• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lalat penggorok daun Liriomyza spp dan parasitoidnya pada sayuran dataran tinggi dengan perhatian utama pada parasitoid Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Lalat penggorok daun Liriomyza spp dan parasitoidnya pada sayuran dataran tinggi dengan perhatian utama pada parasitoid Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

LALAT PENGOROK DAUN Liriomyza spp. (DIPTERA:

AGROMYZIDAE) DAN PARASITOIDNYA PADA SAYURAN

DATARAN TINGGI DENGAN PERHATIAN UTAMA PADA

PARASITOID Opius chromatomyiae BELOKOBYLSKIJ &

WHARTON (HYMENOPTERA: BRACONIDAE)

RUSLI RUSTAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Lalat Pengorok Daun

Liriomyza spp. (Diptera: Agromyzidae) dan Parasitoidnya pada Sayuran Dataran Tinggi dengan Perhatian Utama pada Parasitoid Opius chromatomyiae

Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2009

Rusli Rustam

(3)

ii RUSLI RUSTAM. Leafminers Liriomyza spp. (Diptera: Agromyzidae) on Highland Vegetables and Their Parasitoids with The Emphasis on Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae). Supervised by AUNU RAUF, NINA MARYANA, PUDJIANTO and DADANG.

Leafminers Liriomyza spp. are major pest on highland vegetables in Indonesia. The objectives of the research were to (1) evaluate leafminer and its parasitoids on higland vegetables, (2) study the intensity of parasitism of O. chromatomyiae in various host plants, (3) study the population dynamic of leafminer and its parasitoid in shallot, (4) evaluate the impact of three insecticides on parasitoid O. chromatomyiae, and (5) evaluate the demographic parameters and functional response of parasitoid O. chromatomyiae. Surveys of leafminer population and its parasitoid were undertaken by collecting 20-40 infested leaves. Leafminer flies and parasitoids emerged were collected and identified. Level of parasitism was calculated based on the number of parasitoids emerged divided by the total number of flies and wasps emerged. The population dynamic of leafminer and its parasitoids were studied on two varieties of green onion, by collecting 20 leaves and counting number of flies catched on yellow traps every week. The impact of insecticides on both leafminers and parasitoids was conducted by applying three different insecticides: abamectin, azadirachtin, and cartaphydrochloride once a week at the recommended dosage. Life table of O. chromatomyiae was studied to determine the population growth potential of the parasitoid, by calculating reproduction rate, intrinsic rate of increase, generation time, and stable age distribution. Functional response was evaluated by exposing

O. chromatomyiae on the third instar larvae of L. huidobrensis at eight different host densities (2, 4, 8, 10, 12, 16, 20, and 24) of. Our surveys revealed that

Liriomyza huidobrensis, L. sativae, L. chinensis and Chromatomyia horticola

were associated with various highland vegetables. Eight parasitoids emerged from leafminer-infested leaves: Hemiptarsenus varicornis, Asecodes deluchii, Neochrysocharis okazakii, N. formosa, Neocrhysocharis sp. Quadrastitchus liriomyzae, O. chromatomyiae and Gronotoma micromorpha. Parasitoid Opius chromatomyiae emerged from 13 different species of vegetables infested by leafminers.. Number of leafminers and parasitoids emerged, and crop damage were significantly different between two green onion varieties tested. Cartap hydrochloride was the most effective insecticide in term for reducing leafminer populations. Even though not as effective as cartap hydrochloride, abamectin and azadirachtin could reduce level of leafminer damage and had lower detrimental effects on natural enemies. Life table studies showed that longevity of females

Opius chromatomyiae (9.95 days) shorter than males (11.73 days). Females laid 104.73 eggs with the oviposition rate was 9.31 eggs/days. Reproductive output (R0) was 28.55 with generation time (T) was about 15.96 days and intrinsic rate of increase was 0.21. The stable age ditribution was 37.93% eggs, 24.92% larvae, 20.36% pupae and 16.78% adults. Functional response of O. chromatomyiae is type II (hyperbolic curve) with searching time was 0.0777/hour and handling time was 2.5818/hour.

(4)

iii RUSLI RUSTAM. Lalat Pengorok Daun Liriomyza spp. (Diptera: Agromyzidae) dan Parasitoidnya pada Sayuran Dataran Tinggi dengan Perhatian Utama pada Parasitoid Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae). Dibimbing oleh AUNU RAUF, NINA MARYANA, PUDJIANTO, dan DADANG.

Tabuhan Opius chromatomyiae adalah parasitoid yang dominan berasosiasi dengan larva pengorok daun pada pertanaman sayuran dataran tinggi di Indonesia. Penelitian bertujuan untuk (1) mengidentifikasi spesies lalat pengorok daun pada pertanaman sayuran dataran tinggi serta parasitoid yang berasosiasi, (2) mengetahui tingkat parasitisasi O. chromatomyiae pada berbagai jenis tanaman inang, (3) mengkaji dinamika populasi lalat pengorok daun dan parasitoidnya pada tanaman bawang daun, (4) mengevaluasi selektifitas beberapa insektisida terhadap parasitoid O. chromatomyiae (5) mengkaji potensi keefektifan parasitoid O. chromatomyiae berdasarkan parameter demografi yang meliputi laju pertambahan intristik (r), reproduksi bersih (Ro), masa generasi (T) dan proporsi persebaran usia stabil (px), (6) mengkaji potensi keefektifan parasitoid O. chromatomyiae berdasarkan tanggapnya terhadap peningkatan kelimpahan inang, serta menetapkan laju pelacakan inang (a) dan masa penanganan inang (Th).

Survei lalat pengorok daun dan parasitoidnya dilakukan dengan mengambil 20-40 helai daun tanaman sayuran yang memperlihatkan gejala korokan lalat pengorok daun. Imago lalat pengorok daun dan parasitoid yang muncul dari daun diidentifikasi. Tingkat parasitisasi dihitung dengan membandingkan jumlah parasitoid dengan lalat pengorok daun yang muncul. Percobaan dinamika populasi lalat pengorok daun dan parasitoidnya dilakukan pada dua varietas tanaman bawang daun. Pengamatan dilakukan setiap minggu dengan mengambil 20 helai daun terserang dan pemasangan perangkap kuning. Percobaan aplikasi insektisida pada tanaman bawang daun dan pengaruhnya terhadap parasitoid dilakukan pada tiga jenis insektisida, yaitu abamektin, azadirakhtin, dan kartap dengan dosis sesuai anjuran pada label kemasan insektisida. Aplikasi insektisida dilakukan setiap minggu. Pengamatan dilakukan dengan mengambil 15 helai daun tanaman terserang dan pemasangan perangkap kuning. Data dianalisis dengan pengamatan data berulang. Sedangkan percobaan parameter demografi O. chromatomyiae dilakukan pada 50 individu cohort awal dengan mengamati pertumbuhan dan perkembangan parasitoid mulai dari telur sampai imago mati. Parameter yang diamati adalah keperidian, laju pertumbuhan intrinsik, masa generasi, dan persebaran umur stabil. Percobaan tanggap fungsional O. chromatomyiae dilakukan di laboratorium dengan menggunakan larva lalat pengorok daun instar-3 sebagai serangga inangnya. Percobaan tanggap fungsional dilakukan pada kerapatan inang 2, 4, 8, 12, 16, 20, dan 24 dengan analisis regresi logistik dan regresi non linear.

(5)

iv

liriomyzae dan masing-masing satu spesies dari famili Braconidae dan Eucoilidae yaitu O. chromatomyiae dan Gronotoma micromorpha. Parasitoid O. chromatomyiae merupakan parasitoid yang dominan pada tingkat ketinggian 1001-1300 dan 1301-1600 m di atas permukaan laut dengan tingkat parasitisasi berkisar antara 1.84 – 62.26%. Dari 16 spesies tanaman yang diinfestasi oleh lalat pengorok daun, O. chromatomyiae dapat memparasitisasi lalat pengorok daun pada 13 tanaman yang terserang.

Analisis pengamatan berulang mingguan menunjukkan bahwa perbedaan varietas bawang daun tidak mempengaruhi jumlah Liriomyza yang tertangkap perangkap kuning namun mempengaruhi jumlah Liriomyza dan parasitoid yang muncul dari daun contoh. Terdapat dua spesies pengorok daun yang menyerang pertanaman bawang daun, yaitu L. huidobrensis dan L. chinensis dengan rerata jumlah Liriomyza yang muncul dari bawang daun varietas Erwor dan RP berturut-turut sebanyak 54,50 individu/20 daun dan 18.65 individu/20 daun. Jumlah parasitoid yang muncul dari bawang daun varietas Erwor (13.68 individu/20 daun) jauh berlimpah dibandingkan varietas RP (6.9 individu/20 daun). Spesies parasitoid yang muncul dari daun contoh kedua varietas adalah H. varicornis dan

O. chromatomyiae dengan tingkat parasitisasi kedua spesies hampir sama. Tingkat kerusakan tanaman lebih berat terjadi pada bawang daun varietas Erwor namun tidak mempengaruhi jumlah anakan karena jumlah anakan pada varietas Erwor dua kali lipat dibandingkan varietas RP.

