• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Tindakan Pencegahan Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak pada Mahasiswa FK USU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Tindakan Pencegahan Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak pada Mahasiswa FK USU"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Handayani

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 18 Agustus 1993

Warga Negara : Indonesia

Status : Belum Menikah

Status dalam keluarga : Anak pertama dari tiga bersaudara

Agama : Buddha

Alamat asal : Jalan Pandu no. 2c

Alamat di Medan : Jalan Pandu no. 2c

Mobile phone : 0822 7687 9731

E-mail

Golongan darah : O

Motto : Tetap semangat

Riwayat Pendidikan :

No Nama Sekolah Tahun

1. TK Methodist-3 1998 s.d 1999

2. SD Methodist-3 1999 s.d 2005

3. SMP Methodist-3 2005 s.d 2008

4. SMA Sutomo-1 2008 s.d 2011

5. Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

(2)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PENJELASAN

Dengan hormat,

Saya, Handayani, mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan dokter di

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, sedang mengadakan penelitian

dengan judul “Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Tindakan Pencegahan Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara”.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan

antara tingkat pengetahuan dengan tindakan pencegahan blephatoptosis akibat

pemakaian lensa kontak. Oleh karena itu, saya mengharapkan kesediaan Saudara/i

untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan

dalam kuesioner. Penelitian in bersifat sukarela dan tidak akan memberikan

dampak yang membahayakan. Semua informasi yang Saudara/i berikan akan

dirahasiakan dan hanya digunakan dalam penelitian ini. Saya juga sangat

mengharapkan kesediaan Saudara/i mengisi kuesioner ini dengan jujur dan tanpa

tekanan.

Apabila di kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan

dengan keikutsertaan Saudara/i dalam penelitian ini maka Saudara/i dapat

menghubungi saya, Handayani (087880430492). Demikian informasi ini saya

sampaikan. Atas bantuan, partisipasi, dan kesediaan waktu Saudara/i saya

ucapkan terima kasih.

Medan, 2014

Peneliti,

(3)

LAMPIRAN 3

Judul Penelitian : Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Tindakan Pencegahan Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Nama Peneliti Utama : Handayani

Jenis Penelitian : Analitik dengan desain cross sectional

Jangka Waktu Penelitian : September 2014

Dengan ini saya menyatakan bersedia mengikuti penelitian tersebut secara

sukarela sebagai subjek penelitian.

Medan, ………..2014

Peneliti Yang membuat pernyataan

(Handayani) (

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN MENGIKUTI PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini,

Nama :

Usia :

Alamat :

Setelah membaca dan mendapat penjelasan serta saya memahami sepenuhnya

tentang penelitian,

_____________________ )

(4)

LAMPIRAN 4

KUESIONER PENELITIAN A. Karakteristik Responden

1. Nama Responden :

2. Stambuk :

3. Kelas :

B. Pertanyaan Pengetahuan

Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan cara disilang atau dilingkari pada jawaban yang menurut kamu benar.

I. Soal Pilihan Ganda

1. Apakah yang dimaksud dengan blepharoptosis (ptosis) ? a. Disebabkan oleh kelainan refraksi mata

b. Keadaan dimana kelopak mata atas (palpebra superior) turun di bawah posisi normal saat membuka mata c. Keadaan bola mata yang cekung ke dalam

2. Menurut Anda, manakah faktor resiko penting pada terjadinya

blepharoptosis?

a. Usia

b. Riwayat trauma, inflamasi kronis c. Ras, jenis kelamin

3. Apakah gejala dari blepharoptosis?

a. Amblyopia (mata malas) dan strabismus (mata juling) b. Bola mata tertarik ke dalam

c. Cenderung menaikkan alis ketika melihat pada posisi normal

4. Manakah berikut ini yang berisiko menderita blepharoptosis? a. Pengguna lensa kontak

b. Pekerja yang sering terpapar polusi c. Pemakai kacamata

5. Jika blepharoptosis tak diobati, maka akan menyebabkan a. Pembengkakan pada mata

b. Kehilangan penglihatan c. Sakit parah pada mata

6. Pengobatan definitif blepharoptosis adalah a. Tetes mata

b. Tindakan operatif konstruksional c. Tidak ada pengobatan

7. Pengobatan blepharoptosis bertujuan untuk a. Menghentikan sakit kepala

b. Mencegah hilangnya penglihatan c. Kecantikan (kosmesis) mata

8. Blepharoptosis memiliki prognosis

(5)

b. Tidak bisa sembuh meskipun telah didiagnosa secepatnya dan dilakukan tindakan operatif yang benar

c. Buruk dan mengancam jiwa

9. Manakah dari profesional perawatan mata berikut ini yang paling dapat mendiagnosa dan mengobati blepharoptosis?

a. Ahli kacamata b. Dokter mata c. Ahli optik

10.Blepharoptosis disebabkan oleh

a. Kelemahan otot kelopak mata atas b. Kelainan refraksi

c. Berkurangnya reseptor asetilkolin karena proses autoimun

II. Ya/Tidak

1. Apakah pemakaian lensa kontak yang tidak benar merupakan faktor resiko terjadinya blepharoptosis?

a. Ya b. Tidak

2. Bila ya, lensa kontak apa? (Hard Contact Lens / Soft Contact Lens / kedua-duanya?)

Jb.

3. Berdasarkan etiologinya, blepharoptosis terdiri dari blepharoptosis kongenitaldan blepharoptosis didapat (Acquired blepharoptosis)

a. Ya b. Tidak

4. Pada blepharoptosis didapat ( acquired blepharoptosis),

blepharoptosis terdiri dari empat jenis, yaitu : neurogenik,

miogenik, mekanikal, dan aponeurotik a. Ya

b. Tidak

5. Blepharoptosis didapat (acquired blepharoptosis) kebanyakan

disebabkan oleh jenis blepharoptosis aponeurotik. Hal ini terjadi melalui disinsersi dan penurunan levator aponeurosis

a. Ya b. Tidak

6. Apakah komplikasi yang diakibatkan blepharoptosis itu menetap? a. Ya

b. Tidak

7. Lensa kontak mengakibatkan blepharoptosis karena ketika pelepasan lensa kontak terjadi traksi rekuren pada aponeurosis.

a. Ya b. Tidak

8. Penggunaan lensa kontak lunak (Soft Contact Lens) juga dapat menyebabkan blepharoptosis.

(6)

9. Blepharoptosis dapat diakibatkan dari inflamasi kronis pada mata. a. Ya

b. Tidak

10.Blepharoptosis dapat diakibatkan dari trauma pada kelopak mata

atas. a. Ya b. Tidak

11.Salah satu gejala klinis pasien blepharoptosis adalah kecenderungan untuk mengangkat dagu ketika melihat.

a. Ya b. Tidak

12.Blepharoptosis dapat diturunkan

a. Ya b. Tidak

13.Blepharoptosis dapat menular

a. Ya b. Tidak

C. Pertanyaan Tindakan

1. Mengapa Anda menggunakan lensa kontak? a.Supaya penglihatan jelas

b.Supaya mata lebih cantik dan cerah c.Supaya terlihat gaul dan percaya diri

2. Berikut merupakan cara pemakaian lensa kontak yang baik : a.Selalu melakukan senam mata sebelum memasang lensa

kontak

b.Selalu mencuci tangan sebelum menyentuh lensa kontak c.Selalu membuka kelopak mata selebar-lebarnya ketika

memasang lensa kontak

3. Berapa lama sekalikah Anda mencuci lensa kontak Anda? a.Setiap kali setelah pemakaian

b.Seminggu sekali c.Tiga hari sekali

4. Cairan apakah yang Anda pakai untuk mencuci lensa kontak? a.Air keran

b.Air distilasi

c.Cairan saline (Multipurpose solution)

5. Berapa kalikah Anda menggunakan cairan lensa kontak yang telah dipakai?

a.Lima kali b.Tiga kali

c.Satu kali (tidak pernah menggunakannya untuk kedua kali) 6. Kapan Anda menggunakan lensa kontak?

a.Saat olahraga, termasuk berenang b.Saat membaca

(7)

7. Kapan Anda akan meneteskan obat tetes mata pada mata?

a.Minimal satu kali setelah 12 jam penggunaan lensa kontak b.Setelah melepaskan lensa kontak

c.Saat melepaskan lensa kontak

8. Apa yang Anda lakukan jika mata terasa tidak nyaman atau memerah ketika pemakaian lensa kontak?

a.Tetap memakainya saja

b.Segera melepaskan lensa kontak c.Meminum obat

9. Apakah Anda memeriksa mata Anda secara teratur ? a.Ya

b.Tidak

10.Bila ya, berapa lama sekalikah Anda memeriksanya ? Jb.

