Lampiran 1. Alat dan Bahan
a. Eckman Grab b. Refraktometer
c. Termometer d. Ph meter
Lampiran 1. Lanjutan
g. Bola Duga h. Kantong Plastik
i. Botol Sampel j. Stopwatch
lampiran 1. Lanjutan
m. Alat Pengukur Kedalaman n.Alat Tulis
Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan Selama Penelitian
a. Pengukuran suhu b. Pengukuran pH air
c. Penentuan titik sampling d. Pengukuran kedalaman
Lampiran 3. Jenis Substrat Berdasarkan Segitiga USDA
Lampiran 4. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) (Barus, 2004)
1 ml MnSO
Diambil sebanyak 100 ml Dititrasi Na
Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat
Larutan Sampel Berwarna Kuning Tua
Sampel Berwarna Kuning Tua
Sampel Berwarna Kuning Muda
Sampel Bening
Lampiran 5. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5
Sampel Air
Sampel Air Sampel Air
Diinkubasi selama 5 hari Dihitung nilai
pada temperatur 20°C DO awal
Dihitung nilai DO akhir
DO akhir DO awal
Keterangan :
• Cara kerja penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan nilai DO metode Winkler
Lanjutan 6. Lanjutan
Lampiran 7. Data Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan Selama Penelitian Waktu
pengamatan Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2
Fisika
Suhu Celcius 30,00 30,20 30,00 30,00 30,00 31,00 30,00 30,50 30,00 30,50
Kedalaman cm 4,03 4,23 1,53 1,56 3,41 3,33 5,24 5,81 5,49 5,27
Kecerahan cm 56,00 42,00 30,00 31,00 94,00 90,00 91,00 90,80 75,00 80,00
Arus m/det 0,17 0,16 0,07 0,09 0,10 0,12 0,06 0,08 0,05 0,07
Tekstur
Substrat Berpasir Berpasir Berpasir Berpasir Bepasir
Kimia
Salinitas 0/00 31,00 31,00 30,00 30,00 29,00 29,00 30,00 30,00 30,00 30,00
PH 7,10 7,10 6,30 6,30 5,90 5,90 7,10 7,10 7,10 7,10
DO mg/l 4,45 4,45 4,00 4,00 3,85 3,85 3,80 3,80 3,70 3,70
Lampiran 7. lanjutan Waktu
pengamatan Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2
Fisika
Suhu Celcius 29,00 29,00 30,00 30,00 30,00 30,00 31,00 31,00 30,00 30,00
Kedalaman cm 2,89 2,75 1,97 2,00 5,24 5,81 3,24 3,30 5,49 5,27
Kecerahan cm 91,00 90,00 75,00 80,00 80,00 90,00 118,00 123,00 125,00 124,00
Arus m/det 0,09 0,09 0,17 0,17 0,05 0,05 0,06 0,06 0,07 0,07
Tekstur
Substrat - Berpasir Berpasir Berpasir Berpasir Berpasir
Kimia
Salinitas 0/00 29,00 29,00 28,00 28,00 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00
PH 6,95 6,95 7,00 7,00 7,10 7,10 7,10 7,10 7,10 7,10
DO mg/l 4,40 4,45 3,90 4,10 3,90 3,85 3,70 3,90 3,70 3,60
Lampiran 8. Nilai Kepadatan Populasi (ind/m2), Kepadatan Relatif (%), Frekuensi Kehadiran(%) Makrozoobentos pada setiap Stasiun Penelitian di Perairan Estuari Suaka Margasatwa Karang Gading Kabupaten Deli Serdang.
Kepadatan Populasi (ind/m2)
SPESIES
Clithon oualaniensis 19,05 28,57 38,10 47,62 28,57
Monodonta canalifera 57,14 19,05 66,67 28,57 76,19
Bursa rana 47,62 28,57 47,62 0,00 28,57
Gyrineum bituberculare 38,10 19,05 123,81 57,14 9,52
Nodilittorina pyramidalis 9,52 28,57 19,05 0,00 38,10
Natica vitellus 38,10 38,10 28,57 9,52 38,10
Cerithidea cingulata 57,14 95,24 38,10 28,57 9,52
Telescopium telescopium 38,10 47,62 19,05 9,52 28,57
Tonna dolium 28,57 9,52 47,62 38,10 19,05 Nodilittorina pyramidalis 1,18 2,75 1,69 0,00 6,45
Lampiran 8. Lanjutan
Clithon oualaniensis 33,33 33,33 50,00 33,33 33,33
Monodonta canalifera 83,33 16,67 50,00 16,67 66,67
Bursa rana 50,00 16,67 50,00 0,00 33,33
Gyrineum bituberculare 50,00 33,33 83,33 50,00 16,67 Nodilittorina pyramidalis 16,67 33,33 33,33 0,00 66,67 Natica vitellus 50,00 50,00 33,33 16,67 50,00 Cerithidea cingulata 66,67 83,33 33,33 50,00 16,67 Telescopium telescopium 33,33 50,00 33,33 16,67 33,33
DAFTAR PUSTAKA
Anzani, Y, M. 2012. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan di Sungai Ciambulawung, Lebak, Banten. [SKRIPSI]. Insitut Pertanian Bogor
Arief, A. M. P. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi, Studi Tentang Ekosistem Sungai dan Danau. Jurusan Biologi Fakultas Mipa USU. Medan.
Begon, M., John, dan Colin. 1986. Ecology. Blackwall Scientific Publication, London.
Brower, J. E., J. H. Zar dan C. V. Ende. 1990. Field and Laboratory Methode for General Ecologi. Third Edition.W.M.C. Brown Publishers, USA
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius Yogyakarta.
Fadhilah, N., Masrianih, Sutrisnawati., 2013. Keanekaragaman Gastropoda Air Tawar di Berbagai Macam Habitat di Kecamatan Tanambulava Kabupaten Sigi. E-Jipbiol Vol. 2 : 13-19
Fajri, N. 2013. Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pantai Kuwang Wae Kabupaten Lombok Timur. Jurnal Educatio, Vol. 8 No. 2.
Ginting, E. H. 2006. Kualitas Perairan Hulu Sungai Ciliwung Ditinjau dari Struktur Komunitas Makrozoobentos. [SKRIPSI] Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hutabarat, S, dan S. M. Evans, 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Indarmawan, T dan A, Manan. 2011. Pemantauan Lingkungan Estuaria Perancak Berdasarkan Sebaran Makrobenthos.Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan 3(2):215-220
Kawuri, L. R., M. N. Suparjo dan Suryanti. 2012. Kondisi Perairan Berdasarkan Bioindikator Makrobentos di Sungai Seketak Tembalang Kota Semarang. Jurnal Manajemen Sumberdaya Perairan. 1(1): 1-7.
Kementerian Lingktrngan Hidup [KLH]. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut. jakarta: Menklh.
Krebs, C. J. 1985. ExperimentalAnalysis of Distribution and Abudanc. Third Edition. Hopper and Prow Publisher. New York.
Lembaga Penelitian Tanah [LPT]. 1979. Penuntun Analisa Fisika Tanah. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor.
Ludwig, J. A dan , J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology.A Primer on Methods and Computing Jhon Wiley dan Sons, Inc. Toronto. Canada.
Marpaung, A. A. F. 2013. Keanekaragaman Makrozoobenthos di Ekosistem Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. [SKRIPSI] Universitas Hasanuddin.
Munarto. 2010. Studi Komunitas Gastropoda di Situ Salam Kampus Universitas Indonesia, Depok. [Skripsi] Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Djarllbatan. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indonesia.
Odum E. P. 1993. Dasar – Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Rahman, F. A. 2009. Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Estuaria Sungai Brantas (Sungai Porong Dan Wonokromo), Jawa Timur. [SKRIPSI] Insitut Pertanian Bogor
Rupawan. 2011. Kebutuhan dan Peluang Konservasi Sumber Daya Ikan di Perairan Estuari Selat Panjang Riau. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III. Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum, RIAU.
Setiawan, D. 2009. Studi Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Hilir Sungai Lematang Sekitar Daerah Pasar Bawah Kabupaten Lahat. Jurna Penelitian Sains 09:12-14.
Setyobudiandi, I. 1997. Makrozoobentos. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Simamora, D. R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi. [SKRIPSI] Universitas Sumatera Utara.
Siregar, T. R. R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. [SKRIPSI] Universitas Sumatera Utara.
