• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Auksin (2,4-D) dan Sitokinin (BAP) dalam Kultur In Vitro Buah Makasar (Brucea javanica [L.] Merr.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Auksin (2,4-D) dan Sitokinin (BAP) dalam Kultur In Vitro Buah Makasar (Brucea javanica [L.] Merr.)"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP)

DALAM KULTUR IN VITRO

BUAH MAKASAR (Brucea javanica [L.] Merr.)

LISBETH YUNI SANTI MANURUNG

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

RINGKASAN

Lisbeth Yuni Santi Manurung. E34102001. Pengaruh Auksin (2,4-D) dan Sitokinin (BAP) dalam Kultur In Vitro Buah Makasar (Brucea javanica [L.] Merr.). Dibawah bimbingan Ir. Edhi Sandra, M.Si (Pembimbing Pertama) dan Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F (Pembimbing Kedua).

Buah makasar merupakan salah satu potensi tumbuhan obat yang hidup di hutan tropis Indonesia. Tumbuhan ini dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit antara lain kanker, disentri, dan malaria. Para ahli banyak meneliti tumbuhan ini yang terkait dengan bahan bioaktif yang terkandung di dalamnya untuk meningkatkan manfaatnya mengobati berbagai penyakit. Hanya saja tumbuhan ini sudah susah dijumpai di Indonesia. Sedangkan perbanyakan secara bioteknologi belum dilakukan dimana selama ini buah makasar diperbanyak secara konvensional dengan biji. Hal ini lama kelamaan dapat mengancam kelestarian buah makasar. Oleh karena itu, berdasarkan permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian perbanyakan buah maksar melalui kultur in vitro dengan menggunakan media tumbuh MS ditambah zat pengatur tumbuh (ZPT) auksin dan sitokinin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan ZPT berupa sitokinin (BAP) dan auksin (2,4-D) dalam pertumbuhan buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) secara kultur in vitro.

Penelitian dilaksanakan di Unit Kultur Jaringan Laboratorium Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data primer dilaksanakan selama 2 bulan dari bulan September sampai dengan November 2006. Bahan tanaman yang digunakan (eksplan) adalah biji buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) dari tanaman koleksi Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si di Bogor yang berumur kurang lebih 6 bulan. Tanaman induk sebagai sumber eksplan pada waktu pengambilan sedang berbuah lebat dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Eksplan ditanam pada media MS yang diberi perlakuan hormon auksin 2,4-D yang terdiri dari 4 taraf konsentrasi, yaitu: 0 mg/l, 0.5 mg/l, 1 mg/l, 2 mg/l dan sitokinin BAP yang terdiri dari 7 taraf konsentrasi, yaitu: 0,5 mg/l, 1 mg/l, 1,5 mg/l, 2 mg/l, 4 mg/l, 6 mg/l dan 8 mg/l. Perlakuan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 7 ulangan, setiap unit contoh terdiri dari 1 eksplan sehingga terdapat 84 satuan unit contoh. Pengamatan dilakukan setiap minggu terhadap parameter persentase kontaminasi, persentase pembentukan kalus, persentase pembentukan tunas dan pembentukan plantlet (jumlah akar dan daun). Untuk mengetahui pengaruh yang diberikan pada percobaan tersebut maka dilakukan uji F, selanjutnya uji Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan dengan menggunakan perangkat lunak Stastical Product and Service Solution (SPSS) 12.

(3)

perlakuan ZPT kecuali media kontrol (MSo). Eksplan pada media MS yang mengandung ZPT 2,4-D, terinduksi seluruhnya menjadi kalus sedangkan pada media dengan penambahan BAP, kalus terbentuk di bagian pangkal batang. Dalam hal ini eksplan telah mengalami pertumbuhan membentuk batang, daun dan calon akar (radicula).Semakin tinggi konsentrasi ZPT yang diberikan maka semakin tinggi pula persentase pembentukan kalus yang dihasilkan setiap minggunya sampai 8 minggu pengamatan. Eksplan pada semua perlakuan berhasil membentuk tunas kecuali pada media MSo karena pada media Mso eksplan langsung terdeferensiasi membentuk akar (radicula), daun, dan batang. Eksplan yang dikulturkan pada media yang mengandung BAP menghasilkan tunas dalam jumlah banyak jika dibandingkan dengan eksplan yang ditumbuhkan pada media yang mengandung 2,4-D yang maksimal hanya menghasilkan 2 tunas sampai 8 minggu pengamatan. Semakin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan maka semakin tinggi pula persentase pembentukan tunas yang dihasilkan setiap minggunya sampai 8 minggu pengamatan. Dari semua media perlakuan hanya media Mso yang berhasil membentuk plantlet sampai pada 8 MST. Pada perlakuan BAP 0,5-2 mg/l, eksplan berhasil membentuk batang dengan beberapa jumlah daun tetapi tidak terbentuk akar. Jumlah daun terbanyak dihasilkan pada media yang mengandung BAP 1,5 mg/l dan paling sedikit pada media BAP 8 mg/l. Keadaan ini menunjukan semakin tinggi konsentrasi BAP maka semakin sedikit pula jumlah daun yang dihasilkan. BAP dengan konsentrasi yang tinggi akan mendorong sel untuk membentuk tunas dalam jumlah banyak. BAP 1,5 mg/l merupakan konsentrasi optimum untuk menghasilkan jumlah daun yang banyak. Daun yang dihasilkan akan membentuk calon plantlet. Oleh karena itu, BAP 1,5 mg/l juga merupakan konsentrasi yang optimum dalam pertumbuhan biji buah makasar untuk tujuan perbanyakan.

(4)

PENGARUH AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP)

DALAM KULTUR IN VITRO

BUAH MAKASAR (Brucea Javanica [L.] Merr.)

LISBETH YUNI SANTI MANURUNG

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

(5)

Judul Penelitian : Pengaruh Auksin (2,4-D) dan Sitokinin (BAP) dalam

Kultur In vitro Buah Makasar (Brucea javanica [L] Merr.)

Nama Peneliti : Lisbeth Yuni Santi Manurung

NIM : E34102001

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Ir. Edhi Sandra, M.Si Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F

Ketua Anggota

Diketahui,

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131430799

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Asahan, Sumatera Utara, 27 Juni 1984 merupakan

anak dari pasangan Bapak Manar Manurung dan Ibu Nurhaida Sitorus. Penulis

merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Jenjang pendidikan formal dimulai tahun 1990 di SD INPRES BP.

Mandoge selama 6 tahun. Kemudian penulis melanjutkan ke SLTPN 3 Pematang

Siantar dan lulus tahun 1999. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMUN 3

Pematang Siantar dan lulus tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di

IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Fakultas Kehutanan

Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis pernah melakukan kegiatan

Praktek Pengenalan Hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Kamojang,

Praktek Pengelolaan Hutan di KPH Tasikmalaya serta Praktek Kerja Lapang

Profesi (PKLP) di Taman Nasional Ujung Kulon.

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Fakultas

Kehutanan IPB, maka penulis menyusun skripsi dengan judul “Pengaruh Auksin

(2,4-D) dan Sitokinin (BAP) dalam Kultur In Vitro Buah Makasar (Brucea

javanica [L.] Merr.)” dibawah bimbingan Ir. Edhi Sandra, M.Si dan Dr. Ir. Agus

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas berkat dan karunia Allah yang maha kuasa sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB dengan judul

“Pengaruh Auksin (2,4-D) dan Sitokinin (BAP) dalam Kultur In Vitro Buah

Makasar (Brucea javanica [L.] Merr.)”.

Buah makasar merupakan salah satu potensi tumbuhan obat yang hidup di

hutan tropis Indonesia. Tumbuahan ini dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati

berbagai penyakit antara lain kanker, disentri, dan malaria. Para ahli banyak

meneliti tumbuhan ini yang terkait dengan bahan bioaktif yang terkandung di

dalamnya untuk meningkatkan manfaatnya mengobati berbagai penyakit. Hanya

saja tumbuhan ini sudah susah dijumpai di Indonesia. Sedangkan perbanyakan

secara bioteknologi belum dilakukan dimana selama ini buah makasar

diperbanyak secara konvensional dengan biji. Oleh karena itu, berdasarkan

permasalah tersebut penulis mencoba melakukan perbanyakan buah maksar

melalui kultur in vitro yang nantinya diharapkan dapat menjaga kelestarian buah

makasar dan dapat memenuhi bahan baku obat dari tumbuhan tersebut.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Namun demikian,

penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Akhirnya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ir. Edhi Sandra,

M.Si dan Dr.Ir. Agus Hikmat, MSc.F yang telah membimbing penulis hingga

selesainya skripsi ini.

