• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM INTERNASIONAL 011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUKUM INTERNASIONAL 011"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. PROLOG

Perbedaan yang mendasar antara hukum nasional dan internasional membuat jembatan

pemisah antara kedua hukum tersebut. Tidak seperti hukum nasional,hukum internasional

tidak memiliki lembaga-lembaga yang biasanya terdapat dalam hukum nasional suatu Negara

yang menurut para pakar itulah yang di sebut hukum dan penerapannya. Apalagi hukum

internasional tetap meletakkan dasarnya pada paham yang menghormati kedaulatan seluruh

Negara di dunia.

Sehingga hukum internasional bersifat tata tertib hukum koordinasi dari Negara-negara

yang berdaulat. Dan dalam tata masyarakat internasional tidak pula terdapat suatu badan

legislative maupun kekuasaan kehakiman dan polisional yang dapat memaksakan berlakunya

kehendak masyarakat internasional sehingga terdapat para ahli yang berpendapat bahwa

hukum internasuonal itu bukan hukum yang sebernarnya seperti Hobbes,Austin,Spinoza,dan

lain-lain.

Struktur masyarakat internasional dan hukum internasional yang koordinatif, yang antara

lain ditandai oleh tiadanya badan supra-nasional yang berwenang membentuk, menerapkan,

dan memaksakan hukum internasional, dapat memunculkan persoalan-persoalan yang

kadang-kadang menunjukkan sikap skeptis, meragukan, bahkan menyangkal eksistensi

hukum internasional, bahwa hukum internasional bukanlah merupakan hukum.

Namun, terlepas dan adanya sikap skeptis tersebut, persoalan-persoalan yang berkaitan

dengan eksistensi hukum internasional akan selalu muncul. Makalah ini akan membahas

tentang apa yang dimaksud dengan hokum internasional dan eksistensinya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah hukum internasional itu memang benar-benar ada, dan apakah sudah memenuhi

kualifikasi untuk dapat disebut sebagai hukum dalam pengertian yang sebenarnya?

2. Kalau hukum internasional memang benar-benar ada, bagaimanakah sebenarnya hakekat

dari hukum internasional itu?

(2)

BAB II PEMBAHASAN

A. HAKEKAT HUKUM INTERNASIONAL

Hukum Internasional merupakan suatu keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang

mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara (hubungan Internasional)

yang bukan bersifat perdata.[1]Sejalan dengan itu,Mochtar Kusumatmadja juga membagi

Hukum Internasional menjadi dua bagian :

1. Hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum

yang mengatur hubungan hukum perdata yang melintasi batas-batas negara. Dengan kata

lain, hukum yang mengatur hubungan perdata antara pelaku hukum yang berlainan.

2.

Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang

mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara yang bukan bersifat

perdata. [2]

Oppenheim membedakan hukum internasional atas hukum internasional universal, hukum

internasional umum dan hukum internasional khusus.[3]Hukum internasional universal, adalah

hukum internasional yang berlaku untuk semua negara tanpa kecuali, seperti hukum yang

berkaitan dengan hak-hak duta, dan hukum mengenai perjanjian internasional. Hukum

internasional umum adalah hukum internasional yang mengikat banyak sekali negara, seperti

Deklarasi Paris 1856, Perjanjian Internasional tentang Ruang angkasa 1967. Dan, hukum

internasional khusus adalah hukum internasional yang mengikat dua atau beberapa negara.

Intinya Hukum Internasional merupakan hukum yang mengatur tentang publik dari subyek

Internasional yang kesemuanya memang berasal dari masyarakat Internasional. Masyarakat

internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah suatu tertib hukum koordinasi dari

sejumlah negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat. Dalam hukum

internasional, hubungan yang ada bersifat koordinasi (kerjasama), mengingat negara-negara di

dunia sama derajatnya, bukan bersifat subordinasi layaknya hukum nasional.

Penganggapan tidak ada hukum Internasional

(3)

Jika pandangan John Austin ini dihubungkan dengan hukum internasional, dimana masyarakat

dan struktur hukum internasional yang koordinatif, dalam pengertian tidak mengenal badan

supra-nasional yang berdaulat, dapat disimpulkan bahwa hukum internasional menurut John

Austin, bukanlah merupakan hukum dalam pengertian yang sebenarnya, sebab hukum

internasional tidaklah dibuat oleh badan yang berdaulat yang mempunyai kedudukan lebih tinggi

daripada masyarakat internasional. Apa yang disebut sebagai hukum internasional, menurut John

Austin, tidak lebih daripada norma moral belaka.

Intinya menurut ahli seperti John Austin, Spinoza,Hobbes dan lainnya, hukum internasional

bukanlah hukum, dengan alasan:

1. Hukum internasional tidak memiliki kekuasaan eksekutif yang kuat.

2. Hukum internasional bersifat koordinasi, tidak subordinasi.

3. Hukum internasional tidak memiliki lembaga legislatif, yudikatif, dan polisional.

4. Hukum internasional tidak bisa memaksakan kehendak masyarakat internasional.

Penganggapan adanya hukum Internasional

Tanggapan Austin ini ditentang oleh Oppenheim dan para pemikir lain yang menyatakan bahwa

hukum Internasional itu merupakan suatu produk hukum. Bahwa hukum internasional bukanlah

aturan moral belaka, karena berbeda dengan moral yang bersumber dari kesadaran hati nurani

dan daya paksanya berasal dari dalam, maka hukum termasuk hukum internasional dipaksakan

oleh kekuasaan dari luar.

Yang dimaksud dengan kekuasaan dari luar, adalah kekuasaan dari masyarakat. Dan, untuk

hukum internasional kekuasaan dari luar tersebut tentu saja masyarakat internasional. Jadi,

hukum internasional benar-benar merupakan hukum yang mengikat masyarakat internasional.

Hanya saja, diakui bahwa hukum internasional merupakan hukum yang lemah.[4]

Ada tiga ukuran yang ditunjuk oleh Oppenheim untuk menentukan apakah hukum

Internasional itu merupakan hukum yakni adanya masyarakat Internasional,adanya

kumpulan peraturan tingkah laku manusia didalam masyarakat Internasional dan adanya

kesepakatan masyarakat Internasional untuk menjamin pelaksanaan peraturan dengan

eksternal power.[5]

(4)

Yaitu apabila kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan

itu berlaku pada sebagian besar atau bahkan diseluruh negara-negara yang ada di dunia.Contoh :

Ketentuan WTO tentang perdagangan dunia yang berlaku bagi seluruh negara.

2) Hukum Internasional Regional

Yaitu apabila kaidah-kaidah dan asas-asas hukum dimaksud berlaku pada

kawasan/lingkungan/bagian wilayah dunia tertentu.Contoh : Ketentuan Perdagangan Pasar Bebas

di ASEAN yang berlaku bagi negara-negara ASEAN.

3) Hukum Internasional Khusus

Yaitu apabila kaidah-kaidah dan asas-asas hukum internasional yang khusus berlaku bagi

negara-negara tertentu saja.Contoh : Ketentuan mengenai Kewarganegara-negaraan Ganda antara

Indonesia-China yang hanya berlaku bagi keduanya.

B. PERKEMBANGAN ISTILAH HUKUM INTERNASIONAL

C. FILOSOFI KEKUATAN IKAT HUKUM INTERNASIONAL

Kekuatan memaksa pada kaedah hukum internasional tidak seragam, sebagaimana kaedah dalam hukum nasional yang berbeda-beda tingkat kekuatan memaksanya. Sebagian kaedah sama sekali tidak dapat ditentang atau ditinggalkan, sebagian yang lain boleh. Maka dari itu kaedah dalam hukum internasional mengenal istilah aturan ringan (The Soft Law/al Qonun al Hisy) dan aturan padat (The Hard Law/al Qonun al Shulb). Aturan ringan adalah yang memberikan keleluasaan bagi personalitas internasional untuk menaati atau tidak dengan tanpa adanya unsur hukuman bagi yang tidak

menaatinya, sedangkan aturan padat atau berat, adalah yang mengandung unsur paksaan dalam bentuk hukuman bagi negara yang melanggarnya.

Kaedah aturan ringan biasanya mengatur hal-hal yang bersifat fleksibel tidak berhubungan dengan kepentingan umum internasional, sehingga negara boleh secara leluasa mengikuti atau meniggalkan aturan tersebut, seperti konsep aturan perdagangan atau perekonomian internasional. Aturan berat (The Hard Law) juga dapat dikategorikan sebagai kaedah memaksa (Jus Cogens/al Qa’idah al Âmirah), karena tidak memberikan ruang bagi negara untuk meninggalkannya atau sepakat secara bersama menentangnya. Kaedah yang terkandung dalam aturan perjanjian internasional yang lahir pada konvensi Wina 1969 merupakan kaedah bersifat memaksa, artinya, jika personalitas

internasional ingin mengadakan perjanjian baik dalam skala bilateral maupun multilateral harus sejalan dengan aturan konvensi Wina tersebut, jika tidak, maka perjanjian dapat dibatalkan atau batal secara otomatis.

(5)

berarti menyeluruh tetapi kaedah yang disetujui secara mayoritas oleh komunitas internasional. c) Aturan yang mengatur kepentingan dan ketertiban umum internasional, yaitu kepentingan

fundamental yang berpengaruh pada keharmonisan internasional, seperti aturan pelayaran bebas di laut lepas.

Ada beberapa teori yang menjadi hakikat dan dasar berlakunya hukum internasional, yaitu:

1)

Teori hukum alam

Menurut teori hukum alam (natural law), hukum internasional adalah hukum yang diturunkan

untuk hubungan bangsa-bangsa di dunia. Hal ini dikarenakan hukum internasional merupakan

bagian dari hukum tertinggi, yaitu hukum alam.

2)

Teori Kehendak negara

Menurut teori hukum kehendak negara, kekuatan mengikat hukum internasional terletak pada

kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional, karena negara adalah

pemegang kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum.

3)

Teori Kehendak Bersama Negara-Negara

Teori ini beranggapan bahwa kekuatan mengikat hukum internasional berasal dari kehendak

bersama negara-negara dalam hubungannya. Kehendak bersama negara-negara lebih tinggi

derajatnya daripada kehendak negara.

5)

Fakta sosial

Menurut teori ini dasar mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat

alami manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa memiliki hasrat untuk hidup bergabung

dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas.

Secara umum teori-teori berlakunya hukum Internasional ke dalam suatu negara yakni[6] :

Transformasi dan adopsi spesifik

: Karena hukum internasional dan hukum nasional

merupakan dua sistem hukum yang terpisah maka hukum Internasional tidak dapat secara

langsung dilaksanakan oleh Pengadilan nasional,agar dapat dilaksanakan harus menjalani

proses adopsi spesifik.Artinya setiap traktat harus ditranformasikan ke dalam hukum

nasional seperti melalui prosedur perundang-undangan.

Pendelegasian:

Kaidah fungsional hukum Internasional mendelegasikan kepada setiap

konstitusi negara untuk menentukan kapan ketentuan traktat akan berlaku dan cara

memasukkannya ke dalam hukum nasional merupakan kelanjutan dari prosedur

penetapan suatu traktat.Tidak ada transformasi maka tidak akan ada pembentukan hukum

nasional baru.

(6)

1. Organ-organ pemerintah negara, khususnya yang dalam tugas dan kewenangannya

berhubungan dengan masalah luar negeri atau internasional, tetap menghormati

prinsip--prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional dalam hubungan-hubungan antara

sesamanya.

2. Persengketaan-persengketaan antara subyek-subyek hukum internasional, misalnya

antara dua atau lebih negara, khususnya yang mengandung aspek-aspek hukum,

meskipun tidak selalu diselesaikan dengan cara damai melalui berbagai altematif

penyelesaian sengketa, seperti perundingan langsung, perundingan dengan melalui

peranan pihak ketiga, penyelesaian melalui organisasi internasional, ataupun melalui

badan-badan arbiterase ataupun peradilan internasional.

3. Pelanggaran-pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum internasional ataupun terjadinya

konflik-konflik internasional, sebenarnya hanyalah sebagian kecil saja jika dibandingkan

dengan perilaku atau praktek-praktek dan anggota masyarakat internasional yang pada

hakekatnya merupakan tindakan menaati dan menghormati hukum internasional.

4. Kaidah-kaidah hukum internasional dalam kenyataannya ternyata banyak diterima dan

diadopsi menjadi bagian dari hukum nasional negara-negara.

Bahkan negara-negara yang sedang berperang pun juga masih tetap mentaati prinsip-prinsip

dan kaidah-kaidah hukum perang internasional atau yang sekarang lebih dikenal dengan

nama hukum humaniter.

D. HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DENGAN HUKUM NASIONAL.

Sebagaimana dibahas di atas bahwa dilihat dari pembentukannya ada perbedaan yang jelas antara hukum internasional dengan hukum nasional (State Law/al Qonun al Dakhily), yang tentunya skala penerapannya juga berbeda. Apakah hukum internasional mempunyai kekuatan memaksa sebagaimana hukum nasional juga sudah dibahas secara teoretis di atas. Namun, jika sebuah Negara sebagai personalitas internasional mengakui kaedah tertentu dalam hukum internasional dan berkehendak untuk menaatinya, apakah dengan begitu secara serta merta kaedah internasional dapat diterapkan di dalam hukum nasional?

Dalam hal hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional terdapat dua aspek yang perlu dibahas, aspek teoretis dan aspek praktis. Pada aspek teoretis negara dapat menganut salah satu dari dua paham baik teori dualisme atau monism.

Aspek teoretis pada hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional

(7)

Subyek hukum, subyek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subyek hukum internasional adalah Negara-negara.

Sumber hukum, sumber hukum nasional adalah kehendak Negara tersebut secara mutlak yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara dan harus ditaati, sedangkan sumber hukum internasional adalah kehendak bersama dari Negara-negara yang mempunyai kekuatan menaati atau menolak yang sama, dan dilandaskan atas norma Pacta Sunt Servanda.

Setelah memberikan pembedaan antara sistem hukum internasional dan hukum nasional terdapat beberapa poin yang dihasilkan teori dualisme:

Adanya perbedaan pada struktur dan substansi antara kedua kaedah hukum.

Lembaga peradilan negara tidak dapat menjadikan hukum internasional sebagai sumber materil di pengadilan nasional, kecuali kaedah internasional tersebut telah melewati proses transformasi, dan begitu juga sebaliknya.

Walaupun terdapat perbedaan fundamental antara kedua kaedah hukum, bukan berarti tidak ada sinkronisasi dalam tatanan praktis. Contoh, aturan internasional tentang Warga Negara Asing yang terdapat pada perjanjian internasional memerlukan instrumen nasional pada pelaksanaanya melalui aturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif Negara.

Paham kedua, paham monisme (Monism, Wihdatu al Qonun). Penganut monisme menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaedah-kaedah hukum mengikat, baik mengikat Negara-negara, individu-individu atau kesatuan lain yang juga merupakan personalitas internasional. Hans Kelsen (1881-1973) sebagai penganut monisme berpendapat bahwa kaedah hukum baik itu internasional maupun nasional lahir melalui hipotesa-hipotesa yang saling berkaitan antara satu dan lainnya, dan merupakan satu kesatuan walaupun hipotesa tersebut masih dalam tatanan abstrak. Dari hipotesa tersebut akan muncul sebuah struktur hukum yang bersifat universal, yang mengikat segenap individu baik itu sebagai hukum internasional maupun sebagai hukum nasional.

Paham kesatuan kaedah antara hukum internasional dengan hukum nasional yang dianut paham monisme menuntut adanya pembagian tingkat preferensi antara kedua sistem hukum tersebut. Kelsen berpendapat bahwa masalah primat hukum harus terlebih dulu melewati proses analisis struktural, suatu analisa yang dilakukan terhadap prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah yang pada akhirnya mencapai pada satu norma fundamental tertinggi yang bisa saja terdapat pada hukum internasional atau pada hukum nasional. Sistem hukum yang mengandung norma tertinggi itulah yang patut mendapat preferensi. Tetapi pada tatanan praktisnya pendapat Kelsen ini dirasa terlalu abstrak dan tidak efisien.

(8)

Negara sebagai personalitas internasional mengalami perubahan sistem hukum ketika terjadi perubahan konstitusi atau revolusi, sedangkan hukum internasional tidak akan berubah sistem hukumnya walaupun terjadi perubahan konstitusi dalam negeri. Hukum internasional mengikat negara-negara baru dengan atau tanpa persetujuan dari negara bersangkutan, maka primat hukum dalam hal ini harus diberikan kepada hukum internasional.

Sebagian berpendapat bahwa tidak secara keseluruhan preferensi diberikan kepada hukum internasional, karena dilihat dari sejarahnya hukum internasional merupakan cabang ilmu baru setelah adanya hukum nasional. Penganut primat hukum internasional mencoba menjawab bahwa mata rantai yang menghubungkan hukum internasional dengan hukum nasional bukan mata rantai sejarah, namun mata rantai teknis dan secara teknis hukum internasional mempunyai kewenangan lebih tinggi dari pada hukum nasional.

Primat hukum nasional di atas hukum internasional: primat ini didukung oleh penganut paham monisme, menurutnya hukum internasional tidak lain adalah hanya perpanjangan tangan dari hukum nasional, karena hukum internasional terbentuk atas dasar kehendak negara, secara tidak langsung hukum internasional tunduk kepada yang membentuknya, Negara. Hukum tertinggi Negara adalah konstitusi maka, konstitusi mempunyai preferensi lebih dari pada hukum internasional.

Kritik yang ditujukan pada pandangan ini adalah, mengesampingkan kaedah-kaedah hukum internasional yang tidak berasal perjanjian internasional melainkan dari tatakrama internasional, yang membentuk opini publik internasional untuk taat terhadap kaedah tertentu sebelum negara tersebut melahirkan kehendaknya. Bahkan, cukup berlebihan jika hukum internasional harus menyesuaikan dengan kaedah hukum nasional. Dalam beberapa kasus, pengadilan internasional telah memutuskan preferensi hukum internasional atas hukum nasional. Mayoritas negara-negara dunia baik secara eksplisit maupun implisit menganut paham monisme dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional, ada keterkaitan antara hukum internasional dengan hukum nasional dan kaedah hukum nasional seyogyanya selaras dengan kaedah hukum internasional.

Praktek Pemberlakuan Hukum Internasional Dalam Wilayah Nasional

Pada praktek pemberlakuan hukum internasional ke dalam tatanan hukum nasional setiap

Negara mempunyai prosedur yang berbeda-beda. Dapat melalui proses inkorporasi, transformasi

atau delegasi.

(9)

menjadi hukum nasional secara langsung “ex proprio vigore”, demikian juga sebaliknya,

sebagaimana pandangan positivis tentang hubungan antara kedua hukum internasional dan

nasional. Proses lebih lunak adalah proses delegasi, dimana aturan konstitusional hukum

internasional mendelegasikan kepada konstitusi Negara tentang hak untuk menentukan; 1) kapan

ketentuan perjanjian internasional berlaku dalam hukum nasional, dan; 2) cara, bagaimana

ketentuan perjanjian internasional dijadikan hukum nasional.

Status hukum Internasional di dalam wilayah hukum Republik Indonesia

Dalam wilayah hukum Indonesia, Undang-undang Dasar 1945 tidak mengatur secara tegas pemberlakuan kaedah hukum internasional di wilayah nasional. Pasal yang menyangkut tentang hukum internasional hanyalah pasal 11 dan 13, dan kedua pasal tersebut sangat ringkas. Kemudian sebagai penjabaran dari UUD 1945 dikeluarkan Surat Presiden Republik Indonesia (SPRI) No.2826/HK/1960 pada tanggal 22 Agustus 1960 yang mengatur tentang “Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain”. Tetapi dalam tatanan prakteknya Surat Presiden tersebut hanya mengatur prosedur mengadakan perjanjian internasional dan belum sampai pada prosedur pemberlakuan kaedah hukum internasional yang dibuat ke dalam wilayah hukum Indonesia.

Dengan keterbatasan sumber materil untuk mengatur kaedah hokum internasional dalam wilayah RI, kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 24 Tahun 2000 tentang “Perjanjian Internasional”. Tetapi dalam undang-undang tersebut juga tidak terdapat bagian khusus yang mengatur status kaedah hukum internasional di wilayah RI, sehingga pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Indonesia mem-posisikan hukum internasional di dalam wilayah hukum nasional. Setelah kita bahas di atas tentang teori dan praktek pelaksaan kaedah hukum internasional di dalam wilayah nasional, lalu dari teori dan praktek tersebut di manakah Indonesia mengambil peran, karena tidak menutup kemungkinan terjadi pertentangan antara kaedah hukum internasional dengan kaedah hukum nasional. Teori manakah yang dipakai, dualisme kah atau monisme, dengan primat hukum nasional kah atau internasional, kemudian pada tatanan praktisnya prosedur manakah yang digunakan, inkorporasi, transformasi atau delegasi?

Pada kenyataanya hukum internasional tidak mewajibkan Negara untuk memilih antara teori monisme ataukah dualisme, karena preferensi tersebut lebih ditentukan oleh kepentingan politik setiap negara. Negara yang nasionalismenya tinggi akan menempatkan preferensi hukum nasional dan yang simpatik pada internasionalisme akan mengambil preferensi internasional. Dalam prakteknya, Indonesia cenderung menganut teori monisme, bahwa hukum internasional dan hukum nasional mempunyai dasar kaedah yang sama, dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional.

(10)

terpisah dari hukum internasional karena perbedaan yang mendasar pada; sumber hukum, subjek hukum, struktur hukum dan ruang lingkup pelaksanaannya.

Dengan teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum internasional dengan hukum nasional, keduanya berdiri secara terpisah, tidak akan ada pertentangan kaedah tetapi yang ada adalah penyelarasan kaedah melalui inkorporasi atau transformasi. Setelah adanya penyelarasan, kaedah internasional tersebut dapat diberlakukan dalam wilayah nasional baik secara langsung (self executing) maupun dengan aturan terpisah (non-self executing), jika ada kaedah internasional yang tidak sesuai dengan kaedah nasional merupakan otoritas legislatif untuk mengesampingkannya.

Indonesia juga cenderung menggunakan proses delegasi daripada transformasi dan inkorporasi. Untuk inkorporasi barangkali Indonesia tidak punya perangkat materil yang mengatur secara eksplisit, Indonesia berusaha menggunakan proses transformasi dalam beberapa perjanjian, namun proses tansformasi menuntut dikeluarkannya hukum nasional tentang kaedah internasional yang diproses, tetapi Indonesia cenderung membiarkan kaedah internasional tersebut sebagaimana aslinya. Contoh pada United Nations Convention on The Law of the Sea III 1982 (UNCLOS III) yang aturan-aturannya diberlakukan melalui ratifikasi dan diterbitkan beberapa aturan seperti UU No.17 Th 1985 tentang pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), aturan pengasahan tersebut sama sekali tidak merubah kaedah yang ada dalam UNCLOS III. akibatnya status perairan nasional yang seharusnya dapat diklaim sebagai perairan internal, malah menjadi perairan kepulauan, dengan konsekuensi pemberlakuan hak lintas damai bagi kapal-kapal asing di wilayah tersebut.

BAB III PENUTUP

Sangat urgennya pengaturan hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, menuntut negara-negara dunia untuk memperbaiki landasan yurisdiksinya agar mempunyai pijakan kuat terhadap kaedah internasional yang bisa saja merugikan kepentingan nasional. Usaha lembaga legislatif Indonesia dalam mengatur hal ini meskipun masih terdapat kekurangan dalam berbagai segi namun patut mendapat apresiasi, karena proses perkembangan hukum tidak serta merta berubah dengan hanya

membuat draft Undang-undang dan mengesahkannya, melainkan harus didahului dengan membangun kesiapan mental nasional.

Dengan makalah ini, meskipun dengan segala kekurangannya, penulis mencoba menyajikan pembahasan menyeluruh tentang hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional dan relevansinya dengan praktek ke-Indonesia-an.

KESIMPULAN

Menjawab dari pertanyaan rumusan masalah yang ada maka bisa disimpulkan bahwa :

(11)

Masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah suatu tertib hukum

koordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat.

Dalam hukum internasional, hubungan yang ada bersifat koordinasi (kerjasama),

mengingat negara-negara di dunia sama derajatnya, bukan bersifat subordinasi layaknya

hukum nasional.

2. Hakekat Hukum Internasional dibagi menjadi dua pandangan.Pandangan yang

menganggap hukum Internasional itu hanyalah moral internasional dan pandangan yang

menganggap hukum Internasional itu merupakan suatu produk hukum yang mengatur

masyarakat Internasional.

3. Dasar berlakunya hukum Internasional ada pada lima teori yakni Teori Hukum

Alam,Kehendak Negara,Kehendak Bersama,dan Fakta sosial. Proses pemberlakuan

hukum Internasional dimulai dari proses adopsi spesifik,transformasi dan pendelegasian.

Perwujudan Hukum Internasional ini dibagi menjadi Hukum Internasional

Umum,Hukum Internasional Reguler dan Hukum Internasional Khusus.

4.

Pembahasan tentang hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional masih

menarik, karena selalu ada perkembangan saling mempengaruhi antara keduanya dan

terkadang saling bertentangan dalam beberapa kaedahnya. Ketika sebagian akademisi

masih mempertanyakan status hukum internasional dalam hukum nasional, di saat yang

sama hukum internasional telah benar-benar nyata dan mampu mempengaruhi tatanan

hukum nasional dalam semua aspek.

[1] Lukman Hakim,

Hukum Internasional (Malang,2011),hlm.1

[2] Mochtar Kusumaatmadja,

Pengantar Hukum Internasional, Buku I – Bagian Umum,

Binacipta, Bandung, 1978, hal 1,2).

[3] L. Oppenheim – H. Lauterpacht

, International Law, A. Treatise, Vol.I Peace, Longmans,

Green & Co, London – New York – Toronto, 1955, hal. 5.

[4] J.G. Starke,

Introduction to International Law

, edisi kesembilan, diterjemahkan oleh Sumitro

L.S. Dauredjo, “Pengantar Hukum Intrnasional, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 1.

[5] Lukman Hakim, op. cit., hal. 32.

[6] Lukman Hakim,op.cit,hal 34

Referensi

Dokumen terkait

= perbedaan antara hukum publik internasional dan hukum privat internasional adalah hukum publik internasional merupakan kumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan

Mochtar Kusumaatmaja, Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata melewati batas negara, atau dengan kata lain,

Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Dalam kajian ini disimpulkan bahwa pengutamaan hukum yang mengatur hubungan hukum antar negara dalam hubungan Internasional, dikenal adanya 2 pandangan, yaitu: (1) Faham

Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan batas Negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat

Dampak pengesahan perjanjian Internasional terhadap hukum Nasional pertama harus dilihat dari kedudukan negara dalam perjanjian Internasional sebagai negara pihak

Dalam kajian ini disimpulkan bahwa pengutamaan hukum yang mengatur hubungan hukum antar negara dalam hubungan Internasional, dikenal adanya 2 pandangan, yaitu: (1) Faham

Terhadap kelompok ini harus diberlakukan hukum nasional dari negara yang bersangkutan. Hukum internasional tidak mengaturnya sama sekali kecuali hanya melarang negara lain