• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETERMINAN NON PERFORMING FINANCING BANK SYARIAH DI INDONESIA (PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2015)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DETERMINAN NON PERFORMING FINANCING BANK SYARIAH DI INDONESIA (PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2015)"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

BANKS IN INDONESIA (PERIOD JANUARY 2010 – JUNE 2015)

Oleh

Miftahur Rahman Wyana 20120430146

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

(2)

i

BANKS IN INDONESIA (PERIOD JANUARY 2010 – JUNE 2015)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh

Gelar Sarjana pada Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh

Miftahur Rahman Wyana 20120430146

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

(3)

ii

Nama : Miftahur Rahman Wyana

Nomor mahasiswa : 20120430146

Menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul: “DETERMINAN NON PERFORMING FINANCING BANK SYARIAH DI INDONESIA (Periode Januari 2010 – Juni 2015)” tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini

dan disebutkan dalam Daftar Pustaka. Apabila ternyata dalam skripsi ini diketahui

terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain

maka saya bersedia karya tersebut dibatalkan.

Yogyakarta, 3 Oktober 2016

(4)

iii

DIKERJAKAN LEBIH DULU”

“HANYA CUKUP SATU KATA KUNCI UNTUK MEMPEROLEH SUATU

KEBERHASILAN ATAS APA YANG KAMU KERJAKAN, YAITU

MEMULAINYA”

“DALAM SETIAP KESULITAN PASTI ADA KEMUDAHAN”

(5)

iv

dalam mengerjakan skripsi ini.

2. Kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan pencerahan dan

perubahan dari jaman jahiliyah ke zaman modern yang penuh berkah ini.

3. Kepada Bapak dan Mama serta adik-adikku tercinta Isnaini Rahman Wyana

dan Azhari Rahman Wyana yang telah memberikan dukungan, motivasi,

serta doa yang tiada henti-hentinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepada seseorang yang menemani perjalanan kuliah hingga skripsiku,

Mbak Ayank Narita Dyatama yang telah memberikan dukungan dan

semangat yang tiada henti-hentinya dalam mengerjakan skripsi ini.

5. Kepada seluruh Keluarga besar Bapak dan Mama yang telah memberikan

semangat dan dukungan dalam mengerjakan skripsi ini.

6. Kepada seluruh keluarga besar Ilmu Ekonomi 2012 yang telah memberikan

dukungan dan keceriaan dalam menempuh jalan bersama dari awal kuliah

hingga masa penyelesaian skripsi ini.

7. Kepada seluruh sahabat dan teman-teman Mega Pro Jogjakarta, khususnya

teman-teman Mega Pro Lovers Indonesia yang telah mengisi hidupku di

Jogjakarta ini dari awal hingga akhir masa kuliahku.

8. Kepada seluruh dosen-dosen Ilmu Ekonomi yang telah berjuang mendidik,

mengajar, dan membantu menyelesaikan skripsi ini terutama dosen

(6)

v

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

INTISARI ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 15

Tujuan Penelitian... 16

Manfaat Penelitian ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

Landasan Teori ... 18

Pengertian Bank Syariah ... 18

Manajemen Pembiayaan ... 21

Non Performing Financing... 34

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi NPF ... 46

Penelitian Terdahulu ... 54

Kerangka Pemikiran Penelitian ... 56

(7)

vi

Teknik Pengumpulan Data... 59

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 59

Metode Analisis Data ... 62

Uji Akar Unit ... 65

Uji Derajat Integrasi ... 65

Uji Kointegrasi ... 66

Uji Error Correction Model ... 67

Uji Asumsi Klasik ... 68

BAB IV GAMBARAN UMUM... 74

Perkembangan Bank Syariah di Indonesia ... 74

Perkembangan Non Performing Financing... 81

Perkembangan Capital Adequacy Ratio ... 87

Perkembangan Financing to Deposit Ratio ... 88

Perkembangan Biaya Operasional Pendapatan Operasional ... 90

Perkembangan Total Aset ... 91

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 93

Hasil Penelitian ... 93

Uji Akar Unit ... 93

Uji Derajat Integrasi ... 94

Uji Kointegrasi ... 95

Uji Error Correction Model ... 100

Uji Asumsi Klasik ... 104

Pembahasan... 109

Jangka Panjang ... 109

(8)

vii

DAFTAR PUSTAKA

(9)

viii

Tabel 1.2 Perkembangan Indikator NPF ... 9

Tabel 2.1 Self Liquidating System... 33

Tabel 2.2 Anticipated Income System ... 33

Tabel 2.3 Kriteria Penilaian NPF oleh Bank Syariah ... 37

Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu ... 54

Tabel 4.1 Perkembangan Jaringan Kantor Perbankan Syariah... 79

Tabel 4.2 Perkembangan Aset Perbankan Syariah ... 80

Tabel 5.1 Hasil Augmented Dickey Fuller Pada Tingkat Level ... 94

Tabel 5.2 Hasil Augmented Dickey Fuller Pada Tingkat First Difference .. 95

Tabel 5.3 Hasil Uji Engle Granger Cointegration Test ... 96

Tabel 5.4 Hasil Augmented Dickey Fuller Pada Persamaan Residual ... 99

Tabel 5.5 Hasil Uji Error Correctin Model ... 101

Tabel 5.6 Hasil Uji Multikolinearitas ... 105

Tabel 5.7 Hasil Uji Heterokedastisitas dengan White Test ... 106

Tabel 5.8 Hasil Uji Autokorelasi ... 106

(10)

ix

Gambar 2.1 Jenis-Jenis Pembiayaan ... 30

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 56

Gambar 4.1 Perkembangan Non Performing Financing ... 84

Gambar 4.2 Perkembangan Non Performing Financing Semester I ... 85

Gambar 4.3 Perkembangan Capital Adequacy Ratio... 87

Gambar 4.4 Perkembangan Financing to Deposit Ratio ... 89

Gambar 4.5 Perkembangan Biaya Operasiona Pendapatan Operasional ... 90

(11)
(12)
(13)

solvency, and profitability. In addition, bank profits will decline due to decreased revenue sources, namely of financing and on the other hand should be set aside as a reserve fund in accordance of financing collectability. This research aims to explain the influence of internal variables banks in the form of financial ratios consisting of Capital Adequacy Ratio (CAR), Financing to Deposit Ratio (FDR), Operating Expenses Operating Income (ROA), and the size of the Bank to fluctuations net Non Performing Financing (NPF) Syariah Bank in Indonesia in the period of 2010 January to 2015 in June. The research data used are secondary data obtained from Bank Indonesia and the Financial Services Authority. Methods of data analysis using the Error Correction Model (ECM).

The results showed that in the long term variable CAR and FDR did not affect the NPF, while variable BOPO and Bank Size positive and significant impact on NPF. In the short term the only variable FDR showed that positive and significant impact on the NPF, while variable CAR, ROA, and the size of the Bank does not affect the NPF. To lose and keep the NPF ratio is not too high, the banks should improve management of bank financing in analyzing the customers who will receive the funds provided and observe the behavior of the customer's business after the borrowing of funds.

(14)

1

1.1 Latar Belakang

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup

masyarakat indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan bank syariah

merupakan bank yang bentuk kegiatannya sesuai dengan syariah dan tidak

bertentangan dengan nilai-nilai islam

Dalam menjalankan fungsi-fungsinya, bank syariah selalu berusaha

untuk memperoleh dana yang optimal dengan cost of money yang wajar.

Semakin banyak dana yang dimiliki suatu bank, semakin besar peluang bagi

bank tersebut untuk melakukan kegiatan-kegiatannya dalam mencapai

tujuannya. Peranan bank syariah sebagai lembaga keuangan tidak pernah luput

dari masalah.penyaluran pembiayaan merupakan kegiatan utama bank syariah

karena sumber pendapatan utama bank berasal dari kegiatan ini (Yuliadi, 2007).

Perkembangan dan pembangunan ekonomi di suatu negara sangat

(15)

perbankan. Bank Umum (Commercial Bank) memiliki peranan yang sangat

penting dalam menggerakkan roda perekonomian nasional, karena lebih dari 95

persen Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan nasional yang meliputi Bank

Umum (Commercial Bank), Bank Syariah (Sharia Bank), dan Bank Perkreditan

Rakyat (Rural Bank) berada di Bank Umum. DPK ini yang selanjutnya

digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit.

