalam penatagunaan lahan hutan mangrove. Penetuan penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan data citra satelit yang diolah dengan metode pengolahan citra satelit. Sementara itu penentuan hasil luas masing-masing penutupan lahan dengan menggunakan Sistem informasi Geografis. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kondisi hutan mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara memiliki luasan total 3860 Ha yang tersebar di 5 kecamatan, Pantai Cermin 274 Ha (7%), Perbaungan 297 Ha (8%), Teluk Mengkudu 908 Ha (24 %), Tanjung Beringin 780 Ha (20%) dan Bandar Khalipah 1597 Ha (41 %).

(3)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

ABSTRACT

Aulia Atmanegara, 2009 “Application of Remote Sensing and

Geographic Information System to Arrangment Land of Mangrove in Regency of Serdang Bedagai Province North Sumatera” by consultant Mr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si and Mr. Ahmad Shiddik Thoha, S.Hut, M.Si. The aim of this research is to detect wide area condition of mangrove forest in Regency of Serdang Bedagai Province North Sumatera, analyze the cause of changed forest land covering and give directive to arrangment land of mangrove. Land covering type determination using satellite image data is processed with satellite image processing method. While land covering quantity is determined through Geographical Information System. The results from research show condition of mangrove forest in Regency of Serdang Bedagai Province North Sumatera owned wide total 3860 Ha dispersed in 5 Regency, Pantai Cermin 274 Ha (7%), Perbaungan 297 Ha (8%), Teluk Mengkudu 908 Ha (24 %), Tanjung Beringin 780 Ha (20%) and Bandar Khalipah 1597 Ha (41 %).

(4)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

RIWAYAT HIDUP

Aulia Atmanegara dilahirkan di Medan pada tanggal 20 Maret 1987, putra

dari Bapak Bustami Ganie dan Ibu Thursina. Anak ketiga dari tiga bersaudara.

Tahun 1992 penulis memasuki Sekolah Dasar di SDN 060884 Medan,

penulis menyelesaikan pendidikan SD tahun 1998, kemudian melanjutkan ke

SLTPN 1 Medan, lulus tahun 2001. Pendidikan selanjutnya penulis tamatkan dari

SMUN 1 Medan pada tahun 2004. Pada tahun 2004 tersebut penulis lulus seleksi

melanjutkan perkuliahan di USU (Universitas Sumatera Utara) melalui jalur

SPMB. Penulis kuliah di Program Studi Manajemen Hutan Departemen

Kehutanan Fakultas Pertanian USU.

Pada tahun 2006 penulis melaksanakan Praktik pengenalan dan

Pengelolaan Hutan (P3H) di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera

Utara, selama 20 hari yang dilaksanakan pada bulan Juni. Selanjutnya Penulis

melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Itci Hutani Manunggal yang

berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur, selama 2 bulan yang dimulai pada

tanggal 12 Juni s/d 12 Agustus 2008.

Penulis melakukan penelitian di Laboratorium Inventarisasi Hutan,

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU dan pengambilan data lapangan

(5)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan judul “Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG Untuk

Penatagunaan Lahan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera

Utara”. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

dari Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis, Bapak

H. Ir. Bustami Ganie, MM dan Ibu Hj. Dra. Thursina, atas kasih sayang,

pengorbanan yang tulus, dukungan dan semangat yang tiada hentinya diberikan

kepada penulis.

Penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak. Dengan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Agus Purwoko, S.Hut, M.Si selaku ketua komisi pembimbing.

2. Bapak Achmad Siddik Thoha, S.Hut, M.Si selaku anggota komisi

pembimbing.

3. Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS selaku Ketua Departemen

Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen Kehutanan USU yang

telah membantu dalam kelancaran perkuliahan dan penelitian.

5. Saudaraku Andri Muttaqien dan Qalbu Thintami, S.Ip yang telah

(6)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

6. Rekan-rekan seperkuliahan terutama stambuk 2004 yang memberikan

bantuan selama perkuliahan.

7. Seluruh pihak yang turut membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bukan saja bagi penulis tetapi bagi

kita semua dan juga membantu pengembangan ilmu pengetahuan terutama di

bidang kehutanan.

Medan, Juli 2009

(7)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

DAFTAR ISI

Dampak Kegiatan Pada Hutan Mangrove ... 8

Penginderaan Jauh ... 10

Analisis Penatagunaan Lahan ... 24

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Umum Serdang Bedagai ... 26

(8)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Sumber Daya Manusia ... 28

Perekonomian ... 29

Infrastruktur ... 30

Iklim ... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN Peta Lokasi Penelitian ... 32

Pengolahan Citra Satelit ... 33

Klasifikasi Penggunaan Lahan ... 34

Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai ... 36

Analisis Kawasan Hutan SK Menhut No. 44 Tahun 2005... 39

Analisis Rencana Tata Ruang Mangrove ... 42

Tata Guna Hutan dan Kawasan Hutan ... 46

Faktor Penyebab Perubahan Penutupan Lahan Hutan ... 48

Arahan Penatagunaan Hutan Mangrove ... 51

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 54

Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(9)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

DAFTAR TABEL

Hal

1. Karakteristik data Landsat-7 ETM ... 14 2. Luas Kecamatan di Kawasan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai . 33 3. Hasil Analisis Akurasi ... 35 4. Luas Masing-masing Kelas Penutupan Lahan Utama Hasil

(10)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

DAFTAR GAMBAR

Hal

1. Proses Perjalanan Gelombang Elektromagnet Ke Sensor Satelit .... 11

2. Diagram Alir Metode Penelitian ... 25

3. Peta Lokasi Penelitian ... 32

4. Citra komposit RGB 543 ... 33

5. Citra Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan Utama ... 37

6. Grafik Sebaran Mangrove menurut kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai ... 38

7. Peta Overlay Kawasan Hutan dengan Penutupan Lahan Kabupaten Serdang Bedagai ... 40

8. Peta Overlay Rencana Tata Ruang Mangrove dengan Penutupan Lahan Kabupaten Serdang Bedagai ... 43

9. Grafik Perbandingan Luasan Hutan Mangrove Dengan Kebutuhan RTRWK... 45

(11)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

1. Peta Lokasi Penelitian ... 57 2. Titik Ground Check ... 58 3. Citra Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan Utama ... 60 4. Peta Overlay Kawasan Hutan dengan Penutupan Lahan Kabupaten

Serdang Bedagai ... 61 5. Peta Overlay Rencana Tata Ruang Mangrove dengan Penutupan

Lahan Kabupaten Serdang Bedagai ... 62 6. Peta Overlay Tata Guna Hutan dan Kawasan Hutan dengan

(12)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem alami di kawasan pesisir

mempunyai arti yang penting sebagai daerah pinggiran yang berguna dan

produktif, dan juga melindungi pesisir dari ombak dan perembesan air asin. Di

balik keberadaan hutan mangrove yang berperan penting bagi kehidupan manusia,

pengalaman yang ada dalam membangun sumber daya tersebut pada umumnya

mengarah ke suatu pola yang merusak daya dukung lingkungan serta tidak

berkelanjutkan (suistenable). Kebutuhan hidup manusia saat ini justru semakin

mengancam keberadaan hutan.

Jika semua dibiarkan demikian, maka akan mengakibatkan hutan

mangrove tak akan bertahan lama berada di muka bumi. Saat ini terlihat

ekosistem mangrove tidak dikelola dengan baik. Sebaliknya, untuk memenuhi

kepentingan manusia, lingkungan sekitar hutan mangrove diubah untuk

dicocokkan dengan cara hidup dan cara bermukim manusia, atau bahkan kawasan

ini sering dirombak untuk menampung berbagai bentuk kegiatan manusia seperti

permukiman, prasarana jalan, saluran limbah rumah tangga, tanah pertanian,

(13)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Sehingga seringkali terjadi pemanfaatan mangrove dan konservasi

mangrove yang tidak berimbang, dimana pemanfaatan mangrove lebih

mendominasi pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Oleh karena itu, diperlukan

suatu kajian menyeluruh mengenai pola dan struktur pemanfaatan ruang di

kawasan mangrove ini.