Bogor, Januari 2007

(8)

DAFTAR ISI

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Tanaman Buah Makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) Taksonomi dan Morfologi ... 3

Habitat dan Penyebaran... 4

Kandungan kimia ... 4

Kegunaan ... 4

Perbanyakan ... 5

Kultur Jaringan Teknik Kultur Jaringan ... 5

Manfaat Kultur Jaringan ... 6

Media Kultur ... 7

Zat Pengatur Tumbuh ... 7

BAP (Benzylaminopurin) ... 9

2,4-D (Diclrophenoxy Acetic Acid) ... 9

Lingkungan Kultur ... 9

Penelitian Buah Makasar ... 11

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 12

Bahan dan Alat Penelitian ... 12

Metode Penelitian ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN Presentase Kontaminasi ... 17

Pengaruh BAP dan 2,4-D Pembentukan Kalus ... 19

Pembentukan Tunas ... 24

(9)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 31

Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

LAMPIRAN ... 36

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Zat pengatur tumbuh yang digunakan secara komersial dalam

mikropropagasi tanaman ... . .... . ... 8

2. Penelitian buah makasar ... . .... . ... 11

3. Jumlah kultur yang kontaminan pada tiap perlakuan pada 8 MST .. . ... 18

4. Uji lanjut faktor perlakuan konsentrasi 2,4-D dan BAP terhadap

persentase pembentukan kalus ... ... 22

5. Uji lanjut faktor perlakuan konsentrasi 2,4-D dan BAP terhadap

persentase pembentukan tunas ... ... 27

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) ... ...4

2. Kontaminasi kultur: (a) kontaminasi oleh cendawan, (b) kontaminasi oleh bakteri, (c) kontaminasi oleh cendawan yang telah menyebar menutupi media ... ...19

3. Tahap pertumbuhan kalus pada media dengan penambahan

ZPT 2,4-D ... .... ...20

4. Tahap pertumbuhan kalus pada media MS dengan penambahan

ZPT BAP ... .... ...21

5. Grafik pembentukan kalus untuk media perlakuan pada berbagai konsentrasi dari 1-8 MST pengamatan ... ...22

6. Tahap pertumbuhan eksplan pada media MSo ... .... ...24

7. Tunas pada media yang mengandung BAP ... ...25

8. Grafik pembentukan tunas untuk media perlakuan

pada berbagai konsentrasi dari 1-8 MST pengamatan ... ...26

9. Grafik rata-rata pertambahan jumlah daun untuk media

perlakuan pada berbagai konsentrasi dari 1-8 MST pengamatan . ...28

10. Eksplan yang telah mengalami pertumbuhan pada media

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kontaminasi kultur ... . .... . ... 36 2. Persentase pembentukan kalus, tunas dan jumlah daun kultur buah

makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) ... ... 37

3. Hasil sidik ragam persentase pembentukan kalus, tunas dan jumlah

daun kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) ... ... 39

4. Komposisi media MS ... ... 40

5. Prosedur pembuatan media MS ... ... 41

6. Gambar eksplan pada media yang mengandung 2,4-D, BAP dan MSo

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan tropis mengandung berbagai keanekaragaman hayati yang secara

bersamaan membentuk mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia.

Keanekaragaman hayati ini memiliki kegunaan tertentu baik yang telah diketahui

atau dimanfaatkan maupun yang belum. Salah satu yang dimanfaatkan adalah

berbagai jenis tumbuhan obat.

Indonesia termasuk negara yang memilki hutan alam tropika yang kaya

akan keanekaragaman spesies tumbuhan obat. Diperkirakan mencapai kurang

lebih 1300 spesies tumbuhan yang telah diketahui secara pasti berkhasiat obat dan

terdapat di hutan tropika Indonesia, dimana sebagian besar spesies tersebut tidak

dimilki oleh negara lain di dunia (Zuhud et al., 1994).

Buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) merupakan salah satu jenis

tumbuhan obat tropika yang dimiliki Indonesia. Tumbuahn ini dimanfaatkan

masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit antara lain kanker, disentri, dan

malaria.

Buah makasar dulu tersedia melimpah di hutan kawasan Bogor, Jawa

Barat. Sekarang, tanaman tersebut sudah sangat susah dijumpai di Indonesia.

Ironisnya, di luar negeri, buah makasar sedang gencar dipromosikan sebagai obat

kanker paru-paru dan penyakit yang disertai perdarahan. Industri farmasi Jepang

pun dengan gesit menyambar peluang dengan mengekspor obat yang diekstrak

dari buah makasar (Mardiyah et al., 2002).

Kandungan kimia penting berupa alkaloid (brucamarine, yatanine),

glikosida (brucealin, yatanoside A dan B, kosamine), dan phenol (brucenol,

bruceolic acid) yang terkandung dalam buah makasar mendorong para ahli untuk

melakukan penelitian terkait dengan bahan bioaktif buah makasar tersebut. Tetapi

sebagian besar penelitian yang dilakukan lebih kepada peningkatan manfaat buah

makasar untuk mengobati berbagai penyakit sedangkan perbanyakan tanaman

secara bioteknologi belum dilakukan. Dengan meningkatnya harga obat

(14)

therapy semakin meningkat sehingga kebutuhan akan bahan baku juga semakin

banyak. Hal ini lama kelamaan dapat mengancam kelestarian buah makasar.

Perbanyakan secara in vitro merupakan cara yang tepat saat ini untuk

melakukan upaya konservasi buah makasar sehingga dapat memenuhi kebutuhan

bahan baku buah makasar tanpa mengancam kelestariannya di alam karena akan

dihasilkan bibit dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat.

Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh

keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh yang ada di dalam tanaman

(Gunawan, 1992). Dalam kultur in vitro, komposisi media dasar dan zat pengatur

tumbuh yang tepat dan seimbang serta kondisi internal (dalam botol kultur) yang

steril dan eksternal (lingkungan laboratorium) yang stabil dapat membantu dan

menjaga pertumbuhan dan perkembangan eksplan tanaman yang dikulturkan.

Di Indonesia sendiri, teknik kultur in vitro sudah banyak dilakukan untuk

perbanyakan tanaman pertanian dan hias. Tetapi untuk jenis tanaman obat

terutama untuk tanaman obat hutan masih jarang dilakukan. Dengan semakin

banyaknya penelitian tentang perbanyakan tanaman secara bioteknologi

diharapkan tanaman obat tetap lestari terutama untuk jenis langka dan tingkat

eksploitasinya tinggi.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan ZPT

berupa sitokinin (BAP) dan auksin (2,4-D) dalam pertumbuhan buah makasar

(Brucea javanica [L.] Merr.) secara kultur in vitro.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh komposisi ZPT yang

terbaik yang memacu pertumbuhan buah makasar secara kultur in vitro, dan

diperoleh bibit buah makasar yang berkualitas yang pada akhirnya dapat

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Tanaman Buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.)

Taksonomi dan Morfologi

Menurut Heyne (1987), tumbuhan buah makasar memilki taksonomi

sebagai berikut:

Brucea javanica [L.] Merr. memiliki sinonim, diantaranya B. amarissima

Desv., B. gracilis DC., B. sumatrana Roxb., Gonus amarissima Lour., Lussa

amarissima O. Ktze., Rhus javanica L. Di Indonesia, jenis ini lebih dikenal

dengan nama dadih-dadih, tambar sipago, t. sipogu, t. bui, malur, sikalur, belur

(Sumatera), kendung peucang, ki padesa, kuwalot, trawalot, walot (Sunda), kwalot

(Jawa), tambara marica (Makasar) dan nagas (Ambon) (Dalimartha, 2000).

Buah makasar merupakan perdu tegak, menahun, tinggi 1-2,5 m, berambut

halus warna kuning. Daunnya berupa daun majemuk menyirip ganjil, jumlah anak

daun 5-13, bertangkai, letak berhadapan. Helaian anak daun berbentuk lanset

memanjang, ujung meruncing, pangkal berbentuk baji, tepi bergerigi kasar,

permukaan atas berwarna hijau, permukaan bawah berwarna hijau muda, panjang

5-10 cm, lebar 2-4 cm. Bunga majemuk berkumpul dalam rangkaian berupa malai

padat yang keluar dari ketiak daun, warna ungu kehijauan. Buahnya buah batu

berbentuk bulat telur, panjang sekitar 8 mm, jika sudah masak berwarna hitam.

Bijinya bulat, berwarna putih. Di Indonesia, buahnya disebut biji makasar

(16)

-Gambar 1. Buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.)

Habitat dan Penyebaran

Buah makasar tumbuh liar di hutan, kadang-kadang ditanam sebagai

tanaman pagar. Di Indonesia banyak tumbuh di Jawa dan Madura, yaitu di tepi

sungai, hutan jati dan hutan sekunder muda. Buah makasar tumbuh pada

ketinggian 1-500 m dpl (Dalimartha, 2000).

Kandungan Kimia

Buah makasar mengandung alkaloid (brucamarine, yatanine), glikosida

(brucealin, yatanoside A dan B, kosamine), dan phenol (brucenol, bruceolic

acid). Bijinya mengandung brusatol dan bruceine A, B, C, E, F, G, H. Daging

buahnya mengandung minyak lemak, asam oleat, asam, linoleat, asam stearat, dan

asam palmitoleat. Buah dan daunnya mengandung tanin (Dalimartha, 2000).

Kegunaan

Hampir semua bagian dari tanaman buah makasar dapat digunakan untuk

mengobati berbagai penyakit. Buah digunakan untuk pengobatan: malaria; disentri

amuba; diare kronis akibat terinfeksi Trichomonas sp.; keputihan; wasir

(hemoroid); cacingan (nematoda, taenia); papiloma di pangkal tenggorokan

(laring), pita suara, liang telinga luar, dan gusi; kanker pada kerongkongan

(17)

digunakan untuk pengobatan malaria, demam dan keracunan makanan. Dan daun

digunakan untuk mengobati sakit pinggang (Dalimartha, 2000).