11.Apakah Anda sering-sering meneteskan larutan tetes mata saat pemakaian lensa kontak, apalagi bila mata terasa kering?

a.Ya b.Tidak

12.Apakah Anda mengganti tempat lensa kontak secara teratur? a.Ya

b.Tidak

(8)

LAMPIRAN 5

VALIDITAS DAN REALIBILITAS

Variable Nomor Pertanyaan

Total Pearson Correlation

Status Nilai alpha

Status

Pengetahuan 1a 0,565 Valid 0,829 Reliable

2a 0,547 Valid Reliable

3a 0,535 Valid Reliable

4a 0,711 Valid Reliable

5a 0,509 Valid Reliable

6 0,552 Valid Reliable

7a 0,785 Valid Reliable

8a 0,804 Valid Reliable

9a - Tidak valid Reliable

10a 0,456 Valid Reliable

1b 0,473 Valid Reliable

2b 0,536 Valid Reliable

3b 0,233 Tidak valid Reliable

4b 0,130 Tidak valid Reliable

5b 0,275 Tidak valid Reliable

6b 0,399 Tidak valid Reliable

7b 0,509 Valid Reliable

8b 0,430 Tidak valid Reliable

9b 0,347 Tidak valid Reliable

10b 0,680 Valid Reliable

11b 0,007 Tidak valid Reliable

12b 0,216 Tidak valid Reliable

(9)

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 20 100.0

Excludeda 0 .0

Total 20 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.829 37

Variable Nomor Pertanyaan

Total Pearson Correlation

Status Nilai alpha

Status

Tindakan 1c 0,474 Valid 0,829 Reliable

2c 0,467 Valid Reliable

3c 0,455 Valid Reliable

4c 0,479 Valid Reliable

5c 0,459 Valid Reliable

6c 0,530 Valid Reliable

7c 0,459 Valid Reliable

8c 0,492 Valid Reliable

9c 0,473 Valid Reliable

10c 0,498 Valid Reliable

11c 0,230 Tidak valid Reliable

12c 0,638 Valid Reliable

(10)

No Nama Score SP Kel.

ST

Kel. Pengetahuan Tindakan

(11)
(12)
(13)
(14)

Distribusi Frekuensi Pengetahuan mahasiswa FK USU tentang Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Baik 48 57.1 57.1 57.1

rendah 5 6.0 6.0 63.1

sedang 31 36.9 36.9 100.0

Total 84 100.0 100.0

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid laki-laki 13 15.5 15.5 15.5

perempuan 71 84.5 84.5 100.0

Total 84 100.0 100.0

Distribusi Frekuensi Tahun Angkatan responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 2012 29 34.5 34.5 34.5

2013 29 34.5 34.5 69.0

2014 26 31.0 31.0 100.0

(15)

Distribusi Frekuensi Pengetahuan Mahasiswa FK USU tentang CLIP berdasarkan Tahun Angkatan

SPkel

Total baik buruk sedang

Angkatan 2012 18 2 9 29

2013 17 1 11 29

2014 13 2 11 26

Total 48 5 31 84

Distribusi Frekuensi Tingkat Tindakan Pencegahan Mahasiswa FK USU tentang CLIP berdasarkan Tahun Angkatan

STkel

Total baik buruk sedang

Angkatan 2012 0 8 3 18 29

2013 0 9 3 17 29

2014 6 9 0 11 26

Total 6 26 6 46 84

Distribusi Frekuensi Tindakan Pencegahan mahasiswa FK USU tentang Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Baik 28 33.3 33.3 33.3

kurang 6 7.1 7.1 40.5

sedang 50 59.5 59.5 100.0

(16)

Distribusi Frekuensi Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan Pencegahan mahasiswa FK USU angkatan 2012, 2013, dan 2014 tentang Blepharoptosis akibat pemakaian lensa kontak

Stkel

Total

Baik kurang Sedang

SPkel Baik 19 4 25 48

Rendah 0 0 5 5

Sedang 9 2 20 31

Total 28 6 50 84

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 4.827a 4 .306

Likelihood Ratio 6.603 4 .158

N of Valid Cases 84

(17)

LAMPIRAN 7

(18)

LAMPIRAN 8

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D.M., 2007. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. 31th ed.

Philadelphia: Saunders.

Bosch & Lemij, 2012. Eyelid Ptosis. In: Efron, N. Contact Lens

Complications 3rd ed. China : Elsevier.

Brincatt, B & Willshaw, H, 2009. Paediatric blepharoptosis : a 10-year review.

Paediatric Blepharoptosis, 1554-1559.

Cohen, A.J et all, 2013. Adult Ptosis. Available from :

emedicine.medscape.com/article/1212082-Overview[Accessed 20 May

2014].

Goldberg, R.A. 2012. Upper eyelid blepharoplasty. In: Spaeth, G.L. et all.

Ophthalmic Surgery Principles and Practice 4th ed, Elsevier.

Groos, E.B, 2006. Complications of Contact Lenses. In: Duane’s

Ophthalmology on CD-ROM, 2006 Edition. USA : Williams & Wilkins.

Hadiwijaya, T.H. 2013.Perilaku Pemakaian Lensa Kontak pada Mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun Angkatan 2010,

2011, dan 2012.

Hashemi, H, 2010. The Prevalance of Eyelid Ptosis in Tehran Population : The

Tehran Eye Study. Iranian Journal of Ophthalmology, 3-6.

Kalaiyarasan. 2004. Contact lens fitting. AECS Illumination 2(4): 20-24.

Kiat, L.M. 2012. Tingkat Pengetahuan tentang Lensa Kontak pada Mahasiswa

Stambuk 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Klinik Mata Nusantara, 2008. Lensa Kontak. Division of ANJ HealthCare.

Liesegang T.J. 1997. Contact lens-related microbial keratitis: Part I:

epidemiology. Cornea 16(2): 125-131.

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka

Cipta.

Notoatmodjo, S. 2007. Pendidikan dan Perilaku kesehatan cetakan 2. Jakarta :

(20)

Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta :

Rineka Cipta.

Putterman, E.G. 1981. Acquired Blepharoptosis Secondary to Contact-Lens

Wear.Am J. Ophthlmol, 634-639.

Riordan, P.E., & Whitcher, J. P. (2007). Vaugan and Asbury’s General

Opthalmology. 145-146 (Chapter 6).

Sastroasmoro, S. 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta :

Sagung Seto

Shin, S. K. 2008. Results of Long-Term Follow-Up Observation of

Blepharoptosis Correction Using the Palmaris Longus Tendon. Aesth

Plast Surg, 614-619.

Skarf, Barry, 2008. Normal and Abnormal Eyelid Function. In: Miller, Neil et

all, ed. Walsh and Hoyt’s Clinical Neuro-Ophthalmoloy 6thed. USA :

Williams & Wilkins, 1177-1182.

Somanathan, S., 2009. Prevalance of Contact Lenses User and Associated

Complications In Relation to Misuse among Medical Students of Batch

2006 till 2008, Medical Faculty of University of Sumatra Utara.

Sudhakar, Padmaja, 2009. Upper Eyelid Ptosis Revisited. American Journal of

Clinical Medicine, 5-14

Swanson, M.W. 2012. A Cross-Sectional Analysis of U.S. Contact Lens User

Demographics. Optometry and Vision Science. US : 839-848.

Virgana, R. 2008. Penanganan Pasien dengan Ptosis Kongenital Ringan

dengan Teknik Pemendekan Aponeurosis Levator Palpebare.Bandung :

614-619.

Wahyuni, A.S., 2007. Metode Penarikan Sampel dan Besar Sampel. In:

Wahyuni, A.S.,ed. Statistika Kedokteran. Jakarta : Bamboedea

Communication, 108-112.

Watanabe, A et all, 2006. Histopathology of Blepharoptosis Induced by

prolonged Hard Contact Lens Wear. Histopathology of Blepharoptosis,

(21)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

tingkat pengetahuan dengan tindakan pencegahan Mahasiswa FK USU tentang

blepharoptosis akibat pemakaian lensa kontak. Berdasarkan latar belakang,

tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel independen Variabel dependen

3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah kemampuan responden dalam menjawab pertanyaan

yang terkait dengan blepharoptosis yaitu tentang pengertian blepharoptosis,

faktor resiko blepharoptosis, gejala klinis blepharoptosis, cara pencegahan, terapi

definitifnya serta adanya hubungan kejadian blepharoptosis dengan penggunaan

lensa kontak. Pengetahuan tentang blepharoptosis yang baik akan menyebabkan

mahasiswa mampu mencegah (tindakan preventif) terjadinya blepharoptosis

akibat pemakaian lensa kontak dengan benar dan mampu mengobati pasien

blepharoptosis dengan benar.