Sementara itu kegiatan pembangunan suatu daerah yang memerlukan

pembukaan wilayah tidak jarang mengambil areal hutan yang telah ditetapkan

statusnya ataupun juga sebaliknya yaitu, penetapan kawasan hutan mengambil

kawasan padat penduduk yang telah lama bermukim. Saat ini fungsi kawasan

hutan di Provinsi Sumatera Utara menurut Keputusan Menteri Kehutan No. 44

Tahun 2005 adalah fungsi hutan suaka alam/ kawasan pelestarian alam, hutan

lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi terbatas

yang dapat dikonversi atau arela penggunaan lain.

Kajian menyeluruh mengenai pola dan struktur pemanfaatan ruang di

kawasan mangrove ini dari sisi pemantapan kawasan hutan di atas akan semakin

padu jika diintegrasikan dengan kebijakan pembangunan daerah yang ada. Salah

satu kebijakan pembangunan daerah yang mengatur tentang pemanfaatan lahan

adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penataan ruang yang ada

dirumuskan oleh pemerintah daerah setempat yang menyangkut kepentingan

sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan. Pertambahan penduduk dan

perkembangan daerah yang pesat dapat mengakibatkan perubahan tataguna lahan

secara cepat dan berlangsung lama Tataguna lahan yang tidak diterapkan dengan

(14)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Dalam melakukan kajian tersebut diperlukan suatu sistem yang dapat

menganalisis informasi keruangan meliputi satu kawasan administrasi.

Penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu

tehnik inventarisasi dan pemetaan tentang sumber daya alam sehingga dapat

memenuhi beberapa keperluan para penggunanya secara cepat, tepat, dan mudah.

Tujuan

1. Mengetahui kondisi luasan hutan mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai,

Provinsi Sumatera Utara.

2. Menguraikan faktor penyebab perubahan penutupan lahan hutan dan

penggunaan lahan hutan di kawasan lahan mangrove di Kabupaten Serdang

Bedagai, Provinsi Sumatera Utara.

3. Memberikan arahan dalam penatagunaan lahan hutan mangrove.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkini bagi

pihak-pihak terkait tentang kondisi hutan mangrove terutama penatagunaan lahannya di

(15)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan dan Fungsi Hutan

Pertimbangan diundangkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 adalah

bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang dikuasai oleh

negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib

disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang maupun generasi

mendatang. Pengertian hutan berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan, adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan

berisis sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan

alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

Fungsi hutan pada pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 41 Tahun

(16)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Pada pasal 11 ayat 1 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999/Kehutanan,

perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang

menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan. Kemudian pada pasal

12 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999/Kehutanan, perencanaan kehutanan

meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana

kehutanan. Penatagunaan kawasan hutan pada pasal 16 ayat 2 Undang-Undang

No. 41 Tahun 1999/Kehutanan, meliputi penetapan fungsi dan penggunaan

kawasan hutan.

Hutan Mangrove dan Fungsinya

Beberapa ahli mengungkapkan defenisi hutan mangrove, yaitu

Soeranegara dan Indrawan (1982) menyatakan bahwa hutan mangrove adalah

hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan dia

muara sungai yang dicirikan oleh (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi

pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak

mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api

(Avicennia sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizophora sp), lacang (Bruguiera

sp), nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp) dan lain-lain. Kusmana (2002),

mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau

suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah

pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi

oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari

(17)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu

habitat mangrove.

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.

Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi

mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah

yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil)

yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan

kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan

ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada

bagian arah daratan (Kusmana, 2002). Bersifat dinamis karena hutan mangrove

dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan

perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak

dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala.

Fungsi ekosistem hutan mangrove (Saenger dkk, 1981) yaitu:

• Fungsi fisik

- Menjaga garis pantai agar tetap stabil

- Mempercepat perluasan lahan

- Melindungi pantai dan tebing sungai

- Mengolah bahan limbah

• Fungsi biologis

- Tempat benih-benih ikan, udang dan kerang-kerang lepas pantai

- Tempat bersarang burung-burung besar

(18)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

• Fungsi ekonomi yang potensial

- Tambak

- Tempat pembuatan garam

- Rekreasi

- Balok

• Fungsi perlindungan kawasan

Zonasi hutan mangrove

Hutan mangrove terdiri dari zona-zona yang ditumbuhi oleh tipe-tipe

vegetasi yang berbeda-beda, dan komposisi jenis pohon dalam setiap zona

bergantung pada jarak relatif dari sungai dan laut. Menurut Watson (1928) Hutan

mangrove dapat dibagi atas lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang yaitu:

1. Hutan terdekat dengan laut yang dikuasai oleh Avicennia dan Sonneratia.

Sonneratia tumbuh pada lumpur lembek dengan kandungan organik yang

tinggi. Avicennia marina tumbuh pada substrat berliat yang agak deras,

sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak lembek.

2. Hutan pada substrat yang sedikit lebih tinggi yang biasanya dikuasai oleh

Bruguiera cylindrica. Hutan ini tumbuh pada tanah liat yang cukup keras

dan dicapai oleh beberapa air pasang saja.

3. Kearah daratan lagi, hutan dikuasai oleh Rhizophora mucronata dan

Rhizophora apiculata. Rhizophora mucronata lebih banyak dijumpai pada

(19)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

dapat tumbuh setinggi 35-40 m. Pohon lain yang juga terdapat pada hutan

ini mencakup Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum, gundukan

lumpur yang dibuat oleh udang lumpur ditumbuhi oleh pakis piai

Acrostichum aureum.

4. Hutan yang dikuasai oleh Bruguiera parviflora kadang-kadang dijumpai

tanpa jenis pohon lainnya. Hutan ini juga terdapat dimana pohon

Rhizophora telah ditebang.

5. Hutan mangrove terakhir dikuasai oleh Bruguiera gymnorrhiza. Semaian

pohon ini toleran terhadap naungan pada kondisi dimana Rhizophora

tidak dapat tumbuh. Peralihan antara hutan ini dan hutan dataran ditandai

oleh adanya Lumnitzera racemosa, Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga,

Ficus retusa, rotan, pandan dan nibong pantai Oncosperma tigilarria.

Tahap-tahap tidak selalu nyata terutama dimana hutan terganggu oleh

manusia. Di hutan mangrove terganggu, pakis piai terdapat sangat umum

dan padat.

Adapun pembagian kawasan mangrove berdasarkan perbedaan

penggenangannya (Arief, 2003) adalah:

1. Zona proksimal, yaitu kawasan (zona) yang terdekat dengan laut. Pada

zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis R. mucronata R. apiculata

dan S. Alba.

2. Zona midle, yaitu kawasan (zona) yang terletak di antara laut dan darat.

Pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis S. caseolaris, R. alba,

(20)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

3. Zona distal, yaitu zona yang terjauh dari laut. Pada zona ini biasanya

akan ditemukan jenis-jenis Heritiera litoralis, Pongamia, Pandanus spp.,

dan Hibiscus tiliaceus.