Buahnya di toko obat Jakarta dikenal dengan nama ko som ci, tetapi lebih

dikenal dengan biji makasar (Heyne, 1987).

Perbanyakan

Buah makasar dapat diperbanyak dengan biji. Perbanyakan tanaman ini

secara bioteknologi belum dilakukan.

Kultur Jaringan

Teknik Kultur Jaringan

Kultur jaringan (tissue culture) adalah suatu teknik mengisolasi

bagian-bagian tanaman (sel, protoplasma, tepung sari, ovari dan sebagainya),

ditumbuhkan secara tersendiri, dipacu untuk memperbanyak diri, akhirnya

diregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap dalam suatu lingkungan yang

aseptik. Teknik ini juga disebut kultur in vitro (in vitro culture) yang artinya

kultur di dalam wadah gelas (Wattimena et al., 1992).

Prinsip dasar dari kultur jaringan adalah teori totipotensi yang menyatakan

bahwa di dalam masing-masing sel tumbuhan mengandung informasi genetik dan

atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila

ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai (Wetherell, 1982).

Kultur jaringan terdiri atas beberapa tahap kegiatan. Profesor Murashige

dari Universitas California membagi kultur in vitro dalam tiga tahap, yaitu tahap I

meliputi persiapan eksplan untuk ditumbuhkan pada media kondisi yang aseptik.

Tahap II adalah penggandaan propagul dengan cara meningkatkan jumlah cabang

aksiler ataupun pembentukan tunas-tunas baru. Tahap III adalah pendewasaan

lebih lanjut calon tanaman dengan merangsang pembentukan akar dan

pertumbuhan (aklimatisasi) (Wetherell, 1982). Tahapan-tahapan ini kemudian

disempurnakan oleh Deberg dan Maena (1981) dalam Wattimena et al.(1992)

menjadi 5 tahap, yaitu: 1) Seleksi tanaman induk, 2) Pemantapan kultur aseptik,

3) Produksi propagul, 4) Persiapan plantet sebelum diaklimatisasi, dan 5)

(18)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis

tanaman dalam kultur jaringan dapat digolongkan menjadi 4 golongan utama,

yaitu:

1. Genotipe dari sumber bahan tanaman yang digunakan

2. Media, mencakup tentang komponen penyusun media dan juga zat

pengatur tumbuh tanaman yang digunakan

3. Lingkungan tumbuh tanaman yaitu keadaan fisik tempat kultur

ditumbuhkan

4. Fisiologi jaringan tanaman sebagai eksplan.

Kempat faktor tersebut dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya (Wattimena et

al., 1992).

Manfaat Kultur Jaringan

Menurut Rahardja dan Wiryanta (2003), beberapa manfaat yang didapat

dari pembudidayaan tanaman secara kultur jaringan adalah:

1. Melestarikan sifat unggul tanaman induk

2. Menghasilkan tanaman yang memilki sifat seragam

3. Menghasilkan tanaman baru dalam jumlah besar

4. Menghasilkan tanaman yang bebas virus yang dilakukan dengan cara

mengambil jaringan muda yang bebas virus

5. Bisa dijadikan media untuk melestarikan plasma nutfah yang mulai langka

dan sulit dikembangkan dengan cara-cara konvensional

6. Menghasilkan tanaman dengan tingkat produksi tinggi.

7. Bisa menghasilkan tanaman diploid homozigot melalui kultur kepala sari.

Tanaman yang dihasilkan adalah haploid. Tanaman haploid ini diberi zat

kimia tertentu seperti colchicine yang menyebabkan terjadinya duplikasi

kromosom, sehingga tanaman haploid hasil kultur jaringan bermutasi

menjadi diploid homozigot

8. Untuk menciptakan varietas baru melalui rekayasa genetika. Sel yang telah

direkayasa dikembangkan mealui kultur sel sehingga menjadi tanaman

(19)

Selain kelebihan, teknik perbanyakan melalui kultur jaringan ini juga

memilki beberapa kekurangan, yaitu:

1. Dibutuhkan biaya awal yang relatif tinggi untuk laboratorium dan bahan

kimia

2. Dibutuhkan keahlian yang khusus untuk melaksanakannya

3. Tanaman yang dihasilkan berukuran kecil, aseptic, dan terbiasa hidup di

tempat yang berkelembaban tinggi sehingga memerlukan aklimatisasi ke

lingkungan eksternal. Aklimatisasi merupakan salah satu tahapan kritis

yang sering menjadi kendala dalam produksi bibit secara massal (Ariana,

2005).

Media Kultur

Keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in vitro terutama

disebabkan pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan

yang dikulturkan. Hara terdiri dari komponen yang utama dan komponen

tambahan. Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon (gula),

vitamin dan pengatur tumbuh. Komponen lain, seperti senyawa nitrogen organik,

berbagai asam organik, metabolit dan ekstrak tambahan tidak mutlak, tetapi dapat

menguntungkan ketahanan sel dan perbanyakannya (Wetter & Constabel, 1982).

Media hara ini dapat berbentuk padat, semi padat dan cair (Wattimena et al.,

1992).

Banyak formulasi media yang ada, masing-masing berbeda dalam hal

kuantitas maupun kualitas komponennya. Dari sekian banyak formulasi yang ada,

beberapa buahnya telah sering dipakai. Antara lain seperti yang telah

dikemukakan oleh Toshio Murashige dan dipublikasikan oleh Murashige dan

Skoog pada tahun 1962 (Wetherell, 1982).

Zat Pengatur Tumbuh

Ada 2 jenis hormon tanaman yang sekarang banyak dipakai dalam

propagasi in vitro yaitu auksin dan sitokinin (Wetherell, 1982).

Auksin merupakan salah satu golongan fitihormon, baik yang alamiah

maupun yang sintetik, menginduksi pemanjangan sel dan juga dalam kasus

(20)

dominansi apikal, penghambatan pucuk aksilar dan adventif, serta inisiasi

pengakaran (Wattimena et al., 1992).

Auksin sintetis yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah:

Indole-3-Acetic Acid (IAA); 2,4-Dichlorophenoxy Acetic Acid (2,4-D);

Nephtaleine Acetic Acid (NAA); Indole Butyric Acid (IBA); Naphtoxy Acetic

acid (4-CPA); 2,4,5-Trichloro Acetic Acid (2,4,5-T); 3,6-Dichloro Anisic Acid

(Dicamba); $-Amino-3,5,6-Trichloro Picolinic Acid (Picloram) dan IAA

conjugate (IAA-L-alanine dan IAA-Glycine) (Gunawan, 1987).

Sitokinin merupakan turunan adenin, berperan dalam mendorong

pembelahan sel atau jaringan yang dipergunakan sebagai eksplan dan merangsang

perbanyakan pucuk-pucuk tunas. Sitokinin yang digunakan secara komersial

dalam propagasi in vitro adalah: Bensiladenin (6-bensilaminopurin); Kinetin;

Isopentiladeni (dimetil aminopurin); Adenin sulfat (Wetherell, 1982). Tetapi

Bensiladenin (6-bensilaminopurin) atau disingkat BAP lebih sering digunakan,

karena sifatnya yang stabil, tidak mahal, mudah diperoleh dan lebih efektif

dibangdingkan Kinetin (Zaer dan Mapes, 1982 dalam Muchtar, 1996).

Tabel 1. Zat pengatur tumbuh yang digunakan secara komersial dalam mikropropagasi tanaman

Zat pengatur tumbuh Singkatan Keterangan

I. Kelompok Auksin •Asam Indo-3-Asetat •Asam Indo-3-Butirat •Asam Alfa Naftalen Asetat

•Asam 2,4-D Diklorofenoksi Asetat

IAA IBA NAA 2,4-D

Auksin alami tidak stabil -

•Asam Giberelat GA3 Dapat merangsang

(21)

BAP (Benzylaminopurin)

BAP (Benzylaminopurin) adalah zat pengatur tumbuh (ZPT) yang

tergolong ke dalam sitokinin sintetik, yang dalam penggunaannya dipengaruhi

oleh ZPT lainnya. Sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologi di dalam

tanaman. Aktivitas yang utama dari sitokinin adalah sitokenesis atau pembelahan

sel. Aktivitas ini yang menjadi kriteria utama untuk menggolongkan suatu zat

pengatur tumbuh ke dalam sitokinin (Wattimena, 1988).

Salah satu jenis hormon dari kelompok sitokinin yang paling banyak

digunakan adalah BAP. Hal ini karena BAP dinilai lebih stabil, tidak mahal dan

lebih efektif dibandingkan kinetin. BAP biasanya digunakan untuk induksi kalus

tapi yang terpenting adalah BAP dapat menginduksi formasi tunas, pucuk atau

kecambah (Bonga & Durzan, 1982 dalam Ariana, 2005).

2,4-D (Dichlorophenoxy Acetic Acid)

2,4-D merupakan jenis auksin sintetis yang sering digunakan dalam kultur

jaringan. Hal yang menarik dari senyawa 2,4-D dilihat dari segi aktivitasnya yaitu

jika dibandingkan dengan IAA menunjukan aktivitas yang lebih (Wattimena,

1992). Rantai yang mempunyai gugus karboksil dipisahkan oleh karbon atau

karbon dan oksigen akan memberikan aktivitas yang optimal (Abidin, 1985).