Situmorang, D. P. P. 2014. Komunitas Makrozoobentos di Sungai Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. [SKRIPSI] Universitas Sumatera Utara.
Situmorang, N. M. K. 2015. Keanekaragaman Makrozoobentos di Hilir Sungai Asahan Tanjung Balai Sumatera Utara. [SKRIPSI] Universitas Sumatera Utara.
Suartini, N. M., Sudatri, N. W., Pharmawati, M., Dalem, A. A. G. R., 2010. Identifikasi Makrozoobenthos di Tukad Bausan Desa Pererenan Kabupaten Bandung Bali. Jurnal Echotropic 5 (1) : 41-44
Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas, Padang.
Sukmadewa, W. A. 2004. Analisis Status dan Trend Kualitas Air Sungai Ciliwung di DKI Jakarta 2000-2005. [SKRIPSI] Program Sarja Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB. Bandung.
Susanto, P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobentos di Hutan Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Baru. [SKRIPSI] Universitas Hasanuddin
Tawqa, A. 2010. Analisis Produktivitas Primer Fitoplankton dan Struktur Komunitas Fauna Makrobenthos Berdasarkan Kerapatan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan, Kalimantan Timur. [TESIS] UNDIP
Yunitawati., Sunarto dan Z. Hasan. 2012. Hubungan Antara Karakteristik Substrat Dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Sungai Cantigi, Kabupaten Indramayu. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(3): 221-227.
Zahid, A., C. P. H. Simanjuntak., M. F. Raharjo dan Sulistiono. 2011. Iktiofauna Ekosistem Estuari Mayangan, Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia, 11(1): 77-85.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan di laksanakan pada bulan Mei 2015 sampai Juni 2015
di perairan Estuari Suaka Marga Satwa Karang Gading Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Analisis
Laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan
Terpadu Fakultas Pertanian, Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian dan
Laboratorium Kimia Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Eckman grab,
refraktometer, termometer, GPS (Global Positioning System), pH meter, botol
sampel air, Secchi disk, bola duga, kantong plastik, stopwatch, botol sampel
BOD5, botol Winkler, kertas label, coolbox, alat tulis dan kamera digital.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air yang diukur
berdasarkan parameter fisika dan kimia, MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3,
amilum, alkohol 70%, es batu. Sampel substrat dan makrozoobenthos sebagai
parameter biologi yang diidentifikasi sebagai bioindikator kualitas perairan. Foto
alat dan bahan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Prosedur Penelitian
Metode yang digunakan dalam menentukan stasiun penelitian dengan
melihat ada tidaknya aktivitas serta karakteristik khusus yang terdapat pada tiap
stasiun. Ditetapkan 5 stasiun penelitian dengan kriteria seperti tertera pada uraian
deskripsi area. Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan dalam interval
waktu 3 minggu menggunakan eckman grab. Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara menurunkan eckman grab hingga ke dasar perairan estuari dalam
kondisi terbuka. Pada saat eckman grab mencapai dasar perairan, tali eckman grab
ditarik sehingga eckman grab menutup bersama dengan masuknya substrat,
selanjutnya substrat tersebut disaring menggunakan saringan 0,5 mm. Sampel
yang didapat disortir selanjutnya dibersihkan dengan akuades dan dimasukkan
kedalam plastik yang berisi alkohol 70% sebagai pengawet lalu diberi label.
Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk di identifikasi
menggunakan buku identifikasi.
Parameter fisika dan kimia diukur secara in situ yaitu pengukuran secara
langsung di lokasi penelitian dan cara ex situ yaitu hasil sampel merupakan data
hasil laboratorium.
Deskripsi Area Penelitian a. Stasiun I
Stasiun ini terletak di Paluh Tabuan dengan lebar estuari 30-35 m. Stasiun
ini didominansi oleh mangrove jenis Bruguierra sp., dan berdekatan dengan
tambak alam milik masyarakat. Secara geografis terletak pada 3052’682’’ LU dan
98038’25’’ LS. Adapun stasiun 1 dapat dilihat padaa Gambar 3.
Gambar 3. Stasiun I
b. Stasiun II
Stasiun ini terletak di Paluh Tabuan dengan lebar estuari 20-25 meter.
Stasiun ini didominansi oleh mangrove jenis Rhizophora sp. dan berdekatan
Gambar 4. Stasiun II
c. Stasiun III
Stasiun ini terletak di Paluh Semai dengan lebar estuari 40-50 m. Stasiun
ini didominansi oleh mangrove jenis Avicennia sp., dan merupakan mangrove
alami. Secara geografis terletak pada 3054’009’’ LU dan 98039’367’’ LS.Adapun stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Stasiun III
d. Stasiun IV
Stasiun ini terletak di Paluh Nypah Larangan dengan lebar estuari 40-45
m. Stasiun ini didominansi mangrove jenis Heriteria sp., dan di stasiun ini
Gambar 6. Stasiun IV
e. Stasiun V
Stasiun ini terletak di Paluh Nypah Larangan dengan lebar estuari 30-35
meter. Stasiun ini didominansi oleh mangrove jenis Rhizophora sp., dan di stasiun
ini terdapat banyak rumpon. Secara geografis terletak pada 3053’27’’ LU dan 98039’25’’ LS. Adapun stasiun 5 dapat dilihat pada Gambar 7.
Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan 1. Suhu
Pengukuran suhu air dilakukan dengan menggunakan alat termometer.
Termometer dimasukkan ke dalam air sampel selama lebih kurang 10 detik.
Kemudian dibaca skala pada termometer tersebut. Pengukuran suhu air dilakukan
setiap pengamatan dilapangan.
2. Kecerahan
Pengukuran kecerahan air dilakukan dengan menggunakan alat secchi
disk. Secchi disk dimasukkan perlahan kedalam perairan sampai tidak terlihat lagi,
lalu catat berapa meter panjang tali ketika secchi disk mulai tidak terlihat lagi.
Setelah itu masukkan kembali secchi disk kedalam perairan sampai benar-benar
tidak terlihat dan kemudian ditarik keatas dengan perlahan sampai secchi disk
mulai terlihat, lalu catat berapa panjang tali tersebut. Setelah itu buat rata-rata dari
panjang tali yang telah diukur tadi.
3. Kedalaman
Kedalaman diukur dengan tali berskala yang diberi pemberat, lalu
dimasukkan ke dalam badan air sampai mencapai dasar perairan. Kemudian
dibaca skala pada tali yang sejajar dengan permukaan air.
4. Arus
Arus diukur menggunakan bola duga yang diikat menggunakan tali
sepanjang 10 meter yang dilemparkan vertikal kedepan dan disaat bersamaan
5. pH Air
Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Sampel
air diambil menggunakan ember lalu bagian elektroda dimasukkan kedalam
sampel air hingga nilai pada display konstan.Pengukuran pH dilakukan setiap
pengamatan lapangan.
6. Kelarutan Oksigen (Dissoved Oxygen)
Pengukuran DO air dilakukan dengan menggunakan metode Winkler
dapat dilihat pada Lampiran 4. Pengukuran DO dilakukan pada setiap pengamatan
lapangan. Sampel air dimasukkan ke dalam botol Winkler kemudian dilakukan
pengukuran okesigen terlarut.
7. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metode Winkler dapat
dilihat pada Lampiran 4. Pengukuran terdiri atas dua tahapan, yaitu pertama
pengukuran DO sampel air langsung di lokasi dan kedua pengukuran DO sampel
air setelah diinkubasi selama lima hari, setelah itu nilai DO awal dikurangi nilai
DO akhir (Lampiran 5).
8. Fraksi Substrat
Sampel substrat diambil dari dasar perairan dan dibawa ke Laboratorium
Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Jenis
substrat dianalisis berdasarkan perbandingan pasir, liat dan debu pada segitiga
Pengukuran Faktor Biologi Perairan 1. Makrozoobenthos
Makrozoobenthos diambil dan dibersihkan dari setiap substrat kemudian
dimasukan kedalam plastik penyimpanan dan diberi alkohol 70 % untuk
diawetkan serta dapat diidentifikasi jenis dan jumlahnya di Laboratorium
Manajemen Sumberdaya Perairan Terpadu Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara.
Analisis Data
Parameter Fisika Kimia
Nilai parameter fisika dan kimia yang diperoleh dibandingkan dengan
baku mutu air bersih berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Mutu Air Bedasarkan PP No. 82/2001
Parameter Satuan Kelas
I II III
Parameter Biologi Kualitas Air a. Kepadatan Populasi (K)
Menurut Brower dkk., (1990), kepadatan populasi diidentifikasikan
atau volume. Penghitungan kepadatan populasi dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus berikut :
Ki =
Keterangan :
Ki : Kepadatan makrozoobenthos jenis ke-i (Individu/m2)
ai : Jumlah individu jenis ke-i pada setiap bukaan eckman grab
b : Luas bukaan eckman grab (cm2)
10000 : Nilai konversi dari cm2 ke m2
b. Kepadatan Relatif (KR)
Menurut Brower dkk (1990), Perbandingan antara kelimpahan individu
tiap jenis terhadap kelimpahan seluruh individu yang tertangkap dalam suatu
komunitas, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
KR = x 100 %
Keterangan :
KR : Kepadatan Relatif
ni : Jumlah individu spesies ke-i
N : Jumlah individu semua spesies
c. Frekuensi Kehadiran (FK)
Menurut Barus (2004), frekuensi kehadiran merupakan nilai yang
menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies dalam sampling plot yang ditentukan,
yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
FK =0 - 25% : Kehadiran sangat jarang
FK = 25 - 50% : Kehadiran jarang
FK = 50 - 75% : Kehadiran sedang
FK = 75 - 100% : Kehadiran sering/absolute
Suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu
organisme, apabila nilai FK > 25%
d. Indeks Diversitas Shannon (H’)
Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), indeks keanekaragaman (H’)
menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis agar
mempermudah dalam menganalisis informasi jumlah individu masing-masing
jenis pada suatu komunitas. Untuk itu dilakukan perhitungan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
H’ = - ∑
atau
Keterangan :
H’ : Indeks Diversitas
ni : Jumlah spesies ke-i
N : Jumlah semua spesies
Menurut krebs (1978) membagi tingkatan nilai indeks keanekaragaman
kedalam tiga tingkat yaitu:
H’ <1,0 : Keanekaragaman Rendah
H’ <1,0-3,0 : Keanekaragaman Sedang
H’ > 3,0 : Keanekaragaman Tinggi
Kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener
(H’) menurut Wilhm (1975) diklasifikasikan menjadi :
H’ > 3 : Tidak tercemar
H’ = 1– 3 : Tercemar Sedang
H’ < 1 : Tercemar berat
e. Indeks Keseragaman (E)
Nilai keseragaman benthos dihitung berdasarkan rumus Krebs (1985), sebagai berikut:
E =
E : Indeks keseragaman (equitabilitas)
H’ : Indeks diversitas Shannon- Wienner
H max : Indeks keanekaragaman maksimum (ln S)
S : Jumlah spesies/genus
Dengan kriteria:
E = 0, Keseragaman populasi semakin kecil, artinya penyebaran jumlah individu
setiap spesies tidak sama
E = 1, Keseragaman antar spesies relatif merata atau jumlah individu masing-
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada lima stasiun penelitian si
Perairan Etuari Suaka Margasatwa Karang Gading Kabupaten Deli Serdang
diproleh nilai kisaran dan rata rata parameter fisika kimia perairan pada Tabel 3.
Data pengamatan kualitas air dan analisis substrat terdapat pada Lampiran 7.
Tabel 3. Nilai rata rata hasil pengukuran parameter fisika dan kimia di Perairan Etuari Suaka Margasatwa Karang Gading Kabupaten Deli Serdang
No Parameter Satuan Stasiun
I II III IV V
Parameter Biologi
Berdasarkan hasil pengamatan makrozoobentos pada 5 stasiun di kawasan
perairan estuari suaka marga satwa karang gading selama Mei hingga Juni 2015
secara keseluruhan terdapat 20 spesies yang termasuk dalam 17 famili, 4 ordo dan
2 kelas. Adapun makrozoobentos yang didapat dari perairan estuari suaka
margasatwa karang gading dapat dilihat pada Lampiran 6. Persentasi komposisi
ordo pada bulan Mei hingga juni 2015 ditunjukan pada Gambar 8.
Gambar 8. Diagram Perbandingan persentase komposisi Makrozoobentos pada bulan Mei hingga Juni 2015.
Diagram perbandingan persentase komposisi makrozoobentos di 5 stasiun
terlihat bahwa ordo Neogasstropoda dan Arcoida sama-sama memiliki persentase
tertingi yaitu 31% sedangkankan persentase terendah dimiliki oleh ordo
Archaeopoda dengan persentase 9%.
Hasil penelitian yang dilakukan pada 5 stasiun di lokasi penelitian selama
2 kali pengambilan sampel ditemukan 17 famili makrozoobentos yang tersebar
pada 5 stasiun pengambilan sampel. Jumlah makrozoobentos pada lokasi
sedangkan kelass bivalvia terdiri dari 1 ordo, 3 famili dan 4 spesies. Adapun
klasifikasi makrozoobentos dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Klasifikasi Makrozoobentos yang di peroleh dari Setiap Stasiun Penelitian.
Kelas Sub-kelas Ordo Famili Spesies
Bivalvia Arcoida Arcidae Anadara cornea
Anadara maculosa
Cardiidae Acrosterigma rugosa
Veneridae Tapes literata
Gastropoda Prosobranchia Archaeogastropoda Neritidae Clithon oualaniensis
Trochidae Monodonta canalifera
Neogastropoda Buccinidae Pisania fasciculata
Fasciolariidae Latirus polygonus
Melongenidae Pugilina cochlidium
Volema myristica
Muricidae Murex trapa
Nassariidae Nassarius olivaceus
Berdasarkan data jumlah makrozoobentos yang diproleh pada setiap
stasiun maka didapat nilai kepadatan jenis dan kepadatan relatif sebagai berikut.
Data mentah makrozoobentos terdapat pada lampiran 6. adapun nilai kepadatan
jenis dan kpadatan relatif dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Kepadatan jenis (K) dan Kepadatan Relatif (KR) pada Setiap Stasiun
Stasiun Kepadatan jenis (ind/m2) Kepadatan Relatif (%)
I 1619,05 100
II 2076,19 100
III 2247,62 100
IV 1485,71 100
V 1180,95 100
Tabel 5 menunjukan bahwa kepadatan jenis tertinggi dimiliki oleh stasiun
terendah dimiliki oleh stasiun V dengan jumlah kepadatan jenis 1180,95 ind/m2. Nilai total kepadatan relatif setiap stasiun identik sama yaitu 100%. Data mentah
diagram batang K, KR, dan FK pada Lampiran 8. Berikut tampilan diagram
batang kepadatan, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran
Gambar 9. Nilai Kepadatan Populasi (K) Makrozoobentos (ind/m2) pada Setiap Stasiun Penelitian
Gambar 11. Nilai Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobentos (%) pada Setiap Stasiun Penelitian
Berdasarkan analisis data diproleh nilai indeks keanekaragaman dan
indeks keseragaman pada masing-masing stasiun seperti terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dan Nilai Keseragaman pada Setiap Stasiun.
Stasiun H' E
I 2,88 (keanekaragaman sedang) 0,96
II 2,75 (keanekaragaman sedang) 0,92
III 2,83 (keanekaragaman sedang) 0,94
IV 2,70 (keanekaragaman sedang) 0,93
V 2,87 (keanekaragaman sedang) 0,96
Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman yang
tertinggi pada stasiun I sebesar 2,88 dan indeks keanekaragaman terendah pada
stasiun IV sebesar 2,70. Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun I dan
Pembahasan
Parameter Fisika dan Kimia Perairan Suhu
Suhu pada setiap stasiun tidak menunjukan adanya perbedaan yang
signifikan karena suhu setiap stasiun berkisar antara 29-31 oC. Tidak adanya
perbedaan yang signifikan antar stasiun karena kesamaan hari pengambilan serta
adanya vegetasi mangrove disekitar perairan sehingga suhu antar stasiun juga
menjadi konstan dan stabil. Menurut Ginting (2006), suhu perairan dapat
dipengaruhi oleh letak lintang perairan tersebut, musim, ketinggian diatas
permukaan laut, penutupan awan, penutupan vegetasi, luas permukaan perairan
yang langsung terkena sinar matahari serta kedalaman badan air.
Nilai rata-rata tertinggi suhu di perairan estuari suaka margasatwa karang
gading berada pada stasiun IV berkisar 30,63 oC sedangkan nilai terendah berada
di stasiun I berkesar 29,55 oC. Keadaan suhu perairan estuari suaka margasatwa karang gading ini tergolong normal dan mendukung pertumbuhan
makrozoobentos. Kisaran suhu yang sesuai untuk pertumbuhan makrozoobentos
menurut Hutabarat dan Evans (1985) siklus suhu untuk kehidupan organisme
perairan berkisar 26 oC – 31 oC. Menurut edward (1988) diacu oleh Fahdilah dkk.,
(2013) bahwa gastropoda dapat melakukan proses metabolisme secara optimal
pada kisaran suhu antara 25 oC- 31oC. Hal ini juga terbukti dengan banyaknya
didapat kelas gastropoda pada setiap stasiun.
Kedalaman
Kedalaman setiap stasiun lokasi penelitian tergolong tidak sama,
kedalaman tertinggi dengan rata-rata kedalaman 5,38 m, sedangkan stasiun II
memiliki kedalaman terendah dengan rata-rata kedalaman 1,77 m. Kedalaman
perairan perlu diamati karena mempengaruhi keberadaan dari bentos itu sendiri,
jumblah bentos yang di dapat pada stasiun V (Lampiran 7) juga lebih sedikit
dibandingkan dengan stasiun lainnya karena tingginya kedalaman di stasiun
tersebut. Menurut Susanto (2000), perubahan tekanan air ditempat-tempat yang
berbeda kedalamannya sangat berpengaruh bagi kehidupan hewan yang hidup di
dalam air. Perubahan tekanan di dalam air sehubungan dengan perubahan
kedalaman adalah sangat besar. Faktor kedalaman berpengaruh terhadap hewan
bentos pada jumlah jenis, jumlah individu, dan biomass. Sedangkan faktor fisika
yang lain adalah pasang surut perairan, hal ini berpengaruh pada pola penyebaran
hewan bentos.
Menurut Munarto (2010), kedalaman suatu perairan berpengaruh terhadap
jumlah individu gastropoda, semakin dalam perairan semakin sedikit jumlah
gastropoda di dalamnya. Hal tersebut terjadi karena hanya jenis tertentu saja dari
gastropoda yang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Menurut Odum
(1996), Semakin dalam dasar suatu perairan, semakin sedikit jumlah jenis
makrobentos karena hanya makrobentos tertentu yang dapat beradaptasi dengan
kondisi lingkungannya.
Kecerahan
Kecerahan pada setiap stasiun lokasi penelitian tergolong jauh berbeda,
berdasarkan hasil pengukuran lapangan diketahui kecerahan tertinggi terdapat
pada stasiun IV sebesar 105,70 cm dan kecerahan terendah terdapat pada stasiun
pada stasiun IV membuktikan sedikitkan bahan-bahan yang tersuspensi
diperairan, sedangkan di stasiun II penetrasi cahaya rendah karena banyaknya
bahan tersuspensi yang membuat warna perairan menjadi keruh. Menurut
Suriawiria (1996) diacu dalam Simamora (2009), bahwa kekeruhan air terjadi
disebabkan oleh adanya zat-zat koloid, yaitu zat yang terapung serta zat yang
terurai secara halus sekali. Zat-zat tersebut diantaranya jasad-jasad renik, lumpur,
tanah liat, dan zat-zat koloid yang dapat dihubungkan dengan kemungkinan
adanya pencemaran melalui buangan.
Kecepatan Arus
Kecepatan arus pada setiap stasiun lokasi penelitian relatif sama antara
stasiun satu dengan stasiun lainnya, berdasarkan hasil pengukuran dilapangan
diketahui rata-rata kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun I dan II sebesar
0,13 m/det sedangkan kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun IV dan V
sebesar 0,07 m/det. Kecepatan arus stasiun I dan II tergolong arus lambat,
sedangkan stasiun IV dan V tergolong arus sangat lambat. Menurut Macon (1980)
diacu oleh Yunitawati dkk., (2012), tipe arus berdasarkan kecepatannya, yaitu
arus sangat cepat > 1 m/det, arus cepat 0,5 – 1 m/det, arus sedang 0,2 – 0,5 m/det,
arus lambat 0,1 – 0,2 m/det, arus sangat lambat < 0,1 m/det.
Kecepatan arus juga mempengaruhi keberadaan makrozoobentos, karena
jika arus cenderung deras maka mengakibatkan bentos dapat berpindah tempat
dan berpindah habitat juga. Menurut Kawuri dkk., (2012), kecepatan arus dapat
Substrat
Subtrat dasar perairan yang ditemukan pada setiap stasiun lokasi penelitian
tergolong sama, substrat pasir berliat pada stasiun I, III, IV, dan V sedangkan
substrat pasir berdebu pada stasiun II. Pada jenis substrat pasir seperti pada setiap
stasiun cenderung di temukan makrozoobentos dari kelas Gastropoda dan kelas
Bivalvia. Menurut Suartini (2010) bahwa kelompok kelas moluska dari kelas
gastropoda yang merupakan organisme yang mempunyai kisaran penyebaran yang
cukup luas yaitu pada substrat berbatu, berpasir maupun berlumpur.
Menurut Setyobudiandi (1997) kelompok bentos yang sesuai mendiami
substrat berlumpur adalah pemakan deposit seperti cacing. Berdasarkan hasil
penelitian, filum annelida tidak ada ditemukan pada stasiun manapun karena
substrat dari masing-masing stasiun cenderung berpasir.
Salinitas
Salinitas pada setiap stasiun pada lokasi penelitian identik sama dan tidak
menunjukan adanya perbedaan yang signifikan, berdasarkan hasil pengukuran
dilapangan diketahui rata-rata salinitas setiap stasiun berkisar antara 29-30 o/oo.
Salinitas ini sendiri pada umumnya bersifat alami dimana tinggi rendahnya hanya
dipengaruhi oleh cuaca dan faktor alam. Menurut Nontji (2000) salinitas pada
perairan yang dekat pantai biasanya lebih rendah karena pengaruh aliran sungai
sedangkan pada daerah dengan penguapan tinggi salinitas bisa meningkat juga
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman pada setiap stasiun pada lokasi penelitian tidak jauh
diketahui pH tertinggi terdapat pada stasiun IV dan V sebesar 7,10 sedangkan pH
terendah terdapat pada stasiun III sebesar 6,50. Derajat keasaman merupakan
salah satu faktor kualitas perairan yang mempengaruhi kehidupan biota air
termasuk makrozoobentos, berdasarkan hasil penelitian tingkat pH pada setiap
stasiun tergolong mendukung kehidupan makrozoobentos, hal ini dilihat dari
kepadatan relatif tiap stasiun yang tergolong tinggi dan sama. Menurut Odum
(1993) bahwa secara keseluruhan nilai pH pada lokasi penelitian masih dapat
mendukung kehidupan makrozoobentos, pH sangat berperan penting dalam proses
metabolisme makrozoobentos. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam
maupun sangat basa akan menyebabkan kelangsungan hidup organisme terganggu
karena akan terjadinya gangguan metabolisme respirasi. Hal ini juga didukung
oleh junaidi dkk., (2010) bahwa nilai pH < 5 atau > 9 sangat tidak sesuai bagi
kehidupan makrozoobentos.
DO (Dissolved Oxygen)
Kandungan oksigen terlarut pada setiap stasiun lokasi penelitian tidak jauh
berbeda berkisar antara 3,68-4,44 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran
laboratoriun kandungan oksigen terlarut tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar
4,44 mg/l sedangkan kandungan oksigen terlarut terendah terdapat pada stasiun V
sebesar 3,68 mg/l. Kandungan oksigen terlarut pada setiap stasiun tergolong
rendah karena adanya aktifitas yang berlebihan di setiap stasiun oleh nelayan,
rendahnya kadar oksigen terlarut pada kawasan perairan pada suatu saat dapat
berdampak kematian pada biota perairan tersebut. Menurut Effendi (2003),
Menurut Asdak (2004), Dari perspektif biologi, kandungan gas oksigen
dalam air merupakan salah satu penentu karakteristik kualitas air yang terpenting
dalam lingkungan kehidupan akuatis. Konsentrasi oksigen dalam air mewakili
status kualitas air pada tempat dan waktu tertentu (saat pengambilan sampel air).
Dengan kata lain keberadaan dan besar atau kecilnya muatan oksigen di dalam air
dapat dijadikan indikator ada atau tidaknya “pencemaran” di suatu perairan.
Berdasarkan PP No 82 tahun 2001 stasiun I dan II tergolong dalam kelas Kelas
dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman,
sedangkan stasiun III, IV dan V tergolong dalam Kelas tiga, air yang
peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,
air untuk mengairi pertanaman.
BOD5 (Biochemical oxygen demand)
Nilai BOD5 pada setiap stasiun lokasi penelitian terggolong tidak jauh
berbedan berkisar antara 0,63-0,96 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran
laboratorium nilai BOD5 teringgi terdapat pada stasiun V sebesar 0,96 mg/l
sedangkan nilai BOD5 terendah terdapat pada stasiun I sebesar 0,63 mg/l. Adanya
perbedaan kadar BOD5 antar stasiun dipengaruhi oleh jumlah bahan organik yang
terkandung dalam perairan tersebut, semakin tinggi kadar bahan organik maka
semakin tinggi pula oksigen yang dibutuhkan organisme untuk menguraikan
bahan organik tersebut. Menurut APHA (1989) diacu dalam Situmorang (2014)
bahwa nilai BOD yang besar menunjukkan aktivitas organisme yang semakin
Parameter Biologi
Komonitas Makrozoobentos
Berdasarkan gambar 8 diagram persentase perbandingan kehadiran
diketahui didapat 4 ordo dari 2 kelas yaitu kelas bivalvia dan kelas gastropoda.
Adapun persentase kelas bilvavia sebesar 31% dengan banyak spesies 4 antara
lain Anadara cornea, A. maculosa, Acrosterigma rugosa dan Tapes literata
sedangkan kelas gastropoda 69% dengan banyak spesies 16 antara lain Clithon
oualaniensis, Monodonta canalifera, Bursa rana, Gyrineum bituberculare,
Nodilittorina pyramidalis, Natica vitellus, Cerithidea cingulata, Telescopium
telescopium, Tonna dolium, Turritella terebra, Pisania fasciculata, Latirus
polygonus, Pugilina cochlidium, Volema myristica, Murex trapa dan Nassarius
olivaceus. Kelas gastropoda didapat lebih banyak dari setiap stasiun karena
kondisi substrat yang cocok bagi gastropoda. Menurut Suartini (2010) bahwa
kelompok kelas moluska dari kelas gastropoda yang merupakan organisme yang
mempunyai kisaran penyebaran yang cukup luas yaitu pada substrat berbatu,
berpasir maupun berlumpur. Hal ini sesuai juga dengan litertur Nybakken (1988),
ukuran partikel substrat mempengaruhi struktur komonitas di perairan. Substrat
berlumpur merupakan tempat berlimpahnya partikel organik halus yang
mengendap didasar perairan.
Kelas bilvavia sendiri ditemukan dalam jumblah yang cukup tinggi pada
stasiun III, dimana stasiun ini belum begitu banyak kegiatan penangkapan karena
kawasan ini termasuk kawasan mangrove alami yang jarang di eksploitasi. Taqwa,
(2010) mengungkapkan bahwa lebih rendahnya persentase Bivalvia dibandingkan
tidak mudah ditemukan, selain itu juga disebabkan beberapa jenis Bivalvia
dijadikan sebagai bahan makanan oleh penduduk setempat..
Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat stasiun I memiliki nilai kepadatan dan
kepadatan relatif sebesar 1619,05 ind/m2 dan 100% didominasi oleh kelas Gastropoda, sedangkan nilai FK tertinggi berdasarkan gambar 10 pada spesies
Monodonta canalifera, Pugilina cochlidium dan Anadara cornea sebesar 83,33%.
Pada stasiun I nilai kepadatan terbesar dihuni oleh spesies Anadara cornea dari
kelas Bivalvia 171,43 ind/m2 dan nilai kepadatan relatif sebesar 10,59%
sedangkan kepadatan terendah dihuni oleh Nodilittorina pyramidalis dan Latirus
polygonus dari kelas gastropoda 19,05 ind/m2 dan nilai kepadatan relatif terendah
1,18%. Menurut Fajri (2013), Kelas Gastropoda memiliki kelimpahan relatif
tertinggi pada pantai berbatu, ini disebabkan oleh daya tahan tubuh dan adaptasi
cangkang yang keras lebih memungkinkan untuk bertahan hidup dibandingkan
kelas yang lain
Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat stasiun II memiliki nilai kepadatan dsn
kepadatan relatif sebesar 2076,19 ind/m2 dan 100% didominasi oleh kelas
Gastropoda, nilai FK tertinggi berdasarkan gambar 10 pada spesies Anadara
cornea dan Tapes literata sebesar 100%. Pada stasiun II nilai kepadatan terbesar
dihuni oleh Anadara cornea dari kelas bivalvia 304,76 ind/m2 dan nilai kepadatan relatif sebesar 14,68% sedangkan kepadatan terendah dihuni oleh Tonna dolium
dan Turritella terebra dari kelas gastropoda 19,05 ind/m2 dan nilai kepadatan
relatif terendah 0,92%. Menurut Situmorang (2015), Hewan ini memiliki adaptasi
khusus yang memungkinkan dapat bertahan hidup pada daerah yang memperoleh
memiliki adaptasi untuk bertahan terhadap arus dan gelombang, namun organism
ini tidak memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil),
sehingga menjadi organisme yang sangat mudah untuk ditangkap (dipanen).
Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat stasiun III memiliki nilai kepadatan dan
kepadatan relatif sebesar 2247,62 ind/m2 dan 100% didominasi oleh kelas
Gastropoda, sedangkan nilai FK tertinggi berdasarkan gambar 10 pada spesies
Gyrineum bituberculare, Anadara cornea dan Acrosterigma rugosa sebesar
83,33%. Pada stasiun III nilai kepadatan terbesar dihuni oleh spesies Murex trapa
dari kelas Gastropoda 266,67 ind/m2 dan nilai kepadatan relatif sebesar 11,86% sedangkan kepadatan terendah dihuni oleh Turrtella terebra dari kelas gastropoda
19,05 ind/m2 dan nilai kepadatan relatif terendah 0,85%.
Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat stasiun IV memiliki nilai kepadatan dan
kepadatan relatif sebesar 1485,71 ind/m2 dan 100% didominasi oleh kelas
Gastropoda, sedangkan nilai FK tertinggi berdasarkan gambar 10 pada spesies
Volema myristica, Anadara cornea dan Anadara maculosa sebesar 66,67%. Pada
stasiun IV nilai kepadatan terbesar dihuni oleh spesies Volema myristica dan
Anadara cornea dari kelas Gastropoda dan Bilvavia 190,48 ind/m2 dan nilai kepadatan relatif sebesar 12,82% sedangkan kepadatan terendah dihuni oleh
Natica vitellus, Telescopium telescopium dan Nassarius olivaceus dari kelas
gastropoda 19,05 ind/m2 dan nilai kepadatan relatif terendah 1,28%. Namun pada stasiun ini ada beberapa spesies yang tidak ditemukan keberadaanya yaitu Bursa
rana dan Nodilittorina pyramidalis, hal ini terjadi karena habitat tidak mendukung
spesies tersebut berkembangbiak atau bertahan hidup di stasiun IV. Menurut Lock
habitat yang mampu mensupli kehidupannya, jika pensuplai akan kebutuhan
hidupnya sedikit atau minim akan berakibat spsies tersebut tidak dapat hidup pada
daerah tersebut.
Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat stasiun V memiliki nilai kepadatan dan
kepadatan relatif sebesar 1180,95 ind/m2 dan 100% didominasi oleh kelas
Gastropoda, sedangkan nilai FK tertinggi berdasarkan gambar 10 pada spesies
Monodonta canalifera, dan Nodilittorina pyramidalis sebesar 66,67%. Pada
stasiun V nilai kepadatan terbesar dihuni oleh spesies Monodonta canalifera dari
kelas Gastropoda 152,38 ind/m2 dan nilai kepadatan relatif sebesar 12,90% sedangkan kepadatan terendah dihuni oleh Gyrineum bituberculare dan
Cerithidae cingulata dari kelas gastropoda 19,05 ind/m2 dan nilai kepadatan relatif terendah 1,61%.
Keanekaragaman Makrozoobentos
Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa setiap stasiun memiliki indeks
keanekaragaman sedang, karena penyebaran jumlah serta individu
makrozoobentos yang ditemukan pada masing-masing stasiun dominan sama.
Brower et al. (1990) menyatakan bahwa suatu komonitas dikatakan mempunyai
keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan
jumlah individu masing-masing spesies relatif merata. Apabila suatu komonitas
hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka
komonitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.
Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun I dengan nilai
sebesar 2,88, jumlah bentos yang didapat pada stasiun I tidak lebih banyak
masing-masing spesies yang cukup merata membuat stasiun I memiliki nilai indeks
keseragaman lebuh tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Menurut Barus (2004),
nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh faktor jumlah spesies,
jumlah individu dan penyebaran individu pada masing-masing spesies.
Nilai indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun IV dengan
nilai 2,70, nilai ini juga termasuk kedalam keanekaragaman sedang karena
Menurut Begon dkk., (1986), bahwa nilai keanekaragaman Shannon-Wienner
dihubungkan dengan tingkat pencemaran yaitu apabila: H’<1 :Keanekaragaman
rendah 1<H’<3 : Keanekaragaman sedang H’>3 : Keanekaragaman tinggi.
Berdasarka nilai keanekaragaman Shannon-Wienner dihubungkan dengan
tingkat pencemaran diketahui bahwa perairan estuari Suaka Margasatwa Karang
Gading Deli Serdang tergolong tercemar sedang. Salah satu faktor yang membuat
perairan estuari suaka margasatwa mejadi golongan tercemar sedang karena
rendahnya kadar oksigen terlarut pada perairan. Menurut Yunitawati dkk., (2012),
oksigen terlarut dalam perairan rendah, karena masuknya limbah organik yang
berasal dari limbah pemukiman penduduk sehingga oksigen terlarut banyak
digunakan oleh mikroba dalam proses oksidasi, biota yang terdapat dalam
perairan tersebut.
Indeks Keseragaman (E)
Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa indeks keseragaman (E) antara
stasiun tidak berbeda jauh dan menunjukan keseragaman populasi baik dan
merata, indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun I dan V sebesar 0,96.
Berdasarkan literatur Krebs (1985), E = 0, Keseragaman populasi semakin
Keseragaman antar spesies relatif merata atau jumlah individu masing- masing
spesies relatif sama. Selanjutnya Odum (1993) menyatakan bahwa keseragaman
menunjukasn komposisi individu dari setiap spesies dalam satu komonitas.
Nilai indeks keseragaman terendah terdapat pada stasiun II sebesar 0,92.
Nilai keseragaman terendah ini juga masih tergolong dalam katagori keseragaman
baik karena nilai E mendekati 1. Menurut Brower dkk., (1971) diacu dalam
Situmorang (2015) bila indeks keseragaman mendekati 1, maka hal ini
menunjukan bahwa ekosistem tersebut dalam kondisi yang relatif mantap/stabil
yaitu jumblah individu tiap spesies relatif sama.
Rekomendasi Pengelolaan Perairan Estuari Suaka Margasatwa Karang Gading Deli Serdang
Berdasarkan hasil data penelitian diketahui perairan estuari suaka
margasatwa karang gading tergolong tercemar sedang hal ini perlu diperhatikan
lagi agar kedepannya tidak menjadi bertambah buruk. Kegiatan berlebihan
disekitar perairan seperti aktifitas penangkapan juga dapat menurunkan kualitas
perairan, maka perlu dilakukannya penghimbauan kepada pada para nelayan agar
setiap melakukan penangkapan lebih menjaga lingkungan perairan dan tidak
melakukan pencemaran.
Dari hasil penelitian, analisis yang dapat direkomendasikan untuk
menentukan kualitas suatu perairan yaitu metode indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener. Metode ini, menggunakan pendekatan makrozoobentos sebagai
petunjuk penentuan kualitas air. Bentos merupakan organisme yang kehidupanya
berada di dasar perairan dan pergerakanya terbatas sehingga akan lebih lama
terpapar oleh faktor fisika maupun kimia yang terjadi setiap saat di dalam
Masyarakat berperan penting dalam menjaga perairan estuari karena
dilihat dari segi keuntungan maupun kerugian jika terjadi pencemaran maka yang
mengalami kerugian secara nyata adalah nelayan yang hidup di sekitar kawasan
estuari tersebut. Namum pemerintah juga berperan aktif dalam pemberian arahan
maupun aturan secara tegas kepada para nelayan untuk menjaga kesetabilan
kualitas perairan estuari suaka margasatwa. Rekomendasi pengelolaan yang dapat
dilakukan guna mencegah terjadinya pencemaran di Sungai Perairan Estuari
Suaka Margasatwa Karang Gading Deli Serdang adalah :
1. Adanya koordinasi dan sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat sehingga
meningkatkan kesadaran masyarakat yang berkaitan dengan pengendalian
pencemaran air.
2. Menentukan lokasi-lokasi kritis yang terkena dampak karena berlangsungnya
aktivitas di sungai sehingga pengawasan dapat dilakukan lebih efektif dan
efisien.
3. Pemantauan kualitas air secara berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh
pemerintah untuk menganalisis kondisi sebelum dan sesudah terjadi perubahan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Komposisi makrozoobentos yang ditemukan di Perairan Estuari Suaka
Margasatwa Karang Gading terdiri atas 17 famili pada lokasi penelitian yaitu
kelas gastropoda yang terdiri dari 3 ordo, 14 famili dan 16 spesies, sedangkan
kelass bivalvia terdiri dari 1 ordo, 3 famili dan 4 spesies dengan Kepadatan
jenis (K) tertinggi yaitu 2247,62 ind/m2 pada stasiun III dan dengan
Kepadatan jenis terendah yaitu 1180,95 ind/m2 pada stasiun V.
2. Keanekaragaman (H’) pada stasiun I hingga V termasuk dalam kategori
keanekaragaman sedang, indeks keseragaman (E) pada stasiun I hingga V
cenderung merata karena nilai E mendekati 1.
3. Berdasarkan Indeks shannon-wiener kategori kualitas perairan estuari suaka
margasatwa karang gading tercemar sedang, karena kandungan oksigen
terlarut berdasarkan PP No.82 tahun 2001 tergolong dalam kelas II dan kelas
III.
Saran
1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai struktur komonitas plankton
dengan keterkaitan beban pencemaran yang masuk dalam estuari.
2. Perlu adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap penggunaan sumberdaya
estuari karena lingkungan perairan ini termasuk dalam kawasan suaka
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Estuari
Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,
karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda
(tawar dan laut) yang mem-berikan karakteristik khusus pada habitat yang
terbentuk. Estuari merupakan ekosistem yang khas dan kompleks dengan
keberadaan berbagai tipe habitat. Heterogenitas habitat menyebabkan area ini
kaya sumber daya perairan dengan kom-ponen terbesarnya adalah fauna ikan
(Zahid dkk., 2011)
Secara umum, perairan estuaria mempunyai peran penting ekologis dan
peran penting ekonomi. Peran penting ekologis antara lain, sumber zat hara dari
bahan organik yang diangkut oleh sirkulasi pasang surut, penyedia habitat bagi
sejumlah spesies hewan baik sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan tempat
mencari makan atau pembesaran dan lebih dikenal sebagai daerah asuhan. Bila
peran penting ekologis tersebut dapat dipertahankan maka selanjutnya perairan
estuari berperan sebagai penentu atau penyangga stok sumber daya ikan perairan
sekitarnya (Tiwow, 2003 diacu oleh Rupawan 2011).
Keberadaan estuari tersebut akan menyebabkan terjadinya upwelling
sehingga meningkatkan adanya nutrisi di perairan. Hal tersebut akan
menyebabkan ketersediaan pakan makrozoobentos sangat besar. Dengan
ketersediaan makanan tersebut makrozoobentos akan mendapatkan makanan
Organisme Makrozoobenthos
Makroozoobenthos dikawasan estuari belumpur yang tidak tercemar pada
umumnya melimpah karena benthos sendiri suka tinggal didarah berlumpur
dimana selain memiliki kandungan organik yang tinggi lumpur juga melindungi
benthos dari serangan organisme lain.
Organisme benthos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat
pada dasar perairan dan hidup di dasar endapan (substrat) perairan. Benthos yang
tinggal atau hidup di dalam sedimen dasar perairan disebut infauna sedangkan
yang hidup pada permukaan sedimen dasar perairan disebut epibenthik
(Odum 1993,).
Benthos meliputi organisme nabati (fitobenthos) dan organisme hewani
(zoobenthos). Pada lingkungan yang dinamis seperti sungai hewan benthos
(zoobenthos) dapat memberikan gambaran mengenai kualitas perairan, karena
benthos hidup relatif menetap dan mengalami kontak langsung dengan limbah
yang masuk ke habitatnya. Kelompok hewan ini dapat memberikan gambaran
mengenai perubahan faktor - faktor lingkungan dari waktu ke waktu. Diantara
hewan benthos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap lingkungan
perairan adalah jenis - jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro.
Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobenthos (Anzani, 2012).
Makrozoobenthos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap
perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan
memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran
toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit. Makrozoobenthos
semakin tinggi. Tingkat pencemaran terhadap perairan dapat dilihat dengan
identifikasi makrozoobenthos yang terdapat di wilayah tersebut
(Syamsurisal, 2011).
Perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidup
makrozoobentos sangat mempengaruhi komposisi maupun kepadatannya yang
bergantung pada toleransi atau sensitivitas terhadap perubahan lingkungan. Setiap
komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara
penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil,
komposisi dan kepadatan makrozoobentos relatif tetap (Rahman, 2009).
Umumnya makrozoobenthos relatif tidak aktif, dengan ciri khusus seperti:
tubuhnya dilindungi cangkang, memiliki bagian tubuh yang dapat dijulurkan,
berkembangnya bagian tubuh tambahan seperti rambut, bulu-bulu keras serta
tersusun atas otot-otot yang memudahkan pergerakannya di atas maupun di dalam
sedimen (Marpaung, 2013).
Dalam siklus hidupnya, beberapa makrozoobenthos hanya hidup sebagai
benthos dalam separuh saja dari fase hidupnya, misalnya pada stadia muda saja
atau sebaliknya. Pada umumnya cacing dan bivalvia hidup sebagai benthos pada
stadia dewasa, sedangkan ikan demersal hidup sebagai benthos pada stadia larva
(Nybakken, 1992).
Bentos yang dominan hidup di substrat berlumpur tergolong dalam
Suspention Feeder (penyaring suspensi sebagai sumber makanan). Di antara yang
umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalvia, Crustacea,
indeks keanekaragaman yang rendah serta lamun yang berperan meningkatkan
kehadiran bentos (Nybakken, 1988 diacu oleh Rahman, 2009).
Makrozoobenthos berperan penting dalam proses mineralisasi dan
pendaur-ulangan bahan organik maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi
organisme konsumen yang lebih tinggi. Selain itu benthos berfungsi juga menjaga
stabilitas dan geofisika sedimen (Thomson, 2004 diacu oleh Setiawan, 2009).
Parameter Lingkungan Makrozoobenthos
Benthos sering digunakan untuk menduga ketidakseimbangan lingkungan
fisik, kimia dan biologi suatu perairan. Perairan yang tercemar akan
mempengaruhi kelangsungan hidup organisme perairan, diantaranya adalah
makrozoobenthos, karena makrozoobenthos merupakan organisme air yang
mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemar kimia
maupun fisik (Odum, 1994 diacu oleh Siregar, 2009), selanjutnya dijelaskan
bahwa benthos dapat dijadikan sebagai indikator biologis, berdasarkan pada:
a. Mobilitas terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan sampel.
b. Ukuran tubuh relatif lebih besar sehingga memudahkan untuk identifikasi.
c. Hidup di dasar perairan, relatif diam sehingga secara terus menerus terdedah
(exposed) oleh air sekitarnya.
d. Pendedahan yang terus menerus mengakibatkan makrozoobenthos dipengaruhi
oleh keadaan lingkungan.
e. Perubahan lingkungan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobenthos
Beberapa parameter lingkungan makrozoobenthos yang perlu diperhatikan
1. Suhu
Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola
kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan
mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme
perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat
(Nybakken, 1988).
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Makin tinggi kenaikan suhu air, maka makin sedikit oksigen
yang terkandung di dalamnya. Suhu yang berbahaya bagi makrozoobenthos
adalah yang lebih kurang dari 350 C (Retnowati, 2003 diacu oleh
Marpaung, 2013).
2. Kecerahan
Kecerahan perairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang tersuspensi
didalamnya, semakin kurang partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan
semakin tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi cahaya semakin rendah,
karena meningkatnya kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan untuk proses
fotosintesis oleh tumbuhan air berkurang. Oleh karena itu, secara tidak langsung
kedalaman akan mempengaruhi pertumbuhan fauna benthos yang hidup
didalamnya. Disamping itu kedalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan
oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1988).
Interaksi antara faktor kekeruhan perairan dengan kedalaman perairan
akan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan, sehingga
berpengaruh langsung pada kecerahan, selanjutnya akan mempengaruhi
3. Salinitas
Menurut Nybakken (1988) diacu oleh Rahman (2009), salinitas
mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan organisme, misalnya dalam
distribusi biota akuatik. Salinitas merupakan salah satu besaran yang berperan
dalam lingkungan ekologi laut. Salinitas di daerah estuaria berkisar antara 7 – 32
‰ yang bervariasi akibat adanya air tawar yang masuk ke perairan yang akan
mempengaruhi pola adaptasi dan kepadatan bentos. Selanjutnya Nybakken (1992)
diacu oleh Marpaung, (2013), menjelaskan bahwa fluktuasi salinitas di daerah
intertidal dapat disebabkan oleh dua hal, pertama akibat hujan lebat sehingga
salinitas akan sangat turun dan kedua akibat penguapan yang sangat tinggi pada
siang hari sehingga salinitas akan sangat tinggi. Organisme yang hidup di daerah
intertidal biasanya telah beradaptasi untuk menoleri perubahan
salinitas hingga 15‰.
Menurut Mudjiman (1981 diacu oleh Marpaung, 2013), kisaran salinitas
yang dianggap layak bagi kehidupan makrozoobentos berkisar 15-45‰, karena
pada perairan yang bersalinitas rendah maupun tinggi dapat ditemukan
makrozoobentos seperti siput, cacing (Annelida) dan kerang-kerangan.
4. Arus
Kekuatan arus dapat mengikis sedimen sungai bahkan menghanyutkan
hewan - hewan dasar dan juga adaptasi yang mempengaruhi kemampuan bergerak
komunitas biotanya. Arus sering menyebabkan berbagai jenis hewan dasar
perairan yang terdapat pada batu dan di antara batu - batu sungai hanyut terbawa
arus. Organisme yang hidupnya menetap pada substrat sangat membutuhkan arus
langsung terhadap pembentukan substrat dasar perairan dan berpengaruh tidak
langsung terhadap pembentukan komposisi benthos (Hawkes, 1979 diacu oleh
Anzani, 2012).
Pergerakan ombak merupakan faktor yang terpenting di daerah estuaria.
Periode pergerakan laut dan gelombang badai yang lama, berpengaruh terhadap
dasar perairan yang dangkal. Pada dasar perairan yang lunak, jalur ombak ini
dapat menimbulkan gerakan bergelombang besar di dasar, yang sangat
mempengaruhi stabilitas substrat. Partikel substrat dapat teraduk dan tersuspensi
kembali. Hal ini sangat mempengaruhi hewan infauna yang hidup di dalam
substrat. Pergerakan ombak juga menentukan tipe partikel yang terkandung.
Pergerakan ombak yang kuat memindahkan partikel halus sebagai suspensi dan
menyisakan pasir. Sehingga sedimen lumpur yang baik hanya dapat terbentuk
pada dasar yang pergerakan ombaknya rendah atau letaknya lebih dalam sehingga
tidak terlalu dipengaruhi oleh ombak (Nybakken, 1988 diacu oleh Rahman, 2009).
5. Derajat Keasaman (pH)
Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH. pH
yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik termasuk makrozoobenthos pada
umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat asam
ataupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena
akan menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi. pH yang sangat rendah
akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik
semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme
akuatik, dan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium
meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi
organisme termasuk makrozoobenthos (Barus, 2004).
Makrozoobenthos mempunyai kenyamanan kisaran pH yang berbeda -
beda. Sebagai contoh, Gastropoda lebih banyak ditemukan pada perairan dengan
pH di atas 7, sedangkan kelompok insekta banyak ditemukan pada kisaran pH 4,5
- 8,5 (Anzani, 2012). Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan
ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh pH terhadap komunitasbiologi perairan
Nilai pH Pengaruh Umum
6,0 – 6,5 Keanekaragaman benthos sedikit menurun.
Kelimpahan total, biomassa, dan produktifitas tidak mengalami perubahan.
5,5 – 6,0 Penurunan nilai keanekaragaman benthos semakin tampak.
Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti.
5,0 – 5,5 Penurunan keanekaragaman dan komposi jenis benthos semakin besar.
Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos
4,5 – 5,0 Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis benthos semakin besar.
Penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos. Sumber: Effendi, 2003 diacu oleh Marpaung, 2013
6. Substrat
Jenis substrat berkaitan dengan kandungan oksigen dan ketersediaan
nutrien dalam sedimen. Pada substrat berpasir, kandungan oksigen relatif lebih
besar dibandingkan dengan substrat yang halus, karena pada substrat berpasir
terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih
intensif dengan air di atasnya. Namun demikian, nutrien tidak banyak terdapat
dalam substrat berpasir. Sebaliknya pada substrat yang halus, oksigen tidak begitu
banyak tetapi biasanya nutrien tersedia dalam jumlah yang cukup besar (Bengen,
7. Kelarutan Oksigen (DO)
Oksigen terlarut merupakan suatu factor yang sangat penting dalam
ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian
besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas.
Dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang mempunyai konsentrasi
sebanyak 20% volum, air hanya mampu menyrap oksigen sebanyak 20% volum
saja (Barus, 2004).
Secara ekologis, konsentrasi oksigen terlarut juga menurun dengan adanya
penambahan bahan organik, karena bahan organik tersebut akan diuraikan oleh
mikroorganisme yang mengkonsumsi oksigen yang tersedia. Pada tingkatan jenis,
masing-masing biota mempunyai respon yang berbeda terhadap penurunan
oksigen terlarut (Connel dan Miller, 1995 diacu oleh Taqwa, 2010).
Kisaran toleransi zoobentos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda.
Menurut Sastrawijaya (1991) diacu oleh Siregar (2009), kehidupan zoobenthos
dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg/l, selebihnya
tergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar,
temperatur air dan sebagainya.
8. Biological Oxygen Demand (BOD5)
Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan
senyawa organik yang terdapat didalam limbah rumah tangga secara sempurna,
mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa
waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran ini,
sementara dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan
lebih 70 %, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5
hari (BOD5) (Simamora, 2009).
Semakin tinggi nilai BOD menunjukkan semakin tingginya aktivitas
organisme untuk menguraikan bahan organik atau dapat dikatakan semakin besar
kandungan bahan organik di suatu perairan tersebut. Oleh karena itu, tingginya
kadar BOD dapat mengurangi jumlah oksigen terlarut dalam air menurun.
Apabila oksigen terlarut sudah habis maka bakteri aerobik dapat mati sehingga
akan timbul aktivitas bakteri anaerob yang dapat menyebabkan bau yang tidak
enak misalnya bau busuk (Sukmadewa, 2004).
Nilai konsentrasi BOD5 pada suatu badan perairan dapat mempengaruhi
kehidupan biota air diantaranya zoobenthos. Batas toleransi hewan benthos
terhadap BOD5 tergantung spesiesnya. Umumnya nilai konsentrasi BOD5 di atas
10 mg/l - 20 mg/l O2 dapat menekan pertumbuhan populasi hewan benthos
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Estuari merupakan perairan yang memiliki karakteristik subtrat lumpur
dan didominasi oleh vegetasi mangrove, keadaan ini menyebabkan estuari
memiliki produktivitas yang tinggi sehingga dapat mendukung banyak kehidupan
biota air payau. Oleh karena itu perairan estuari berperan sebagai kawasan
spawning ground (kawasan memijah), nursery ground (kawasan pembesaran) dan
feeding ground tempat mencari makan terutama bagi ikan maupun udang.
Kawasan estuari banyak yang dialih fungsikan menjadi lahan perkebunan
maupun lahan pertambakan, jika pengalihan fungsi ini dilakukan secara
berlebihan maka dapat mengakibatkan degradasi habitat. Aktifitas masyarakat
dan nelayan yang tinggal disekitar estuari juga menghasilkan limbah organik dan
anorganik yang dapat menyebabkan menurunya kualitas perairan estuari, sehingga
berpengaruh terhadap keberadaan substrat perairannya, termasuk makrozobentos.
Makrozoobenthos merupakan organisme yang hidup menempel di dasar
perairan maupun di permukaan dasar perairan. Makrozoobenthos perairan estuari
kebanyakan hidup pada substrat keras sampai lumpur.
Menurunnya kualitas perairan dapat diketahui dengan beberapa cara salah
satunya yaitu dengan melihat keberadaan makrozoobentos di substratnya. Sejauh
ini belum ada kajian mengenai keanekaragaman makrozoobentos di perairan
estuari Suaka Margasatwa Karang Gading Kabupaten Deli Serdang. Hal inilah
yang mengindikasikan perlunya dilakukan pengamatan keanekaragaman
Gading Kabupaten Deli Serdang. Menurut Anzani (2012), penurunan kualitas
perairan dapat menyebabkan terjadinya perubahan komposisi organisme yang
menghuni suatu perairan tersebut. Komunitas organisme yang dapat digunakan
sebagai pendekatan dalam menduga kualitas perairan tempat organisme itu berada
umumnya ialah makrozoobenthos. Hal ini dikarenakan hewan ini hidupnya
bersifat relatif menetap, pergerakan yang rendah, serta kemampuannya untuk
mengakumulasi bahan pencemar di dalam tubuhnya. Pendekatan kualitas perairan
sungai dengan melihat struktur organisme dalam hal ini makrozoobenthos yang
ada di sungai dikenal sebagai pendekatan secara biologi.
Rumusan Masalah
Adanya pengalihan fungsi lahan serta kegiatan budidaya tambak secara
berlebihan dikawasan estuari suaka margasatwa karang gading kabupaten Deli
Serdang dapat menimbulkan dampak negatif diperairan itu sendiri, sehingga perlu
dilakukan pengamatan kualitas perairan secara berkala. Salah satu cara untuk
mengetahui kualitas perairan yaitu dengan mengetahui keanekaragaman
makrozoobentosnya.
1. Bagaimana Tingkat Keanekaragaman Makrozoobenthos di perairan estuari
Suaka Margasatwa kabupaten Deli Serdang?
2. Bagaimana kualitas perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading
Kerangka Pemikiran
Kegiatan penduduk dan nelayan disekitar perairan estuari suaka
margasatwa karang gading kabupaten deli serdang tergolong banyak mulai dari
kegiatan sehari-hari (mandi, mencuci, masak), perkebunan kelapa sawit, budidaya,
hingga penangkapan.
Adanya aktifitas penduduk dan nelayan inilah yang dapat mengakibatkan
kualitas di sekitar perairan Estuari karang gading ini dapat menurun karena
lingkungan tidak dapat mentolerir ataupun memperbaiki kondisinya. Dalam hal
ini, untuk mengetahuai tingkat kualitas perairan dibutuhkan data beberapa
parameter fisika, kimia maupun biologi, salah satunya data dari parameter biologi
adalah dengan cara mengetahui indeks keanekaragaman makrozoobenthos
diperairan estuari suaka marga satwa karang gading. Warwick (1993) diacu oleh
Indarmawan dan manan (2011) mengemukakan bahwa penelitian biota air, baik
berupa makrobentos, meiobentos, ikan, plankton, epifauna dan motil-fauna dapat
digunakan untuk mengetahui adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan
3.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman Makrozoobenthos pada Perairan
Estuari Suaka Marga Margasatwa Gading Kabupaten Deli Serdang.
2. Untuk mengetahui kualitas Perairan Estuari Suaka Margasatwa Karang
Gading Kabupaten Deli Serdang.
Manfaat Penelitian
Memberikan informasi ilmiah mengenai Keanekaragaman
Makrozoobentos Sebagai Bioindikator di Perairan Estuari Suaka Margasatwa
Karang Gading Kabupaten Deli Serdang. Perairan Estuari
Rekomendasi Pengelolaan Perairan Estuari Bioindikator Pencemaran
Estuari Tambak Alam Kegiatan
Penangkapan
Aktifitas Masyarakat