SEJARAH DAN PERANAN KAPAL MOTOR PRIBUMI
BAGI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DI ONAN RUNGGU
1942 – 1965
Skripsi
Oleh :
Johannes Andrianto Pakpahan 060706001
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
SEJARAH DAN PERANAN KAPAL MOTOR PRIBUMI
BAGI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DI ONAN RUNGGU
1942 – 1965
Yang Diajukan Oleh :Nama : Johannes Andrianto Pakpahan NIM : 060706001
Telah Disetujui Untuk Diajukan Dalam Ujian Skripsi Oleh : Pembimbing
Dra. Lila Pelita Hati, M.Si Tanggal,
NIP. 196705231992032001
Ketua Departemen
Drs. Edi Sumarno, M.Hum Tanggal,
NIP : 196409221989031001
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
SEJARAH DAN PERANAN KAPAL MOTOR PRIBUMI
BAGI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DI ONAN RUNGGU
1942 – 1965
Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh :
Johannes Andrianto Pakpahan 060706001
Pembimbing
Dra. Lila Pelita Hati, M.Si NIP. 196705231992032001
Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan
Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Lembar Persetujuan Ketua Jurusan
Disetujui Oleh :
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,
Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP : 196409221989031001
Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian
PENGESAHAN :
Diterima Oleh :
Panitian Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Bidang Ilmu Sejarah Pada Fakultas Sastra USU Medan
Pada : Hari : Tanggal :
Fakultas Sastra USU Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP : 195110131976031001
Panitia Ujian :
No. Nama Tanda Tangan
1. ……….. ( ……... )
2. ……….. (……….. )
3. ……….. (………)
4. ……… …………. (………)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis ucapkan.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan sarjana pada Program Studi
Ilmu Sejarah di Universitas Sumatera Utara. Meski didasari hanya untuk memenuhi
kewajiban tugas akhir seorang mahasiswa sejarah, namun perjalanan sejak skripsi
ini muncul pertama kali sebagai ide sampai selesai ditulis merupakan proses yang
sama pentingnya bagi penulis pada saat duduk di dalam ruangan kelas untuk
mengikuti kuliah. Perjalanan ini yang telah memberikan pelajaran bahwa sesuatu itu
menjadi lebih berharga dan berguna jika kita menganggapnya berarti.
Apa yang tertulis di dalam skripsi ini tidak sepenuhnya baik karena tidak ada
karya yang sempurna. Penulis sangat berterima kasih kepada pembimbing dan
penguji skripsi ini. Juga kepada orang-orang yang telah meluangkan waktunya dalam
membantu penulis mengumpulkan data dan memahami apa yang sebenarnya ditulis.
Semoga skripsi ini memberikan manfaat dan menjadi berkah bagi kita semua
Medan, Maret 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan,
meskipun banyak hambatan dan kekurangan.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan
Sarjana Sastra. Penulisan ini juga tidak akan pernah dapat terwujud tanpa bantuan,
kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, inilah saat yang tepat
bagi penulis untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada :
1. Ayahanda dan ibunda, A. Pakpahan dan N. Sirait yang memberi dukungan dan
semangat kepada penulis dalam masa pendidikan baik itu dukungan moril
maupun materil. Dan tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada
adinda-adinda yang juga turut serta membantu penulis selama masa penulisan skripsi ini
dan memberi semangat.
2. Dekan Fakultas Sastra, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk dapat menjalani ujian meja hijau agar
mendapatkan gelar kesarjanaan.
3. Ketua Departemen Sejarah, Bapak Edi Sumarno, M.Hum, yang telah memberikan
banyak bantuan, kemudahan serta pengalaman selama penulis menjalani masa
perkuliahan. Terima kasih juga kepada Sekretaris Departemen Sejarah, Ibu
Nurhabsyah, M.Si. yang terus memacu semangat penulis dalam menyelesaikan
iii
4. Ibu Dra. Lila Pelita Hati, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan masukan ilmu hingga penulisan skripsi ini selesai tepat pada
waktunya. Tanpa kontribusi ibu dan dorongan semangat buat penulis, rasanya
skripsi ini jauh dari kesempurnaan.
5. Seluruh staf pengajar di Departemen, terima kasih penulis ucapkan atas ilmu
pengetahuan yang telah diberikan selama ini semoga nantinya menjadi manfaat
bagi penulis.
6. Kepada para informan yang sudah memberikan keterangan dan penjelasan selama
proses pengumpulan data di lapangan.
7. Kepada Bang Ampera Wira yang banyak membantu penulis selama menjalani
perkuliahan.
8. Terima kasih banyak kepada teman-teman stambuk 2006 di Ilmu Sejarah yang
membantu dan memberi dukungan dan semangat dalam mengerjakan skripsi ini
seperti Kariani, Sancani, Anggi, Friyanti, Eva, Desi, Desmika, Risma, Erliana,
Yudha, Ramlan, Pa’i, Sonang, Hara, Kalvin, Jhondato dan buat sahabat-sahabat
penulis Uci, Derni, Degem, Herry, Ica semoga kalian tidak melupakan
kebersamaan kita selama masa perkuliahan.
9. Kepada Ola Silitonga yang telah memberikan dorongan semangat dan doa
kepada penulis semenjak proses penelitian hingga proses penulisan skripsi ini.
Medan, Maret 2011
ABSTRAK
Onan Runggu adalah sebuah kecamatan di wilayah Samosir. Sebuah wilayah yang berada di tepi Danau Toba. Onan Runggu merupakan salah satu wilayah yang dilirik oleh pihak zending Katholik sebagai tempat penginjilan. Kedatangan zending Katholik merupakan awal perubahan sarana transportasi di Onan Runggu dari transportasi tradisional menjadi transportasi modern.
Hal diatas merupakan ulasan yang akan dibahas oleh penulis dalam tulisan ini. Penulis akan membahas mengenai bagaimana sejarah kapal motor pribumi di Onan Runggu dan bagaimana peranan kapal motor pribumi terhadap kemajuan perekonomian masyarakat Onan Runggu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah kapal motor di Onan Runggu dan menjelaskan peranan kapal motor pribumi terhadap kemajuan perekonomian masyarakat Onan Runggu. Dalam tulisan ini penulis berusaha mendeskripsikan bagaimana sejarah kapal motor pribumi di Onan Runggu serta peranan kapal motor tersebut terhadap perekonomian masyarakat. Tulisan ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dimana penulis mengumpulkan berbagai data dan informasi baik primer maupun sekunder. Metode deskriptif digunakan dalam tulisan ini dimana penulis menceritakan secara kronologis mulai dari masa sebelum adanya kapal motor di Onan Runggu hingga adanya kapal motor milik pribumi.
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
UCAPAN TERIMAKASIH... ii
ABSTRAK ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan dan Manfaat ... 4
1.4 Tinjauan Pustaka ... 5
1.5 Metode Penelitian ... 6
BAB II ONAN RUNGGU ... 8
2.1 Letak Geografis ... 8
2.2 Keadaan Alam dan Penduduk ... 9
BAB III SEJARAH KAPAL MOTOR DI ONAN RUNGGU ... 17
3.1 Masuknya Zeding Katholik ... 17
3.1.1 Fungsi Kapal Motor Zending ... 19
3.1.2 Dibangunnya Pelabuhan Onan Runggu ... 21
3.2 Kapal Motor ... 23
3.2.2 Kapal Motor Pribumi : Pedagang ... 25
3.2.3 Cara Pembuatan Kapal Motor ... 26
3.3 Fungsi Kapal Motor Pribumi ... 28
3.3.1 Sebagai Alat Transportasi ... 29
3.3.2 Alat Transportasi Perdagangan ... 29
3.3.3 Sebagai Pendongkrak Status Sosial ... 31
3.3.4 Trasnportasi Sebagai Keperluan Adat ... 32
3.4 Letak Dan Fungsi Pelabuhan ... 32
3.5 Pola Pelayaran dan Perdagangan ... 34
3.5.1 Rute Perjalanan Kapal ... 35
3.5.2 Tarif Angkutan ... 37
3.6 Kapal Motor Dari Luar Samosir ... 39
BAB IV PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN DI ONAN RUNGGU .... 43
4.1 Kondisi Eonomi Sebelum Adanya Kapal Motor 1933 ... 43
4.1.1 Peranan Perahu ( Solu ) ... 45
4.1.2 Perputaran Ekonomi Yang Lambat ... 46
4.2 Kondisi Ekonomi Sesudah Adanya Kapal Motor 1942 ... 47
4.2.1 Perkembangan Perputaran Ekonomi ... 49
4.2.2 Peningkatan Perekonomian ... 50
4.2.3 Perubahan Pola Pikir Masyarakat ... 52
4.3 Kondisi Ekonomi Masuknya Kapal Motor Dari Luar Samosir 1965 ... 53
4.3.1 Onan Baru ... 54
vii
4.3.3 Cakrawala Pemikiran ... 59
4.3.4 Kepemilikan Barang-Barang Elektronik ... 61
BAB V KESIMPULAN ... 63
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
DAFTAR TABEL
Tabel I Curah Hujan Rata-Rata di Beberapa Daerah di Samosir ... 9
Tabel II Pertumbuhan Penduduk Pulau Samosir Tahun 1930 – 1961 ... 10
Tabel III Jadwal Keberangkatan Kapal Motor Sebelum 1965 ... 35
Tabel IV Tarif Angkutan Kapal Sebelum Tahun 1965 Onan Runggu ... 38
Tabel V Jadwal Keberangkatan Kapal Tahun 1965 ... 40
Tabel VI Tarif Angkutan Kapal Tahun 1965 Onan Runggu ... 41
iv
ABSTRAK
Onan Runggu adalah sebuah kecamatan di wilayah Samosir. Sebuah wilayah yang berada di tepi Danau Toba. Onan Runggu merupakan salah satu wilayah yang dilirik oleh pihak zending Katholik sebagai tempat penginjilan. Kedatangan zending Katholik merupakan awal perubahan sarana transportasi di Onan Runggu dari transportasi tradisional menjadi transportasi modern.