Dampak Kegiatan Pada Hutan Mangrove

Dengan berkembangnya pembangunan di wilayah pesisir, banyak

kegiatan-kegiatan manusia yang merusak ekosistem hutan mangrove. Saat ini

kerusakan dan degradasi hutan mangrove merupakan fenomena yang perlu

mendapat penanganan secara hati-hati. Bengen (1999) menyatakan

kegiatan-kegiatan manusia yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove adalah:

1. Tebang habis, yang berdampak pada perubahan komposisi tumbuhan

mangrove dan tidak berfungsinya daerah tersebut sebagai tempat mencari

makanan dan pengasuhan.

2. Pengalihan aliran air tawar, misalnya pembangunan irigasi, yang berdampak

pada peningkatan salinitas hutan mangrove dan menurunnya

kesuburan hutan mangrove.

3. Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan, permukiman dan lainnya, yang

berdampak pada ancaman regenerasi stok ikan dan udang perairan lepas pantai

yang memerlukan hutan mangrove, pencemaran laut oleh bahan-bahan

pencemar yang sebelumnya di ikat oleh substrat hutan mangrove,

pendangkalan perairan pantai, intrusi garam dan erosi garis pantai.

4. Pembuangan sampah padat, yang berdampak pada terlapisnya pneumatophora

(21)

bahan-Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

bahan pencemar dalam sampah padat.

5. Pembuangan sampah cair, yang berdampak pada penurunan kandungan

oksigen terlarut dan timbulnya gas H2S.

6. Pencemaran minyak tumpahan, yang berdampak pada kematian pohon

mangrove.

7. Pengembangan dan ekstraksi mineral di dalam hutan dan di daratan sekitar

hutan mangrove yang berdampak pada kerusakan total ekosistem,

sehingga memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove dan terjadinya

pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove.

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu atau seni untuk memperoleh

informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menggunakan data yang

diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak secara langsung terhadap

obyek, daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Sedangkan

menurut Jars (1993), penginderaan jauh didefinisikan sebagai suatu ilmu dan

teknologi yang berhubungan dengan obyek yang diukur, diidentifikasi atau

dianalisis karakteristiknya tanpa kontak langsung dengan obyek yang dikaji.

Butler et. al. (1988) menyatakan bahwa terdapat empat komponen yang

sangat penting dalam sistem penginderaan jauh, yaitu:

1. Matahari sebagai sumber energi, yang berupa radiasi elektromagnetik

(REM). Radiasi elektromagnetik ini merupakan suatu bentuk energi

(22)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

2. Atmosfer merupakan media lintasan dari radiasi elektromagnetik, karena

semua energi yang dideteksi dengan sistem penginderaan jauh tentu

melalui atmosfer dengan jarak atau panjang jalur tertentu.

3. Sensor, yaitu alat yang mendeteksi radiasi elektromagnetik yang

dipantulkan atau dipancarkan dari suatu obyek dan kemudian

mengubahnya dalam bentuk sinyal yang dapat direkam atau ditampilkan

sebagai citra atau data numerik.

4. Target atau obyek, yaitu fenomena yang terdeteksi oleh sensor.

Gambar 1. Proses Perjalanan Gelombang Elektromagnet Ke Sensor Satelit

Perolehan data penginderaan jauh melalui satelit memiliki keunggulan dari

segi biaya, waktu serta kombinasi saluran spektral (band) yang lebih sesuai untuk

diaplikasikan (Danoedoro, 1996). Sedangkan kekurangannya, sensor satelit hanya

mampu merekam perairan yang sangat dangkal yaitu kedalaman kurang dari 30

(23)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Sementara itu, Trisakti dkk (2003) menyimpulkan bahwa informasi yang

diperoleh dari teknologi penginderaan jauh satelit ini memperlihatkan bahwa,

teknologi penginderaan jauh dan SIG sangat mendukung dalam identifikasi dan

penilaian sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan. Beberapa keunggulan dari

pendekatan dengan cara ini antara lain:

• Meliputi wilayah yang luas dan resolusi temporal yang tinggi (dalam

hitungan jam, harian atau mingguan) sehingga dapat mengidentifikasi dan

melakukan monitoring sumberdaya dan fenomena yang terdapat di

wilayah pesisir dan lautan dalam areal yang besar dengan waktu yang

singkat dan biaya yang ekonomis. Sebagai contoh: kesesuaian lahan untuk

kegiatan budidaya perikanan dan pariwisata bahari dapat dilakukan untuk

luasan satu kabupaten atau propinsi, penentuan zona potensi penangkapan

ikan dilakukan pada wilayah perairan lepas yang sangat luas dan lainnya.

• Terdapat banyak pilihan jenis satelit pengideraan jauh dengan spesifikasi

yang berbeda-beda sehingga kegiatan dapat dilakukan sesuai dengan

tujuan yang diinginkan. Pemilihan jenis dan spesifikasi satelit biasanya

dilakukan dengan beberapa pertimbangan, seperti: untuk mempertinggi

akurasi informasi, memperluas wilayah penelitian, monitoring suatu areal

dalam jangka panjang, mendapatkan data yang bersih awan, atau

kebutuhan lainnya.

• Mempunyai keakuratan yang cukup baik dalam mengidentifikasi

(24)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

dan mengamati kondisi tingkat kerusakannya, mengidentifikasi ekosistem

terumbu karang, padang lamun dan pasir laut di perairan pantai.

Citra Landsat

Dari sekian banyak satelit penginderaan jauh, yang sering digunakan untuk

pemetaan penutupan lahan adalah Landsat (Land Satellite). Seri Landsat yang

dikenal pertama kali adalah Earth Resources Technology Satellite (ERTS).

Penggunaan nama Land Satellite yang kemudian disingkat menjadi Landsat ini

dimulai sejak satelit ini digunakan untuk mempelajari lautan dan daerah pesisir

(Butler et al, 1988). Seri satelit ini terdiri dari dua generasi yaitu generasi pertama

yang terdiri dari Landsat 1, Landsat 2 dan Landsat 3; dan generasi kedua yang

terdiri dari Landsat 4 dan Landsat 5. Landsat generasi kedua mempunyai orbit

polar sunsynchronous yaitu orbitnya akan melewati tempat-tempat yang terletak

pada lintang yang sama dan dalam waktu lokal yang sama pula. Periode orbitnya

98.5 menit dengan sudut inklinasi 98.5°. Salah satu sensor dari Landsat adalah

Thematic Mapper (TM).

Komponen dasar di dalam sistem penginderaan jauh meliputi : sumber

energi, atmosfer, interaksi antara energi dan objek serta sensor. Secara alamiah

sumber energi penginderaan jauh berupa radiasi gelombang elektromagnetik yang

berasal dari matahari. Sistem inderaja yang menggunakan energi matahari ini

disebut sistem pasif, sedangkan sistem aktif adalah sistem inderaja dengan

memakai sumber energi buatan, seperti radar (Sutanto, 1986).

(25)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

penginderaan jauh dibagi dua jenis, yaitu sensor pasif dan sensor aktif. Sensor

pasif adalah sensor yang merekam pantulan atau pancaran radiasi elektromagnetik

dari suatu obyek yang biasanya bersumber dari tenaga matahari. Sensor aktif

adalah sensor yang merekam sumber tenaga sendiri.

Penginderaan jauh vegetasi mangrove didasarkan pada dua sifat penting,

yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun (klorofil) dan mangrove

tumbuh di pesisir (Susilo, 1997). Sifat optik klorofil yang khas, yaitu menyerap

spektrum sinar merah dan memantulkan dengan kuat spektrum inframerah.

Klorofil fitoplankton yang berada di air laut dapat dibedakan dari klorofil

mangrove, karena sifat air yang sangat kuat menyerap spektrum inframerah.

Tanah, pasir dan batuan juga memantulkan inframerah tetapi tidak menyerap

spektrum sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik dapat dibedakan.