Aplikasi insektisida abamektin, azadirahtin dan kartap tidak berpengaruh terhadap jumlah imago Liriomyza yang terperangkap perangkap kuning namun berpengaruh terhadap jumlah Liriomyza yang muncul dari daun, tingkat kerusakan tanaman dan parasitoid yang berasosiasi dengan lalat ini. Insektisida kartap lebih efektif dalam mengendalikan lalat pengorok daun pada tanaman bawang daun sehingga tingkat kerusakan tanaman jauh lebih rendah dibandingkan dua insektisida lainnya. Namun demikian aplikasi insektisida kartap yang merupakan insektisida sintetis menyebabkan jumlah parasitoid O. chromatomyiae dan H. varicornis yang muncul dari daun lebih rendah dibandingkan pada perlakuan insektisida abamektin dan azadiraktin. Aplikasi abamektin dan azadirakhtin cukup mampu menurunkan tingkat serangan lalat pengorok daun dan aman terhadap musuh alami. Aplikasi insektisida tidak berpengaruh terhadap bobot kotor bawang daun dan jumlah anakan.

Opius chromatomyiae merupakan endoparasitoid yang memperlihatkan lama hidup imago betina (9.95 hari) lebih singkat dibandingkan imago jantan (11.73 hari). Keperidian imago betina 104.73 individu dengan laju peneluran 9.31 butir/hari, sementara itu, laju reproduksi bersih (Ro) 28.55 dengan masa generasi (T) 15.96 hari dan laju pertumbuhan intrinsik sebesar 0.21 pada proporsi persebaran usia stabil 37.93% telur, 24.92% larva, 20.36% pupa dan 16.78% imago. O. chromatomyiae mempunyai tanggap fungsional tipe II dengan laju pencarian inang 0.0777/jam dan masa penanganan inang 2.5818 jam. Jumlah inang yang diparasit O. chromatomyie meningkat dengan bertambahnya kerapatan inang.

(6)

v

©

Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebahagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

vi

AGROMYZIDAE) DAN PARASITOIDNYA PADA SAYURAN

DATARAN TINGGI DENGAN PERHATIAN UTAMA PADA

PARASITOID Opius chromatomyiae BELOKOBYLSKIJ &

WHARTON (HYMENOPTERA: BRACONIDAE)

RUSLI RUSTAM

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Entomologi/Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

vii Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, M.S.

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, M.S.

(9)

viii dan Parasitoidnya pada Sayuran Dataran Tinggi dengan Perhatian Utama pada Parasitoid Opius chromatomyiae

Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae) Nama : Rusli Rustam

NIM : A461040021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc. Dr. Ir. Nina Maryana, M.S. Ketua Anggota

Dr. Ir. Pudjianto, M.S. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi/Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

ix Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2006 ini adalah parasitoid, dengan judul Lalat Pengorok Daun Liriomyza spp. (Diptera: Agromyzidae) dan Parasitoidnya pada Sayuran Dataran Tinggi dengan Perhatian Utama pada Parasitoid Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae.

Disertasi ini memuat satu judul yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Judul 1, Lalat pengorok daun dan parasitoidnya pada pertanaman sayuran dataran tinggi di Kabupaten Cianjur-Bogor, Jawa Barat telah diterbitkan (JNI 11: 1 tahun 2008).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc., Dr. Ir. Nina Maryana, M.S., Dr. Ir. Pudjianto, M.S., dan Dr. Ir. Dadang, M.Sc. yang telah membimbing penulis dengan sabar dan hati yang ikhlas mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Pertanian Universitas Riau (UNRI) dan Bapak Rektor UNRI, atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor (S3) di IPB. Terima kasih disampaikan pula kepada Direktur Program pascasarjana IPB dan Tim Pengelola Beasiswa BPPS Depdiknas atas kesempatan dan dukungan biaya yang telah diberikan sehingga proses penyelesaian studi penulis dapat berjalan dengan baik. Kepada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, khususnya Program Studi Entomologi-Fitopatologi penulis sangat berterima kasih atas kesungguhan hati para dosennya dalam mentransfer ilmu pengetahuan melalui perkuliahan, diskusi, dan seminar.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak Saodik, Bapak Wawan Laboran Laboratorium Ekologi Serangga dan Ibu Aisyah Laboran Laboratorium Biosistematika Serangga yang telah banyak membantu penulis selama melaksanakan penelitian. Kepada saudara Acep yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian di Cipanas, penulis ucapkan terima kasih.

Kepada rekan di program studi Entomologi/Fitopatologi dan rekan-rekan di laboratorium Ekologi Serangga dan Biosistematika Serangga, penulis mengucapkan terima kasih atas budi baik dan kerjasama yang telah penulis rasakan selama ini. Rekan-rekan telah banyak memberi bantuan melalui kegiatan diskusi dan tukar pikiran yang bermanfaat bagi penulis. Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh keluarga, khususnya kepada istri tercinta Jum’atri Yusri atas bantuan moril dan materil serta keihklasannya selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Disertasi yang tidak luput dari kekurangan dan kelemahan ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Januari 2009

(11)

x Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 11 November 1969 sebagai anak keenam dari sembilan bersaudara dari pasangan Rustam (alm.) dan Rosna Zein (almh.). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas Padang, lulus tahun 1993. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Entomologi-Fitopatologi, Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staff pengajar di Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Riau sejak tahun 1999. Mata kuliah yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman.

Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI). Karya ilmiah berjudul Lalat Pengorok Daun dan Parasitoidnya pada Pertanaman Sayuran Dataran Tinggi di Kabupaten Cianjur dan Bogor, Jawa Barat telah disajikan pada Seminar Nasional PEI Bogor di Cibinong-Bogor pada bulan Maret 2008. Studi parasitoid Opius chromatomyiae

(12)

xi

(13)

xii 3. APLIKASI BEBERAPA JENIS INSEKTISIDA UNTUK MENGEN-

DALIKAN LALAT PENGOROK DAUN DAN PENGARUH SAM-PINGNYA TERHADAP PARASITOID

Abstrak ... 59

Abstract ... 59

Pendahuluan ... 60

Bahan dan Metode ... 61

Hasil dan Pembahasan ... 64

Kesimpulan ... 73

Daftar Pustaka ... 73

4. PARAMETER DEMOGRAFI PARASITOID Opius chromatomyiae (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) PADA LALAT PENGOROK DAUN Liriomyza huidobrensis (DIPTERA: AGROMYZIDAE) Abstrak ... 75

Abstract ... 75

Pendahuluan ... 75

Bahan dan Metode ... 76

Hasil dan Pembahasan ... 79

Kesimpulan ... 85

Daftar Pustaka ... 85

5. TANGGAP FUNGSIONAL Opius chromatomyiae (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) PADA LALAT PENGOROK DAUN Liriomyza huidobrensis (DIPTERA: AGROMYZIDAE) Abstrak ... 88

Abstract ... 88

Pendahuluan ... 88

Bahan dan Metode ... 89

Hasil dan Pembahasan ... 92

Kesimpulan ... 95

Daftar Pustaka ... 95

PEMBAHASAN UMUM ... 97

KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

(14)

xiii

Halaman

1.1 Lokasi pengambilan sampel daun ... 24 1.2 Spesies tanaman yang terserang lalat pengorok daun ... 25 1.3 Spesies lalat pengorok daun pada berbagai jenis tanaman inangnya . 29 1.4 Parasitoid yang menyerang lalat pengorok daun ... 29 1.5 Kelimpahan lalat pengorok daun dan tingkat parasitisasi parasitoid

pada berbagai jenis tanaman inang ... 30 1.6 Kelimpahan spesies Liriomyza dan parasitoid per daun pada

tanaman bawang daun ... 32 2.1 Deskripsi tanaman bawang daun ... 42 2.2 Kriteria skor kerusakan daun akibat serangan Liriomyza ... 44 2.3 Perbandingan beberapa peubah infestasi Liriomyza pada petak

pertanaman bawang daun varietas RP dan Erwor berdasarkan sidik ragam pengukuran berulang ... 45 2.4 Rataan beberapa peubah infestasi Liriomyza dan parasitoid pada

petak pertanaman bawang daun varietas RP dan Erwor berdasarkan analisis ragam pengukuran berulang ... 46 2.5 Perbandingan beberapa peubah parasitoid Liriomyza pada petak

pertanaman bawang daun varietas RP dan Erwor berdasarkan sidik ragam pengukuran berulang ... 49 3.1 Kriteria skor kerusakan daun akibat serangan lalat pengorok daun ... 63 3.2 Perbandingan beberapa peubah infestasi Liriomyza pada petak

pertanaman bawang daun yang diaplikasi insektisida dan petak kontrol berdasarkan sidik ragam pengukuran berulang ... 64 3.3 Rataan beberapa peubah infestasi Liriomyza pada petak pertanaman

bawang daun yang diaplikasi insektisida dan petak kontrol berdasarkan analisis ragam pengukuran berulang ... 66 3.4 Perbandingan kelimpahan parasitoid dan tingkat parasitisasi pada

pertanaman bawang daun yang diaplikasi beberapa jenis insektisida dan pada petak kontrol berdasarkan analisis ragam pengukuran berulang ... 68 3.5 Rataan beberapa peubah parasitoid pada pada petak pertanaman

bawang daun yang diaplikasi insektisida dan petak kontrol berdasarkan analisis ragam pengukuran berulang ... 68 3.6 Tingkat serangan, bobot bawang daun dan jumlah anakan pada