Penyaluran kredit dapat membantu masyarakat dalam melakukan berbagai

kegiatan ekonomi yang berkontribusi terhadap pembangunan perekonomian

masyarakat (Sari, 2013).

Pembiayaan merupakan salah satu bentuk penyaluran dana yang

diberikan bank syariah kepada masyarakat yang membutuhkan untuk

menggunakan dana yang telah dikumpulkan oleh bank syariah dari masyarakat

yang memiliki dana surplus. Oleh karena itu, Mokhtar (2005) menyatakan

bahwa bank harus memperhatikan berbagai faktor dan aspek apa saja yang

harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan terhadap masalah

(16)

Tabel 1.1 Perkembangan Pembiayaan Bank Syariah (Miliar Rupiah)

Indikator 2010 2011 2012 2013 2014

Musyarakah 14.624 18.960 27.667 39.874 49.387

Mudharabah 8.631 10.229 12.023 13.625 14.354

Murabahah 37.508 56.365 88.004 110.565 117.371

Salam - - - - -

Istishna’ 347 326 376 582 633

Lainnya 7.071 16.776 19.435 19.476 17.585

Total 68.181 102.655 147.505 184.122 199.330

Sumber : Laporan Statistik Perbankan Syariah Desember 2014

Pada tabel diatas dijelaskan bahwa perkembangan pembiayaan selama

5 tahun terakhir cukup menggembiarakan. Pada tahun 2014 total pembiayaan

yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp 199.330 miliar. Angka

tersebut meningkat sebesar Rp 15.208 miliar dari total pembiayaan pada tahun

2013 sebesar Rp 184.122 miliar. Peningkatan total pembiayaan yang cukup

tinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu mencapai Rp 102.655 miliar dari total

pembiayaan tahun 2010 sebesar Rp 68.181 miliar. Pada tahun 2014 pangsa

pembiayaan masih didominasi oleh pembiayaan murabahah sebesar 60 persen

yaitu sebesar Rp 117.371 miliar dari total pembiayaan perbankan syariah.

Kemudian disusul oleh pembiayaan musyarakah 21,65 persen yaitu sebesar Rp

49.387 miliar dari total pembiayaan perbankan syariah. Urutan ketiga diduduki

oleh pembiayaan mudharabah 7,39 persen dari total pembiayaan perbankan

syariah dan yang terakhir diduduki oleh sebesar lainya yang berupa pembiayaan

(17)

Bank umumnya dalam menjalankan operasionalnya guna mendapatkan

hasil usaha selalu dihadapkan pada risiko. Risiko yang mungkin terjadi bisa

menyebabkan kerugian bagi bank jika tidak dideteksi dan diatur sebagaimana

secara benar. Ketika akad telah ditandatangani dan pembiayaan telah dicairkan,

sejak itu akan ada risiko yang mulai ditanggung oleh pihak bank, salah satunya

adalah resiko kredit atau pembiayaan. Setiap pembiayaan yang diberikan

kepada nasabah memiliki potensi untuk bermasalah atau macet (Siswanti,

2014).

Pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang disalurkan kepada

nasabah akan tetapi nasabah tidak dapat melakukan pembayaran atau angsuran

sesuai dengan perjanjian yang telah ditandantangani dengan kata lain nasabah

telah wanprestasi. Semakin banyak nasabah yang tergolong wanprestasi

menyebabkan kerugian pada bank yaitu kerugian karena tidak diterimanya

kembali dana yang telah diberikan kepada nasabah dan bagi hasil yang

seharusnya diterima. Selain itu akibat dari pembiayaan yang bermasalah bank

akan mengalami peningkatan persentase Non Performing Financing (NPF)

(Siswanti, 2014).

Non Performing Financing (NPF) merupakan indikator pembiayaan

bermasalah yang perlu diperhatikan karena sifatnya yang fluktuatif dan tidak

pasti sehingga penting untuk diamati dengan perhatian khusus. NPF merupakan

(18)

intrepretasi penilaian pada aktiva produktif, khususnya dalam penilaian

pembiayaan bermasalah (Popita, 2013).

Semakin besarnya jumlah pembiayaan yang diberikan, maka akan

membawa konsekuensi semakin besarnya risiko yang harus ditanggung oleh

bank yang bersangkutan. Non Performing Financing (NPF) merupakan rasio

yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam menutup risiko

kegagalan pengembalian pembiayaan oleh debitur. NPF mencerminkan risiko

pembiayaan, semakin tinggi tingkat NPF maka semakin besar pula risiko

pembiayaan yang ditanggung oleh pihak bank (Ali, 2004). Akibat tingginya

NPF perbankan harus menyediakan pencadangan yang lebih besar, sehingga

pada akhirnya modal bank ikut terkikis. Padahal besaran modal sangat

mempengaruhi besarnya ekspansi pembiayaan. Besarnya NPF menjadi salah

satu penyebab sulitnya perbankan dalam menyalurkan pembiayaan

Bank syariah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya

kebersamaan dalam menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha antara

pemilik dana (shohibul mal) yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga

selaku pengelola dana (mudhorib), dan masyarakat yang membutuhkan dana

yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha (Muhammad, 2009).

Sistem bagi hasil yang digunakan oleh bank syariah berimplikasi pada

pemerataan hasil dan risiko antara lembaga keuangan dengan debitur. Proses

(19)

penting dalam kelancaran usaha tersebut, karena jika tidak, alih-alih bisa

mendapatkan bagi hasil, bank dapat mengalami kerugian karena pokoknya

tidak bisa dikembalikan. Alokasi sistem ini cenderung merefleksikan efisiensi

yang lebih besar pada sisi permintaan dan penawaran.

Sumber : Laporan Statistik Perbankan Syariah Desember 2014

Gambar 1.1 Grafik Perkembangan Non Performing Financing Bank Syariah

Table dan grafik diatas menggambarkan bahwa setiap tahun bank

syariah menghadapi kenaikan NPF seiring dengan kenaikan total pembiayaan

yang ada. Batas aman NPF yang ditentukan oleh Bank Indoesia adalah 5

persen, sehingga NPF yang dari tahun 2010 sampai tahun 2014 masih diangka

aman. Tetapi pada tahun 2014 NPF sudah menunjukkan angka mendekati 5

persen yaitu sebesar 4,33 persen dimana bank harus berhati-hati dengan angka

tersebut. Peningkatan angka NPF yang tinggi disebebkan oleh pembiayaan

(20)

pembiayaan. Tingginya tingkat NPF sebuah perbankan akan menyebabkan

rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan itu sendiri.

Bank yang tinggi tingkat NPF nya akan menyebabkan bank tidak sehat, karena

bank tidak melakukan fungsi intermediasinya dengan cukup baik. Tingginya

NPF juga akan merugikan bank sendiri karena akan mengikis cadangan modal

bank sendiri. Beberapa kasus turunnya perekonomian nasional dan

internasional disebabkan oleh tinginya tingkat pembiayaan macet yang terjadi.

Penggunaan sistem keuangan syariah dapat lebih kondusif bagi

pembangunan ekonomi. Adanya tanggungan risiko dan keuntungan bersama

oleh lembaga keuangan, akan mengurangi risiko ketidakmampuan bayar dari

nasabah. Sistem ini akan menyelamatkan dirinya sendiri dari beban bunga pada

saat-saat sulit, serta bersedia membagi keuntungan yang lebih tinggi pada saat

bisnis bagus. Demikian pula ketika krisis menerpa lembaga keuangan akan

bersedia menanggung risiko, tanpa takut mengurangi kekuatan finansialnya,

jika membangun cadangan pengganti kerugian pada saat bisnis bagus. Sehingga

perbankan syariah seharusnya akan lekas pulih dari krisis ekonomi

(Rahmawulan, 2008). Tetapi sayangnya pada kenyataannya saat ini bank

syariah hanya menerapkan system profit sharing, dimana hanya membagi

keuntungan nasabah saja, jika nasabah mengalami kerugian bank hanya akan

menanggung modal yang diberikan dan tidak menanggung kerugian secara

(21)

Oleh karena itu, pemberiaan pembiayaan oleh pihak bank harus

memperhatikan asas-asas pemberian pembiayaan yang sehat. Untuk

memperoleh kenyakinan tersebut, seperti tersebut dalam penjelasan Pasal 8

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yaitu: “Dalam

memberkan pembiayaan, bank wajib melakukan penelitian yang seksama

terhadap watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan

(collateral), kondisi ekonomi debitur (condition of economy). Hal ini untuk

menjaga kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan terjadi”.

