• Tidak ada hasil yang ditemukan

REGENERASI IN VITRO EMPAT VARIETAS KEDELAI (Glycine max [L.] Merr.) MELALUI ORGANOGENESIS MENGGUNAKAN EKSPLAN BIJI YANG DIIMBIBISI DAN DIKECAMBAHKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REGENERASI IN VITRO EMPAT VARIETAS KEDELAI (Glycine max [L.] Merr.) MELALUI ORGANOGENESIS MENGGUNAKAN EKSPLAN BIJI YANG DIIMBIBISI DAN DIKECAMBAHKAN"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

MENGGUNAKAN EKSPLAN BIJI YANG

DIIMBIBISI DAN DIKECAMBAHKAN

Oleh

MOHAMMAD IRHAM FAUZI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

REGENERASI IN VITRO EMPAT VARIETAS KEDELAI

(Glycine max [L.] Merr.) MELALUI ORGANOGENESIS

MENGGUNAKAN EKSPLAN BIJI YANG

DIIMBIBISI DAN DIKECAMBAHKAN

Oleh

Mohammad Irham Fauzi

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh metode pra-kultur yang

efektif dalam meningkatkan efisiensi regenerasi in vitro terhadap eksplan buku

kotiledon pada empat varietas kedelai. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium

Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dimulai dari Maret

sampai dengan Mei 2013. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

rancangan acak kelompok. Perlakuan yang diterapkan merupakan kombinasi dari

dua faktor yaitu varietas (Detam 1, Detam 2, Burangrang, dan Panderman) dan

metode pra-kultur (kecambah 6 hari dan imbibisi 20 jam) yang merupakan

perlakuan terhadap empat varietas benih kedelai tersebut sebelum ditanam pada

media inisiasi tunas. Perlakuan disusun secara faktorial (4x2) dengan 5 ulangan.

Setiap satuan percobaan terdiri dari empat eksplan buku kotiledon kedelai. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan

(3)

(PEMTA) tidak dipengaruhi oleh metode pra-kultur namun dipengaruhi oleh

varietas dan interaksi antara kedua faktor tersebut. PEMTA tertinggi didapatkan

jika menggunakan varietas Detam 1 melalui perlakuan perkecambahan (70%) dan

varietas Panderman melalui perlakuan imbibisi (50%). Media pengakaran ½ MS

dan ½ MS + NAA 0,5 mg/l memiliki efektifitas yang sama terhadap persentase

tunas adventif yang membentuk akar fungsional (PTMAF) pada minggu kedua

setelah pengakaran. Dengan demikian, teknik regenerasi secara in vitro melalui

organogenesis pada varietas Detam 1 dengan perlakuan perkecambahan dan

varietas Panderman dengan perlakuan imbibisi lebih efisien digunakan untuk

transformasi genetik kedelai.

(4)

MENGGUNAKAN EKSPLAN BIJI YANG

DIIMBIBISI DAN DIKECAMBAHKAN

Oleh

MOHAMMAD IRHAM FAUZI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

MENGGUNAKAN EKSPLAN BIJI YANG

DIIMBIBISI DAN DIKECAMBAHKAN

Oleh

MOHAMMAD IRHAM FAUZI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

v

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 5

1.3 Landasan Teori ... 5

1.4 Kerangka Pemikiran ... 9

1.5 Hipotesis ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Karakteristik Tanaman Kedelai ... 12

2.2 Kultur Jaringan Tanaman ... 14

2.2.1 Eksplan ... 15

2.2.2 Media Kultur ... 16

2.2.3 Zat Pengatur Tumbuh ... 17

2.2.4 Genotip ... 19

2.3 Regenerasi in vitro Kedelai Melalui Organogenesis ... 19

2.4 Perkecambahan dan Imbibisi Pada Kedelai ... 21

(7)

vi

4.1.1 Rata-Rata Jumlah Tunas Adventif per Eksplan (RJTAPE) ... 35

4.1.2 Persentase Eksplanyang Membentuk Tunas Adventif (PEMTA) ... 36

(8)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Hasil analisis ragam variabel rata-rata jumlah tunas adventif per eskplan (RJTAPE) dan persentase eksplan yang membentuk

tunas adventif (PEMTA). ... 33

2. Persentase tunas adventif yang membentuk akar fungsional

(PTMAF) pada dua jenis media pengakaran dan metode pra-kultur

umur 2 msp (minggu setelah pengakaran). ... 39

3. Rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan pada perlakuan

kecambah selama 6 hari. ... 52

4. Rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan pada perlakuan

imbibisi selama 20 jam. ... 52

5. Total metode pra-kultur dan varietas pada variabel rata-rata

jumlah tunas adventif per eksplan. ... 52 6. Uji homogenitas pada variabel rata-rata jumlah tunas adventif

per eksplan. ... 53 7. Analisis ragam rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan

(RJTAPE). ... 53

8. Persentase eksplan yang membentuk tunas adventif pada

perlakuan kecambah selama 6 hari. ... 53 9. Persentase eksplan yang membentuk tunas adventif pada

perlakuan imbibisi selama 20 jam. ... 54 10. Total metode pra-kultur dan varietas pada variabel persentase

eksplan yang membentuk tunas adventif. ... 54

11. Uji homogenitas pada variabel persentase eksplan yang

(9)

viii 13. Perbandingan dua arah antara faktor metode pra-kultur dan

varietas pada variabel persentase eksplan yang membentuk tunas

adventif. ... 55

14. Perhitungan uji-t terhadap persentase tunas adventif yang membentuk akar fungsional dari metode pra-kultur melalui imbibisi pada kedua media pengakaran. ... 55

15. Perhitungan uji-t terhadap persentase tunas adventif yang membentuk akar fungsional dari metode pra-kultur melalui kecambah pada kedua media pengakaran. ... 56

16. Deskripsi kedelai varietas Detam 1. ... 57

17. Deskripsi kedelai varietas Detam 2. ... 58

18. Deskripsi kedelai varietas Burangrang. ... 59

(10)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Penyayatan sejajar dengan poros embrio pada eksplan buku

kotiledon varietas Detam 1. ... 28 2. Benih kedelai varietas Panderman, Burangrang, Detam 2 dan

Detam 1 sebagai sumber eksplan. ... 31 3. Perkembangan kultur kedelai dari eksplan buku kotiledon dengan

perlakuan imbibisi dan perkcambahan. ... 34 4. Grafik pengaruh metode pra-kultur melalui imbibisi dan kecambah

pada setiap varietas terhadap persentase eksplan yang membentuk

tunas adventif. ... 37 5. Grafik pengaruh varietas pada masing-masing metode pra-kultur

terhadap persentase eksplan yang membentuk tunas adventif. ... 37 6. Akar fungsional varietas Panderman umur 2 msp dari perlakuan

imbibisi. ... 40 7. Tata letak percobaan. ... 61

(11)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacang- kacangan yang menjadi andalan nasional karena merupakan sumber protein nabati

penting untuk diversifikasi pangan dalam mendukung ketahanan pangan nasional.

Meskipun kedelai merupakan tanaman asli Asia, tetapi ironisnya Negara Asia

menjadi pengimpor kedelai dari luar kawasan. Indonesia termasuk produsen

utama kedelai, namun masih mengimpor biji, bungkil, dan minyak kedelai (Hosen

dan Atman, 2008). Menurut Alimoeso (2006), kebutuhan kedelai setiap tahun

mencapai 2 juta ton, sedangkan produksi kedelai dalam negeri hanya 0,8 juta ton

per tahun sehingga diperlukan impor sebanyak 1,2 juta ton per tahun yang

berdampak menghabiskan devisa negara sekitar Rp 3 triliun per tahun. Selain itu,

impor bungkil kedelai telah mencapai kurang lebih 1,3 juta ton per tahun yang

menghabiskan devisa negara sekitar Rp 2 triliun per tahun.