(15)

xiv 4.2 Parameter demografi Opius chromatomyiae ... 82 4.3 Proporsi berbagai fase perkembangan Opius chromatomyiae pada

persebaran umur stabil ... 84 5.1 Hasil analisis regresi logistik proporsi larva Liriomyza huidobrensis

yang terparasit oleh Opius chromatomyiae pada berbagai kerapatan inang ... 93 5.2 Nilai penduga parameter laju pencarian (a) dan masa penanganan

(16)

xv

Halaman

1.1 Kelimpahan populasi lalat pengorok daun pada tanaman bawang daun, brokoli, seledri, ketimun, dan kacang kapri pada berbagai ketinggian tempat ... 27 1.2 Kelimpahan populasi lalat pengorok daun pada tanaman kaylan,

tomat, horenso, buncis, tang och, bayam, dan caisim di berbagai ketinggian tempat ... 28 1.3 Komposisi parasitoid menurut ketinggian tempat ... 30 1.4 Tingkat parasitisasi Opius chromatomyiae ... 31 2.1 Rataan banyaknya Liriomyza yang tertangkap perangkap kuning

pada bawang daun varietas RP dan Erwor ... 46 2.2 Rataan banyaknya Liriomyza yang muncul dari daun contoh pada

bawang daun varietas RP dan Erwor ... 47 2.3 Kelimpahan populasi Liriomyza huidobrensis dan Liriomyza

chinensis pada bawang daun varietas RP dan Erwor ... 48 2.4 Kelimpahan populasi Hemiptarsenus varicornis dan Opius

chromatomyiae pada bawang daun variatas RP dan Erwor ... 50 2.5 Rataan tingkat parasitisasi parasitoid pada bawang daun varietas RP

dan Erwor ... 51 2.6 Perkembangan tingkat kerusakan tanaman pada bawang daun

varietas RP dan Erwor ... 51 2.7 Rerata jumlah anakan bawang daun per rumpun ... 52 3.1 Rataan banyaknya imago lalat pengorok daun yang tertangkap

perangkap kuning (ekor/perangkap) pada pertanaman bawang daun yang diaplikasikan insektisida ... 65 3.2 Jumlah Liriomyza huidobrensis (A) dan Liriomyza chinensis (B)

yang muncul dari tanaman bawang daun yang di aplikasikan abamektin, azadiraktin, kartap hidroklorida, dan kontrol ... 67 3.3 Skor kerusakan tanaman bawang daun akibat serangan Liriomyza

pada petak yang mendapat perlakuan abamektin, azadiraktin, kartap hidroklorida, dan kontrol ... 67 3.4 Rataan banyaknya Opius chromatomyiae (A) dan Hemiptarsenus

varicornis (B) yang muncul dari daun contoh yang dikoleksi dari tanaman bawang daun yang diaplikasikan abamektin, azadiraktin, kartap dan kontrol ...

(17)

xvi

chromatomyiae ... 84 5.1 Kurva tanggap fungsional (tipe II) Opius chromatomyiae pada

(18)

xvii

Halaman

1.1

Spesies lalat pengorok daun yang menyerang pertanaman sayuran pada dataran tinggi (skala pembanding adalah 1 mm) ... 38 1.2 Spesies parasitoid lalat pengorok daun dataran tinggi (skala

(19)

Latar Belakang

Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir ini, pertanaman sayuran di Indonesia

diinvasi oleh tiga hama eksotik yang tergolong genus Liriomyza (Diptera:

Agromyzidae). Invasi diawali oleh L. huidobrensis (Blanchard) sekitar tahun

1994 (Rauf 1995), dan dua tahun kemudian diikuti oleh L. sativae Blanchard

(Rauf et al. 2000). Jenis yang ke tiga adalah L. chinensis Kato yang dilaporkan

pertama kali di Indonesia tahun 2000 (Rauf & Shepard 2001). Sebelumnya telah

terdapat satu spesies lalat pengorok daun yang keberadaannya sudah lama di

Indonesia, yakni Chromatomyiae horticola (Goureau) yang dikenal sebagai hama

penting pada tanaman kacang kapri (Kalshoven 1981).

Asal lalat pengorok daun Liriomyza spp. adalah Amerika Selatan (Spencer

1973) dan diperkirakan masuk ke Indonesia melalui perdagangan bunga potong

dan produk sayuran segar (Rauf 1995). Sekarang hama ini telah menyebar

hampir ke seluruh wilayah sayuran di Indonesia, menjadi hama utama pada

pertanaman sayuran dataran rendah sampai dataran tinggi. Menurut Rauf dan

Shepard (1999), hama ini ditemukan pada 45 spesies tanaman dari Famili

Cruciferae, Liliaceae, Cucurbitaceae, Umbelliferae, Compositae, Amaranthaceae,

Chenopodiaceae, Solanaceae, Euphorbiaceae, Convolvulaceae, Basellaceae, dan

Labitaceae.

Kerusakan yang ditimbulkan ketiga spesies hama ini adalah sama, yaitu

kerusakan jaringan mesofil daun akibat aktifitas makan larva sehingga

menyebabkan kemampuan tanaman dalam melakukan fotosintesis menurun

(Minkenberg & van Lenteren 1986). Bekas tusukan ovipositor imago tampak

berupa bercak-bercak putih pada daun, sedangkan korokan yang dibuat larva

berbentuk seperti terowongan kecil yang berliku dan larvanya berada pada ujung

liang. Serangan berat dapat mengakibatkan daun mengering dan gugur sebelum

waktunya, sehingga menurunkan kuantitas dan kualitas hasil. Serangan hama ini

dapat menurunkan hasil antara 30% sampai 70% (Rauf & Shepard 1999).

Upaya pengendalian yang umum dilakukan oleh petani adalah penggunaan

insektisida profenofos, dengan frekuensi penyemprotan 2-3 kali per minggu (Rauf

(20)

serangan karena lalat pengorok daun yang menyebar ini diduga berasal dari

populasi yang telah resisten (Parrella & Keil 1984), dan karena larva berada dalam

jaringan tanaman sehingga terlindung dari pengaruh insektisida (Parrella 1987).

Di pihak lain, penggunaan insektisida yang berlebihan dikhawatirkan dapat

menimbulkan dampak buruk seperti resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya

musuh alami, dan pencemaran lingkungan secara umum (CEQ 1972).

Untuk mengatasi kerugian pada produksi pertanian dan kesulitan dalam

pengendalian hama pengorok daun karena tidak efektifnya insektisida yang

digunakan serta untuk mencegah atau mengurangi dampak penggunaan

insektisida seperti matinya musuh alami, perlu dicari alternatif pengendalian hama

tersebut.

Pendekatan Masalah

Di antara alternatif yang ada, pengendalian hama pengorok daun yang

dapat dipilih adalah pemanfaatan musuh alami. Musuh alami merupakan salah

satu komponen dalam pengendalian hama terpadu (PHT) yang aman terhadap

lingkungan sehingga keberhasilan parasitoid dalam menekan populasi hama akan

mengurangi penggunaan insektisida dalam pengendalian hama.

Parasitoid adalah salah satu kelompok musuh alami yang dapat

dimanfaatkan dalam pengendalian hama terpadu. Di antara rangkaian penelitian

yang telah dilakukan untuk mendukung pengendalian hama terpadu lalat pengorok

daun adalah survei musuh alami. Hingga kini di Indonesia dilaporkan terdapat 18

jenis parasitoid yang berasosiasi dengan larva Liriomyza spp. yaitu Asecodes

deluchii (Baucek), Chrysocharis sp., Cirropillus ambiguus (Hanson & LaSalle),

Closterocerus sp., Hemiptarsenus varicornis (Girault), Neochrysocharis formosa

(Westwood), Neochrysocharis sp., Pnigalio sp., Quadrastichus sp.,

Zagrammosoma sp., Stenomesius sp., Pediobius sp. (semuanya Hymenoptera:

Eulophidae), Gronotoma sp., Kleidotoma sp. dan Norlanderia sp. (Hymenoptera:

Eucoilidae), Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera:

Braconidae) dan Sphegigaster sp. (Hymenoptera: Pteromalidae) (Supartha 1998;

Rauf et al. 2000; Susilawati 2002; Purnomo 2003). Pada pertanaman sayuran

dataran tinggi, jenis parasitoid yang paling dominan adalah H. varicornis dan O.

(21)

endoparasitoid larva-pupa (Rustam 2002), sedangkan H. varicornis merupakan

ektoparasitoid larva. Informasi parasitoid H. varicornis sebagai agens hayati lalat

pengorok daun di Indonesia telah banyak diteliti oleh Hidrayani (2003 ) dan

Thamrin (2004).

O. chromatomyiae adalah endoparasitoid yang umum ditemui memarasit

hama pengorok daun. Menurut Rauf dan Shepard (1999), tingkat parasitisasi

parasitoid sangat dipengaruhi oleh tanaman inang dan ketinggian tempat. Oleh

karena itu, survei lalat pengorok daun dan parasitoidnya, khususnya O.

chromatomyiae, menjadi sangat berguna dalam pemanfaatan parasitoid tersebut

sebagai agens pengendalian hayati. Lalat pengorok daun mudah beradaptasi

dengan lingkungan sehingga penyebaran lalat pengorok cepat terjadi di lapangan.

Penyebaran lalat pengorok daun akan diikuti oleh penyebaran parasitoidnya.