Vegetasi mangrove dan vegetasi teresterial yang lain mempunyai sifat optik yang

hampir sama dan sulit dibedakan, tetapi karena mangrove hidup di pinggir pantai

(dekat air laut) maka biasanya dapat dipisahkan dengan memperhitungkan jarak

pengaruh air laut, atau terpisah oleh lahan terbuka, padang rumput, daerah

pertambakan dan permukiman (Lillesand dan Kiefer, 1997).

Butler et al. (1988) menyebutkan bahwa untuk memisahkan mangrove

dari rawa dan vegetasi lainnya harus digunakan False Colour Composite

(komposit warna semu) dengan cara menggabungkan berbagai kanal yang

diperlukan sehingga menghasilkan suatu citra yang lebih ekspresif. Salah satu

sensor yang digunakan untuk mendeteksi mangrove adalah sensor Enhanced

(26)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

8 buah kanal dengan resolusi spasial 30 mx 30 m (kecuali kanal 6 dengan resolusi

spasial 120m x 120 m). Karakteristik dari sensor ETM dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik data Landsat-7 ETM (Butler, et al, 1988) Sensor

Fungsi band ETM+ berguna untuk mengkaji air, pemilihan jenis vegetasi,

pengukuran kelembaban tanah dan tanaman, pembedaan awan, salju, dan es, serta

mengidentifikasi jenis batuan. Sama dengan Landsat TM, Landsat ETM+ bisa

digunakan untuk penerapan daerah perkotaan, akan tetapi dengan resolusi spektral

yang tinggi akan lebih sesuai jika digunakan untuk membuat karakteristik alami

suatu bentang alam. Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa fungsi

masing-masing kanal pada sensor TM adalah sebagai berikut:

1. Kanal 1 (0,45 µ m - 0,52 µ m), dirancang untuk membuahkan peningkatan

penetrasi kedalam kolom air, dan juga mendukung analisis sifat

khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi.

2. Kanal 2 (0,52 µ m - 0,60 µ m), terutama dirancang untuk mengindera puncak

pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak di antara dua saluran

spektral serapan klorofil. Pengamatan pada saluran ini dimaksudkan

(27)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

kesuburan.

3. Kanal 3 (0,63 µ m - 0,69 µ m), merupakan saluran terpenting untuk

memisahkan vegetasi. Saluran berada dalam salah satu bagian

serapan klorofil dan memperkuat kontras kenampakkan antara vegetasi dan

bukan vegetasi, juga untuk menajamkan kontras antara kelas vegetasi.

4. Kanal 4 (0,79 µm - 0,90 µm), dirancang untuk dapat tanggap terhadap

sejumlah vegetasi di daerah kajian. Hal ini akan membantu identifikasi

tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman-tanah dan lahan-air.

5. Kanal 5 (1,55 µ m - 1,75 µ m), merupakan suatu saluran yang berperan penting

dalam penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi

kelembaban tanah.

6. Kanal 6 (10,40 µ m - 12,50 µ m), adalah saluran yang penting untuk

mendeteksi/mengamati panas permukaan bumi.

7. Kanal 7 (2,08 µm - 2,35 µm), adalah saluran inframerah termal yang dikenal

bermanfaat untuk klasifikasi dan analisis vegetasi, pemisahan kelembaban

tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.

8. Kanal 8 (0.52 – 0.90 µm), adalah pankromatik.

Penataan Ruang

Prinsip utama dalam penyusunan tata ruang wilayah pesisir selama ini

adalah berupaya mendapatkan manfaat dari sumberdaya yang tersedia seoptimal

mungkin dengan tidak mengabaikan kelestarian lingkungan berdasarkan

(28)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

lahan, (3) keterkaitan wilayah dan (4) kesesuaian konstruksi dengan lingkungan.

Dengan adanya kejadian tsunami di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, maka

pendekatan penataan ruang di daerah yang rawan tsunami perlu mengalami

modifikasi (Kusumastanto, 2008).

Penataan ruang wilayah pesisir mencakup 3 zona, yaitu Zona Lindung,

Zona Peyangga dan zona Pemanfaatan. Sebagai aktisivasi bahaya tsunami, maka

di sepanjang pantai harus ditetapkan sebagai zona lindung dan zona peyangga

dengan komponen utamanya adalah ekosistem terumbu karang buatan dan hutan

mangrove. Pada Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan

Kawasan Lindung telah ditetapkan lebar jalur hijau yaitu 130 ×rata-rata tunggang

air pasang (tidal range). Aturan ini banyak dilanggar pada waktu lalu dan

sekarang perlu dipertegas untuk diterapkan pada tataruang kawasan rawan

tsunami. untuk menetapkan lebar dan luas ideal hutan mangrove sebagai zona

lindung dan penyangga perlu kajian lebih mendalam. Beberapa infomasi

menyebutkan, bahwa hutan bakau yang memiliki lebar 65 m – 75 m dari garis

pantai, mampu mengurangi tinggi gelombang laut sekitar 3,5 m. Jika ketebalan

mangrove 1 kilometer, maka run-up gelombang tsunami hanya 2 kilometer

(Kusumastanto, 2008).

Langkah selanjutnya adalah mendesain tata letak tegakan mangrove, dan

pemilihan jenis mangrove. Secara alami stratifikasi jenis mangrove dari mulai

tepi pantai ke arah darat adalah: Avicennia sp. atau Sonneratia sp., Rhizophora

sp., Brugueria sp., dan Nypa fructicans. Pada zona pemanfaatan, 4 prinsip

(29)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

pertimbangkan peluang terjadinya kembali kejadian tsunami dan kondisi sosial

ekonomi budaya masyarakat yang menyimpan trauma bencana tsunami

(Kusumastanto, 2008).

Permukiman penduduk harus ditata bentuk landscape-nya dan

ditempatkan pada kawasan yang paling terlindung di zona pemanfaatan serta

dilengkapi akses jalan ke lokasi aman dari jangkauan gelombang tsunami.

Kawasan budidaya tambak dapat ditempatkan di kawasan peyangga dengan

sistem silvofishery. Sedangkan infrastruktur untuk usaha perikanan tangkap

seperti pendaratan kapal/perahu dan tampat pelelangan ikan sebaiknya di

tempatkan di tepi sungai yang agak jauh dari tepi pantai. Aktivitas lainnya

seperti pertanian, perkebunan, perdagangan dan jasa dapat ditempatkan di zona

pemanfaatan kawasan daratan pesisir sesuai dengan daya dukung dan kesesuaian

lahan disertai dengan desain bangunan yang kokoh (anti gempa dan tsunami)

(Kusumastanto, 2008).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Perencanaan Hutan Departemen

Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian

lapangan mengambil daerah kawasan hutan di Kabupaten Serdang Bedagai.

(30)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Citra Landsat ETM 7+ kabupaten Serdang Bedagai tahun 2005 dan 2006

Path 129 Row 57-58 dan Path 128 Row 58 dari Balai Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai (BP-DAS) Asahan.

2. Peta administrasi Kabupaten Serdang Bedagai dari Badan Perencaan

Pembangunan Daerah (BAPEDA) Kabupaten Serdang Bedagai.

3. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dari BAPEDA

Kabupaten Serdang Bedagai.

4. Peta kawasan hutan mangrove berdasarkan SK. Menhut No.

44/Kpts-II/2005 yang dikeluarkan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara.

5. Data dasar mencakup profil umum wilayah penelitian dari Badan Pusat

Statistik (BPS) dan Pemkab setempat.

6. Data lapangan.

Alat yang digunakan adalah peralatan pemetaan digital, dimana untuk

penelitian ini berupa software dan peralatan hardware. Software yang digunakan

untuk analisis citra yaitu :

1. Software ERDAS 8.5, software ini digunakan untuk menganalisa citra

Landsat ETM7+, untuk melihat kenampakan wilayah atau tutupan

mangrove yang ada.