Pembiayaan macet terjadi jika pihak bank mengalami kesulitan untuk

meminta angsuran dari pihak debitur karena suatu hal. Pembiayaan macet

adalah piutang yang tak tertagih atau pembiayaan yang mempunyai kriteria

kurang lancar, diragukan karena mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya

faktor-faktor tertentu (Hermanto, 2006). Seandainya terjadi hal yang demikian

maka pihak bank tidak boleh begitu saja memaksakan pada debitur untuk

segera melunasi hutangnya. Debitur berkewajiban untuk mengembalikan

pembiayaan yang telah diterimanya berikut dengan bunga sesuai yang

tercantum dalam perjanjian (Astuti, 2009).

Debitur yang sengaja tidak melunasi hutangnya maupun tidak

menepati batas waktu pengembalian hutang, maka jaminan dapat digunakan

untuk mengganti hutang. Jaminan pembiayaan harus ada pada setiap pemberian

(22)

menyebabkan pembiayaan macet Menurut Astuti (2009) pembiayaan

merupakan perjanjian pinjam meminjam uang, apabila debitur yang tidak dapat

membayar lunas hutangnya setelah jangka waktunya habis merupakan

wanprestasi.

Pengelolaan dan penanggulangan pembiayaan macet perlu

mendapatkan perhatian lebih serius karena masalah ini menjadi akar dari

masalah-masalah lainnya. Selama masalah pembiayaan macet ini belum

dibenahi, bank-bank masih akan menghadapi risiko pembiayaan yang tinggi,

yang pada gilirannya menghambat ekspansi pembiayaan bank itu sendiri

(Rahayu, 2011).

Peningkatan dan penurunan NPF pada suatu bank dapat dipengaruhi

berbagai faktor. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang diduga mempengaruhi

tingkat Non Performing Financing (NPF) adalah Capital Adequacy Ratio

(CAR), Financing to Deposit Ratio (FDR), Biaya Operasional Pendapatan

Operasional (BOPO), dan Bank Size (Total Aset).

Tabel 1.2 Perkembangan Indikator NPF

Indikator 2010 2011 2012 2013 2014

FDR (%) 88,67% 91,41% 120,65% 95,87% 91,50%

CAR (%) 16,25% 16,63% 14,14% 14,42% 16,10%

BOPO (%) 80,54% 78,41% 74,97% 78,21% 79,27%

Total Aset (M) 95.859 97.519 145.466 195.018 242.276

(23)

Menurut Ali (2004), untuk mengurangi kredit bermasalah maka bank

menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha dan menampung

risiko kerugian dana yang diakibatkan oleh kegiatan operasi bank yang disebut

Capital Adequacy Ratio (CAR). Akibat tingginya NPF, perbankan harus

menyediakan pencadangan yang lebih besar, sehingga pada akhirnya modal

bank ikut terkikis. Semakin tinggi presentase CAR maka semakin besar pula

kemampuan bank untuk menekan terjadinya kredit bermasalah. Perkembangan

CAR selama 4 tahun terakhir sangat fluktuatif. Pada tahun 2010 dan 2011 CAR

mengalami peningkatan yaitu 16,25 persen dan 16,63 persen kemudian pada

tahun selanjutnya 2012 mengalami penurunan yang cukup besar menjadi 14,14

persen dan pada tahun 2013 naik menjadi 14,42 persen. Pada tahun 2014 angka

kembali meningkat sebesar 16,10 persen.

Salah satu indikator besarnya pemberian kredit oleh bank yaitu dapat

dilihat dari persentase Financing to Deposit Ratio (FDR). Financing to Deposit

Ratio (FDR) merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah pembiayaan

yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal

sendiri yang digunakan (Kasmir, 2008). Rasio FDR ini digunakan untuk

mengetahui sampai sejauh mana dana masyarakat yang dihimpun oleh bank

disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau

pembiayaan. Angka FDR pada Tabel 1.3 juga menunjukkan angka yang sangat

(24)

yang menunjukkan sudah diatas normal yang artinya bank kekurangan

likuiditas. Batas normal FDR di sebuah perbankan adalah 75 persen ≤ FDR ≤

100 persen. Sedangkan pada tahun 2010, 2011, 2013, dan 2014 angka FDR

menunjukkan angka yang normal yaitu 88,67 persen, 91,41 persen, 95,87

persen, dan 91,50 persen. Tetapi angka-angka diatas sudah hampir mencapai

batas normal sebuah FDR, yang artinya fungsi intermediate bank syariah perlu

diperbaiki lagi.

Kebijakan pemberian pembiayaan yang mengandung prinsip

kehati-hatian hendaknya diterapkan oleh bank dalam menentukan calon debitur yang

benar-benar dapat menjaga dana pembiayaan yang disalurkan.dengan memilih

calon debitur yang memiliki reputasi yang baik diharapkan nilai NPF akan

turun. Besarnya Financing to Deposit Ratio (FDR) sebuah bank, mampu

menggambarkan besar peluang munculnya pembiayaan. Semakin tinggi FDR

sebuah bank maka semakin tinggi pula peluang pembiayaan macet yang akan

terjadi karena rasio ini menunjukkan salah satu penilaian likuiditas bank

(Aqidah, 2011).

Ukuran sebuah bank dapat dinilai dari total aset yang dimiliki

perusahaan tersebut. Bank dengan aset yang besar memliki kemungkinan untuk

menghasilkan keuntungan yang lebih besar apabila diikuti dengan hasil dari

aktivitasnya. Menurut Misra dan Dhal (2010) bank-bank besar lebih cenderung

(25)

kecil bisa menunjukkan bahwa mereka lebih efisiensi dari bank-bank besar

dalam hal penyaringan pinjaman dan pemantauan pasca pinjaman, yang

menyebabkan tingkat kegagalan lebih rendah (Jayanti, 2013). Total Aset bank

syariah selama 5 tahun terakhir selalu meningkat. Pada tahun 2014 total aset

mencapai angka Rp 242.276 (dalam miliar), meningkat sebesar Rp 47.258

(dalam miliar) dari total tahun 2012 sebesar Rp 195.018 (dalam miliar).

Kenaikan Total Aset tertinggi ditunjukkan dari tahun 2012 ke tahun 2013 yaitu

sebesar Rp 49.552 (dalam miliar), pada tahun 2012 Total Aset mencapai angka

Rp 145.466 (dalam miliar) dan pada tahun 2013 sendiri mencapai angka Rp

195.018 (dalam miliar). Kenaikan terendah ditunjuukan pada tahun 2010 ke

ahun 2011 yaitu sebesar Rp 1.660 (dalam miliar), pada tahun 2010 Total Aset

menujukkan angka Rp 95.859 (dalam miliar) dan pada tahun 2011 Total Aset

menujukkan angka Rp 97.519 (dalam miliar).

Rasio biaya operasi adalah perbandingan antara biaya operasional dan

pendapatan operasional. Rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur

tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya.

(Dendawijaya, 2005). Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya

operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan. Bank Indonesia

menetapkan rasio BOPO dibawah 90 persen. Apabila rasio BOPO melebihi 90

persen atau mendekati 100 persen maka bank dapat dikategorikan sebagai bank

(26)

dijelaskan bahwa selama 5 tahun terakhir bank syariah menujukkan bank yang

efisien karena selama 5 tahun terakhir angka BOPO menunjukkan angka

dibawah 90 persen. Pada tahun 2011 angka BOPO cukup tinggi mencapai 80,54

persen tetapi masih dibawah tingkat aman.

Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan tentang pengaruh

variabel-variabel tersebut terhadap pertumbuhan atau naik turunnya jumlah Non

Performing Financing (NPF) di Bank Syariah selama 5 tahun terakhir yaitu

Januari 2010 – Juni 2015. Peneliti tertarik meneliti Bank Syariah dikarenakan

bank syariah di Indonesia diprediksi masih akan berkembang dengan tingkat

pertumbuhan yang cukup tinggi dan tingkat pembiayaan macet yang masih

cukup fluktuatif. Peneliti juga tertarik untuk melakukan penelitian ini karena

banyak terjadi kesenjangan hasil penelitian dari hasil penelitian-penelitian

terdahulu, sehingga perlu diuji kembali faktor-faktor yang mempengaruhi Non

Performing Financing (NPF). Penelitian ini juga dilakukan karena terdapat

perbedaan antara data dengan teori, seperti naik turunnya CAR belum tentu

diikuti dengan naiknya NPF, begitu pula dengan BOPO dan Size (Total Aset).

Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui pengaruh-pengaruh dari variabel

tersebut.

Berikut ini merupakan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh

beberapa peneliti-peneliti terdahulu yang meneliti faktor-faktor yang

(27)

Penelitian yang dilakukan oleh Atiqoh (2014) menyimpulkan bahwa

Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh negatif terhadap Non Perfiorming

Financing (NPF). Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi rasio kecukupan

modal maka akan dapat berfungsi menampung risiko kerugian yang dihadapi

oleh bank karena peningkatan pembiayaan bermasalah. Namun hasil sebaliknya

ditunjukkan pada penelitian Riyadi, Iqbal dan Lauren (2014), dimana Capital

Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh positif terhadap Non Performing

Financing (NPF).

Penelitian Putri (2016) menyimpulkan bahwa Financing to Deposit

Ratio (FDR) berpengaruh negatif terhadap Non Performing Financing (NPF).

Semakin besar rasio FDR menandakan semakin banyak pembiayaan (total

pembiayaan) yang diberikan oleh bank yang bersangkutan akan menyebabkan

semakin kecilnya rasio NPF yang dihasilkan, sehingga hubungan rasio FDR

dengan rasio NPF adalah semakin besar rasio FDR akan menyebabkan rasio

NPF semakin kecil. Namun hal sebaliknya ditunjukkan pada penelitian Popita

(2013) dimana Financing to Deposit Ratio (FDR) berpengaruh positif terhadap

Non Performing Financing (NPF).

Penelitian yang dilakukan Wardhana (2015) menyimpulkan bahwa

Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh positif

terhadap Non Performing Financing (NPF). Hal ini menunjukkan bahwa

(28)

maka semakin kecil pula rasio pembiayaan macet (NPF) bank syariah tersebut.

Namun hal sebaliknya ditunjukkan pada penelitian Raysa (2014) yang

menyimpulkan bahwa Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)

berpengaruh negatif terhadap Non Performing Financing (NPF).

Penelitian yang dilakukan Mada (2015) menyimpulkan bahwa Bank

Size berpengaruh negatif terhadap Non Performing Financing (NPF). Hal ini

menunjukkan bahwa semakin besar total aset yang tergambar pada ratio Bank

Size maka akan semakin kecil pula peluang timbulnya pembiayaan macet

(NPF). Namun hasil sebaliknya ditunjukkan pada penelitian Misra dan Dhal

(2010) yang menyimpulkan bahwa Bank Size berpengaruh positif terhadap Non

Performing Financing (NPF)

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan,

maka penyusun ingin mengadakan penelitian dan menyusunnya dalam sebuah

skripsi yang berjudul Determinan Non Performing Financing (NPF) Bank Syariah di Indonesia (Periode Januari 2010 Juni 2015)”.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penetitian ini penulis akan melihat faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap Non Performing Financing (NPF) di Bank Syariah

Indonesia yaitu Capital Adequacy Ratio (CAR), Financing to Deposit Ratio

(29)

Aset), dan Total Pembiayaan. Berdasarkan uraian latar belakang, maka

permasalahan yang dapat di rumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh Captal Adequacy Ratio (CAR) terhadap Non

Performing Financing (NPF) di Bank Syariah?

2. Bagaimana pengaruh Fnancing to Deposit Ratio (FDR) terhadap Non

Performing Financing (NPF) di Bank Syariah?

3. Bagaimana pengaruh Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)

terhadap Non Performing Financing (NPF) di Bank Syariah?

4. Bagaimana Pengaruh Bank Size (Total Aset) terhadap Non Performing

Financing (NPF) di Bank Syariah?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) terhadap Non

Performing Financing (NPF) di Bank Syariah

2. Untuk mengetahui pengaruh Financing to Deposit Ratio (FDR) terhadap

Non Performing Financing (NPF) di Bank Syariah

3. Untuk mengetahui pengaruh Biaya Operasional Pendapatan Operasional

(BOPO) terhadap Non Performing Financing (NPF) di Bank Syariah

4. Untuk mengetahui pengaruh Bank Size (Total Aset) terhadap Non

(30)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan

referensi terhadap ilmu perbankan syariah dan ilmu manajemen

pembiayaan yang berkaitan dengan Non Performing Financing (NPF) dan

faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu, berguna juga sebagai

tambahan wawasan peneliti lain yang akan mengkaji lebih dalam mengenai

ilmu manajemen pembiayaan perbankan syariah.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis

Secara praktis dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis

mengenai manajemen pembiayaan perbankan syariah, khususnya yang

berkaitan dengan Non Performing Financing (NPF) dan faktor-faktor

yang mempengaruhinya.

b. Bagi Bank

Bagi bank diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai bahan

masukan untuk pengelolaan kinerja keuangan bank syariah yang lebih

baik, khususnya dalam mengelola dan mengontrol risiko pembiayaan

macet atau Non Performing Financing (NPF) serta faktor-faktor yang

(31)

18

A. Landasan Teori

1. Pengertian Bank Syariah

Kata bank itu sendiri berasal dari bahasa Latin banco yang artinya

bangku atau meja. Pada abad ke 12 banco merujuk pada meja, counter atau

tempat penukaran uang (money changer). Kemudian penggunaannya lebih

diperluas untuk menunjukkan meja tempat penukaran uang yang digunakan

para pemberi pinjaman dan para pedagang mata uang Eropa pada Abad

Pertengahan untuk memperlihatkan uang mereka (Zainul Arifin, 2006).

Menurut Dictionary of Banking and Financial Service by Jerry

Rosenbenrg bahwa yang dimaksud bank adalah lembaga yang menerima

simpanan giro, deposito, dan membayar atas dasar dokumen yang ditarik

pada orang atau lembaga tertentu, mendiskonto surat berharga, memberikan

pinjaman, dan menanamkan modal.

Bank adalah sebuah lembaga atau perusahaan yang aktivitasnya

menghimpun dana berupa giro, deposito tabungan dan simpanan yang lain

dari pihak yang kelebihan dana (surplus spending unit) kemudian

menempatkannya kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana

(32)

gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak (Taswan,

2010).

Semenjak diterapkannnya Dual Banking System, maka perbankan

di Indonesia telah menerapkan bank konvensional dan bank syariah secara

berdampingan. Perbankan syariah pada saat ini sedang hangat dibicarakan

di dunia karena sistemnya yang adil dan bebas bunga.

Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syariah atau

Bank Tanpa Bunga, adalah bank yang beroperasi dengan tidak

mengandalkan pada bunga, produknya dikembangkan berlandaskan pada

Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW dan usaha pokoknya adalah

memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran

serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip

syariat Islam (Muhammad, 2005).

Menurut UU No 21 Tahun 2008 Bank Syariah adalah Bank yang

menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut

jenisnya terdiri dari Bank Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Bank Syariah adalah Bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan

jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Secara umum tujuan utama bank syariah ialah mendorong dan

mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat atau bangsa, dengan

melakukan aktivitas perbankan, keuangan, komersial dan investasi sesuai

dengan asas Islam. Upaya ini harus didasari dengan (a) larangan atas bunga

(33)

berdasarkan kesetaraan, keadilan, dan kejujuran; (c) hanya mencari

keuntungan yang sah dan halal bsemata-mata; (d) pembinaan manajemen

keuangan kepada masyarakat; (e) mengembangkan persaingan yang sehat;

(f) menghidupkan lembaga zakat; dan (g) pembentukan jaringan kerjasama

dengan lembaga keuangan Islam lainnya (Iska, 2012).

Persoalan pokok dalam mekanisme bank Islam yaitu bahwa uang

hanyalah sekadar alat untuk memperlancar kegiatan ekonomi bukan sebagai

komoditas yang diperdagangkan. Sehingga dalam mekanisme kerja bank

Islam menghindarkan praktik yang mengarah pada praktik spekulasi dan

untung-untungan tetapi lebih ditekankan pada upaya untuk menggerakkan

kegiatan ekonomi secara riil. Esensi yang dikembangkan dalam sistem

perbankan Islam adalah bagaimana uang secara optimal dapat digunakan

untuk menggerakkan sektor riil karena memang sektor riil itulah yang dapat

meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua pelaku ekonomi

(Yuliadi, 2007).