3.2.2. Tindakan pencegahan

Tindakan pencegahan adalah perbuatan yang dilakukan oleh responden

dalam menghindari suatu kejadian atau penyakit, pada penelitian ini kejadian

tersebut adalah blepharoptosis akibat pemakaian lensa kontak.

Kuesioner pada penelitian ini berisi bagian awal yaitu data pribadi

responden, bagian kedua berisi pertanyaan pengetahuan untuk menilai tingkat

pengetahuan responden tentang blepharoptosis akibat memakai lensa kontak, dan Pengetahuan mahasiswa FK USU

tentang blepharoptosis akibat pemakaian lensa kontak

(22)

bagian ketiga berisi pertanyaan tindakan untuk menilai tingkat tindakan responden

dalam mencegah terjadinya blepharoptosis akibat pemakaian lensa kontak.

3.2.3. Aspek Pengukuran

Tabel 3.1 Aspek Pengukuran

Variabel Definisi

Operasional

Alat Ukur Cara

Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Tingkat pengetahu an Pengetahuan Mahasiswa FK USU tentang blepharoptosis akibat pemakaian lensa kontak Kuesioner yang dinilai menggunakan jumlah skor. Penilaian dibagikan

kepada 3 kategori

yaitu pengetahuan

tinggi, sedang dan

rendah.

Angket

Baik(9-12), Sedang(5-8), dan Buruk(0-4) Ordinal Tingkat Tindakan pencegaha n perbuatan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam menghindari terjadinya blepharoptosis akibat pemakaian lensa kontak

Kuesioner Angket

Baik(9-12), Sedang(5-8), Kurang(0-4) Ordinal

3.3. Hipotesis

a. Hipotesis Nol (Ho) : Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan

dengan tindakan pencegahan pada mahasiswa tentang blepharoptosis

akibat memakai lensa kontak

b. Hipotesis Alpha (Ha) : Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan

tindakan pencegahan pada mahasiswa tentang blepharoptosis akibat

(23)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik, yaitu untuk mengetahui

hubungan tingkat pengetahuan dengan tindakan pencegahan mahasiswa FK USU

tentang blepharoptosis akibat pemakaian lensa kontak. Desain studi penelitian

yang akan digunakan adalah desain cross-sectional study, yaitu penelitian

dilakukan pada satu saat tertentu.

4.2.Ruang Lingkup Penelitian 4.2.1.Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup keilmuan ini adalah Ilmu Penyakit Mata khususnya tentang

blepharoptosis akibat penggunaan lensa kontak.

4.2.2.Waktu Penelitian

Penelitian direncanakan dilakukan dari April 2014 sampai Januari 2015.

Pengumpulan data direncanakan dilakukan selama 3 bulan yaitu dari September

sampai Desember 2014.

4.2.3.Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

Medan. Pemilihan lokasi ini dilakukan karena belum pernah dilakukan penelitian

tentang hubungan tingkat pengetahuan dengan tindakan pencegahan

blepharoptosis akibat pemakaian lensa kontak di kawasan tersebut.

4.3. Subjek Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi kasus dalam penelitian ini adalah mahasiswa FK USU angkatan

2012, 2013, 2014 yang memakai lensa kontak.

4.3.2. Sampel

Sampel diambil dari mahasiswa FK USU angkatan 2012, 2013, 2014 yang

sudah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Teknik pengambilan

sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling

merupakan salah satu jenis non-probability sampling dimana responden dipilih

(24)

dapat memberikan informasi yang memadai untuk menjawab pertanyaan

penelitian (Sastroasmoro, 2011). Pada penelitian ini, untuk menilai tingkat

pengetahuan dan tingkat tindakan pencegahan mahasiswa tentang blepharoptosis

akibat penggunaan lensa kontak, dipilih mahasiswa yang pernah memakai lensa

kontak sehingga dapat memberi keterangan yang lebih akurat.

Sampel

Populasi yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

i. Kriteria Inklusi

- Mahasiswa FK USU yang sedang atau pernah memakai lensa kontak

- Mahasiswa FK USU yang bersedia mengisi kuesioner

ii. Kriteria Eksklusi

- Responden menolak berpartisipasi dalam mengisi kuesioner

4.4. Teknik Pengumpulan Data A.Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh langsung dari

responden dengan menggunakan alat ukur kuesioner yang telah diuji validasi dan

realibilitas sebelumnya.

B.Prosedur Pengambilan Data

1. Mempersiapkan alat dan bahan terlebih dahulu, yakni alat tulis dan lembar

kuesioner yang telah diuji validasi dan reabilitasinya

2. Meminta persetujuan responden apakah bersedia menjadi subjek penelitian

(responden mengisi informed-consent)

3. Apabila responden bersedia, meminta responden untuk mengisi lembar

kuesioner sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka

4. Mengumpulkan semua hasil pemeriksaan

5. Mencatat semua hasil pemeriksaan

6. Menghitung hasil pemeriksaan menggunakan alat hitung SPSS

7. Menyimpulkan hasil pemeriksaan

4.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas

Suatu alat ukur harus memiliki kriteria validitas dan reliabilitas.

(25)

Teknik yang digunakan untuk mengetahui validitas angket

menggunakan rumus Pearson Product Moment, setelah itu dilihat

penafsiran dari indeks korelasinya (rtabel).

Rumus Pearson Product Moment :

Keterangan :

�xy : koefisien korelasi

∑� : Jumlah skor item

∑� : Jumlah skor total N : jumlah responden

Pengujian validitas dengan bantuan program SPSS For Windows

menghasilkan nilai korelasi dan signifikansi.

2. Reliabilitas

Untuk mencari reliabilitas angket digunakan rumus Alpha Cronbach:

Keterangan :

�11 : realibilitas instrument

k : banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal (Arikunto, 2006)

4.5. Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data

Data dari setiap responden akan dimasukkan ke dalam komputer

oleh peneliti, dengan bantuan program statistik. Kemudian, data diolah

dengan menggunakan analisis bivariat/analitik. Pengolahan data dilakukan

(26)

1. editing (tahap pertama) yaitu pemeriksa nama dan kelengkapan identitas

maupun data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi

sesuai petunjuk,

2. coding (tahap kedua) yaitu memberi kode atau angka tertentu pada

kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa,

3. entry (tahap ketiga) yaitu melakukan proses data dengan cara meng-entry

kuesioner ke paket program komputer agar data dapat dianalisis.

4. cleaning (tahap keempat) yaitu memeriksa kembali data yang telah di entry

untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.

2. Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk

yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Analisis data yang akan

dilakukan adalah analisis bivariat, yaitu analisis yang dilakukan terhadap

dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Analisis bivariat

bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel

terikat. Dalam penelitian ini menggunakan Uji Chi Square karena untuk

(27)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Deskripsi Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara (USU). Universitas yang beralamat di Jalan Dr. T. Mansyur No.9, Medan

ini merupakan salah satu universitas terbaik di Pulau Sumatera. Universitas ini

diresmikan pada tanggal 20 November 1957 oleh Dr. Ir. Soekarno sebagai

universitas negeri ketujuh di Indonesia dan merupakan universitas pertama di

Pulau Sumatera yang mempunyai Fakultas Kedokteran. Fakultas ini berlokasi di

Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru dengan batas wilayah:

a. Batas Utara : Jalan dr. Mansyur, Padang Bulan

b. Batas Selatan : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

c. Batas Timur : Jalan Universitas, Padang Bulan

d. Batas Barat : Fakultas Psikologi USU

Kampus ini memiliki luas sekitar 122 Ha, dengan zona akademik seluas

100 Ha yang berada di tengahnya. Fakultas ini memiliki berbagai ruangan

yaitu kelas kuliah dan tutorial, ruang administrasi, ruang laboratorium,

ruang skills lab, ruang seminar, perpustakaan, pendopo, mushola, kedai

mahasiswa, ruang PEMA, ruang POM, kantin, kamar mandi, tempat

fotokopi, dan parkir. Fakultas ini menerima mahasiswa baru lebih dari 400

orang dengan setiap tahunnya yang dapat masuk melalui jalur PMP, UMB,

Kemitraan, UMB-SPMB, SNMPTN, Mandiri, dan Internasional dengan

syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh pihak universitas.

