• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi di Wilayah Provinsi Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi di Wilayah Provinsi Lampung)"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRAK

Tingkat kejahatan pencabulan terhadap anak juga terjadi di Provinsi Lampung cukup tinggi, bahkan pelakunya ada yang masih tergolong dalam golongan usia anak. Belasan anak di Provinsi Lampung menjadi tersangka kasus pencabulan sepanjang tahun 2013. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan: a) Bagaimanakah Bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan pencabulan terhadap anak? b) Apakah faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan kejahatan pencabulan terhadap anak?

Metode yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber berasal dari studi kepustakaan dan hasil wawancara dengan Kanit II Subdit Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Provinsi Lampung, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses klasifikasi data, editing, interpretasi, dan sistematisasi. Data yang telah diolah kemudian akan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan diambil menggunakan metode induktif.

(3)

Chandra Surya Turnip

korban takut dengan adanya ancaman dari keluarga tersangka terutama dari

pelaku itu sendiri dan korban merasa malu karena apa yang dialami adalah sebagai aib.

Adapun saran dalam penelitian ini adalah dalam menanggulangi tindak pidana pencabulan, para aparat hukum harus melakukan tindakan terhadap para pelaku kejahatan dengan meningkatkan upaya preventif dan upaya refresif dan juga memperhatikan dampak-dampak yang terjadi kepada korban akibat tindak pidana percabulan khususnya terhadap anak.

(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lubukpakam pada tanggal 09 Mei 1989, yang merupakan anak keenam dari enam bersaudara pasangan Bapak J. Turnip dan Ibu P. Sinaga. Penulis menyelesaikan studi pendidikan Sekolah Dasar di SD RK Serdang Murni Lubukpakam lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan studi di SMP RK Murni Lubukpakam lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan studi di SMA Swasta GKPS 1 Pematang Raya lulus pada tahun 2007.

(8)

PERSEMBAHAN

Puji syukur Penulis ucapkan ke hadirat Tuhan YME. Ku persembahkan karya skripsi ini untuk:

Ayah dan Ibu, serta abang dan kakak tercinta yang dengan penuh pengorbanan memberikan dorongan moril dan kasih sayang, sehingga penulis berhasil

menyelesaikan perkuliahan ini.

Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.

(9)

MOTO

“Sukses itu relatif. Sukses itu tidak selalu harus identik dengan kekayaan materi. Kesuksesan akan lebih nikmat saat hidupmu berguna bagi banyak orang lain. Bukankah saat kita meninggal, kita tidak membawa materi? Bukankah saat kita

meninggal dan 1.000 orang yang melayat dan datang kepemakamanmu akan membuat orang-orang terdekatmu tersenyum dan bangga bahwa kau berguna bagi

banyak orang? Bergunalah bagi orang-orang di sekitarmu, paling tidak untuk Tuhanmu dan orangtuamu”

(Chandra Surya Turnip; CST)

“Saya tidak percaya dan tidak setuju dengan yang namanya kebetulan. Saya hanya percaya keberuntungan. Karena keberuntungan akan selalu berpihak kepada orang-orang yang telah semaksimal mungkin berusaha. Itu artinya Tuhan paling tidak telah menilai usaha kita, sekalipun kita belum berhasil dalam peristiwa itu.

(10)

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul ”Upaya Penanggulangan Kejahatan Pencabulan Terhadap Anak (Studi di Wilayah Hukum Provinsi Lampung)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H, M.H. selaku Pembimbing I yang telah sabar memberi saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan skripsi ini dan penyelesaian studi;

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah sabar memberi saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan skripsi ini dan penyelesaian studi;

4. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Bagian Hukum Pidana dan Pembahas I yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat; 5. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang yang telah

(11)

6. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan wawasan dan cakrawala pengetahuan ilmu hukum yang sangat berguna bagi pengembangan wawasan penulis;

7. Kedua orang tuaku yang sabar mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis sampai menjadi seorang Sarjana Hukum. Semoga Tuhan YME memberikan rahmat-Nya kepada kalian hingga akhir kelak;

8. Abangku Masrudi Turnip selaku donatur utama selama saya kuliah, serta orang yang tak henti hentinya memberikan semangat, terima kasih atas dukungannya selama ini;

9. Seluruh kakak dan abangku selaku keluarga yang selalu mendoakan saya; dan 10.Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu baik dalam suka maupun duka.

Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 11 Februari 2015 Penulis

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Hlm.

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penelitian ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A. Pengertian Kejahatan... 17

B. Kejahatan Pencabulan ... 22

C. Penanggulangan Kejahatan ... 27

D. Pengertian Anak ... 37

III. METODE PENELITIAN ... 39

A. Pendekatan Masalah ... 39

B. Sumber dan Jenis Data ... 39

C. Nara Sumber ... 41

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 41

(14)

B. Upaya Penanggulangan Kejahatan Pencabulan Terhadap Anak ... 45

C. Faktor-Faktor Penghambat Upaya Penanggulangan Kejahatan Terhadap Pencabulan Anak ... 66

III. PENUTUP ... 72

A. Simpulan ... 72

B. Saran ... 75

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan kota-kota besar lainnya semakin meningkat bahkan di beberapa daerah dan sampai ke kota-kota kecil. Upaya penanggulangan kejahatan telah dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Berbagai program serta kegiatan yang telah dilakukan sambil terus mencari cara yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah tersebut.