Dengan demikian sebenarnya pengertian antara bank dan bank

syariah sebenarnya sama tetapi hanya dibedakan dengan kinerja operasional

dan prinsipnya. Bank Syariah beroperasi dengan sistem bagi hasil dan

berbentuk kerjasama, sehingga hubungan antara nasabah atau investor

(34)

2. Manajemen Pembiayaan

2.1 Pengertian Pembiayaan

Pembiayaan dalam perbankan syariah atau istilah teknisnya aktiva

produktif, menurut ketentuan Bank Indonesia adalah penanaman dana Bank

Syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan,

piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal,

penyertaan modal sementara, komitmen, dan kontinjensi pada rekening

administratif serta sertifikat wadiah Bank Indonesia.

Pembiayaan, secara luas, berarti financing atau pembelanjaan, yaitu

pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah

direncankan, baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain.

Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan

yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada

nasabah (Muhammad, 2005).

Menurut UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan

dengan itu berupa: (a) transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan

musyarakah; (b) transaksi sewa-menyewa dalam bentuk piutang

murabahah, salam dan istishna’; (c) transaksi jual beli dalam bentuk

piutang qardh; dan (d) transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah

untuk transaksi multijasa. Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara

Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang

(35)

setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau

bagi hasil.

Sedangkan menurut Peraturan Bank Indonesia No 5/7/PBI/2003,

Pembiayaan adalah penanaman dana bank syariah baik dalam rupiah

maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat

berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal

sementara, komitmen dan kontinjensi pada rekening administratif serta

Sertifikat Bank Indonesia Syariah.

2.2 Unsur-Unsur Pembiayaan

Pembiayaan pada dasarnya diberikan atas dasar kepercayaan. Hal

ini berarti bahwa prestasi yang diberikan benar-benar haus dapat diyakini

dapat dikembalikan oleh penerima pembiayaan sesuai dengan waktu dan

syarat-syarat yang telah disepakati bersama. Adapun unsur-unsur dalam

pembiayaan tersebut adalah (Rivai dan Arviyan, 2010) :

1. Adanya dua pihak, yaitu pemberi pembiayaan (shahibul maal) dan

penerima pembiayaan (mudharib). Hubungan pemberi pembiayaan dan

penerima pembiayaan merupakan hubungan kerjasama yang saling

menguntungkan, yang diartikan sebagai kehidupan tolong menolong

2. Adanya kepercayaan shahibul maal kepada mudharib yang didsarkan

prestasi, yaitu potensi mudharib

3. Adanya persetujuan, berupa kesepakatan kedua belah pihaj dengan

(36)

maal. Janji membayar tersebut berupa janji lisan, tertulis (akad

pembiayaan) atau berupa instrumen.

4. Adanya penyerahan barang, jasa atau uang dari shahibul maal kepada

mudharib

5. Adanya unsur waktu yang merupakan unsur esensial pembiayaan.

Misalnya penanbung memberikan pembiayaan sekarang untuk

konsumsi yang lebih besar di masa yang akan datang

6. Adanya unsur resiko dikedua belah pihak. Biasanya berupa resiko gagal

bayar.

2.3 Tujuan dan Fungsi Pembiayaan

Proses pembiayaan dilakukan secara hati-hati oleh bank syariah

dengan maksud untuk mencapai sasaran dan tujuan pemberian pembiayaan.

Ketika bank syariah menetapkan keputusan pemberian pembiayaan maka

sasaran yang hendak dicapai adalah aman, terarah dan mneghasilkan

pendapatan. Sedangkan tujuan pemeberian pembiayaan minimal akan

memberikan manfaat pada (Muhammad, 2005) :

1. Bagi Pemilik, yaitu para pemilik mengharapkan akan memperoleh

penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut.

2. Bagi Pegawai, yaitu para pegawai mengharapkan dapat memperoleh

kesejahteraan dari bank yang dikelolanya.

3. Bagi Bank, yaitu dapat digunakan sebagai instrumen bank dalam

memelihara likuiditas, solvabilitas dan rentabilitas, kemudian dapat

(37)

pembiayaan diharapkan dapat menjadi sumber utama pendapatan bank

yang berguna bagi kelangsungan hidup bank tersebut.

4. Bagi Mudharib, yaitu bahwa pemberian pembiayaan oleh bank dapat

digunakan untuk mempelancar usaha dan selanjutnya meningkatkan

usaha sehingga kontinuitas perusahaan

5. Bagi Masyarakat (negara), yaitu bahwa pemberian pembiayaan oleh

bank syariah akan mampu menggerakkan perekonomian masyarakat,

peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat akan mampu menyerap

tenaga kerja dan pada gilirannya mampu mensejahterakan masyarakat.

Disamping itu bagi negara bahwa pembiayaan dapat digunakan sebagia

instrumen moneter. Pemerintah dapat mempengaruhi restriksi maupun

ekspansi pembiayaan perbankan syariah melalui kebijakan moneter dan

perbankan

6. Bagi pemerintah, yaitu pemerintah terbantu dalam pembiayaan

pembangunan negara, disamping itu akan diperoleh pajak (berupa pajak

penghasilan atas keuntungan yang diperoleh bank dan juga

perusahaan-perusahaan)

Sesuai dengan tujuan pembiayaan sebagaimana diatas, pembiayaan

secara umum memiliki fungsi untuk (Rivai dan Arviyan, 2010) :

1. Meningkatkan Daya Guna Uang

Para penabung menyimpan uangnya di bank dalam bentuk giro,

tabungan dan deposito. Uang tersebut dalam presentase tertentu

(38)

Dengan demikian, dana yang mengendap dibank (yang diperoleh dari

para penyimpan uang) tidaklah idle (diam) dan disalurkan untuk

usaha-usaha yang bermanfaat.

2. Meningkatkan Daya Guna Barang

Produsen dengan bantuan pembiayaan bank dapat mengubah bahan

mentah menjadi bahan jadi sehingga utilitas dari bahan tersebut

meningkat

3. Meningkatkan Peredaran Uang

Melalui pembiayaan, peredaran uang kartal maupun giral akan lebih

berkembang karena pembiayaan menciptakan suatu kegairahan

berusaha sehingga penggunaan uang akan bertambah baik secara

kualitatif apalagi secara kuantitatif.

4. Menimbulkan Kegairahan Usaha

Bantuan pembiayaan yang diterima pengusaha dari bank kemudian

digunakan untuk memperbesar volume usaha dan produktivitasnya.

Secara otomatis kemudian timbul kesan bahwa setiap usaha untuk

peningkatan produktivitasnya, masyarakat tidak perlu khawatir

kekurangan modal, karena masalahnya dapat diatasi oleh bank dengan

pembiayaan.

5. Stabilitas Ekonomi

Untuk menekan arus inflasi dan terlebih-lebih lagi untuk usaha

pembangunan ekonomi maka pembiayaan bank memegang peranan

(39)

2.4 Analisis Pembiayaan

Penyaluran pembiayaan kepada masyarakat harus melewati

beberapa analisis pembiayaan. Hal itu dikarenakan transaksi pembiayaan

merupakan transaksi yang cukup berisiko bagi bank. Analisis pembiayaan

mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prosepek usahanya, dan

jaminan yang diberikan. Analisis pembiayaan memiliki 2 tujuan yaitu tujuan

umum dan tujuan khusus. Tujuan umum analisis pembiayaan adalah

pemenuhan jasa pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat dalam rangka

mendorong dan melancarkan perdagangan, produksi, jasa-jasa bahkan

konsumsi yang kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup

masyarakat. Sedangkan tujuan khusus analisis pembiayaan adalah (a) untuk

menilai kelayakan usaha calon peminjam; (b) untuk menekan resiko akibat

tidak terbayarnya pembiayaan; dan (c) untuk menghitung kebutuhan

pembiayaan yang layak (Muhammad, 2005).