5.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Jumlah responden dalam studi ini adalah sebanyak 84 responden yang

berumur 17-23 tahun dengan karakteristik berdasarkan jenis kelamin dan tahun

angkatan. Karakteristik responden yang dipilih adalah mahasiswa FK USU

(28)

5.3. Hasil Penelitian

Setelah melakukan pengumpulan data maka dilakukan pengolahan data

dan analisa data. Adapun hasil dari pengolahan data tersebut dapat dilihat pada

tabel berikut ini :

5.3.1. Karakteristik responden

Distribusi frekuensi jenis kelamin responden dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden Pengguna Lensa Kontak

Pada tabel 5.1. ditunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa yang memakai

lensa kontak adalah perempuan, yaitu sebanyak 71 orang (84,5%). Sementara

jumlah responden pria sebanyak 13 orang (15,5%).

Sementara Distribusi frekuensi tahun angkatan responden dapat dilihat

pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Tahun Angkatan Responden Pengguna Lensa

Kontak

Tahun Angkatan Jumlah (orang) Persentase (%)

2012 29 34,5

2013 29 34,5

2014 26 33,0

Total 84 100,0

Pada tabel 5.2. ditunjukkan bahwa berdasarkan tahun angkatan, diketahui

bahwa mahasiswa angkatan 2012 yang memakai lensa kontak sebanyak 29 orang

(34,5 %), mahasiswa angkatan 2013 juga sebanyak 29 orang (34,5%), sedangkan

hanya terdapat 26 orang (31%) mahasiswa angkatan 2014 yang memakai lensa

kontak.

Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)

Laki-laki 13 15,5

Perempuan 71 84,5

(29)

5.3.2. Tingkat Pengetahuan Mahasiswa FK USU angkatan 2012, 2013, 2014 tentang Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak

Tingkat pengetahuan mahasiswa FK USU tentang Blepharoptosis Akibat

Pemakaian Lensa Kontak dapat dilihat pada tabel 5.3 sebagai berikut:

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Mahasiswa FK USU tentang

Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa.

Kategori Pengetahuan Jumlah (orang) Persentase (%)

Baik 48 57,1

Sedang 31 36,9

Rendah 5 6,0

Total 84 100,0

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa dari 84 responden, mayoritas

berpengetahuan baik sebanyak 48 orang (57,1%), 31 orang (36,9%)

berpengetahuan sedang, dan minoritas berpengetahuan kurang sebanyak 5 orang

(6%).

Salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah

tingkat pendidikan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka

seseorang tersebut akan lebih mudah dalam menerima hal-hal baru sehingga akan

lebih mudah pula menyelesaikan hal-hal baru tersebut. (Notoatmodjo, 2007).

Dengan demikian, distribusi tingkat pengetahuan responden berdasarkan tahun

angkatan dapat dilihat pada tabel 5.4 sebagai berikut :

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Mahasiswa FK USU tentang CLIP

berdasarkan Tahun Angkatan

Tingkat Pengetahuan

Total

Baik Sedang Buruk

Tahun

Angkatan

2012 18 9 2 29

2013 17 11 1 29

2014 13 11 2 26

(30)

Pada tabel 5.4. ditunjukkan bahwa berdasarkan tahun angkatan, diketahui

bahwa mahasiswa angkatan 2012 bermayoritas memiliki pengetahuan baik

dengan jumlah responden sebanyak 18 orang (21,4 %), mahasiswa angkatan 2013

juga bermayoritas memiliki pengetahuan baik dengan jumlah responden sebanyak

17 orang (20,2 %), sedangkan hanya terdapat 13 orang (15,4%) mahasiswa

[image:30.595.112.514.277.659.2]

angkatan 2014 yang memiliki pengetahuan baik.

Tabel 5.5 Distribusi jumlah orang yang menjawab dengan benar tiap pertanyaan

pengetahuan dari 84 orang responden

No. Pertanyaan N Persentase (%)

1 Definisi blepharoptosis 74 88,1

2 Faktor resiko blepharoptosis 68 81

3 Gejala blepharoptosis 39 46,4

4 Kerentanan pemakai lensa kontak

dengan blepharoptosis

68 81

5 Komplikasi blepharoptosis 39 46,4

6 Tata laksana blepharoptosis 65 77,4

7 Tujuan pengobatan blepharoptosis 50 59,5

8 Prognosis blepharoptosis 71 84,5

9 Penyebab blepharoptosis 58 69

10 Hubungan lensa kontak dengan

blepharoptosis

71 84,5

11 Hubungan lensa kontak dengan

blepharoptosis

42 50

12 Mekanisme Lensa kontak menyebabkan

Hubungan lensa kontak dengan

blepharoptosis

69 82,1

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan bahwa pertanyaan yang paling banyak

dapat dijawab responden dengan benar adalah pertanyaan nomor satu dengan

(31)

dijawab responden dengan benar adalah pertanyaan nomor tiga dan nomor lima

dengan jumlah responden 39 orang (46,4%).

Tingkat Tindakan Pencegahan mahasiswa FK USU tentang

Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak dapat dilihat pada tabel 5.6

[image:31.595.106.517.258.361.2]

sebagai berikut:

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Tindakan Pencegahan Mahasiswa FK USU tentang

Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa

Kategori Tindakan Jumlah (orang) Persentase (%)

Baik 28 33,3

Sedang 50 59,5

Kurang 6 7,1

Total 84 100,0

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa dari 84 responden terdapat 28

orang (33,3%) yang melakukan tindakan pencegahan secara baik, sementara 50

orang (59,5%) melakukan tindakan pencegahan dengan skor cukup, sedangkan

hanya 6 orang (7,1%) yang melakukan tindakan pencegahan dengan skor kurang.

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Tindakan Pencegahan Mahasiswa FK USU

tentang CLIP berdasarkan Tahun Angkatan

Tindakan Pencegahan

Total

Baik Sedang Kurang

Tahun

Angkatan

2012 8 18 3 29

2013 9 17 3 29

2014 9 11 0 26

Total 26 46 6 84

Pada tabel 5.7. ditunjukkan bahwa berdasarkan tahun angkatan, diketahui

bahwa mahasiswa angkatan 2012 bermayoritas memiliki tindakan sedang dengan

jumlah responden sebanyak 18 orang (21,4 %), mahasiswa angkatan 2013 juga

bermayoritas memiliki tindakan sedang dengan jumlah responden sebanyak 17

orang (20,2 %), sedangkan hanya terdapat 11 orang (13,1%) mahasiswa angkatan

[image:31.595.107.516.486.613.2]
(32)
[image:32.595.130.517.153.488.2]

Tabel 5.8 Distribusi jumlah orang yang melakukan tindakan pencegahan dengan

benar dari 84 orang responden

No. Pertanyaan N Persentase

(%)

1 Tujuan penggunaan lensa kontak 57 67,9

2 Cara pakai lensa kontak 76 90,6

3 Cara simpan lensa kontak 79 94

4 Cairan yang dipakai untuk lensa kontak 77 91,7

5 Cara simpan lensa kontak 65 77,4

6 Waktu penggunaan lensa kontak 71 84,5

7 Cara pakai lensa kontak 49 58,3

8 Cara menjaga kesehatan mata ketika

memakai lensa kontak

77 91,7

9 Tindakan memeriksa mata secara teratur 24 28,6

10 Lama memeriksakan mata secara teratur

yang tepat

16 19

11 Cara simpan lensa kontak 34 40,5

12 Cara simpan lensa kontak 23 27,4

Berdasarkan tabel 5.8 didapatkan bahwa tindakan benar yang paling

banyak dilakukan responden adalah tindakan nomor tiga dengan sebanyak 79

orang (94%), sedangkan tindakan benar yang paling sedikit dilakukan responden

adalah tindakan nomor sepuluh dengan jumlah responden 16 orang (19%).

5.3.5. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Tindakan Pencegahan

Hubungan tingkat pengetahuan dengan tindakan pencegahan mahasiswa

FK USU angkatan 2012, 2013, dan 2014 tentang blepharoptosis akibat pemakaian

(33)
[image:33.595.109.517.174.300.2]

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan

Pencegahan Mahasiswa FK USU Angkatan 2012, 2013, dan 2014 tentang

Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak

Tindakan Pencegahan

Total

Baik Sedang Kurang

Tingkat

Pengetahuan

Baik 19 25 4 48

Sedang 9 20 2 31

Rendah 0 5 0 5

Total 28 50 6 84

Berdasarkan tabel diatas diketahui dari 84 orang, responden dengan

pengetahuan baik, tindakan baik sebanyak 19 orang (22,6%), tindakan kurang 4

orang (4,8%), dan tindakan sedang 25 orang(29,7%), sedangkan pada responden

dengan pengetahuan rendah terdapat tindakan sedang sebanyak 5 orang(5,9%),

dan tidak ada yang berpengetahuan baik maupun kurang. Pada kelompok

responden dengan pengetahuan sedang, tindakan baik sebanyak 9 orang(10,7%),

tindakan kurang sebanyak 2 orang(2,4%), dan tindakan sedang sebanyak 50

orang(59,5%).

Hasil Chi square pada tingkat kepercayaan 95%, α 0,05 df = 4, diperoleh tingkat kesalahan 0,306 lebih besar dari 0,05 (P 0,306 > P 0,05). Artinya Hipotesis

Nol/ Ho = gagal ditolak dengan kata lain Ho = diterima. Artinya : Tidak terdapat

hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tindakan pencegahan mahasiswa FK

USU angkatan 2012, 2013, 2014 tentang blepharoptosis akibat pemakaian lensa

kontak.

5.4. Pembahasan

5.4.1. Karakteristik responden

Dari hasil penelitian, diperoleh rata-rata pengguna lensa kontak di FK

USU mayoritas merupakan perempuan. Hal ini menyerupai penelitian Hadiwijaya

(2013) yang menyatakan mayoritas responden yang menggunakan lensa kontak

adalah perempuan yaitu 106 orang (94,6%) dan 6 orang (5,4%). Hasil penelitian

(34)

menyatakan prevalensi mayoritas pengguna lensa kontak merupakan perempuan,

yaitu sebanyak 67%

5.4.2. Tingkat Pengetahuan Mahasiswa FK USU tentang Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak

Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya

adalah pendidikan (Notoatmojo, 2003). Pendidikan merupakan sarana untuk

mendapatkan informasi sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang semakin

banyak pula informasi yang didapatkan. Pada penelitian ini, pendidikan responden

berdasarkan tahun angkatan.

Dari penelitian, didapati tingkat pengetahuan mahasiswa FK USU tentang

blepharoptosis akibat pemakaian lensa kontak secara keseluruhan tanpa

memperhatikan tahun angkatan adalah bermayoritas berpengetahuan baik dengan

jumlah sebanyak 48 orang (57,1%). Padahal pada penelitian ini, peneliti

memperkirakan ada sedikit perbedaan pada pengetahuan mahasiswa tahun

angkatan 2012 berbanding mahasiswa tahun angkatan 2013 dan 2014 karena

mereka telah diberi Blok Special Sense System. Namun setelah diberi kuesioner

dan diproses dengan SPSS, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

mahasiswa tahun angkatan 2012, 2013, dan 2014 (tabel 5.4). Hal ini mungkin

disebabkan meskipun mahasiswa tahun angkatan 2013 dan 2014 merupakan

mahasiswa FK USU yang belum mempelajari bahan oftalmologi (Blok Special

Sense System), namun sebagian besar dari mereka telah mempelajari bidang ilmu

dasar kedokteran di tahun awal perkuliahan, misalnya anatomi, histologi, dll,

sehingga pengetahuan mereka tentang dasar oftalmologi serta salah satu penyakit

yang berkaitan dengannya, yakni blepharoptosis juga mayoritas baik.

Sementara itu, pada tabel distribusi jumlah responden dalam menjawab

pertanyaan pengetahuan dengan benar (tabel 5.5), didapatkan pertanyaan

pengetahuan dengan jumlah responden menjawab paling sedikit adalah pada

pertanyaan nomor tiga dan pada pertanyaan nomor lima yaitu dengan jumlah

responden 39 orang (46,4%). Pertanyaan nomor tiga yang merupakan pertanyaan

tentang gejala blepharoptosis menunjukkan bahwa responden kurang mengetahui

(35)

seharusnya menjadi tanda-tanda yang harus diperhatikan dan tidak boleh

dibiarkan apabila mereka memakai dan menyimpan lensa kontak secara tidak

tepat, terlebih lagi ptosis tak dapat sembuh sendiri dan dapat menyebabkan mata

hilang fungsinya karena tertutup oleh ptosis palpebrae, yang akan berakhir ke

kebutaan. Hal ini sangat berdampak efeknya mengingat mata merupakan organ

penting dalam mendapatkan kualitas hidup yang baik.

Berikutnya, pada pertanyaan nomor lima yang merupakan pertanyaan

tentang komplikasi blepharoptosis menunjukkan minimnya pengetahuan

mahasiswa tentang dampak yang akan diakibatkan oleh penggunaan lensa kontak

yang tidak tepat tersebut.

Walaupun pada beberapa poin pertanyaan responden tidak begitu mengerti

tetapi secara keseluruhan cukup banyaknya responden yang berpengetahuan baik

tentang CLIP (tabel 5.5), seperti pada pertanyaan nomor sepuluh yang merupakan

pertanyaan signifikan pada penelitian ini menunjukkan terdapat 71 orang (84,5%)

yang mengetahui tentang adanya hubungan pemakaian lensa kontak yang salah

dalam menginduksi terjadinya blepharoptosis.

Pemaparan diatas menunjukkan kesesuaian dengan penelitian Kiat yamg

dilakukan pada tahun 2013 yang menyatakan tingkat pengetahuan tentang lensa

kontak pada mahasiswa FK USU tahun angkatan 2012 bermayoritas baik.

5.4.3. Tingkat Tindakan Pencegahan Mahasiswa FK USU angkatan 2012, 2013, 2014 tentang Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak

Dari penelitian yang dijalankan, hanya terdapat 28 orang (33,3%)

melakukan tindakan pencegahan dengan baik (dilihat secara keseluruhan tanpa

memperhatikan tahun angkatan). Hal ini menunjukkan masih kurangnya tindakan

yang dilakukan mahasiswa dalam mencegah blepharoptosis melalui pemakaian

lensa kontak yang tepat. Sementara itu bila ditinjau menurut tahun angkatan,

persentase orang yang melakukan tindakan pemakaian lensa kontak yang tepat

sebaliknya menurun seiring dengan semakin tingginya tahun angkatan (tabel 5.7).

Pada tabel distribusi jumlah responden melakukan tindakan dengan benar

(tabel 5.5), didapatkan hanya 57 responden (67,8%) dari 84 responden yang

(36)

kelainan refraksi mata. Wawancara peneliti kepada beberapa responden terkait

alasan menggunakan lensa kontak adalah untuk alasan coba-coba. Hal ini juga

diperparah dengan tidak adanya tindakan memeriksa mata secara rutin ke dokter

mata, yang dapat dilihat dari hanya 24 responden (28,6%) yang memeriksakan

matanya ke dokter mata secara rutin. Padahal menurut American Optometric

Association bahwa jika ingin melakukan perawatan mata sedang/ setelah

menggunakan lensa kontak atau mengalami efek samping/komplikasi akibat dari

penggunaan lensa kontak, maka sebaiknya pengguna lensa kontak

memeriksakannya ke dokter mata. Hal ini juga sesuai dalam Wardani (2009) yang

menyatakan harus dilakukan pemeriksaan mata secara berkala setiap 1 tahun atau

sebelum 1 tahun bila terdapat keluhan.

Salah satu faktor terjadinya reaksi inflamasi pada adalah penggunaan lensa

kontak ketika tidur. Sebanyak 71 responden (84,5%) mengerti dan tidak

menggunakan lensa kontak ketika tidur maupun berenang. Sebanyak 15%

mahasiswa mengaku kadang-kadang tidak melepas lensa kontak disebabkan lupa

atau malas. Mahasiswa yang memakai lensa kontak saat tidur lebih rentan

terhadap komplikasi mata yang disebabkan kontak lensa pada kornea pada jangka

waktu yang lama akan mengakibatkan anoxia kornea yang akan berakhir ke

peradangan mata.

Sementara itu, sebanyak 76 responden (90,6%) selalu mencuci tangan

sebelum menyentuh dan memasang lensa kontak. Ini berdasarkan American

Optometric Association bahwa mencuci tangan sebelum menggunakan dan

melepaskan lensa kontak, dan melepaskan lensa kontak ketika mandi/berenang

adalah sebagai prevensi untuk tidak terjadi komplikasi akibat penggunaan lensa

kontak. Selain itu, masih berdasarkan American Optometric Association,

membersihkan lensa kontak dengan jari-jari tangan dengan rutin, membilas lensa

kontak dengan air bersih, dan menyimpannya di kotak penyimpanan merupakan

perawatan lensa kontak yang benar. Penggantian tempat lensa kontak ini penting

mengingat bisa timbulnya peradangan pada mata bila tempat lensa kontak tidak

steril, dimana peradangan merupakan salah satu penyebab blepharoptosis.

(37)

tersebut. Disini terdeskripsi meskipun tingkat tindakan yang kurang baik dari

responden secara keseluruhan, contoh tindakan kurang baik tersebut adalah

terlihat hanya 23 responden (27,4%) yang melakukan penggantian tempat lensa

kontak secara teratur, namun terdapat beberapa poin dimana responden ada

melakukan tindakan pencegahan dengan tepat.