Lingkungan Fisik Kultur

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan kultur

jaringan antara lain pH, kelembaban, cahaya dan temperatur. Faktor lingkugan

tersebut berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel

tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan (Ariana, 2005).

Bentuk fisik medium kultur jaringan berupa medium padat, semi padat dan

cair. Kondisi fisik medium dapat berpengaruh pada pertumbuhan kultur dan laju

pembentukan tunas (Wattimena et al., 1992).

Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung

pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak

hanya unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya

berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfir

(22)

dalam media tersebut ditambahkan vitamin-vitamin, asam amino dan zat pengatur

tumbuh (ZPT).

Pengaturan pH media selain memperhatikan kepentingan fisiologi sel, juga

harus mempertimbangkan faktor-faktor: 1) Kelarutan dari garam-garam penyusun

media, 2) Pengambilan dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam lain, dan 3)

Efisiensi pembekuan agar (Gunawan, 1987). Sampai saat ini belum ada penelitian

mengenai pH optimum spesifik setiap tanaman. Namun secara umum dapat

dikatakan bahwa kebanyakan bagian tanaman, tumbuh dengan baik pada media

yang mengandung buffer lemah pada pH antara 5-6 (Wetherell, 1982).

Ada tiga hal dalam pemberian cahaya yang mempengaruhi pertumbuhan

dan kultur secara in vitro, yaitu: panjang gelombang cahaya, intensitas cahaya,

dan photoperiodisme. Pertumbuhan organ tanaman secara in vitro yang optimal

seringkali memerlukan adanya cahaya. Namun, pada awal proses pembelahan sel

dari eksplan yang dikulturkan dan pertumbuhan kalus kadang-kadang dihambat

oleh adanya cahaya.

Suhu juga memegang peranan penting dalam mempengaruhi laju dan

perbanyakan jaringan. Pada banyak tanaman, jaringannya tumbuh baik pada 170C

sampai 320C. Kebanyakan suhu ruang inkubasi dalam kultur in vitro diatur sama,

baik siang maupun malam. Namun, ada juga yang menggunakan suhu ruang

inkubasi yang disesuaikan dengan suhu alami tempat tumbuh tanaman tersebut

secara in vitro, pada siang hari diberikan suhu lebih tinggi dari rata-rata, dan pada

malam hari lebih rendah 60C sampai 80C (Wattimena et al., 1992).

Kelembaban udara penting untuk mencegah kultur mengalami kekeringan.

Jika kelembaban ruangan rendah maka penguapan air dari media kultur akan

terlalu besar. Dan sebaliknya, jika kelembaban ruangan tinggi akan menyebabkan

terjadinya pertumbuhan mikroba di luar wadah kultur atau alat-lat sehingga akan

menaikkan derajat kontaminasi. Kelembaban relatif ruang tumbuh kultur jaringan

kurang lebih 70%, di dalam botol menghendaki kelembaban yang lebih tinggi

(23)

Penelitian buah makasar

Penelitian tentang buah makasar di Indonesia masih sangat jarang

dilakukan. Beberapa penelitian buah makasar yang pernah dilakukan adalah:

Tabel 2. Penelitian buah makasar

Judul penelitian Peneliti Lembaga Tahun

Kandungan Senyawa Bioaktif dalam Kultur Kalus Brucea javanica [L.] Merr.

Rahmi Lestari Helmi Departemen

Biologi ITB

1993

Pengaruh Eliminasi Amonium dan Nitrat dari Medium Murashige dan Skoog (1962) terhadap Pertambahan Biomassa dan Kandungan Metabolit Sekunder Kultur Sel Brucea javanica [L.] Merr.

Risa Darmayanti Departemen

Biologi ITB

1995

Penelitian Helmi (1993) tentang kandungan senyawa bioaktif buah

makasar dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan zat pengatur

tumbuh auksin dan sitokinin terhadap pertumbuhan dan biosintesis senyawa

bioaktif dalam kalus. Kalus dibentuk dengan menggunakan eksplan daun buah

makasar. Pertumbuhan kalus terbaik didapatkan pada media MS + 5.10-6 M 2,4-D

+ 7,5.10-6 M Kinetin dan 1,5.10-6 M 2,4-D + 10-5 M BAP. Sedangkan Darmayanti

(1995) yang menguji pengaruh eliminasi amonium dan nitrat dari medium

Murashige dan Skoog (1962) terhadap pertambuhan biomassa dan kandungan

metabolit sekunder kultur sel buah makasar memperoleh hasil bahwa penambahan

nitrogen dalam bentuk nitrat dapat meningkatkan pertumbuhan sel dan brusein A

sedangkan penambahan nitrogen dalam bentuk amonium dapat meningkatkan

kandungan brusein A tetapi menghambat pertumbuhan biomassa sel.

Penelitian buah makasar yang pernah dilakukan tersebut di atas hanya

sebatas kepada pengujian senyawa bioaktif yang terkandung di dalamnya yang

dilakukan secara kultur in vitro. Tetapi untuk tujuan perbanyakan belum

dilakukan. Mengingat pada saat ini buah makasar sudah sangat jarang dijumpai,

keadaan ini bisa dipandang serius. Karena itu, perlu dilakukan usaha budidaya

yang tepat sehingga keberadaan buah makasar di alam tetap lestari dan dapat

(24)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Unit Kultur Jaringan Laboratorium Konservasi

Tumbuhan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas

Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data primer dilakukan selama 2

bulan dari bulan September sampai dengan November 2006.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan

a. Bahan Media

Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS (Murashige

& Skoog) yang telah dimodifikasi dengan penambahan vitamin, asam amino dan

sukrosa. Selain itu, ke dalam media ditambahkan zat pengatur tumbuh (BAP dan

2,4-D ) dengan konsentrasi yang sesuai dengan perlakuan.

b. Bahan Tanaman

Bahan tanaman yang digunakan adalah biji buah makasar (Brucea

javanica [L.] Merr.) dari tanaman koleksi Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si, Bogor

yang berumur kurang lebih 6 bulan. Tanaman induk sebagai sumber eksplan pada

waktu pengambilan sedang berbuah lebat dengan tinggi sekitar 2,5 meter.

c. Bahan Sterilisasi

Sterilisasi dilakukan terhadap bahan dan alat-alat yang digunakan. Bahan

sterilisasi yang digunakan adalah Detergen, Alkohol 70 %, larutan Baycline

(Natrium hipoklorit ) 5% dan Aquades steril.

Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi botol kultur,

petridish, pembakar spiritus, pisau, scalpel, pinset, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, pipet, pH meter, autoklaf, neraca analitik, pengaduk magnetik, laminar air

(25)

Metode Penelitian

Sterilisasi

a. Sterilisasi lingkungan kerja

Kebersihan lingkungan kerja dapat dijaga dengan membatasi orang yang

masuk ruangan serta membersihkannya dengan disenfektan. Sebelum, selama dan

setelah digunakan, permukaan tempat kerja dibersihkan dengan kapas yang telah

dicelupkan dalam alkohol 70 %. Blower atau peniup udara pada laminar air flow

cabinet dinyalakan sebelum dan selama pemakaian untuk menghindari

kontaminan.

b. Sterilisasi Alat-alat dan Media Kultur

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian harus selalu dalam keadaan

steril. Gelas (petridish, botol-botol kosong, pipet, dan lain-lain), alat-alat logam

(pinset, gunting, gagang scalpel, dan lain-lain) dan kertas saring dibungkus rapi

dengan kertas tebal. Semuanya itu disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C

(250°F) pada tekanan 17,5 psi selama 1 jam. Penghitungan waktu sterilisasi

dimulai setelah tekanan yang diinginkan tercapai.

Alat-alat tanam seperti pinset, gunting, dan mata pisau scalpel disterilkan

dengan pembakaran di atas api bunsen, setelah sebelumnya dicelupkan dalam

alkohol 70%.

Media tanam dan aquades juga disterilkan dengan autoklaf. Aquades

disterilkan dengan waktu, suhu, dan tekanan yang sama untuk sterilisasi alat-alat

sedangkan media disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C (250°F) pada

tekanan antara 15-17,5 psi selama 20-25 menit.

c. Sterilisasi bahan tanaman

Bahan tanaman (eksplan) yang akan ditanam, sebelumnya diberi perlakuan

sterilisasi. Tahapan sterilisasi untuk biji Buah makasar dilakukan dengan metode

sebagai berikut:

1. Buah makasar dicuci bersih dengan air mengalir kemudian direndam dengan

deterjen cair selama 7 menit sambil dikocok-kocok. Tujuan dari perendaman ini

adalah untuk memecahkan dormansi biji. Setelah direndam dalam deterjen cair

(26)

2. Di dalam laminar air flow cabinet biji dibilas dengan air steril. Kemudian

direndam dengan alkohol 70% selama 10 menit kemudian dibilas. Setelah

direndam di dalam larutan alkohol 70%, selanjutnya buah direndam di dalam

larutan Baycline (Natrium hipoklorit ) 5% selama 10 menit sambil

dikocok-kocok.

3. Setelah itu buah dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali

4. Masih di dalam laminar air flow cabinet, buah dikupas sehingga hanya

menyisakan biji bagian dalamnya saja atau yang sering disebut dengan inti biji.