2. Software Arc View 3.3 digunakan untuk proses digitasi sampai pembuatan

format kartografi guna plotting atau cetak ke hard copy.

3. Peralatan hardware, seperti Komputer pengolah data citra dan digitasi,

(31)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

4. Peralatan lapangan yang digunakan adalah kamera digital dan Global

Positioning System (GPS) untuk pengukuran koordinat titik kontrol guna

mengetahui posisi titik sample.

Metode

Kegiatan untuk penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yang harus

dilaksanakan, tahapan tersebut diantaranya meliputi:

1. Pra Pengolahan

1.1. Pengumpulan data

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan

data sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan dengan cara

pengecekan langsung di lapangan pada lokasi penelitian untuk diambil sampelnya

sebagai acuan bagi wilayah lainnya yang serupa sehingga untuk identifikasi data

di lapangan tidak perlu dilakukan pada seluruh wilayah penelitian. Data sekunder

yang dikumpulkan berupa citra Landsat ETM 7+ tahun 2005 dan 2006 Kabupaten

Serdang Bedagai, peta administrasi kabupaten Serdang Bedagai, peta RTRWK,

dan profil umum Kabupaten Serdang Bedagai.

Pada tahap ini dilakukan pra survei di wilayah yang akan diteliti. Adapun

persiapan yang diperlukan diantaranya adalah persiapan administrasi berupa

perijinan untuk melakukan penelitian dan pemetaan, transportasi menuju wilayah

penelitian, serta literatur yang mendukung penelitian. Pada tahap ini ditentukan

kapan waktu pelaksanaan kerja lapang yang sebaiknya dilaksanakan.

(32)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

2.1. Digitasi peta dasar

Digitasi adalah kegiatan merubah peta-peta dasar (peta administrasi, peta

kawasan hutan) menjadi peta digital. Metode digitasi dapat dilakukan secara

manual dengan alat digitizer atau menggunakan perangkat lunak dengan teknik

screen on digitazing. Perangkat lunak yang dapat digunakan untuk digitasi ini

yaitu Arc View 3.3.

2.2. Pengolahan Data Citra

Tahapan dalam pengolahan data secara digital adalah :

a. Melakukan konversi format data. Data citra satelit mentah didapat dengan

format tiff pada setiap bandnya. Umumnya jenis data tiff ini memiliki

kapasitas yang sangat besar yaitu lebih dari 100 megabyte, karena data tiff

ini merupakan data asli dari satelit yang dapat dimodifikasi dan antar

bandnya berdiri sendiri. Oleh karena itu data tiff harus disatukan dan di

exsport menjadi data img.

b. Melakukan proses pemotongan citra (cropping) sesuai dengan daerah

penelitian.

c. Dilakukan pemilihan tiga kanal dengan kombinasi (komposit) sehingga

penampakan citra lebih jelas lagi untuk mendapatkan informasi yang lebih

banyak guna interpretasi. Pemilihan tiga kanal citra untuk dikomposit

dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan hasil yang paling baik dan

optimal untuk memberikan informasi objek. Dalam hal pemantauan

mangrove kombinasi kanal yang baik yaitu kanal 5, 4 dan 3 (RGB).

d. Penajaman citra dilakukan untuk lebih memudahkan interpretasi visual

(33)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

memungkinkan kita untuk melakukan manipulasi nilai pixel suatu citra.

Walaupun citra telah dikoreksi terhadap pengaruh radiometrik, atmosperik

dan karakteristik sensor sebelum data citra didistribusikan kepada para

pengguna, akan tetapi kenampakan citra masih tetap kurang optimal untuk

interpretasi visual. Teknik penajaman citra digunakan dalam rangka,

perbaikan citra, meningkatkan perubahan skala keabuan nilai kecerahan

pixel dalam hal kualitas cetak fotografik untuk interpretasi dalam

pengolahan tanpa kembali pada analisis digital interaktif, pada langkah

pertama dalam proses subyektif klasifikasi digital.

e. Setelah penentuan penampakan citra hasil komposit yang terbaik,

selanjutnya dilakukan klasifikasi. Setelah dilakukan kegiatan pengecekan

lapangan klasifikasi dilanjutkan dengan klasifikasi terbimbing. Klasifikasi

penutupan lahan dilakukan secara terbimbing (supervised) menggunakan

metode Maximum Likelihood. Menurut Jaya (1998) Klasifikasi terbimbing

(supervised) adalah klasifikasi dimana analis mempunyai sejumlah piksel

yang mewakili masing-masing kelas atau kategori yang diinginkan.

f. Pada tahap awal klasifikasi dilakukan pemilihan training area (daerah

latihan) untuk mengelompokkan piksel-piksel yang berwarna sama. Tahap

terpenting dalam klasifikasi terbimbing adalah tahap penamaan piksel

(labeling) yang diperoleh dari data training area (daerah latihan). Setiap

hasil penandaan daerah latihan diberi nama sesuai dengan kondisi di alam.

Piksel-piksel atau warna yang tidak sesuai akan dimasukkan ke dalam

(34)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

pemilihan jenis klasifikasi adalah maximum likelihood). Jumlah piksel

yang perlu diambil untuk mewakili masing - masing kelas secara teoritis

adalah sebanyak jumlah kanal (N) yang digunakan ditambah satu (N + 1).

Pada pembuatan training area secara supervised dibatasi oleh kemampuan

penglihatan untuk mengekstraksi spektrum citra secara visual. Upaya

mendapatkan training area yang baik, sebaiknya dilakukan dengan teliti

dan hati-hati, sehingga menghasilkan variansi kesalahan sampel yang

sangat kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Arifin dan Dirgahayu (1997) cara pengambilan training area bisa

diperoleh dengan cara mengambil training area yang kecil dengan

harapan agar nilainya mendekati homogen. Mengingat keterbatasan

penglihatan pengklasifikasi, kemungkinan akan terjadi adanya kesalahan

dalam pengambilan training area, sehingga kemungkinan ada kelas yang

overlap dan ada yang tidak masuk dalam salah satu training area,

akibatnya ada kelas tidak terklasifikasi.

g. Hasil klasifikasi dilakukan uji ketelitian. Uji ketelitian ini bertujuan untuk

menguji kebenaran dari hasil interpretasi yang diperoleh dengan cara

pengecekan di lapangan serta pengukuran beberapa titik (sampel area)

yang dipilih dari setiap bentuk penutupan/ penggunaan lahan yang

homogen. Besarnya tingkat akurasi akan diperoleh dari hasil uji ketelitian,

yang dihitung dari matriks analisis akurasi dengan formulasi sebagai

(35)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

User’s accuracy =

N = Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan

r = Jumlah baris/ lajur pada matriks kesalahan (jumlah kelas)

Xkk = Jumlah piksel pada kelas bersangkutan (diagonal matriks)

Xkt = ∑Xij (jumlah semua kolom pada baris ke i)

Xtk = ∑Xij (jumlah semua kolom pada baris ke j)

3. Survei Lapang

3.1. Persiapan

Ada beberapa persiapan sebelum penelitian lapang yang harus dilakukan

yaitu: penentuan titik sampel, pembuatan rute perjalanan, penyiapan peralatan

survei, penyiapan kendaraan yang akan dipakai, dan penyiapan peralatan

pendukung untuk dokumentasi. Untuk kelengkapan penelitian lapangan tiga

bahan yang paling penting adalah:

- Peta tentatif yang akan di cek (di lapangan)

- Peta rupa bumi untuk memandu perjalanan lapangan

- Citra Inderaja yang digunakan untuk interpretasi (hard-copy).