Hal diatas merupakan ulasan yang akan dibahas oleh penulis dalam tulisan ini. Penulis akan membahas mengenai bagaimana sejarah kapal motor pribumi di Onan Runggu dan bagaimana peranan kapal motor pribumi terhadap kemajuan perekonomian masyarakat Onan Runggu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah kapal motor di Onan Runggu dan menjelaskan peranan kapal motor pribumi terhadap kemajuan perekonomian masyarakat Onan Runggu. Dalam tulisan ini penulis berusaha mendeskripsikan bagaimana sejarah kapal motor pribumi di Onan Runggu serta peranan kapal motor tersebut terhadap perekonomian masyarakat. Tulisan ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dimana penulis mengumpulkan berbagai data dan informasi baik primer maupun sekunder. Metode deskriptif digunakan dalam tulisan ini dimana penulis menceritakan secara kronologis mulai dari masa sebelum adanya kapal motor di Onan Runggu hingga adanya kapal motor milik pribumi.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan suatu wilayah tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
transportasi.1 Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat transportasi memiliki peran
yang penting dalam mobilitas penduduk di suatu wilayah. Transportasi merupakan
suatu alat pemindah barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.
Sedangkan perjalanan adalah pergerakan orang dan barang antara dua tempat
kegiatan yang terpisah untuk melakukan kegiatan perorangan atau kelompok dalam
masyarakat.2 Perjalanan dilakukan melalui suatu lintasan tertentu yang
menghubungkan asal dan tujuan, menggunakan alat angkut atau kendaraan dengan
kecepatan tertentu. Jadi perjalanan adalah proses perpindahan dari satu tempat ke
tempat yang lain. Bentuk transportasi yang banyak mendukung hal tersebut antara
lain adalah kapal sebagai transportasi air yang terus berkembang pada dewasa ini.
Perlu diketahui bahwa transportasi melalui air telah ada jauh sebelum adanya
transportasi darat.3
Demikian pula bagi masyarakat Onan Runggu. Di daerah tersebut kapal
menjadi salah satu bentuk transportasi yang paling dominan, dalam hal ini kapal
1
Sution Usman Adji dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Jakarta: PT Rinka Cipta, 1991, hlm. 65
2
M. Nur Nasution, Manajemen Transportasi, Jakarta: GHALIA INDONESIA, 2004, hlm. 14
3
2
motor. Kapal motor telah menjadi kebutuhan penting dalam perekonomian
masyarakat di Onan Runggu.
Sebelum tahun 1930-an di daerah Onan Runggu belum ada kapal motor, sarana
transportasi yang digunakan masyarakat Onan Runggu adalah perahu (solu). Perahu
tersebut digunakan oleh masyarakat untuk mengangkut hasil bumi keluar daerah
Onan Runggu. Kapal motor masuk ke daerah Samosir pada tahun 1933 oleh Pastoran
pada masa Zending Katholik yang berlabuh di Desa Silaban Kecamatan Palipi
Kabupaten Tapanuli Utara.4
Kapal motor pertama yang ada adalah kapal motor Pastoran (1933) yaitu kapal
motor yang membawa pastor Pater Sybrandus dari Balige ke Samosir. Setelah inilah
kemudian di tahun 1942 raja-raja Samosir akhirnya memiliki kapal motor yang
digunakan untuk kelancaran ekonomi masyarakat. Hal ini di sebabkan oleh kapal
pastoran yang digunakan oleh masyarakat sebagai alat angkutan tidak dapat lagi
mengangkut pedagang yang semakin banyak. Kapal motor ini digunakan untuk
mengangkut barang-barang hasil pertanian ke daerah Balige, Tiga Raja, Ajibata dan
Porsea. Nama-nama kapal motor tersebut antara lain Kapal Nainggolan I, Kapal Tani,
dan Baho Raja yang rutin berangkat 2x1 minggu untuk mengangkut penduduk yang Kapal motor tersebut digunakan juga oleh Pastoran
untuk membantu masyarakat sebagai alat angkutan manusia dan barang-barang hasil
bumi. Keadaan ini dilihat raja-raja daerah Samosir sebagai peluang ekonomi yang
memiliki potensi cukup besar. Hal ini pula yang menjadi alasan bagi raja-raja daerah
Samosir untuk menjadikan kapal motor sebagai salah satu alat angkutan.
4
ingin berbelanja dan yang akan menjual hasil buminya ke pekan (onan), serta
barang-barang yang rutin harus keluar dari Pulau Samosir seperti bawang, pisang, padi, dan
lainnya.5
Uraian di atas merupakan alasan penulis sehingga tertarik untuk meneliti peran
transportasi kapal motor sebagai pendorong perkembangan ekonomi pada masyarakat
Onan Runggu. Di sini penulis memberi batasan waktu penelitian antara tahun 1942
sampai dengan tahun 1965. Tahun 1942 dipilih dengan alasan pada tahun tersebut
merupakan tahun di mana untuk pertama kalinya raja sebagai penduduk pribumi di
daerah Onan Runggu memiliki kapal motor. Sedangkan tahun 1965 dipilih sebagai
waktu akhir penelitian karena pada tahun ini merupakan awal masuknya kapal motor
lain dari luar daerah Samosir seperti Tiga Raja, Parapat, Porsea dan Balige yang
berakibat pada semakin meningkatnya kuantitas kapal motor di Onan Runggu.
Dengan demikian penulis hanya akan membahas peranan kapal motor bagi
perekonomian masyarakat di Onan Runggu pada saat sarana transportasi ini masih
didominasi oleh penduduk daerah Samosir.
Hal inilah yang menjadi pemicu utama akan kebutuhan transportasi di Onan
Runggu.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam melakukan sebuah penelitian, rumusan masalah menjadi landasan dari
topik yang dibahas. Hal inilah yang nantinya akan diungkapkan dalam
pembahasannya. Rumusan masalah dianggap penting karena di dalamnya terdapat
konsep yang akan dibawa dalam penelitian dan menjadi alur dalam penulisan.
5
4
Adapun permasalahan dalam tulisan yang berjudul “SEJARAH DAN
PERANAN KAPAL MOTOR PRIBUMI BAGI PEREKONOMIAN
MASYARAKAT ONAN RUNGGU 1942-1965” adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah kapal motor pribumi di Onan Runggu?
2. Bagaimanakah peranan kapal motor pribumi terhadap kemajuan perekonomian
masyarakat Onan Runggu?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Setelah mengetahui apa yang menjadi pokok permasalahan yang akan
dikembangkan oleh penulis, maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah apa
yang menjadi tujuan penulis dalam melakukan penulisan ini serta manfaat apa yang
dapat dipetik. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui sejarah kapal motor pribumi di Onan Runggu.
2. Menjelaskan peranan kapal motor pribumi terhadap kemajuan perekonomian
masyarakat Onan Runggu.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi masyarakat Samosir khususnya masyarakat Onan Runggu, semoga ke
depannya dapat lebih meningkatkan pengetahuan sejarah tentang kapal motor
pertama yang ada di daerah tersebut.
2. Dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain yang ingin meneliti tentang
1.4 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dimaksudkan untuk mendapatkan buku-buku ataupun
dokumen dan sebagainya yang paling relevan dengan objek penelitian sebagai
sumber informasi ataupun sebagai acuan dan perbandingan dalam permasalahan yang
dikaji dalam penelitian ini.
Sutrisno Eddy dalam bukunya Kisah-kisah Penemuan Sepanjang Jaman
Transportasi yang menguraikan tentang sejarah penemuan transportasi dari jaman ke
jaman. Buku ini membantu penulis untuk melihat perkembangan dari perahu (solu)
ke kapal motor di Onan Runggu.
Panitia Pesta Yubelium 75 Gereja Khatolik di Tanah Batak yang menulis
Matahari Terbit di Tanah Batak. Buku ini berisikan tentang sejarah Khatolik di Pulau
Samosir yang melibatkan pelayaran pertama di Pulau Samosir dengan kapal motor,
dan menjadi titik awal adanya kapal motor di Onan Runggu.