5.4.4. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Tindakan Pencegahan

Menurut teori, semakin bagus pengetahuan, maka akan semakin bagus

tindakan. Namun dari hasil statistik penelitian melalui chi-square dengan degree

of freedom (df) didapatkan nilai x2 dalam tabel (df=4) adalah 4,827 dengan

tingkat kepercayaan 0,05 (95%). Dan hasil x2 hitung (4,827) >x2 tabel (9,49)

dengan nilai p= 0,306>0,05 artinya Hipotesis Nol/ Ho gagal ditolak, artinya tidak

terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tindakan

pencegahantentang blepharoptosis akibat pemakaian lensa kontak. Kemungkinan

ini adalah karena hasil pengetahuan mahasiswa yang mayoritas berpengetahuan

baik, tidak diikuti tindakan baik yang seharusnya dilakukan mahasiswa. Hal ini

dapat terlihat dari hanya 28 responden (33,3%) yang melakukan tindakan

pencegahan dengan benar, sementara terdapat 48 responden (57,1%) yang

berpengetahuan baik.

Meskipun pengetahuan (knowledge) merupakan domain yang sangat

penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo,

2003), namun pengetahuan bukanlah satu-satunya faktor dalam membentuk

tindakan. Untuk mewujudkan terjadinya suatu tindakan, diperlukan

domain-domain lain yang mendukung terjadinya tindakan tersebut, yakni sikap, fasilitas

(lingkungan), pendukung (support) dari pihak lain, dll. Pada kasus ini, tidak

berkesinambungnya nilai pengetahuan dengan tindakan responden mungkin

diakibatkan oleh belum terbentuknya sikap untuk menjaga kesehatan mata atau

lingkungan responden yang tidak mendukung untuk terbentuknya sikap tersebut.

(38)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian, maka

kesimpulan yang diperoleh adalah:

1. Tidak ada hubungan yang bermakna positif secara statistik antara tingkat

pengetahuan dengan tindakan pencegahan mahasiswa FK USU tentang CLIP

yang diperoleh melalui data kuesioner.

2. Sebagian besar mahasiswa FK USU angkatan 2012, 2013, 2014 yang

memakai lensa kontak memiliki pengetahuan baik (nilai 9-12) tentang CLIP

yaitu sebanyak 48 orang (57,1%).

3. Sebagian besar mahasiswa FK USU angkatan 2012, 2013, 2014 yang

memakai lensa kontak memiliki kebiasaan memakai lensa kontak yang

bermayoritas sedang yaitu sebanyak 50 orang (59,5%).

6.2. Saran

1. Bagi Responden

Mahasiswa kedokteran seharusnya mempunyai pengetahuan yang baik serta

melakukan tindakan yang baik dengan kesadaran tentang penggunaan lensa

kontak yang benar dalam menjaga kesehatan mata serta mencegah terjadinya

penyakit akibat lensa kontak, yang salah satunya merupakan blepharoptosis.

Mahasiswa kedokteran yang merupakan calon petugas kesehatan yang akan

membantu dan melayani masyarakat merupakan contoh teladan bagi

masyarakat dalam berperilaku hidup sehat, sehingga diharapkan agar

mahasiswa dapat meningkatkan cara bertindak yang baik dalam menjaga

kesehatan mata. Salah satunya adalah dari penggunaan lensa kontak yang

tepat indikasi dan cara perawatannya yang tepat.

2. Bagi Peneliti

Penelitian yang dijalankan ini masih banyak kekurangannya. Peneliti

berharap agar penelitian ini dapat diteruskan untuk memperbaiki dan

menambah nilai yang ada. Bagi peneliti, pada masa akan datang dapat

(39)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Perilaku

Perilaku merupakan suatu respon seseorang yang dikarenakan adanya

suatu stimulus/ rangsangan dari luar. Berdasarkan teori Bloom, perilaku dibagi

menjadi tiga yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan

praktik/tindakan (Notoatmodjo, 2012).

2.1.1 Pengetahuan (knowledge) Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang

melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui

pancaindra yang meliputi indra penglihatan, indra pendengaran, indra

penciuman, indra perasa, dan indra peraba. Pengetahuan merupakan domain

yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo,

2007).

Tingkat pengetahuan

Kognitif atau pengetahuan merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang. Menurut Notoatmodjo (2007) secara

garis besarnya tingkat pengetahuan dapat dibagi menjadi enam tingkatan,

yakni:

1. Tahu (Know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Termasuk didalamnya adalah mengingat

kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang diterima.

2. Memahami (Comprehension), dapat diartikan sebagai suatu bentuk

kemampuan dalam menjelaskan secara benar tentang objek yang

diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara tepat

dan benar. Individu yang telah paham terhadap objek atau materi

tersebut harus mampu menjelaskan, memberikan contoh, dan

(40)

3. Aplikasi (Application), diartikan sebagai kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu kondisi riil

(sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan dengan penggunaan

hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks

atau situasi lain.

4. Analisis (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam

satu struktur organisasi tersebut, dan masih terkait satu sama lain.

Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja,

dimana dapat menggambarkan (membuat bagan atau tabel),

membedakan, memisahkan, mengklasifikasikan, dan berbagai hal

lainya.

5. Sintesis (Synthesis), menunjukkan suatu bentuk kemampuan dalam

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis dapat diartikan

sebagai suatu bentuk kemampuan untuk menyusun formula baru dari

formula-formula yang telah ada sebelumya.

6. Evaluasi (Evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian tersebut

berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada sebelumnya.

Cara Pengukuran Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007), pengukuran pengetahuan dapat

dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi

yang diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan

yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan

(41)

a. Alat ukur : Kuesioner dengan kriteria jawaban sebagai berikut :

Tiap-tiap pernyataan responden yang menyatakan pernyataan positif, maka

diberi nilai untuk jawaban :

1. Nilai 1 untuk jawaban yang benar

2. Nilai 0 untuk jawaban yang salah

b. Cara ukur : Wawancara tertulis dengan menggunakan sepuluh pertanyaan

dengan kriteria jawaban.

c. Hasil ukur :

Kalau mengajukan sepuluh pertanyaan terhadap responden maka nilai

yang akan didapat adalah :

1. Pengetahuan baik, jika jumlah nilai 6-10 pertanyaan

2. Dikatakan tidak baik, jika jumlah nilai 0-5 pertanyaan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo

(2007), yaitu :

1) Tingkat pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka seseorang tersebut

akan lebih mudah dalam menerima hal-hal baru sehingga akan lebih

mudah pula menyelesaikan hal-hal baru tersebut.

2) Informasi

Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih baik banyak

akan memberikan pengetahuan yang jelas.

3) Budaya

Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang.

Hal ini dikarenakan informasi-informasi baru akan disaring, kira-kira

sesuai tidaknya dengan kebudayaan yang ada dan agama yang dianut.

4) Pengalaman

Pengalaman disini berkaitan dengan umur dan pendidikan individu

yang artinya pendidikan yang tinggi, pengalaman yang luas sedang umur

(42)

5) Status Ekonomi

Tingkatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup disesuaikan

dengan penghasilan yang ada sehingga menuntut pengetahuan yang

dimiliki harus dipergunakan semaksimal mungkin, begitupun dalam

mencari bantuan ke sarana kesehatan yang ada, mereka sesuaikan dengan

pendapatan keluarga.

2.1.2 Sikap (attitude)

Reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus disebut

sikap. Sikap belum merupakan suatu tindakan nyata, tetapi masih berupa

persepsi dan kesiapan seseorang untuk bereaksi terhadap stimulus yang ada di

sekitarnya. Sikap dapat diukur secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran

sikap merupakan pendapat yang diungkapkan oleh responden terhadap objek

(Notoatmodjo, 2007).

Secara garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide yang

dipelajari), komponen perilaku (berpengaruh terhadap respon sesuai atau tidak

sesuai), dan komponen emosi (menimbulkan respon-respon yang konsisten)

(Wawan & Dewi, 2011). Berikut akan disajikan skema terbentuknya sikap dan

reaksi.

(43)

Tingkatan sikap menurut Notoatmodjo (2003) adalah sebagai berikut:

a. Menerima (receiving)

Menerima dapat diartikan bahwa orang (subjek) mau mempertahankan

stimulus yang diberikan (objek).

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu

usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,

terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima

ide tersebut.

c. Menghargai (valueing)

Indikasi sikap ketiga adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi adalah bertanggungjawab atas segala sesuatu yang

telah dipilihnya dengan segala resiko.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak

langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau

pernyataan responden terhadap suatu objek. Sedangkan secara tidak langsung

dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan

pendapat responden. Dan biasanya jawaban berada dalam rentang antara sangat

setuju sampai sangat tidak setuju.