(36)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Kegiatan survei lapangan ini meliputi berbagai kegiatan, baik pengukuran

GCP, pengecekan hasil analisis data satelit maupun kondisi lapangan secara

umum. Secara garis besar kegiatan-kegiatan di lapangan tersebut, antara lain

meliputi:

- Pengukuran koordinat titik kontrol dengan menggunakan alat GPS guna

membuat citra geocorrected dan geocoded maupun mengetahui posisi

lokasi pembuatan training area di lapangan.

- Pengecekan kebenaran klasifikasi dari beberapa kelas sampel dan hasil

analisis yang meragukan.

- Melakukan wawancara dengan masyarakat untuk mengetahui aktivitas

sosial dan ekonomi masyarakat di lahan mangrove.

- Dokumentasi kegiatan.

Lokasi pembuatan titik sampel lapangan ditentukan pada setiap lokasi

pemetaan dengan prinsip persebaran yang merata, keterwakilan dan dapat

dijangkau. Tiap lokasi ditentukan beberapa titik sampel tergantung dari luas

lokasi, keseragaman penutup lahan, keraguan atau belum tuntasnya pengenalan

penutup lahan dalam proses interpretasi.

Analisis penatagunaan lahan

Hasil inventarisasi dan identifikasi lahan mangrove dari Citra Satelit

Landsat akan diperoleh Peta Penggunaan Lahan Mangrove. Peta ini selanjutnya

akan diolah dengan pertimbangan parameter-parameter biofisik dan sosial

(37)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

hutan mangrove SK. Menhut No. 44/Kpts-II/2005 untuk mendapatkan tata guna

lahan mangrove.

Gambar 2. Diagram Alir Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Lahan dan Arahan Penggunaan lahan Peta digital

RTRWK

Peta penggunaan lahan

Peta penggunaan

lahan Peta digital kawasan

hutan mangrove SK. Menhut No. 44/Kpts-II/2005

(38)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Peta Lokasi Penelitian

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu Kabupaten yang berada

di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Lokasi penelitian dititikberatkan di

kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai karena di wilayah ini terdapat

ekosistem mangrove.

Kawasan persisir Kabupaten Serdang Bedagai meliputi lima kecamatan

yaitu kecamatan Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin

dan Bandar Khalipah. Dilihat dari segi administrasi lokasi penelitian sebelah utara

berbatasan langsung dengan Selat Malaka, sebelah timur dengan Kabupaten

Batubara, sebelah selatan dengan kecamatan Sei Rampah, Pegajahan dan Sei

Bamban, dan sebelah barat dengan Kabupaten Deli Serdang. Peta lokasi penelitian

dapat dilihat pada Gambar 3.

(39)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Berdasarkan hasil pengukuran secara digital dengan menggunakan

software ArcView Gis 3.3, bahwa lokasi penelitian memiliki luas 45.102,003 Ha.

Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas Kecamatan di Kawasan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan Luas (Ha) Luas (%) Bandar Khalipah 9.849,507 21,838 Tanjung Beringin 6.771,504 15,014 Teluk Mengkudu 7.901,762 17,520 Perbaungan 11.436,348 25,357 Pantai Cermin 9.142,882 20,272

Total 45.102,003 100,000

Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Satelit Landsat ETM 7+

Pengolahan Citra Satelit

Kombinasi kanal dimaksudkan untuk mempermudah meneliti bidang

kajian objek. Karena setiap band dari citra landsat memiliki karakteristik

kepekaan sendiri sendiri. Hasil kombinasi kanal RGB 543 dapat dilihat pada

(40)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Gambar 4. Citra komposit RGB 543

Hasil kombinasi citra tersebut menunjukkan masing-masing kelas

penutupan lahan mempunyai nilai reflektansi yang berbeda. Menurut Januardi

(1998) Penentuan kelas mangrove didasarkan pada kenampakan warna secara

visual dan karakteristik nilai pantulan spektral/ digital number. Mangrove terlihat

dengan warna hijau kegelapan pada citra FCC. Warna hijau merupakan reflektansi

vegetasi yang terlihat jelas pada citra kanal inframerah, sedangkan kegelapan

merupakan reflektansi tanah berair yang terlihat jelas pada citra kanal merah,

selain itu, mengacu pada habitatnya, yaitu asosiasi mangrove merupakan

ekosistem yang tumbuh di pinggir perairan asin atau payau, sehingga dapat

diasumsikan bahwa vegetasi yang berwarna hijau gelap dan hidup di sepanjang

pantai perairan asin adalah mangrove.

Klasifikasi Penggunaan Lahan

Citra diklasifikasikan menjadi 5 kelas penutupan lahan, yaitu hutan

mangrove, pemukiman, badan air, sawah dan kawasan bervegetasi selain hutan.

Pemilihan 5 kelas tersebut didasarkan pada penggunaan lahan utama di kawasan

pesisir itu sendiri. Metode yang digunakan dalam klasifikasi citra adalah

terbimbing (supervised) dengan parameter yang digunakan adalah maximun

likelihood. Setelah terklasifikasi dilakukan analisis akurasi. Hasil analisis akurasi

(41)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Tabel 3. Hasil Analisis Akurasi Classified

Hutan Pemukiman Sawah

Baris

UA 99,57128 89,24051 89,64627 98,66515 96,74843 Overall accuracy 93,413

Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Satelit Landsat ETM 7+

Hasil uji akurasi menunjukkan bahwa semua kelas dapat terklasifikasi

dengan baik walaupun ada beberapa piksel yang masuk ke kelas lain tetapi secara

umum masing-masing kelas dapat dipisahkan dengan tingkat sedang sampai

sangat baik. Nilai rata-rata User’ Accuracy (UA) sebesar 94,77 %, nilai rata-rata

Producer’s accuracy (PA) sebesar 89,91 % dan nilai overall accuracy sebesar

93,41 %.

Hasil klasifikasi penutupan lahan menjadi 5 kelas utama yaitu hutan

mangrove, kawasan vegetasi non hutan, pemukiman, sawah, dan badan air. Yang

termasuk kedalam kelas mangrove adalah hasil interpretasi untuk ekosistem

mangrove. Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) vegetasi mangrove dan vegetasi

teresterial yang lain mempunyai sifat optik yang hampir sama dan sulit dibedakan,

(42)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

dapat dipisahkan dengan memperhitungkan jarak pengaruh air laut, atau terpisah

oleh lahan terbuka, padang rumput, daerah pertambakan dan permukiman.

Kemudian kawasan vegetasi adalah hasil interpretasi untuk hutan, ladang, lahan

terbuka, dan perkebunan. Pemukiman adalah hasil interpretasi untuk penggunaan

lahan bangunan pemukiman, tempat wisata, dan pusat-pusat pertokoan. Kelas

sawah adalah hasil interpretasi untuk penggunaan lahan berupa sawah. Kelas

badan air adalah hasil interpretasi untuk sungai dan tambak.

Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

Hasil klasifikasi yang dilakukan menghasilkan 5 kelas penutupan lahan.

Untuk melihat kondisi hutan mangrove maka dari kelima kelas tersebut dilakukan

penggabungan kelas (recode) ke dalam 3 kelas penutupan lahan utama yaitu kelas

hutan mangrove, kelas non-mangrove, dan kelas badan air (Gambar 5).

Hasil penggabungan kelas yang dilakukan menghasilkan 3 kelas

penutupan lahan utama yaitu kelas hutan mangrove, kelas non-mangrove, dan

kelas perairan. Kelas non-mangrove terdiri dari hutan, ladang, lahan terbuka,

perkebunan, dan pertanian. Kelas badan air terdiri dari tambak dan sungai.

