BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bakteremia didefinisikan sebagai keberadaan kuman dalam darah yang dapat berkembang menjadi sepsis. Bakteremia seringkali menandakan penyakit yang mengancam jiwa, sehingga tindakan deteksi dini merupakan hal yang penting (Tiflah, 2006). Sepsis adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan. Penyakit ini merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka mortalitas yang cukup tinggi dan biaya yang cukup mahal. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa terdapat 34 kasus kematian neonatus dari 1000 kelahiran hidup setiap tahun dan 98% kasus tersebut berasal dari negara berkembang (Depkes, 2007). Data yang didapat dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007, terjadi 19 kematian neonatus dari 1000 kelahiran hidup di Indonesia. Gangguan pernafasan (37%), prematuritas (34%) dan sepsis (12%) merupakan penyebab terbanyak pada usia 0-6 hari (Sianturi et al., 2012). Angka kematian sepsis neonatus pada tahun 2006 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dilaporkan sebesar 57,1% (Yulidar et al., 2006). Penelitian terbaru di RSUP Sanglah Denpasar, angka kematian akibat sepsis neonatus sebesar 30,4% (Putra, 2012).
Bakteremia atau sepsis yang terjadi selama masa kehamilan dan pasca persalinan dapat disebabkan oleh kombinasi berbagai mikroorganisme, termasuk basilus dan kokus jenis aerob dan anaerob (Prawirohardjo, 2009). Staphylococcus sp. menjadi kuman terbanyak yang ditemukan pada kasus bakteremia pada pasien neonatus hingga anak-anak usia remaja di berbagai negara dari tahun ke tahun. Di Iran persentasenya sebesar 65,78% (Kalantar, 2008), Nepal 65% (Karki et al., 2010), Mesir 46% (El-Feky et al., 2011) dan Brazil 31,9% (Pereira et al., 2013), sedangkan di Indonesia yaitu di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Enterobacter sp.
menjadi kuman penyebab bakteremia terbanyak dengan persentase 42,9% diikuti
Penanganan awal bakteremia adalah pemberian antibiotik dan terapi suportif dengan segera, sedangkan pilihan antibiotik yang diambil tergantung pada insiden lokal untuk mencegah terjadinya resistensi (Lissauer & Fanaroff, 2009). Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, kuman penyebab bakteremia dilaporkan telah resisten terhadap ampisilin sebagai antibiotik empiris, bahkan persentase resistensi semua kuman uji terhadap gentamisin mencapai 100% (Yulidar et al., 2006). Di unit perawatan neonatus RSUP H. Adam Malik Medan, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas sp. memiliki persentase resistensi antara 50%-100% terhadap ampisilin (Zakaria, 2010). Penelitian lain menyebutkan bahwa
Staphylococcus sp., Pseudomonas sp. dan Enterobacter sp. telah resisten terhadap ampisilin, gentamisin dan sefotaksim sebagai antibiotik lini pertama di RSUP H. Adam Malik Medan (Sianturi, 2012).
Kuman yang resisten terhadap antibiotik dapat muncul karena proses seleksi alam, ketika populasi mikroba dalam tubuh terpapar antibiotik, mikroba yang peka akan mati terbunuh, sedangkan sebagian akan bertahan hidup, berkembang, bahkan menjadi resisten (Prawirohardjo, 2009). Dalam penggunaan antibiotik, tidak semua rumah sakit mempunyai program berkesinambungan yang mengontrol kejadian resistensi bakteri, frekuensi terjadinya infeksi, pedoman pemakaian antibiotik, serta monitoring pola resistensi yang dapat digunakan untuk mengetahui antibiotik mana yang masih poten, aman, efektif dan menghasilkan luaran klinik yang baik (Refdanita et al., 2004).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan:
1. Bagaimana pola kuman penyebab bakteremia neonatus di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pola kuman penyebab bakteremia neonatus di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014.
2. Mengetahui kepekaan bakteri terhadap antibiotika yang biasa digunakan pada kasus bakteremia neonatus di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014.
D. Tinjauan Pustaka 1. Bakteremia dan Septikemia
a. Definisi
Bakteremia adalah keadaan yang ditandai oleh adanya organisme hidup di dalam darah dan ditunjukkan oleh kultur darah yang positif. Kondisi klinis bakteremia bervariasi mulai dari asimptomatik (tanpa gejala) hingga sakit yang parah (Spicer, 2008). Keadaan bakteri di dalam darah ini dapat bersifat sementara,
intermitten atau kontinyu (Shulman et al., 1994).