2.1.3 Praktik atau Tindakan

Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa suatu sikap belum otomatis

terwujud dalam suatu tindakan (over behaviour). Untuk mewujudkan sikap

menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi

yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas,

juga diperlukan faktor pendukung (support) dari pihak lain. Tindakan ini

(44)

a) Persepsi (perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek

sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek

tingkat pertama.

b) Respon terpimpin (guided response), yaitu indikator praktek tingkat dua

adalah dapat melakukan sesuatu sesuai dengan contoh.

c) Mekanisme (mechanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan

sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan

kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

d) Adopsi (adoption), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah

berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa

mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.1.4 Proses Adaptasi Perilaku

Dari pengalaman dan penelitian, terbukti bahwa perilaku yang didasari

oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari

oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo

(2007:121) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru

(berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,

yakni:

1) Awareness (kesadaran)

Subjek tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih

dahulu.

2) Interest (tertarik)

Dimana subjek mulai tertarik terhadap stimulus yang sudah diketahui dan

dipahami terlebih dahulu.

3) Evaluation (evaluasi)

Menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus yang sudah dilakukan

serta pengaruh terhadap dirinya.

4) Trial (percobaan)

Dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan perilaku baru yang sudah

(45)

5) Adoption

Dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran

dan sikapnya terhadap stimulus.

2.2 Anatomi Kelopak Mata

Kelopak mata terdiri dari tiga otot utama yang dipersarafi oleh tiga

saraf yang berbeda. Otot levator palpebrae superioris merupakan otot utama

yang berperan dalam membukanya kelopak mata dan dalam mempertahankan

postur normal kelopak mata. Dua otot tambahan lainnya adalah otot muller

yang dipersarafi oleh sistem saraf simpatetik dan otot frontalis.Sementara itu,

penutupan kelopak mata dilakukan oleh kontraksi otot orbikularis okuli yang

diinervasi oleh saraf fasialis.

Fisura palpebrae, pembukaan antara kelopak mata atas dan kelopak

mata bawah, merupakan jalan masuk menuju kantong konjungtiva yang

dibatasi oleh batas-batas kelopak mata (gambar 2.1). Ketika kelopak mata

membuka, fisura palpebrae berbentuk elips asimetris dengan panjang 22-30

mm dan tinggi 12-15 mm. Sulkus palpebrae superior atau yang biasa disebut

lipatan kelopak mata atas berada 3-4 mm diatas batas atas kelopak mata dan

merupakan lipatan mata yang paling jelas terlihat. Lipatan ini merupakan

tempat melekatnya otot orbikularis okuli terhadap tarsus serta merupakan

tempat levator aponeurosis berlekatan dengan kulit pretarsal.

Kelopak mata mempunyai struktur lempeng tarsal seperti kartilago.

Struktur tersebut memberi bentuk pada kelopak mata dan berfungsi dalam

memproteksi mata. Lempeng tarsus terbagi atas dua, yaitu lempeng tarsus

superior dan lempeng tarsus inferior. Lempeng tarsus superior berukuran 29

mm dari medial ke lateral dan dengan tinggi 10 mm. Sementara itu, lempeng

tarsus inferior mempunyai tinggi 3,5-5 mm dan ukuran medial ke lateral yang

sama seperti ukuran lempeng tarsus superior. Lempeng tarsus mengandung

kelenjar sebaseus yang disebut kelenjar meibomian.

Septum orbita merupakan lapisan mesodermal yang membentang dari

(46)

dengan levator aponeurosis sekitar 3-4 mm diatas batas atas tarsus. Septum

orbita berfungsi sebagai tempat perlekatan aponeurosis ke kulit (Skarf, 2008).

Selain itu, kelopak mata juga mempunyai sebaris bulu mata yang

sensitif terhadap sentuhan dan partikel yang dekat dengan mata dengan

menstimulasi refleks berkedip. Kelopak mata juga mengandung

kelenjar-kelenjar yang berfungsi untuk mempertahankan tear layer.

Secara embriologi, otot levator palpebrae superioris berasal dari

annulus of Zinn. Otot levator palpebrae superioris merupakan otot lurik yang

[image:46.595.117.443.148.631.2]

Gambar 2.2 Anatomi kelopak mata dilihat dari sisi l t l

(47)

dipersarafi oleh divisi superior dari saraf okulomotor (saraf cranialis III). Otot

ini mempunyai panjang 40 mm. Otot tersebut membentang dari bagian atas

orbital dan berjalan turun dimulai dari lesser wing tulang sphenoid menuju sisi

anterior. Namun, pada batas ligamen Whitnall (juga disebut ligamentum

transversum superioris), otot tersebut turun ke sisi posterior dari ligamen

Whitnall terlebih dahulu sebagai tendon. Berikutnya barulah tendon tersebut

berjalan menurun ke sisi anterior ligament Whitnall sebagai tendineus

aponeurosis. Aponeurosis yang memiliki panjang 14-20 mm ini bersatu

dengan septum orbita dan melekat ke tarsus superior. Aponeurosis ini juga

melekat ke kulit dan membentuk lipatan pada kelopak mata atas. Ligamentum

Whitnall mengubah arah tarikan dari otot levator palpebrae dari horizontal ke

arah vertikal. Perlekatan levator pada ligamentum Whitnall merupakan

komponen penting tenaga penutupan kelopak mata secara pasif (Skarf, 2008).

Sementara itu, otot muller yang memiliki panjang 12 mm berjalan dari

bagian bawah levator superioris hingga memasuki bagian superior dari tarsal

[image:47.595.239.455.446.640.2]

border. Otot muller mengangkat kelopak mata sekitar 2 mm (Skarf, 2008).

Gambar 2.3 Anatomi otot levator palpebre superioris dan aponeurosisnya. A, Sisi anterior berhubungan dengan aponeurosis levator (D) terhadap tarsus superior (*) dan terhadap Ligamen Whitnall (B). A, kelenjar lakrimal; C, pembungkus tendon

(48)

2.3 Lensa Kontak

2.3.1 Definisi Lensa Kontak

Lensa kontak merupakan lensa plastik tipis yang dipakai menempel

pada kornea mata. Lensa kontak memiliki fungsi yang sama dengan kacamata,

yaitu mengoreksi kelainan refraksi, kelainan akomodasi, terapi dan kosmetik.

(nusantara, 2008)

2.3.2 Indikasi Penggunaan Lensa Kontak Indikasi Optik

Penggunaan Lensa Kontak atas indikasi optik antara lain:

anisometropia, afakia unilateral, myopia berat, keratokonus, dan astigmatisma

ireguler.

Keuntungan penggunaan lensa kontak dibandingkan dengan kacamata

adalah dapat mengoreksi astigmatisma ireguler yang tidak dapat dikoreksi oleh

kacamata baca, lensa kontak tetap mempertahankan lapangan pandang,

menghindari terjadinya abrasi perifer pada penggunaan kacamata, hujan dan

kabut tidak mengganggu penglihatan seperti pada penggunaan kacamata biasa;

secara kosmetik penggunaan lensa kontak lebih dapat diterima oleh pasien,

terutama pasien wanita, daripada menggunakan kacamata baca yang tebal pada

gangguan refraksi tinggi.

Indikasi Terapeutik

Indikasi Terapeutik pada penggunaan lensa kontak antara lain;

a. Penyakit kornea; seperti ulkus kornea tanpa penyembuhan, keratopati

bulosa, keratitis, sindrom erosi kornea rekuren.

b. Penyakit pada iris; seperti aniridia, koloboma, dan albinisme.

c. Pada glaukoma, sebagai perantara masuknya obat glaukoma.

d. Pada ambliopia, lensa kontak digunakan mencegah oklusi.

e. Lensa kontak lunak dapat digunakan pada keratoplasti dan perforasi

(49)

Indikasi Preventif

Indikasi preventif penggunaan lensa kontak antara lain: mencegah

simbleparon dan restorasi forniks pada luka bakar kimiawi, keratitis, dan

trikiasis

Indikasi Diagnostik

Indikasi diagnostik penggunaan lensa kontak antara lain; gonioskopi,

elektroretinografi, pemeriksaan fundus pada astigmatisma regular, fundus

photoghrapy, Goldmann’s 3 mirror examination

Indikasi Operatif

Lensa kontak dapat digunakan pada operasi goniotomi pada glaucoma

kongenital, vitektomi, dan fotokoagulasi endokuler.

Indikasi Kosmetik

Indikasi kosmetik penggunaan lensa kontak antara lain; pada skar

kornea yang mengganggu penglihatan, ptosis, dan kosmetik lensa sclera pada

ptosis bulbi.

Indikasi Okupasi

Indikasi okupasi penggunaan lensa kontak antara lain; pada atlet, pilot

dan aktor.

2.3.3 Kontraindikasi Pemakaian Lensa Kontak

Kontraindikasi penggunaan lensa kontak antara lain

a. Kontraindikasi Absolut

Kurangnya motivasi, keadaan peradangan seperti : blepharitis,

konjungtivitis akut, dan keratitis.

b. Kontraindikasi Relatif

Penderita dengan gangguan kekebalan tubuh, penyakit mata yang

mempengaruhi kornea, konjungtiva (seperti pinguecula, pterygium),

dan yang mempengaruhi kelopak mata (seperti : kelemahan epitel,

kegagalan endotel, dry eye, alergi), hypesthesia kornea, glaukoma tak

terkontrol, vitreocorneal touch pada aphakia, intoleransi psikologis

(50)

2.3.4 Jenis-jenis Lensa Kontak

Lensa Kontak Rigid (Rigid Contact Lens)

Lensa Kontak Rigid merupakan lensa kontak yang pertama dibuat.

Lensa ini terbuat dari polymethyl metharylate (PMMA atau Perspex/Plexiglas).

Karena tidak permeabel terhadap oksigen, lensa ini sulit dipakai untuk jangka

panjang serta menyebabkan edema kornea dan rasa tidak enak pada mata.

Namun demikian, lensa kontak rigid merupakan lensa kontak pertama yang

benar-benar berhasil dan diterima secara luas sebagai pengganti kacamata.

Pengembangan selanjutnya antara lain adalah lensa kaku yang permeable

udara, yang terbuat dari asetat butirat selulosa, silicon atau berbagai polimer

plastic hidrogel, semuanya memberikan kenyamanan yang lebih baik, tetapi

risikonya terjadi komplikasi yang lebih besar.

Lensa kontak keras secara spesifik diindikasikan untuk koreksi

astigmatisme regular, iregularitas kornea seperti pada keratokonus. Lensa

kontak rigid lebih bertahan dibanding lensa kontak lunak dikarenakan sifatnya

yang lebih inert secara kimiawi. Namun, karena strukturnya yang keras, lensa

kontak rigid memerlukan waktu beradaptasi pasca pemakaian yang lebih lama

dibandingkan pada lensa kontak lunak (Riordan & Whitcher, 2007).

Lensa Kontak Lunak (Soft Contact Lens)

Lensa kontak lunak tersedia untuk pemakaian jangka panjang dan

pemakaian harian. Jenis lensa kontak lunak hanya membutuhkan waktu

beberapa hari untuk penyesuaian. (nusantara, 2008)

Lensa kontak lunak terbagi beberapa jenis berdasarkan masa pakainya,

yakni: harian, mingguan, 2 mingguan, bulanan dan setahun. Lensa kontak

lunak ini dapat dilalui oleh oksigen dengan kadar yang berbeda tergantung dari

bahan, kadar air, desain serta ketebalannya. Kelebihan dan kekurangan Lensa

kontak lunak :

• Masa adaptasi yang singkat biasanya hanya beberapa hari

• Lebih kecil kemungkinan akan terlepas pada saat melakukan aktivitas yang

berlebihan

(51)

• Mudah untuk memperolehnya serta lebih murah dibandingkan dengan RGP

• Karena kadar air yang tinggi sehingga lensa kontak lunak lebih mudah kotor

• Mudah robek

Lensa kontak lunak diklasifikasikan lagi menurut jadwal

penggunaannya, yaitu sebagai berikut :

1. Daily wear contact lens merupakan lensa kontak yang dipakai hanya satu

hari dan dilepaskan ketika tidur.

2. Extended wear contact lens (atau disebut continuous wear) merupakan lensa

kontak yang didesain untuk penggunaan sepanjang malam, biasanya untuk

penggunaan lebih dari enam malam. Lensa kontak ini dapat digunakan

dalam jangka waktu yang lama tanpa dilepaskan karena permeabilitasnya

yang tinggi terhadap oksigen. Saat mata terbuka, mata mendapat oksigen

dari udara luar, sedangkan ketika tidur, oksigen disuplai dari pembuluh

darah belakang kelopak mata. Extended wear contact lens memungkinkan

transfer oksigen lima hingga enam kali lebih permeabel dibandingkan lensa

kontak lunak konvensional. Hal ini memungkinkan mata tetap sehat

meskipun lensa kontak dipakai semalaman.

Lensa Kaku Permeabel Gas (Rigid Gas Permeable Lens)

Lensa kontak RGP merupakan hasil pengembangan dari lensa kontak

keras. Lensa kontak RGP bersifat mudah dilalui oksigen sehingga kornea dapat

berfungsi dengan baik. Pada lensa kontak RGP,oksigen bukan hanya didapat

pada saat mata berkedip, tapi juga dari udara bebas yang dapat melalui lensa

untuk mencapai kornea. Hal ini menyebabkan lensa kontak RGP lebih nyaman

dipakai dalam waktu yang lama. Namun, lensa kontak RGP memerlukan masa

penyesuaian 2-4 minggu. Lensa kontak RGP memberikan penglihatan lebih

tajam, mudah dirawat dan dibersihkan, masa pakai lebih lama, mampu

mengoreksi astigmatisme yaitu kelainan refraksi yang disebabkan oleh

ketidakteraturan kelengkungan permukaan kornea. Namun, lensa kontak RGP

tidak senyaman lensa kontak lunak dan memerlukan adaptasi lebih lama.

(52)

Kelebihan dan kekurangan Rigid Gas Permeable Lens :

1. Tidak mudah robek

2. Diameter lebih kecil antara 8.5 – 10 mm

3. Transmisi oksigen yang lebih tinggi

4. Mudah dirawat dan dibersihkan karena RGP tidak mengandung air

5. Mampu mengoreksi astigmatisme

6. Memberikan penglihatan yang lebih tajam

7. Masa pakai lebih lama, lebih dari 2 tahun

8. Masa adaptasi yang lebih lama, biasanya memerlukan 2 minggu hingga

1 bulan

9. Apabila lebih dari seminggu tidak dipakai maka pada saat pemakaian

kembali memerlukan penyesuaian/adaptasi

10.Harga lebih mahal dibandingkan dengan lensa kontak lunak

Lensa Lunak Torik (Toric Soft Contact Lens)

Lensa kontak torik adalah lensa kontak yang mempunyai kekuatan

cylinder sehingga bisa digunakan untuk mengoreksi kelainan astigmatisma.

Prinsip dasar untuk semua jenis desain lensa kontak torik adalah untuk

memberikan koreksi yang maksimal bagi semua penderita astigmatisma.

Perbedaan kekuatan antara meredian yang satu dengan meredian yang lainnya

menyebabkan terjadinya perbedaan ketebalan yang harus diperhatikan dalam

menentukan desain torik yang nantinya disesuaikan dengan kondisi

astigmatisma yang dimiliki oleh pasien.

2.3.5 Komplikasi Lensa Kontak

Pemakaian lensa kontak akan aman bila digunakan secara benar.

Komplikasi yang dikarenakan penggunaan lensa kontak yang salah terjadi pada

sekitar 5% dari pengguna lensa kontak tiap tahunnya. Penggunaan lensa kontak

yang tidak benar akan mengiritasi kelopak mata, konjungtiva, dan kornea.

Perawatan lensa kontak yang tidak benar juga akan memicu te

Gambar

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden Pengguna Lensa Kontak
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Mahasiswa FK USU tentang
Tabel 5.5 Distribusi jumlah orang yang menjawab dengan benar tiap pertanyaan
Tabel 5.7  Distribusi Frekuensi Tindakan Pencegahan Mahasiswa FK USU
+6

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-3/W1, 2017 2017 International Symposium on Planetary Remote Sensing

Isi pesan yang disampaikan pantun pada bacaan 2 adalah .... Belajar bersama saat akan

Pendaftar harus memiliki Sulat ljin Penoetakan DokuDlen Sekuriti dari Botasupal dan menyerahkan fotocopynya kepada Panitia (khusus cctakan Dokunen

[r]

Diunduh dari situs lpse.jatengprov.go.id dengan ini kami mengundang perusahaan Saudara untuk diadakan klarifikasi dan verifikasi Dokumen Penawaran serta Pembuktian

Diunduh dari situs lpse.jatengprov.go.id dengan ini kami mengundang perusahaan Saudara untuk diadakan klarifikasi dan verifikasi Dokumen Penawaran serta Pembuktian

Diunduh dari situs lpse.jatengprov.go.id dengan ini kami mengundang perusahaan Saudara untuk diadakan klarifikasi dan verifikasi Dokumen Penawaran serta Pembuktian