Permintaan kedelai meningkat sebesar 5,8% per tahun (Marveldani et al., 2007).

Namun produksi kedelai secara nasional tiap tahun terus menurun. Menurut

Badan Pusat Statistik (2012), pada tahun 2009 luas panen kedelai sebesar 722.791

ha dengan produksi sebesar 974.512 ton. Pada tahun 2010, luas panen tersebut

(12)

panen 622.254 ha dan produksi menjadi 851.286 ton. Pada tahun 2012 luas panen

menjadi 567.871 ha dengan produksi 851.647 ton. Penurunan produksi tersebut

terjadi di Jawa sebesar 59, 09 ribu ton, sedangkan di luar pulau jawa mengalami

peningkatan sebesar 3,35 ribu ton. Menurut Hosen dan Atman (2008), proyeksi

permintaan kedelai tahun 2018 sebesar 6,11 juta ton sehingga tanpa kebijakan

khusus sampai tahun 2018 kebutuhan kedelai nasional tetap akan bergantung pada

impor

Kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi perlu dilakukan untuk meningkatkan

produksi kedelai dalam negeri. Intensifikasi dapat dilakukan dengan

menggunakan varietas unggul yang dapat dihasilkan melalui teknik rekayasa

genetika atau transformasi genetik (Marveldani et al., 2007). Menurut Clemente

et al. (2000), perakitan tanaman transgenik dapat diarahkan untuk memperoleh

kultivar (varietas budidaya) tanaman yang memiliki produksi tinggi, nutrisi dan

penampilan berkualitas tinggi, maupun resisten terhadap hama, penyakit, dan

cekaman lingkungan. Tanaman kedelai toleran herbisida merupakan salah satu

contoh tanaman rekayasa genetika.

Menurut Utomo (2012), varietas merupakan sekelompok tanaman dalam satu

spesies yang secara genetik memiliki kriteria DUS yaitu distinct (berbeda),

uniform (seragam), dan stable (stabil). Varietas budidaya (kultivar) yang

memiliki sifat unggul bernilai ekonomi disebut varietas unggul. Jenis varietas

unggul terdiri dari varietas galur murni (inbrida), hibrida, komposit, sintetik, multi

(13)

teknik pemuliaan tradisional maupun modern (bioteknologi) melalui transformasi

genetik.

Keberhasilan transformasi genetik untuk memperoleh tanaman transgenik sangat

ditentukan oleh teknik regenerasi in vitro. Regenerasi in vitro pada dasarnya

mengacu pada teori totipotensi dari Schleiden dan Schwan. Menurut teori

tersebut setiap sel hidup mempunyai kemampuan untuk bereproduksi, membentuk

organ, dan berkembang menjadi individu baru yang sempurna/utuh jika

ditumbuhkan pada media dan lingkungan yang sesuai. Teori ini dijadikan dasar

dalam perbanyakan tanaman melalui manipulasi sel atau jaringan tanaman

menjadi organ atau tanaman utuh secara invitro atau kultur jaringan (Pardal, 2002). Menurut Utomo (2005), regenerasi in vitro atau kultur jaringan berfungsi

untuk meregenerasikan tanaman transgenik dari sel atau jaringan transgenik.

Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat ditempuh melalui dua jalur,

yaitu organogenesis dan embriogenesis somatik (Lestari, 2011). Menurut

Wattimena et al. (1992), pada hakikatnya organogenesis tanaman secara in vitro

dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi hormon yang berada dalam eksplan

(endogen) dengan hormon yang diserap dari media tumbuh (eksogen). Bentuk

keseimbangan yang terjadi akan menentukan arah dan bentuk pertumbuhan, salah

satunya pembentukan shootlet (tunas).

Tunas yang dibentuk berdasarkan kompetensi (kemampuan) eksplan sangat

menentukan keberhasilan regenerasi in vitro melalui organogenesis. Kompetensi

eksplan dipengaruhi oleh interaksi dan keseimbangan hormon auksin dan

(14)

diharapkan akan memperbaiki kompetensi eksplan untuk tujuan pembentukan

tunas. Menurut Sumarno dan Widiyati (1985), pada proses imbibisi, air masuk

kedalam benih menyebabkan pengembangan embrio dan endosperm sehingga

kulit benih menjadi pecah dan proses-proses fisiologi di dalam benih menjadi

aktif. Air melakukan fungsinya untuk mengaktifkan kinerja dan perubahan

hormon endogen didalam benih untuk proses perkecambahan. Selanjutnya,

perubahan tersebut akan mempengaruhi kompetensi eksplan untuk beregenerasi

membentuk tunas. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

metode pra-kultur berupa perlakuan imbibisi dan perkecambahan pada benih

kedelai yang efektif dalam meningkatkan efisiensi regenerasi in vitro melalui organogenesis.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, penelitian ini dilakukan

untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:

(1) Apakah terdapat pengaruh perlakuan imbibisi selama 20 jam dan kecambah

selama 6 hari terhadap efisiensi pembentukan tunas adventif kedelai ?

(2) Bagaimana pengaruh empat varietas kedelai terhadap efisiensi pembentukan

tunas adventif ?

(3) Apakah terdapat interaksi antara perlakuan imbibisi 20 jam dan kecambah 6

(15)

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian dirumuskan

sebagai berikut :

(1) Mengetahui pengaruh perlakuan imbibisi selama 20 jam dan kecambah 6 hari

terhadap efisiensi pembentukan tunas adventif kedelai.

(2) Mengetahui pengaruh varietas kedelai terhadap efisiensi pembentukan tunas

adventif.

(3) Mengetahui interaksi antara metode pra-kultur (perlakuan imbibisi 20 jam

dan kecambah 6 hari) dengan varietas terhadap efisiensi pembentukan tunas

adventif.

1.3 Landasan Teori

Untuk menyusun penjelasan teoritis terhadap pertanyaan yang telah dikemukakan

maka disusun landasan teori. Menurut Marveldani et al. (2007), perlu upaya intensifikasi dan ekstensifikasi untuk meningkatkan produksi kedelai dalam

negeri. Produksi kedelai dapat ditingkatkan menggunakan varietas unggul yang

diperoleh melalui teknik rekayasa genetika (transformasi genetik). Regenerasi

tanaman secara in vitro merupakan tahapan penting dalam program rekayasa

genetik. Tanpa sistem regenerasi tanaman yang efisien, akan sulit diperoleh

tanaman transgenik yang diinginkan.

Keberhasilan regenerasi in vitro dipengaruhi oleh faktor internal sel/jaringan

eksplan dan faktor lingkungan. Faktor internal meliputi genotipe tanaman, asal

(16)

komposisi media, suhu, dan cahaya. Komposisi media yang baik untuk

pertumbuhan jenis tanaman tertentu belum tentu baik untuk jenis tanaman lainnya,

bahkan bagi jenis tanaman yang sama namun varietas berbeda (Marveldani et al.,

2007).

Spesies tanaman dan zat pengatur tumbuh tanaman akan menentukan apakah

eksplan akan menghasilkan tunas atau akar. Konsentrasi sitokinin yang relatif

tinggi dibanding auksin akan merangsang inisiasi tunas, sedangkan konsentrasi

auksin yang relatif tinggi akan merangsang inisiasi akar. Penggunaan sitokinin

dalam media kultur in vitro bertujuan untuk merangsang tumbuhnya mata tunas

samping dan mencegah dominansi tunas apikal. Jenis sitokinin yang umum

digunakan adalah BA karena mempunyai efektivitas tinggi dalam perbanyakan

tunas, mudah didapat, dan relatif murah (George dan Sherrington, 1984).

Cheng et al. (1980, dalam Marveldani et al. 2007) melaporkan organogenesis

kedelai dari eksplan buku kotiledon kecambah kedelai yang dikulturkan pada

media yang mengandung benziladenin (BA) lebih dari 2 µM (setara 0,45 mgl-1).

Selanjutnya, Zhang et al. (1999), Clemente et al. (2000), dan Utomo (2005) telah berhasil menginduksi pembentukan tunas adventif kedelai pada media B5 yang

mengandung 1,7 mg/l BA. Nugroho (2005) dan Maulia (2005 dalam Marveldani

et al 2007) melaporkan bahwa konsentrasi BA yang terbaik untuk regenerasi

eksplan buku kotiledon lima varietas kedelai adalah 1,5 mgl-1 media, sedangkan

eksplan yang dikulturkan pada media tanpa penambahan BA (0 mgl-1) tidak

(17)

Eksplan buku kotiledon dipersiapkan dengan cara memotong kecambah 1 mm

dibawah perbatasan hipokotil dan kotiledon. Buku kotiledon kemudian digores

7-12 kali sedalam 0,5 mm. Kemudian eksplan dikulturkan pada medium MS yang

mengandung BAP 0,75 mg/l. Berdasarkan pengamatan satu bulan setelah tanam,

enam varietas yang dievaluasi menunjukkan respon yang tinggi berdasarkan

variabel proporsi eksplan yang menghasilkan tunas dan rata-rata jumlah tunas per

eksplan (Utomo, Akari dan Fitri, 2010).

Efisiensi transformasi kedelai melalui Agrobacterium, dapat ditingkatkan dengan melukai eksplan pada buku tempat tumbuh tunas aksilar. Pelukaan bertujuan

untuk mencegah munculnya tunas aksilar dan merangsang inisiasi tunas adventif

majemuk. Tanaman transgenik yang dihasilkan dari rekayasa genetika umumnya

berasal dari tunas adventif. Pada tanaman kedelai tunas dapat diinduksi melalui

organogenesis dari eksplan buku kotiledon (Utomo, 2005). Pada regenerasi

kedelai melalui organogenesis tanaman, tidak semua varietas memberikan respon

yang baik. Pierik (1987) menyatakan bahwa masing-masing jenis eksplan dan

genotip memiliki respon pertumbuhan in vitro yang berbeda-beda walaupun ditumbuhkan pada media dan kondisi lingkungan tumbuh yang sama.

Perkecambahan diawali dengan proses imbibisi, yaitu penyerapan air dari

lingkungan benih atau media perkecambahan. Perubahan yang terjadi adalah

pembesaran benih dikarenakan sel-sel embrio mulai membesar dan radikula telah

muncul. Perubahan hormon selama perkecambahan diduga berperan dalam

induksi sel-sel yang mampu membentuk embrio somatik (Sari, 2012).

(18)

perkecambahan benih berpengaruh terhadap komposisi kimia maupun fisik benih.

Air yang masuk ke dalam benih menyebabkan pengembangan embrio dan

endosperm sehingga menyebabkan kulit benih menjadi pecah. Selain itu, air yang

masuk melalui imbibisi juga berguna sebagai alat transportasi larutan makanan

dari endosperm atau kotiledon ke titik tumbuh pada poros embrio untuk

membentuk protoplasma baru. Air tersebut dapat mengencerkan protoplasma

sehingga dapat mengaktifkan fungsinya. Bila protoplasma mengandung air maka

sel-sel hidup akan melaksanakan proses-proses kehidupan termasuk pencernaan,

asimilasi dan pertumbuhan.

Dalam penelitian Paz et al. (2006), mengembangkan metode transformasi kedelai yang efisien menggunakan eksplan buku kotiledon empat kultivar kedelai sebagai

jaringan target dan menunjukkan keberhasilan dalam regenerasi dan memproduksi

tanaman transgenik. Langkah awal yang dilakukan ialah dengan melakukan

pengecambahan benih melalui imbibisi semalam dan perkecambahan selama 5-7

hari dan pelukaan pada buku tempat tumbuh tunas aksilar. Benih dari hasil

imbibisi semalam menunjukkan efisiensi regenerasi 1,5 kali lipat lebih tinggi

dibandingkan dengan metode kecambah 5-7 hari.

Pemberian NAA pada media dengan konsentrasi yang berbeda telah berhasil

merangsang pembentukan akar. Persentase eksplan kedelai yang membentuk akar

berkisar antara 5-25 %. Pada perlakuan tanpa pemberian NAA telah berhasil

membentuk akar, hal tersebut diduga bahwa auksin endogen yang ada dalam

eksplan telah mampu merangsang pertumbuhan eksplan untuk membentuk akar.

(19)

perlakuan 0,5 μM. Setiap peningkatan pemberian konsentrasi NAA akar yang

terbentuk cendrung terhambat (Azriati, E., Asmeliza dan Yurmita, N. ,2003)

1.4 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori, disusun kerangka pemikiran untuk memberikan

penjelasan teoritis terhadap perumusan masalah. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacang- kacangan yang menjadi andalan

nasional karena merupakan sumber protein nabati penting untuk diversifikasi

pangan dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Proyeksi permintaan

kedelai semakin mengalami peningkatan tetapi produksi dan luas panen kedelai

di Indonesia semakin rendah dan menyusut. Sehingga tanpa kebijakan khusus,

kebutuhan kedelai nasional akan tetap bergantung pada impor.

Upaya dan kebijakan khusus tersebut dapat berupa intensifikasi dan ekstensifikasi.

Produksi kedelai dapat ditingkatkan dengan program intensifikasi melalui

penggunaan varietas unggul. Varietas unggul diperoleh melalui program

pemuliaan tanaman modern dengan teknik rekayasa genetika (transformasi

genetik). Kultur jaringan merupakan teknologi yang mendukung rekayasa

genetika (transformasi genetik). Kultur jaringan akan meregenerasikan

sel/jaringan yang telah ditransformasi menjadi tanaman transgenik.

Organogenesis merupakan proses pembentukan tunas dari eksplan seperti jaringan

meristem tunas. Tunas tersebut dapat diakarkan dan diaklimatisasi untuk

(20)

Penggunaan hormon dari golongan sitokinin dalam media kultur in vitro bertujuan

untuk mengatur pembelah sel, morfogenesis, diferensiasi sel, merangsang

tumbuhnya mata tunas samping (adventif), mutiplikasi tunas aksilar dan

mencegah dominansi tunas apikal. Jenis sitokinin yang umum digunakan untuk

perbanyakan tunas dan memiliki efektivitas yang tinggi terhadap inisiasi tunas

adalah benziladenin (BA). Kandungan hormon endogen dalam setiap genotip

tanaman berbeda sehingga respon tanaman berbeda jika diberikan hormon dari

luar (eksogen). Organogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh

keseimbangan dan interaksi dari hormon endogen yang berada dalam eksplan

dengan hormon eksogen yang diserap dari media tumbuh.

Aktivitas enzim didalam benih pada proses imbibisi dan perkecambahan benih

akan menyebabkan perubahan hormon endogen didalam benih. Perubahan

tersebut akan mempengaruhi kompetensi (kemampuan) organogenesis eksplan

untuk membentuk tunas. Sehingga kemampuan eksplan untuk berengenerasi

membentuk tunas dapat dapat dirangsang oleh pemberian hormon eksogen

golongan sitokinin. Oleh karena itu untuk menentukan regenerasi tanaman

kedelai yang tepat melalui organogenesis, dilakukan perkecambahan benih empat

varietas kedelai selama 6 hari dan juga imbibisi benih selama 20 jam. Selanjutnya

eksplan dari benih tersebut ditumbuhkan pada media inisiasi tunas yang diberi

benziladenin (BA) sebagai hormon dari golongan sitokinin. Setelah tunas

(21)

1.5 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah disampaikan, maka disusun hipotesis

sebagai berikut:

(1) Perlakuan kecambah 6 hari dan imbibisi selama 20 jam berpengaruh

terhadap efisiensi pembentukan tunas adventif dari eksplan buku kotiledon.

(2) Varietas kedelai berpengaruh dalam efisiensi pembentukan tunas adventif

dari eksplan buku kotiledon.

(3) Terdapat interaksi antara perlakuan imbibisi 20 jam dan kecambah 6 hari

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi dan Karakteristik Tanaman Kedelai

Menurut Rukmana dan Yunarsih (1996), sistimatika tumbuhan (taksonomi)

tanaman kedelai diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub-Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Polypetales

Famili : Leguminosae

Sub-Famili : Papilionoidae

Genus : Glycine

Spesies : Glycine max (L.) Merr

Tanaman kedelai terdiri atas organ vegetatif dan generatif. Organ vegetatif

meliputi akar, batang, dan daun yang fungsinya sebagai alat pengambil,

pengangkut, pengolah, pengedar, dan penyimpan makanan, sehingga disebut alat

hara (organum nitrivum). Organ generatif meliputi bunga, buah, dan biji yang

(23)

Tipe pertumbuhan tanaman kedelai dibedakan atas tiga macam, yaitu tipe

determinate, semi determinate, dan indeterminate. Tanaman kedelai memiliki

bunga sempurna, yaitu pada tiap kuntum bunga terdapat alat kelamin betina

(putik) dan kelamin jantan (benang sari). Sekitar 60% bunga akan rontok sebelum

membentuk polong. Struktur akarnya terdiri atas lembaga (radicula), akar

tunggang (radix primaria), dan akar cabang (radix lateralis) berupa akar rambut.

Tanaman kedelai di Indonesia pada umumnya mulai berbunga pada umur 30-50

hari setelah tanam. Buah kedelai disebut “polong” yang tersusun dalam rangkaian

buah. Tiap polong kedelai berisi 1 – 4 biji. Biji kedelai umumnya berbentuk

bulat atau bulat pipih sampai bulat lonjong. Warna kulit biji bervariasi antara lain

kuning, hijau, cokelat, atau hitam. Ukuran biji berkisar antara 6 – 3 gr/100 biji.

Biji-biji kedelai dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara

generatif.

Menurut Adisarwanto dan Wudianto (1999), beberapa sifat benih kedelai yang

merupakan permasalahan internal antara lain:

(1) Benih kedelai tidak mempunyai masa dormansi (waktu istirahat) setelah

panen, akibatnya benih yang diperoleh mempunyai daya simpan yang

rendah.

(2) Dalam kondisi suhu dan kelembaban tinggi, proses respirasi dalam benih

berjalan normal sehingga daya tumbuh benih cepat menurun.

(3) Benih kedelai mempunyai sifat higroskopis sehingga kadar airnya mudah

(24)

(4) Kulit benih kedelai tipis sehingga mudah terinfeksi oleh cendawan,

bakteri, dan virus.

(5) Benih sering diserang hama gudang, misalnya Bruchus sp.

(6) Biji sering terserang hama penggerek dan pengisap biji di areal

pertanaman

2.2 Kultur Jaringan Tanaman

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti

protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya

dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri

dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap (Gunawan, 1992). Teknik ini disebut

teknik in vitro karena bagian-bagian tanaman yang dikulturkan diletakkan dalam

tabung gelas (George dan Sherrington, 1984)

Teknik kultur jaringan bermula dari pembuktian teori totipotensi (total potensi

genetik) sel yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann (1838-1839). Teori

tersebut menyatakan bahwa setiap tanaman hidup mempunyai informasi genetik

dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan berkembang menjadi

tanaman lengkap jika kondisinya sesuai (Yusnita, 2003).

Penggunaan kultur jaringan untuk pembiakan klonal didasarkan pada anggapan

bahwa jaringan secara genetik tetap stabil jika dipisahkan dari tanaman induk dan

ditempatkan dalam kultur (Setiawan 2008). Menurut Gamborg dan Phillips

(25)

memerlukan teknik yang steril. Pemeliharaan pada kondisi steril atau aseptik

sangat penting untuk keberhasilan prosedur kultur jaringan.

Kultur jaringan merupakan salah satu teknik dalam perbanyakan tanaman secara

klonal. Keuntungan pengadaan bibit melalui kultur jaringan antara lain dapat

diperoleh bahan tanaman yang unggul dalam jumlah banyak dan seragam, selain

itu dapat diperoleh biakan steril (mother stock) sehingga dapat digunakan sebagai

bahan untuk perbanyakan selanjutnya (Lestari, 2011).

Ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam

kultur in vitro, yaitu genotipe, media kultur, lingkungan tumbuh, dan eksplan

yang digunakan (George dan Sherrington,1984). Menurut Pierik (1987), dalam

perbanyakan in vitro dapat ditempuh beberapa metode antara lain melalui

multiplikasi tunas dari mata tunas aksilar, dan melalui pembentukan tunas

adventif dan embrio somatik secara langsung.

2.2.1 Eksplan

Menurut Yusnita (2003), penggunaan eksplan yang bersifat meristematik

umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih

tinggi. Eksplan yang dapat digunakan berupa aksis embrio zigotik muda dan

dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil. Umur fisiologi, umur

ontogenik, ukuran eksplan, serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal

yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai

bahan awal kultur. Umumnya bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan

(26)

muda mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel aktif membelah diri, dan relatif

bersih. Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah biji atau

bagian-bagian biji seperti aksis embrio atau kotiledon, tunas pucuk, potongan

batang satu buku (nodal eksplan), potongan akar, potongan daun, potongan umbi

batang , umbi akar, empulur batang, umbi lapis dengan dan bagian batang, dan

bagian bunga. Menurut Utomo (2005), dalam rekayasa genetika tanaman berupa

pembentukan tunas adventif, eksplan yang dapat digunakan adalah eksplan buku

kotiledon.

2.2.2 Media Kultur

Media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar dan media perlakuan.

Media dasar adalah kombinasi zat yang mengandung hara esensial (makro dan

mikro), sumber energi dan vitamin. Dalam teknik kultur jaringan dikenal puluhan

macam media dasar. Penanamaan resep media dasar umumnya diambil dari nama

penemunya atau peneliti yang menggunakan pertama kali dalam kultur khusus

dan memperoleh suatu hasil yang memiliki arti pentng. Media dasar yang paling

sering dan banyak digunakan adalah komposisi media dari Murashige dan Skoog

(Gunawan, 1992).