Sution Usman Adji dkk dengan bukunya Hukum Pengangkutan Di Indonesia
yang berisikan tentang hukum-hukum pengangkutan di Indonesia, ruang lingkup
pengangkutan mulai dari pengangkutan udara, pengangkutan perairan darat,
pengangkutan kendaraan bermotor dan kereta api, pengangkutan laut, perjanjian
pengangkutan, dan asuransi pengangkutan di Indonesia. Buku ini bermanfaat bagi
penulis sebab di dalam buku ini diuraikan aturan perjalanan trip kapal yang menjadi
6
1.5 Metode Penelitian
Dalam penulisan sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah sangatlah
penting. Penulisan ilmiah yang memenuhi syarat adalah penulisan yang didukung
oleh sumber maupun informasi yang dapat dipertanggungjawabkan serta harus
relefan dengan pokok permasalahan yang akan ditulis.
Untuk memperoleh sumber bagi penulisan ini maka langkah awal yang penulis
lakukan adalah:
1. Heuristik yaitu mengumpulkan data atau sumber melalui studi kepustakaan
(library research) dan studi lapangan (field research). Studi kepustakaan
dilakukan melalui membaca sejumlah literatur yang ada kaitannya dengan
penelitian ini. Sehingga didapat informasi yang diperlukan dalam penulisan.
Penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara antara lain ditujukan kepada
para keturunan pemilik kapal motor di Onan Runggu dan beberapa masyarakat di
Onan Runggu yang pernah menggunakan kapal motor tersebut.
2. Kritik Sumber yang berfungsi untuk mengusahakan peneliti agar lebih dekat
dengan nilai kebenaran dan keaslian sumber. Kritik sumber dibagi dalam dua hal
yaitu kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal yaitu menelaah tentang
kebenaran isi atau fakta dari sumber baik sumber tersebut dari buku, artikel, serta
wawancara lisan dengan narasumber. Kritik eksternal dilakukan dengan cara
pengujian untuk menentukan keaslian sumber baik dari buku maupun
wawancara. Sangatlah penting untuk melakukan kritik eksternal demi menjaga
3. Interpretasi yaitu tahap di mana peneliti mencoba menafsirkan data yang objektif.
Dalam hal ini adalah interpretasi dari hasil pengumpulan sumber yaitu kritik
tentang objek kajian peneliti tentang sejarah kapal motor di Onan Runggu.
Interpretasi ini diharapkan dapat menjadi data sementara sebelum peneliti
menuangkannya ke dalam sebuah tulisan.
4. Historiografi yaitu tahapan akhir dari penelitian atau dapat juga dikatakan
sebagai penulisan akhir. Dengan hasil akhir dari suatu penulisan yang diperoleh
dari fakta-fakta yang dilakukan secara sistematis dan kronologis untuk
menghasilkan tulisan sejarah yang ilmiah dan objektif. Historiografi ini
merupakan hasil dari pengumpulan sumber, kritik (baik kritik internal maupun
8
BAB II
ONAN RUNGGU
2.1 Letak Geografis
Onan Runggu adalah satu wilayah di Kabupaten Samosir yang terletak diantara
2o 26’ – 2o 33’ LU dan 98o 54’ – 99o 01’ BT dengan ketinggian 904 – 1.355 meter di
atas permukaan laut. Wilayah Onan Runggu memiliki luas sekitar 60,89 Km2
sedangkan batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara : Kecamatan Simanindo.
2. Sebelah Selatan : Danau Toba.
3. Sebelah Barat : Kecamatan Nainggolan.
4. Sebelah Timur : Danau Toba.11
Daerah Onan Runggu adalah daerah dengan kondisi tanah yang lebih
menguntungkan dibanding dengan kecamatan tetangganya seperti Simanindo,
Pangururan dan daerah Palipi. Hal ini dipengaruhi oleh lebih banyaknya curah hujan
dalam satu tahunnya. Selain itu lahan pertanian yang ada jumlahnya juga lebih
banyak di daerah tersebut sebab Kecamatan Onan Runggu merupakan daerah yang
landai sehingga sangat mudah untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
11 Pemda Tingkat II Tapanuli Utara Kantor Sensus dan Statistik Tarutung, Onan Runggu Dalam
TABEL I
Curah Hujan Rata-Rata Di Beberapa Daerah Di Samosir
No. Tempat Observasi Angka Tahun
Rata-rata Jumlah Hari
Hujan
Rata-rata Jumlah Curah
Hujan
1. Onan Runggu 1921 – 1941 116,8 1.914
2. Pangururan 1908 – 1941 109,9 1.500
3. Ambarita 1918 – 1941 103,3 1.747
4. Palipi 1921 – 1941 132,5 1.770
Sumber: OHS Purba, 1998 : 46
Dari hasil pemantauan beberapa stasiun pencatat hujan ternyata curah hujan di
Samosir bervariasi dari bulan ke bulan. Pada umumnya curah hujan terkecil jatuh
pada bulan Juni-Juli dan terbesar jatuh pada Oktober, November dan Desember.
Jumlah curah hujan bervariasi dari 1500 mm sampai 3000 mm per tahun dan hari
hujan rata-rata antara 100 hari sampai 200 hari per tahun. Jumlah curah hujan
terendah terdapat di daerah Pangururan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1 di
atas.
2.2 Keadaan Alam dan Penduduk
Lahan yang terdapat di Kecamatan Onan Runggu adalah 300 ha dimanfaatkan
10
lainnya. Lahan lainnya yang dimaksudkan adalah berupa pemukiman penduduk dan
lahan kosong yang masih belum dimanfaatkan oleh masyarakat.12
TABEL II
Pertumbuhan Penduduk Pulau Samosir Tahun 1930 – 1961
No Kecamatan 1930 1961
Sumber: Pemda Tk II Tapanuli Utara, Tapanuli Utara Dalam Angka 1980, Tarutung: Kantor Statistik Kabupaten Tapanuli Utara, hlm 24.
Jumlah penduduk Onan Runggu seperti yang ditunjukkan dalam tebel di atas
adalah 21.284 jiwa pada tahun 1930 dan 25.130 jiwa pada tahun 1961. Pertumbu
nhan julah penduduk di Onan Runggu memang tidak begitu tinggi jumlahnya hanya
0.54, namun jumlah ini tergolong lebih tinggi dibanding dengan daerah sekitar Onan
Runggu seperti Palipi dan juga Simanindo.
Masyarakat Samosir khususnya Onan Runggu pada periode pra-kolonial
merupakan kelompok terpencil. Alamnya merupakan daerah perbukitan tanpa jalan
keluar. Keadaan ini tentu saja membuat masyarakat Onan Runggu menjadi terisolasi.
Menurut beberapa ahli antropologi dan sosiologi, latar belakang daerah ini
menyebabkan masyarakat setempat tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar,
12 Ketut Wiradnyana dan Lucas Partanda Koestoro, Berita Penelitian Arkeologi, Medan: Dok.
bersifat eksklusif dan berjiwa keras, serta berjiwa independen. Mereka sesungguhnya
cenderung bersifat heterogen dibanding homogen. Hal ini terlihat dari ragam kesatuan
yang dimiliki oleh penduduk setempat, mulai dari banyaknya marga sampai dengan
pemisahan huta. Akibatnya antara satu huta dengan huta lain akan merasa berbeda,
misalnya huta Sosor Pasir akan menganggap lain huta Sitinjak, dan huta Sipira akan
menganggap lain huta Nainggolan walaupun hanya berjarak ratusan meter.
Ditambah lagi pada masa itu belum adanya suatu kesatuan ataupun rasa
persatuan seperti yang ada setelah masa kemerdekaan. Sehingga mereka beranggapan
orang-orang yang berada di luar wilayah mereka adalah orang lain ataupun kelompok
lain yang benar-benar berbeda dengan mereka, hanya bahasa saja yang sama yaitu
bahasa Batak.
Setiap huta mempuyai raja huta. Setiap huta ditandai dengan satu marga
pemilik huta, yang pada akhirnya menciptakan sifat harga diri yang tinggi sebagai
keturunan raja. Dari aspek sosiologis setiap huta biasanya tidak mempunyai
hubungan yang dekat karena ketertutupan lingkungan serta ketiadaan jalan yang
memadai antar huta. Hal inilah yang turut menciptakan keeksklusifan tersendiri bagi
penduduk setempat. Alhasil muncullah istilah yang sampai saat ini dikenal dengan
sebutan raja-raja Toba. Walaupun satu desa dengan desa lain saling berdekatan,
bahkan hanya berjarak hanya puluhan meter, tidak jarang antar kampung (huta)
terjadi konflik yang bahkan menjadi konflik turun temurun.