Dalam pengupasan ini digunakan cawan petri sebagai alas dan pinset serta pisau

untuk mengupas. Sebelum digunakan, pisau dan pinset tersebut dibakar di atas api

bunsen agar alat-alat tersebut bebas dari mikroorganisme. Dalam pengupasan ini

harus hati-hati jangan sampai melukai bagian dalam biji.

5. Bahan eksplan berupa biji yang telah dikupas yaitu berupa inti biji ditanaman

dalam media perlakuan.

Pembuatan Media

Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS (Murashige

& Skoog) dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D (0,5; 1; 1,5 dan 2 mg/l)

dan BAP (0; 0,5; 1; 1,5; 2; 4; 6 dan 8 mg/l) sesuai rancangan berikut:

Langkah awal adalah pembuatan larutan induk (stok) yang terdiri dari

larutan induk makro, larutan induk mikro, larutan vitamin dan larutan induk

Fe-EDTA. Pembuatan larutan induk bertujuan untuk menghemat pekerjaan

menimbang bahan yang berulang-ulang setiap kali membuat media. untuk

membuat satu liter media kultur dengan konsentrasi yang sesuai dengan

perlakuan, maka dilakukan pengenceran larutan induk dengan air mineral hingga

(27)

Pada media perlakuan ditambahkan zat pengatur tumbuh sesuai dengan

perlakuan pH dalam media berkisar 5,6-5,8, apabila media bersifat asam (pH<5,6)

maka ditambahkan KOH sedangkan bila bersifat basah (pH>5,8) ditambahkan

HCL. Ke dalam larutan media tersebut ditambahkan agar-agar 7 g/l dan

ditambahkan gula pasir 30 g, kemudian dipanaskan sampai mendidih. selanjutnya

media MS tersebut ditambahkan zat pengatur tumbuh sesuai perlakuan.

Media perlakuan yang sudah jadi dituang ke dalam botol kultur dan diberi

label sesuai dengan perlakuan kemudian ditutup dengan tutup plastik. Botol-botol

tersebut kemudian disterilkan dengan autoklaf pada tekanan antara 15-17,5 psi

dan suhu 1210C selama 30 menit.

Penanaman

Bahan eksplan berupa biji yang telah dikupas dan disterilisasi ditanam

dalam media perlakuan. Setiap botol kultur ditanam satu biji. Proses pemindahan

dan penanaman dilakukan di laminar air flow cabinet dalam kondisi steril.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada seluruh eksplan yang ditanam dalam setiap

satuan perlakuan meliputi visual kalus dan tunas yang dihasilkan. Persentase

pembentukan kalus dan tunas, pembentukan plantlet yang terkait dengan jumlah

daun dan jumlah akar. Selain itu, juga dilakukan pengamatan secara visual

terhadap kontaminasi kultur. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 2

bulan.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak

lengkap (RAL). Percobaan terdiri dari 12 perlakuan dan tujuh ulangan sehingga

terdapat 84 unit contoh pengamatan. Faktor atau perlakuan yang digunakan adalah

konsentrasi auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) yang ditambahkan dalam media

(28)

Model umum rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yij = μ + αi + Σij Keterangan:

Yij = hasil pengamatan terhadap eksplan buah makasar pada pengaruh

zat pengatur tumbuh BAP ke-i dan ulangan ke-j atau 2,4-D ke-i dan

ulangan ke-j

μ = nilai rata-rata umum

αi = pengaruh zat pengatur tumbuh BAP ke-i atau 2,4-D ke-i

Σij = pengaruh galat percobaan pada eksplan buah makasar yang memperoleh perlakuan konsentrasi BAP ke-i atau 2,4-D ke-i

Untuk mengetahui pengaruh yang diberikan pada percobaan tersebut maka

dilakukan uji F. Apabila hasil sidik ragam memberikan hasil berpengaruh nyata

maka dilakukan uji lanjutan wilayah Duncan untuk mengetahui beda antar

perlakuan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Kontaminasi

Salah satu faktor pembatas dalam kultur in vitro adalah kontaminasi.

Kontaminasi dapat terjadi pada media dan atau pada eksplan. Tingkat kontaminasi

dipengaruhi oleh sterilisasi yang dilakukan. Kontaminasi dapat disebebkan oleh

cendawan dan atau bakteri.

Penanaman eksplan dari alam berupa biji yaitu bagian inti biji pada 2

minggu setelah tanam (MST) sudah mengalami kontaminasi. Tingkat kontaminsi

terus meningkat setiap minggunya dengan jumlah paling tinggi 5,95% yaitu pada

6 MST (Lampiran 1 dan Tabel 1).

Dari Tabel 1 terlihat bahwa kontaminasi tertinggi disebabkan oleh

cendawan yaitu 20,24%. Kontaminasi oleh cendawan ini mulai terlihat pada 3

MST. Kontaminasi cendawan pada umumnya diawali dengan adanya bintik putih

di sekitar eksplan dan terus menyebar menutupi permukaan media (Gambar 2).

Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri lebih sedikit dibandingkan

oleh cendawan yaitu sebesar 2,38%. Kontaminasi yang disebakan oleh bakteri

sudah terlihat pada 2 MST yaitu pada media MS + BAP 0,5 mg/l dan media MS +

BAP 1,5 mg/l. Gejala yang ditimbulkan oleh bakteri ditandai dengan munculnya

lendir di sekitar eksplan, lendir ini terus bertambah dan warnanya berubah dari

bening menjadi kemerahan dan menyebabkab kematian pada eksplan (Gambar 2).

Kontaminasi pada eksplan disebabkan karena eksplan berasal dari alam,

sehingga diduga sudah terinfeksi sebelum disterilasasi. Eksplan yang berasal dari

alam mempunyai tingkat kontaminasi permukaan yang berbeda, tergantung dari:

jenis tanaman, bagian tanaman yang dipergunakan, morfologi permukaan

(misalnya: berbulu atau tidak), lingkungan tumbuhnya (green house atau

lapangan), musim waktu mengambil (musim hujan/kemarau), umur tanaman

(seedling atau tanaman dewasa) dan kondisi tanmannya (sakit atau dalam keadaan

sakit) (Gunawan, 1987). Hal ini akan menjadi pertimbangan dalam melakukan

kegiatan sterilisasi terutama yang menyangkut teknik dan bahan sterilisasi yang

digunakan. Faktor lain yang juga dapat menyebabkan kontaminasi adalah

(30)

Tabel 3. Jumlah kultur yang kontaminan pada tiap perlakuan pada 8 MST Taraf

Konsentrasi

Jumlah Awal

Kultur Terkontaminasi Jumlah

Akhir

Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah akhir eksplan yang hidup atau bebas

dari kontaminasi sampai pada 8 MST yaitu sebesar 77,38%. Nilai ini menunjukan

bahwa bahan dan teknik steriliasi yang digunakan sudah efektif. Hal ini juga

disebabkan karena eksplan yang digunakan adalah bagian dalam biji (inti biji) jadi

resiko kontaminasi dari alam sangat kecil.

Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kontaminasi adalah

pemilihan bahan tanaman yang sehat dan mencegah masuknya organisme atau

spora yang masuk ke dalam botol kultur. Cara yang dapat dilakukan adalah

menjaga ruang kultur tetap steril, penutupan botol kultur yang baik dan

pelaksanaan prosedur kerja yang tepat dan hati-hati. Kultur yang sudah terlihat

gejala timbulnya kontaminasi pada media tetapi belum menyerang eksplan masih

dapat diselamatkan dengan memindahkan eksplan ke media yang baru. Hal ini

sering dilakukan pada kultur yang terkontaminasi oleh cendawan.

Kontaminasi bakteri dapat dicegah dengan penambahan anti mikroba

seperti antibiotik (rifampicin, kanamycin, streptomycin dan cerbenicillin). Selang

konsentrasi yang digunakan membutuhkan pengujian tetapi mulai 200-400 mg/l.

Senyawa ini mengurangi tekanan tumbuh kultur tetapi efeknya hanya sesaat dan

(31)

(a) (b) (c)

Gambar 2. Kontaminasi kultur: (a) kontaminasi oleh cendawan, (b) kontaminasi oleh bakteri, (c) kontaminasi oleh cendawan yang telah menyebar menutupi media

Pengaruh BAP dan 2,4-D

Pemberian sitokinin BAP dan auksin 2,4-D pada beberapa taraf

konsentrasi telah memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan eksplan

biji buah makasar. Dengan kata lain, BAP dan 2,4-D telah mempengaruhi

pertumbuhan biji buah makasar. Secara visual pengaruh yang ditimbulkan oleh

BAP dan 2,4-D yaitu eksplan membentuk kalus, tunas dan plantlet. Respon sel,

jaringan dan organ yang dikulturkan secara in vitro dipengaruhi oleh kondisi

kultur, genotip tanaman dan tipe eksplan (Gunawan, 1992).

Pembentukan Kalus

Kalus adalah suatu kumpulan sel yang tidak beraturan yang terjadi dari

sel-sel yang membelah diri secara terus menerus. Dalam keadaan in vivo, kalus

pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi

mikroorganisme. Sel-sel penyusun kalus adalah sel-sel parenkim yang

mempunyai ikatan yang renggang dengan sel-sel lain. Dalam kultur in vitro, kalus

dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril dalam media yang

(32)

mengandung kambium, maka kalus dapat terbentuk tanpa perlakukan zat pengatur

tumbuh. Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ

yang berbeda menunjukan perbedaan kecepatan pembelahan sel yang membentuk

eksplan tersebut. Bagian tanaman seperti : embrio muda, hipokotil, kotiledon dan

batang muda, merupakan bagian yang muda untuk dideferensiasi dan

menghasilkan kalus (Gunawan, 1987).