Dari survei pendahuluan yang dilakukan, bawang daun merupakan

tanaman yang dominan terserang lalat pengorok daun dan pengorok ini

menimbulkan kerugian yang besar. Informasi tentang dinamika populasi lalat

pengorok daun maupun parasitoidnya pada bawang daun menjadi sangat penting

untuk diketahui sehingga pengendalian lalat pengorok daun ini dapat dilakukan

dengan efisien dan efektif.

O. chromatomyiae merupakan parasitoid yang diandalkan dapat

mengendalikan lalat pengorok daun di daerah dataran tinggi. Namun dalam

pemanfaatan di lapangan perlu kajian yang lebih dalam seperti bioekologi

parasitoid dan hubungan parasitoid dengan tanaman inang, sehingga pelepasan di

lapangan akan lebih tepat dan bermakna. Kajian bioekologi parasitoid seperti

neraca kehidupan yang meliputi laju reproduksi, laju pertumbuhan instristik,

persebaran umur stabil, dan waktu generasi serta kajian tanggap parasitoid

terhadap kelimpahan inang (tanggap fungsional) menjadi sesuatu yang utama

dalam pemanfaatan parasitoid ini.

Penggunaan insektisida untuk mengendalikan serangga hama merupakan

sesuatu yang lazim. Dalam konsep pengendalian hama terpadu (PHT), insektisida

merupakan salah satu komponen yang keberadaanya kadang kala masih sangat

diperlukan di samping komponen pengendalian yang lain. Namun dalam

(22)

insektisida dapat berakibat buruk bagi keberadaan musuh alami lalat pengorok

daun (Johnson et al. 1980). Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang

insektisida yang dapat mengendalikan lalat pengorok daun, tetapi aman terhadap

musuh alami.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi spesies lalat pengorok

daun pada pertanaman sayuran dataran tinggi serta parasitoid yang berasosiasi, (2)

mengetahui tingkat parasitisasi parasitoid khususnya O. chromatomyiae pada

berbagai jenis tanaman inang, (3) mengkaji dinamika populasi lalat pengorok

daun dan parasitoidnya pada tanaman bawang daun (4) mengevaluasi selektifitas

beberapa jenis insektisida terhadap parasitoid khususnya O. chromatomyiae (5)

mengevaluasi potensi keefektifan parasitoid O. chromatomyiae berdasarkan

parameter demografi yang meliputi laju pertambahan intristik (r), reproduksi

bersih (Ro), dan masa generasi (T), proporsi usia stabil (px), dan (6) mengevaluasi

potensi keefektifan parasitoid O. chromatomyiae berdasarkan tanggapnya

terhadap peningkatan kelimpahan inang, serta menetapkan laju pelacakan inang

(a) dan masa penanganan inang (Th).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan pertanaman sayuran yang terserang lalat

pengorok daun dapat dikendalikan dengan parasitoid O. chromatomyiae sehingga

dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan menghasilkan tanaman sayuran

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Lalat Pengorok Daun

Menurut Parrella (1987), lalat pengorok daun mempunyai lebih dari 300

spesies yang sebagian besar tersebar di daerah beriklim sedang dan beberapa

spesies ditemukan di daerah tropis. Spencer dan Steyskal (1986) menyebutkan

terdapat tiga spesies lalat pengorok daun yang bersifat polifag yaitu Liriomyza

huidobrensis (Blanchard), L. sativae Blanchard dan L. trifolii (Burgess).

Di Indonesia, lalat pengorok daun diperkirakan sudah ada sejak tahun

1990-an, namun pertama kali ditemukan dan diketahui sebagai hama sekitar bulan

Sepetember 1994 di daerah Cisarua, Bogor (Rauf 1995). Tiga spesies yang telah

dilaporkan banyak menimbulkan kerugian di berbagai daerah di Indonesia adalah

L. huidobrensis, L. sativae dan L. chinensis (Rauf & Shepard 2001).

Liriomyza huidobrensis (Blanchard)

Lalat pengorok daun, L. huidobrensis berasal dari Amerika Selatan. Hama ini tersebar di Eropa, Afrika, dan Asia. Persebaran di Asia meliputi Malaysia,

Indonesia, Filipina, Vietnam, Thailand, Srilangka, India, Pakistan, Laos, China,

dan Banglades (Weintraub & Horowitz 1994; Rauf & Shepard 2001). Di

Indonesia L. huidobrensis dilaporkan telah ditemukan di Jawa, Sumatra dan

Sulawesi Selatan (Rauf 1995).

Imago L. huidobrensis berukuran 1.7-2.3 mm. Imago betina umumnya

berukuran lebih besar dari imago jantan, dan muncul dari puparium yang

berukuran lebih besar (Parrella 1987). Lama hidup imago betina berkisar antara

6-14 hari, sedang jantan 3-9 hari (Supartha 1998).

Betina meletakan telur rata-rata 8-14 butir per hari. Jumlah telur yang

diletakkan selama hidupnya berkisar antara 42-301 butir (Supartha 1998). Telur

diletakkan satu per satu pada permukaan daun (Parrella 1987). Telur bening dan

berukuran 0.28 x 0.5 mm (Parrella 1987). Stadium telur berlangsung selama 2-4

hari (Supartha 1998). Larva terdiri atas tiga instar, dengan waktu perkembangan

untuk setiap instar 2-4 hari (Supartha 1998). Periode puparium berkisar antara

(24)

Liriomyza sativae Blanchard

Menurut Spencer (1973), negara asal L. sativae adalah Amerika. Di

Indonesia, L. sativae telah tersebar di dataran rendah Jalur Pantura mulai dari

Karawang sampai Brebes. Selain itu, L. sativae juga tersebar di daerah

Bogor-Jawa Barat dan Banjar-Kalimantan Selatan (Rauf & Shepard 2001; Susilawati

2002).

Imago L. sativae berukuran kecil yaitu panjang 1.5 mm dengan warna

hitam kecoklatan dan terdapat bintik kuning pada tubuhnya. Imago betina lebih

besar dibandingkan dengan imago jantan. Lama hidup imago berkisar antara

10-20 hari tergantung pada kondisi lingkungan dengan kemampuan menghasilkan

telur 600-700 butir (Mau & Kessing 1991; Capinera 2001).

Telur L. sativae bewarna putih, berbentuk lonjong dengan panjang 0.23

mm dan lebar 0.13 mm. Telur diletakkan satu per satu di dalam jaringan mesofil,

di bawah permukaan daun. Tiga hari kemudian telur akan menetas menjadi larva.

Larva terdiri dari tiga instar dan masing-masing instar memerlukan waktu

pertumbuhan 2-3 hari (Mau & Kessing 1991; Capinera 2001). Larva instar akhir

akan keluar dari daun dan menjatuhkan diri ke tanah untuk membentuk puparium

(Parrella 1987). Periode puparium berlangsung selama 5-12 hari (Mau & Kessing

1991)

Liriomyza chinensis (Kato)

L. chinensis berasal dari daerah Asia bagian Timur (Taiwan dan Jepang)

dan sekarang telah tersebar di Eropa (Spencer 1973; Dempewolf 2004). L.

chinensis diduga masuk ke Indonesia melalui sayuran yang diimpor dari wilayah

Asia bagian Timur (Rauf 2001).

Imago L. chinensis berukuran 2.00-2.39 mm. Imago betina mempunyai

ukuran yang lebih besar dari imago jantan (Nawin 2003). Imago yang baru

muncul bersifat fototaksis positif dan naik ke bagian atas tanaman (Parrella 1987).

Lama hidup imago berkisar antara 8-12 hari dengan kemampuan menghasilkan

telur 17-95 butir (Nawin 2003).

Telur L. chinensis bewarna putih bening yang diletakkan secara tunggal,

tetapi seringkali diletakkan secara bertumpuk. Larva yang baru keluar dari telur

(25)

kekuningan yang mengecil pada bagian depan. Larva terdiri atas empat instar

(Parrella 1987). Larva instar akhir akan keluar dari rongga daun untuk

membentuk puparium di dalam tanah. Puparium berwarna kuning hingga coklat

kekuningan (Nawin 2003).

Chromatomyia horticola Goureau

C. horticola tersebar di Eropa, Afrika Utara, Mesir, Libia, Maroko, Afrika

Selatan, Madagaskar, Kamerun, Kenya, Turki, India, Cina, Jepang, Iran, Filipina,

Malaysia, Korea dan Nepal (Spencer 1973; Dempewolf 2004). Hama ini telah

lama dilaporkan keberadaanya di Indonesia (Kalshoven 1981).

Seekor betina C. horticola dapat menghasilkan 100-500 telur, dan setiap

harinya mampu meletakkan 50 butir telur (Dempewolf 2004). Telur diletakkan

oleh betina dalam permukaan atas dan permukaan bawah daun (Tandon 1965

dalam Dempewolf 2004). Telur menetas menjadi larva instar awal 1-4 hari

setelah peletakan. Periode larva berkisar antara 5-6 hari. Larva mengorok daun

secara tidak teratur.

Larva berkembang menjadi puparium dengan periode puparium selama

9-5 hari. Pupa tetap tinggal di dalam jaringan daun. Puparium bewarna abu-abu.

Imago bewarna hitam dengan panjang sayap 2.2 – 2.7 mm (Dempewolf 2004).