Dalam kampung masyarakat Toba di Samosir khususnya Onan Runggu,
mempunyai ciri yang sama dalam membangun sebuah kampung atau huta yaitu
rumpun-12
rumpun bambu yang ditanam secara berbaris sesuai dengan batas tanah marga atau
huta. Pagar-pagar ini selain berfungsi sebagai pembatas antar huta juga berfungsi
sebagai benteng pertahanan dari musuh-musuh. Masa sebelum datangnya peradaban
Barat ke tanah Toba masyarakat selalu berkonflik merebut tanah untuk perluasan
kampung, areal pertanian maupun hanya untuk memperluas wilayah kekuasaan raja.
Dalam kebudayaan Toba kuno daerah siapa yang kuat maka merekalah yang berkuasa
atas tanah tersebut. Hal ini merupakan bagian dari sebuah perilaku primus interparis.
Namun setelah pengaruh zending masuk ke daerah Samosir, konflik tersebut
berangsur-angsur mereda.
Daerah Onan Runggu merupakan daerah yang sangat berbeda dengan desa-desa
tetangganya. Daerah Onan Runggu merupakan daerah yang memiliki banyak mata air
sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Pada awalnya bentuk
pertanian di daerah ini adalah bersawah. Hal ini karena didukung oleh aliran sungai
yang bemuara ke danau sehingga aliran sungai tersebut dapat digunakan sebagai
irigasi. Lambat laun pengetahuan masyarakat semakin bertambah dan lahan pertanian
juga dimanfaatkan untuk menanam jenis tanaman lain seperti bawang, kacang,
pisang, dan cabai.
Selain sektor pertanian usaha yang banyak dijumpai dalam masyarakat Onan
Runggu yaitu menenun ulos dan menganyam tikar. Kedua hal ini dilakukan oleh
ibu-ibu disela-sela waktu sebelum panen atau baru menanam padi. Kegiatan tersebut
tidak dilakukan di dalam rumah masing-masing melainkan di sebuah tempat yang
sudah disediakan dan biasanya posisi bangunan tersebut ada di tengah-tengah
Bangunan ini tidak memakai dinding ataupun penyekat sehingga sangat terbuka dan
sejuk yang dalam bahasa Toba disebut partukkoan. Kegiatan ini dilakukan hingga
menjelang malam hari di mana mereka hanya diterangi lampu-lampu yang bentuknya
seperti obor.
Selain sebagai kegiatan ibu-ibu rumah tangga, kegiatan ini juga berfungsi untuk
pengajaran bagi anak-anak perempuan sehingga ilmu menganyam dan menenun dapat
diajarkan secara turun temurun. Ini merupakan bentuk pendidikan tradisional dalam
masyarakat Toba yaitu dengan cara terjun langsung dalam praktek. Sedangkan untuk
anak laki-laki, pengajaran untuk mereka lebih condong terhadap hal-hal yang lebih
keras seperti mengolah lahan pertanian untuk nafkah sehari-hari sehingga konsep
untuk anak laki-laki lebih tergambar sebagai tulang punggung keluarga. Masyarakat
Onan Runggu menggunakan ulos yang ditenun sebagai pelapis tubuh atau pakaian,
sedangkan tikar tersebut selain digunakan untuk keperluan rumah tangga juga untuk
dijual dipekan mingguan untuk menambah pendapatan mereka.
Masyarakat Onan Runggu juga dikenal dengan ternaknya seperti kerbau, babi
dan ayam. Kegiatan memelihara kerbau merupakan kegiatan yang sangat mudah
dilakoni sebab kerbau-kerbau tersebut dapat dilepaskan di ladang-ladang rumput yang
banyak terdapat di Onan Runggu. Kegiatan menggembala kerbau ini disebut
marmahan sehingga pada siang hari ladang rumput tersebut akan dipenuhi
kerbau-kerbau yang merumput. Sebenarnya usaha peternakan kerbau-kerbau sudah ada sejak lama
sehingga terkadang kita dapat menemui kandang-kandang besar yang dimanfaatkan
14
Ternak seperti babi dan ayam merupakan ternak rumahan yang harus diurus di
pekarangan belakang rumah sehingga tidak dapat dilepas seperti halnya kerbau.
Kerbau dan babi merupakan ternak wajib yang harus dimiliki oleh setiap keluarga
karena ternak ini sangat penting dalam upacara adat istiadat dan merupakan tabungan
keluarga yang dapat dipergunakan untuk hal-hal yang mendesak seperti untuk
perobatan keluarga. Tidak jarang juga ternak-ternak masyarakat dijual untuk
menambah pendapatan keluarga.
Tentang sistem religi penduduknya, masih terdapat berbagai macam
kepercayaan. Para missionaris Eropa telah melakukan penginjilan sebelum abad
ke-20 akan tetapi tidaklah sepenuhnya berhasil. Para penduduk yang berdiam di
pedalaman masih banyak menganut kepercayaan Batak Toba tua. Di samping
kepercayaan kuno animisme dan dinamisme, dalam masyarakat Toba terdapat juga
kepercayaan parbaringin dan parmalim.
Kepercayaan parbaringin merupakan milik kelompok tertentu. Kelompok ini
merupakan pimpinan suatu upacara pada pesta bius yang bersifat sakral. Bius itu
sendiri hanyalah suatu daerah geografis baik yang besar maupun yang kecil, serta
semua penghuninya. Hal ini berawal dari pembagian Harajaon Batak bagi Raja
Marempat. Akibat pembagian ini raja-raja daerah tidak memiliki hak mutlak di
daerahnya dan wilayah Raja Marempat yang kecil itulah yang disebut bius. Bius juga
dapat diartikan sebagai suatu wilayah pemerintahan yang bersatu dengan agama dan
adat.13
13 J.C Vergowen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Yogyakarta: LKiS, 1986, hlm. 82
Tidak semua anggota masyarakat dapat menjadi kelompok parbaringin.
bius. Mereka merupakan utusan dari tiap-tiap horja yang termasuk dalam kelompok bius.
Kepercayaan lain yang dianut oleh penduduk Onan Runggu dan cukup
berpengaruh adalah Parmalim. Parmalim atau kepercayaan ugamo malim adalah
kepercayaan yang dianut oleh para leluhur suku Batak. Parmalim merupakan
identitas pribadi, sementara kelembagaannya disebut ugamo malim. Parmalim
meyakini Debata Mulajadi Nabolon sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Nabi di
parmalim disebut Nabi Ugamo Malim yaitu Sisingamangaraja.14
Selain kepercayaan tersebut di atas, pengaruh zending Kristen menyebabkan
timbulnya agama baru. Lahirnya agama Kristen Protestan merupakan salah satu
pengaruhnya. Belakangan Missionaris Katholik mengadakan penginjilan di daerah
Toba pada tahun 1933 dan ini melahirkan agama Kristen Katholik. Agama Kristen
Katholik inilah yang kemudian memberikan dampak yang cukup berarti bagi
masyarakat Onan Runggu. Baik dalam bidang sosial kemasyarakatan ataupun dalam
bidang perekonomian.
Kedatangan agama Kristen memberikan dampak yang cukup baik terhadap
perkembangan pola pikir masyarakat. Bagaimanapun agama Kristen yang dibawa
oleh bangsa Barat ke daerah Samosir tidak hanya sekedar menyebarkan agama
Kristen itu sendiri yang dalam hal ini adalah Kristen Katholik. Penginjilan yang
dilakukan oleh para missionaris Kristen Katholik secara tidak langsung melahirkan
proses perubahan dari konsep pemikiran tradisional menjadi modern. Transportasi air
yang selama ini menjadi faktor penting penunjang perekonomian masyarakat di
16
daerah Samosir benar-benar mengalami perubahan besar semenjak digunakannya
kapal motor oleh para missionaris Kristen Katholik dalam melakukan penginjilan.
Sebenarnya cukup banyak aspek yang berubah semenjak digunakannya kapal motor
di daerah Samosir. Perubahan yang terjadi mungkin porsinya lebih terlihat di bidang
ekonomi. Namun yang ingin penulis bahas dalam tulisan ini adalah perubahan
dibidang ekonomi sebab yang terlihat nyata perubahannya dalam mayarakat Onan
BAB III
SEJARAH KAPAL MOTOR DI ONAN RUNGGU
3.1 Masuknya Zending Katholik
Sebelum zending Katholik masuk ke daerah Samosir, zending Protestan sudah
lebih dahulu menancapkan kaki di daerah Samosir pada awal 1861.17 Latar belakang
Katholik datang ke daerah Samosir dikarenakan orang Batak yang ada di perantauan
seperti daerah Sumatra Timur dan Medan telah banyak yang berbaur dengan para
zending Katholik sehingga mereka meminta zending Katholik untuk menyebarkan
agama di daerah Samosir. Pada awalnya pihak Katholik tidak begitu antusias dengan
usul para jemaat Katholik yang ada di perantauan karena menganggap masyarakat
Toba karakternya sangat keras dan sulit untuk diarahkan, yang antusias dengan
usulan tersebut adalah Pastor Wenneker S.J..18
Tantangan lain juga ada yaitu dari pihak kolonial. Pemerintah kolonial melarang
misi Katholik masuk ke daerah Samosir dengan alasan akan terjadi perselisihan
dengan zending Protestan yang sudah lebih dahulu menyebarkan agama di Samosir.