Penentuan non-mangrove dan tambak didasarkan pada interpretasi dan hasil

(43)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Gambar 5. Citra Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan Utama

(44)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

luas penyebarannya. Untuk luasan masing-masing kelas dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Luas Masing-masing Kelas Penutupan Lahan Utama Hasil Klasifikasi

Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Satelit Landsat ETM 7+

Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa hutan mangrove di Kabupaten

Serdang Bedagai memiliki luas total 3.859,618 Ha. Hutan mangrove tersebut

menyebar di 5 kecamatan. Penyebaran hutan mangrove dapat dilihat melalui

grafik di gambar 6.

Gambar 6. Grafik Sebaran Hutan Mangrove menurut kecamatan di Kabupaten

Serdang Bedagai

Kecamatan Badan Air % Mangrove % Non Mangrove %

Bandar Khalipah 1.104,359 33,53 1.597,316 41,38 7.146,814 18,83

Tanjung Beringin 670,482 20,34 780,567 20,22 5.316,367 14,01

Teluk Mengkudu 603,638 18,32 908,850 23,54 6.388,534 16,83

Perbaungan 195,971 5,94 297,903 7,71 10.941,643 28,84

Pantai Cermin 720,748 21,87 274,982 7,12 8.146,381 21,47

(45)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Perbandingan yang ditunjukkan pada gambar 6 menunjukkan bahwa

penyebaran hutan magrove yang paling banyak terdapat di kecamatan Bandar

Khalipah dengan persentase sebesar 41% dari total luas hutan mangrove yang ada.

Hal ini dikarenakan kondisi ekosistem magrove yang relatif terjaga, menurut

Dahuri (2004) bergantung pada kondisi alamnya, luas zona preservasi dan

konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan sebaiknya antara 30

– 50% dari luas totalnya. Untuk penyebaran hutan mangrove yang paling kecil

terdapat di kecamatan Pantai Cermin dimana penyebarannya sebesar 7% total luas

hutan mangove yang ada. Hal ini disebabkan karena tingginya luasan penutupan

lahan non mangrove yang mencapai 8.146,381 Ha.

Analisis Kawasan Hutan SK Menhut No. 44 Tahun 2005

Peta kawasan Hutan berdasarkan SK Menhut No. 44 Tahun 2005

mengatur tentang fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara. Peta tersebut

mengklasifikasikan kawasan hutan menjadi 5 fungsi kawasan hutan, yaitu Hutan

Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Konservasi dan Areal

Penggunaan Lain. Untuk melihat kondisi hutan mangrove berdasarkan SK

Menhut No. 44 Tahun 2005 dilakukan overlay dengan citra hasil klasifikasi

(46)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Gambar 7. Peta Overlay Kawasan Hutan dengan Penutupan Lahan Kabupaten

(47)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Peta SK Menhut No. 44 Tahun 2005 kawasan pesisir kabupaten Serdang

Bedagai hanya memiliki zona kawasan hutan lindung. Berdasarkan hal tersebut

dari peta dapat dilihat bahwa kabupaten Serdang Bedagai memiliki hutan lindung

yang ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 44 Tahun 2005 dimana

penyebarannya di sepanjang garis pantai kabupaten Serdang Bedagai dan

menjorok ke arah daratan. Hasil overlay peta tersebut memperlihatkan sebagian

penggunaan lahan berada di kawasan hutan lindung. Namun demikian, kondisi

kawasan mangrove yang tidak rusak terdapat di luar kawasan hutan walaupun

dalam jumlah yang relatif kecil. Penggunaan lahan yang terdapat di kawasan

hutan lindung dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rincian Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Lindung STATUS LAHAN

LUAS

(Ha) KECAMATAN PENGGUNAAN LAHAN

LUAS (Ha)

LUAS (%) Hutan Lindung 788,145 Bandar Khalipah Hutan Mangrove 461,060 58,49

(48)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Satelit Landsat ETM 7+

Sebagian besar keberadaan kawasan hutan lindung sudah berubah

fungsinya dengan besar luasan areal perubahan yang bervariasi. Kawasan hutan

lindung harusnya didominasi oleh tegakan salah satunya adalah ekosistem

mangrove.

Analisis Rencana Tata Ruang Mangrove

Rencana Tata Ruang merupakan Pola dan Struktur Ruang untuk

mewujudkan tujuan dari Program Pembangunan Daerah Kabupaten. Rencana Tata

ruang wilayah memberikan arahan dalam pemanfaatan ruang dimana didalamnya

diatur alokasi pemanfaatan ruang dan penataan struktur tata ruang untuk

memanfaatkan secara optimal semua potensi yang dimiliki. Untuk melihat

keberadaan hutan mangrove dibandingkan dengan RTRWK maka dilakukan

(49)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Gambar 8. Peta Overlay Rencana Tata Ruang Mangrove dengan Penutupan Lahan

(50)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Gambar 8 menunjukkan penyebaran hutan mangrove berdasarkan

RTRWK tersebar di 5 kecamatan dan keberadaannya masih belum sepenuhnya

sesuai dengan penggunaan lahan dilapangan. Rincian penggunaan lahan dapat

dilihat di tabel 6.

Tabel 6. Rincian Penggunaan Lahan pada RTRWK Hutan Mangrove STATUS LAHAN

LUAS

(Ha) KECAMATAN PENGGUNAAN LAHAN

LUAS (Ha)

LUAS (%) Hutan Mangrove 2.036,644 Bandar Khalipah Hutan Mangrove 616,232 30,25

Kawasan Vegetasi non Hutan 283,431 13,91 Pemukiman 602,456 29,58 Badan Air 338,165 16,60 Sawah 196,360 9,64 Hutan Mangrove 1.095,325 Tanjung Beringin Hutan Mangrove 197,472 18,02 Kawasan Vegetasi non Hutan 214,746 19,60 Pemukiman 129,314 11,80 Badan Air 181,175 16,54 Sawah 372,618 34,01 Hutan Mangrove 1.045,749 Teluk Mengkudu Hutan Mangrove 194,564 18,60 Kawasan Vegetasi non Hutan 144,824 13,84 Pemukiman 170,064 16,26 Badan Air 185,907 17,77 Sawah 350,390 33,50 Hutan Mangrove 102,349 Perbaungan Hutan Mangrove 13,836 13,51 Kawasan Vegetasi non Hutan 9,288 9,07 Pemukiman 40,148 39,22 Badan Air 27,729 27,09 Sawah 11,348 11,08 Hutan Mangrove 796,596 Pantai Cermin Hutan Mangrove 23,491 2,94 Kawasan Vegetasi non Hutan 70,614 8,86 Pemukiman 306,224 38,44 Badan Air 93,668 11,75 Sawah 302,599 37,98

(51)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Gambar 9. Grafik Perbandingan Luasan Hutan Mangrove Dengan Kebutuhan

RTRWK

Gambar 9 menunjukkan keberadaan hutan mangrove di areal RTRWK

tidak memenuhi perencanaan yang ada. Hal ini disebabkan berbagai macam

penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan di kecamatan Bandar Khalipah

didominasi oleh pemukiman seluas 602.456 Ha. Pada kecamatan Tanjung

Beringin perubahan terbesar di dominasi oleh sawah seluas 372.618 Ha.

Kemudian Pada kecamatan Teluk Mengkudu perubahan penggunaan lahan

didominasi sawah seluas 350.390 Ha. Pada kecamatan Perbaungan didominasi

oleh pemukiman seluas 40.148 Ha. hal ini disebabkan karena perbaungan

merupakan salah satu kecamatan yang berkembang perekonomiannya. Dan pada

kecamatan pantai cermin didominasi oleh pemukiman 306.224 Ha. Dalam hal ini

pemukiman penduduk sudah lama berkembang karena posisinya yang strategis

sebagai pusat perdagangan kecamatan kemudian perkembangan lokasi wisata

(52)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Tata Guna Hutan dan Kawasan Hutan

Pembangunan daerah mampu meningkatkan potensi-potensi yang terdapat

pada daerah tersebut. Pada prinsipnya pembangunan daerah sejalan dengan

kebijakan pengelolaan lingkungan, akan tetapi kenyataan yang ada

memperlihatkan degradasi lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya

luasan kawasan yang ditunjuk oleh Dinas Kehutanan sebagai kawasan hutan

lindung. Peraturan perundangan yang terkait dengan penataan ruang, status

kepemilikan dan pemanfaatan lahan harus segera diimplementasikan di lapangan.