Kerusakan dan Kehilangan Hasil Akibat Serangan Lalat Pengorok Kerusakan pada tanaman dapat disebabkan oleh aktifitas peneluran dan

makan imago serta korokan larva. Perilaku peneluran dan makan imago serta korokan larva Liriomyza dapat menyebabkan dua bentuk kerusakan. Bentuk

kerusakan pertama disebabkan oleh tusukan ovipositor imago untuk keperluan

peneluran dan makan, yang merusak sel-sel jaringan daun tanaman. Gejala

kerusakan yang ditimbulkan adalah bintik-bintik putih pada permukaan daun atas

(Spencer 1973). Bentuk kerusakan ke dua disebabkan oleh larva yang memakan

jaringan dengan membuat korokan berliuk-liuk seperti gambar gerakan ular yang

menyebabkan rusaknya sel-sel jaringan pagar dan bunga karang mesofil (Cardova

& Karel 1990). Kedua bentuk kerusakan tersebut dapat mengurangi luas bagian

daun yang berfotosintesis sehingga menurunkan hasil dan kualitas daun sebagai

(26)

Gejala serangan lalat pengorok daun dimulai pada daun bagian bawah,

kemudian daun bagian tengah, dan yang lebih parah pada bagian pucuk (Cisneros

& Mujica 2000). Chavez dan Raman (1987) melaporkan bahwa di Amerika

Serikat dan Peru, serangan L. huidobrensis dapat mengakibatkan kehilangan hasil

pada kentang sekitar 35% sedang di Lembang kehilangan hasil sekitar 34%

(Soeriaatmadja & Udiarto 1996). Lebih lanjut dikemukakan oleh Rauf et al.

(2000) bahwa berdasarkan hasil survei di Bandung dan Garut (Jawa Barat),

Banjarnegara dan Wonosobo (Jawa Tengah), Alahan Panjang (Sumatera Barat),

dan Karo (Sumatera Utara), petani setempat melaporkan kehilangan hasil akibat

serangan Liriomyza pada tanaman kentang sekitar 30 – 70%.

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Populasi Pengorok Daun Naik turunnya populasi organisme di suatu ekosistem dipengaruhi oleh

faktor-faktor lingkungan fisik, inang atau sumber pakan, ruang populasi itu

sendiri, dan spesies atau organisme lain. Faktor-faktor tersebut berperan dalam

menentukan laju natalitas, mortalitas dan migrasi (Dent 1995).

Faktor lingkungan fisik antara lain adalah suhu dan kelembaban, baik pada

tajuk tanaman maupun di permukaan tanah. Lama perkembangan Liriomyza lebih

singkat pada suhu yang tinggi. Pada suhu 20 °C, lama perkembangan berkisar

antara 23.7-27.0 hari, sedang pada suhu 25 °C berkisar antara 15.0-20.9 hari

(Parrella 1987). Perkembangan L. trifolii dengan tingkat mortalitas rendah

membutuhkan suhu optimum sekitar 25-30 °C (Leibee 1984). Pada tanaman

krisan, imago yang keluar dari puparium pada suhu 15.6, 21.2, 26.7, 32.2, dan

37.8 °C masing-masing adalah 68, 80, 92.5, 75.5, dan 0 % (Minkenberg & van

Lenteren 1986). Pada suhu 15 °C kematian L. trifolii tinggi terutama pada fase

telur dan larva (Parrella 1987; Minkenberg 1988).

Kelembaban relatif udara

mempengaruhi perilaku makan, jumlah imago yang muncul dan daya bertahan

hidup. Jumlah puparium yang berhasil menjadi imago meningkat bila udara pada

permukaan pupariumnya lebih lembab. Pada tanaman kentang, populasi

Liriomyza meningkat pada musim kering dan menurun bila hujan turun terus

menerus (Debiyanto et al. 1996). Populasi puparium meningkat bila kelembaban

(27)

pada kelembaban 76-100% dapat dihasilkan puparium sebanyak 65-88% (Parrella

1987).

Perkembangan populasi Liriomyza spp. dipengaruhi oleh jenis, kuantitas,

dan kualitas tanaman inang sebagai sumber makanan. Distribusi dan kerapatan

trikoma, kandungan fenolat dan nutrisi tanaman mempengaruhi pemilihan

tanaman inang oleh imago Liriomyza spp. (Fagoonee & Toory 1983). Kandungan

N (nitrogen) daun tanaman inang berkorelasi positif dengan kelimpahan populasi

Liriomyza di lapangan (Minkenberg & van Lenteren 1986; Parrella 1987). Pada

kandungan nitrogen daun yang lebih tinggi, aktifitas makan dan keperidian

Liromyza meningkat (Minkenberg & van Lenteren 1986). Ketersediaan berbagai

jenis tanaman inang di lapangan selain membantu pertumbuhan dan

perkembangan serangga, juga membantu pemencarannya. Selain itu, sifat polifag

yang dimiliki Liriomyza spp. memungkinkan memencar lebih cepat (Supartha

1998).

Faktor spesies atau organisme lain meliputi pesaing dan musuh alami.

Musuh alami Liriomyza yang banyak ditemukan adalah predator dan parasitoid

(Minkenberg & van Lenteren 1986).

Liriomyza dapat dimangsa oleh berbagi jenis serangga predator

(Coleoptera, Hemiptera, Diptera, Dermaptera, Hymenoptera) dan laba-laba

(Cisneros & Mujica 2000; Harwanto et al. 2002). Hampir semua predator bersifat

generalis, kecuali Dolichopodidae dan Empididae (Diptera) yang bersifat

spesialis. Kemampuan predator dalam mempengaruhi perkembangan populasi

Liriomyza sulit untuk dievaluasi (Cisneros & Mujica 2000).

Ragam spesies parasitoid Liriomyza spp. tidak selalu sama pada

masing-masing jenis tanaman inang dan daerah geografis yang berbeda (Minkenberg &

van Lenteren 1986). Terdapat 40 spesies parasitoid yang memarasit Liriomyza

spp. pada fase larva dan puparium (Oatman 1959 dalam Supartha 1998),

diantaranya ada empat famili yang berasosiasi dengan L. trifolii dan L. sativae

pada tanaman tomat, yaitu Braconidae, Cynipidae, Eulophidae, dan Pteromalidae

(Schuster & Wharton 1993).

Di Indonesia telah diketahui 18 spesies parasitoid pengorok daun L.

(28)

Braconidae (Rauf et al. 2000; Susilawati 2002). Hemiptarsenus varicornis

(Eulophidae) dan Opius chromatomyiae (Braconidae) merupakan spesies yang

dominan ditemukan pada pertanaman sayuran dataran tinggi (Purnomo 2003).

Pengendalian Lalat Pengorok Daun

Teknik pengendalian yang umum dilakukan terhadap lalat pengorok daun

di negeri asalnya adalah cara budidaya, kimiawi, dan pengendalian hayati. Cara

budidaya yang biasa diterapkan adalah sanitasi, penyiangan gulma, pemangkasan

bagian daun yang terserang dan pemasangan penutup tanah dari plastik hitam.

Penggunaan perangkap kuning berperekat di rumah-rumah kaca juga hasilnya

dinilai kurang memuaskan sehingga kurang layak dimasyarakatkan (Minkenberg

& van Lenteren 1986). Walaupun demikian, cara pengendalian yang disebut

terakhir di Peru dinilai efektif mengendalikan L. huidobrensis (Chaves & Raman

1987; Raman 1988; Raman & Radcliffe 1992).

Insektisida yang mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) serangga lebih

efektif dibandingkan dengan insektisida lain yang berspektrum luas yang telah

digunakan dalam usaha pengendalian Liriomyza spp. Dua jenis ZPT tersebut

adalah Tripene ZR-619 dan Kinoprene ZP-777. Kedua ZPT tersebut dilaporkan

sangat berbahaya bagi parasitoid penting seperti Opius dimiatus Ash.

(Minkenberg & van Lenteren 1986).

Penggunaan insektisida kimiawi seperti organoklorin, organfosfat dan

karbamat yang berspektrum luas sudah lama direkomendasikan sebagai cara

pengendalian hama, walaupun cara tersebut dinilai terlalu berbahaya. Cardova

dan Karel (1990) melaporkan bahwa penggunaan insektisida telah banyak

memacu ledakan hama tersebut. Menurut Schreiner et al. (1986), Liriomyza

menjadi resisten terhadap sejumlah insektisida piretroid yang digunakan seperti

permetrin, fenvalerat, dan sipermetrin. Masalah resistensi tersebut telah

dilaporkan sekitar 20 tahun yang lalu oleh Chaves dan Raman (1987). Oleh

karena itu, kalangan peneliti mencari alternatif insektisida lain yang lebih selektif

dan efektif (Spencer 1973). Untuk kasus resistensi tersebut Keil dan Parrella

(1983 dalam Minkenberg & van Lenteren 1986) menyarankan agar melakukan

pergiliran penggunaan jenis insektisida. Selain itu, penggunaan insektisida harus

(29)

ekonominya berdasarkan keadaan populasi lalat dan musuh alaminya di lapangan

(Trumble 1985).

Pengendalian hayati Liriomyza spp. dengan menggunakan parasitoid telah

banyak dilakukan. Semenjak tahun1980, pengendalian hayati itu telah dilakukan

di Belanda pada areal seluas lebih kurang 30 ha per tahun. Dalam tahun 1985

dengan pelepasan sebanyak 10 000-20 000 per ha dengan perbandingan kira-kira

satu parasitoid per empat tanaman, telah menunjukkan keberhasilan pengendalian

Liriomyza spp. selama musim tanam. Dacnusa sibirica Telenga (Hymenoptera:

Braconidae) diketahui efektif mengendalian L. trifolii di Belanda, sedangkan di

Inggris dan Swedia, pengendalian dengan D. sibirica tidak berhasil (Minkenberg

1990). Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah

kemungkinan terjadinya imigrasi lalat pengorok, waktu pelepasan parasitoid yang

tidak tepat, jumlah parasitoid yang dilepas tidak mencukupi dan mungkin kualitas

parasitoid tidak bagus (Minkenberg 1990).

Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Musuh Alami

Agroekosistem tanaman semusim merupakan ekosistem ephemeral, yang

berarti usianya singkat dan sering mengalami gangguan. Jenis gangguan yang

sering terjadi pada agroekosistem adalah praktek budidaya misalnya pengolahan

tanah, penyiangan, pemakaian insektisida dan pemanenan. Praktek budidaya

tersebut secara ekologi sering tidak mendukung kehidupan musuh alami. Aplikasi

insektisida menyebabkan musuh alami terbunuh, dan praktek budidaya bersih

menyebabkan tanaman inang dan sumber daya tambahan berkurang

ketersediannya (DeBach 1973). Keadaan tersebut pada akhirnya berdampak

terhadap agroekosistem (Altieri & Whitcomb 1979).

Menurunnya keseimbangan dan keanekaragaman dalam agroekosistem,

terutama keanekaragaman musuh alami dapat mendorong terjadinya ledakan

hama. Upaya pengelolaan agroekoisistem yang dapat meningkatkan

keanekaragaman musuh alami dan sekaligus menurunkan kerapatan populasi

hama di antaranya adalah diversifikasi habitat seperti mempertahankan vegetasi

liar di lahan pinggir, tumpang sari, rotasi, tanaman penutup tanah, bahan organik,

tanam tidak serempak dan pengolahan tanah minimum (Altieri & Whitcomb

(30)

Pemanfaatan parasitoid sebagai agens pengendalian hayati hama dapat

diterapkan melalui metode konservasi dan augmentasi inundatif. Metode

konservasi diarahkan untuk mempertahankan pelepasan musuh alami agar tetap

lestari, sedangkan augmentasi inundatif merupakan pelepasan musuh alami dalam

jumlah yang relatif besar dengan harapan segera dapat mengendalikan populasi

hama dalam waktu yang singkat (Sosromarsono 1999). Sebelum metode tersebut

dilaksanakan, terlebih dahulu harus diketahui karakter biologi, perilaku, serta

kondisi ekologis yang diperlukan agar musuh alami dapat bekerja dengan baik di

lapangan.

Pemilihan Inang oleh Parasitoid

Sebagian besar parasitoid Hymenoptera dapat memarasit beberapa jenis

inang dan hanya sedikit spesies yang spesifik memarasit satu spesies inang.

Parasitoid yang spesifik tersebut, pada kondisi laboratorium bahkan juga sering

dapat dipelihara pada inang lain yang secara alamiah bukan merupakan inang

karena adanya hambatan waktu dan ruang yang memisahkannya. Kenyataan

bahwa parasitoid dapat dibiakkan di laboratorium dengan serangga bukan inang

alamiah menjadi penting dalam pembiakkan masal parasitoid (Doutt 1959).

Menurut Doutt (1959), terdapat empat tahapan yang harus dilewati agar

parasitoid berhasil memarasit inangnya, yaitu 1) penemuan habitat inang, 2)

penemuan inang, 3) penerimaan inang, dan 4) kesesuaian inang. Selanjutnya

Vinson (1981) menambahkan pengaturan inang sebagai tahap yang kelima karena

keberhasilan parasitisme juga ditentukan oleh kemampuan parasitoid dalam

mengatur fisiologi inangnya.

Dalam penemuan habitat inang, parasitoid terutama dipandu oleh

rangsangan kimia yang berasal dari senyawa-senyawa volatil tanaman.

Rangsangan tersebut dapat berupa bau yang berasal dari makanan atau tanaman

yang terluka atau yang rusak, organisme yang berasosiasi dengan inang atau inang

itu sendiri. Tanaman merupakan isyarat utama karena tanaman mempunyai peran

yang dominan dalam mendukung suatu habitat yang khas. Akibatnya, suatu

parasitoid terkadang tertarik pada tanaman tertentu meskipun di situ tidak terdapat

inang. Parasitoid juga memarasit inang yang terdapat pada jenis tanaman tertentu

(31)

Penemuan inang oleh parasitoid dipandu oleh rangsangan fisik dan kimia

yang dikeluarkan oleh inang. Rangsangan fisik yang berperan terutama suara dan

gerakan. Rangsangan kimia dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama,

rangsangan kimia yang dapat diterima dari jarak jauh misalnya bau inang.

Rangsangan yang diterima memungkinkan parasitoid untuk melokalisasi areal

pencarian inang. Kedua, rangsangan kimia yang dapat dideteksi hanya dari jarak

dekat, yaitu setelah terjadi kontak fisik. Rangsangan ini biasanya berasal dari

senyawa-senyawa padat atau cair misalnya kotoran inang, sekresi dari kelenjar

labium inang, produk inang lain dan bekas parasitoid lain. Adanya rangsangan ini

memungkinkan terjadinya kontak antara parasitoid dengan inangnya yang

dicirikan oleh perilaku pengujian oleh parasitoid berupa pergerakan memutar

dengan cepat dan perubahan kecepatan pergerakan. Faktor lain yang ikut

menentukan penemuan inang adalah pengalaman dan perilaku orientasi parasitoid

(Weseloh 1981).

Penerimaan inang atau pengenalan inang adalah proses diterima atau

ditolaknya inang untuk peletakkan telur setelah terjadi kontak (Arthur 1981).

Proses tersebut dibagi dalam empat fase yaitu: 1) kontak dan pemeriksaan, 2)

penusukan dengan ovipositor, 3) pemasukan ovipositor dan 4) peletakan telur.

Keempat fase tersebut harus lengkap dan berurutan sehingga bila terjadi hambatan

pada salah satu fase, proses dimulai lagi dari awal.

Seperti halnya tahap sebelumnya, penerimaan inang juga dipandu terutama

oleh rangsangan fisik dan kimia. Selain itu, pengalaman parasitoid sebelumnya,

termasuk tempat perkembangan parasitoid, juga akan berpengaruh pada proses

penerimaan inang. Rangsangan fisik yang berperan adalah kondisi fisik inangnya

seperti ukuran, bentuk, tekstur atau bentuk permukaan, warna dan kandungan air.

Rangsangan lainnya adalah pergerakan inang misalnya kegiatan makan inang dan

perkembangan embrio dalam telur. Rangsangan kimia dapat berasal dari

senyawa-senyawa yang terdapat di luar dan di dalam tubuh inang yang dapat

dideteksi dengan antena, tarsi atau ovipositor. Senyawa-senyawa tersebut dapat

disekresikan melalui kutikula, disekresikan bersama-sama kotoran atau terdapat

(32)

Kesesuaian inang yang menentukan keberhasilan perkembangan parasitoid

sampai menjadi imago tergantung pada beberapa faktor, yaitu: 1) kemampuan

parasitoid dalam menghindari atau melawan sistim pertahanan inang, 2) kompetisi

dengan parasitoid lain, 3) adanya toksin yang mengganggu atau merusak telur

atau larva parasitoid, dan 4) kesesuaian makanan parasitoid. Faktor lain yang

berpengaruh adalah infeksi patogen, kerentanan inang, faktor lingkungan dan

pengaruh hormon-hormon pengendali serangga (Vinson & Iwantsch 1980).

Biologi Opius sp.

Parasitoid Opius sp. merupakan endoparasit larva-pupa. Studi biologi dan

morfologi O. dissitus telah diteliti pada inang L. trifolii oleh Bordat et al. (1995),

O. melleus Gahan pada larva lalat buah Famili Tephritidae (Lathrop & Newton

1933) dan Opius sp. pada inang L. huidobrensis (Rustam 2002).

Telur O. dissitus berbentuk lonjong dengan warna putih dan tembus

pandang. Ukuran telur rata-rata 0.22 mm dan stadium telur 1-3 hari (Bordat et al.

1995), sedangkan stadium telur O. melleus lebih lama yakni 3-6 hari (Lathrop &

Newton 1933). Pada inang L. huidobrensis, stadium telur Opius sp. adalah 2 hari

dengan ukuran telur lebih besar dibandingkan dengan O. dissitus yakni 0.26 mm

(Rustam 2002). Setelah telur diletakkan, telur mengalami pertumbuhan dan

perkembangan di dalam tubuh inang.

Larva O. dissitus terdiri atas dua instar, dengan ukuran masing-masing

0.47 mm dan 0.99 mm, sedangkan O. melleus, Diachasma tryoni (Hymenoptera:

Braconidae), larva terdiri atas empat instar (Pemberton & Willard 1918; Lathrop

& Newton 1933; Bordat et al. 1995). Larva O. chromatomyiae terdiri atas dua

instar dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan larva O. dissitus dan

O. melleus (Rustam 2002). Larva instar satu mempunyai bagian kapsul kepala

yang kokoh dengan dua pengait yang runcing, tubuhnya ramping dan pada

ujungnya terlihat kasar. Larva instar dua berbentuk bulat, dimana pengaitnya

telah hilang dan berada dalam puparium inang yang panjang dengan warna putih

krem (Bordat et al. 1995; Rustam 2002) dan bersifat tidak aktif (Lathrop &

Newton 1933).

Pembentukan pupa ditandai dengan terbentuknya tonjolan bakal tungkai

(33)

kepala, toraks dan abdomen dapat terlihat jelas. Pada awalnya pupa berwarna

kuning pucat dan lama kelamaan berwarna gelap. Tubuh pupa yang berumur

lanjut berwarna hitam dengan ukuran 1.62 mm (Bordat et al. 1995; Rustam 2002),

pembentukan pupa terjadi di dalam puparium inang (Pemberton & Willard 1918)

dan masa perkembangan pupa berlangsung selama 5.93 hari (Rustam, 2002).

Imago O. chromatomyiae berwarna coklat kehitaman dengan ukuran yang

hampir sama antara jantan dan betina, yaitu rata-rata 1.72 mm dan 1.80 mm.

Jantan dan betina sulit dibedakan dengan mata biasa, namun dengan bantuan kaca

pembesar terlihat betina mempunyai ovipositor sebagai alat untuk peletakan telur

(Rustam 2002). Antena imago O. dissitus panjang, hitam, dan panjangnya hampir

sama dengan tubuhnya (Bordat et al. 1995). Pada O. chromatomyiae jantan dan

betina sudah bisa dibedakan berdasarkan jumlah ruas antenanya dimana antena

jantan terdiri atas 23 ruas sedangkan betina terdiri atas 25 ruas (Rustam 2002).

Pada O. melleus ovipositor relatif panjang dan merupakan ciri khasnya (Lathrop

& Newton 1933).

Imago parasitoid keluar dengan cara merobek puparium inang. Opius

betina yang baru muncul dapat melakukan parasitisasi dengan menusukkan

ovipositornya ke dalam rongga tubuh larva inang tanpa mematikan atau

melumpuhkannya. Larva inang terparasit tetap hidup dan mengorok daun hingga

menjadi pupa. Parasitoid tetap berkembang di dalam tubuh inang sampai keluar

menjadi imago (Bordat et al. 1995; Rustam 2002). Clausen (1940) melaporkan

bahwa imago betina O. fulvicornis dapat langsung meletakkan telur setelah keluar

dari puparium inang.

Menurut Rustam (2002), umumnya imago jantan muncul lebih awal

dibandingkan imago betina. Sebanyak 85.71% dari imago yang muncul pada hari

pertama adalah jantan. Lebih lanjut Rustam (2002) menjelaskan bahwa seekor

imago betina mempunyai keperidian berkisar antara 49-187 butir telur dengan

nisbah kelamin keturunan yang bias betina yakni sebesar 73.47 %.

Parameter Pertumbuhan Populasi

Neraca kehidupan (life table) merupakan teknik menghitung angka

kelahiran dan angka kematian suatu populasi. Dari data yang dihasilkan dapat

(34)

(1997), menyatakan bahwa dari angka kelahiran dan angka kematian dapat

disusun suatu neraca hidup yang menjelaskan perubahan–perubahan kuantitatif

dari suatu populasi selama satu generasi.

Ada dua tipe neraca kehidupan yaitu yang bersifat spesifik umur (age

spesific) atau tabel kehidupan horizontal, serta yang bersifat spesifik waktu (time

spesific) atau tabel kehidupan vertikal. Neraca kehidupan yang berspesifik waktu

menganalisis data yang diambil pada suatu kejadian tunggal, ketika diasumsikan

bahwa semua generasinya sudah saling lingkup dengan sempurna, oleh karena itu

kelas umur secara simultan sama. Neraca kehidupan yang bersifat spesifik umur

mencakup perhitungan yang berulang terhadap suatu kelompok (cohort) tunggal

yang terdiri dari individu yang sama umurnya sepanjang waktu. Tabel ini sering

digunakan dalam entomologi (Bellow & van Driesche 1992).

Menurut Poole (1974), perumusan neraca kehidupan merupakan langkah

pertama dalam menghitung laju pertumbuhan intrinsik (r). Dua data utama yang

dibutuhkan dalam perhitungan tersebut adalah lx, peluang bertahan pada umur x;

dan mx, rataan jumlah keturunan betina yang dihasilkan dalam satu unit waktu

oleh seekor betina berumur x (Birch 1948). Disamping nilai r, dari data tersebut

dapat juga dihitung laju reproduksi kotor (GRR), laju reproduksi bersih (Ro), dan

waktu generasi (T) (Birch 1948; Price 1997).

Neraca kehidupan merupakan riwayat perkembangan cohort yang bersifat

dinamis, mulai dari umur 0 sampai umur dimana semua individu dalam populasi

mati. Dari neraca kehidupan dapat diketahui laju reproduksi bersih (Ro), lama

waktu generasi (T) dan laju pertambahan instrinsik (r) (Tarumingkeng 1992).

Keefektifan musuh alami dalam mengendalikan hama sasaran biasanya

diukur berdasarkan beberapa ciri biologinya, di antaranya adalah (a) kemampuan

mencari inang yang tinggi, terutama pada saat kelimpahan inang rendah, (b)

kekhususan terhadap inang tertentu, (c) potensi reproduksi yang tinggi, (d) kisaran

toleransi terhadap lingkungan yang lebar serta kemampuan memarasit berbagai

instar inang (DeBach 1973).

Salah satu parameter yang paling handal untuk mengukur potensi musuh

alami adalah laju pertambahan intrinsik (r), karena telah mempertimbangkan

(35)

kelamin (Carey 1993). Nilai r merupakan salah satu kriteria yang penting untuk

mengevaluasi keefektifan atau potensi dari agens pengendalian hayati (Lee & Ahn

2000), serta dapat digunakan untuk menduga potensi pertumbuhan populasi

musuh alami (Lysyk 2000).

Respon Pemangsaan

Preferensi makanan, selera parasitoid terhadap inangnya, kerapatan inang,

kualitas makanan dan adanya makanan alternatif merupakan faktor lingkungan

yang berperan dalam menentukan laju pemangsaan oleh suatu predator terhadap

mangsanya atau parasitoid terhadap inangnya. Solomon (1949 dalam

Tarumingkeng 1992) mengemukakan teori mengenai respon pemangsaan terhadap

kerapatan inang dalam dua tipe, yaitu tanggap fungsional dan tanggap numerikal.

Tanggap fungsional merupakan salah satu ukuran untuk menentukan

keefektifan suatu predator atau parasitoid sebagai agens dalam pengendalian

hayati (Doutt 1973). Menurut Solomon (1949 dalam Hassel 2000) tanggap

fungsional merupakan perubahan jumlah mangsa yang diserang oleh individu

predator/parasitoid akibat perubahan kepadatan populasi mangsa per satuan

waktu.

Holling (1959 dalam Price 1997) mengkategorikan tanggap fungsional

menjadi tiga tipe: 1) Tipe respon fungsional linear (Tipe I), laju pemangsaan oleh

predator meningkat atau menurun sebanding dengan kerapatan mangsa dan

mencapai tahap kejenuhan. Tipe I ini biasanya ditemukan pada predator yang

bersifat pasif seperti laba-laba, 2) Tipe respon fungsional hiperbolik (Tipe II), laju

pemangsaan secara progresif semakin menurun. Respon ini sangat umum di antara

serangga-serangga predator dan parasitoid dan 3) Tipe respon fungsional sigmoid

(Tipe III), perubahan pemangsaan berlangsung lambat, diikuti dengan

peningkatan kemudian mendatar (asimptotik).

Menurut Murdoch dan Oaten (1975 dalam Wang dan Ferro 1998), pada

dasarnya tanggap fungsional merupakan komponen yang sangat essensial dari

dinamika interaksi antara parasitoid dengan inang dan juga sangat penting untuk

determinasi stabilitas dari sistem yang dikelola. Kajian mengenai tanggap

(36)

banyak dilakukan seperti yang diteliti oleh Wang dan Ferro (1998); Buchori

(2003); Hidrayani (2003).

Respon pemangsaan yang kedua adalah tanggap numerik, yaitu

pemangsaan menyebabkan perubahan kerapatan predator atau parasitoid pada

suatu luasan pemangsaan tertentu. Ada dua mekanisme yang mendorong

terjadinya tanggap numerik yaitu 1) peningkatan laju reproduksi predator atau

parasitoid bila mangsa berlimpah dan 2) keterpikatan predator pada tempat

begerombolnya mangsa, dikenal juga dengan tanggap agregasi.

Hubungan antara Inang, Parasitoid, dan Tanaman

Perilaku parasitoid terhadap inangnya tidak hanya dipengaruhi oleh

senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan oleh serangga inang, tetapi juga oleh

makanan inang itu sendiri (Vinson 1984). Menurut Takabayashi et al. (1998),

parasitoid merupakan musuh alami yang agak khusus yang menyerang sejumlah

spesies herbivora tertentu. Kekhususan itu tidak hanya tergantung pada

herbivoranya, tetapi juga tanaman inangnya. Parasitoid mungkin hanya dapat

menemukan inang yang makan pada satu atau beberapa spesies tanaman saja,

sedangkan diketahui bahwa serangga tersebut mempunyai kisaran inang yang

luas.