Kemudian pimpinan zending Katholik yang ada di Medan pada saat itu melaporkan Beliau melihat bahwa kontak dengan
orang Toba merupakan tantangan bagi para zending. Setelah jemaat Toba yang
Katholik berkomunikasi dengan Uskup Medan agar pelayanan sampai ke daerah
Samosir maka dengan perintah Uskup, pihak zending juga setuju akan usul
masyarakat Toba yang ada di perantauan tersebut.
17 Panitia Pesta Yubelium 75 Tahun Gereja Katholik di Tanah Batak, Matahari Terbit di Tanah
Batak, Balige: Tanpa Penerbit, 2009, hlm. 2
18
hal tersebut kepada Keuskupan pusat di Roma. Kemudian Uskup berunding dengan
pihak kolonial sehingga misi tersebut diizinkan.
Maka dengan berbagai pertimbangan dan surat izin dari pihak kolonial diutuslah
salah satu pastor sebagai perwakilan untuk tanah Batak yaitu Pastor Pater Sybrandus
dari perwakilan zending yang ada di Medan. Sebelum menyeberang ke Samosir
Pastor Pater ini tinggal di Balige sebagai persinggahan sementara sebelum berangkat
ke daerah Samosir tahun 1933.19
Ketika tiba hari keberangkatan Pastor Pater Sybrandus ke Samosir, pemerintah
kolonial yang ada di Balige juga hampir menggagalkan rencana tersebut. Hal ini
terjadi karena kurangnya koordinasi dengan pihak kolonial yang ada di Medan.
Alasan pemerintah kolonial yang ada di Balige yaitu larangan adanya zending ganda
dalam satu wilayah. Mereka menganggap bahwa akan terjadi perpecahan antara
zending Protestan yang sudah lebih dahulu tiba di sana. Dengan kesepakatan tidak
akan terjadi perpecahan dan tidak akan ada bentuk propaganda dalam menjalankan
misi penginjilan, maka pihak kolonial mengizinkan Pastor Pater berangkat dari Balige dipilih sebagai tempat persinggahan
sementara sebelum berangkat ke Samosir karena di daerah Balige sudah berdiri
perwakilan Katholik. Dari Balige inilah kemudian semua rencana mengenai proses
penginjilan ke wilayah Samosir di bahas. Balige dapat juga dikatakan sebagai pintu
masuk ke wilayah Samosir, tempat yang terdekat dengan Samosir.
Balige dengan sebuah kapal motor dan tiba di Kecamatan Palipi Desa Silaban
Kabupaten Tapanuli Utara.20
3.1.1Fungsi Kapal Motor Zending
Sebelum kapal motor digunakan oleh zending Katholik, sarana transportasi
yang digunakan oleh zending untuk melaksanakan misi pekabaran injilnya adalah
dengan menggunakan solu dan berjalan kaki. Memang sejak awal mereka bisa saja
langsung menggunakan kapal motor sebagai sarana transportasi namun hal tersebut
tidak dilakukan. Mereka lebih memilih cara yang dilakukan oleh zending Protestan di
mana mereka menggunakan solu sebagai sarana transportasi. Sarana yang juga
digunakan masyarakat setempat untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain. Pihak
zending Katholik menganggap cara tersebut cukup berhasil untuk mendekati
masyarakat setempat. Di samping itu orang-orang Batak di Samosir kurang menerima
pengaruh bangsa Barat selain dari apa yang sudah dilakukan oleh zending Protestan
yang memang sudah lebih dahulu masuk ke kalangan masyarakat Batak di Samosir
khususnya Onan Runggu.
Cara yang dilakukan zending Katholik tersebut dianggap kurang efektif dalam
menarik perhatian masyarakat. Keadaan yang demikian dinilai oleh Pastor Pater
sebagai kendala. Sebab walaupun zending Protestan tidak mempunyai sarana
transportasi yang memadai, keberadaan mereka yang sudah terlebih dahulu
20 Wawancara dengan Roy Gultom, Kepala Perpustakaan Paroki St. Paulus Onan Runggu,
20
menginjakkan kaki di tanah Toba sudah mendapat tempat di hati masyarakat sehingga
hal tersebut tidak menjadi kendala bagi zending Protestan dalam penginjilan mereka.
Oleh sebab itu kapal motor digunakan sebagai sarana pendukung pekabaran
injil, karena dinilai dapat menjadi salah satu penarik bagi masyarakat. Dengan izin
kepala Keuskupan Medan maka kapal motor tersebut mulai digunakan untuk
kepentingan pekabaran injil.
Dalam melaksanakan misinya Pastor Pater sudah mendapat kemudahan untuk
pekabaran injil melalui sarana transportasi tersebut yang diperuntukkan sebagai alat
mengunjungi penduduk untuk menjalankan misinya sebagai zending. Setelah
beberapa bulan beliau sudah semakin dekat dengan maasyarakat dan kehadirannya
sudah mulai dapat diterima oleh masyarakat.
Dalam perjalanannya mengunjungi penduduk beliau sering dimintai tolong oleh
masyarakat untuk ikut menyeberang ke kampung lain atau membawa barang-barang
hasil bumi dengan kapal motornya.21
Kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang dinilai belum tercapai oleh kehadiran
zending Protestan dapat diwujudkan dengan kontak komunikasi yang berlangsung Seiring berjalannya waktu kapal motor pastoran
ini selain digunakan oleh pastoran sebagai sarana transportasi di Onan Runggu juga
sebagai cara untuk menarik hati masyarakat sebab selama di perjalanan di dalam
kapal terjadi kontak komunikasi dengan penduduk. Hal ini menurut Pater lebih
efisien dalam menjalankan misinya. Dengan adanya kontak komunikasi tersebut,
pihak zending dapat membaur dengan masyarakat sehingga mereka dapat diterima
dengan tangan terbuka oleh masyarakat.
dalam kapal motor tersebut, seperti kebutuhan pendidikan yang menurut masyarakat
masih kurang memadai. Komunikasi seperti inilah yang terjadi dengan setiap
masyarakat pribumi yang menaiki kapal motor zending sehingga keberadaan kapal
motor tersebut sangat berharga bagi Pastor Pater untuk mempermudah tugas beliau.
Dalam jangka waktu yang tidak lama zending Katholik mendirikan pusat
kesehatan yang terbuka bagi kalangan masyarakat, sehingga masyarakat lebih
antusias untuk mengenal Katholik lebih dekat. Walaupun zending Protestan yang
sudah lebih dahulu memperkenalkan diri dengan menyediakan berbagai fasilitas
untuk masyarakat seperti pendidikan dan sarana kesehatan ternyata tidak menjadi
ukuran bagi masyarakat Onan Runggu. Hal tersebut disebabkan adanya sifat
masyarakat yang ingin lebih mengenal hal baru sehingga sarana kesehatan yang
ditawarkan oleh Katholik lambat laun semakin diterima oleh masyarakat.
3.1.2Dibangunnya Pelabuhan Onan Runggu
Semakin seringnya masyarakat memakai kapal pastoran sebagai alat
pengangkutan maka pihak pastoran kemudian membangun pelabuhan untuk dermaga
kapal dan sekaligus berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat yang ingin
memakai kapal tersebut. Selain itu dermaga juga berfungsi untuk menerima para
tamu zending yang datang berkunjung dengan menggunakan kapal. Lambat laun
fungsi pelabuhan semakin bertambah yaitu sebagai pekan (onan) sehingga perputaran
ekonomi masyarakat Onan Runggu terpusat di pelabuhan Onan Runggu 1934.22
22 Wawancara dengan Roy Gultom, Kepala Perpustakaan Paroki St. Paulus Onan Runggu,
Tanggal 18 Juli 2010
22
Mengenai pembangunan pelabuhan ini juga tidak terlepas dari peran seorang
Raja huta bermarga Samosir. Pada awalnya letak kapal bertambat bisa dikatakan
sangat dekat dengan tempat zending Katholik bermukim, tepatnya di belakang
bangunan pusat kesehatan milik zending Katholik.23
Pada waktu itu memang belum dibangun pelabuhan. Sementara niat untuk
membangun pelabuhan memang sudah ada dari pihak zending Katholik. Namun
mereka belum menemukan lahan untuk mendirikan pelabuhan. Hingga kemudian
seorang Raja huta bermarga Samosir mengusulkan dan mengizinkan sebuah lahan
yang berjarak ± 50 meter dari tempat pihak zending biasa menambatkan kapal. Lahan
tersebut merupakan tanah ulayat milik marga Samosir, Gultom dan Harianja.
Setelah mendapatkan lahan tersebut, maka pihak zending Katholik mulai
mendirikan bangunan pada tahun 1934 untuk pelabuhan yang terdiri dari rangka besi
yang dibawa dari Balige.24
Keadaan ini sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh kapal motor pastoran yang
menggunakan lahan di tempat yang strategis sehingga sangat mudah dijangkau oleh
masyarakat. Dengan keberadaan pelabuhan tersebut, masyarakat di sekitar pelabuhan
semakin sering berkomunikasi satu sama lain sehingga terjadi sebuah perilaku
ekonomi di dalam areal pelabuhan tersebut.