Dalam pemberian pembiayaan terdapat prinsip-prinsip penilaian

pembiayaan yaitu prinsip penilaian 5C (Taswan, 2010) :

1) Character

Yang mempunyai pengertian yaitu sifat dan watak seseorang dalam hal

ini calon mudharib. Tujuannya adalah memberi keyakinan kepada bank

bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akna diberikan

pembiayaan benar-benar dapat dipercaya. Keyakinan ini tercermin dari

latar belakang nasabah. Character merupakan ukuran untuk menilai

(40)

2) Capacity

Untuk melihat kemampuan calon nasabah dalam membayar

pembiayaan yag dihubungkan dengan kemampuannya mengelola bisnis

seta kemampuannya mencari laba. Semakin banyak sumber pendapatan

seseorang, semakin besar kemampuannya untuk membayar

pembiayaan.

3) Capital

Capital adalah untuk mengetahui sumber-sumber pembiayaan yang

dimiliki nasabah terhadap usaha yang akan dibiayai oleh bank.

Biasanya bank tidak akan bersedia membiayai suatu usaha 100%.

4) Colleteral

Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah bank yang bersifat

fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah

pembiayaan yang diberikan. Fungsi jaminan adalah sebagai pelindung

bank dari resiko kerugian.

5) Condition

Dalam menilai pembiayaan hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi

sekarang dan untuk dimasa yang akan datang sesuai sektor

masing-masing.

2.5 Jenis-Jenis Pembiayaan

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu

(41)

pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaanya pembiayaan

dapat diabagi menjadi 2 yaitu (Antonio, 2001) :

1. Pembiayaan Produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk

memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan

usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.

2. Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk

memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk

memenuhi kebutuhan. Skema yang biasanya digunakan dalam

pembiayaan konsumtif yaitu Al bai’ bi tsaman ajil, Al-ijarah

al-muntahia bit-tamlik, Al-musyarakah mutanaqishah dan Ar-Rahn.

Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menajdi

dua, yaitu (Rivai dan Arviyan, 2010) :

1. Pembiayaan Modal Kerja, yaitu pembiayaan untuk memnuhi

kebutuhan: (a) peningkatan produksi, baik secara kuantitatif yaitu

jumlah hasil produksi mauoun secara kuantitatif yaitu peningkatan

kualitas atau mutu hasil produksi dan (b) untuk keperluan perdagangan

dan peningkatan utility of place dari suatu barang. Unsur-unsur modal

kerja terdiri atas komponen-komponen alat likuid (cash), piutang

dagang (receivable), dan persediaan (inventory) yang umumnya terdiri

atas persediaan bahan baku (raw material), persediaan barang dalam

proses (work in process), dan persediaan barang jadi (finished goods).

(42)

kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash financing), pembiayaan

piutang (receivable financing) dna pembiayaan persediaan (inventory

financing). Skema pembiayaan modal kerja biasanya menggunakan

skema mudharabah.

2. Pembiayaan Investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang

modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya

dengan itu. Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan dalam

jumlah besar dan pengendapannya cukup lama. Oleh karena itu, perlu

disusun proyeksi arus kas (projected cash flow) yang mencakup semua

komponen baiya dan pendapatan sehingga akan dapat diketahui berapa

dana yang tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Setelah itu,

barulah disusun jadwa amortisasi yang merupakan angsuran

pembiayaan. Skema yang biasanya digunakan dalam pembiayaan ini

adalah skema musyarakah mutanaqisah, al-ijarah al-muntahiyah

(43)

Secara umum, jenis-jenis pembiayaan dapat digambarkan sebagai berikut :

[image:43.595.196.474.151.267.2]

Sumber : Bank Syariah, dari Teori ke Praktik (Antonio, 2001)

Gambar 2.1 Jenis-Jenis Pembiayaan

Dapat disimpulkan bahwa pembiayaan dalam perbankan syariah

dapat dibagi menjadi pembiayaan konsumtif, produktif, modal kerja dan

investasi.

2.6 Teori Resiko Pembiayaan

Risiko pembiayaan adalah risiko kemungkinan pinjaman tidak

kembali sesuai dengan kontrak, seperti penundaan, pengurangan

pembayaran suku bunga dan/atau pinjaman pokoknya, atau tidak membayar

pinjamannya sama sekali (Silvanita, 2009). Selain itu risiko pembiayaan

didefiniskan sebagai risiko kerugian yang dikaitkan dengan kemungkingan

kegagalan klien membayar kewajibannya atau risiko dimana mudharib tidak

dapat melunasi hutangnya (Ghozali dalam Wardhana, 2015).

Risiko pembiayaan muncul jika bank tidak bisa memperoleh

kembali cicilan pokok dan atau bunga dari pinjaman yang diberikannya atau

investasi yang sedang dilakukannya. Penyebab utama terjadinya risiko

pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau PEMBIAYAAN

KONSUMTIF PRODUKTIF

(44)

melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan

likuiditas, sehingga penilaian pembiayaan kurang cermat dalam

mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya

(Muhammad, 2005).

Hampir semua regulator menetapkan standar pengelolaan risiko

pembiayaan yang meliputi identifikasi risiko dan potensi yang ada,

mendefinisikan kebijakan yang menggambarkan filosofi manajemen risiko

bank serta menetapkan aturan mengenai ukuran/parameter dalam risiko

pembiayaan yang akan dikontrol (Greuning dan Bratanovic dalam Mada,

2015). Ada tiga jenis kebijakan yang berkaitan dengan manajemen risiko

pembiayaan (Taswan, 2010) :

a. Kebijakan yang bertujuan untuk membatasi atau mengurangi risiko

pembiayaan. yang termasuk dalam jenis pertama adalah kebijakan pada

konsentrasi dan pemaparan besar, diversifikasi, pinjaman kepada pihak

terkait, dan kelebihan pemaparan.

b. Kebijakan yang bertujuan mengklasifikasikan asset dengan cara

mengevaluasi kolektabilitas portofolio instrument pembiayaan secara

berkala.

c. Kebijakan yang bertujuan untuk kerugian provisi atau kebijakan dalam

menciptakan tunjangan pada tingkat tertentu untuk menyerap kerugian

yang dapat diantisipasi.

Suatu pembiayaan dinyatakan bermasalah jika bank benar-benar

(45)

tersebut. Risiko pembiayaan didefinisikan sebagai risiko kerugian

sehubungan dengan pihak peminjam tidak dapat dan tidak mau memenuhi

kewajiban untuk membayar kembali dana yang dipinjamnya secara penuh

pada saat jatuh tempo atau sesudahnya. (Idroes dalam Rahmawulan, 2008).

Risiko ini dapat ditekan dengan cara memberikan wewenang keputusan

biaya bagi setiap aparat pembiayaan, berdasarkan kapabilitasnya (authorize

limit) dan batah jumlah (pagu) pembiayaan yang dapat diberikan pada usaha

atau perusahaan tertentu (credit line limit), serta melakukan diversifikasi

(Muhammad, 2005).

2.7 Sistem Pembiayaan

Sistem pembiayaan akan menentukan pola pembayaran/pelunasan

pembiayaan, oleh karena itu penempatan pembiayaan harus harus

memperhatikan sistem pembiayaan. Secara umum sistem pembiayaan ada 3

(tiga) macam yaitu (Taswan, 2010):

a. Self Liquidating System

Self Liquidating System adalah sistem pemberian pembiayaan yang

didasarkan pada kepastian sumber pelunasan pembiayaan. Pada sistem

ini sumber referensinya adalah sumber penghasilan, jumlah penghasilan

mudharib dan jangka waktu pelunasan yang telah diketahui terlebih

dahulu oleh bank, dengan demikian ada kepastian. Namun demikian,

bank tetap memperhatikan caharacter, capacity, collateral, capital, dan

(46)
[image:46.595.179.475.140.230.2]

Tabel 2.1 Sumber Pelunasan dan Referensinya - Self Liquidating System

Keterangan Referensi

Sumber penghasilan Gaji karyawan Jumlah penghasilan Nilai gaji karyawan Jumlah pelunasan Sesuai skala angsuran

Waktu pelunasan Sesuai akad pembiayaan

Sumber : Manajemen Perbankan (Taswan, 2010)

b. Anticipated Income System

Pada sistem ini, penempatan keredit berdasarkan pada proyeksi sumber

penghasilan, jumlah penghasilan, jumlah pelunasan, dan waktu

pelunasan disamping memperhatikan prinsip pembiayaan 4C. Sistem

ini biasanya terjadi pada pembiayaan investasi. Pembiayaan investasi

adalah pembiayaan yang diberikan untuk membiayai barang-barang

modal (memberi manfaat lebih dari 1 tahun), misalnya dalam rangka

pendirian pabrik, ekspansi pabrik atau mungkin rehabilitasi pabrik,

jalan raya dan sebagainya. Pembiayaan atau kerdit terhadap

proyek-proyek seperti ini adalah mengandung risiko yang besar. Bank

mengandalkan referensi berupa rencana yang bersifat proyektif

sehingga masih terdapat ketidakpastian dimasa mendatang.