Tingkat parasitisasi dan distribusi beberapa parasitoid pengorok daun tidak

merata pada berbagai tanaman inang, dan berbeda-beda menurut jenis tanaman

dan lokasi ditemukan. Selain itu parasitoid Liriomyza spp. dapat dikelompokkan

sesuai dengan spesies serangga inang, tanaman inang, dan daerah geografis

tempat tanaman inang tumbuh (Johnson & Hara 1987; Rauf et al. 2000).

Di Indonesia, parasitoid yang dominan memarasit L. huidobrensis adalah

H. varicornis dan O. chromatomyaie (Hidrayani 2003; Purnomo 2003), sedangkan

spesies parasitoid yang dominan memarasit L. sativae adalah Acecodes deluchii

(Rauf et al. 2000; Susilawati 2002; Tapahillah 2002). Di California, spesies

parasitoid yang dominan menyerang L. sativae adalah Chrysocharis parksi (

Zehnder & Trumble 1984).

Menurut Purnomo (2003), H. varicornis merupakan spesies parasitoid

yang dominan ditemukan pada tanaman kentang, sedangkan Tran dan Takagi

(37)

ditemukan pada tanaman bawang daun. Distribusi parasitoid Liriomyza spp. pada

berbagai tanaman inang tidak merata. Pengendalian biologi yang efektif

memerlukan adanya kesesuaian antara spesies parasitoid dengan serangga inang

dan tanaman inangnya.

Aplikasi Insektisda dalam Pengendalian Liriomyza

Penggunaan insektisida sintetik sangat beresiko karena dapat

menimbulkan dampak negatif, khususnya terhadap parasitoid sebagai serangga

musuh alami lalat pengorok daun. Menurut Purnomo (2003), jika insektisida

terpaksa digunakan, hendaknya insektisida tersebut bersifat selektif dan tidak

berdampak negatif bagi aktifitas musuh alami.

Penggunaan insektisida kimiawi seperti organoklorin, organofosfat, dan

karbamat yang berspektrum luas sudah sejak lama direkomendasikan sebagai cara

pengendalian hama, walaupun cara ini dinilai terlalu berbahaya. Penggunaan

insektisida telah banyak memacu ledakan hama sekunder, karena Liriomyza

menjadi resisten terhadap sejumlah insektisida yang digunakan. Oleh sebab itu

penggunaan insektisida harus atas hasil pengamatan agroekosistem untuk

mengetahui ambang ekonominya berdasarkan keadaan populasi lalat dan musuh

alaminya (Cardova & Karel 1990).

Penggunaan bioinsektisida merupakan salah satu alternatif yang tepat

untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh insektisida sintetik.

Menurut Copping dan Menn (2000), istilah bioinsektisda mencakup berbagai

bahan pengendalian hama seperti: mikroorganisme (virus, bakteri, cendawan),

nematoda entomopatogen, insektisida botani, metabolit sekunder yang dihasilkan

mikroorganisme, dan feromon serangga. Penelitian mengenai pemanfaatan

bahan-bahan alami untuk perlindungan tanaman semakin gencar dilakukan selama

tiga dekade terakhir. Hingga saat ini terdapat tiga sumber insektisida alami yang

penting dan memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan lebih lanjut, yaitu

tumbuhan, mikroorganisme tanah, dan organisme laut (Prijono 1999).

Insektisida berupa ekstrak daun dan biji nimba (Azadirachta indica A.

Juss) (Meliaceae), dengan bahan aktif azadiraktin dilaporkan sebagai insektisida

selektif, memiliki aktifitas biologi insektisida, mengurangi keperidian imago

(38)

perkembangan larva, mengurangi terbentuknya puparium, menyebabkan

pergantian kulit abnormal pada Musca autumnalis (Diptera: Muscidae)

(Schmutterer 1995).

Abamektin merupakan salah satu bioinsektisida yang berasal dari

mikroorgnisme yang merupakan hasil fermentasi dari bakteri Streptomyces

avermitilis. Abamektin telah memperlihatkan hasil yang sangat efektif dalam

pengendalian serangga hama (Pienkowski & Mehring 1983 dalam Leibee 1988).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Leibee (1988) memperlihatkan bahwa

penggunaan abamektin untuk mengendalikan L. trifolii dapat membunuh larva

pengorok sampai 99.5%. Sivapragasan dan Syed (1999) menginformasikan

bahwa abamektin merupakan salah satu bioinsektisida yang populer digunakan di

Malaysia dalam mengendalikan Liriomyza spp. Siromazin merupakan kelompok

zat pengatur tumbuh serangga yang efektif digunakan untuk mengendalikan

Liriomyza spp. yang telah terdaftar dan diizinkan oleh Menteri Pertanian dengan

(39)

1. LALAT PENGOROK DAUN DAN PARASITOIDNYA PADA

PERTANAMAN SAYURAN DATARAN TINGGI DI

KABUPATEN CIANJUR-BOGOR, JAWA BARAT

Abstrak

Lalat pengorok daun Liriomyza spp. adalah hama yang banyak menimbulkan kerusakan pada berbagai pertanaman sayuran dataran tinggi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi spesies Liriomyza yang menyerang pertanaman sayuran dataran tinggi, parasitoid yang berasosiasi dengan pengorok dan tingkat parasitisasi Opius chromatomyiae pada pertanaman sayuran dataran tinggi. Survei dilakukan dengan mengambil 20-40 helai daun tanaman sayuran yang mempelihatkan gejala korokan lalat pengorok daun. Imago lalat pengorok daun dan parasitoid yang muncul dari daun contoh diidentifikasi. Parasitisasi dihitung dengan membandingkan jumlah parasitoid dan imago lalat pengorok daun. Terdapat empat spesies lalat pengorok daun yang menginfestasi pertanaman sayuran dataran tinggi, yakni Liriomyza huidobrensis, L. chinensis, L. sativae, dan Chromatomyia horticola. Diketahui delapan spesies parasitoid yang berasosiasi dengan lalat pengorok daun, enam spesies dari famili Eulophidae, yaitu Hemiptarsenus varicornis, Asecodes deluchii, Neochrysocharis okazakii, N. formosa, Neochrysocharis sp., Quadrastichus liriomyzae dan masing-masing satu spesies dari famili Braconidae dan Eucoilidae yaitu Opius chromatomyiae dan

Gronotoma micromorpha. Parasitoid O. chromatomyiae merupakan parasitoid yang dominan pada skala ketinggian 1001-1300 m dan 1301-1600 m dari permukaan laut dengan tingkat parasitisasi berkisar antara1.84 – 62.26%. Dari 16 spesies tanaman yang diinfestasi oleh lalat pengorok daun, O. chromatomyiae

dapat memarasit lalat pengorok daun pada 13 tanaman.

Kata kunci: lalat pengorok daun, Liriomyza spp., parasitoid, sayuran

Abstract

Leafminer, Liriomyza spp. is the most important pest of highland vegetables in Indonesia. The objectives of the research were to (1) identify

Liriomyza species attacking higland vegetables and its parasitoids and, (2) investigate paratism rate of Opius chromatomyiae. Surveys on leafminer and its parasitoids were conducted by collecting 20-40 damage leaves. Adults of leafminer and its parasitoids were then identified. Parasitism was counted by dividing the number of parasitoid by total individuals emerging. As a result, there were four leafminers species were found associating with various kinds of vegetables. They were Liriomyza huidobrensis, L. chinensis, L. sativae, and

Chromatomyia horticola. Moreover, this study also revealed that there were eight species of parasitoid associated with the leafminers. Parasitoids Hemiptarsenus varicornis, Asecodes deluchii, Neochrysocharis okazakii, N. formosa,

Neocrhysocharis sp., and Quadrastichus liriomyzae belong to family of Eulophidae, Opius chromatomyiae belongs to familiy of Braconidae, and

Gambar

Gambar tanaman bawang daun varietas RP dan Erwor  .....................
Tabel 1.1  Lokasi pengambilan sampel daun
Tabel 1.2  Spesies tanaman yang terserang lalat pengorok daun
Tabel 1.3  Spesies lalat pengorok daun pada berbagai jenis tanaman inangnya
+7

Referensi

Dokumen terkait

jika dipandang dari dimensi hukum dalam prespektif filosofis adalah tindakan yang melawan hukum, dan pada gilirannya hanya akan melahirkan sikap saralisasi aturan

Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa kinerja modal intelektual jenis industri keuangan lebih tinggi dibandingkan kinerja modal intelektual jenis industri

[r]

Pentingnya suatu produk obat bebas dari kandungan babi dan alkohol harus diyakinkan dengan suatu metode pendeteksiannya. Hal inilah yang menjadi latar belakang pembuatan review

Sebagaimana dijelaskan dalam Pedoman Pengembangan KTSP yang di- susun Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP), muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan

Sedangkan untuk pemeriksaan syarat gradasi dan modulus kehalusan butiran tanah putih ini juga tidak layak digunakan sebagai bahan pengganti agregat halus pembuatan

Provinsi Kab./Kota Bidang. Unit Organisasi Sub Unit Organisasi U

Berdasarkan penelitian yang diperoleh, penulis menyimpulkan bahwa pelaksanaan tera ulang pedagang buah di Pasar Blauran Salatiga tersebut sudah berjalan setiap