Lambat laun pelabuhan ini juga berkembang sebagai
tempat kegiatan ekonomi pada masyarakat Onan Runggu.
23 Wawancara dengan Roy Gultom, Kepala Perpustakaan Paroki St. Paulus Onan Runggu,
Tanggal 18 Juli 2010
24 Wawancara dengan Roy Gultom, Kepala Perpustakaan Paroki St. Paulus Onan Runggu,
3.2 Kapal Motor
Pada awalnya kapal motor yang ada di Onan Runggu merupakan kapal motor
milik zending Katholik. Merekalah yang pertama kali memiliki kapal motor di Onan
Runggu. Lambat laun setelah beberapa waktu, raja-raja kampung di Kecamatan Onan
Runggu mulai tertarik untuk memiliki kapal motor sendiri yang akan digunakan
untuk mengangkut hasil pertanian keluar dari Samosir untuk dipasarkan.
Kapal motor yang dimiliki oleh pihak zending Katholik merupakan kapal motor
yang terbuat dari besi. Sebuah kapal yang memiliki mesin yang dijadikan sebagai
pendorong yang memutar baling-baling yang diletakkan pada bagian bawah buritan
kapal. Kapal motor yang dimiliki orang Batak pada masa itu merupakan kapal motor
yang terbuat dari kayu. Namun demikian mesin yang digunakan sebagai alat
pendorongnya sama seperti kapal milik pastoran. Hanya bahan dan bentuk kapal saja
yang berbeda. Bentuk kapal motor milik orang Batak dirancang khusus untuk
mengangkut penumpang dan juga barang-barang berupa hasil pertanian. Sementara
kapal motor pastoran lebih diperuntukkan sebagai kapal pribadi, bukan untuk
angkutan umum. Tetapi dalam perjalanannya kapal pastoran ini juga ada kalanya
mengangkut penumpang umum.
Keberadaan kapal motor merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan bagi
masyarakat Samosir khususnya Onan Runggu. Mereka sangat diuntungkan dalam hal
waktu tempuh dari satu tempat ke tempat lain. Kapal motor inilah yang kemudian
menggantikan posisi solu sebagai alat transportasi masyarakat khususnya dalam
24
masyarakat masih tetap menggunakan solu tetapi tidak seperti dulu lagi yaitu sebagai
transportasi perdagangan.
3.2.1Kapal Motor Raja
Kapal motor milik bangsa pribumi pertama kali ada di Onan Runggu yaitu pada
tahun 1942 oleh Raja Pandua Nainggolan. Beliau adalah Raja huta dari Desa
Nainggolan yang termasuk mempunyai hubungan baik dengan pihak zending dan
kolonial karena beliau merupakan pimpinan nagari yang dipilih oleh pihak kolonial
di nagari Nainggolan.
Selain sebagai seorang raja, Raja Pandua Nainggolan juga merupakan seorang
pedagang atau oleh orang Toba disebut tokke. Raja Pandua disebut tokke dikalangan
masyarakat Onan Runggu karena beliau juga bergelut dalam bidang perdagangan
ataupun sebagai pedagang. Selain memasarkan hasil pertanian sendiri beliau juga
menjalankan peran sebagai pengumpul hasil pertanian masyarakat.
Ketertarikan Raja Pandua Nainggolan memiliki kapal motor diawali dengan
melonjaknya hasil panen dari bawang dan kacang tanah pada masa itu. Pemasaran
saat itu sangat sulit karena masih menggunakan solu sehingga tidak jarang petani
mengalami kerugian hasil panen. Dari kejadian tersebut kemudian beliau membuat
sebuah kapal yang kegunaannya sangat berarti bagi masyarkat. Para petani lebih
memilih menjual kepada Raja Pandua dikarenakan para petani tidak memiliki alat
transportasi sendiri. Di samping itu mereka juga ingin lebih cepat mendapatkan uang
Bertambahnya fungsi pelabuhan sebagai pekan (onan) serta jumlah masyarakat
yang memakai kapal pastoran terus meningkat juga menjadi faktor lain yang
mempengaruhi Raja Pandua membangun kapal. Dengan keberadaan kapal tersebut
masyarakat merasa sangat senang dan menyambut dengan baik. Raja Pandua
memiliki 2 buah kapal motor yaitu kapal Nainggolan I dan kapal Baho Raja yang
keduanya digunakan untuk sarana angkutan penumpang dan juga hasil panen dari
Onan Runggu untuk dipasarkan ke daerah lain. Raja Pandua memiliki kapal motor
dengan cara membuat sendiri dengan bantuan para ahli dari Ajibata.
Efisiensi waktu tempuh dari satu tempat ke tempat lain yang ditunjukkan oleh
kapal motor menjadi salah satu alasan mengapa orang-orang pribumi ini memilih
untuk memiliki kapal motor sendiri. Jika pihak zending memiliki kapal motor sebagai
sarana transportasi untuk kepentingan penyebaran zending Katholik sebagai alasan
utamanya, maka orang-orang pribumi yang memiliki kapal motor adalah untuk
mengangkut hasil panen mereka agar dapat dipasarkan ke onan sebagai alasan
utamanya.
3.2.2Kapal Motor Pribumi : Pedagang
Selain Raja Pandua, ada juga seorang pedagang dari Desa Pangaloan
Kecamatan Onan Runggu bernama Hardianus Rumapea yang juga memiliki sebuah
kapal motor yang diberi nama Kapal Tani. Fungsi kapal ini juga sama seperti kapal
motor milik Raja Pandua, yaitu untuk mengangkut penumpang dan juga hasil panen
dari Onan Runggu. Hardianus Rumapea juga mempunyai posisi yang sama dengan
26
Kecamatan Onan Runggu. Masyarakat banyak yang menjual padinya kepada
Hardianus Rumapea. Disamping itu ada juga masyarakat yang menggilingkan padi di
tempat Hardianus Rumapea ini. Pada saat itu beliau satu-satunya pemilik mesin
penggiling padi di Desa Pangaloan.
Ketertarikan beliau memiliki kapal motor karena melihat kemajuan yang
dialami oleh Raja Pandua semakin pesat dalam menjalankan usahanya. Hardianus
Rumapea ini juga dapat memiliki kapal motor dengan cara membuat sendiri dibantu
oleh para ahli dari Ajibata tetapi bukan orang-orang yang sama dengan yang
membuat kapal Raja Pandua.25 Untuk selanjutnya kapal yang dimiliki Hardianus
Rumapea ini beroperasi bersamaan dengan kapal milik Raja Pandua yang diatur
trayek dan jadwal pelayarannya.
3.2.3Cara Pembuatan Kapal Motor
Dalam membuat sebuah kapal dibutuhkan ketelitian dalam memilih kayu. Hal
ini dilakukan agar kapal dapat bertahan sampai 20 tahun lamanya. Sehingga modal
dapat kembali dan ditambah dengan keuntungan dari hasil kapal tersebut. Kayu yang
dipakai dalam pembuatan kapal yaitu kayu igul karena kualitasnya yang bagus dan
harus berumur minimal 70 tahun. Kayu igul ini didapatkan dari daerah itu juga.
Dalam proses pembuatan kapal selalu diawali dengan upacara adat yang
diyakini akan melindungi kapal dari bahaya ketika berlayar. Upacara adat ini diikuti
oleh pemilik kapal, natua-tua nihuta/raja adat (yang menjadi pemimpin jalannya
25 Wawancara dengan Ibu Dame Boru Pakpahan, Pemilik Kapal Tani, Tanggal 10 Desember
prosesi upacara tersebut) dan masyarakat setempat. Prosesi upacara ini berupa
penyembelihan seekor kerbau yang nantinya akan dinikmati oleh masyarakat satu
kampung. Setelah menikmati sajian sebagai prosesi puncak mereka akan turun ke
pinggir danau di mana kerangka kapal sudah dibuat dan di sanalah prosesi
mendoakan kapal dengan ritual yang disebut dalam masyarakat Toba mangitaki.26
Dalam membangun sebuah kapal yang paling utama dibutuhkan di samping
bahan-bahan adalah para tukang pembuat kapal. Dalam hal ini Raja Pandua
mengupah orang-orang dari Ajibata yang sudah berpengalaman untuk membangun
sebuah kapal. Mereka inilah yang membantu Raja Pandua untuk membangun kapal
Nainggolan I. Sedangkan mesin kapal pada saat itu dibeli dari Siantar. Jenis mesin
yang digunakan untuk kapal motor di Onan Runggu pada masa itu adalah jenis ford.27
Dinas perhubungan yang berada di Sibolga pada masa itu akan datang satu kali
dalam satu tahun yakni di bulan Juni untuk memeriksa ketahanan dan kelayakan
kapal ke Samosir sebab pada tahun 1940 belum ada dinas perhubungan air di Sebab pada masa itu pihak zending mempunyai akses dengan pemilik toko mesin
tersebut di Siantar. Proses pembuatan kapal, upacara dan jenis mesin yang digunakan
dalam kapal Hardianus Rumapea sama halnya dengan kapal milik Raja Pandua.