Untuk melihat hasil penggunaan lahan pada daerah tata guna hutan dan kawasan

(53)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Gambar 10. Peta Overlay Tata Guna Hutan dan Kawasan Hutan dengan

(54)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

Gambar 10 dapat dilihat kondisi lahan mangrove di Kabupaten Serdang

Bedagai yang belum tertata secara keseluruhan. Pada beberapa kecamatan yaitu

Pantai Cermin, Perbaungan dan Teluk Mengkudu penyebaran hutan mangrove

menunjukkan belum sesuai penataan lahan mangrove kalau dilihat dari hasil

overlay dengan kebijakan yang ada. Lahan tidak tertata dengan baik akan

menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat serta dampak jangka panjang yang

ditimbulkannya akan semakin besar.

Faktor Penyebab Perubahan Penutupan Lahan Hutan

Kerusakan hutan mangrove tersebut sebagian besar telah dikonversi

terutama menjadi tambak, pemukiman, dan lahan usaha lainnya tanpa

mengalokasikan lahan mangrove untuk tujuan perlindungan yang memadai. Pada

kecamatan Pantai Cermin perubahan yang jelas terlihat adalah adanya penutupan

lahan pemukiman, dimana hal ini terjadi akibat semakin pesat pertumbuhan

penduduk pada daerah tersebut dan juga merupakan salah satu kecamatan yang

sudah sejak dahulu merupakan pusat perekonomian. Dampak yang akan timbul

akibat aktivitas pemukiman sehari-hari menghasilkan limbah domestik. Pada

umumnya limbah domestik mengandung sampah padat, yang berupa tinja,

sampah dapur, dan cair yang berasal dari sampah rumah tangga. Menurut

GESAMP (1976) limbah domestik umumnya mempunyai lima sifat utama, yaitu:

1. Mengandung bakteri, parasit dan kemungkinan virus, dalam jumlah

banyak yang sering terkontaminasi dalam kerang-kerangan (shellfish)

(55)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

2. Mengandung bahan organik dan padatan tersuspensi, sehingga BOD

(Biologycal Oxygen Demand) biasanya tinggi;

3. Mengandung padatan (organik dan anorganik) yang mengendap di

dasar perairan. Komponen organik akan terurai secara biologis,

sebagai akibatnya kandungan oksigen terlarut menjadi berkurang;

4. Mengandung unsur hara, terutama komponen posfor dan nitrogen,

dalam jumlah yang tinggi. Sehingga sering menyebabkan terjadinya

yutrofikasi; dan

5. mengandung bahan-bahan terapung, berupa bahan-bahan organik dan

anorganik, di permukaan air atau berada dalam bentuk suspensi.

Kondisi ini sering mengurangi kenyamanandan menghambat laju

fotosintesa, serta mempengaruhi proses pemurnian alam (self

purification).

Berdasarkan sifat-sifat limbah domestik tersebut di atas, maka dapat

dikatakan bahwa limbah tersebut dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat,

misalnya melalui kontaminasi limbah domestik di tempat-tempat rekreasi pantai

(mandi-mandi di laut), budidaya laut dan menurunkan kenyamanan umum

lainnya. Pengaruh limbah tersebut lebih lanjut diuraikan lebih detail pada

aspek-aspek berikut, yaitu bahan-bahan organik yang mudah terurai, kelebihan unsur

hara dan detergen.

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu sentra produksi

pertanian di Sumatera Utara sehingga kawasan pesisir juga dominan oleh

penutupan lahan dari pada kegiatan pertanian. Aktivitas perkebunan juga

(56)

Aulia Atmanegara : Aplikasi Penginderaan Jauh Dan Sig Untuk Penatagunaan Lahan Mangrove Di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, 2010.

vegetasi non mangrove. Pembukaan lahan pertanian di wilayah pesisir harus

dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek perlindungan lingkungan

sehingga tidak akan menimbulkan masalah-masalah lingkungan. Menurut

Dahuri dkk (1996) Pengembangan usaha pertanian di wilayah pesisir merupakan

salah satu bagian dari kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan

nasional. Salah satu masalah utama yang potensial timbul dari kegiatan pertanian

di wilayah pesisir adalah menurunnya kualitas air perairan pesisir. Penurunan

kualitas air ini sebagian besar disebabkan oleh masuknya bahan-bahan beracun

seperti pestisida, insektisida dan fungisida. Selain itu dapat juga disebabkan oleh

masuknya unsur hara yang berlebihan ke dalam perairan tersebut bersama

bahan-bahan tererosi.

Salah satu aktivitas utama di kawasan pesisir kabupaten Serdang Bedagai

yaitu budidaya perikanan. Menurut Dahuri dkk (1996) Sebagian besar kegiatan

budi daya perikanan di wilayah pesisir adalah usaha perikanan tambak, baik

tambak udang, bandeng, atau campuran keduanya. Selain itu terdapat pula

beberapa jenis kegiatan budidaya perikanan yang lain, seperti budi daya rumput

laut, tiram dan budi daya ikan dalam keramba (net impondment). Karena air

merupakan media utama dalam kegiatan budi daya perikanan, maka pengelolaan

terhadap sumber-sumber air alami maupun nonalami (tambak, kolam, dll) harus

menjadi perhatian utama dalam pengelolaan wilayah pesisir. Pengendalian

pengaruh kegiatan tambak terhadap lingkungan perlu dilaksanakan melalui

pengelolaan tambak yang tepat dan baik. Kegiatan tambak seperti aplikasi pupuk

dan obat pemberantas hama dapat menimbulkan dampak negarif terhadap

Gambar

Gambar 1. Proses Perjalanan Gelombang Elektromagnet Ke Sensor Satelit
Tabel 1. Karakteristik data Landsat-7 ETM  (Butler, et al, 1988)
Gambar 2. Diagram Alir Metode Penelitian
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

teknik interpretasi citra penginderaan jauh, dan pengambilan sampel menggunakan stratified sampling, serta metode analisis menggunakan aplikasi sistem

Faktor pengunaan lahan merupakan faktor yang paling berpengaruh pada tingginya nilai lahan di Kecamatan Gondomanan yaitu pengunaan lahan berupa perdagangan dan

Peta Agihan Tingkat Nilai Lahan Kecamatan Gondomanan Faktor yang Paling Berpengaruh Terhadap Nilai Lahan Kecamatan Gondomanan. Gambar 1.4 Diagram

Aplikasi Teknologi Sistem Informasi Geografis Dan Penginderaan Jauh Untuk Penentuan Kondisi Dan Potensi Konservasi Ekosistem Hutan Mangrove Di Kecamatan Kwanyar

Dengan citra penginderaan jauh yang digunakan di dalam penelitian ini identifikasi penutup lahan mampu mengidentifikasi 6 (enam) kelas jenis penutup lahan

Peneltian ini bertujuan untuk menduga kandungan karbon hutan mangrove hasil restorasi pada bekas lahan tambak di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli

RIZKA AMELIA: Potensi Karbon Hutan Mangrove Hasil Restorasi pada Lahan Bekas Tambak di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, di bumbing

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kajian Strategi Pengembangan Ekowisata Mangrove di Pesisir Sei Nagalawan Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara”