• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar untuk Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar untuk Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN RANSUM KOMPLIT BERBASIS SAMPAH

SAYURAN PASAR UNTUK PRODUKSI DAN KOMPOSISI

SUSU KAMBING PERAH

NUR SANTY ASMINAYA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar untuk Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

(3)

ABSTRACT

NUR SANTY ASMINAYA. Utilization Vegetable Waste of Traditional

Market as Complete Feed for milk Yield in Dairy Goat. Under Supervision of BAGUS P PURWANTO and MUHAMMAD RIDLA

This experiment was conducted to observe effect of utilization vegetable waste of traditional market as complete feed on milk production and its composition of Dairy Goat. Nine lactating goats were used in a randomized block design (3X3) to observe feed consumption, milk production and milk composition (protein, fat, lactose, solid non fat). The complete ration feed used were normal, dried complete feed and silage with vegetable waste as main ingredients. The results showed that dried feed and silage as complete feed with vegetable waste as main ingredients decreased feed consumption, milk production, lactose but not for protein, fat, and solid non fat. It was concluded that dried complete feed and silage of traditional market waste can’t substitute normal ration in dairy goats.

(4)

©

Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor,

sebagian atau seluruhnya dalam bentu apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm dan

(5)

PENGGUNAAN RANSUM KOMPLIT BERBASIS SAMPAH

SAYURAN PASAR UNTUK PRODUKSI DAN KOMPOSISI

SUSU KAMBING PERAH

NUR SANTY ASMINAYA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Tesis : Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar untuk Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah Nama : Nur Santy Asminaya

Nrp : D051040121

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bagus P Purwanto, M.Agr Dr. Ir. M Ridla, M.Agr. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan sekolah pascasarjana

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Terimakasih penulis ucapkan kepada bapak Dr. Ir. Bagus P Purwanto, M.Agr dan bapak Dr. Ir. M Ridla, M.Agr selaku Komisi Pembimbing serta bapak Dr. Ir. Nahrowi, M.Agr selaku ketua program studi dan penguji luar komisi yang telah banyak memberikan pengarahan dalam penyusunan tesis ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Yulianto beserta staff yang telah menyediakan tempat penelitian dan membantu pengumpulan data.

(8)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar terhadap Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah.

Semakin sempitnya lahan pertanian akibat peningkatan jumlah penduduk dan semakin luasnya areal pemukiman menyebabkan semakin sulitnya memperoleh hijauan makanan ternak, terutama pada saat musim kemarau. Harga pakan yang relatif mahal dengan kualitas yang rendah mengakibatkan tingginya biaya produksi. Disisi lain pemberian pakan masih belum efektif dan efisien menyebabkan tidak efisiennya pemakaian waktu dan tenaga kerja. Terkait dengan hal tersebut maka diperlukan suatu teknologi yang dianggap tepat untuk dikembangkan sehingga dapat meminimalisir tenaga, biaya dan waktu serta dapat memperpanjang masa penyimpanan pakan. Teknologi pengawetan pakan yang mungkin dapat diterapkan adalah teknologi pengeringan dan fermentasi anaerob (silase).

Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan tesis ini. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis.

Bogor, Mei 2007

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Maret 1981, di Kecamatan Mandonga, Kodya Kendari, Sulawesi Tenggara. Penulis adalah anak pertama dari tujuh bersaudara dari Ir Alimin Midi dan Siti Aliyah.

Pada tahun 1987, penulis lulus dari TK Pembina. Tahun 1993 lulus dari SDN 1 Wua-Wua dan Tahun 1996 lulus dari SLTP Neg. Anduonohu. Tahun 1999, penulis lulus dari SMU Neg. 4 Kendari dan pada tahun itu juga penulis diterima menjadi mahasiswa Program studi Ilmu Produksi Ternak Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo (UNHALU) melalui jalur Bebas Test.

Selama menempuh pendidikan di Unhalu, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTEK) periode 2000/2001 sampai dengan 2002/2003, FK-AGRIFAUNA Periode 2000/2001 dan International Association of Agricultural and Releated Science Indonesia Local Comitte Haluoleo University (IAAS IND LC-Unhalu) periode 2001/2002 sampai dengan 2003/2004. Penulis juga diangkat sebagai asisten pada matakuliah Fisika Dasar mulai 2002 sampai tahun 2004. Kemudian pada tahun 2003 penulis mengikuti lomba PKM penulisan Ilmiah (PKMI) Batch II.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Potensi Sampah ... 4

Silase ... 5

Fase Ensilase ... 8

Kualitas Silase ... 10

Ransum Kering ... 11

Kambing Perah ... 13

Sintesis dan Kualitas Susu ... 14

Protein Susu ... 17

Laktosa Susu ... 18

Lemak Susu ... 20

METODE PENELITIAN ... 22

Waktu dan Tempat ... 23

Materi Penelitian ... 23

Ransum dan Peralatan ... 23

Pembuatan RKK dan RSK ... 24

Metode Penelitian ... 25

Peubah Penelitian ... 26

Rancangan Percobaan ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

Konsumsi Bahan Kering Ransum ... 28

Produksi Susu ... 31

Efisiensi Penggunaan BK Ransum ... 31

Berat Jenis ... 37

Protein ... 38

Laktosa ... 38

Lemak ... 42

Bahan Kering (BK) Susu ... 43

Bahan Kering tanpa Lemak (BKTL) Susu ... 44

Produksi Komponen Susu ... 44

KESIMPULAN ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(11)

PENGGUNAAN RANSUM KOMPLIT BERBASIS SAMPAH

SAYURAN PASAR UNTUK PRODUKSI DAN KOMPOSISI

SUSU KAMBING PERAH

NUR SANTY ASMINAYA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar untuk Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

(13)

ABSTRACT

NUR SANTY ASMINAYA. Utilization Vegetable Waste of Traditional

Market as Complete Feed for milk Yield in Dairy Goat. Under Supervision of BAGUS P PURWANTO and MUHAMMAD RIDLA

This experiment was conducted to observe effect of utilization vegetable waste of traditional market as complete feed on milk production and its composition of Dairy Goat. Nine lactating goats were used in a randomized block design (3X3) to observe feed consumption, milk production and milk composition (protein, fat, lactose, solid non fat). The complete ration feed used were normal, dried complete feed and silage with vegetable waste as main ingredients. The results showed that dried feed and silage as complete feed with vegetable waste as main ingredients decreased feed consumption, milk production, lactose but not for protein, fat, and solid non fat. It was concluded that dried complete feed and silage of traditional market waste can’t substitute normal ration in dairy goats.

(14)

©

Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor,

sebagian atau seluruhnya dalam bentu apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm dan

(15)

PENGGUNAAN RANSUM KOMPLIT BERBASIS SAMPAH

SAYURAN PASAR UNTUK PRODUKSI DAN KOMPOSISI

SUSU KAMBING PERAH

NUR SANTY ASMINAYA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

Judul Tesis : Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar untuk Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah Nama : Nur Santy Asminaya

Nrp : D051040121

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bagus P Purwanto, M.Agr Dr. Ir. M Ridla, M.Agr. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan sekolah pascasarjana

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

(17)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Terimakasih penulis ucapkan kepada bapak Dr. Ir. Bagus P Purwanto, M.Agr dan bapak Dr. Ir. M Ridla, M.Agr selaku Komisi Pembimbing serta bapak Dr. Ir. Nahrowi, M.Agr selaku ketua program studi dan penguji luar komisi yang telah banyak memberikan pengarahan dalam penyusunan tesis ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Yulianto beserta staff yang telah menyediakan tempat penelitian dan membantu pengumpulan data.

(18)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar terhadap Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah.

Semakin sempitnya lahan pertanian akibat peningkatan jumlah penduduk dan semakin luasnya areal pemukiman menyebabkan semakin sulitnya memperoleh hijauan makanan ternak, terutama pada saat musim kemarau. Harga pakan yang relatif mahal dengan kualitas yang rendah mengakibatkan tingginya biaya produksi. Disisi lain pemberian pakan masih belum efektif dan efisien menyebabkan tidak efisiennya pemakaian waktu dan tenaga kerja. Terkait dengan hal tersebut maka diperlukan suatu teknologi yang dianggap tepat untuk dikembangkan sehingga dapat meminimalisir tenaga, biaya dan waktu serta dapat memperpanjang masa penyimpanan pakan. Teknologi pengawetan pakan yang mungkin dapat diterapkan adalah teknologi pengeringan dan fermentasi anaerob (silase).

Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan tesis ini. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis.

Bogor, Mei 2007

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Maret 1981, di Kecamatan Mandonga, Kodya Kendari, Sulawesi Tenggara. Penulis adalah anak pertama dari tujuh bersaudara dari Ir Alimin Midi dan Siti Aliyah.

Pada tahun 1987, penulis lulus dari TK Pembina. Tahun 1993 lulus dari SDN 1 Wua-Wua dan Tahun 1996 lulus dari SLTP Neg. Anduonohu. Tahun 1999, penulis lulus dari SMU Neg. 4 Kendari dan pada tahun itu juga penulis diterima menjadi mahasiswa Program studi Ilmu Produksi Ternak Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo (UNHALU) melalui jalur Bebas Test.

Selama menempuh pendidikan di Unhalu, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTEK) periode 2000/2001 sampai dengan 2002/2003, FK-AGRIFAUNA Periode 2000/2001 dan International Association of Agricultural and Releated Science Indonesia Local Comitte Haluoleo University (IAAS IND LC-Unhalu) periode 2001/2002 sampai dengan 2003/2004. Penulis juga diangkat sebagai asisten pada matakuliah Fisika Dasar mulai 2002 sampai tahun 2004. Kemudian pada tahun 2003 penulis mengikuti lomba PKM penulisan Ilmiah (PKMI) Batch II.

(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Potensi Sampah ... 4

Silase ... 5

Fase Ensilase ... 8

Kualitas Silase ... 10

Ransum Kering ... 11

Kambing Perah ... 13

Sintesis dan Kualitas Susu ... 14

Protein Susu ... 17

Laktosa Susu ... 18

Lemak Susu ... 20

METODE PENELITIAN ... 22

Waktu dan Tempat ... 23

Materi Penelitian ... 23

Ransum dan Peralatan ... 23

Pembuatan RKK dan RSK ... 24

Metode Penelitian ... 25

Peubah Penelitian ... 26

Rancangan Percobaan ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

Konsumsi Bahan Kering Ransum ... 28

Produksi Susu ... 31

Efisiensi Penggunaan BK Ransum ... 31

Berat Jenis ... 37

Protein ... 38

Laktosa ... 38

Lemak ... 42

Bahan Kering (BK) Susu ... 43

Bahan Kering tanpa Lemak (BKTL) Susu ... 44

Produksi Komponen Susu ... 44

KESIMPULAN ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kriteria penilaian silase ... 11

2. Komposisi susu kambing, sapi dan ASI ... 15

3. Komponen susu kambing ... 17

4. Komposisi bahan makanan yang digunakan dalam penelitian ... 24

5. Kandungan zat-zat makanan yang digunakan dalam penelitian ... 24

6. Rataan konsumsi bahan kering (BK) ketiga jenis ransum dan produksi susu kambing perah penelitian ... 28

7. Komposisi susu kambing perah penelitian (%) ... 37

(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Asal usul pembentukan unsur utama susu ... 16 2. Jalur sintesis protein dari asam amino ... 18 3. Jalur sintesis laktosa ... 19 4. Jalur sintesis asam lemak pada jaringan mammary ruminansia ... 21 5. Skema pembuatan RKK dan RSK sampah sayuran pasar ... 25 6. Rataan konsumsi bahan kering ransum kambing perah penelitian

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

(24)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu permasalahan utama dalam usaha peternakan ruminansia saat ini adalah semakin langkanya hijauan pakan ternak. Beberapa penyebabnya antara lain adalah karena menyempitnya areal penanaman hijauan pakan ternak yang disebabkan terutama oleh peningkatan jumlah penduduk, perluasan areal pemukiman dan pengalihan penggunaan lahan menjadi industri. Kelangkaan ini semakin parah pada saat musim kemarau, sedangkan pada musim hujan hijauan yang tersedia belum bisa dimanfaatkan secara optimal karena mudah mengalami kerusakan akibat tingginya kadar air yang terkandung dalam hijauan tersebut. Disisi lain pemberian pakan masih belum efektif dan efisien dimana peternak lebih banyak mencurahkan waktunya untuk mencari hijauan sehingga menyebabkan tidak efisiennya pemakaian waktu dan tenaga kerja.

Permasalahan lain yang dihadapi oleh peternak ruminansia adalah harga pakan yang relatif lebih tinggi sehingga menyebabkan tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh peternak untuk mengatasi hal tersebut adalah menggembalakan ternaknya ke sembarang tempat seperti tempat pembuangan terakhir (TPA) dan beberapa pasar tradisional di kota besar.Hal ini bisa saja membahayakan ternak karena kemungkinan bahan tersebut telah bercampur dengan sampah lain yang berbahaya seperti obat-obatan yang kadaluarsa, baterai bekas atau senyawa berbahaya lainnya.

(25)

Teknologi pengeringan dan fermentasi anaerob (silase) adalah suatu teknologi pengawetan pakan yang mungkin bisa diterapkan. Pengeringan merupakan teknologi pengawetan pakan dengan kadar air yang rendah (14-15%) menggunakan alat pengering sejenis oven atau sinar matahari sehingga enzim dan mikroorganisme menjadi tidak aktif (Church 1991; Orskov 2001). Silase merupakan hasil pengawetan bahan pakan dalam suasana asam pada kondisi anaerob (Ensminger 1980) dari bahan tanaman, hijauan, limbah pertanian yang mengandung kadar air lebih dari 50% (Bolsen et al. 2000). Kedua teknologi pengawetan tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga dianggap perlu diujikan secara in vivo. Teknologi pengeringan pakan meminimalisasi aktivitas mikroorganisme selama penyimpanan dan memudahkan proses pengangkutan karena kadar airnya yang rendah (Church 1991; Orskov 2001) namun dalam prosesnya bisa menyebabkan kehilangan nutrien (Livingstone 2000; Siregar 1995). Silase dapat mengurangi kehilangan nutrisi selama proses fermentasi dan proses pembuatannya cukup rumit karena kelembaban dan kadar air harus diatur serta dibutuhkan tenaga kerja ekstra pada saat memasukkan pakan ke dalam silo (Perry et al. 2004).

Tujuan

Mengkaji penggunaan ransum komplit berbasis sampah sayuran pasar dalam bentuk kering dan fermentasi pada kambing perah dengan melihat aspek produksi dan komposisi susu.

Manfaat

1. Optimalisasi penggunaan sampah sayuran pasar sebagai pakan ternak

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi peternak sekaligus pemerintah kota dalam menangani masalah sampah terutama di pasar

3. Mengatasi pencemaran lingkungan akibat sampah sayuran tersebut 4. Diversifikasi pakan

5. Peternak tidak membutuhkan lahan yang luas untuk penanaman hijauan

(26)

Hipotesis

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Sampah

Sampah adalah semua material yang dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan, industri dan kegiatan pertanian (Soewedo 1983 diacu dalam Dephut 2005). Sampah dapat dibedakan menjadi tiga jenis, pertama sampah organik yakni sampah yang dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan, peternakan, rumah tangga, industri dan sebagainya, yang secara alami mudah terurai (oleh aktivitas mikroorganisme). Kedua, sampah anorganik yakni sampah yang berasal dari sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau hasil samping proses industri, tidak mudah hancur atau lapuk serta sebagian tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Ketiga, sampah bahan berbahaya dan beracun (B3), merupakan sisa suatu usaha yang mengandung bahan berbahaya atau beracun, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan dan membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia, serta makhluk hidup lainnya (Retnaningtyas 2004).

Menurut Retnaningtyas (2004), pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan cara pengurangan sumber (source reduction), penggunaan kembali, pemanfaatan (recycling), pengolahan (treatment) dan pembuangan. Adanya teknologi fermentasi probiotik, sampah organik seperti pucuk tebu, jerami padi, jerami kedelai, dan jerami jagung; dan limbah industri seperti molases, ampas tebu, dedak padi, ampas tahu, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dan ampas kopi, dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Upaya ini dapat menutupi berkurangnya pasokan hijauan sebagai bahan utama pakan ternak, akibat tingginya pengalihan lahan pertanian ke nonpertanian.

(28)

terlebih dahulu sebelum dikonsumsi ternak. Jika sampah organik tadi bercampur dengan sampah yang mengandung logam berat, akan menimbulkan masalah bagi ternak sebab logam tersebut dapat terakumulasi di dalam tubuhnya (Suprihatin et al. 1998).

Menurut Arifin (2006) pada sample hati sapi yang digembalakan di TPA Jatibarang, Semarang ditemukan 2.48 ppm timbal (Pb) dan 0.02 ppm mercuri. Maximum Residu Limit (MRL) yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan adalah 2.00 ppm untuk timbal dan 0.03 ppm untuk mercuri dan kandungan logam itu bisa menyebabkan perubahan genetik apabila terakumulasi terus menerus. Untuk bagian has sapi, kandungan timbal juga tinggi, mencapai 0.19 ppm. Dalam jumlah yang lebih kecil, kandungan logam berat juga terdeteksi pada daging bagian paha dan usus sapi.

Sampah yang telah hancur, dengan campuran bahan tertentu dapat dibuat dalam bentuk butiran dan kering sebagai pakan domba sedangkan belatung yang dihasilkan dalam proses penghancuran tersebut dapat dijadikan pakan ayam (Noertjahyo 2002).

Sampah organik primer dapat diolah menjadi silase ransum komplit atau campuran berbagai macam bahan bergizi. Bahan bergizi itu adalah pakan hijauan (sampah organik primer) dan pakan penguat (konsentrat) yang bahan mengandung protein tinggi seperti bungkil dan dedak, atau limbah tahu dan kecap. Bahan-bahan ini kemudian difermentasikan ke dalam kondisi anaerob (tidak memerlukan oksigen) selama dua sampai tiga minggu. Melalui mekanisme ini, sampah akan mempunyai kadar air 40-60%. Mikroorganisme aerob hilang dan berubah menjadi anaerob penghasil asam laktat yang akan berguna untuk perkembangan hewan ternak. Pakan ternak yang diperoleh melalui fermentasi, tidak saja aman, namun juga memiliki kandungan gizi yang tinggi (Nahrowi 2005).

Silase

(29)

sedangkan tempatnya disebut silo (Mc Donald et al. 1991; Woolford 1984). Tujuan pembuatan silase adalah alternatif untuk mengawetkan pakan segar sehingga nutrien yang ada dalam pakan tersebut dapat dipertahankan. Pembuatannya tidak tergantung pada musim (Susetyo et al. 1977; Bolsen and Sapienza 1993; Schroeder 2004)

Silase dapat dibuat dari berbagai macam tanaman, seperti rumput, serelia, kacang-kacangan dan tanaman lain. Ciri-ciri tanaman yang ideal untuk diawetkan sebagai silase adalah (1) harus mengandung cukup substrat untuk proses fermentasi dalam bentuk karbohidrat terlarut dalam air (water soluble carbohydrates = WSC), (2) mempunyai kapasitas untuk mempertahankan perubahan pH (buffering capasity) yang rendah, (3) minimal mengandung 20% bahan kering didalam bahan segar, (4) mempunyai struktur fisik yag baik sehingga memudahkan pemadatan dalam silo (Mc Donald 1982) dan cukup mengandung zat-zat makanan yang lain (Cullinson 1978). Banyak tanaman tidak memenuhi ketentuan ini sehingga diperlukan perlakuan lain seperti pencacahan, pelayuan dan penambahan additive (Mc Donald 1982; Mc Donald et al. 1991).

Umur potong bahan silase mempengaruhi kecernaan dan produksi susu sapi perah. Arieli dan Adin (1994) menyatakan bahwa produksi susu dan energi susu sapi yang diberi pakan silase tanaman gandum yang dipotong umur muda lebih tinggi daripada yang diberi silase dari tanaman gandum yang dipotong umur tua. Silase jagung yang dipanen pada umur awal cenderung menyebabkan penurunan kandungan BK dan meningkatkan konsentrasi WSC selama proses ensilase daripada yang dipanen pada umur tua (Johnson et al. 2003). Menurut Pettit et al. (1993) metode pemanenan rumput untuk pembuatan silase berpengaruh terhadap parameter produksi susu sapi perah. Teknik pemanenan yang terbaik adalah memanen hijauan dengan bentuk yang masih utuh karena menghasilkan produksi yang tinggi, intake bahan kering yang tinggi, pertambahan bobot badan yang rendah dan efisiensi produksi susu yang baik bila dibandingkan dengan teknik pemanenan yang menyebabkan hijauan rusak.

(30)

bahan kering silase basah menjadi rendah, (3) nutrien yang hilang bersama cairan yang keluar lebih besar dan (4) Biaya penanganan hijauan basah lebih tinggi daripada hijauan yang dilayukan. Hijauan yang dibuat silase selama 30 hari tanpa dilayukan terlebih dahulu menghasilkan bahan kering sebesar 17% dengan pH 4.0 sedangkan hijauan yang dilayukan terlebih dahulu menghasilkan bahan kering sebesar 39% dengan pH 4.4 (Ross 1984).

Ada dua cara pembuatan silase yang pertama secara kimia dengan penambahan asam sebagai bahan pengawet seperti asam fosfat, asam klorida dan asam sitrat. Penambahan asam tersebut diperlukan agar pH silase turun dengan segera (sekitar 4.2) sehingga menghambat proses respirasi, proteolitis dan mencegah aktifnya bakteri clostridia (Cullinson 1978). Cara yang kedua adalah pengolahan secara biologis dengan cara memfermentasi bahan tersebut dalam suasana asam. Asam yang terbentuk adalah asam laktat, asam asetat dan asam butirat serta beberapa senyawa lain seperti etanol, karbondioksida gas metan, karbon monoksida, nitrat dan panas (Cullinson 1978). Pada pembuatan silase secara biologis sering ditambahkan bahan pengawet sebanyak ±3% dari berat hijauan yang digunakan (Bolsen et al. 2000). Pembuatan silase dengan penambahan pengawet terutama yang banyak mengandung karbohidrat berfungsi sebagai perangsang berlangsungnya fermentasi sehingga bakteri asam laktat dapat berkembangbiak dengan baik (Ensminger 1980).

(31)

Fase Ensilase

Pembuatan silase secara garis besar dibagi menjadi 4 fase yakni (1) fase aerob, (2) fase fermentasi, (3) Fase stabil dan (4) fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak. Fase aerob, ini berlangsung dalam 2 proses yaitu proses respirasi dan proses proteolitis, akibat adanya aktivitas enzim yang berada dalam tanaman tersebut sehingga menghasilkan pH sekitar 6-6.5. Dampak negatif dari fase ini dapat dihindarkan dengan cara menutup silo yang dilakukan dalam waktu yang singkat dan cepat. Fase aerob atau fase respirasi yang terjadi di awal ensilase melibatkan 3 proses penting : glikolisis, siklus kreb dan rantai respirasi. Glikolisis menghasilkan 2 ATP, siklus kreb menghasilkan 2 ATP sedangkan rantai respirasi menghasilkan 34 ATP. Suatu sel yang melakukan respirasi akan menghasilkan energi dua puluh kali lebih banyak dari pada sel yang mengalami fermentasi. Proses respirasi ini membakar karbohidrat dan memproduksi panas sehingga waktu yang digunakan untuk fase ini harus diminimalkan (Bolsen dan Sapienza, 1993). Proses respirasi secara lengkap menguraikan gula-gula tanaman menjadi karbon dioksida dan air dengan oksigen dan menghasilkan panas seperti reaksi berikut :

C6H12O6 + O2 6 CO2 + 6 H2O + panas

Prinsip fermentasi adalah tercapainya kondisi anaerob (Mc Donald et al. 1991). Pada Fase fermentasi (respirasi anaerobik) menghasilkan 2 ATP per molekul glukosa (Winarno dan Fardiaz 1979). Fase fermentasi dicapai ketika terjadi kondisi anaerob yang mengakibatkan tumbuhnya mikroba anaerob yakni bakteri asam laktat, Enterobacteriaceae, spora clostridia, ragi dan kapang. Bakteri asam laktat (BAL) adalah mikrpoflora yang terpenting tumbuh karena pakan ternak akan diawetkan oleh asam laktat yang diproduksinya. Mikroorganisme yang lain seperti Enterobacteriaceae, spora clostridia, ragi dan kapang memiliki pengaruh yang negatif pada kualitas silase. Mikroorganisme ini berkompetisi dengan BAL untuk memfermentasi karbohidrat dan memproduksi senyawa yang mengganggu prose pengawetan pakan ternak (Bolsen et al. 2000).

(32)

menurunkan pH menjadi 5. Pertumbuhannya akan terhambat pada saat pH dibawah 5 dan ini merupakan pertanda fase awal fermentasi berakhir dan akan dilanjutkan dengan fermentasi berikutnya. Penurunan pH terus berlangsung sehingga meningkatkan pertumbuhan kelompok bakteri anaerob lain yang menghasilkan asam laktat. BAL memfermentasikan karbohidrat terlarut. Pengawetan silase yang efisien terdiri lebih dari 60% asam laktat sebagai asam organik yang diproduksi. Fase ini adalah fase terpanjang pada proses ensilase dan akan terus berlangsung sampai pH yang cukup rendah untuk pertumbuhan semua bakteri. Ketika pH ini dicapai maka bahan pakan akan tahan disimpan (Schroeder 2004).

Masa fermentasi aktif berlangsung selama 1 minggu sampai 1 bulan. Hijauan yang dibuat silase dengan kandungan air 65% masuk dalam kategori ini, sedangkan bila kandungan air lebih rendah dari 40-50% proses fermentasi berlangsung sangat lambat. Fermentasi normal dengan kandungan air 55-60% masa fermentasi aktif akan berakhir antara 1-5 minggu. Fermentasi akan terhenti bila substrat gula untuk fermentasi telah habis. Pada saat ini silase telah terfermentasi dan dapat terus bertahan selama beberapa tahun sepanjang silase tidak kontak dengan udara (Bolsen dan Sapienza 1993).

Fase pengeluaran pakan ternak dilakukan setelah silase melewati masa simpan yang cukup. Menurut Schroeder (2004) hampir 50% bahan kering dirusak oleh mikroba aerob yang menyebabkan kebusukan, terjadi pada fase ini. Oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase. Kehilangan bahan kering terjadi karena mikroorganisme aerob akan mengkonsumsi gula, hasil akhir fermentasi dan nutrien terlarut lainnya dalam silase (Bolsen dan Sapienza 1993).

Bolsen et al. (2000) menuliskan bahwa silase akan mengalami kehilangan bahan kering sekitar 1.5-3.0% per hari setiap peningkatan suhu 8-12oC pada fase pemberian pada ternak. Pada fase ini terjadi pula peningkatan PH dengan kisaran 4.0-7.0 dengan konsentrasi pertumbuhan ragi dan kapang yang cukup tinggi.

(33)

dan fase pertumbuhan cepat (log phase), (3) Fase stabil (stationary phase) dan fase kematian (dead phase) (Crueger dan Crueger 1984).

Fase adaptasi adalah fase saat mikroba mulai beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan mulai kebagian fase pertumbuhan cepat (logarithmic phase or exponential phase), selanjutnya mencapai populasi yang maksimum dan memasuki fase stabil (stationary phase) dimana terjadi jumlah yang sama besar antara bakteri yang masih mampu membelah diri dan tidak mampu membelah diri lagi. Akhirnya fase pertumbuhan bakteri memasuki fase kamatian (dead phase) (Moat et al. 2002)

Kualitas Silase

Faktor yang mempengaruhi kualitas silase secara umum adalah kematangan bahan dan kadar air, besar partikel bahan, penyimpanan saat ensilase dan aditif. Kualitas silase dicapai ketika asam laktat sebagai asam yang dominan diproduksi, menunjukkan fermentasi asam yang efisien ketika penurunan pH silase terjadi dengan cepat. Semakin cepat fermentasi terjadi, semakin banyak nutrisi yang dikandung silase dapat dipertahankan (Schroeder 2004)

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas silase yaitu (1) karakteristik bahan (kandungan bahan kering, kapasitas buffer, struktur fisik dan varietas), (2) tata laksana pembuatan silase (besar partikel, kecepatan pengisian ke silo, kepadatan pengepakan dan penyegelan silo), (3) keadaan iklim (suhu dan kelembaban) (Bolsen and Sapienza 1993). Menurut Bolsen et al. (2000) silase yang baik mengandung nilai nutrisi yang masih tinggi. Mc Donald et al. (1991) menuliskan bahwa kualitas silase tidak hanya dilihat dari pengawetan nilai nutrisi saja tetapi juga berapa banyak silase tersebut kehilangan bahan kering.

(34)

Baik atau tidaknya kualitas silase dapat ditentukan dengan kriteria tertentu seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria penilaian silase

Kriteria Baik sekali Baik Sedang Buruk

Warna

Pengeringan merupakan teknologi pengawetan pakan dengan kadar air yang rendah (14-15%) menggunakan alat pengering sejenis oven atau sinar matahari sehingga enzim dan mikroorganisme menjadi tidak aktif (Church 1991; Livingstone 2000; Orskov 2001). Tujuan pembuatan ransum kering adalah mengurangi kadar air sehingga aman untuk disimpan tanpa mengalami kerusakan atau hilangnya nutrien secara serius. Kadar air maksimum untuk hijauan kering yang berbentuk bola atau gulungan adalah 18-22% tergantung dengan hijauan itu sendiri (Perry et al. 2004).

Proses pengeringan yang berjalan cepat dan dapat menurunkan kandungan air hingga 15% akan lebih baik daripada proses pengeringan yang berjalan lamban dan memakan waktu lama. Makin lama proses pengeringan akan makin banyak pula zat gizi pakan yang hilang. Pengeringan menggunakan mesin lebih baik dibandingkan menggunakan matahari (Church 1991; Siregar 1995; Orskov 2001).

(35)

(provitamin A) akan hilang sebesar 80% ketika dijemur dengan menggunakan matahari dan vitamin E akan hilang seluruhnya pada saat proses pengeringan.

Teknologi pengeringan pakan meminimalisasi aktivitas mikroorganisme selama penyimpanan dan memudahkan proses pengangkutan karena kadar airnya yang rendah (Church 1991; Orskov 2001) namun dalam prosesnya bisa menyebabkan kehilangan nutrien (Livingstone 2000) dan menurunnya palatabilitas (Siregar 1995).

Faktor penyimpanan sangat mempengaruhi kualitas ransum kering. Makin lama waktu penyimpanan akan makin berkurang pula nilai nutrisinya, apalagi bila penyimpanannya masih mengandung air lebih dari 15%, kerusakan akan lebih cepat terjadi akibat jamur atau cendawan. Ransum kering yang basah akan akan cepat rusak karena proses peragian. Gudang atau tempat penyimpanannya harus mempunyai sirkulasi udara yang baik (Siregar 1995). Perry et al. (2004) menyatakan bahwa penyimpanan ransum kering yang mengandung air berlebihan dapat mengakibatkan timbulnya jamur sehingga tidak sesuai lagi untuk penggunaan pakan.

Menurut Church (1991), penyimpanan ransum kering lebih dari 9 bulan pada suhu 36oC dengan kadar air 18% menyebabkan hilangnya bahan kering sebanyak 8% (terutama gula dan karbohidrat). Ransum dengan kadar air 16% dikeringkan dengan temperatur yang rendah menghasilkan sedikit mikroorganisme tetapi jika kadar airnya 25% dan dikeringkan secara spontan 45oC akan menyebabkan timbulnya jamur. Kadar air 40% pada suhu 60-65oC menyebabkan ransum mengandung sejumlah jamur thermofilik. Hijauan dapat disimpan dengan kadar air 18% tanpa mengalami perubahan kecernaan protein namun penyimpanan dengan suhu di atas 35oC dapat menyebabkan penurunan protein tercerna.

(36)

Kambing Perah

Jenis kambing perah yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah kambing Peranakan Etawa (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan tatar (grading up) antara kambing kacang dengan kambing etawa yang mempuyai sifat-sifat dintara tetuanya. Sebagian kambing PE mempunyai sifat-sifat mendekati kambing etawa dan sebagian sifat lainnya mendekati kambing kacang (Attabani 2001). Kambing PE termasuk penghasil susu dan daging atau dwiguna (Devendra dan Burns 1994).

Produksi susu kambing PE di Indonesia masih sangat bervariasi berkisar antara 0.45-2.2 liter/ekor/hari (Obts and Napitupulu 1984; Sutama et al. 1995) 0.5-1.5 liter/ekor/hari (Tahahar et al. 1996) dan 0.47-1.09 kg/ekor/hari (Yulistianti et al. 1999). Menurut Sumoprastowo (1980) produksi susu kambing PE adalah

1-1.5 liter/ekor/hari. Attabani (2001) melaporkan bahwa produksi susu kambing PE pada peternakan Barokah, Caringin adalah 990 gram/ekor/hari dengan lama laktasi 170.07 hari. Budi (2002) menyatakan bahwa rataan produksi susu harian kambing PE adalah 489.93 gram/ekor/hari. Hasil ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Andriani (2003) yaitu seebsar 567.1 gram/ekor/hari.

Kambing jawarandu adalah jenis kambing persilangan Ettawa dengan kambing kacang yang telah berkembangbiak dan menyebar luas di Indonesia dan tidak diketahui lagi darah ettawanya (Sutiyono 1992; Sastroamidjojo dan Soeradji 1978). Kambing jawarandu mempunyai produksi susu 1-2 liter/ekor/hari dengan masa laktasi 4.5 bulan (Ditjennak 1986). Sumoprastowo (1980) menyatakan bahwa seekor kembing jawarandu yang sedang laktasi produksi susunya mencapai 1-1.5 liter/ekor/hari dan Djoharjani (1986) melaporkan bahwa kambing jawarandu mencapai berat dewasa laktasi ketiga yaitu 46.4 kg .

(37)

mudah dicerna, protein curd lebih lunak. Warna susu kambing adalah putih kekuningan. Warna putih diakibatkan oleh penyebaran butiran-butiran emulsi lemak, koloid, kalsium caseinat dan kasium fosfat sedangkan warna kuning dipengaruhi oleh adanya karoten dan riboflavin (Buckle et al. 1985).

Dibandingkan susu sapi, susu kambing berupa lemak dan kadar proteinnya yang lebih mudah dicerna, karena terdapat dalam bentuk yang lebih halus dan proporsinya tinggi sehingga proses pencernaan berlangsung dengan mudah (Jennes 1980). Susu kambing juga jarang mengandung basil TBC dan mempunyai sifat anti alaregi (Devendra 1993). Namun pemanfaatan kambing sebagai penghasil susu di Indonesia umumnya masih terbatas pada kalangan tertentu saja (Tahahar et al 1996).

Sintesis dan Kualitas Susu

Air susu adalah air susu yang berasal dari ternak ruminansia yang tidak ditambahkan atau dikurangi suatu zat apapun ke dalamnya dan diperoleh dari pemerahan ternak yang sehat (Sudono 1985). Pada umumnya susu terdiri atas 3 komponen utama yaitu protein, lemak dan laktosa (Schmidt et al. 1988) ditambah mineral dan vitamin (Sudono 1985). Kandungan zat-zat makanan dalam susu ini berbeda antar bangsa ternak. Kandungan bahan kering teruatama abu, laktosa dan protein susu kambing lebih tingi dari susu sapi (Devendra 1993).

(38)

Tabel 2. Komposisi susu kambing, sapi dan ASI

Komposisi Susu Kambing Susu Sapi ASI

Protein (%) 3.0 3.0 1.1

Sumber : American Dairy Goat Association (2002)

Kandungan komposisi susu relatif tidak berubah untuk satu jenis spesis kecuali kadar lemak. Asam lemak rantai pendek (C4-C14) disintesis dalam kelenjar

ambing. Asam lemak ini berasal dari asetat dan beta hidroksi butirat yang diproduksi di rumen. Protein susu sebagian besar disintesis di kelenjar ambing dari asama amino dan sebagian lagi ditransfer langsung dari darah. Laktosa berasal dari glukosa yang ada di dalam darah sementara mineral dan vitamin ditransfer langsung dari darah (Schmidt 1971). Secara ringkas asal usul pembentukan unsur utama susu dapat dilihat pada Gambar 1.

(39)

KELENJAR SUSU DARAH

β-laktoglobulin

α-laktalbumin Casein

Asam amino Asam amino

Asam amino

Serum albumin Serum albumin

Imunoglobulin Imunoglobulin

Laktosa

Glukosa Glukosa

Galaktosa

Triasilgliserol Gliserol3P

Lemak Monoasilgliserol

C 18 : 0

C 18 : 1

C 18 : 2

C 18 : 3 Lemak

Mineral & Vitamin Mineral & Vitamin

C 4 : 0 Hingga C 16 : 0 Triasilgliserol

Asetat Asetat

β-Hidroksibutirat

Lemak

Butiril KoA

C 12 : 0 Hingga C 16 : 0

C 18 : 0, C 18 : 1, C 18 : 2, C 18 : 3 β-Hidroksibutirat

Lemak

(40)

Komposisi susu bervariasi tergantung bangsa, produksi susu, tingkat laktasi, kualitas dan kuantitas makanannya (Larson 1985). Rangkuman komponen susu kambing yang terdiri dari : Berat Jenis (BJ), protein, laktosa, Bahan Kering (BK) dan Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komponen susu kambing BJ Protein

9.86 Subhagiana (1998) 1.0292 2.93 6.68 9.69 16.38 9.7 Attabani (2001)

Sintesis protein susu berasal dari asam amino yang beredar dalam darah sebagai hasil penyerapan zat makanan dari saluran pencernaan maupun hasil perombakan protein tubuh (Annison et al. 1984; Collier 1985) dan asam amino yang disintesis oleh sel epitel kelenjar susu. Sintesis protein susu ini dikontrol oleh gen, yang mengandung material genetik asam deoxiribonukleat (DNA) (Schmidt 1971; Akers 2002). Glukosa dan beberapa sumber nitrogen diperlukan untuk sintesis asam amino di kelenjar susu (Annison et al. 1984; Collier 1985). Asam amino tersebut akan diubah menjadi casein, α-laktoglobulin dan β -laktalbumin di dalam kelenjar susu (McDonal et al. 1998).

(41)

amino dibawa dan digabung membentuk protein, terjadi di dalam ribosom (Schmidt 1971).

Transkripsi

DNA

GTP+ATP+CTP+UTP mRNA Aktivasi asam amino

AA+ATP+tRNA AA ∼ tRNA+AMP+PP Translasi

mRNA

(AA ∼tRNA)n AA1-AA2-AA3---AAn

kompleks Ribosomal

rRNA

Gambar 2. Jalur sintesis protein dari asam amino (Schmidt 1971)

Prekursor protein adalah asam amino esensial dan asam amino non esensial dari darah. Di dalam ambing terjadi perombakan dan sintesis kembali (resintesis) asam amino guna mengimbangi asam amino yang dibutuhkan oleh sintesis protein susu (Holmes dan Wilson 1984).

Protein susu banyak terdapat dalam bentuk casein, beta casein, kapa casein (Bath et al. 1985; Schmidt 1971). Sementara casein, beta laktaglobulin dan alpa ketalbumin membentuk 90-95% protein susu. Ketiga protein ini disintesis di dalam kelenjar ambing (Schmidt 1971), dari bahan asam amino esensial dan asam amino non esensial yang berasal dari pool asam amino di dalam darah. Sementara 5-10% protein susu lainnya terdiri atas imunoglobulin, serum albumin dan gama casein (Bath et al 1985; Schmidt 1971). Ketiga protein tersebut tidak disintesis di dalam kelenjar ambing tetapi diabsorbsi langsung di darah (Schmidt 1971).

Kandungan protein susu bervariasi tergantung dari bangsa, produksi susu, tingkat laktasi, kualitas dan kuantitas pakan (Larson 1985).

Laktosa susu

(42)

molekul glukosa lain pada reaksi yang dikatalisis oleh enzim, laktosa sintetase, dua komponen enzim. Komponen A merupakan galaktosil transferase non spesifik yang mentransfer galaktosa dari UDP galaktosa menjadi sejumlah aseptor. Komponen B merupakan whey protein, α-laktalbumin, transferase menjadi sangat spesifik pada glukosa, berperan dalam sintesis laktosa. α -laktalbumin merupakan enzim pengubah laktosa dan konsentrasinya dalam susu secara langsung berhubungan dengan konsentrasi laktosa susu tersebut (Fox dan McSweeney 1995)

Laktosa

Glukosa Glukosa-6-phosphat

Phosphoglukomutas

Galaktosiltransferse Phosphorilase

UDP glucose-4-epimerase

α-laktalbumin UDP glukosa

UDP glukosa Glukosa-1-phosphat

Glukosa

ATP ADP

UTP

UDP P-P

UDP galaktosa

+

Hexokinase

ADP

ATP

Gambar 3. Jalur sintesis laktosa (Mc Donald et al. 1995)

(43)

dikelenjar ambing tidak sama dengan sel-sel lainnya yaitu tidak dipengaruhi oleh konsentrasi insulin darah. Kadar laktosa susu relatif tetap namun produksi laktosa meningkat sejalan peningkatan produksi susu. Fluktuasi kadar laktosa sesuai dengan dinamika produksi susu selama laktasi (Schalm et al. 1971).

Komponen utama karbohidrat susu sebagian besar adalah laktosa, yang dibentuk dari molekul glukosa dan galaktosa. Prekursor utama laktosa adalah glukosa darah. Pada kelenjar susu, molekul glukosa mengalami posporilasi dari bentuk glukosa 6-phosphat menjadi glukosa 1-phosphat. Glukosa 1-phosphat bersama uridin tripohosphat (UTP) membentuk glukosa diphosphat (UDP). UDP glukosa kemudian dikonversi menjadi UDP galaktosa. UDP glukosa bersama glukosa bebas membentuk laktosa dengan pembebasan UDP, selanjutnya sintesis laktosa dikatalisasi oleh enzim laktose (Schmidt 1971). Pada ternak ruminansia, konsentarsi glukosa dalam sistem sirkulasi berasal dari ekstraksi propionat dalam hati (Annison et al. 1984; Collier 1985).

Lemak susu

Biosintesis asam lemak, gliserol terjadi di dalam sitosol dan biosintesis triasil gliserol terjadi di dekat retikulum endoplasmik. Ada tiga sumber utama adanya asam lemak dalam triasilgliserol susu (Gambar 4). Pertama : glukosa melalui glikolisis menjadi asam piruvat yang kemudian menuju siklus asam sitrat dengan membentuk asetil KoA dan oksaloasetat dari dari sitrat. Kedua : triasilgliserol yang dikonsumsi dari tanaman atau dibentuk oleh bakteri dalam rumen yang diabsorbsi oleh usus sebagai triasilgliserol dan ditemukan dalam darah dalam bentuk chlylomikra dan lipoprotein dengan tekanan rendah. Ketiga : asam lemak susu dan sintesis asam lemak dalam kelenjar mammary dari asetat dan BHBA yang dibawa ke dalam darah dari rumen yang diproduksi saat fermentasi bakteri.

(44)

Gambar 4. Jalur sintesis asam lemak pada jaringan mamae ruminansia (Schmidt 1971).

(45)

Sintesis lemak susu terjadi dalam sitoplasma kelenjar susu. Pada ternak rumiansia, asetat dan β-OH butirat (hasil metabolisme asam butirat), selain untuk sumber energi juga dsigunakan untuk sintesis lemak di dalam kelenjar susu oleh enzim asetil KoA karboksilase (Annison et al. 1984; Collier 1985). Oksidasi glukosa melalui siklus pentosa oleh enzim glukosa 6-phosphat dehidrogenase menghasilkan NADPH yang diperlukan untuk sintesis asam lemak di kelenjar susu (Baldwin dan Smith 1983).

Sekitar 97-98% lemak susu terdapat dalam bentuk trigliserida dan hanya sebagian kecil yang terdapat dalam bentuk fosfolipid (2-3%) (Larson 1985). Sebagian lemak susu disintesis di dalam kelenjar ambing yaitu sekitar 50% berasal dari asam lemak rantai pendek (C4-C14) berupa asetat, beta hidrosi butirat

yang dihasilkan oleh fermentasi selulosa di rumen, sebagian lagi berasal dari asam lemak rantai panjang (C16-C18) dari makanan dan cadangan lemak tubuh (Holmes

dan Wilson 1984).

Kadar lemak susu berfluktuasi dan banyak dipengaruhi oleh jenis pakan (Wikantadi 1977), bangsa, produksi susu, tingkat laktasi, kualitas dan kuantitas makanan (Larson 1985), kebutuhan dan kesehatan (Spreer 1995). Menurut Fox dan McSweeney (1995), kandungan lemak susu menggambarkan kebutuhan energi setiap ternak.

(46)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di peternakan rakyat yang terletak di Bintaro selama 2 bulan dan analisis sampel susu penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Penelitian

Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 9 ekor kambing perah. Kambing tersebut terdiri atas : 3 ekor kambing Peranakan Etawa (PE) laktasi pertama, 3 ekor kambing Peranakan Etawa (PE) laktasi kedua dan 3 ekor kambing Jawarandu laktasi kedua dengan bobot badan berkisar antara 35-45 kg.

Ransum dan Peralatan

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 jenis, pertama : ransum konvensional (RK) yaitu ransum yang biasa digunakan pada peternakan tersebut (rumput lapangan, ampas tahu dan bungkil kacang tanah), kedua : ransum kering komplit (RKK) yang terbuat dari sampah sayuran pasar (kubis, sawi putih, kulit jagung dan kulit kembang kol), onggok, ampas tahu, dedak dan bungkil inti sawit dan ransum ketiga : yang dibuat ransum silase komplit (RSK) dengan bahan dasar yang sama dengan ransum kering komplit.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah copper, timbangan, gelas ukur, lactodensimeter, tabung 250 ml, plastik ukuran 1000 ml dan 250 ml, silo (tong ukuran 120 l), karung, tempat pakan, tempat minum dan alat tulis menulis.

(47)

Tabel 4. Komposisi bahan makanan yang digunakan dalam penelitian

Bungkil inti sawit Ampas tahu

Jumlah 100.00 100.00 100.00

Keterangan : RK : Ransum konvensional RKK : Ransum kering komplit RSK : Ransum silase komplit

Tabel 5. Kandungan zat-zat makanan yang digunakan dalam penelitian Kandungan zat makanan (%BK) Ampas Bk kacang Sumber : Hasil analisis laboratorium INMT Fakultas Peternakan IPB (2005)

* Sutardi (1991) ** Dugaan

Pembuatan RKK dan RSK

(48)

dibagi menjadi 2 bagian untuk pembuatan RKK dan RSK. RKK dibuat dengan menjemur pakan hingga kadar airnya mencapai <15%. RSK dibuat dengan cara memasukkan pakan ke dalam silo (tong plastik ukuran 1200 liter) dalam keadaan anaerob, disimpan di ruangan (gudang) bersuhu kamar selama 4 bulan. Skema pembuatan RKK dan RSK sampah sayuran pasar dapat dilihat pada Gambar 5.

Pengambilan sampah sayuran pasar

(kubis, sawi putih, kulit jagung, kulit kembang kol)

potong (± 3-5 cm) dan dilayukan 24 jam

Campur ampas tahu, onggok, bungkil inti sawit, dedak

Jemur dibawah sinar matahari hingga kadar air 15%

Padatkan dalam tong (anaerob 4 bulan)

RKK RSK

Gambar 5. Skema pembuatan RKK dan RSK sampah sayuran pasar Metode Penelitian

Pemberian ransum konvensional (RK) dilakukan pada pagi dan sore hari (konsentrat dan ampas tahu diberikan pada pukul 09.00 dan 13.00 WIB sedangkan hijauan diberikan pada pukul 11.00 dan 17.00 WIB). RKK dan RSK diberikan pada pukul 09.00 WIB dan pemberiannya akan ditambahkan setelah ransumnya dianggap berkurang. Konsumsi ransum diukur dengan menghitung total ransum yang diberikan selama sehari dikurangi dengan sisa ransum yang digunakan pada hari itu.

(49)

Peubah Penelitian

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah :

1. Konsumsi pakan (g/ekor/hari) : konsumsi pakan diukur dengan menggunakan timbangan dacin yang dilakukan dengan menimbang jumlah pakan yang diberi dengan sisa pakan yang tidak dimakan.

2. Produksi susu (ml/ekor/hari): Produksi susu diperoleh dari hasil penjumlahan pemerahan pagi dan sore. Produksi susu diukur selama sebulan. Alat yang dipakai untuk menimbang produksi susu adalah gelas ukur dengan skala terkecil 0.1 ml dan skala maksimal 1 liter.

3. Efisiensi penggunaan ransum : Efisiensi penggunaan ransum meliputi efisiensi penggunaan bahan kering dan protein kasar

Produksi susu (ml/ekor/hari) x BK susu (%) Efisiensi penggunaan BK =

BK ransum (g/ekor/hari) 4. Komposisi susu :

- Berat jenis : dihitung dengan menggunakan lactodensimeter. - Kadar protein (%) dihitung dengan metode Titrasi Formol - Kadar lemak (%) dihitung dengan menggunakan metode Gerber - Kadar laktosa (%) ditentukan dengan menggunakan metode Teles - Kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) (%) dihitung dengan

persamaan Fleiscemann

100 (BJ-1) BK = [(1.311) X L] + [ 2.738 ]

BJ

Dimana :

L : Kadar Lemak Susu (%) BJ : Berat jenis susu pada 27.5 oC

Sehingga :

BKTL = BK - L

5. Produksi komponen susu : Produksi komponen susu meliputi produksi protein, lemak, laktosa, Bahan Kering (BK) dan Bahan Kering Tanpa Lemak (BK), dihitung dengan cara :

(50)

Produksi lemak susu (g/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar lemak susu

Produksi laktosa susu (g/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar laktosa susu

Produksi BK susu (g/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar BK susu

Produksi BKTL susu (g/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar BKTL susu

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 3 kelompok. Setiap kelompok terdiri atas 1 ekor kambing perah. Data yang diperoleh di analisis menggunakan program Minitab 14.2, dan apabila perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata diuji Duncan (Mattjik 2002)

Yij : µ + Ai + Bj + εij

Dimana :

Yij : Nilai pengamatan (respon) yang diamati µ : Nilai tengah umum

Ai : Pengaruh perlakuan ransum ke-i (i = 1,2,3) Bj : Pengaruh kelompok ke-j (j = 1,2,3)

(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemberian ketiga jenis ransum mempengaruhi (P<0.01) konsumsi bahan kering (BK) ransum dan produksi susu kambing perah penelitian. Nilai rataan konsumsi bahan kering (BK) ketiga jenis ransum dan produksi susu disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Rataan konsumsi bahan kering (BK) ketiga jenis ransum dan produksi susu kambing perah penelitian

Perlakuan Peubah

RK RKK RSK

Konsumsi BK (g/ekor/hari) Produksi susu (ml/ekor/hari) Efisiensi penggunaan BK

1346.27a±63.12 Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan

yang sangat nyata (P<0.01)

Konsumsi Bahan Kering Ransum

Banyaknya jumlah ransum yang dikonsumsi oleh seekor ternak dapat menggambarkan palatabilitas ransum tersebut (Lawrence 1990). Kambing yang diberi RK memperlihatkan jumlah konsumsi bahan kering yang sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi (1346.27 g/ekor/hari) dibandingkan dengan konsumsi bahan kering RKK (638.81 g/ekor/hari) dan RSK (254.90 g/ekor/hari).

(52)

Rendahnya konsumsi bahan kering ransum RKK dan RSK kemungkinan disebabkan karena ternak kurang menyukai ransum tersebut (Gambar 6). Kambing merupakan jenis ternak yang mempunyai kebiasaan memilih pakan yang akan dikonsumsinya (Anonim 1965; Devendra and McLeroy 1982). Kambing umumnya menolak pakan yang telah disentuh oleh ternak lain dan tidak dapat mengkonsumsi satu jenis pakan saja dalam waktu yang lama (Anonim 1965). Kambing dapat membedakan rasa pahit, manis, asin dan masam dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap rasa pahit (Bell 1959; Goacher and Chruch 1970). Pada ruminansia rangsangan penciuman (bau/aroma) sangat penting bagi ternak untuk mencari dan memilih makanan (Dukes 1955; Preston dan Leng 1987). Demikian pula rangsangan selera (rasa) akan menetukan apakah pakan tersebut akan dikonsumsi oleh ternak atau tidak (Hafez 1962).

0.00 Gambar 6. Rataan konsumsi bahan kering ransum kambing perah penelitian

(g/ekor/hari)

(53)

Bila ditinjau dari kualitas pakan, RK yang diberikan mengandung protein sebesar 21.09% dan TDN sebesar 66.67%. Pada RKK mengandung protein 19.61% dan TDN 60.45% sedangkan RSK mengandung 16.18% protein dan 58.41% TDN. Hal ini memperlihatkan bahwa secara kualitas nutrisi pakan yang diberikan telah memenuhi kebutuhan minimal kambing perah laktasi yaitu 16% protein dan 60% TDN. Menurut Wallace dan Newbold (1992) bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh kualitas protein. Kandungan protein pada RK lebih tinggi daripada RKK dan RSK sehingga diduga menyebabkan konsumsi bahan kering RK lebih tinggi daripada RKK dan RSK.

Karakteristik RKK menunjukkan bahwa ransum ini memiliki kualitas yang baik dimana kadar airnya 12.89%, yang berarti bahwa ransum tersebut bisa disimpan lama dan tidak memungkinkan tumbuhnya jamur sebagai salah satu faktor yang menurunkan konsumsi. Sementara RSK memiliki pH sebesar 4.0. Pada pH ini mikroorganisme pembusuk tidak aktif lagi sehingga hijauan dapat tahan lama. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas silase yang dihasilkan baik dan dapat disimpan lebih dari setahun. Menurut Ensminger (1980) tercapainya pH 3.5-4.0 merupakan kunci terbentuknya silase yang baik karena hal itu akan mencegah pertumbuhan bakteri termasuk bakteri penyebab kebusukan. Silase yang telah terfermentasi dapat terus bertahan selama beberapa tahun sepanjang silase tidak kontak dengan udara (Bolsen and Sapienza 1993).

(54)

0

(55)

Kecendrungan penurunan tersebut pada RKK dan RSK kemungkinan disebabkan oleh tingginya komponen sampah sayuran sebagai penyusun utama ransum dibanding komponen lain, yakni sebesar 41%. Komponen lainnya seperti dedak adalah sebesar 16.7%, bungkil inti sawit 5.2%, ampas tahu 27%, onggok 9% dan premiks 0.1%. Sampah sayuran yang digunakan diantaranya adalah kubis, sawi putih, kulit jagung dan kulit kembang kol. Kemungkinan salah satu dari jenis sampah sayuran tersebut dalam bentuk segarnya kurang disukai oleh ternak sehingga mempengaruhi palatabilitas secara keseluruhan setelah berbentuk ransum, baik RKK maupun RSK. Hal ini diduga sebagai salah satu penyebab konsumsi bahan kering pada RKK dan RSK lebih rendah dibandingkan dengan RK. Disamping itu sampah sayuran diduga mengandung pestisida sehingga kemungkinan menurunkan palatabilitas ransum. Hal ini tercermin dari tingkah laku kambing cukup selektif dalam memilih pakan yang akan dikonsumsinya.

Hal tersebut terlihat dari penelitian Abdullah et al. (2007) pada sapi perah bahwa pemberian silase dan hay dengan bahan dasar sampah sayuran pasar menunjukkan adanya residu pestisida yang cukup tinggi. Ransum kontrol dan silase berturut-turut mengandung residu fenitrotion sebesar 0.0019 ppm dan 0.0015 ppm, sedangkan hay ransum komplit mengandung residu pestisida berupa diazinon sebesar 0.0003 ppm dan fenitrotion sebesar 0.0010 ppm. Hal ini mengindikasikan bahwa pengolahan pakan baik berupa fermentasi dan pengeringan belum mampu menghilangkan kandungan residu pestisida pada pakan, terutama dari golongan organofosfat yaitu diazinon dan fenitrotion. Diazinon adalah salah satu insektisida golongan organofosfat yang banyak dipakai dalam usaha pertanian, untuk mengendalikan hama pada tanaman padi dan sayuran (Raflizar 2001). Meskipun demikian, menurut Abdullah et al. (2007) teknologi pengolahan fermentasi (silase) relatif mampu menurunkan kandungan residu fenitrotion dibandingkan dengan pengolahan pengeringan. Tingkat residu pakan tergantung dari komposisi sayur-sayuran dan jagung yang digunakan.

(56)

Hasil penelitian serupa juga telah dilakukan pada sapi perah (Abdullah et al. 2007). Pada sapi perah yang diberi hay dan silase dengan bahan

dasar sampah sayuran pasar (kol, kulit jagung, sawi putih) menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering kontrol sangat nyata lebih tinggi dari hay dan silase. Konsumsi bahan kering ransum sapi yang diberi perlakuan pakan kontrol 1.9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pakan silase dan 2.4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan hay. Menurut Abdullah et al. (2007), lebih tingginya konsumsi ransum kontrol adalah wajar karena ransum kontrol tersebut sudah sejak lama diberikan pada sapi percobaan. Selain itu bahan sumber serat yang digunakan masih segar dan belum ada pengolahan. Penampilan fisik ternak yang dilihat sebelum dan sesudah penelitian menunjukkan tidak terjadi penurunan bobot badan pada masing-masing ternak. Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan konsumsi bahan kering pada ternak tidak mempengaruhi bobot badan karena kandungan nutrien masing-masing ransum telah memenuhi kebutuhan hidup pokok.

Hasil penelitian ini berbeda dengan laporan Fitzgerald et al. (1998) yang menyatakan bahwa silase hijauan berkualitas tinggi yang disuplementasi dengan

pati jagung nyata meningkatkan konsumsi bahan kering. Hasil penelitian Stella et al. (2007) memperlihatkan bahwa kambing Saanen laktasi 3 minggu yang

diberi ransum basal (campuran silase (27.5%), hay (22.5%), kulit bit kering (10%) dan konsentrat komersil (40%)) disuplementasi dengan Levucell SC20 (mengandung S. cerevisiae CNCM I-1077 sebesar 4.109 cfu/hari) menunjukkan konsumsi BK ransum sangat nyata lebih tinggi dandingkan dengan kambing saanen yang hanya diberikan ransum basal. Tingginya konsumsi ransum yang mengandung hay dan silase pada penelitian Stella et al. (2007) dimungkinkan karena bahan pembuat hay dan silase yang berbeda dengan bahan yang digunakan pada penelitian ini, disamping itu ransum yang digunakannya disuplementasi dengan Levucell SC20 yang dapat meningkatkan konsumsi bahan kering ransum.

Produksi Susu

(57)

Perbedaan jumlah produksi susu yang dihasilkan tersebut (Gambar 8) kemungkinan disebabkan oleh jumlah konsumsi bahan kering ransum yang berbeda. Perbedaan jumlah konsumsi bahan kering ransum tersebut menyebabkan laju penyediaan zat-zat makanan ke kelenjar susu menjadi berkurang. Zat-zat makanan yang melalui proses metabolisme tersebut hanya akan diedarkan oleh darah ke berbagai organ dan jaringan sebagai sumber energi untuk kebutuhan hidup pokok saja. Hal ini menyebabkan prekursor yang dibutuhkan untuk sintesis komponen susu hanya tersedia dalam jumlah yang sedikit sehingga mempengaruhi volume aliran air yang masuk ke lumen susu dan selanjutnya menetukan volume produksi susu yang dihasilkan.

Produksi susu yang dihasilkan oleh kambing PE yang mengkonsumsi RKK dan RSK jauh lebih rendah dibandingkan dengan produksi susu kambing PE yang dihasilkan pada umumnya. Menurut Djanah (1984) dan Sumoprastowo (1989) produksi susu kambing PE umumnya berkisar antara 1 – 1.5 liter per hari. Produksi susu yang dihasilkan oleh kambing yang mengkonsumsi RKK dan RSK hanya sekitar 542.86 ml/ekor/hari dan 414.88 ml/ekor/hari. Produksi susu dipengaruhi oleh jenis pakan, tingkat konsumsi bahan kering (Toharmat 2002), dan kondisi psikologis ternak (Setiawan dan Tanisus 2005).

300

(58)

0

(59)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Abdullah et al. (2007) dimana produksi susu sapi perah harian yang diberi ransum kontrol sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan hay dan silase. Namun pemberian hay dan silase tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Sapi perah yang diberi ransum kontrol menunjukan adanya tendensi peningkatan sedangkan hay dan silase menunjukkan penurunan produksi susu. Sapi yang mendapatkan perlakuan kontrol mengalami peningkatan sebesar 3.5% sementara sapi yang diberi hay dan silase mengalami penurunan sebesar 23.9% dan 36.3%. Produksi mingguan sapi menunjukkan bahwa hanya sapi yang mendapatkan perlakuan ransum hay yang mengalami penurunan terus menerus perminggunya sedangkan ransum kontrol dan silase mengalami penurunan hanya sampai pada minggu ketiga kemudian cenderung mengalami peningkatan.

Produksi susu kambing = 118.4 + 0.8422 Konsumsi BK ransum

S 122.679 R-Sq 92.7% R-Sq (Adj) 91.7%

Gambar 10. Grafik regresi konsumsi ransum terhadap produksi susu

(60)

Efisiensi penggunaan BK ransum

Pemberian ketiga jenis ransum mempengaruhi (P<0.05) efisiensi penggunaan bahan kering ransum (Tabel 6). Pemberian RK dan RKK memperlihatkan nilai yang lebih efisien dibandingkan dengan RSK. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian RK sebesar 1346.27 gram BK dapat menghasilkan susu kambing sebesar 1283.81 ml/ekor/hari dan pemberian RKK sebesar 638.81 gram BK dapat menghasilkan susu kambing sebesar 542.86 ml/ekor/hari. Sementara pemberian RSK sebesar 254.90 gram BK memperlihatkan nilai produksi susu kambing sebesar 414.88 ml/ekor/hari. Meskipun RKK memperlihatkan nilai yang lebih efisien tetapi penggunaannya belum dapat menggantikan RK. Hal ini diakibatkan oleh rendah palatabilitas RKK yang tercermin dari nilai konsumsi BK ransum dan produksi susu yang diperoleh setiap harinya mengalami penurunan (Gambar 7 dan 9).

Komposisi susu

Berat jenis, protein, lemak, bahan kering dan bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu tidak dipengaruhi oleh pemberian ketiga jenis ransum tersebut namun hal ini tidak terjadi pada laktosa susu (P<0.01). Nilai rataan komposisi susu kambing perah penelitian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Komposisi susu kambing perah penelitian (%) Perlakuan Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan

yang sangat nyata (P<0.01)

Berat Jenis

(61)

kambing yang mengkonsumsi RK (Gambar 11). Berat jenis susu menunjukkan imbangan komponen zat-zat pembentuk di dalamnya dan sangat dipengaruhi oleh kadar lemak dan bahan kering tanpa lemak yang tidak lepas dari pengaruh makanan dan kadar air di dalam susu (Eckles et al. 1984).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan berat jenis susu adalah faktor komposisi susu itu sendiri, yang terdiri dari protein, lemak, laktosa, gas dan mineral dalam susu (Eckles et al. 1957). Berat jenis susu yang dihasilkan dari ketiga jenis ransum yang digunakan sesuai dengan pendapat Edelsten (1988) yaitu bahwa berat jenis susu kambing bervariasi antara 1.0260 sampai 1.0420.

1.0255 1.0260 1.0265 1.0270 1.0275 1.0280

BJ susu (%)

1 2 3

kelompok

RK RKK

RSK

Gambar 11. Rataan berat jenis susu kambing perah penelitian

Protein

(62)

terjadi mobilisasai protein tubuh. Laju sintesis protein akan semakin berkurang jika kertersediaan substrat di dalam kelenjar susu semakin sedikit (Bines dan Hart 1982)

Sintesis protein susu berasal dari asam amino yang beredar dalam darah sebagai hasil penyerapan saluran pencernaan maupun hasil perombakan protein tubuh (Annison et al. 1984; Collier 1985) dan asam amino yang disintesis oleh sel epitel kelenjar susu. Sintesis protein susu ini dikontrol oleh gen, yang mengandung material genetik asam deoxiribonukleat (DNA) (Schmidt 1971; Akers 2002). Glukosa dan beberapa sumber nitrogen diperlukan untuk sintesis asam amino di kelenjar susu (Annison et al. 1984; Collier 1985). Asam amino tersebut akan diubah menjadi casein, α-laktoglobulin dan β-laktalbumin di dalam kelenjar susu (McDonal et al. 1998).

Prekursor pembentukan protein susu yang disintesis di dalam kelenjar mamae adalah asam amino esensial dan asam amino non esensial yang berasal dari plasma darah. Pengambilan asam amino non esensial oleh kelenjar mamae ini lebih berfluktuasi tergantung waktu dan individu ternak. Kelenjar mammae dapat beradaptasi sendiri terhadap ketersediaan asam amino non esensial yang berfluktuasi tetapi tergantung pada ketersediaan asam amino esensial yang terdapat di dalam darah. Kelenjar mammae dapat mensintesa asam amino non esensial dari berbagai prekursor antara lain yaitu asam lemak terbang seperti asetat dan propionat, glukosa dan asam amino yang lain (Fehr and Sauvant 1982).

(63)

3.00 3.50 4.00 4.50 5.00

protein (%)

1 2 3

kelompok

RK RKK RSK

Gambar 12. Rataan protein susu kambing perah penelitian (%) Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Abdullah et al. (2007) yang menyatakan bahwa kandungan protein susu sapi perah yang diberi perlakuan ransum kontrol, hay dan silase berbahan dasar sampah sayuran pasar tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Kandungan protein susu silase relatif lebih rendah dari ransum kontrol dan hay.

Laktosa

Kandungan laktosa susu kambing perah penelitian menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0.05) antar perlakuan jenis ransum yang diberikan (Gambar 13).

Kambing perah penelitian yang diberi RK nyata (P<0.05) memperlihatkan kandungan laktosa yang lebih tinggi (6.42%) dibandingkan dengan kandungan laktosa susu kambing yang diberi RKK (5.50%) dan RSK (5.89%). Kandungan laktosa susu kambing yang diberi ketiga jenis ransum penelitian mendekati hasil penelitian Adriani (2003) yaitu 5.5%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah produksi susu yang dihasilkan oleh kambing perah yang mengkonsumsi RS lebih tinggi dibandingkan dengan RKK dan RSK demikian pula dengan konsumsi bahan keringnya. Konsumsi bahan kering yang tinggi menyebabkan tersedianya substrat yang dibutuhkan untuk sintesis laktosa. Laktosa merupakan disakarida yang disusun dari glukosa dan galaktosa (Larson et al. 1985)

(64)

posporilasi dari bentuk glukosa 6-phosphat menjadi glukosa 1-phosphat. Glukosa 1-phosphat bersama uridin tripohosphat (UTP) membentuk glukosa diphosphat (UDP). UDP glukosa kemudian dikonversi menjadi UDP galaktosa. UDP glukosa bersama glukosa bebas membentuk laktosa dengan pembebasan UDP, selanjutnya sintesis laktosa dikatalisasi oleh enzim laktose (Schmidt 1971). Pada ternak ruminansia, konsentarsi glukosa dalam sistem sirkulasi darah berasal dari ekstraksi propionat dalam hati (Annison et al. 1984; Collier 1985)

Laktosa adalah karbohidrat utama dalam susu dan kadarnya dipertahankan pada kisaran yang tetap di dalam susu. Laktosa merupakan nutrien yang bertanggung jawab mempertahankan keseimbangan osmotik antara darah dan lumen susu (Hadiwinyoto 1994).

4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00

laktosa (%)

1 2 3

kelompok

RK

RKK

RSK

Gambar 13. Rataan laktosa susu kambing perah penelitian (%)

Pembentukkan laktosa banyak dipengaruhi oleh asam propionat yang berasal dari konsentrat atau pakan yang berenergi tinggi seperti yang terjadi pada ransum kontrol. Pati yang berasal dari konsentrat akan difermentasi menjadi propionat yang nantinya akan digunakan untuk pembentukkan glukosa. Glukosa dalam darah digunakan untuk mensintesis laktosa yang merupakan prekursor utama sinetsis susu (Thomas dan Martin 1988)

(65)

Lemak

Kandungan lemak susu kambing perah penelitian tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata akibat pemberian ketiga jenis ransum. Kambing yang diberi ketiga jenis ransum memperlihatkan nilai kandungan lemak susu yang berada pada kisaran hasil penelitian Jenes (1980) yaitu berkisar antara 3.40% dan 7.76% dan mendekati hasil penelitian Budi (2002) dan Adriani (2003) yaitu 5.95% dan 6.75%. Kadar lemak susu berfluktuasi dan banyak dipengaruhi oleh jenis pakan (Wikantadi 1977), produksi susu, dan kuantitas makanan (Larson et al. 1985).

Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa kandungan lemak susu kambing perah penelitian yang diberi RKK dan RSK cenderung sama dengan kambing yang mengkonsumsi RK (Gambar 14).

Tingginya kadar lemak di dalam susu tergantung ketersediaan prekursor pembentuk asam lemak susu, yang dipengaruhi oleh makanan yang diberikan antara lain glukosa, trigliserida dan prekursor utama yaitu asam asetat dan β -hidroksibutirat (Larson 1985; Fehr dan Sauvant 1982). Asam asetat yang merupakan produk dari fermentasi makanan kasar di dalam rumen merupakan prekursor utama pembentukan lemak susu (Sutardi 1978).

Sintesis lemak susu terjadi dalam sitoplasma kelenjar susu. Pada ternak rumiansia, asetat dan β-OH butirat (hasil metabolisme asam butirat), selain untuk sumber energi juga dsigunakan untuk sintesis lemak di dalam kelenjar susu oleh enzim asetil KoA karboksilase (Annison et al. 1984; Collier 1985). Oksidasi glukosa melalui siklus pentosa oleh enzim glukosa 6-phosphat dehidrogenase menghasilkan NADPH yang diperlukan untuk sintesis asam lemak di kelenjar susu (Baldwin dan Smith 1983).

Gambar

Tabel 1.  Kriteria penilaian silase
Tabel 2.  Komposisi susu kambing, sapi dan ASI
Gambar 1. Asal usul pembentukan unsur utama susu (Mc Donald et al. 1995)
Tabel 3.  Komponen susu kambing
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak penghasilan (PPh) pasal 21 adalah iuran rakyat ke kas negara berdasarkan undang-undang atas setiap tambahan

dari siswa siswi tersebut akan dikembalikan apabila yang mengambil atau menjemputnya adalah orang tua para murid. Hal ini dikarenakan untuk memberi efek jera kepada

Hal tersebut dilakikan dengan cara memberikan tekanan kepada manajer untuk bekerja dengan lebih baik ataupun mengganti manajemen yang dianggap tidak dapat memenuhi

Dari hasil pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa makna denotasi dan konotasi dari karakter Abah dalam film Keluarga Cemara ialah seorang Ayah akan selalu

Sedangkan pada Row 1 dan Row 2 volume transporter yang terlalu besar mengakibatkan jumlah fly ash yang semakin banyak pula, karena hal tersebut tekanan udara

Saya teringat ketika saya baru dilantik sebagai Rektor, seorang pejabat di Kemdikbud berpesan, “dandanono kampusmu cek gak koyok SD Inpres (perbaiki kampusmu biar tidak

1) Redaman hasil pengukuran nilainya lebih kecil dari pada hasil perhitungan, hal ini disebabkan karena untuk perhitungan matematis menggunakan asumsi nilai

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik berupa kritik maupun saran, ucapan terima kasih kepada orang-orang yang