Selain faktor jenis eksplan dan genotip tanaman, regenerasi tanaman juga

dipengaruhi oleh komposisi media yang digunakan. Masing-masing jenis

eksplan/sel dan genotip tanaman memerlukan komposisi media yang

berbeda-beda (Pierik 1987). Menurut Wattimena et al. (1992), media untuk

menumbuhkan sel/eksplan tanaman pada dasarnya berisi unsur hara makro, mikro,

(27)

zat besi, vitamin, mineral, dan zat pengatur tumbuh. Hardjo (1994) menyatakan

bahwa pada prinsipnya media untuk kultur jaringan terdiri dari campuran

garam-garam anorganik, karbon sebagai sumber energi, vitamin, dan ZPT. Unsur hara

makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman terdapat dalam bentuk garam-garam

anorganik.

2.2.3 Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh adalah persenyawaan organik selain nutrien yang dalam

jumlah sedikit (1 mM) dapat merangsang, menghambat, atau mengubah pola

pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Moore, 1979 dalam Gunawan, 1992).

Zat pengatur tumbuh sangat berperan di dalam mengarahkan pertumbuhan sel

tanaman. Kombinasi zat pengatur tumbuh yang tepat akan menghasilkan

pertumbuhan sel yang optimal (Wattimena et al., 1992).

Penggunaan zat pengatur tumbuh di dalam kultur jaringan tergantung pada arah

pertumbuhan jaringan tanaman yang diinginkan. Untuk pembentukan tunas

digunakan sitokinin sedangkan untuk pembentukan akar digunakan auksin. Jenis

dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tepat untuk setiap tanaman tidak sama,

tergantung pada genotip serta kondisi fisiologi jaringan tanaman (Lestari, 2011).

Menurut Gunawan (1992), dua golongan zat pengatur tumbuh dalam kultur

jaringan yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh

ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan

organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan

(28)

perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen,

mengubah level zat pengatur tumbuh endogen. Level zat pengatur tumbuh

endogen ini kemudian merupakan trigerring factor untuk proses pertumbuhan dan

morfogenesis.

Golongan sitokinin adalah turunan dari adenine. Golongan ini sangat penting

dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Pengkulturan dengan media

yang ditambah sitokinin bertujuan untuk merangsang pertumbuhan mata tunas

samping dan mencegah dominansi apikal. Sitokinin dapat merangsang

pembentukan tunas adventif, multiplikasi tunas aksilar dan melawan dominansi

apikal (Yusnita, 2003).

Menurut Lestari (2011), pembentukan tunas in vitro sangat menentukan

keberhasilan produksi bibit yang cepat dan banyak. Semakin banyak tunas yang

terbentuk akan berkorelasi positif dengan bibit yang dapat dihasilkan melalui

kultur jaringan. Dengan demikian untuk memacu faktor multiplikasi tunas yang

tinggi diperlukan penambahan zat pengatur tumbuh sitokinin. Tunas ganda (tunas

majemuk) yang terbentuk secara langsung lebih stabil secara genetik

dibandingkan dengan tunas tidak langsung.

2.2.4 Genotip

Menurut Wattimena et al. (1992), genotip merupakan salah satu faktor yang lebih

dominan dalam mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dalam

kultur jaringan. Media dan kondisi fisik lingkungan tumbuh kultur seringkali

(29)

spesies yang lain. Bahkan antar varietas yang memiliki sifat dekat membutuhkan

lingkungan dan media yang berbeda.

Keberhasilan regenerasi kedelai sangat tergantung pada genotip yang digunakan

(Barwale et al., 1986). Menurut Pardal (2002), semua sel atau tanaman belum

tentu dapat dimanipulasi secara in vitro. Hal ini disebabkan adanya perbedaan

kemampuan daya tumbuh atau regenerasi dari masing-masing jenis sel dan

genotip tanaman. Setiap jenis eksplan atau sel dan genotip tanaman memerlukan

komposisi media yang berbeda-beda.

2.3 Regenerasi in vitro Kedelai Melalui Organogenesis

Gunawan (1992) menyatakan bahwa regenerasi in vitro adalah suatu metode

untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel,

jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga

bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi

tanaman utuh kembali. Zhang et al. (1999) menyatakan bahwa tahapan regenerasi

in vitro pada kedelai dimulai dari sterilisasi benih, pengecambahan, penyiapan

eksplan, dan subkultur.

Salah satu prasyarat keberhasilan tranformasi genetik kedelai adalah kemampuan

untuk menghasilkan atau meregenerasikan tanaman fertil dari sel atau jaringan

yang dikulturkan. Kedelai merupakan salah satu jenis tanaman yang masih sulit

dimanipulasi secara in vitro, karena tanaman ini bersifat rekalsitran (Pardal,

(30)

Menurut Barwale et al., (1986), kedelai dapat diregenerasikan melalui dua proses

yang berbeda, yaitu melalui organogenesis (shoot morphogenesis) dan

embriogenesis somatik (somatic embryogenesis). Kedua proses tersebut sangat

tergantung pada sumber eksplan dan jenis media kultur yang digunakan.

Keduanya sangat dipengaruhi oleh kultivar atau genotipe tanaman (cultivar

specific responses). Organogenesis (shoot morphogenesis) adalah proses

pembentukan dan perkembangan tunas dari jaringan meristem tunas. Selanjutnya

tunas dapat diakarkan sehingga menjadi tanaman lengkap. Sedangkan

embriogenesis somatik (somatic embryogenesis) merupakan proses regenerasi

tanaman melalui pembentukan struktur menyerupai embrio (embrioid) dari sel-sel

somatik yang telah memiliki calon akar dan tunas (seperti embrio zigotik).

Morfogenesis tunas (organogenesis) dilaporkan pertama kali oleh Wright et al.

(1986). Mereka menyatakan bahwa tunas-tunas dapat diperoleh secara de novo

dari nodus kotiledon kecambah kedelai. Jaringan meristem tunas terbentuk di

bawah jaringan epidermis dan jaringan morfogenik dapat berproliferasi pada

media yang mengandung benzyladenine (BA). Marveldani et al. (2007)

melaporkan bahwa konsentrasi BA yang terbaik untuk regenerasi eksplan buku

kotiledon tiga varietas kedelai adalah 0,75 mg/l.

Menurut Wattimena et al. (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

dan morfogenesis tanaman dalam kultur jaringan dapat digolongkan menjadi 4

golongan utama yaitu:

1. Genotipe dari sumber bahan tanam yang digunakan.

(31)

3. Media kultur, mencakup komponen penyusun media dan zat pengatur tumbuh

yang digunakan.

4. Lingkungan tumbuh yaitu kedaaan fisik tempat kultur ditumbuhkan.

5. Fisiologi jaringan tanaman sebagai eksplan.

Keempat faktor utama diatas dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya, dan

yang menjadi masalah adalah mendapatkan metode yang tepat untuk memperoleh

pertumbuhan dan perkembangan yang optimal sehingga diperoleh tanaman

lengkap (plantlet).

2.4 Perkecambahan dan Imbibisi Pada Kedelai

Perkecambahan merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan embrio, serta

tahap awal perkembangan suatu tumbuhan, khususnya tumbuhan berbiji. Pada

perkecambahan, embrio di dalam biji yang semula berada pada kondisi dorman

mengalami sejumlah perubahan fisiologis yang menyebabkan embrio berkembang

menjadi tumbuhan muda. Tumbuhan muda ini dikenal sebagai kecambah. Hasil

perkecambahan ini adalah munculnya tumbuhan kecil dari dalam biji (Kusfebriani

et al., 2010).