Dalam proses pembentukan kalus terdapat 4 lapisan sel yang berbeda.

Lapisan-lapisan sel yang berbeda terlihat jelas tiga hari setelah kultur terdiri dari :

1. Lapisan luar dengan sel-sel yang pecah

2. Lapisan kedua terdiri dari dua lapisan sel dorman

3. Lapisan dengan sel yang aktif membelah

4. Lapisan tengah (core) yang selnya tidak membelah (Gunawan, 1987).

Dari hasil pengamatan, kalus tumbuh pada semua media perlakuan ZPT

kecuali media kontrol (MSo). Eksplan pada media MS yang mengandung ZPT

2,4-D, terinduksi seluruhnya menjadi kalus (Gambar 3). Tetapi tidak demikian

halnya dengan media MS yang mengandung ZPT BAP. Pada media dengan

penambahan BAP, kalus terbentuk di bagian pangkal batang. Dalam hal ini

eksplan telah mengalami pertumbuhan membentuk batang, daun dan calon akar

(radicula) (Gambar 4).

1 2 3

kalus

kotiledon

tunas

5 4

(33)

Dari gambar 3 tersebut dapat dilihat bahwa pembentukan kalus pada

media yang mengandung 2,4-D diawalai dengan pecahnya kotiledon. Dari dalam

pecahan kotiledon tersebut atau dari sumbu embrio, kalus mulai terbentuk dan

pada akhirnya seluruh bagian eksplan terinduksi menjadi kalus. Kotiledon adalah

daun yang merupkan bagian dari embrio biji, yang melekat pada sumbu embrio

dengan hipokotil. Kotiledon merupakan daun pertama suatu tumbuhan

(Tjitrosoepomo, 1988).

Gambar 4. Tahap pertumbuhan kalus pada media MS dengan penambahan ZPT BAP

Pada gambar di atas terlihat bahwa pembentukan kalus pada media yang

mengandung BAP diawali dengan pecahnya kotiledon. Kemudian pertumbuhan

dilanjutkan dengan munculnya calon akar (radicula) dan batang (cauliculus).

Calon akar mengalami pembesaran dan akhirnya terinduksi menjadi kalus.

Pembentukan kalus pada media 2,4-D (0.5-2 mg/l) mulai terlihat pada 3

MST. Persentase pembentukan kalus cenderung meningkat dengan semakin

tingginya tingkat konsentarsi 2,4-D. Demikian halnya dengan penambahan BAP,

kalus mulai terbentuk pada 3 MST. Persentase pembentukan kalus setiap

minggunya juga cenderung meningkat dengan semakin tingginya tingkat

konsentrasi BAP (Lampiran 2 dan Tabel 1). Persentase pembentukan kalus yang

cenderung meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi 2,4-D atau BAP, hal

ini kemungkinan disebabkan karena konsentrasi 2,4-D atau BAP yang tinggi telah

mempengaruhi kerja sel-sel atau jaringan penyusun eksplan, sehingga sel akan

terus menerus membelah dan menghambat pertumbuhan organ.

1 2 3

kotiledon

(34)

Tabel 4. Uji lanjut faktor perlakuan konsentrasi 2,4-D dan BAP terhadap persentase pembentukan kalus

Perlakuan Subset

Keterangan: Kelompok perlakuan yang terdapat pada kolom (subset) yang sama menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam persentase pembentukan kalus

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tabel uji lanjut Duncan terhadap

persentase pembentukan kalus menunjukan bahwa perlakuan BAP 0,5 mg/l

berbeda sangat nyata dengan BAP 8 mg/l demikian juga dengan perlakuan 2,4-D

0,5 berbeda sangat nyata dengan 2,4-D 2 mg/l. dan nilai persentase pembentukan

kalus tertinggi adalah 2,4-D 2 m/l dilanjutkan dengan BAP 8 mg/l. Hal ini jelas

terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ZPT yang diberikan maka semakin

tinggi pula persentase pembentukan kalus yang dihasilkan setiap minggunya

sampai 8 minggu pengamatan.

0

(35)

Penambahan 2,4-D yang menginduksi semua bagian eksplan menjadi

kalus sedangkan pada BAP hanya pada bagian calon akar. Hal ini sesuai dengan

pendapat Gardner et al. (1985) yang menyatakan bahwa auksin adalah senyawa

yang merupakan hormon dan dapat menyebabkan pembesaran sel dalam jaringan

serta sering digunakan dalam kultur aseptik untuk menginduksi jaringan kalus.

Gati dan Mariska (1992) dalam Kurniawati (2004) menyatakan bahwa 2,4-D

merupakan ZPT yang paling sering digunakan pada kultur kalus karena

aktivitasnya yang kuat untuk memacu proses dediferensiasi sel, menekan

oragonogenesis serta menjaga pertumbuhan kalus. Dan jika dibandingkan dengan

auksin lainnya seperti IAA, 2,4-D menunjukan aktivitas yang lebih kuat

(Wattimena, 1992). Aktivitas 2-4-D yang kuat dan optimal ini disebabkan karena

gugus karboksil yang dipisahkan oleh karbon atau karbon dan oksigen

(Abidin,1985).

Mengingat buah makasar merupakan salah satu tanaman yang memilki

senyawa aktif yang berkhasiat obat dan banyaknya kalus yang terbentuk pada

eksplan, maka dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan senyawa metabolit (aktif)

yang berfungsi sebagai obat. Jadi untuk mendapatkan senyawa metabolit yang

dikandung oleh tanaman buah makasar tidak perlu melalui pembentukan tanaman

utuh dan menunggu sampai dewasa.

Pemanfaatan teknik kultur jaringan tanaman dengan kultur kalus adalah

salah satu cara untuk menghasilkan senyawa metabolisme sekunder (George &

Sherrington, 1984). Beberapa keuntungan pemanfaatan teknik kultur jaringan

dalam produksi senyawa metabolit sekunder dibandingkan dengan cara

konvensional adalah (1) menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang lebih

konsisten dan dalam waktu singkat (2) faktor lingkungan dapat diatur dan

dikendalikan sehingga tidak dipengaruhi iklim, hama dan penyakit, musim dan

faktor lainnya (3) biasanya mutu dari senyawa metabolit sekunder yang

diproduksi lebih baik dan sistem produksi dapat diatur (Ernawati, 1992 dalam

Harahap, 2005).

Pada media dengan penambahan BAP beberapa eksplan berhasil

membentuk plantlet tanpa akar karena calon akar terinduksi menjadi kalus. Dalam

(36)

dapat memacu pembentukan akar sedangkan kalus diambil untuk menghasilkan

senyawa metabolit yang dapat digunakan sebagai bahan obat. Hal ini sangat

menguntungkan secara ekonomis karena dari satu eksplan biji dapat dihasilkan

lebih dari satu tanaman dan senyawa metabolit tanpa menunggu atau merusak

tanaman inang. Tentu saja jika kalus akan digunakan sebagai sumber untuk

mendapatkan senyawa metabolit maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan

mempertimbangkan faktor ekonomi lainnya.

Pembentukan Tunas

Eksplan pada semua perlakuan berhasil membentuk tunas kecuali pada

media MSo karena pada media MSo eksplan langsung terdeferensiasi membentuk

akar (radicula), daun, dan batang (Gambar 6). Tunas dalam hal ini adalah tunas

yang tumbuh dari kalus. Eksplan yang dikulturkan pada media yang mengandung

BAP menghasilkan tunas dalam jumlah banyak jika dibandingkan dengan eksplan

yang ditumbuhkan pada media yang mengandung 2,4-D yang hanya

menghasilkan 1-2 tunas sampai pada 8 MST. Tunas pada BAP muncul secara

bergerombol dan dalam jumlah banyak sehingga sulit untuk dilakukan

penghitungan jumlah tunas pada setiap eksplannya (Gambar 7).

akar

(37)

Tunas mulai tumbuh pada 4 MST baik itu pada BAP ataupun 2,4-D

(Lampiran 2 dan Tabel 2). Eksplan yang ditumbuhkan pada media yang

mengandung BAP menghasilkan banyak tunas dibandingkan eksplan yang

ditumbuhkan pada media yang mengandung 2,4-D. Hal ini sesuai dengan

pendapat Davies (1987) dalam Husni et al. (1994) yang menyatakan bahwa

aktivasi BAP lebih kuat dibandingkan 2,4-D karena BAP mengandung gugus

benzyl sehingga lebih dapat merangsang inisiasi dan pertumbuhan tunas baru

melalui peningktan pembelahan sel dibandingkan 2,4-D. Selain itu, penambahan

sitokinin BAP ke dalam media kultur dapat menstimulasi sintesis protein di dalam

jaringan tanaman, sehingga mampu mendorong organogenesis kultur tunas in

vitro (Salisbury & Ross, 1995). George dan Sherrington (1984) juga menyatakan

bahwa BAP merupakan sitokinin yang banyak berperan dalam pembentukan dan

pengggandaan tunas dan pengaruhnya lebih kuat dibandingkan sitokinin lainnya

seperti kinetin ataupun 2-iP.