Septikemia adalah kondisi infeksi berat dengan gejala seperti demam, menggigil, takikardi dan gejala sistemik lainnya (Spicer, 2008). Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti bakteremia pada bulan pertama kehidupan (Depkes, 2007). Bayi-bayi baru lahir sangat rentan terhadap sepsis bakterial atau infeksi sistemik. Keadaan ini dapat dibuktikan dengan hasil kultur darah yang positif (Lissauer & Fanaroff, 2009). b. Patofisiologi
penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag (Depkes, 2007).
Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yakni (1) menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai super-antigen dan (2) melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Super-antigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin pro-inflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif (Depkes, 2007). c. Bakteremia Gram negatif
Di negara berkembang, bakteri penyebab sepsis didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif seperti E. coli, Klebsiella, dan
Pseudomonas aeruginosa (Depkes, 2007). Bakteri yang paling sering ditemukan adalah Escherichia coli karena seringnya prevalensi E. coli pada pyelonefritis dan infeksi perut. Klebsiella pneumonia juga merupakan penyebab lazim bakteremia Gram negatif karena sering mendesak E. coli di saluran cerna pada penderita sakit berat, dan dapat menyebabkan bakteremia dari tempat ini (Shulman et al., 1994). d. Bakteremia Gram positif
e. Terapi antibiotik
Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotika empiris harus segera dimulai tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah itu, pilihan antibiotika harus dievaluasi dan disesuaikan dengan hasil kultur dan uji resistensi (Depkes, 2007). Pengobatan empiris harus menggunakan antibiotika berspektrum luas, gentamisin merupakan aminoglikosida pilihan untuk bakteremia yang disebabkan oleh
Enterobacteriaceae dan Pseudomonas aeruginosae. Pada bakteremia dengan agen penginfeksi kuman Gram positif seperti S. aureus atau Streptococcus, antibiotik empiris yang disarankan adalah golongan penisilin dan sefalosforin generasi pertama (Shulman et al., 1994).
Pemberian antibiotika pada kasus bakteremia di negara-negara berkembang tidak bisa disamakan dengan negara maju. Pemberian antibiotika hendaknya disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan neonatus (Depkes, 2007).
2. Spesimen Darah
Hingga saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis sepsis, hanya saja pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru akan diketahui setelah minimal 3-5 hari (Depkes, 2007). Darah dibiakkan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi bakteri atau mikroorganisme lain yang dapat dibiakkan. Keberadaan organisme-organisme dalam darah biasanya bersifat patologis (Vandepitte et al., 2010).
Sedapat mungkin, pengambilan darah dilakukan sebelum antibiotik diberikan. Jika perlu, pemilihan antibiotik disesuaikan setelah hasil uji kepekaan didapatkan. Waktu terbaik adalah saat pasien menggigil atau suhu tubuhnya naik. Oleh karena jumlah bakteri per mililiter darah biasanya rendah, maka jumlah darah yang diambil harus cukup banyak, 2-5 mL untuk anak-anak dan 1-2 mL untuk bayi dan neonatus (Vandepitte et al., 2010).
3. Resistensi
berakibat letal (kematian). Resistensi dibedakan menjadi resistensi primer, resistensi sekunder dan resistensi episomal (Pratiwi, 2008).
a. Resistensi primer (bawaan)
Resistensi primer merupakan resistensi yang menjadi sifat alami mikroorganisme, dapat disebabkan oleh adanya enzim pengurai antibiotik pada mikroorganisme sehingga dapat menguraikan antibiotik secara alami. Misalnya
Staphylococcus dan bakteri lain yang mempunyai enzim penisilinase yang dapat mengurai penisilin dan sefalosforin.
b. Resistensi sekunder (dapatan)
Resistensi sekunder diperoleh akibat kontak dengan agen antimikroba dalam waktu yang cukup lama dan frekuensi yang tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya mutasi pada mikroorganisme. Terbentuknya mutan yang resisten terhadap antimikroba dapat terjadi secara cepat dan dapat pula terjadi dalam waktu yang lama. Contohnya resistensi bakteri terhadap streptomisin, penisilin dan tetrasiklin.
c. Resistensi episomal
Resistensi yang disebabkan oleh faktor genetik di luar kromosom. Beberapa bakteri memiliki faktor R pada plasmidnya dan dapat menular pada bakteri lain yang memiliki kaitan spesies melalui kontak sel secara konjugasi maupun transduksi. Contohnya Salmonella, Escherichia, Yersinia, Klebsiella, Serratia dan Proteus (Pratiwi, 2008).
E. Keterangan Empiris