Sedangkan posisi mesin pada kapal diletakkan tepat di lambung kapal dan tempat
duduk penumpang berjejer di samping kiri kanan kapal sehingga bagian tengah kapal
yang kosong dijadikan tempat menaruh barang-barang angkutan.
26 Wawancara dengan Oppung Solo, Pemilik Kapal Nainggolan I, Tanggal 7 Desember 2010
28
Samosir. Mereka melakukan pemeriksaan dengan cara memukulkan palu berukuran
10 kg ke badan kapal. Apabila badan kapal masih utuh ketika dipukul maka kapal
tersebut masih layak pakai dan hal yang sama juga dilakukan pada mesin kapal.28
Pemeriksaan tersebut dilakukan supaya keselamatan ketika menyeberang
terjamin sebab terkadang berat beban kapal melebihi beban yang seharusnya dimuat
dalam kapal, karena dalam satu hari hanya satu kapal yang beroperasi untuk melayani
para penumpang yang ingin berpegian keluar pulau.
3.3 Fungsi Kapal Motor Pribumi
Pada saat itu ada 3 kapal milik pribumi yang ada di Onan Runggu. Ketiga kapal
inilah yang melayani jasa transportasi air dari Onan Runggu ke wilayah lain. Hingga
kemudian ditetapkanlah rute perjalanan yang ditempuh oleh ketiga kapal ini secara
bergantian. Ketiga kapal ini dibuat sedemikian rupa agar dapat bertahan lama, karena
memang pada waktu itu kapal-kapal inilah yang menjadi transportasi masyarakat
yang akan memasarkan hasil panen ke luar Samosir. Sehingga kapal ini sangat
penting perannya bagi masyarakat Onan Runggu.
Fungsi utama dari kapal motor adalah sebagai alat transportasi perdagangan
ataupun penyebarangan penumpang keluar pulau Samosir. Tetapi selain fungsi utama
tersebut ada juga fungsi lain dari kapal motor. Fungsi kapal motor ini lambat laun
mulai bertambah selain sebagai alat transportasi. Semakin bertambahnya fungsi kapal
motor ini mengakibatkan semakin banyaknya keuntungan-keuntungan ataupun
kemudahan yang di dapat dari kapal motor yang telah memegang peranan yang
sangat penting dalam sistem transportasi danau bagi masyarakat Onan Runggu.
3.3.1Sebagai Alat Tranportasi
Sejak beralihnya masyarakat dari memakai solu menjadi memakai kapal motor
sebagai alat transportasi, solu kemudian beralih fungsi hanya untuk mencari ikan,
sebab untuk penyeberangan lebih aman memakai kapal motor dibanding solu. Sejauh
penelitian penulis melalui wawancara dengan beberapa informan, tidak ditemukan
konflik dengan para pemilik perahu. Karena pengalaman para pemilik perahu yang
sudah hafal betul dengan jalur pelayaran di Danau Toba tetap dimanfaatkan oleh
pemilik kapal motor, sehingga mereka dijadikan sebagai kapten kapal. Dengan
demikian mereka tidak merasa tersingkirkan oleh keberadaan kapal motor tersebut.29
Selain sebagai kapten kapal, ada juga beberapa diantaranya yang dijadikan
sebagai pekerja di kapal motor. Yaitu orang yang membantu kapten kapal, biasanya
tugas mereka adalah membantu membongkar muat barang-barang hasil pertanian
yang diangkut dengan kapal. Daya angkut kapal motor pada masa itu dapat mencapai
300 orang.30 Sebuah jumlah yang cukup banyak dalam menyeberangkan orang dari
Onan Runggu keberbagai wilayah tujuan.
3.3.2Alat Tranportasi Perdagangan
Kahadiran kapal motor ini sangat dirasakan masyarakat, sebab lebih efisien
dibandingkan dengan perahu yang mereka andalkan selama ini, terutama para
29 Wawancara dengan Parlin Pakpahan anak pemilik solu pertama di Onan Runggu, tanggal 20
Juli 2010
30
pedagang yang berdagang keluar daerah Samosir. Sebab tidak jarang mereka
mengalami kerugian ketika harus bermalam di tengah danau dengan cuaca buruk
ketika ingin menyeberang ke Ajibata ataupun Tiga Raja. Pengguna jasa kapal motor
ini paling utamanya adalah pedagang atau yang lazim disebut di daerah Tapanuli
adalah parrenge-rengge dan parjajo.
Parrengge-rengge menetap di satu wilayah serta menjual hasil dagangannya
ketika muncul pekan (onan). Biasanya hanya 1-2 kali seminggu. Barang dagangan
yang mereka bawa adalah hasil pertanian seperti kacang tanah, bawang, buah-buahan
seperti mangga dan pisang, termasuk juga hewan ternak seperti kerbau, ayam dan
babi yang d perdagangkan di pekan. Pedagang atau parrengge-rengge inilah yang
rutin berangkat setiap pagi seperti ke Ajibata, Tiga Raja dan Balige.
Parjajo adalah pedagang keliling antar huta, meninggalkan sanak saudaranya di huta-nya. Parjajo menjadi penghubung kebutuhan antar huta yang ada di pulau
Samosir, anak isterinya mengumpulkan modal tambahan dari hasil pertaniannya.
Parjajo ini hampir berasal dari setiap huta. Lamanya mereka menjajakan
dagangannya tidak mempunyai batasan waktu yang jelas bahkan sampai
bertahun-tahun tidak pulang ke desanya. Namun uang hasil pekerjaannya selalu dikirim kepada
keluarganya. Mereka melakukan ini karena kondisi lingkungan yang tidak
memungkinkan bagi mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup serta dana bagi
pendidikan anak.31
Dalam setiap perjalanan para pedagang, mereka selalu membawa barang-barang
keluar pulau seperti bawang, cabai, pisang, dan kacang tanah. Sedangkan para
pedagang yang datang dari luar pulau sebaliknya membawa barang-barang keperluan
rumah tangga seperti peralatan dapur yakni piring, gelas, peralatan kamar mandi dan
lain-lain. Para pedagang dari luar pulau Samosir datang pada setiap pekan besar di
Onan Runggu.
3.3.3Sebagai Pendongkrak Status Sosial
Fungsi utama kapal yaitu sebagai alat penyeberangan. Selain itu juga berfungsi
sebagai pendokrak status sosial, yang menandakan bahwa desa tersebut sudah maju
dan statusnya lebih tinggi diantara desa lain. Sebab pada tahun 1942-1944 hanya ada
tiga buah kapal yaitu dari Desa Nainggolan dan Desa Pangaloan dan hanya satu kapal
yang beroperasi dalam satu hari.
Selain mendongkrak status sosial desa yang memiliki kapal motor, status sosial
si pemilik kapal juga akan terangkat dengan adanya kapal motor yang dimilikinya.
Sebab hal ini menandakan bahwa kekayaan seseorang tesebut telah meningkat.
Kemakmurannya telah meningkat sehingga mampu membeli kapal motor. Hal ini
juga terkait dengan pandangan masyarakat Batak pada masa itu, dimana masyarakat
akan terangkat status sosialnya apabila dia memiliki sesuatu yang lebih dibanding
dengan orang lain. Dalam hal ini dapat ditunjukkan dalam bentuk kepemilikan harta
kekayaan seperti ternak babi atau kerbau yang banyak, lahan pertanian yang luas, dan
dapat juga ditunjukkan dalam bentuk tingkat pendidikan yang tinggi.
Oleh karena itu ketika masyarakat Onan Runggu mengenal kapal motor, mereka
32
melambangkan kekayaan dan status sosial mereka. Mendongkrak status sosial desa
mereka diantara desa-desa lainnya.
3.3.4Transportasi Sebagai Keperluan Adat
Selain membawa pedagang, tidak jarang kapal motor digunakan juga oleh
masyarakat sebagai keperluan adat, misalnya untuk membawa rombongan pernikahan
keluar pulau. Pihak keluarga yang sedang mengadakan acara pernikahan akan
menyewa kapal tersebut untuk mengangkut rombongan ke tempat diadakannya acara
yang berada di luar Samosir.
Selain acara pernikahan, ada juga acara-acara adat lainnya yang melibatkan
kapal motor sebagai sarana penunjangnya. Seperti pemakaman orang yang
meninggal. Kapal motor dijadikan alat untuk mengangkut peti jenajah beserta
keluarga duka yang hendak memakamkan kerabatnya di Samosir. Hal ini biasanya
dilakukan oleh mereka yang tinggal di luar Samosir khususnya Onan Runggu. Ada
beberapa orang yang memag menginginkan dimakamkan di kampung halamannya
yaitu di Onan Runggu apabila meninggal kelak. Mereka adalah orang-orang yang
berasal dari Onan Runggu yang kemudian merantau keluar.
3.4 Letak dan Fungsi Pelabuhan
Pelabuhan didefinisikan sebagai tempat yang terdiri atas daratan dan perairan
dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintah dan kegiatan
pedagangan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun
kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan kegiatan penunjang
pelabuhan.32
Dalam membangun sebuah pelabuhan dibutuhkan letak geografis yang strategis
untuk menunjang perkembangannya. Pelabuhan yang ada di Kecamatan Onan
Runggu terletak di tempat yang strategis yaitu di Desa Onan Runggu. Pada awalnya
memang pelabuhan ini dibangun oleh pihak zending Katholik pada tahun 1934
sebagai pelabuhan kapal Pastoran yaitu kapal yang pertama di Pulau Samosir di tahun
1933 yang dipergunakan untuk kepentingan pelayanan umat. Kemudian pelabuhan ini
beralih fungsi menjadi pelabuhan untuk semua kapal di Kecamatan Onan Runggu.
Onan Runggu disebut sebagai tempat strategis untuk pelabuhan karena selain
sebagai kecamatan, Onan Runggu merupakan titik tengah ke desa-desa lain sehingga
jarak desa yang berada di sebelah barat dan timur menempuh jarak yang sama ke
Desa Onan Runggu. Dalam perkembangannya sebagai pelabuhan, pelabuhan ini juga
bertambah fungsinya sebagai pekan atau dalam masyarakat Toba disebut onan
sehingga pusat perekonomian masyarakat di Onan Runggu ini terpusat di pelabuhan.
Keberadaan pelabuhan Onan Runggu menjadi lahan mencari nafkah bagi
sebagian orang yang mempunyai modal. Pada akhir tahun 1950-an pelabuhan
bertambah fungsi lagi selain sebagai onan yaitu berfungsi sebagai terminal, sehingga
para penumpang yang baru turun dari kapal langsung dapat menggunakan jasa becak
dayung dan angkot. Walaupun angkot pada masa itu hanya ada 2 unit tetapi
kegunaannya sangat membantu masyarakat dalam berpergian. Angkot pada masa itu
32 Abbas Salim, Manajemen Pelayaran Niaga dan Pelabuhan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995, hlm.
34
berbentuk mobil truck kecil yang atapnya hanya terpal.33 Pertumbuhan pelabuhan
sebagai terminal turut mendorong lahirnya para pedagang makanan seperti pedagang
mie dan kedai kopi.
3.5 Pola Pelayaran dan Perdagangan
Pola pelayaran dan perdagangan yang ada di Samosir termasuk pola pelayaran
lokal. Sebab pelayaran yang dilakukan hanya sebatas wilyah Samosir dan tidak
melebihi jarak tempuh sejauh 200 mil sebagaimana yang ditentukan oleh perusahaan
pelayaran dan perdagangan yang ada di Indonesia. Dalam menempuh jarak pelayaran,
kapal motor di Samosir menggunakan pola pulang-pergi. Untuk pelayaran satu hari,
kapal motor berangkat dari tempat tujuan (Samosir) menuju rute Ajibata ataupun
Balige. Kemudian pada jam tertentu akan kembali lagi ke Samosir, sehingga tidak
ada sistem yang disebut bermalam di pelabuhan. Kapal-kapal di Samosir dalam satu
hari yang beroperasi hanya satu unit. Artinya ketika kapal mengalami kerusakan dan
tidak dapat beroperasi maka akan digantikan oleh kapal lain tetapi dengan tanpa
merubah jadwal yang sudah disepakati oleh para pemilik kapal seperti Tabel 3.1
berikut ini:
TABEL III
Jadwal Keberangkatan Kapal Motor Sebelum 1965
No. Hari Nama Kapal Tujuan Jadwal
Sumber : Arsip pribadi Oppung Solo
3.5.1Rute Perjalanan Kapal
Dalam pelayaran ada istilah yang disebut dengan trip yakni perjalanan dan rute
perjalanan yaitu jalur lintas. Pelabuhan Onan Runggu sejak tahun 1951 sudah
memiliki peraturan pelabuhan yang dikontrol oleh dinas perhubungan yang berpusat
di Sibolga. Sehingga beberapa peraturan seperti jadwal keberangkatan dan rute yang
harus dilewati sudah tertera dalam peraturan.34
34 Wawancara dengan Oppung Solo, Pemilik kapal Ninggolan I, Tanggal 7 Desember 2010
Dalam hal ini rute kapal dari Onan
Runggu sebenarnya tidak terlalu banyak. Ada 2 rute yang selalu dilewati kapal yaitu
rute Balige dan rute Ajibata. Kapal-kapal yang berjumlah 3 unit tersebut sudah diatur
untuk bergantian setiap hari melewati satu rute tersebut. Ketiga kapal tersebut adalah
milik Raja Pandua dan pedagang yang bermarga Rumapea dari Desa Pangaloan
36
Ketiga kapal tersebut beroperasi pada hari yang berbeda. Dalam satu hari hanya
ada satu kapal saja yang beroperasi ke pelabuhan Ajibata dan Balige. Sedangkan dua
kapal lainnya beroperasi ke tempat lain di luar dari trayek yang ditetapkan. Tujuan
mereka antara lain Porsea dan Muara. Ini disebabkan oleh adanya penumpang yang
bertujuan ke wilayah tersebut. Pemilik kapal memanfaatkan kapal mereka untuk
melayani trayek ini untuk mengisi kekosongan trayek karena menunggu giliran
melayani trayek yang sudah ditetapkan dan sistem yang dipakai adalah sitem carter
yaitu sewa borong. Sistem ini ditetapkan agar tidak mengganggu kapal yang
beroperasi sehingga kapal yang mengisi kekosongan tersebut dilarang mengambil
sewa sepanjang trayek operasi kapal yang sudah ditetapkan.
Wilayah Balige dan Ajibata ditetapkan sebagai rute perjalanan kapal dari Onan
Runggu karena memang pada saat itu bukan hanya dari Onan Runggu saja kapal yang
menyeberang dari Samosir, melainkan dari daerah lain seperti dari Simanindo.
Pembagian rute ini salah satunya dimaksudkan agar tidak terjadi penyerobotan trayek
atau rute diantara kapal-kapal yang beroperasi di Samosir. Selain itu juga karena jarak
dari letak pelabuhan-pelabuhan yang ada di Samosir juga menjadi alasan pembagian
rute tersebut. Seperti di Onan Runggu yang memiliki rute ke Balige, dikarenakan
memang jaraknya yang tidak begitu jauh. Disamping itu juga karena banyaknya
penumpang yang bertujuan ke Balige dari Onan Runggu. Mereka lebih memilih
berbelanja ke onan yang ada di Balige. Sedangkan para pedagang yang berasal dari
Onan Runggu tujuan mereka adalah Ajibata dan juga Balige sebagai tempat untuk
3.5.2Tarif Angkutan
Pada saat pertama kali beroperasinya kapal motor penumpang, tarif yang
dikenakan tidak ditentukan dalam bentuk uang. Melainkan dalam bentuk barang, para
penumpan akan membayar dalam bentuk barang hasil pertaniannya. Tetapi ada juga
mereka yang membayar dalam bentuk uang. Seiring dengan berjalannya waktu dan
semakin pesatnya perkembangan perekonomian masyarakat pada masa itu, maka tarif
kapal motor sudah ditentukan dalam bentuk uang. Dalam menentukan tarif orngkos
kapal motor ini pihak si pemilik kapal yang menentukan setelah memperhitungkan
pengeluaran untuk bahan bakar kapal. Dalam hal ini tidak ada campur tangan dari
pihak dinas perhubungan yang menentukan tarif maksimal. Pihak pemilik kapal
berperan sepenuhnya dalam menentukan tarif ongkos kapal motor.
Tabel IV
38
Jenis Yang Diangkut Tujuan Tarif
Penumpang Balige Rp 125,- per orang
Padi, bawang dll Balige Rp 125,- per goni
Ternak babi Balige Rp 100,- per ekor
kerbau Balige Rp 300,- per ekor
Penumpang Ajibata Rp 175,- per orang
Padi, bawang dll Ajibata Rp 175,- per goni
Ternak babi Ajibata Rp 125,- per ekor
Ternak kerbau Ajibata Rp 300,- per ekor
Sumber : Oppung Solo
Tarif ongkos pengguna jasa kapal sebelum tahun 1965 untuk penumpang tujuan
Balige dikenakan biaya Rp 125,- dan tujuan Ajibata Rp 175,-. Tarif untuk
barang-barang hasil pertanian per potong (goni) dikenakan biaya yang sama dengan satu
orang penumpang sedangkan untuk ongkos dari hewan ternak seperti babi dikenakan
biaya per ekornya Rp 100,- untuk tujuan Balige, tujuan Ajibata Rp 125,- dan untuk
kerbau per ekornya dikenakan biaya Rp 300,- untuk Balige dan Ajibata.35
3.6 Kapal Motor Dari Luar Samosir
35 Wawancara dengan Ibu Dame Boru Pakpahan, Pemilik Kapal Tani, Tanggal 10 Desember