Upaya pencegahan kejahatan dapat berarti menciptakan suatu kondisi tertentu agar tidak terjadi kejahatan. Pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang lingkup kekerasan dari suatu pelanggaran baik melalui pengurangan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh kepada orang-orang yang potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum.

(16)

pemerintah adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.1

Kejahatan adalah masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat di seluruh negara dan pada hakekatnya merupakan produk dari masyarakat sendiri. Kejahatan dalam arti luas, menyangkut pelanggaran dari norma-norma yang dikenal masyarakat, seperti norma-norma agama, norma moral hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam undang-undang yang dipertanggungjawabkan aparat pemerintah untuk menegakkannya, terutama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Kejahatan langsung mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, maka wajar apabila semua pihak baik pemerintah maupun warga masyarakat, karena setiap orang mendambakan kehidupan bermasyarakat yang tenang dan damai.

Menyadari tingginya tingkat kejahatan, maka secara langsung atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan pada hakekatnya berkaitan dengan maksud dan tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan tersebut. Kejahatan yang sedang dalam perhatian luas di masyarakat adalah kejahatan seksual khususnya kejahatan pencabulan terhadap anak. Pencabulan oleh Moeljatno dikatakan sebagai segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.2 Definisi yang diungkapkan Moeljatno lebih menitikberatkan

1

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, (Bandung, Sinar Baru, 1983), hlm. 114

2

(17)

3

pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan nafsu kelaminannya, di mana langsung atau tidak langsung merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana. R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap perbuatan cabul yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Contohnya adalah kejahatan seksual atau pencabulan terhadap siswa TK berusia 5 tahun yang terjadi di Jakarta International School (JIS) dan dan kasus Emon yang mengaku sudah melakukan pencabulan terhadap lebih dari 80 anak.

Pengertian anak berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah manusia yang masih kecil (baru berumur enam tahun). Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pengertian anak berdasarkan hukum salah satunya dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan. Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran;

(18)

e. ketidakadilan; dan f. perlakuan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur pidana yang dikenakan kepada pelaku pencabulan terhadap anak. Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menetapkan bahwa: setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300 juta rupiah dan paling sedikit 60 juta rupiah. Sedangkan hukuman lainnya berdasarkan Pasal 287 dan Pasal 292 KUHP menyebutkan bahwa masa hukuman terhadap pelaku pencabulan terhadap anak maksimal 9 tahun (Pasal 287 KUHP) dan maksimal 5 tahun (Pasal 292 KUHP).

(19)

5

Kejahatan pencabulan terhadap anak juga terjadi di Provinsi Lampung, bahkan pelakunya ada yang masih tergolong dalam golongan usia anak. Belasan anak di Provinsi Lampung menjadi tersangka kasus pencabulan sepanjang tahun 2013. Kabid Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih menyebutkan sebagian besar tersangka itu masih berusia antara 15-18 tahun dan terbanyak terjadi di wilayah Kota Bandarlampung, yaitu delapan kasus.

Korban kasus pencabulan banyak terjadi pada anak berusia di bawah 10 tahun yang biasanya masih berstatus tetangga korban. Meskipun hanya berjumlah belasan, namun kasus pencabulan yang dilakukan oleh anak-anak itu nyaris terjadi di setiap wilayah hukum 10 polres di Provinsi Lampung. Hal tersebut terungkap dari data kasus anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah Lampung sepanjang 2013 di Polda Lampung.3

Berdasarkan data tersebut, terungkap pula adanya 78 anak yang menjadi tersangka dan terlibat dalam 60 kasus kejahatan di Lampung sepanjang 2013. Sedangkan jumlah korban pada 10 kabupaten/kota berdasarkan data tersebut adalah 60 orang, dengan pelakunya masih berstatus anak-anak. Jumlah kasus dengan tersangka anak di bawah umur terbanyak di Bandarlampung dan Kabupaten Lampung Utara, masing-masing 14 dan 13 kasus. Jumlah tersangka anak pada dua wilayah itu masing-masing sebanyak 14 dan 15 orang.4

3

http://m.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/09/15/mt6abs-belasan-anak-jadi-tersangka-kasus-pencabulan, diakses tanggal 14 Juni 2014

4

(20)

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus modal sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Namun pada kenyataannya, sekarang ini banyak sekali terjadi kejahatan dan kekerasan yang dilakukan kepada anak-anak dan yang paling menonjol adalah pencabulan terhadap anak di bawah umur. Di Indonesia sendiri sudah ada undang-undang yang mengatur masalah mengenai anak yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, dimana di dalam penegakan hukumnya undang-undang inilah yang menjadi acuan dasar di dalam pengenaan sanksi atau hukuman kepada pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. Akan tetapi, dengan hanya adanya suatu undang-undang tidaklah menjamin kejahatan dan kekerasan terhadap anak di bawah umur akan berkurang tanpa suatu tindakan nyata yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat yaitu berupa suatu upaya penanggulangan.

Berdasarkan dengan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Upaya Penanggulangan Kejahatan Pencabulan Terhadap Anak (Studi di Wilayah Hukum Provinsi Lampung).”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan dengan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:

a. Bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan pencabulan terhadap anak? b. Apakah faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan kejahatan

(21)

7

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian kepustakaan bidang Hukum Pidana, yaitu tentang upaya penanggulangan kejahatan pencabulan terhadap anak berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penelitian ini akan dilakukan di Kepolisian Daerah Provinsi Lampung pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui upaya penanggulangan kejahatan pencabulan terhadap anak di wilayah hukum Provinsi Lampung.

b. Mengetahui faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan kejahatan pencabulan terhadap anak di wilayah hukum Provinsi Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian skripsi ini adalah:

a. Secara teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana khususnya mengenai upaya penanggulangan kejahatan pencabulan terhadap anak.

(22)

langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam upaya penanggulangan kejahatan pencabulan terhadap anak di wilayah hukum Provinsi Lampung.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk peneliti.5

Upaya penanggulangan kejahatan mencakup aktivitas preventif dan sekaligus berupaya untuk memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah (sebagai seorang narapidana) di lembaga pemasyarakatan. Seperti yang dikemukakan oleh E.H.Sutherland dan Cressey yang mengemukakan bahwa dalam crime prevention dalam pelaksanaannya ada dua buah metode yang dipakai untuk mengurangi frekuensi dari kejahatan, yaitu:

1. Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan

Merupakan suatu cara yang ditujukan kepada pengurangan jumlah residivis (pengulangan kejahatan) dengan suatu pembinaan yang dilakukan secara konseptual.

2. Metode untuk mencegah the first crime

Merupakan satu cara yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama kali (the first crime) yang akan dilakukan oleh seseorang dan metode ini juga dikenal sebagai metode prevention (preventif).6

Dengan kata lain upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif (sebelum kejahatan tersebut terjadi) dan represif (penindakan setelah kejahatan tersebut terjadi).

5

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 125

6

(23)

9

1. Upaya preventif

Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi lagi kejahatan ulangan. Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan ekonomis.

Barnest dan Teeters menunjukkan beberapa cara untuk menanggulangi kejahatan yaitu:

a. Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan dorongan-dorongan sosial atau tekanan-tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat.

b. Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-gangguan biologis dan psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis.7

Dari pendapat Barnest dan Teeters tersebut di atas menunjukkan bahwa kejahatan dapat ditanggulangi apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang ke arah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak dilakukan. Sedangkan faktor-faktor biologis, psikologis, merupakan faktor yang sekunder saja.

7

(24)

Upaya preventif itu adalah bagaimana melakukan suatu usaha yang positif, serta bagaimana menciptakan suatu kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan menyimpang juga, di samping itu bagaimana meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat bahwa keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab bersama.

2. Upaya represif

Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat.

(25)

11

a. Perlakuan (treatment)

Peneliti dalam penggolongan perlakuan, tidak membicarakan perlakuan yang pasti terhadap pelanggar hukum, tetapi lebih menitikberatkan pada berbagai kemungkinan dan bermacam-macam bentuk perlakuan terhadap pelanggar hukum sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya. Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani yang membedakan dari segi jenjang berat dan ringannya suatu perlakuan, yaitu:

a) Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan yang paling ringan diberikan kepada orang yang belum telanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha pencegahan.

b) Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya tidak berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku kejahatan.8

Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan-perlakuan ini ialah tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini dititikberatkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali bergaul di dalam masyarakat seperti sebelumnya. Perlakuan ini mengandung dua tujuan pokok, yaitu sebagai upaya pencegahan dan penyadaran terhadap pelaku kejahatan agar tidak melakukan hal-hal yang lebih buruk lagi dimaksudkan agar si pelaku kejahatan ini di kemudian hari tidak lagi melakukan pelanggaran hukum, baik dari pelanggaran-pelanggaran yang mungkin lebih besar merugikan masyarakat dan pemerintah.

8

(26)

b. Penghukuman (punishment)

Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan (treatment), mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan perundang-undangan dalam hukum pidana. Indonesia sudah menganut sistem pemasyarakatan, bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah hukuman yang semaksimal mungkin (bukan pembalasan) dengan berorientasi pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan.

Seiring dengan tujuan dari pidana penjara sekarang, Sahardjo mengemukakan seperti yang dikutip oleh Abdul Syani menyatakan bahwa tujuan dari pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, tetapi juga orang-orang yang menurut Sahardjo telah tersesat diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi kaula yang berfaedah di dalam masyarakat Indonesia.9

Dengan sistem pemasyarakatan, di samping narapidana harus menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan, mereka pun dididik dan dibina serta dibekali oleh suatu keterampilan agar kelak setelah keluar menjadi orang yang berguna di dalam masyarakat dan bukan lagi menjadi seorang narapidana yang meresahkan masyarakat karena segala perbuatan jahat mereka di masa lalu yang sudah banyak merugikan masyarakat, sehingga kehidupan yang mereka jalani

9

(27)

13

setelah mereka keluar dari penjara menjadi lebih baik karena kesadaran mereka untuk melakukan perubahan didalam dirinya maupun bersama dengan masyarakat di tempat dia bertempat tinggal.

Upaya dari penegakan hukum oleh aparat penegak hukum seperti kepolisian dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor-faktor yang secara umum mempengaruhi penegakan hukum di masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto ada 5 (lima) faktor yang dapat mendukung dan dapat juga menghambat berjalannya proses penegakan hukum di masyarakat, sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan suatu aturan hukum;

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk maupun yang menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.10

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto, kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.11

10

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada: 2007), hlm. 5

11

(28)

Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penelitian, maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah. Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Penanggulangan adalah suatu cara untuk menyelesaikan suatu masalah.12 b. Kejahatan adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan

diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan yang anti sosial.13

c. Pencabulan adalah persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang oleh norma atau peraturan yang berlaku.14

d. Anak berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.

E. Sistematika Penelitian

Sistematika mempermudah dan memahami Penelitian ini secara keseluruhan, maka Penelitian ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:

12

Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustakaa Utama, 2008), hlm. 714

13

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bina Aksara, 1993), Hlm. 9.