(38)

0

Gambar 8. Grafik pembentukan tunas untuk media perlakuan pada berbagai konsentrasi dari 1-8 MST pengamatan

Persentase pembentukan tunas semakin meningkat dengan semakin

meningkatnya konsentrasi BAP. Bhojwani dan Razdan (1983) menyatakan bahwa

semakin tinggi konsentrasi sitokinin maka jumlah tunas yang tumbuh semakin

banyak tetapi pertumbuhan masing-masing tunas terhambat (Lampiran 2 dan

Tabel 2). Dalam hal ini BAP 8 mg/l memilki persentase pembentukan tunas yang

paling tinggi. Untuk media yang mengandung 2,4-D pada konsentrasi 0,5-1 mg/l,

persentase pembentukan tunas cenderung meninglkat tetapi dari konsentrasi 1,5-2

mg/l, persentase pembentukan tunas cenderung menurun. Dalam hal ini 2,4-D 1,5

mg/l merupakan konsentrasi optimum untuk pembentukan tunas bagi perlakuan

2,4-D.

Berdasarkan pengamatan visual pada media yang mengandung BAP,

jumlah tunas semakin banyak dengan meningkatnya konsentrasi BAP yaitu pada

konsentrasi BAP 0,5- 1,5 mg/l. Pada perlakuan 0,5 mg/l, jumlah tunas lebih

sedikit diandingkan 1 mg/l dan jumlah tunas semakin banyak pada perlakuan 1,5

mg/l. Sedangkan pada BAP 2-8 mg/l, jumlah tunas yang dihasilkan banyak dan

(39)

Tabel 5. Uji lanjut faktor perlakuan konsentrasi 2,4-D dan BAP terhadap persentase pembentukan tunas

Perlakuan Subset

Keterangan: Kelompok perlakuan yang terdapat pada kolom (subset) yang sama menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam persentase pembentukan tunas

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tabel uji lanjut Duncan terhadap

persentase pembentukan tunas menunjukan bahwa perlakuan BAP 0,5 mg/l

berbeda sangat nyata dengan BAP 8 mg/l dan nilai persentase pembentukan tunas

tertinggi adalah BAP 8 mg/l. Hal ini jelas terlihat bahwa semakin tinggi

konsentrasi sitokinin yaitu BAP yang diberikan maka semakin tinggi pula

persentase pembentukan tunas yang dihasilkan setiap minggunya sampai 8

minggu pengamatan.

Pembentukan Plantlet (Jumlah Daun dan Jumlah Akar)

Plantlet adalah tanaman lengkap (artinya memilki akar, batang dan daun)

hasil regenerasi dalam kultur jaringan atau disebut juga tanaman mini

(Soerianegara, 1994). Dari semua media perlakuan hanya media MSo sajalah

yang berhasil membentuk plantlet sampai pada 8 MST. Pada perlakuan BAP 0,5-2

mg/l, eksplan berhasil membentuk batang dengan beberapa jumlah daun tetapi

tidak terbentuk akar.

Media MSo berhasil membentuk plantlet adalah karena dalam biji dimana

yang dijadikan eksplan pada penelitian ini adaah inti biji yang terdiri dari lembaga

(embryo) dan putih lembaga (albumen). Lembaga adalah calon tumbuhan baru,

(40)

syarat yang diperlukan. Lembaga di dalam biji telah memperlihatkan bagian

utama tumbuhan yaitu akar lembaga atau calon akar (radicula), daun lembaga

(cotyledon), dan batang lembaga (cauliculus) (Tjitrosoepomo, 1988).

Biji yang ditanam pada media MSo telah mendapatkan apa yang

diperlukannya untuk tumbuh sehingga eksplan tersebut dapat tumbuh menjadi

plantlet. Sedangkan pada media yang mengandung BAP eksplan tidak berhasil

membentuk plantlet adalah karena penambahan hormon sitokinin tersebut telah

menghambat kerja sel untuk membentuk organ. Salisbury dan Ross (1995)

melaporkan bahwa sitokinin hanya berperan dalam sitokinesis tetapi tidak dapat

meningktakan pertumbuhan organ. Perlakuan BAP dapat meningkatkan jumlah

tunas dan daun serta mempunyai kecenderungan menurunkan jumlah akar dan

tinggi tunas (Tjandra, 2000 dalam Kurniawati, 2004). Menurut Pierik (1987)

peningkatan konsentrasi BAP cenderung menekan pertumbuhan akar karena BAP

termasuk jenis sitokinin yang dapat menghambat inisiasi akar dan pertumbuhan

akar, terutama bila diberikan dalam konsentrasi yang tinggi.

Pada media MSo daun mulai terbentuk pada 3 MST sedangkan pada

media dengan penambahan BAP daun sudah mulai terbentuk pada 2 MST yaitu

pada media BAP 0,5-1,5 mg/l (Lampiran 2 dan Tabel 3). Dalam hal ini BAP telah

memacu pertumbuhan daun. Tjandra (2000) dalam Kurniawati (2004)

menyatakan bahwa BAP dapat meningkatkan jumlah tunas dan daun serta

mempunyai kecenderungan menurunkan jumlah akar dan tinggi tunas.

0

(41)

Dari grafik di atas terlihat bahwa jumlah daun terbanyak dihasilkan pada

media yang mengandung BAP 1,5 mg/l dan paling sedikt pada media BAP 8 mg/l.

Keadaan ini menunjukan semakin tinggi konsentrasi BAP maka semakin sedikt

pula jumlah daun yang dihasilkan. BAP dengan konsentrasi yang tinggi akan

mendorong sel untuk membentuk tunas dalam jumlah banyak.

Tabel 6. Uji lanjut faktor perlakuan terhadap pertambahan jumlah daun Perlakuan Subset

Keterangan: Kelompok perlakuan yang terdapat pada kolom (subset) yang sama menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam jumlah daun

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tabel uji lanjut Duncan terhadap

pertambahan jumlah daun menunjukan bahwa perlakuan BAP 8 mg/l berbeda

sangat nyata dengan BAP 1.5 mg/l dan jumlah daun terbanyak adalah BAP 1,5

mg/l. Hal ini jelas terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi sitokinin yaitu BAP

yang diberikan maka semakin sedikit pula jumlah daun yang dihasilkan setiap

minggunya sampai 8 minggu pengamatan. Pada BAP 0,5-1,5 mg/l, jumlah daun

mengalami peningkatkan tetapi pada konsentrasi BAP 2-8 mg/l jumlah daun

semakin menurun dan paling sedikit pada konsentrasi BAP tertinggi yaitu 8 mg/l.

Menurut Husni et al. (1994) makin tinggi konsentrasi sitokinin maka semakin

sedikit jumlah daun yang terbentuk. Dalam hal ini BAP 1,5 mg/l merupakan

konsentrasi yang optimum untuk menghasilkan jumlah daun yang banyak. Daun

(42)

Gambar 10. Eksplan yang telah mengalami pertumbuhan pada media BAP 1,5 mg/l

BAP 1,5 mg/l berhasil membentuk beberapa calon plantlet dari tunas yang

dihasilkan. Eksplan yang pada awalnya hanya 1 biji sudah dihasilkan lebih dari

satu calon tanaman baru. BAP 1,5 mg/l merupakan konsentrasi yang optimum

untuk pertumbuhan biji buah makasar secara in vitro untuk tujuan perbanyakan.

Hal ini didukung oleh banyaknya jumlah daun yang dihasilkan dari tunas yang

terbentuk dan terbentuknya beberapa calon plantlet dari eksplan yang berupa 1 biji

(43)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pemberian sitokinin BAP dan auksin 2,4-D dengan berbagai taraf

konsentrasi telah memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan

eksplan biji buah makasar.

2. Kalus terbentuk pada semua media perlakuan kecuali media MSo. Eksplan

pada media yang mengandung 2,4-D terinduksi seluruhnya menjadi kalus

sedangkan pada media yang mengandung BAP, kalus terbentuk pada calon

akar (radicula). Semakin tinggi konsentrasi BAP ataupun 2,4-D maka

semakin tinggi pula persentase pembentukan kalus.

3. Tunas terbentuk pada semua media perlakuan kecuali media MSo yaitu

tunas yang tumbuh dari kalus. Media dengan perlakuan BAP

menghasilkan banyak tunas sedangkan pada 2,4-D hanya menghasilkan

1-2 tunas. Semakin tinggi konsentrasi BAP maka semakin tinggi pula

persentase pembentukan tunas.

4. Dari semua media perlakuan hanya media MSo yang berhasil membentuk

plantlet (memiliki daun, batang dan akar).

5. Daun terbentuk pada media yang mengandung BAP dan MSo.

Jumlah daun terbanyak diperoleh pada media BAP 0,5-1,5 mg/l dan

tertinggi pada BAP 1,5 mg/l. Pada konsentrasi BAP 2- 8 mg/l, jumlah

daun semakin menurun dan paling sedikit pada konsentrasi BAP 8 mg/l.

BAP 1,5 mg/l merupakan konsentrasi optimum untuk menghasilkan daun

dalam jumlah banyak. Semakin tinggi konsentrasi BAP maka semakin

sedikit pula jumlah daun yang dihasilkan.

6. BAP 1,5 mg/l merupakan konsentrasi yang optimum dalam pertumbuhan

(44)

Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan:

1. Menggunakan kombinasi penambahan zat pengatur tumbuh lainnya

2. Menggunakan konsentrasi BAP dan 2,4-D pada interval yang lebih sempit

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1985. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung.

Ariana, E. 2005. Pengaruh Konsentrasi BAP (Benzylaminopurin) terhadap Pertumbuhan Mimba (Azadirachta indica A. Juss) secara Kultur In Vitro. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bhojwani, S.S. dan M.K. Rajdan. 1983. Plant Tissue Culture, Theory and Practise. Elsevier Scientific Pub Amsterdam.

Dalimartha, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid Dua. Trubus Agriwidya. Jakarta.

Gardner, F.P., R. Brent, P., Roger, L.M. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Terjemahan). UI-Press. Jakarta.

George, E.F. dan Sherrington, P.D. 1984. Plant Propagation By Tissue Culture. Eastern Press. London.

Gunawan, L.W. 1987. Pengenalan Teknik In vitro. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi-IPB. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.

1992. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan

Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi-IPB. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.

Harahap, R.A. 2005. Studi Kultur Kalus Tanaman Pegagan (Centella asiatica L.) untuk Menghasilkan Senyawa Asiatikosida. Sekolah Pascasaejana. IPB. Bogor.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Volume III. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.

(46)

Indarjo, I. 2003. Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh NAA dan 2,4-D terhadap Pembentukan Kalus pada Kultur In vitro Polen Anggrek Dendrobium Jakarta Molek. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kurniawati, M. 2004. Pengaruh 2,4-D, BAP, dan Kinetin untuk Induksi Kalus Tunas Mentha arvensis Var. Tempaku. Skripsi. Departemen Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mardiyah, T. Lebang dan Febrianti. 2002. Daun-daun Kehidupan yang Hilang. http://www.tempo.co.id/majalah/min/kes-1.html. [24 Mei 2006].

Rahardja, P.C dan W. Wiryanta. 2003. Aneka Cara Memperbanyak Tanaman. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.

Salisburry, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1-3 (Terjemahan). Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Soerianegara, I. 1994. Teknologi Kultur Jaringan. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Jakarta.

Tjitrosoepomo, G. 1988. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wattimena, G.A., L.W. Gunawan, N.A. Mattjik, E. Syamsudin, N.M.A. Wiendi dan A. Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi-IPB. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.

Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi-IPB bekerja sama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB. Bogor.

Wetherell, D.F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. IKIP Semarang Press. Semarang.

(47)

Yahya, A.F. 2001. Pertumbuhan, Biomassa dan Kandungan Alakaloid Akar Pule Pandak (Rauwolfia serpentina Benth) Hasil Kultur In Vitro . Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(48)
(49)

Lampiran 1. Kontaminasi kultur

Tabel 1. Jumlah kultur yang kontaminan pada tiap perlakuan pada minggu ke-1 hingga ke-8 pengamatan

Perlakuan/MST Minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 Σ

MS (Kontrol) 2 2

2,4-D 0,5 1 1 2

2,4-D 1 1 1

2,4-D 1,5 1 1

2,4-D 2 1 1

BAP 0,5 1* 1 2

BAP 1 1 1 2

BAP 1,5 1* 1 2

BAP 2 1 1

BAP 4 1 1 2

BAP 6 1 1

BAP 8 2 2

Σ 0 2 1 2 3 5 4 2 19

(50)

Lampiran 2. Persentase pembentukan kalus, tunas dan jumlah daun kultur buah makasar(Brucea javanica [L.] Merr.)

Tabel 1. Pembentukan kalus kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) pada pengamatan minggu ke-1 hingga ke-8 pengamatan

Perlakuan Minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

Tabel 2. Pembentukan tunas kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) pada pengamatan minggu ke-1 hingga ke-8 pengamatan

Perlakuan Minggu ke-

(51)

Tabel 3. Pertumbuhan jumlah daun kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) pada pengamatan minggu ke-1 hingga ke-8 pengamatan

Perlakuan Minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

MS (Kontrol) 0 0 0.857 1.714 1.714 2.400 3.200 3.200

2,4-D 0,5 mg/l 0 0 0 0 0 0 0 0

2,4-D 1 mg/l 0 0 0 0 0 0 0 0

2,4-D 1,5 mg/l 0 0 0 0 0 0 0 0

2,4-D 2 mg/l 0 0 0 0 0 0 0 0

BAP 0,5 mg/l 0 0.833 0.833 2.000 2.333 2.333 2.800 3.200

BAP 1 mg/l 0 0.571 1.143 2.833 3.000 3.000 4.000 4.800

BAP 1,5 mg/l 0 0.666 2.000 4.000 4.800 5.000 6.000 6.400

BAP 2 mg/l 0 0 0.429 0.571 0.857 1.667 1.667 2.500

BAP 4 mg/l 0 0 0 0.666 0.666 1.200 2.200 2.800

BAP 6 mg/l 0 0 0.286 0.286 0.333 0.833 1.667 1.667

(52)

Lampiran 3. Hasil sidik ragam persentase pembentukan kalus, tunas dan jumlah daun kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.)

Tabel 1. Hasil sidik ragam pembentukan kalus kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) sampai minggu ke-8 pengamatan

Sumber keragaman JK db KT Nilai F P-value

perlakuan 305.148 10 30.515 15.944 0.000*

Galat 105.263 55 1.914

Total 2044.848 66

* = Berbeda nyata pada α = 0.05

Tabel 2. Hasil sidik ragam pembentukan tunas kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) sampai minggu ke-8 pengamatan

Sumber keragaman JK db KT Nilai F P-value

perlakuan 252.79 10 25.28 10.12 0.000*

Galat 109.89 44 2.50

Total 1124.38 55

* = Berbeda nyata pada α = 0.05

Tabel 8. Hasil sidik ragam pertumbuhan jumlah kultur buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.) sampai minggu ke-8 pengamatan

Sumber keragaman JK db KT Nilai F P-value

perlakuan 71.081 7 10.154 7.114 0.000*

Galat 68.511 48 1.427

Total 317.071 56

(53)

Lampiran 4. Komposisi media MS (Murashige dan Skoog)

Larutan Nama Bahan

Kimia Konsentrasi (gr/ l)

(54)

Lampiran 5. Prosedur pembuatan media MS

S

Gelas ukur 1L, Ditambahkan aquades hingga

volume yang diinginkan

Masukkan ZPT (BAP) Sesuai dengan perlakuan

Cukupkan larutan menjadi 1L dengan penambahan aquades dan atur pH hingga 5,6-5,8

Didihkan pada Hot-plate

tambahkan agar-agar 7gr dan didihkan kembali

Tuang dan bagikan ke dalam botol kultur

Tutup dengan plastikdan disterilkan menggunakan Autoklaf selama 20 menit dengan tekanan 17.5 Psi 121°C

Inkubasi selama 1 minggu sebelum melakukan inisiasi

Larutan A, Larutan B, Larutan C, Larutan D

Larutan E, Larutan F Vitamin, Myo- inositol sesuai

konsentrasi penggunaan

(55)

Lampiran 6. Gambar eksplan pada media yang mengandung 2,4-D, BAP dan MS (Kontrol) pada minggu ke-8 pengamatan

2,4-D 0,5 mg/l

2,4-D 1 mg/l

2,4-D 1,5 mg/l

2,4-D 2 mg/l

Gambar 1. Eksplan pada media yang mengandung 2,4-D pada minggu ke-8

MS (Kontrol)

(56)

BAP 0,5 mg/l

BAP 1 mg/l

BAP 1,5 mg/l

BAP 2 mg/l

BAP 4 mg/l

BAP 6 mg/l

BAP 8 mg/l

(57)

PENGARUH AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP)

DALAM KULTUR IN VITRO

BUAH MAKASAR (Brucea javanica [L.] Merr.)

LISBETH YUNI SANTI MANURUNG

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Gambar

Gambar 1. Buah makasar (Brucea javanica [L.] Merr.)
Tabel 1. Zat pengatur tumbuh yang digunakan secara komersial dalam mikropropagasi tanaman
Tabel 2. Penelitian buah makasar
Tabel 3. Jumlah kultur yang kontaminan pada tiap perlakuan pada 8 MST
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taudik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas soal Ulangan Akhir Semester Gasal Mata Pelajaran Pengantar Akuntansi Kelas X di SMK Negeri 1 Pengasih Kulon

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan tentang pelaksanaan perencanaan pajak yang tepat sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku

Adalah temperatur awal pada proses pembakaran terjadi, apabila yang diisap udara bertemperatur terlalu panas akan terjadi detonasi karena campuran bahan bakar dengan udara akan

Penerapan permainan Dart pada pelaksanaan yang kedua ini bisa dikatakan berjalan dengan lancar. Siswa mampu mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Namun masih terdapat

Terapi kognitif di indikasikan kepada klien dengan depresi (ringan sampai sedang), gangguan panic dan gangguan cemas menyeluruh atau kecemasan, indiividu yang mengalami

Dari uji coba small group ini, peneliti mengkuantitasi nilai kepraktisan modul yang dikembangkan dan diperoleh rata-rata untuk kepraktisan modul pembelajaran kimia

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan Laporan Praktek Kerja ini, maka penulis memakai metode sebagai berikut :.