Menurut Wibowo (2012), faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih

adalah faktor internal (tingkat kematangan benih, ketidaksempurnaan embrio,

daya tembus air dan oksigen terhadap kulit biji) serta faktor eksternal (suhu, air,

oksigen dan cahaya). Perkecambahan tidak dapat terjadi jika benih tidak

menyerap air dari lingkungan. Air merupakan syarat esensial untuk

(32)

yang ada. Seledri memerlukan kandungan air tanah dekat kapasitas lapang,

sedangkan tomat memerlukan kandungan air tanah di atas titik layu permanen.

Umumnya kondisi lewat basah sangat merugikan sebagian besar benih, karena

menghambat aerasi dan merangsang kondisi favorable untuk perkembangan

penyakit.

Proses imbibisi pada perkecambahan kedelai merupakan proses fisik yaitu air

masuk ke dalam benih. Imbibisi air oleh benih sangat dipengaruhi oleh komposisi

kimia benih, permeabilitas kulit benih dan jumlah air yang tersedia baik air dalam

bentuk cairan maupun uap air yang terdapat disekitar benih. Air yang masuk ke

dalam biji dapat berasal dari lingkungan di sekitar biji, seperti dari tanah, udara

(dalam bentuk embun atau uap air), maupun media lainnya. Imbibisi terjadi

karena permukaan-permukaan struktur mikroskopik dalam sel tumbuhan, seperti

selulosa, butir pati, protein, dan bahan lainnya dapat menarik dan memegang

molekul-molekul air dengan gaya tarik antar molekul. Proses penyerapan air

tersebut terjadi melalui mikrofil pada kotiledon. Air yang masuk ke dalam

kotiledon menyebabkan volumenya bertambah, akibatnya kotiledon membengkak.

Pembengkakan tersebut menyebabkan testa (kulit biji) menjadi pecah atau robek

(Sadjad, 1975).

Menurut Kusfebriani et al. (2010) beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan

penyerapan air oleh biji adalah permeabilitas kulit biji, konsentrasi air, suhu,

tekanan hidrostatik, luas permukaan biji yang kontak dengan air, daya

intermolekuler, dan komposisi kimia. Air berguna untuk mengencerkan

(33)

seperti pencernaan, pernapasan, asimilasi dan pertumbuhan. Air juga memberikan

fasilitas untuk masuknya oksigen ke dalam biji. Dinding sel yang kering hampir

tidak permeabel untuk gas, tetapi jika dinding sel diimbibisi oleh air, maka gas

akan masuk ke dalam sel secara difusi. Penyaluran oksigen pada sel-sel hidup

meningkat yang dapat memungkinkan pernapasan lebih aktif. Karbondioksida

yang dihasilkan oleh pernapasan tersebut lebih mudah berdifusi keluar.

2.5 Pengakaran Pada Kedelai

Hasil penelitian Azriati, E., Asmeliza dan Yurmita, N. (2003) menunjukkan

bahwa pemberian NAA 0,5 μM dapat meningkatkan pembentukan akar sebanyak

25 %. Selanjutnya pada pemberian NAA 1 μM menunjukkan persentase

pembentukan akar sebanyak 20 % dan pemberian NAA 1,5 μM menunjukkan

persentase pembentukan akar sebanyak 5 %. Sedangkan pada perlakuan tanpa

NAA, eksplan kedelai dapat membentuk akar 10%. Akar yang terbentuk tanpa

pemberian NAA diduga karena auksin endogen didalam eksplan relatif mampu

merangsang pembentukan akar. Peningkatan konsentrasi NAA cenderung akan

menghambat pembentukan akar.

Tanpa pemberian zat tumbuh, tanaman mempunyai hormon pertumbuhan yang

membantu pertumbuhannya seperti auksin, sitokinin, giberelin dan asam absisat.

Dengan demikian, pertumbuhan tanaman secara alami dikendalikan oleh hormon

endogen dan hormon tersebut terdapat pada tanaman dalam jumlah yang kecil.

Pemberian senyawa-senyawa sintetik tersebut akan merubah keseimbangan

(34)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian

Universitas Lampung, dimulai dari Maret sampai dengan Mei 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antaralain benih kedelai

varietas Detam 1, Detam 2, Burangrang, dan Panderman, HCl, bayclin, deterjen,

air suling, spirtus, gula pasir, agar-agar, air steril, KOH 1 N, HCl 1 N, larutan stok

penyusun media dasar MS (Murashige and Skoog), zat pengatur tumbuh dari

golongan sitokinin yaitu BA dan zat pengatur tumbuh dari golongan auksin yaitu

NAA.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antaralain botol kultur, pinset,

skapel nomor 3, blade (pisau) nomor 15, cawan petri (petri dish), bunsen burner,

korek api gas, laminar air flow, erlenmeyer, labu takar, gelas ukur, gelas piala,

botol tera, desikator, vaselin, plastik wrap, kertas wrap, sarung tangan, masker,

plastik bening, timbangan elektrik, autoklaf steril, autoklaf Bedenburg, bak air,

(35)

handsprayer, magnetic stirer, dirigen, kompor gas, gunting, kertas alas

menimbang, karet gelang, tisu, kapas, kamera, dan alat tulis.

3.3 Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan

yang diterapkan terdiri dari dua faktor yaitu varietas (Detam 1, Detam 2,

Burangrang dan Panderman) dan metode pra-kultur (imbibisi 20 jam dan

kecambah 6 hari). Metode pra-kultur adalah perlakuan yang diberikan terhadap

benih kedelai yang digunakan sebelum ditanam pada media inisiasi tunas.

Perlakuan disusun secara faktorial (4x2) dengan 5 ulangan. Setiap satuan

percobaan terdiri dari empat eksplan buku kotiledon kedelai. Tata letak dibuat

dari pengelompokkan berdasarkan waktu tanam untuk setiap ulangan (Gambar 7

pada lampiran). Setelah metode pra-kultur melalui perlakuan imbibisi 20 jam

maupun kecambah 6 hari dilakukan, selanjutnya eksplan buku kotiledon ditanam

pada media inisiasi tunas yaitu MS + BA 0,75 mg/l. Homogenitas ragam data

antar perlakuan diuji dengan menggunakan uji Bartlett dan uji lanjut dengan uji

beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5%.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Sterilisasi Alat

Botol kultur disterilisasi menggunakan autoklaf Bedenburg dengan tekanan 1,2

kg/cm3 dan suhu 121ºC selama 3 jam, setelah itu direndam didalam air yang telah

berisi deterjen dan bayclin selama 24 jam. Kemudian, botol tersebut dicuci bersih

(36)

Selanjutnya, botol ditiriskan hingga kering lalu ditutup dengan plastik bening dan

diikat dengan karet gelang. Botol tersebut disterilisasi lagi dengan menggunakan

autoklaf steril selama 30 menit dengan tekanan 1,2 kg/cm3 dan suhu 121ºC.

Setelah proses sterilisasi selesai, maka botol tersebut dapat disimpan untuk

digunakan dalam pembuatan media tanam. Sedangkan, untuk alat-alat seperti

petridish, gunting, skapel, pinset, botol scot, air steril, kapas dan tisu dibungkus

dahulu dengan manggunakan kertas putih bersih lalu dimasukkan kedalam plastik

dan diikat dengan karet gelang. Selanjutnya, dilakukan sterilisasi dengan

menggunakan autoklaf steril selama 30 menit.

3.4.2 Pembuatan Media Kultur

Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS dan MS +

BA 0,75 mg/l. Media MS digunakan sebagai media perkecambahan benih pada

perlakuan kecambah selama enam hari, sedangkan media MS yang mengandung

BA 0,75 mg/l merupakan media inisiasi untuk pembentukan tunas adventif.

Pemadat media yang digunakan adalah agar-agar sebanyak 8 g/l. Gula yang

digunakan sebanyak 30 g/l. Derajat keasaman (pH) diatur menggunakan pH

meter sampai menunjukkan pH 5,8 dengan penambahan KOH 1 N atau HCL 1N.

Larutan media yang telah dibuat lalu dimasak sampai mendidih. Kemudian,

larutan media tersebut dituangkan ke dalam botol kultur yang telah disterilisasi,

ditutup dengan plastik, dan diikat dengan karet gelang. Selanjutnya media

didalam botol steril tersebut disterilisasi menggunakan autoklaf steril pada suhu

(37)

3.4.3 Sterilisasi Benih Sumber

Cara sterilisasi dilakukan dengan cara menaruh selapis benih kedelai dari

masing-masing varietas didalam cawan petri terbuka kemudian ditempatkan mengelilingi

gelas piala yang sudah berisi campuran HCl dan Bayclin didalam desikator.

Kemudian, desikator ditutup rapat dengan memberikan vaselin dibagian tepi.

Desikator lalu ditutup dengan plastik wrap. Sterilisasi benih berlangsung selama

2 x 24 jam.

Benih kedelai dari empat varietas disterilkan menggunakan gas klorin. Gas klorin

diproduksi di dalam desikator dengan cara menambahkan tetes demi tetes 3 ml

HCl 12 N ke permukaan dinding bagian dalam gelas piala yang telah berisi 100

ml Bayclin yang berbahan aktif NaClO 5,25%. Reaksi kimia gas klorin tersebut

sebagai berikut:

HCl + NaClO H2O + NaCl + Cl2

3.4.4 Kecambah 6 Hari

Benih kedelai dari empat varietas yang telah disterilisasi kemudian ditanam ke

dalam MS. Jumlah benih yang ditanam adalah lima benih per botol. Botol-botol

media yang telah ditanami benih kedelai tersebut diinkubasi selama 6 hari pada

suhu 24 ± 2°C dengan kondisi terang selama 16 jam dan gelap selama 8 jam.

3.4.5 Imbibisi 20 Jam

Benih kedelai dari empat varietas yang telah melalui proses sterilisasi

dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 100 ml yang berisi air steril 40-50 ml

sampai benih-benih tersebut terendam sepenuhnya. Perendaman benih-benih

(38)

3.4.6 Inisiasi Tunas

Pada perlakuan kecambah enam hari, proses inisiasi tunas diawali dengan

memisahkan kotiledon dari akarnya dengan cara memotong hipokotil 3-5 mm di

bawah buku kotiledon. Dua kotiledon dipisahkan dengan cara membelah vertikal

menggunakan pisau skapel nomor 15. Pucuk poros embrio di atas buku kotiledon

dibuang, kemudian dibuat 5 sampai 7 kali sayatan sejajar dengan poros embrio

pada buku kotiledon (Gambar 1).

Gambar 1. Penyayatan sejajar dengan poros embrio (ditunjukkan oleh panah berwarna merah) pada eksplan buku kotiledon varietas Detam 1.

Pada perlakuan imbibisi 20 jam, diawali dengan membuang air yang terdapat

didalam erlenmeyer yang berisi benih kedelai. Kemudian dilanjutkan dengan

membelah benih secara vertikal menjadi dua bagian kotiledon. Proses selanjutnya

sama seperti pada perlakuan kecambah. Eksplan buku kotiledon dari perlakuan

kecambah enam hari dan imbibisi 20 jam tersebut dikulturkan pada media inisiasi

tunas yang mengandung BA 0,75 mg/l (media MS + BA 0,75). Penanaman

eksplan pada media inisiasi tunas dilakukan dengan cara memposisikan eksplan

condong dengan sudut 120°, permukaan adaksial menghadap ke atas dan bagian

(39)

minggu pada suhu 24 ± 2°C dengan kondisi terang selama 16 jam dan kondisi

gelap selama 8 jam.

3.4.7 Subkultur

Setelah berumur dua minggu pada media inisiasi tunas, dilakukan pemotongan

bagian bawah dekat tempat munculnya tunas adventif dan bagian atas eksplan

yang meliputi bakal tunas adventif dipindahkan ke media inisiasi baru. Tunas

adventif yang memiliki lebih dari tiga daun sudah bisa dikulturkan ke dalam

media pengakaran.

3.4.8 Pengakaran

Setelah tunas adventif dari masing-masing eksplan buku kotiledon terbentuk,

dilakukan pemisahan tunas adventif dari eksplan buku kotiledon tersebut.

Selanjutnya tunas adventif dari masing-masing perlakuan pra-kultur ditanam pada

media pengakaran ½ MS dan ½ MS + NAA 0,5 mg/l. Tunas adventif yang telah

ditanam pada media pengakaran tersebut diletakkan di ruang kultur dan diamati

selama dua minggu pada suhu 24 ± 2°C dengan kondisi terang selama 16 jam dan

kondisi gelap selama 8 jam.

3.5 Variabel Pengamatan

Variabel yang diamati pada penelitian ini sebagai berikut:

(1) Rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTAPE).

Variabel ini dihitung berdasarkan jumlah tunas adventif yang tumbuh

(40)

(2) Persentase eksplan yang membentuk tunas adventif (PEMTA).

Variabel ini dihitung berdasarkan jumlah eksplan yang membentuk tunas

adventif dibagi jumlah seluruh eksplan dikali 100 %.

(3) Persentase tunas adventif yang membentuk akar fungsional (PTMAF).

Variabel ini dihitung berdasarkan jumlah tunas adventif yang berakar

dibagi jumlah tunas adventif yang ditanam di media pengakaran lalu

(41)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan, maka diperoleh kesimpulan

sebagai berikut :

1. Metode pra-kultur, varietas dan interaksi antara metode pra-kultur dengan

varietas tidak mempengaruhi rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan.

2. Persentase eksplan yang membentuk tunas adventif diperoleh dengan lebih

efektif jika menggunakan varietas Detam 1 melalui perlakuan perkecambahan

(70%), varietas Panderman melalui perlakuan imbibisi (50%), varietas

Burangrang melalui perlakuan imbibisi (35%) serta varietas Detam 2 melalui

perlakuan imbibisi dan perkecambahan (20%).

3. Media pengakaran ½ MS dan ½ MS + NAA 0,5 mg/l memiliki efektifitas

yang sama terhadap persentase tunas adventif yang membentuk akar

fungsional pada minggu kedua setelah pengakaran.

5.2 Saran

Berdasarkan evaluasi dari penelitian yang telah dilakukan, untuk mengetahui

(42)

disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut menggunakan varietas kedelai

dan metode pra-kultur tersebut namun dengan berbagai konsentrasi media inisiasi

tunas yang lain. Selain itu, disarankan juga menggunakan media pengakaran

dengan konsentrasi NAA yang lain untuk mengetahui persentase tunas adventif

yang membentuk akar fungsional sehingga dapat membandingkan efektifitas

(43)

PUSTAKA ACUAN

Adisarwanto dan Wudianto. 1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah keing-Pasang Surut. Penebar Swadaya. Jakarta. 87 hlm.

Alimoeso, S. 2006. Deptan RI Canangkan Program Bangkit Kedelai.

(www.jabar.go.id ). Diakses 25 Februari 2013.

Azriati, E., Asmeliza dan Yurmita, N. 2003. Respon Regenerasi Eksplan Kalus Kedelai (Glycine max (L.) Merril) Terhadap Pemberian NAA Secara in Vitro. Jurnal PKMP Biologi FMIPA. Universitas Negeri Padang. Padang. 8 hlm.

Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai Angka Tetap 2011 dan Angka Ramalan I 2012 (www.bps.go.id/brs_file/aram_2jul12. pdf). Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XV, 2 Juli 2012. Diakses 2 Februari 2013.

Barwale, U.B., H.R. Kerns, J.M.Widholm. 1986. Plant regeneration from callus cultures of several soybean genotypes via embryogenesis and

organogenesis. Planta 167:473-481.

Clemente, T., B. J. La Valle, A. R. Howe, D. C. Ward, R. J. Rozman, P. E. Hunter, D. L. Broyles, D. S. Kasten, and M. A. Hinchee. 2000. Progeny Analysis of Glyphosate Selected Transgenic Soybeans derived from

Agrobacterium mediated transformation. Crop Sci. (40): 797-803.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. tt. Data Deskripsi Varietas Kedelai : Detam 1 (http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/sub Menu/1544). Diakses 24 Februari 2013.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. tt. Data Deskripsi Varietas Kedelai : Detam 2 (http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/sub Menu/1545). Diakses 24 Februari 2013.

(44)

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. tt. Data Deskripsi

Varietas Kedelai: Panderman (http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/sub Menu/1607). Diakses 24 Februari 2013.

George, E.F dan Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegtics Ltd. England.

Gunawan, Livy Winata. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Hal: 1.

Hardjo, P. H. 1994. Organogenesis Langsung dan Kalogenesis pada Kultur kedelai (Glycine max [L.] Merr.dan Glycine tomentella H.)Dalam Medium MS dan PCL-2 Termodifikasi. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hlm.

Hosen, Nasrul dan Atman. 2008. Dukungan Teknologi Dan Kebijakan Dalam Pengembangan Tanaman Kedelai di Sumatera Barat. Jurnal Ilmiah Tambua (VII), No. 3, September-Desember 2008. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat. 347-359 hlm.

Kusfebriani, S. A. Novia, I. A. Noor, W. Veny, R. Rani. 2010. Perkecambahan dan Dormansi. Makalah Fisiologi Tumbuhan. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta. 27 hlm.

Lestari, Endang G. 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen. (VII), No. 1. Hal: 63-68.

Marveldani, Maimun B., dan Setyo, D.U. 2007. Regenerasi In Vitro Kedelai Melalui Organogenesis pada Tiga Konsentrasi Benziladenin. Jurnal Penelitian dan Informasi Pertanian. “Agrin” (XI). No. 2 Oktober 2007. Hal :85.

Marveldani, Maimun B., Kukuh S., dan Setyo D.U. 2007. Pengembangan Kedelai Transgenik yang Toleran Herbisida Amonium-Glufosinat dengan

Agrobacterium. Jurnal Akta Agrosia (X). No. 1, Januari-Juni 2007. Hal: 54.

Nugroho, A. 2005. Regenerasi Tunas In Vitro Empat Varietas Kedelai (Glycine max [L] Merr.) pada Tiga Knsetrasi Benziladenin (BA). Laporan

penelitian. Fakultas Pertanian, Unila, Bandar Lampung, Hal: 52.

(45)

Paz, M. Margie, Juan, C.M, Andrea, B.K, Fonger, T.M, Kan, W. 2006. Improved cotyledonary node method using an alternative explant derived from

mature seed for efficient Agrobacterium-mediated soybean transformation.

Plant Cell Rep. 25: 206-213.

Pierik, R.L.M. 1987. In vitro culture of higher plants. Martinus Nijhoff Publisher, Dordrecht, Boston, Lancaster. 344 pp.

Rukmana, R. dan Yuniarsih, Y. 1996. Kedelai Budidaya dan Pasca Panen.

Kanisius. Yogyakarta. 92 hlm.

Sadjad, S. 1975. Proses perkecambahan metabolisme perkecambahan benih. Departemen Agronomi, IPB. Bogor. Hal : 35-57.

Safitri, Y. 2013. Pengaruh Perlakuan Pra-Kultur Terhadap Efisiensi Regenerasi

In Vitro Lima Varietas Kedelai. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sari, R.M. 2012. Pengaruh berbagai Bagian Benih Sebagai Sumber Eksplan dengan Umur Kecambah Enam Hari Terhadap Induksi embrio Somatik Dua Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Setiawan, Darma. 2008. Evaluasi Karakter Agronomi kedelai (Glycine max [L] Merr.) Transgenik Generasi R1 Hasil Transformasi Genetik Menggunakan

Agrobacterium. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hal: 1.

Sofia, Diana. 2007. Pengaruh Berbagai Konsentrasi BAP dan Cycocel (CCC) Terhadap Pertumbuhan Embrio Kedelai Secara In Vitro. Karya tulis. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. 24 hlm.

Sumarno dan Widiyati. 1985. Produksi dan Teknologi Benih Kedelai. Balitan Bogor. Bogor. Hal: 407-428.

Utomo, S.D. 2005. Efisiensi Regenerasi in Vitro Enam Varietas Kedelai Melalui Organogenesis. Agrista 9 (1): 83-92.

Utomo, S. D., Akari, E. dan Fitri, Y. 2010. Regenerasi in Vitro dari Eksplan Buku Kotiledon Enam Varietas Kedelai melalui Organogenesis pada Medium MS. Prosiding bagian II. Seminar nasional Sains dan Teknologi III. 10 (1): 49-55.

(46)

Wattimena, G.A., Livy Winata, G., Nurhayati, A.M., Endang S., Ni Made A.W., dan Andri, E. 1992. Bioteknologi tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, PAU Bioteknologi IPB. 71 hlm.

Wibowo, Ari Etos. 2012. Acara I Imbibisi Benih (http://arietos.blogspot.com/ 2012/11/acara-i-imbibisi-benih-abstraksi_17.html). Diunduh 28 Februari 2013.

Wright, M. S., S. M.Koehler, M. A. Hinchee, and M. G. Carnes. 1986. Plant regeneration by organogenesis in Glycinemax. Plant Cell Rep. 5:150-154.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Zhang, Z., A. Xing, P. Staswick, dan T.E. Clemente. 1999. The Use of Glufosinate as A Selective Agent in Agrobacterium mediated

Gambar

Tabel 3-19    ...............................................................................................
Gambar 1. Penyayatan sejajar dengan poros embrio (ditunjukkan oleh panah         berwarna merah) pada eksplan buku kotiledon varietas Detam 1

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang berjudul, “SUBSTITUSI ISOLAT PROTEIN KORO PEDANG (Canavalia ensiformis) SEBAGAI PENGGANTI KUNING TELUR PADA

Data kondisi obyektif tentang dampak pelatihan yang diikuti guru SLB Negeri Purwakarta terhadap kemampuan membuat alat asesmen pra membaca dan pelatihan yang

Menurut Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas no.506/c/PP/2004 (dalam Shadiq, 2009) indikator pemahaman konsep matematis siswa antara lain: menyatakan ulang sebuah konsep,

pengaruh pemahaman bangun segiempat terhadap hasil belajar matematika, (e). studi pendahuluan, (f)

The effective interest rate is the rate that exactly discounts estimated future cash receipts or payments (including all fees and points paid or received that form

Implementasi LKM Posdaya Kenanga dikatakan baik karena dari hasil tabel frekuensi menunjukkan tingkat ketepatan sasaran, tingkat pemberian sumber daya, dan tingkat

Empirical results (e.g., Zeithaml, 1998; and Dodds et al., 1991) also support the view that perceived value lead to customers intention to continue purchasing from an organized

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan Laporan Praktek Kerja ini, maka penulis memakai metode sebagai berikut :.