14

(29)

15

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam Penelitian skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika Penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar belakang pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian yang terdiri dari: a. Pengertian Kejahatan; b. Tindak pidana pencabulan; dan c. Pengertian Anak.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(30)

V. PENUTUP

(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kejahatan

Kejahatan bukan merupakan peristiwa hereditas (bawaan sejak lahir, warisan), juga bukan merupakan warisan biologis. Tindak kejahatan bisa dilakukan siapapun, baik wanita maupun pria, dengan tingkat pendidikan yang berbeda. Tindak kejahatan bisa dilakukan secara sadar yaitu difikirkan, direncanakan dan diarahkan pada maksud tertentu secara sadar benar. Kejahatan merupakan suatu konsepsi yang bersifat abstrak, dimana kejahatan tidak dapat diraba dan dilihat kecuali akibatnya saja.1

Definisi kejahatan menurut Kartono bahwa secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merupakan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang pidana. Kejahatan secara sosiologis menurut adalah semua ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang, maupun yang belum tercantum dalam undang-undang pidana).2

1

Kartini Kartono. Patologi Sosial. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 125-126

2Ibid

(32)

Kejahatan dalam kehidupan bermasyarakat adaberbagai macam jenisnya tergantung pada sasaran kejahatannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Mustofa bahwa jenis kejahatan menurut sasaran kejahatannya, yaitu kejahatan terhadap badan (pembunuhan, perkosaan, penganiayaan), kejahatan terhadap harta benda (perampokan, pencurian, penipuan), kejahatan terhadap ketertiban umum (pemabukan, perjudian), kejahatan terhadap keamanan negara. Sebagian kecil dari bertambahnya kejahatan dalam masyarakat disebabkan karena beberapa faktor luar, sebagian besar disebabkan karena ketidakmampuan dan tidak adanya keinginan dari orang-orang dalam masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.3

Menurut Budianto bahwa salah satu penyebab tingginya tingkah kejahatan di Indonesia adalah tingginya angka pengangguran, maka kejahatan akan semakin bertambah jika masalah pengangguran tidak segera diatasi. Sebenarnya masih banyak penyebab kejahatan yang terjadi di Indonesia, misalnya: kemiskinan yang meluas, kurangnya fasilitas pendidikan, bencana alam, urbanisasi dan industrialisasi, serta kondisi lingkungan yang memudahkan orang melakukan kejahatan.4

Menurut Sutrisno dan Sulis bahwa penyebab kejahatan dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu bakat si penjahat, alam sekitarnya, dan unsur kerohanian.5 Bakat seorang penjahat dapat dilihat menurut kejiwaan/kerohanian, ada penjahat yang pada lahirnya kejiwaannya lekas marah, jiwanya tidak berdaya menahan

3

Muhammad Mustofa. Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Prilaku Menyimpang, dan Pelanggaran Hukum, (Jakarta: Fisip UI Press, 2005), hlm. 47

(33)

19

tekanan luar, lemah jiwanya. Ada juga yang sejak lahirnya telah memperoleh cacat rohaniah. Selain itu ada istilah kleptomia yaitu mereka yang seringkali menjadi orang yang sangat tamak, apa yang dilihatnya diinginkannya dan dicurinya. Sifat suka mencuri semacam ini semata-mata merupakan kesukaannya meskipun tidak perlu baginya.

Selain itu, bakat seorang penjahat juga dapat dilihat menurut jenis kelamin, berdasarkan jenis kelamin bahwa persentase kejahatan yang dilakukan wanita dan laki-laki berbeda. Hal itu dapat dilihat dari statistik bahwa persentase kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki lebih banyak dari pada wanita. Hal itu tentu berhubungan dengan perbedaan sifat-sifat yang dimiliki wanita dengan sifat-sifat laki-laki yang sudah dipunyai sejak lahir, juga diketahui bahwa fisik wanita lebih rendah bila dibanding dengan laki-laki.

Menurut faktor alam sekitarnya si penjahat dapat dilihat dari segi pendidikan dan pengajaran pribadinya sehari-hari, keburukan-keburukan dan ketidakteraturan maupun kekacauan pendidikan pengajaran yang dialami anak-anak dalam perkembangannya dapat merangsang dan mempengaruhi tingkah laku si anak itu kepada perbuatan-perbuatan yang jahat. Apalagi kalau anak itu sama sekali tidak pernah mendapat pendidikan yang teratur baik dari sekolah maupun dari orangtuanya.

(34)

rumah, ketidakharmonisan dalam keluarga, pengawasan orang tua yang kurang, disiplin ayah yang keras, serta permusuhan anak terhadap orang tua. Selain itu, media komunikasi seperti surat kabar, majalah-majalah, brusur-brosur, buku cerita, foto, radio, film, TV, buku-buku komik, dan berita-berita lain dalam kebudayaan tentang kejahatan besar pengaruhnya terhadap anak-anak.6

Dimana ada kejahatan berarti ada pelaku kejahatan (penjahat). Pengertian penjahat dari aspek yuridis menurut Ridwan dan Ediwarman adalah seseorang yang melanggar peraturan-peraturan atau undang-undang pidana dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman. Berdasarkan tradisi hukum (pengadilan) yang demokratis, seseorang yang telah mengaku melakukan suatu kejahatan ataupun tidak, dipandang sebagai seorang penjahat sampai kejahatannya dibuktikan menurut proses pengadilan yang telah ditetapkan.7

Ada berbagai macam bentuk penjahat. Menurut Lambroso bentuk-bentuk penjahat, yaitu penjahat bawaan lahir; penjahat yang kurang beres ingatan/pikiran/penjahat gila; penjahat peminum alkohol/minuman keras; penjahat dalam kesempatan, ada kalanya karena terdesak dan adakalanya karena kebiasaan; penjahat karena hawa nafsu yang sifatnya bernafsu melaksanakan kemauannya secara bebas dan seenaknya saja; penjahat bentuk campuran antara penjahat kelahiran/bakat ditambah dengan kesempatan.8

6

Muhammad Mustofa.Op.cit, hlm. 49

7

Ridwan dan Ediwarman. 1994, hlm. 49

8Ibid.

(35)

21

Kejahatan di dalam perumusan pasal-pasal KUHP menyatakan bahwa kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan KUHP. Beberapa tindakan kejahatan yang sering terjadi adalah pencurian, penipuan, penganiayaan, dan pemerkosaan. Berdasarkan Pasal 362 KUHP, pencurian dapat diartikan sebagai tindakan mengambil barang, seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan tujuan memilikinya secara melanggar hukum. Penipuan berdasarkan Pasal 378 KUHP adalah tindakan ingin menguntungkan diri sendiri dengan melanggar hukum, baik dengan memakai nama atau kedudukan palsu, baik dengan perbuatan tipu muslihat, maupun dengan rangkaian kebohongan, membujuk orang lain supaya menyerahkan suatu barang atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang. Penipuan dapat dilakukan oleh siapapun, bahkan orang yang berwajah lugu dapat melakukannya.

(36)

B. Kejahatan Pencabulan

1. Pengertian Pencabulan

Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berikut: pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun, tidak susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak pidana asusila, mencabul: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, tidak senonoh (melanggar kesusilaan, kesopanan).9

Pencabulan oleh Moeljatno dikatakan sebagai segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.10 Definisi yang diungkapkan Moeljatno lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan nafsu kelaminnya, di mana langsung atau tidak langsung merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana. R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap perbuatan cabul yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.11

9

Departermen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 142

10

Moeljatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 106

11

(37)

23

Jenis pencabulan dalam KUHP diantaranya: a. Perbuatan cabul dengan kekerasan

Hal yang dimaksud dengan kekerasan, yaitu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi, menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani sekuat mungkin secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya yang menyebabkan orang terkena tindakan kekerasan itu merasa sakit. Terdapat pada Pasal 289 KUHP: Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatannya cabul, karena perbuatan yang merusak kesusilaan, di pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.12

Ancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan cabul atau memaksa seseorang agar ia membiarkan dirinya diperlakukan cabul, dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan. Dimaksud dengan perbuatan cabul sesuai dengan Pasal 289 KUHP ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan, kesopanan, atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, buah dada, dan sebagainya. Persetubuhan termasuk pula dalam pengertian ini, tetapi dalam Undang-undang disebutkan sendiri, yaitu dalam Pasal 285 KUHP hanya dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita, sedangkan perkosaan untuk cabul Pasal 289 KUHP dapat juga dilakukan oleh seorang wanita terhadap seorang pria.13

b. Perbuatan cabul dengan seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya pada Pasal 290 KUHP, dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya. Pingsan artinya hilangnya ingatan atau tidak sadar akan dirinya, umpamanya karena minum racun kecubung atau obat-obat lainnya yang menyebabkan tidak ingat lagi, orang yang pingsan itu tidak mengetahui lagi apa yang terjadi dengan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikit juapun, seperti halnya orang diikat dengan tali pada kaki dan tangannya, terkurung dalam kamar, terkena suntikan, sehingga orang itu menjadi lumpuh, orang yang tidak berdaya ini masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.14

(38)

dikawini, untuk melakukan atau membiarkan diperbuat padanya perbuatan cabul. Orang yang membujuk (mempengaruhi dengan rayuan) seseorang yang umumnya di bawah lima belas tahun untuk melakukan perbuatan cabul.

d. Perbuatan cabul dengan seseorang dengan cara tipu daya dan kekuasaan yang timbul dari pergaulan tedapat dalam Pasal 293 KUHP yang menentukan bahwa: Barang siapa dengan hadiah atau dengan perjanjian akan memberikan uang atau barang dengan salah memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan, dengan sengaja membujuk orang di bawah umur yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut dapat disangkakannya masih di bawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan dia, atau membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan pada dirinya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Cara membujuk itu dengan jalan mempergunakan:

1) Hadiah atau perjanjian akan memberikan uang atau barang; 2) Kekuasaan yang timbul dari pergaulan; dan

3) Tipu daya.15

Orang yang dibujuk itu belum dewasa dan tidak bercacat kelakuannya, maksudnya hanya mengenai kelakuan dalam segi seksual, membujuk seseorang pelacur yang belum dewasa tidak masuk dalam pasal ini, karena pelacur sudah cacat kelakuannya dalam bidang seksual. Perjanjian itu harus mengarah pada pemberian uang atau barang, perjanjian dalam hal lain tidak termasuk dalam hal ini. Kejahatan ini adalah suatu delik aduan, tempo untuk memasukkan pengaduan ialah sembilan bulan bagi orang yang di dalam negeri dan dua belas bulan bagi orang yang di luar negeri, jelas pengaduan ini tidak boleh lewat dari tempo yang telah ditetapkan di atas ini bila terlambat berarti kadaluarsa.

Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menetapkan bahwa: setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

15

(39)

25

perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300 juta rupiah dan paling sedikit 60 juta rupiah.

Hak anak adalah bagian dari Declaration Human of Right of The Child yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Oleh karena itu adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku tindak pidana pencabulan diancam pidana lebih berat dari beban moral dan materiil korban.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencabulan

Untuk dapat menyatakan seseorang bersalah telah melakukan perbuatan cabul yang melanggar Pasal 290 KUHP maka harus memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 290 sub 1 e KUHP yang terdiri dari unsur obyektif dan unsur subyektif.

a. Unsur obyektif:

1) Barang siapa. Yang dimaksud dengan perkataan barang siapa adalah menunjukkan bahwa siap saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dimaksud di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub 1 e KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.

2) Melakukan pencabulan dengan seseorang. Yang dimaksud dengan malakukan pembuatan cabul adalah melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.16

16

(40)

b. Unsur Subyektif:

Diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya. Bahwanya seseorang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya harus diketahui oleh pelaku. Dimaksud dengan pingsan adalah berada dalam keadaan tidak dasar sama sekali, sehingga ia tidak dapat mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Dimaksud dengan tidak berdaya ialah bahwa ia terjadi pada dirinya. Dimaksud dengan tidak berdaya ialah bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa, walaupun ia mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempeunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikipun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh.17

Unsur-unsur Pasal 290 sub 2e KUHP, yaitu a. Unsur Obyektif:

1) Barang siapa. Yang dimaksud dengan perkataan barang siapa adalah menunjukkan bahwa siapa saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub KUHP, maka ia dapat sebut dari tidak pidana tersebut.

2) Melakukan perbuatan cabul dengan seseorang. Yang dimaksud dengan melakukan perbuatan cabul adalah melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu birahi, misalnya berciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba dada dan sebagainya.

b. Unsur Subyektif:

Diketahui atau patut harus disangkanya bahwa umur orang itu belum cukup 15 (lima belas) tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun. Perkawinan hanya dizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita umur 16 (enam belas) tahun dengan kemungkinan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pria maupun wanita.18

Unsur-unsur Pasal 290 sub 3e KUHP: a. Unsur Obyektif:

1) Barang siapa. Yang dimaksud dengan perkataan barang siapa adalah menunjukkan bahwa siapa saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam

17

Moch. Anwar.Op.cit, hlm. 181

18Ibid

(41)

27

ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub 2e KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari pidana tersebut.

2) Membujuk (menggoda) seseorang. Pengertian membujuk tidak persyaratan dipergunakannya cara-cara tertentu agar seseorang melakukan suatu perbuatan. Hal ini dapat terjadi dengan permintaan pelaku agar dipegangnya alat kelaminnya.

3) Untuk melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin. Yang dimaksud dengan melakukan perbuatan cabul adalah melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya berciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Persetubuhan yang dimaksud di sini adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang yang dewasa dengan seseorang yang belum berumur 15 tahun.

b. Unsur Subyektif:

Diketahui atau patut harus disangkanya bahwa orang itu belum cukup 15 (lima belas) tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya. Bahwa orang itu belum masanya untuk dikawini.19

C. Penanggulangan Kejahatan

Kejahatan merupakan gejala sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap masyarakat di dunia ini. Kejahatan dalam keberadaannya dirasakan sangat meresahkan, disamping itu juga mengganggu ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat berupaya semaksimal mungkin untuk menanggulangi kejahatan tersebut. Upaya penanggulangan kejahatan telah dan terus dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan sambil terus menerus mencari cara paling tepat dan efektif untuk mengatasi masalah tersebut.

19

(42)

Kejahatan adalah masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat di seluruh negara semenjak dahulu dan pada hakekatnya merupakan produk dari masyarakat sendiri. Kejahatan dalam arti luas, menyangkut pelanggaran dari norma-norma yang dikenal masyarakat, seperti norma-norma agama, norma moral hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam undang-undang yang dipertanggungjawabkan aparat pemerintah untuk menegakkannya, terutama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Namun, karena kejahatan langsung mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, maka wajarlah bila semua pihak baik pemerintah maupun warga masyarakat, karena setiap orang mendambakan kehidupan bermasyarakat yang tenang dan damai.

Menyadari tingginya tingkat kejahatan, maka secara langsung atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan pada hakekatnya berkaitan dengan maksud dan tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan tersebut. Menurut Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara:

a. Criminal application (penerapan hukum pidana). Contohnya penerapan Pasal 354 KUHP dengan hukuman maksimal, yaitu 8 tahun baik dalam tuntutan maupun putusannya.

b. Preventif without punishment (pencegahan tanpa pidana). Contohnya dengan menerapkan hukuman maksimal pada pelaku kejahatan, maka secara tidak langsung memberikan prevensi (pencegahan) kepada publik walaupun ia tidak dikenai hukuman atau shock therapy kepada masyarakat.

c. Influencing views of society on crime and punishment (mas media mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mas media). Contohnya mensosialisasikan suatu undang-undang dengan memberikan gambaran tentang bagaimana delik itu dan ancaman hukumannya.20

20

(43)

29

Upaya pencegahan kejahatan dapat berarti menciptakan suatu kondisi tertentu agar tidak terjadi kejahatan. Kaiser memberikan batasan tentang pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang lingkup kekerasan dari suatu pelanggaran baik melalui pengurangan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh kepada orang-orang yang potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum.21

Penanggulangan kejahatan dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian yang luas, maka pemerintah beserta masyarakat sangat berperan. Bagi pemerintah adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.22 Peran pemerintah yang begitu luas, maka kunci dan strategis dalam menanggulangi kejahatan meliputi ketimpangan sosial, diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan di antara golongan besar penduduk. Bahwa upaya penghapusan sebab dari kondisi menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang mendasar.23

Secara sempit lembaga yang bertanggung jawab atas usaha pencegahan kejahatan adalah polisi. Namun karena terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh polisi telah mengakibatkan tidak efektifnya tugas mereka. Lebih jauh polisi juga tidak memungkinkan mencapai tahap ideal pemerintah, sarana dan prasarana yang

21Ibid

.

22

Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 114

23

(44)

berkaitan dengan usaha pencegahan kejahatan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan kejahatan menjadi hal yang sangat diharapkan.

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.24 Kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana khususnya pada tahap kebijakan yudikatif harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu berupa ”social welfare” dan “social defence”.25

Menurut Baharuddin Lopa, upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil beberapa langkah-langkah terpadu, meliputi langkah penindakan (represif) di samping langkah pencegahan (preventif). Langkah-langkah preventif menurut Baharuddin Lopa meliputi:

a. Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan.

b. Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

c. Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat.

d. Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih meningkatkan tindakan represif maupun preventif.

e. Meningkatan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para pelaksana penegak hukum.26

(45)

31

Solusi preventif adalah berupa cara-cara yang cenderung mencegah kejahatan. Solusi represif adalah cara-cara yang cenderung menghentikan kejahatan sudah mulai, kejahatan sedang berlangsung tetapi belum sepenuhnya sehingga kejahatan dapat dicegah. Solusi yang memuaskan terdiri dari pemulihan atau pemberian ganti kerugian bagi mereka yang menderita akibat kejahatan. Sedangkan solusi pidana atau hukuman juga berguna, sebab setelah kejahatan dihentikan pihak yang dirugikan sudah mendapat ganti rugi, kejahatan serupa masih perlu dicegah entah dipihak pelaku yang sama atau pelaku lainnya. Menghilangkan kecendrungan untuk mengulangi tindakan adalah suatu reformasi. Solusi yang berlangsung kerena rasa takut disebut hukuman. Hal tersebut terkait dengan pandangan Jeremy Bentham bahwa yang mengemukakan bahwa tujuan hukuman adalah mencegah terjadinya kejahatan serupa, dalam hal ini dapat memberi efek jera kepada pelaku dan individu lain pun untuk berbuat kejahatan.27

Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun. Upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau menguranagi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik. Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali,

27

(46)

dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan.

Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama .Semakin lama kejahatan di ibu kota dan kota-kota besar lainnya semakin meningkat bahkan dibeberapa daerah dan sampai ke kota-kota kecil. Upaya penanggulangan kejahatan telah dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Berbagai program serta kegiatan yang telah dilakukan sambil terus mencari cara yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah tersebut.

Seperti yang dikemukakan oleh E.H.Sutherland dan Cressey yang mengemukakan bahwa dalam crime prevention dalam pelaksanaannya ada dua buah metode yang dipakai untuk mengurangi frekuensi dari kejahatan, yaitu:

a. Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan

Merupakan suatu cara yang ditujukan kepada pengurangan jumlah residivis (pengulangan kejahatan) dengan suatu pembinaan yang dilakukan secara konseptual.

b. Metode untuk mencegah kejahatan pertama kali (the first crime)

Merupakan satu cara yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama kali (the first crime) yang akan dilakukan oleh seseorang dan metode ini juga dikenal sebagai metode prevention (preventif).28

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan mencakup aktivitas preventif dan sekaligus berupaya untuk memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah (sebagai seorang narapidana) di lembaga pemasyarakatan. Dengan kata lain upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan represif.

28

(47)

33

1. Upaya Preventif

Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi lagi kejahatan ulangan. Upaya preventif sangat beralasan untuk diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan ekonomis. Barnest dan Teeters menunjukkan beberapa cara untuk menanggulangi kejahatan yaitu:

a. Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan dorongan-dorongan sosial atau tekanan-tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat.

b. Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-gangguan biologis dan psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis.29

Berdasarkan pendapat Barnest dan Teeters tersebut di atas, menunjukkan bahwa kejahatan dapat ditanggulangi apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang ke arah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak dilakukan. Sedangkan faktor-faktor biologis, psikologis, merupakan faktor yang sekunder saja.

29Ibid

(48)

Upaya preventif itu adalah bagaimana melakukan suatu usaha yang positif, serta bagaimana menciptakan suatu kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan menyimpang juga, di samping itu bagaimana meningkatkan kesadaran dan patisipasi masyarakat bahwa keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab bersama.

2. Upaya Represif

Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat.

(49)

35

1) Perlakuan (treatment)

Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani yang membedakan dari segi jenjang berat dan ringannya suatu perlakuan, yaitu:

a) Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan yang paling ringan diberikan kepada orang yang belum telanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha pencegahan.

b) Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya tidak berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku kejahatan.

c) Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan-perlakuan ini ialah tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini dititikberatkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali bergaul di dalam masyarakat seperti sebelumnya.30

Perlakuan ini mengandung dua tujuan pokok, yaitu sebagai upaya pencegahan dan penyadaran terhadap pelaku kejahatan agar tidak melakukan hal-hal yang lebih buruk lagi dimaksudkan agar si pelaku kejahatan ini di kemudian hari tidak lagi melakukan pelanggaran hukum, baik dari pelanggaran-pelanggaran yang mungkin lebih besar merugikan masyarakat dan pemerintah.

2) Penghukuman (punishment)

Bagi pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan (treatment), mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan perundang-undangan dalam hukum pidana. Oleh karena Indonesia sudah menganut sistem pemasyarakatan, bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar

30

(50)

hukum adalah hukuman yang semaksimal mungkin (bukan pembalasan) dengan berorientasi pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan.

Seiring dengan tujuan dari pidana penjara sekarang, Sahardjo mengemukakan seperti yang dikutip oleh Abdulsyani menyatakan bahwa tujuan dari pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, tetapi juga orang-orang yang menurut Sahardjo telah tersesat diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi kaula yang berfaedah di dalam masyarakat Indonesia.31

Keberadaan sistem pemasyarakatan, di samping narapidana harus menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan, mereka pun dididik dan dibina serta dibekali oleh suatu keterampilan agar kelak setelah keluar menjadi orang yang berguna di dalam masyarakat dan bukan lagi menjadi seorang narapidana yang meresahkan masyarakat karena segala perbuatan jahat mereka di masa lalu yang sudah banyak merugikan masyarakat, sehingga kehidupan yang mereka jalani setelah mereka keluar dari penjara menjadi lebih baik karena kesadaran mereka untuk melakukan perubahan di dalam dirinya maupun bersama dengan masyarakat di sekitar tempat dia bertempat tinggal.

31

(51)

37

D. Pengertian Anak

Pengertian tentang anak secara formal terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.

Berdasarkan Undang-Undang Pengadilan Anak, bagi seorang anak yang belum mencapai usia 12 (delapan) tahun itu belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya walaupun perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, akan tetapi bila anak tersebut melakukan tindak pidana dalam batas umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka ia tetap dapat diajukan ke sidang pengadilan anak.

(52)

maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka anak tersebut dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.

(53)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis emperis. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari dan menelaah teori-teori dan konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan pokok bahasan. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian prilaku, pendapat dan sikap aparat penegak hukum yang berkaitan upaya penanggulangan kejahatan pencabulan terhadap anak.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. 1. Data Primer

(54)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep dan pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok penelitian. Data yang digunakan peneliti dalam Penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari:

1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 tentang Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana; dan

3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, dan petunjuk pelaksanaan maupun teknis yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

(55)

41

dari hasil-hasil penelitian, literatur-literatur, petunjuk teknis maupun pelaksanaan yang berkaitan dengan pokok bahasan.

C. Nara Sumber

Nara sumber dalam penelitian ini adalah dari Kanit II Subdit Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Provinsi Lampung dan Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Lampung. Peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan dari nara sumber melalui wawancara. Jumlah nara sumber dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Anggota Dirreskrim Polda Lampung : 1 (satu) orang 2.Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak : 1 (satu) orang +

Jumlah : 2 (dua) orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan (Library Research)

(56)

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan usaha yang dilakukan untuk memperoleh data primer. Kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data primer tersebut dengan mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada beberapa pihak yang dianggap mengetahui masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari data sekunder maupun primer kemudian dilakukan metode sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan dan kesalahan-kesalahan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara mengklasifikasikan, menggolongkan, dan mengelompokkan masing-masing data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah pembahasan.

c. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik kesimpulan.

(57)

43

E. Analisis Data

(58)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

(59)

73

Polda Lampung juga dapat melakukan tindakan-tindakan represif dalam menanggulangi tindak pencabulan terhadap anak di bawah umur. Tindakan represif tersebut dilakukan dengan cara menangkap dan memproses secara hukum pidana pelaku-pelaku pencabulan anak di bawah umur sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Upaya represif ini merupakan upaya menegakan hukum pidana, memberikan keadilan terhadap korban dan memberikan efek jera terhadap pelaku, serta memberikan pelajaran kepada masyarakat agar tidak melakukan kejahatan tersebut.

2. Faktor-faktor penghambat yang dialami Polda Lampung dalam upaya penanggulangan kejahatan pencabulan terhadap anak, yaitu:

1) Faktor penghambat yang berasal dari internal

Faktor-faktor penghambat yang berasal dari internal dalam mengungkap tindak pidana pencabulan terhadap anak di wilayah hukum Polda Lampung adalah sebagai berikut:

a. Faktor penghambat dari undang-undang hukum pidana, yaitu korban harus melakukan pemeriksaan medis atau disebut visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang (kepolisian) terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti. b. Selain itu, faktor penghambat dari undang-undang hukum pidana, yaitu

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Afrianto dan Peningkatan suhu akan mempercepat laju respirasi dan dengan demikian laju penggunaan oksigen juga meningkat Hal tersebut dapat dibuktikan adanya nilai

Rapat ) and copies of KTP or other identification. a) Shareholders who can not attend, can be represented by a proxy with valid Powers of Attorney as determined by

Pengaruh Kualitas Layanan dan Kepuasan terhadap Loyalitas Nasabah Bank Syariah dengan Corporate Image Sebagai Variabel Moderating (Studi Kasus pada Bank BRI

Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar (Jihad dalam Suwardi, dkk, 2014). Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan,

Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau Femerintah Daerah yang telah berrugas sebagaimana dimalsud pada ayat (1) berhak pindah' tugas setelah tersedia Guru pengganti. Dalam

Ada tiga kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori-teori belajar, yaitu: teori belajar behaviorisme, teori belajar kognitivisme, dan teori belajar konstruktivisme.