Tabel 2.2 Sumber Pelunasan dan Referensinya - Anticipated Income System

Keterangan Referensi

Sumber penghasilan Rencana proyek/investasi Jumlah penghasilan Estimasi arus kas masuk

Jumlah pelunasan Rencana/proyeksi arus kas

Waktu pelunasan Rencana/estimasi jangka waktu

(47)

c. Sistem Kombinasi/Gabungan (Mix)

Sistem ini dalah sistem pembiayaan untuk usaha, investasi dan

konsumsi yang mengandung kedua kondisi diatas (self liquidating

maupun anticipated income).

3. NPF (Non Performing Financing)

3.1 Pengertian NPF (Non Performing Financing)

Sebagai indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko

pembiayaan adalah tercermin dari besarnya Non Performing Financing

(NPF). NPF adalah rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan total

pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah. Berdasarkan kriteria yang

sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia kategori yang termasuk dalam NPF

adalah pembiayaan kurang lancar, diragukan dan macet (Rimadhani dalam

Annisa 2011). Adapun menurut Rivai (2010) pembagian kualitas

pembiayaan adalah sebagai berikut:

1. Pembiayaan Lancar

a. Pembayaran angsuran pokok dan atau bunga tepat waktu.

b. Memiliki mutasi rekening yang aktif.

c. Bagian dari pembiayaan yang dijamin dengan agunan tunai (cash

collateral).

2. Perhatian Khusus

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang belum

melampaui 90 hari.

(48)

c. Mutasi rekening relatif aktif.

d. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan.

e. Didukung oleh pinjaman baru.

3. Kurang Lancar

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah

melampaui 90 hari.

b. Sering terjadi cerukan.

c. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah

d. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari

90 hari.

e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi mudharib.

f. Dokumentasi pinjaman yang lemah.

4. Diragukan

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah

melampaui 180 hari.

b. Terjadi cerukan yang bersifat permanen.

c. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari.

d. Terjadi kapitalisasi bunga.

e. Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian pembiayaan

maupun pengikatan jaminan.

5. Macet

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah

(49)

b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru.

c. Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat

dicairkan pada nilai wajar.

Non Performing Financing (NPF) merupakan pembiayaan yang

buruk yaitu pembiayaan yang tidak tertagih. Besarnya NPF mencerminkan

tingkat pengendalian biaya dan kebijakan pembiayaan yang dijalankan

oleh bank. Faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan yang buruk ini

(Rose-Kolari dalam Inayah, 2005) antara lain karakter buruk peminjam,

adanya praktek kolusi, dalam pencairan pembiayaan, kelemahan

manajemen, pengetahuan dan keterampilan, dan perubahan kondisi

lingkungan.

Sedangkan menurut Veithzal (2010), pembiayaan bermasalah

berarti pembiayaan yang dalam pelaksanaannya belum mencapai atau

memenuhi target yang diinginkan pihak bank seperti: pengembalian pokok

atau bagi hasil yang bermasalah; pembiayaan yang memiliki kemungkinan

timbulnya risiko dikemudian hari bagi bank, pembiayaan yang termasuk

diragukan dan macet serta golongan lancar yang berpotensi terjadi

penunggakan dalam pengembalian. Untuk menekan atau meminimalkan

tingkat NPF ini perlu dilakukan analisis pembiayaan. Berdasarkan analisis

pembiayaan yang ada diharapkan perbankan dapat mengurangi risiko

pembiayaan bermasalah dan lebih berhati-hati dalam menyalurkan

(50)

NPF yang terus meningkat akan menyebabkan turunnya

profitabilitas serta kepercayaan masyarakat atau nasabah kepada bank

syariah yang pada akhirnya nasabah enggan untuk menyimpan dananya di

bank syariah. Besarnya NPF yang diperbolehkan oleh Bank Indonesia

adalah maksimal 5 persen, jika melebihi 5 persen akan mempengaruhi

penilaian tingkat kesehatan bank yang bersangkutan. Sesuai SE BI No.

9/24/Dpbs Tanggal 30 Oktober 2007 tentang sistem penilaian kesehatan

bank berdasarkan prinsip syariah yang dirumuskan sebagai berikut:

Cakupan pembiayaan dan kolektabilitas pembiayaan berpedoman

pada Ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank

Umum yang melaksanakan usaha berdasarkan prinsip syariah. Kriteria

[image:50.595.171.482.489.602.2]

penilaian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah:

Tabel 2.3 Kriteria Penilain NPF oleh Bank Syariah

Peringkat Kriteria Keterangan

Peringkat 1 NPF < 2% Sangat Baik

Peringkat 2 2% ≤ NPF < 5% Baik

Peringkat 3 5% ≤ NPF < 8% Cukup Baik

Peringkat 4 8% ≤ NPF < 12% Kurang Baik

Peringkat 5 NPF ≥ 12% Tidak Baik

Sumber: SE Bank Indonesia No 9/24/DPbS tahun 2007

Menurut Antonio (2001), pengendalian biaya mempunyai

hubungan terhadap kinerja lembaga perbankan, sehingga semakin rendah

tingkat NPF (ketat kebijakan pembiayaan) maka akan semakin kecil jumlah

pembiayaan yang disalurkan oleh bank, dan semakin ketat kebijakan

(51)

tingkat NPF) akan menyebabkan tingkat permintaan pembiayaan oleh

masyarakat turun. Hal ini disebabkan karena waktu proses pembiayaan yang

cukup lama, analisis pembiayaan yang mendalam, bahkan ada calon

nasabah yang merasa privasi pribadinya terganggu (merasa tidak percaya)

karena adanya analisis karakter yang mendalam, sehingga calon nasabah

merasa lebih baik meminjam (pindah) ke bank lain yang lebih lunak dalam

melakukan analisis pembiayaan/kebijakan pembiayaan.

Teori tersebut didukung oleh hasil penelitian Arianti dan Muharam

(2012) yang mengungkapkan bahwa tinggi rasio NPF menunjukkan

semakin buruk kualitas pembiayaannya, dan tentunya akan semakin rendah

jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Pembiayaan bermasalah

yang tinggi dapat menimbulkan keengganan bank untuk menyalurkan

pembiayaan, dimana setiap kenaikan pembiayaan bermasalah akan

menurunkan jumlah dana yang disalurkan.

3.2 Penyebab NPF (Non Performing Financing)

Dari perspektif bank, terjadinya pembiayaan bermasalah

disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat dibedakan sebagai berikut

(Kasmir, 2008) :

1. Faktor Internal

Faktor internal pembiayaan bermasalah berhubungan dengan

(52)

a. Kebijakan pembiayaan yang ekspansif

Bank yang memiliki kelebihan dana sering menetapkan kebijakan

pembiayaan yang terlalu ekspansif yang melebihi pertumbuhan

pembiayaan secara wajar, yaitu dengan menetapkan sejumlah target

pembiayaan yang harus dicapai untuk kurun waktu tertentu.

Keharusan pencapaian target pembiayaan dalam waktu tertentu

tersebut cenderung mendorong penjabat pembiayaan menempuh

langkah-langkah yang lebih agresif dalam penyaluran pembiayaan

sehingga mengakibatkan tidak lagi selektif dalam memilih calon

mudharib dan kurang menerapkan prinsip – prinsip pembiayaan

yang sehat dalam menilai permohonan pembiayaan sebagaimana

seharusnya. Di samping itu, bank sering saling membajak nasabah

dengan memberikan kemudahan yang berlebihan. Bank dalam

beberapa kasus sering mengabaikan kalau calon mudharibnya

masuk dalam Daftar Pembiayaan Macet yang diterbitkan Bank

Indonesia secara rutin.

b. Penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur pembiayaan

Pejabat bank sering tidak mengikuti dan kurang disiplin dalam

menerapkan prosedur pembiayaan sesuai dengan pedoman dan tata

cara dalam suatu bank. Hal yang sering terjadi, bank tidak

mewajibkan calon mudharib membuat studi kelayakan dan

menyampaikan data keuangan yang lengkap. Penyimpangan sistem

(53)

dan kualitas sumber daya manusia, khususnya yang menangani

masalah pembiayaan belum memadai. Di samping itu, salah satu

penyebab timbulnya pembiayaan bermasalah tersebut dari sisi

intern bank adalah adanya pihak dalam bank yang sangat dominan

dalam pemutusan pembiayaan.

c. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan

Untuk mengukur kelemahan sistem administrasi dan pengawasan

pembiayaan bank dapat dilihat dari dokumen pembiayaan yang

seharusnya diminta dari mudharib tapi tidak dilakukan oleh bank,

berkas pembiayaan tidak lengkap dan tidak teratur, pemantauan

terhadap usaha mudharib tidak dilakukan secara rutin, termasuk

peninjauan langsung pada lokasi usaha mudharib secara periodik.

Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan tersebut

menyebabkan pembiayaan yang secara potensial akan mengalami

masalah tidak dapat dilacak secara dini, sehingga bank terlambat

melakukan langkah-langkah pencegahan.

d. Lemahnya informasi pembiayaan

Sistem informasi yang tidak berjalan sebagaimana seharusnya akan

memperlemah keakuratan pelaporan bank yang pada gilirannya

sulit melakukan deteksi dini. Hal tersebut dapat menyebabkan

terlambatnya pengambilan langkah-langkah yang diperlukan untuk

mencegah terjadinya pembiayaan bermasalah.

(54)

Pemilik atau pengurus bank seringkali memanfaatkan keberadaan

banknya untuk kepentingan kelompok bisnisnya dengan sengaja

melanggar ketentuan kehati-hatian perbankan terutama legal

lending limit. Skenario lain adalah pemilik dan atau pengurus bank

memberikan pembiayaan kepada mudharib yang sebenarnya fiktif.

Padahal pembiayaan tersebut digunakan untuk tujuan lain. Skenario

ini terjadi karena adanya kerja sama antara pemilik dan pengurus

bank yang memiliki itikad kurang baik.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal ini sangat terkait dengan kegiatan usaha mudharib

yang menyebabkan terjadinya pembiayaan bermasalah antara lain terdiri

dari:

a. Penurunan kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga

pembiayaan

Penurunan kegiatan ekonomi dapat disebabkan oleh adanya

kebijakan penyejukan ekonomi atau akibat kebijakan pengetatan

uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang menyebabkan

tingkat bunga naik dan pada gilirannya mudharib tidak lagi mampu

membayar cicilan pokok dan bunga pembiayaan.

b. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh

mudharib

Dalam kondisi persaingan yang tajam, sering bank menjadi tidak

(55)

keterbatasan kemampuan teknis dan pengalaman petugas bank

dalam pengelolaan pembiayaan.

c. Kegagalan usaha mudharib

Kegagalan usaha mudharib dapat terjadi karena sifat usaha

mudharib yang sensitif terhadap pengaruh eksternal, misalnya

kegagalan dalam pemasaran produk karena perubahan harga di

pasar, adanya perubahan pola konsumen, dan pengaruh

perekonomian nasional.

d. Mudharib mengalami musibah

Musibah bisa saja terjadi pada mudharib, misalnya meninggal

dunia, lokasi usahanya mengalami kebakaran atau kerusakan

sementara usaha mudharib tidak dilindungi dengan asuransi.

Menurut Mahmoedin (dalam Zakiyah dan Yulizar, 2011) indikasi

perilaku kredit bermasalah dapat dilihat dari perilaku rekening (account

attitudes), perilaku laporan keuangan (financial statment attitudes), perilaku

kegiatan bisnis (business activities attitudes), perilaku nasabah (customer

attitudes), dan perilaku makroekonomi (macroeconomic attitudes). Selain

itu faktor-faktor yang menyebabkan kredit bermasalah itu sendiri

disebabkan oleh tiga unsur, yaitu dari pihak bank itu sendiri (kreditur),

debitur, serta diluar kreditur dan debitur tersebut. Dengan demikian, dapat

dilihat bahwa banyak aspek yang dapat mempengaruhi tingkat kredit atau

(56)

3.3 Penyelamatan dan Penyelesaian NPF

Untuk menutup risiko kerugian penanaman dana, bank dalam

setiap akad pembiayaan wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva

(PPA). PPA adalah cadangan yang harus dibentuk bank sebesar presentase

tertentu berdasarkan kualitas aktiva masing-masing. Tujuannya adalah

sebagai pelindung ketika kualitas pembiayaan-pembiayaan tersebut

menurun atau bahkan macet (Muhammad, 2005). PPA diambil dari laba,

jadi semakin tinggi kualitas pembiayaan bermasalah maka presentase PPA

yang dikeluarkan semakin besar sehingga bersifat mengurangi laba

(Darmawi, 2011). Pedoman pembentukan PPA adalah sebagai berikut

(Haryono, 2009) :

1. Cadangan Umum

Jumlah minimal sebesar 1 persen dari aktiva produksi yang

digolongkan lancar, tidak termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia

(SWBI) dan surat berharga yang diterbitkan pemerintah berdasarkan

prinsip syariah, serta bagian aktiva produktif yang dijamin pemerintah

dan agunan tunai berupa giro, tabungan, deposito, setora jaminan dan

atau emas yang diblokir dan disertai dengan surat kuasa pencairan.

2. Cadangan Khusus

a. 5 persen dari aktiva dengan kualitas dalam perhatian khusus setelah

dikurangi nilai agunan.

b. 15 persen dari aktiva dengan kualitas kurang lancar setelah

(57)

c. 50 persen dari aktiva dengan kualitas diragukan setelah dikurangi

nilai agunan.

d. 100 persen dari aktiva dengan kualitas macet setelah dikurangi nilai

agunan

Menurut Fauziyah (2015) semakin tinggi NPF menunjukkan

semakin buruk kualitas pembiayaan. Buruknya kualitas pembiayaan akan

berpengaruh terhadap turunnya keuntungan yang diperoleh bank, karena

pada saat terjadinya pembiayaan bermasalah pengembalian pokok atau bagi

hasil tidak tepat pada waktunya atau bahkan tidak dibayarkan. Dalam hal ini

bank harus membentuk cadangan atau yang disebut Penyisihan

Penghapusan Aktiva (PPA). PPA merupakan cadangan yang digunakan

apabila terjadi pembiayaan dengan kualitas dalam perhatian lancar, khusus,

kurang lancar, diragukan, dan macet. Semakin tinggi kualitas pembiayaan

bermasalah atau NPF maka cadangan PPA semakin tinggi, oleh karena itu

akan berpengaruh terhadap menurunnya keuntungan karena PPA diambil

dari laba, jadi laba akan menurun.

Selain itu usaha untuk menyelesaikan pembiayaan yang

dikategorikan macet dapat ditempuh dengan

Gambar

Tabel 1.1 Perkembangan Pembiayaan Bank Syariah (Miliar Rupiah)
Gambar 1.1 Grafik Perkembangan Non Performing Financing Bank Syariah
Gambar 2.1 Jenis-Jenis Pembiayaan
Tabel 2.1 Sumber Pelunasan dan Referensinya - Self Liquidating
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa memberikan bantuan baik moril maupun materiil, sehingga penulis dapat

[r]

Kemudian pada peta yang dikeluarkan oleh Malaysia yang merupakan klaim secara sepihak pada tahun 1979, menarik garis yang tidak berpatokan kepada suatu dasar yang jelas, dan pada

Dividend Payout Ratio pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2009-2011 (2) Untuk menganalisis pengaruh likuid Current Ratio (CR), Debt to Equity

Dalam pelaksanaan upacara tradisi Tewah sebaiknya setiap upacara dibacakan sejarah singkat diadakannya upacara Tewah agar semua peserta khususnya remaja supaya

Di antaranya adalah kos dan kewangan iaitu perbelanjaan dalam mendapatkan maklumat program dan pendapatan keluarga, sikap negatif terhadap program yang dijalankan

Dalam mekanisme legislasi di Indonesia Presiden selaku lembaga Eksekutif dan Dewan Penvakilan Rakyat selaku lembaga legislatif yang benvenang untuk merumuskan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Perilaku kepemimpinan dalam pelaksanaan program kerja budaya organisasi pada Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah