• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari"

Copied!
256
0
0

Teks penuh

(1)

(Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah)

Y U M I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari: Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2011

Y U M I

(3)

Sustainable Private Forest Management (Cases in Gunung Kidul District in Yogyakarta and Wonogiri District in Central Java). Under Advisory Committee by SUMARDJO as chairperson, DARWIS S GANI and BASITA GINTING SUGIHEN as members.

Forest Management is facing the challenge of implementing the sustainable forest management which includes private forest. Successfully gained the Ecolabel Certificate, some private forest management units in Central Java and Yogyakarta’s districts prove that the small units run by farmers are able to implement the sustainable forest management. The farmers’ success in implementing the sustainable forest management must have been gained through learning process. How the learning process was and what determinant factors influencing the farmers’ learning process of the sustainable private forest management were, were the research questions of this study. The study used explanatory survey method on 200 farmers in Gunung Kidul and Wonogiri who had succeeded in gaining the Ecolabel Certificate and 60 farmers who had not got certification for their private forestry as comparison. Data collection was conducted from December 2009 to February 2010. The data were analyzed by using descriptive technique and Structural Equations Model (SEM). The conclusions are : (1) farmers’ learning intensity is low. It was influenced by farmers’ learning-support institutions, local institutions, extension agents’ competences, and farmers’ individual characteristic; (2) learning-support institutions and the informal local institutions have an important role in the farmers’ learning process; (3) farmers’ learning intensity can be improved by strengthening collaboration of the learning-support institutions and improving the extension agents’ competences.

(4)

Hutan Rakyat Lestari (Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh: SUMARDJO, DARWIS S GANI, dan BASITA GINTING SUGIHEN.

Hutan rakyat merupakan salah satu alternatif penting dalam pembangunan kehutanan berkelanjutan, khususnya dalam rehabilitasi hutan dan lahan serta peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan hutan rakyat ialah berkaitan dengan adanya issue global warming dan ekolabel, yang mensyaratkan kayu-kayu bersertifikat sebagai ketentuan untuk dapat masuk pasar kayu internasional. Unit manajemen pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, yang dikelola oleh masyarakat setempat telah membuktikan bahwa rakyat telah mampu mengelola hutan secara lestari dan mendapatkan sertifikat Ekolabel. Keberhasilan tersebut melewati suatu proses belajar, yang pada dasarnya merupakan kegiatan penyuluhan. Perubahan perilaku masyarakat ke arah kemandirian dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu tujuan penyuluhan kehutanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses belajar petani dan bagaimana mengembangkan pembelajaran petani tersebut, merupakan permasalahan yang ingin diperoleh jawabannya dalam penelitian ini.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Menganalisis faktor penentu intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari; (2) Menganalisis kelembagaan yang berperanan penting dalam pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari; (3) Merumuskan konsep model pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari.

(5)

sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri, terutama dalam hal kompetensi penyuluh/pendamping, pendekatan pembelajaran, kelembagaan pendukung pembelajaran, intensitas belajar petani dan perilaku petani. Analisa Structural Equation Model (SEM) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi intensitas belajar petani yaitu: Kelembagaan pendukung pembelajaran petani (X5), Kelembagaan masyarakat (X4), Karakteristik petani (X1), dan Kompetensi Penyuluh dan Pendamping (X2), yang dituliskan dengan persamaan : Y1= 0,26*X1 + 0,17*X2 + 0,26*X4 + 0,31*X5, R2= 0,78. Sedangkan perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari (Y2) dipengaruhi secara langsung oleh peubah: Intensitas Belajar (Y1) dan Karakteristik petani (X1), yang dituliskan dengan persamaan: Y2= 0,51*Y1 +0,40*X1, R2= 0,72.

Kelembagaan yang berperan penting dalam pembelajaran petani HRL dalam penelitian ini ialah kelembagaan pendukung pembelajaran petani (eksternal) dan kelembagaan masyarakat (internal). Kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang terintegrasi dan berkolaborasi dengan baik menghasilkan intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari yang lebih baik. Kelengkapan unsur pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya, dan masyarakat terbukti menghasilkan peningkatan intensitas belajar. Kelengkapan fungsi pendidikan, penelitian, penyuluhan dan pemasaran dalam kelembagaan pendukung berperan dalam peningkatan pembelajaran petani pengelola Hutan Rakyat Lestari.Kelembagaan masyarakat, baik dari sisi aturan maupun organisasi berperan penting dalam pembelajaran petani sertifikasi. Adanya aturan mengenai penebangan dan penanaman kembali yang diwariskan turun temurun, kepercayaan terhadap pemimpin, budaya gotong royong dan bekerja keras, lembaga informal dalam masyarakat seperti: arisan, kelompok pengajian kelompok tani sangat berperan dalam pembelajaran petani sertifikasi. Aturan dan organisasi formal yang dibentuk untuk memenuhi persyaratan dalam proses sertifikasi (seperti pembentukan Forum Komunitas Petani Sertifikasi-FKPS, Koperasi) belum sepenuhnya dapat diterima dan dijalankan dengan baik oleh petani sertifikasi, karena petani belum sepenuhnya menyadari peranan dan merasakan manfaat keberadaan organisasi tersebut.

(6)

@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

(Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah)

Y U M I

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. (Fakultas Kehutanan IPB)

Prof.(Ris) Dr. Ign. Djoko Susanto,SKM.APU (Fakultas Ekologi Manusia IPB)

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, MM. (Kementerian Kehutanan RI)

Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc.

(9)

dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah)

Nama : Y u m i

NRP : I.361070131

Program Studi/Mayor : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, MA. Anggota

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA. Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(10)

Penulis lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 6 Agustus 1968, sebagai puteri kedua dari tiga bersaudara, dari ayah Memet Krisna Sukarno (Alm) dan ibu Yoshie Kuwabara Sukarno, menikah dengan Martino Anderias Therik.

Pendidikan sarjana ditempuh Penulis pada tahun 1987 di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB dan lulus pada tahun 1992. Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan program master di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB tahun 1999, dengan beasiswa pendidikan dari Kementerian Kehutanan dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan program Doktor pada Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa dari Kementerian Kehutanan, dan menyelesaikannya pada tahun 2011.

(11)

Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Kasih karena hanya atas karunia dan kemurahan-Nya disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi yang berjudul “Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari” disusun berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Darwis Gani, M.A. dan Bapak Dr. Ir. Basita Sugihen Ginting, M.A. selaku anggota komisi pembimbing, yang dengan sabar dan tulus ikhlas mengarahkan dan membimbing sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof.Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. dan Bapak Prof.(Ris). Dr. Ign.Djoko Susanto, SKM.APU selaku penguji pada ujian tertutup, serta Bapak Dr.Ir. Eka Widodo Soegiri, MM dan Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc. selaku penguji pada ujian terbuka.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Menteri Kehutanan, Ibu Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan, Bapak Sekjen Kementerian Kehutanan, Bapak Kepala Pusat Pengembangan Penyuluhan Kehutanan, Bapak Kepala Biro Kepegawaian, Bapak Kepala Pusat Diklat Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti tugas belajar ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Dekan Fakultas Ekologi Manusia beserta jajarannya, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat beserta jajarannya, Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Staf Pengajar di Program Studi PPN, dan staf sekretariat Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang telah mendukung selama perkuliahan dan penyelesaian studi di IPB.

(12)

Wonogiri. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para peneliti/staf pengajar di Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR)–Universitas Gajah Mada terutama Ibu Wahyu Tri Widayanti, Ibu Bariatul Himmah. Ucapan dan terima kasih juga kepada para penyuluh kehutanan di BP2KP Kabupaten Gunung Kidul (Bapak Supriadi, Bapak Diyarno, Bapak Mulyadi, Bapak Widyanto), penyuluh kehutanan di Dishutbun Kab. Wonogiri (Bapak Eko Kadarmanto dan Bapak Kusnanto), Bapak Senen dan keluarga, Bapak Prambudi dan keluarga, Bapak Siman dan keluarga, Adik Milla, Vyta dan Laeli, yang telah sangat membantu dalam proses pengambilan data di lapangan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mbak Nana, Diani, adik Ganjar Samiaji (alm), beserta keluarga yang telah memberi bantuan selama pengambilan data di lapangan.

Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada orang tua terkasih (Alm. Papa Memet Krisna Sukarno dan Mama Yoshie Kuwabara), mertua terkasih (Alm. Papa Yohanes L. Therik dan Mama Mieke Therik-Rotti), kakak Hanako H. Sukarno dan adik Yoshino M. Sukarno beserta keluarga, serta keluarga lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kepada para sahabat, terutama teman-teman seperjuangan Angkatan 2007 Program Studi PPN-IPB (Adi Riyanto, Yunita, Tin Herawati, Ibu Puji Winarni, Rayuddin, Bapak Ramli Toha, Bapak Narso, Bapak Dwi Sadono, M. Ikbal, Sapar, beserta keluarga), para sahabat di Kementerian Kehutanan (Ibu Djunaida Hak, Ibu Ryke, Endang D.Hastuti, Suwandi, Victor, Hendro Asmoro, Sri Ramadoan, Ristianasari, Kusdamayanti, Maya Ambinari), Forum Karyasiswa Kementerian Kehutanan, Pelayan Teruna, Gerakan Pemuda, Pengurus UP2M, sahabat di GPIB Zebaoth Bogor (Yanti, Haryani, Hapsari, Didi, beserta keluarga), alumni PMK IPB (Pemter, Ade Dewiana, David Tobing, beserta keluarga), yang dengan tulus senantiasa mendoakan, membantu dan memberikan semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2011

(13)

DAFTAR ISI

Pembelajaran dan Proses belajar ... Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar ...…………... Karakteristik Individu Pembelajar ... Kompetensi Penyuluh dalam Proses Belajar ... Pendekatan Pembelajaran ... Kelembagaan Masyarakat ... Kelembagaan Pendukung Proses Belajar ... Perubahan Perilaku Sebagai Hasil Proses Belajar ... Penyuluhan Merupakan Pembelajaran Masyarakat ………... Hutan Rakyat ………... Sistem Sertifikasi Ekolabel Pengelolaan Hutan Lestari ……... KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Kerangka Berpiikir ………... Hipotesis Penelitian ………...………... METODE PENELITIAN

(14)

Halaman

Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian………... Pengolahan dan Analisis Data ... Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian……... DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri ... Hutan Rakyat di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri ... Sejarah Hutan Rakyat ... Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ... Deskripsi Peubah Penelitian ...

Karakteristik Individu Petani ... Kompetensi penyuluh ... Pendekatan pembelajaran ... Kelembagaan Masyarakat ... Kelembagaan Pendukung Pembelajaran ... Intensitas Belajar Petani ... Perilaku Petani dalam Mengelola Hutan Rakyat ... ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN

PEMBELAJARAN PETANI

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perbandingan Perangkat Kelembagaan Pembelajaran Lama Dan Baru.. 31

2. Klasifikasi Jenjang Perubahan Perilaku ... 36

3. Lima Ragam Kapabilitas Belajar, Kinerja Unjuk Kerja dan Contoh... 38

4. Perbandingan Pendekatan Cetak Biru dan Proses Belajar ... 44

5. Perbandingan Intensitas Belajar ”Tinggi yang Memberdayakan Petani” dan ”Rendah yang Memperdayakan Petani” …... 56

6. Perbandingan Ciri Penyuluh sebagai ”Insider” yang bekerja sama dan Penyuluh sebagai ”Outsider” yang bekerja untuk masyarakat... 57

7. Perbandingan Pendekatan Pembelajaran (Learning) dan “Pengajaran” (Teaching) ... 59

8. Ciri Kelembagaan Masyarakat Yang ”Dinamis” dan ”Statis” ... 60

9. Ciri Kelembagaan Pendukung ”Kolaboratif” dan ”Non Kolaboratif”.... 61

10. Perbandingan Karakteristik Petani “Responsif” dengan Petani ”Tidak Responsif” terhadap Proses Belajar ... 62

11. Perbandingan Perilaku ”Pro Lestari” dan ”Kontra Lestari” dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ... 63

12. Perincian Jumlah Responden Penelitian ... 68

13. Reliabilitas Peubah Penelitian ... 72

14. Indikator dan Parameter Peubah Karakteristik Petani …... 77

15. Indikator dan Parameter Kompetensi Penyuluh………...…... 78

16. Indikator dan Parameter Kompetensi Peubah Pendekatan Pembelajaran……...…... 80

17. Indikator dan Parameter Peubah Kelembagaan Masyarakat…... 81

18. Indikator dan Parameter Peubah Kelembagaan Pendukung Pembelajaran... 83

19. Indikator dan Parameter Peubah Intensitas Belajar Petani…... 84

20. Indikator dan Parameter Peubah Perilaku Petani ……..…... 85

(16)

Halaman

22. Perbandingan Kompetensi Penyuluh/Pendamping di Kab. Gunung

Kidul dan Wonogiri... 103 23. Perbandingan Pendekatan Pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat

Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 113 24. Perbandingan Kelembagaan Masyarakat pengelolaan Hutan Rakyat

Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 119 25. Perbandingan Kelembagaan Pendukung Pembelajaran Hutan Rakyat

Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 128 26. Perbandingan Intensitas Belajar petani dalam pengelolaan Hutan

Rakyat Lestari di Kab.Gunung Kidul dan Wonogiri ... 139 27. Perbandingan Perilaku Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat

Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 146 28. Perbandingan Pengetahuan Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat

Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 149 29. Perbandingan Sikap Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari

di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 151 30. Perbandingan Keterampilan Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat

Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 153

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Konseptual penelitian ... 55

2. Bagan Kerangka Berpiikir ... 65

3. Model Hipotetik Persamaan Struktural ... 75

4. Model Y1. Model Intensitas Belajar Petani HRL ... 76

5. Model Y2. Model Perilaku Petani HRL ... 76

6. Model Lengkap Pembelajaran Petani Hutan Rakyat Lestari... 154

7. Model Pengembangan Pembelajaran Petani Hutan Rakyat Lestari... 187

8. Strategi Pengembangan Pembelajaran Petani HRL... 198

(18)

Latar Belakang

Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan aset nasional, bahkan aset dunia yang harus dipertahankan keberadaannya secara optimal. Menurut Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Pasal 3 penyelenggaraan kehutanan bertujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan, mengoptimalkan aneka fungsi hutan, meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan, serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan (Kemenhut, 2010).

Penjabaran Undang-Undang dimaksud dalam pelaksanaannya masih kurang optimal. Masih banyak ditemukan pemanfaatan hutan yang berlebihan dengan mengabaikan keberadaan dan fungsi hutan secara ekologis dan sosial, yang mengakibatkan peningkatkan laju deforestasi dan kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Berdasarkan data Kemenhut (2010) laju deforestasi antara tahun 2000 – 2005 mencapai 1,08 juta hektar/tahun. Hutan dan lahan kritis di Indonesia mencapai 77,8 juta hektar, terdiri dari lahan sangat kritis: 6,9 juta hektar, 23,3 kritis dan 47,6 agak kritis. Kerusakan hutan dan lahan semakin memperburuk kondisi masyarakat miskin di dalam dan sekitar hutan, yang saat ini diperkirakan sebanyak 30-35% dari jumlah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan (48,8 juta penduduk).

(19)

dikembangkan di lahan-lahan milik masyarakat, bertujuan selain untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis, memenuhi permintaan pasar terhadap kebutuhan kayu, juga meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai pengelola.

Kayu rakyat mampu memberikan kontribusi bagi penurunan defisit kebutuhan kayu yang sedang dihadapi oleh dunia kehutanan saat ini. Penggunaan bahan baku dari hutan rakyat meningkat dari tahun ke tahun. Penggunaan bahan baku dari hutan rakyat pada tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai 50%, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 40% (BRIK, 2010). Hutan rakyat dan industri pengolahan hasilnya merupakan pilihan teknologi budidaya dan industri yang tepat guna bagi wilayah-wilayah yang berlahan marjinal dengan kondisi sosio budaya tradisional (Darusman, 2002).

Peluang pengembangan hutan rakyat dan industri pengolahannya di Indonesia masih terbuka luas. Sejak tahun 2002 hingga sekarang Hutan Rakyat berkembang pesat, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL, yang sering disebut GERHAN), yang dicanangkan oleh Pemerintah, sejak 2002 telah meningkatkan luas Hutan Rakyat di daerah-daerah kritis seluas 1.102.912 hektar, termasuk di Gunung Kidul dan Wonogiri (Kemenhut, 2010).

Pengembangan hutan rakyat secara umum menghadapi permasalahan-permasalahan yang dikelompokan ke dalam empat sub sistem, yaitu: produksi, pengolahan hasil, pemasaran, kelembagaan dan kebijakan serta peraturan perundangan (Mindawati et.al., 2006). Permasalahan pada sub sistem kelembagaan, kebijakan dan peraturan perundangan adalah : (a) sumber daya manusia masih rendah, intervensi pemerintah dalam pembentukan kelompok sifatnya top down dan pembinaan tidak berkelanjutan atau bersifat keproyekan; (b) kebijakan pembangunan kehutanan masih mengacu pada penanaman dan belum dirancang secara terpadu dengan komoditi yang lain agar pemanfaatan lahan lebih optimal; dan (c) kurang komunikasi baik antar multipihak.

(20)

pengembangan hutan rakyat di masa mendatang, juga mempunyai nilai strategis. Dengan adanya sertifikat Ekolabel bagi pengelolaan hutan oleh masyarakat, yang oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dinamakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML), diharapkan harga jual kayu meningkat dan dapat menembus pasar internasional sehingga berdampak positif terhadap kehidupan masyarakatnya.

Pengelolaan Hutan Rakyat oleh masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, telah berhasil membuktikan bahwa Hutan Rakyat dapat diandalkan sebagai pemasok kayu bagi pasaran nasional dan internasional sekaligus menjadi contoh pengelolaan hutan secara lestari dan dapat mempercepat rehabilitasi hutan dan lahan. Sertifikat ekolabel juga diharapkan dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat, karena diharapkan kayu bersertifikat ekolabel memiliki nilai jual yang lebih tinggi.

Pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri merupakan teladan keberhasilan suatu proses pembelajaran petani dengan kearifan tradisionalnya dalam pengelolaan hutan secara lestari, serta pengelolaan hutan yang kolaboratif karena melibatkan proses kerja sama berbagai pihak, yaitu Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat serta organisasi pemerhati pengembangan hutan rakyat. Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh berbagai pihak telah meningkatkan kapasitas kelembagaan petani, yang saat ini merupakan salah satu kelemahan dalam pengembangan hutan rakyat, khususnya di Indonesia.

(21)

Proses belajar masyarakat tersebut pada dasarnya merupakan kegiatan penyuluhan, sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (Dephut, 2006).

Perumusan Masalah Penelitian

Proses belajar masyarakat di dalam dan sekitar hutan pada dasarnya merupakan kegiatan penyuluhan. Perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu tujuan penyuluhan kehutanan. Penyuluhan kehutanan terus berupaya mengembangkan paradigma penyuluhan ke arah pemberdayaan masyarakat. Namun, sampai dengan saat ini belum memiliki acuan yang jelas bagaimana pendekatan pembelajaran masyarakat yang baik, khususnya pada petani hutan, yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Program-program penyuluhan kehutanan sampai dengan saat ini masih lebih banyak bersifat sekedar kegiatan pemberian bantuan (filantropi), yang tidak memberdayakan masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas belajar petani merupakan permasalahan yang ingin diperoleh jawabannya dalam penelitian ini. Diharapkan penelitian ini dapat menyumbangkan suatu konsep awal acuan model penyuluhan kehutanan yang dapat memberdayakan petani sehingga petani dapat mandiri dalam mengelola hutan secara lestari.

Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menganalisis dan menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Faktor-faktor manakah yang menjadi penentu intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat secara lestari?

(22)

3. Bagaimanakah model dan strategi penyuluhan kehutanan yang dapat mengembangkan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis faktor penentu intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari;

2. Menganalisis seberapa jauh aspek kelembagaan berperan penting dalam pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari;

3. Merumuskan konsep model dan strategi penyuluhan kehutanan dalam pengelolaan hutan rakyat lestari.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat keilmuan dan manfaat praktis. Manfaat keilmuan dalam hal ini adalah penelitian menyumbangkan perkembangan dalam kajian ilmu penyuluhan khususnya pendidikan non formal berkaitan dengan pembelajaran orang dewasa dalam pembangunan kehutanan berkelanjutan. Sedangkan manfaat praktis ialah penelitian ini memberikan masukan bagi instansi terkait di Pusat, daerah, dan pihak lainnya yang berkepentingan dalam pengembangan pembangunan kehutanan berkelanjutan yang berbasis masyarakat, khususnya dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat lestari. Diharapkan konsep model penyuluhan kehutanan yang didapatkan dari penelitian ini dapat menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan.

(23)

Teori Belajar

Menurut Soemanto (2006) teori belajar berkembang sejalan dengan

perkembangan teori psikologi pendidikan. Tiga aliran psikologi pendidikan yang

mendasari teori belajar yaitu :

(1) Teori belajar dari psikologi behavioristik

Tokoh-tokoh aliran ini sering disebut contemporary behaviorists atau S-R

psychologists. Menurut teori ini tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terhadap jalinan yang erat antara reaksi-reaksi

behavioral dengan stimulasinya. Pandangan ini mempercayai bahwa tingkah laku

murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu

dan sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku adalah merupakan hasil belajar.

Jadi kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar

belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut. Aliran

behavioristik dipelopori oleh Thorndike. Selanjutnya tokoh-tokoh yang

mengembangkan aliran behavioristik ialah Pavlov, Watson, Skinner, Wabon, dan

Ghuthrie.

(2) Teori belajar dari psikologi kognitif

Menurut teori ini, tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada

kognisis, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku

itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan

memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Kaum kognitis berpandangan

bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung pada insight terhadap

hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi. Mereka memberi tekanan pada

organisasi pengamatan atas stimuli di dalam lingkungan serta pada faktor-faktor

yang mempengaruhi pengamatan. Tokoh pelopor aliran ini ialah Mex Werheimer,

yang dikenal dengan teori belajar Gestalt. Tokoh selanjutnya pada aliran kognitif

ialah Kurt Koffka, Wolfgang Kohler, teori belajar Cognitive-Field Lewin, teori

belajar cognitive development Piaget, dan Jerome Bruner dengan Discovery

(24)

(3) Teori belajar dari psikologi humanistik

Perhatian psikologi humanistik yang terutama pada masalah bagaimana

tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang

mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Tujuan

utama pada pendidik ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu

membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai

manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang

ada pada mereka. Psikologi humanistik ini timbul pada akhir tahun 1940-an dan

masuk dalam dunia pendidikan pada tahun 1960-1970-an. Beberapa tokoh

humanistik antara lain Comb, Maslow dan Rogers.

Penggolongan teori belajar yang lain menurut Tan et. al. (2001), selain

teori belajar kognitif dan behavior, dikenal teori belajar neo-behavior atau sering

juga disebut neo-kognitif. Teori ini mempercayai bahwa perubahan perilaku dapat

diamati dan dipengaruhi oleh proses internal. Salah satu teori yang termasuk

golongan ini ialah teori belajar sosial yang dicetuskan oleh Albert Bandura.

Menurut teori belajar sosial, tingkah laku manusia dari segi interaksi timbal-balik

berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkah laku dan faktor lingkungan.

Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan

secara timbal balik (Bandura, 1977).

Selanjutnya dalam perkembangan teori belajar, muncul teori yang

menjelaskan bahwa peserta didik merupakan pelaku yang aktif dalam

merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Rogers (1969) sebagai

pencetus teori ini, melakukan percobaan belajar yang non-direktif dengan

menggunakan prinsip “self determination” dan “self-directions” dengan

pendekatan “learner centered”. Menurut Rogers, pembelajaran memberikan

kebebasan yang luas kepada peserta didik untuk menentukan apa yang ingin ia

pelajari sesuai dengan sumber-sumber belajar yang tersedia atau yang dapat

disediakan. Menurut teori ini, perilaku merupakan perwujudan diri peserta didik

melalui upaya mereka dalam mengembangkan dirinya. Adanya perkembangan diri

peserta didik memberi kemungkinan kepada mereka untuk meningkatkan

(25)

Teori lainnya berkaitan dengan permasalahan sosial, Freire (1984)

mengungkapkan bahwa pembelajaran perlu menggunakan konsep

“conscientization” dan konsep “praxis”. “Conscientization” menekankan pengembangan kesadaran diri peserta didik untuk memahami lingkungannya

melalui pendidikan “membebaskan”, yaitu pendidikan yang memperlakukan

peserta didik sebagai subyek yang aktif. “Praxis” menekankan cara berfikir

reflektif sebagai kunci keberhasilan dalam belajar dan merupakan fungsi manusia

sebagai subyek yang memiliki kemampuan menelaah dengan kritis, berinteraksi,

dan mengubah dunia kehidupannya.

Freire mengemukakan bahwa proses penyadaran dapat dilakukan dengan

pendidikan yang humanis dan dialogis (interaktif). Freire mendobrak pendidikan

sistem gaya bank dan mengubahnya menjadi pendidikan ”hadap masalah” (problem-posing education), dimana guru dan murid dijadikan sebagai subjek dan menjadikan dialog sebagai unsur terpenting dalam pendidikan. Freire

mengemukakan bahwa pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam

hubungan dialektisnya yang ajeg, yaitu pengajar dan pelajar sebagai subyek yang

sadar (cognitive), dan realitas dunia sebagai obyek yang tersadari (cognizable).

Metode pendidikan yang di kemukakan oleh Freire mendasarkan diri pada dialog,

yang merupakan hubungan horizontal antar pribadi.

Selain teori belajar di atas, dikenal juga teori belajar orang dewasa

(andragogi), Knowles (1980) mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu

dalam membantu peserta didik (orang dewasa) untuk belajar. Teori andragogi

yang pertama dikembangkan oleh Knowles, didukung oleh para pakar pendidikan

lainnya, seperti Darkenwald dan Meriam, Patricia Gross dan Jarvis. Inti teori

andragogi adalah teknologi keterlibatan diri peserta didik. Artinya bahwa kunci

keberhasilan dalam proses pembelajaran peserta didik terletak pada keterlibatan

diri mereka dalam proses pembelajaran. Asumsi yang dijadikan landasan dalam

teori andragogi adalah : (1) orang dewasa mempunyai konsep diri; (2) orang

dewasa memiliki akumulasi pengalaman; (3) orang dewasa mempunyai kesiapan

untuk belajar; (4) orang dewasa berharap dapat segera menerapkan perolehan

(26)

Belajar bagi orang dewasa mengarah pada proses pemenuhan kebutuhan

belajar dan pencapaian tujuan belajar. Orang dewasa merasakan adanya

kebutuhan untuk belajar dan melihat tujuan pribadinya akan tercapai melalui

belajar. Proses belajar akan terpusatkan pada pengalaman sendiri melalui interaksi

antara dirinya dengan lingkungannya. Kualitas belajar akan dipengaruhi oleh

kuantitas dan kualitas interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian seni

membelajarkan orang dewasa merupakan upaya mengelola lingkungan dan

interaksinya dengan peserta didik melalui proses pembelajaran. Implikasinya

dalam proses pembelajaran diperlukan penggunaan metode dan teknik

pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara intensif dalam mendiagnosis

kebutuhan belajar, merumuskan tujuan belajar, merangsang dan melaksanakan

kegiatan belajar, serta menilai proses, hasil dan dampak pembelajaran (Sudjana,

2000).

Dalam perkembangan teori belajar muncul pembelajaran partisipatif.

Menurut teori ini kegiatan pembelajaran akan efektif apabila peserta didik merasa

butuh belajar, menyadari bahwa belajar itu penting bagi perubahan dirinya, serta

ikut ambil bagian secara aktif dalam merancang apa yang akan dipelajari,

menentukan cara-cara dalam mempelajari dan merasakan manfaat dapat diperoleh

dari kegiatan pembelajaran. Oleh karenanya prinsip pembelajaran partisipatif

adalah : (1) berdasarkan kebutuhan belajar. Pentingnya kebutuhan belajar

didasarkan asumsi bahwa peserta didik akan belajar secara efektif apabila semua

komponen program pembelajaran dapat membantu peserta didik untuk memenuhi

kebutuhan belajarnya; (2) berorientasi pada tujuan kegiatan pembelajaran (learner

centered). Kegiatan pembelajaran partisipatif direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan belajar

disusun berdasarkan kebutuhan belajar dengan mempertimbangkan pengalaman

peserta didik, potensi yang dimilikinya, sumber-sumber yang tersedia pada

lingkungan kehidupan mereka. Oleh karena itu, untuk dapat merumuskan tujuan

belajar secara tepat dan proses belajar dapat berjalan dengan baik, perlu dilakukan

identifikasi potensi, sumber-sumber bahkan hambatan yang akan dihadapi; (3)

berpusat pada peserta didik. Kegiatan pembelajaran didasarkan atas dan

(27)

diikutkan dan memegang peranan penting dalam perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi kegiatan pembelajaran; (4) berangkat dari pengalaman belajar

(experiental learning).Pembelajaran partisipatif dilakukan dengan berangkat dari pengetahuan, nilai dan ketrampilan yang telah dimiliki oleh peserta didik dan

lebih menitikberatkan pada pendekatan pemecahan masalah.

Pembelajaran dan Proses Belajar

Pembelajaran berasal dari kata dasar belajar. Pembelajaran adalah suatu

disiplin yang menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan dan

memperbaiki proses belajar. Sasaran utamanya adalah mempreskripsikan strategi

yang optimal untuk mendorong prakarsa dan memudahkan belajar. Dengan

demikian, pembelajaran adalah upaya menata lingkungan agar terjadinya proses

belajar pada diri pembelajar (Dwiyogo, 2008). Bruner (1964) membedakan antara

teori belajar dan teori pembelajaran. Teori belajar adalah deskriptif, sedangkan

teori pembelajaran adalah preskriptif. Teori belajar mendeskripsikan adanya

proses belajar, teori pembelajaran mempreskripsikan strategi atau metode

pembelajaran yang optimal, yang dapat mempermudah proses belajar.

Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia.

Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu

sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup

manusia merupakan hasil dari proses belajar. Proses belajar dapat berlangsung

pada pendidikan formal, informal dan nonformal. Sehubungan dengan hal

tersebut, Coombs (1973) memberikan pengertian yang berbeda bagi ketiga jenis

pendidikan tersebut. Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis,

berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari Sekolah Dasar sampai dengan

Perguruan Tinggi dan yang setaraf dengan itu, termasuk ke dalamnya kegiatan

studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan

profesional yang dilaksanakan secara terus menerus. Pendidikan informal adalah

proses belajar yang berlangsung sepanjang hayat sehingga setiap orang

memperoleh nilai, sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang bersumber dari

pengalaman hidup sehari-hari. Pengaruh lingkungan termasuk di dalamnya adalah

(28)

pasar, perpustakaan, dan media massa. Pendidikan nonformal adalah kegiatan

yang terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan,

dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih

luas yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam

mencapai tujuan belajarnya.

Winkel (1991) menyatakan bahwa belajar merupakan kegiatan mental

yang tidak dapat disaksikan dari luar. Apa yang sedang terjadi dalam diri seorang

yang sedang belajar, tidak dapat diketahui secara langsung hanya dengan

mengamati orang itu. Bahkan, hasil belajar orang itu tidak langsung kelihatan,

tanpa orang itu melakukan sesuatu yang menampakkan kemampuan yang telah

diperoleh melalui belajar. Belajar terjadi dalam interaksi dengan lingkungan;

dalam bergaul dengan orang, dalam memegang benda dan dalam menghadapi

peristiwa manusia belajar. Namun, tidak sembarang berada di tengah-tengah

lingkungan, menjamin adanya proses belajar. Orangnya harus aktif sendiri

melibatkan diri dengan segala pemikiran, kemauan dan perasaannya. Dengan

demikian Winkel (1991) mendefinisikan belajar sebagai suatu aktivitas

mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang

menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, ketrampilan

dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas.

Perubahan-perubahan itu dapat berupa suatu hasil yang baru atau pula

penyempurnaan terhadap hasil yang telah diperoleh.

Marzano (1992) mengungkapkan bahwa belajar merupakan upaya

pemberian makna oleh pembelajar kepada pengalamannya. Prosesnya mengarah

pada pengembangan struktur kognitif dan dilakukan baik secara mandiri maupun

secara sosial. Tujuan utama pembelajaran adalah membelajarkan pembelajar.

Kegiatan belajar akan efektif jika melalui lima dimensi belajar yaitu: (1) Memiliki

sikap dan persepsi positif terhadap belajar; (2) Mau dan mampu mendapatkan dan

mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan serta membangun sikapnya; (3)

Mau dan mampu memperluas serta memperdalam pengetahuan dan ketrampilan

serta memantapkan sikapnya; (4) Mau dan mampu menerapkan pengetahuan,

ketrampilan, dan sikapnya secara bermakna; dan (5) Mau dan mampu

(29)

Menurut Sudjana (2000), belajar dapat merupakan suatu hasil dan sebuah

proses. Belajar sebagai hasil merupakan upaya yang disengaja oleh seseorang

yang bertujuan untuk mencapai tujuan belajar. Sedangkan belajar sebagai proses

merupakan perilaku mengembangkan diri melalui proses penyesuaian tingkah

laku. Penyesuaian tingkah laku dapat terwujud melalui kegiatan belajar, bukan

karena akibat langsung dari pertumbuhan seseorang yang melakukan kegiatan

belajar. Dengan demikian belajar sebagai proses adalah kegiatan seseorang yang

dilakukan secara sengaja melalui penyesuaian tingkah laku dirinya dalam upaya

untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.

Flanders (1969), diacu dalam Klausmeier dan Goodwin (1971),

menyebutkan bahwa dalam proses belajar, kualitas interaksi antara guru dan

murid, murid dan murid, guru dan guru serta guru dan pegawai mempengaruhi

hasil belajar. Interaksi guru dan murid sangat dipengaruhi oleh hubungan

interpersonal, komunikasi verbal dan non verbal. Interaksi guru dan murid terjadi

jika ada komunikasi dua arah dan seimbang. Demikian interaksi sesama murid,

akan mendukung pencapaian tujuan kelompok. Kekohesivan kelompok sangat

berperan dalam mendukung proses belajar.

Freire (1984) memberikan perhatian pada proses belajar yang dialogis atau

interaktif antara guru dan murid. Guru dan murid sama-sama menjadi subyek

dalam proses belajar. Proses belajar diawali dengan penyadaran warga belajar

secara bertahap atas masalah yang dihadapi, sehingga warga belajar mampu

menafsirkan masalah, mampu merefleksikan dan melihat hubungan sebab akibat

permasalahan yang dihadapinya dengan kondisi dan realitas yang ada, serta dapat

mengambil tindakan untuk penyelesaian masalah yang dihadapi.

Dwiyogo (2008) menyatakan bahwa kecenderungan pembelajaran masa

depan telah mengubah pendekatan pembelajaran tradisional ke arah pembelajaran

visioner (masa depan), dimana pembelajaran dapat dilakukan dimana saja, kapan

saja, dengan siapa saja, melalui apa saja. Artinya pembelajaran tidak tergantung

pada suatu tempat tertentu seperti ruangan kelas, pada suatu waktu tertentu

(30)

Faktor Yang Mempengaruhi Proses Belajar

Proses belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, Suryabrata (2006)

menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi proses belajar dapat digolongkan

ke dalam dua golongan besar, yaitu: (1) faktor-faktor yang berasal dari luar diri

pelajar, dan (2) faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pelajar. Faktor yang

berasal dari luar diri pelajar digolongkan ke dalam dua golongan yaitu: faktor non

sosial dan faktor sosial. Faktor non sosial dalam hal ini ialah : lokasi/tempat

belajar, fasilitas belajar dan lainnya, sedangkan faktor sosial ialah kehadiran orang

lain dalam proses belajar. Faktor yang berasal dari dalam diri pelajar digolongkan

ke dalam dua golongan yaitu: faktor-faktor fisiologis dan faktor-faktor psikologis.

Faktor fisiologis dalam hal ini ialah kondisi jasmani, panca indra dan lainnya;

sedangkan faktor psikologis yaitu motif, kebutuhan atau cita-cita.

Tan et. al. (2001) menyebutkan faktor eksternal yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial juga mempengaruhi proses belajar. Lingkungan fisik dalam hal

ini ialah aksesibilitas, zone kegiatan visibilitas dan lainnya, sedangkan lingkungan

sosial diantaranya ialah komunitas belajar, tingkat kekohesivan, norma dan tujuan

belajar. Soemanto (2006) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

proses belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

(1) Faktor-faktor stimuli belajar

Stimuli belajar yaitu segala hal di luar individu yang merangsang individu

itu untuk mengadakan reaksi atau perbuatan belajar. Stimuli dalam hal ini

mencakup materiil, penegasan, serta suasana lingkungan eksternal yang

harus diterima atau dipelajari oleh si pelajar.

(2) Faktor-faktor metode belajar

Metode yang digunakan oleh guru/fasilitator menimbulkan perbedaan yang

berarti bagi proses belajar

(3) Faktor-faktor individual

Faktor individual sangat besar pengaruhnya terhadap proses belajar

seseorang. Faktor-faktor individual menyangkut beberapa hal, yaitu : (a)

kematangan; (b) faktor usia kronologis; (c) faktor perbedaan jenis kelamin;

(d) pengalaman sebelumnya; (e) kapasitas mental; (f) kondisi kesehatan

(31)

Klausmeier dan Goodwin (1971) menyebutkan ada sembilan faktor yang

mempengaruhi proses belajar, yaitu :

(1) Tujuan belajar

Proses belajar dipengaruhi oleh tujuan pembelajaran, apa yang diharapkan

dan diinginkan dari proses pembelajaran tersebut;

(2) Materi pembelajaran

Setiap orang yang belajar, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan

pada suatu bidang tertentu. Semakin dewasa orang yang belajar cenderung

akan mendekati suatu minat atau keahlian dalam suatu bidang tertentu;

(3) Media dan teknologi dalam pembelajaran

Bangunan sekolah dilengkapi dengan perlengkapan audio, audio visual,

komputer, ruangan untuk kegiatan belajar kelompok dan lainnya;

(4) Karakteristik dan perilaku orang yang belajar

Untuk memperoleh proses belajar yang efektif sangat ditentukan oleh

karakteristik dan perilaku orang yang belajar baik kemampuan

pengetahuan/intelektual, kemampuan psikomotorik dan fisik serta

karakteristik sikap;

(5) Karakteristik pengajar

Kemampuan intelektual, ketrampilan dan sikap guru sangat berpengaruh

terhadap efektifnya suatu proses belajar;

(6) Interaksi pengajar dan orang yang belajar

Interaksi pengajar dan orang yang belajar diantaranya ialah bagaimana

komunikasi antara pengajar dan yang diajar, bagaimana cara pengajar

menerangkan atau mengajar dan lainnya;

(7) Organisasi, organisasi kependidikan baik penyelenggaraan pendidikan,

maupun organisasi keprofesian guru;

(8) Karakteristik fisik, seperti ruangan, sarana dan fasilitas lembaga pendidikan

sangat menentukan keberhasilan proses belajar; dan

(9) Hubungan rumah-sekolah dan komunitas, sekolah menjalankan fungsi sosial

dimana rumah dan tetangga dimana murid berasal memberikan pengaruh

(32)

Berdasarkan kajian beberapa literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa

faktor yang mempengaruhi proses belajar secara umum terbagi dua bagian besar

yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi

proses belajar antara lain adalah: kompetensi pengajar; pendekatan atau metode

pengajaran yang digunakan; lingkungan sosial dimana pembelajar tinggal atau

bermasyarakat; dan kelembagaan yang memfasilitasi proses belajar. Faktor

internal yang mempengaruhi proses belajar adalah karakteritik individu

pembelajar itu sendiri. Faktor internal dan eksternal tersebut, bila dikaitkan

dengan proses belajar masyarakat dalam pengelolaan hutan, maka dapat

disesuaikan menjadi: (1) kompetensi penyuluh dalam proses belajar; (2)

pendekatan pembelajaran; (3) kelembagaan masyarakat; (4) kelembagaan

pendukung pembelajaran masyarakat; dan (5) karakteristik petani pembelajar.

Karakteristik Individu Pembelajar

Karakteristik individu pembelajar merupakan faktor internal yang

mempengaruhi proses belajar, yang akan dikaji dalam penelitian ini. Berkaitan

dengan faktor individual yang mempengaruhi proses belajar, Tan et.al (2001)

menyebutkan bahwa motivasi merupakan unsur penting dalam pembelajaran.

Motivasi merupakan kekuatan yang menguatkan, memelihara, dan mengarahkan

perilaku ke arah pencapaian tujuan pembelajaran. Penelitian dan teori-teori

menyebutkan bahwa motivasi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua

tipe, yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Menurut Soemanto (2006)

motivasi intrinsik ialah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak

perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan

untuk melakukan sesuatu. Motivasi ekstrinsik ialah motif-motif yang aktif dan

berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Bila dikaitkan dengan

faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar di atas, seluruh faktor-faktor-faktor-faktor eksternal

tersebut dapat menjadi motivasi eksternal bagi orang yang belajar.

Bila dikaitkan dengan proses belajar dalam pendidikan nonformal,

Sumardjo (1999) mengungkapkan bahwa karakteristik : ciri komunikasi,

kepribadian, status sosial, motivasi intrinsik dan ekstrinsik mempengaruhi proses

(33)

yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, akan berpengaruh pada

proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami keberhasilan dalam

proses belajar, maka ia telah memiliki perasaan optimis akan keberhasilan di masa

mendatang. Sebaliknya seseorang yang pernah memiliki pengalaman

mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk dapat berhasil.

Sejalan dengan itu, Soebiyanto (1998) mengungkapkan bahwa karakteristik

pribadi petani (pengalaman berusahatani, motivasi, dan pendidikan formal)

berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani. Demikian juga dengan

karakteristik ekonomi (penguasaan lahan dan pemilikan alat produksi)

berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani.

Suparno (2001) mengemukakan faktor individual lain yang mempengaruhi

proses belajar yaitu: konsep diri, locus of control, kecemasan. dan motivasi.

Konsep diri ialah penilaian atau penghargaan yang diberikan oleh individu

terhadap diri sendiri, dapat bernilai positif, negatif atau di antara keduanya. Untuk

proses belajar yang baik, diperlukan konsep diri yang mengarah pada konsep diri

positif. Contohnya: saya dapat berprestasi dan memiliki pemikiran yang baik

untuk dikembangkan. Konsep diri biasanya dipengaruhi oleh pengalaman, pola

atau praktek pengasuhan dan perkembangan fisik seseorang. Locus of control

adalah cara bagaimana seseorang mempersepsi dan meletakkan hubungan antara

perilaku dirinya dengan konsekuensi-konsekuensi dan apakah ia menerima

tanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Kecemasan digambarkan

sebagai keadaan emosi yang dihubungkan dengan rasa takut, tetapi obyek rasa

takut itu tidak jelas.

Kompetensi Penyuluh dalam Proses Belajar

Konsep kompetensi diawali pada tahun 1973 oleh Mc. Clelland, dan

dikembangkan oleh Boyatzis pada tahun 1982. Beberapa definisi kompetensi

antara lain:

(1) Boyatzis (1984)

Kemampuan (ability) dan ketrampilan (skill) yang dimiliki seseorang untuk

(34)

Sedangkan ketrampilan berkaitan dengan pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan.

(2) Spencer dan Spencer (1993) :

Kompetensi merupakan segala bentuk tentang motif, sikap, ketrampilan, pengetahuan, perilaku atau karakteristik pribadi lain yang penting, untuk melaksanakan pekerjaan atau membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior.

(3) Samana (1994)

Seseorang dikatakan kompeten apabila seseorang menguasai kecakapan kerja atau keahlian selaras dengan tuntutan bidang kerja yang bersangkutan. Kecakapan kerja tersebut diwujudkan dalam perbuatan yang bermakna, bernilai sosial dan memenuhi standar tertentu yang diakui oleh kelompok profesinya dan masyarakat yang dilayani.

(4) Sumardjo (2006)

Kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap sesuai dengan petunjuk kerja yang ditetapkan.

Rogers (1983) mengemukakan bahwa seorang penyuluh dikatakan

kompeten apabila dia berhasil melaksanakan serangkaian tugasnya yang

mencakup : (1) kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menjalin hubungan

secara langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat sasarannya; (2)

kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menjadi perantara/mediator antara

sumber-sumber inovasi dengan pemerintah, lembaga penyuluhan dan masyarakat

sasarannya; dan (3) kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menyesuaikan

kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan kebutuhan yang dapat dirasakan oleh

pemerintah atau lembaga penyuluhan dan masyarakat sasarannya.

Menurut Spencer dan Spencer (1993) berdasarkan kriteria yang digunakan

untuk memprediksi kinerja suatu pekerjaan, kompetensi dapat dibedakan menjadi

dua kategori, yaitu “threshold” dan “differentiating”. Threshold competencies

merupakan karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat

melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik utama tersebut adalah pengetahuan

atau keahlian dasar terkait dengan bidang kompetensinya. Differentiating

competencies adalah faktor-faktor yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu yang berkinerja baik dengan yang berkinerja rendah. Dalam

(35)

atau keahlian dasar seorang penyuluh adalah kemampuan berkomunikasi secara

efektif, kemampuan membangun kerja sama (networking), dan kemampuan

mengembangkan inovasi secara berkelanjutan. Sedangkan Differentiating

competencies dalam konteks penyuluh adalah menyangkut orientasi motivasi melaksanakan tugas penyuluhannya.

Chamala dan Shingi (1997) mengungkapkan bahwa penyuluh ke depan

harus memiliki kompetensi dalam menjalankan empat peranan penting, yaitu: (1)

pemberdayaan; (2) pengelolaan kelompok dan organisasi masyarakat; (3)

pengembangan sumberdaya manusia; serta (4) pemecahan masalah dan

pendidikan. Peranan pemberdayaan dalam hal ini ialah kegiatan membantu

masyarakat untuk membangun, mengembangkan dan meningkatkan kekuasaan

(power) masyarakat melalui kemitraan, pembagian peran dan bekerja sama. Kekuasaan dalam pemberdayaan berasal dari menggali energi laten yang

tersembunyi, yang ada dalam masyarakat itu sendiri dan membangun kegiatan

bersama untuk kepentingan bersama. Peranan pengelolaan kelompok atau

organisasi masyarakat dalam hal ini ialah: Penyuluh harus menguasai prinsip

pengelolaan kelompok dan organisasi kemasyarakatan agar masyarakat terutama

kelompok yang lemah dapat mengembangkan diri mereka secara mandiri.

Pemahaman terhadap struktur, hukum, aturan dan peranan akan menolong

pemimpin lokal untuk merencanakan, mengimplementasikan dan mengawasi

program sehingga dapat menjalankan peranannya dengan baik.

Peranan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dimaksudkan

sebagai upaya memberdayakan dan memberikan peran kepada semua orang dalam

masyarakat. Pengembangan kapabilitas secara teknis harus dikombinasikan

dengan kapabilitas manajemen. Kompetensi penyuluh dalam hal ini adalah

melatih anggota baik secara individu maupun kelompok untuk mengembangkan

ketrampilan dan meningkatkan kapasitas dalam manajemen organisasi, seperti

perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan. Peranan pemecahan permasalahan dan

pendidikan dalam hal ini adalah penyuluh memiliki kemampuan bukan untuk

mencarikan pemecahan masalah yang tepat untuk permasalahan masyarakat,

tetapi untuk membantu masyarakat agar mereka dapat mengambil solusi bagi

(36)

metode ceramah kepada pendekatan learning by doing dan merangsang petani dan organisasi petani untuk melaksanakan percobaan atau penelitian dan proyek

pembelajaran dengan berbuat (action-learning project).

Berkaitan dengan penyelenggaraan penyuluhan pertanian, Sumardjo

(2006) mengemukakan bahwa ada delapan kompetensi yang diperlukan oleh

penyuluh sarjana untuk dapat mendukung pelaksanaan pekerjaannya yaitu : (1)

kemampuan berkomunikasi secara konvergen dan efektif; (2) kemampuan

bersinergi kerja sama dalam tim; (3) kemampuan akses informasi dan penguasaan

inovasi; (4) sikap kritis terhadap kebutuhan atau ketrampilan analisis masalah, (5)

keinovatifan atau penguasaan teknologi informasi dan desain komunikasi

multimedia; (6) berwawasan luas dan membangun jejaring kerja; (7) pemahaman

potensi wilayah dan kebutuhan petani; dan (8) ketrampilan berpikir logis.

Nuryanto (2008) mengungkapkan bahwa berdasarkan tugas-tugas

penyuluh, tuntutan kompetensi sesuai dengan kebutuhan masyarakat merumuskan

kompetensi dalam pembangunan pertanian yaitu: (1) keefektivan komunikasi; (2)

pemanfaatan media internet, (3) membangun jejaring kerja; (4) mengakses

informasi; (5) pemahaman inovasi; (6) bekerja sama dalam tim; (7) analisis

masalah; (8) berpikir secara sistem/logis; (9) pemahaman potensi wilayah; dan

(10) pemahaman kebutuhan petani.

Kementerian Kehutanan, dalam hal ini Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan,

menetapkan empat kompetensi yang perlu dikuasai oleh Penyuluh Kehutanan

yaitu: (1) menguasai teknologi penyuluhan kehutanan, yaitu mengembangkan

sistem, metode, materi dan alat bantu; (2) menguasai teknologi pemberdayaan

pendampingan masyarakat, yaitu strategi, pengembangan kapasitas, produktivitas,

kapabilitas, mobilitas; (3) menguasai substansi sektor kehutanan, yaitu isu-isu,

kebijakan pembangunan, teknologi, kontribusi; serta (4) menguasai substansi

agrisilvobisnis dan sosial ekonomi, yaitu penyediaan sarana produksi,

produksi/budidaya, pengolahan hasil/pasca panen, pemasaran, lembaga

pendukung.

Sejalan dengan Chamala dan Shingi (1997), Moyo dan Hagmann (1999)

menegaskan bahwa penyuluhan yang efektif di masa mendatang membutuhkan

(37)

penyuluh dari segi teknis menjadi lebih luas yaitu kompetensi penyuluh dalam

mengembangkan kapasitas masyarakat untuk memecahkan masalah. Kompetensi

utama yang dibutuhkan oleh penyuluh menurut Moyo dan Hagmann (1999) ialah :

(1) pemahaman dan orientasi mendalam terhadap visi pembangunan partisipatif

yang dititikberatkan pada pengembangan sumberdaya manusia dan kemandirian

sebagai tujuan penyuluhan; (2) memiliki pandangan terhadap berbagai pendekatan

dan metode penyuluhan dan mengkombinasikannya dengan berbagai elemen yang

ditemui dalam pekerjaannya; (3) memahami secara mendalam proses

pembelajaran dan pendekatan sistem; (4) kreatif menemukan metode dan cara

yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran; (5) kemampuan berkomunikasi dan

keahlian memfasilitasi yang didasarkan pada sikap positif pada klien; (6)

kemampuan melakukan komunikasi dan menjembatani hubungan dengan

berbagai pihak/institusi; (7) pengetahuan teknis berkaitan dengan pemecahan

masalah yang dihadapi berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam secara

efektif dan keamanan pangan, dalam hal ini pengetahuan secara umum, bukan

pengetahuan spesifik terhadap suatu komoditi dan lainnya; (8) memiliki

pengetahuan dan pemahaman tentang manajemen dan organisasi penyuluhan.

Berdasarkan kajian beberapa literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa

kompetensi ialah kemampuan seseorang yang diwujudkan dalam pengetahuan,

sikap dan ketrampilan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, sesuai

dengan standar kerja yang ditetapkan atau bahkan dapat mencapai sasaran ideal

yang diharapkan. Berkaitan dengan penyuluhan kehutanan, kompetensi yang perlu

dan diharapkan dimiliki oleh penyuluh kehutanan adalah: (1) kemampuan

mengembangkan komunikasi; (2) kemampuan mengenali dan memahami

kebutuhan petani; (3) kemampuan menganalisa masalah; (4) kemampuan

mengembangkan kemitraan; (5) kemampuan mengembangkan kapasitas/SDM

petani; (6) kemampuan mengembangkan manajemen dan kelembagaan petani; (7)

kemampuan mengembangkan teknis pengelolaan hutan secara lestari.

Pendekatan Pembelajaran

Prinsip utama dalam pertanian berkelanjutan menurut Roling dan Pretty

(38)

(learning) berbeda dengan pengajaran (teaching). Pengajaran (teaching) lebih menekankan transfer pengetahuan dari seseorang yang tahu kepada seseorang

yang tidak tahu. Pengajaran merupakan model yang umum dalam kurikulum

pendidikan pada banyak organisasi. Pada institusi pendidikan, paradigma

pengajaran ditekankan pada penyampaian materi pelajaran kepada murid/peserta,

tidak memberikan tekanan pada proses pengembangan diri dan peningkatan

kemampuan belajar pada peserta.

Roling dan Pretty (1997) mengemukakan untuk pembelajaran pertanian

berkelanjutan membutuhkan transformasi mendasar pada tujuan, strategi, teori,

persepsi, ketrampilan, pekerja organisasi dan tenaga profesional. Pergeseran dari

pengajaran ke pembelajaran menggeser fokus pembelajaran dari apa yang kita

pelajari ke arah bagaimana kita belajar dan dengan siapa kita belajar. Empat

elemen mendasar yang diperlukan dalam pembelajaran adalah :

(1) Sistem informasi

Pertanian berkelanjutan harus menciptakan perubahan lingkungan sehingga

petani dapat melakukan observasi, pencatatan dan pemantauan;

(2) Kerangka kerja konseptual

Pertanian berkelanjutan merupakan pengetahuan intensif sehingga petani

harus memiliki pengetahuan luas yang berkaitan dengan usaha yang

dilakukan;

(3) Ketrampilan

Petani membutuhkan ketrampilan yang lebih luas berkaitan dengan

usahanya;

(4) Sistem manajemen yang lebih tinggi tingkatannya

Pertanian berkelanjutan membutuhkan manajemen yang bersifat sistemik.

Dalam penyuluhan pertanian sudah lama digunakan model difusi inovasi

atau transfer teknologi dalam pembangunan pertanian, dimana teknologi

ditransfer dari peneliti kepada petani. Pendekatan dengan sistem Latihan dan

Kunjungan (Training and Visit – T & V) banyak dikembangkan di negara-negara

berkembang sejak tahun 1967, yang diawali di Turki (Roling dan Pretty, 1997).

Perubahan paradigma penyuluhan menggeser pendekatan T & V atau pendekatan

(39)

menurut Moyo dan Hagmann (1999) adalah masyarakat petani mendapatkan

kesempatan seluas-luasnya untuk menganalisis kehidupannya sendiri sehingga

mereka secara bertahap mampu menentukan rencana kegiatan secara mandiri,

melaksanakan dan memantau, termasuk mengambil keputusan di setiap tahap

kegiatan. Inti partisipatif ialah proses interaktif dan pemberdayaan.

Leeuwis (2004) mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran,

peserta harus melalui proses : (1) menjadi sadar; (2) berminat; (3) terlibat aktif

dalam pengalaman pembelajaran (dalam hal ini negosiasi); (4) terbentuk praktek

dan rutinitas beradaptasi. Sedangkan Moyo dan Hagmann (1999) menyatakan

proses pembelajaran dalam Participatory Extension Approach (PEA) terdiri dari 4

fase dan 12 tahap yaitu : (1) fase I : mempersiapkan masyarakat/komunitas:

mobilisasi sosial; (2) fase II: perencanaan aksi tingkat komunitas; (3) fase III:

pelaksanaan/pengalaman petani; dan (4) fase IV: monitoring proses melalui

sharing pengalaman dan ide.

Kolb (1984), diacu dalam Leeuwis (2004), memperkenalkan model

pembelajaran ”experiental learning” yang digunakan secara luas. Inti model

pembelajaran ini ialah bagaimana masyarakat belajar melalui pengalaman. Tipe

pembelajaran ini sangat ”berkuasa” (powerful), kesimpulan diambil oleh

masyarakat sendiri berdasarkan pengalaman mereka sendiri untuk mendapatkan

dampak yang lebih besar dibandingkan dengan pandangan yang diformulasikan

oleh orang lain berdasarkan pengalaman yang tidak dapat diidentifikasi oleh

peserta belajar. Pendekatan ini juga sering kali dikaitkan dengan ”learning by

doing” atau ”discovery learning”.

Model pembelajaran ini menekankan bahwa pembelajaran terjadi dari

interaksi berkelanjutan antara proses berpikir dan bertindak: tindakan konkrit

merupakan hasil dari pengalaman tertentu, yang direfleksikan, sehingga

menghasilkan perubahan kognisi, sehingga dapat mengakibatkan tindakan atau

aksi baru. Model ini mengimplikasikan bahwa pembelajaran dapat diperluas

dengan mendukung secara aktif langkah dasar dan proses perubahan selama

proses belajar, dengan menawarkan kesempatan pembelajaran yang baru.

(40)

Kelembagaan Masyarakat

Kesuksesan sistem pertanian berkelanjutan tidak hanya bergantung pada

motivasi, ketrampilan dan pengetahuan individu petani, tetapi pada tindakan yang

dilakukan oleh kelompok masyarakat lokal secara keseluruhan (Pretty, 1995).

Sejalan dengan itu Ostrom (1990), diacu dalam Pretty (1995), menegaskan bahwa

kegagalan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan

disebabkan oleh fokus pengelolaan tanpa mempertimbangkan kerangka

kelembagaan di lokasi tersebut. Hasil studi Bank Dunia terhadap proyek

pembangunan pertanian selama ini menunjukkan bahwa keberhasilan proyek

secara berkelanjutan terjadi bila memberikan perhatian pada pembangunan

kelembagaan dan partisipasi masyarakat (Cernea, 1988).

Menurut Uphoff (1986) istilah kelembagaan atau institusi dan organisasi

sering membingungkan dan bersifat interchangeably. Secara keilmuan ’social

institution’ dan ’social organization’ berada pada level yang sama. Kelembagaan seringkali digunakan untuk mencakup kedua pengertian tersebut. Uphoff (1986)

mendefinisikan institusi atau kelembagaan sebagai sebuah kumpulan norma dan

perilaku yang berlangsung lama dengan melayani tujuan yang bernilai sosial,

sedangkan organisasi adalah struktur peranan yang dikenali dan diterima.

Kelembagaan masyarakat atau lembaga kemasyarakatan atau lembaga

sosial merupakan terjemahan langsung istilah “social institution”. Belum ada

kesepakatan mengenai istilah Indonesia untuk social institution, Soekanto (2006)

menggunakan istilah pranata sosial, bangunan sosial atau lembaga

kemasyarakatan. Menurut Soekanto (2006) lembaga kemasyarakatan merupakan

himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan

pokok dalam kebutuhan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan memiliki fungsi

antara lain:

a. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat : bagaimana mereka

harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah

dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan;

b. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka

(41)

c. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial:

artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.

Uphoff (1992), diacu dalam Pretty (1995), menggunakan istilah “lokal”

untuk institusi atau kelembagaan masyarakat, karena memiliki karakteristik

khusus. Institusi atau kelembagaan lokal dalam hal ini berarti menjadi dasar untuk

kegiatan kolektif, untuk membentuk konsensus, untuk menjalankan peran dan

tanggung jawab koordinasi, dan untuk mengumpulkan, menganalisa dan

mengevaluasi informasi. Fungsi organisasi dan institusi lokal menurut Uphoff

(1992); Cernea (1991, 1993); Curtis (1991); Norton (1992); IFAP (1992) adalah :

(a) Mengatur sumberdaya (tenaga kerja) untuk menghasilkan produk lebih

banyak; (b) Menggerakkan sumberdaya material untuk menolong produksi lebih

banyak (kredit, tabungan, pemasaran); (c) Menolong beberapa kelompok untuk

mencapai akses baru untuk sumberdaya produktif; (d) Mengamankan

keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam; (e) Menyediakan infrastruktur sosial

pada tingkat desa; (f) Mempengaruhi kebijakan institusi yang mempengaruhi

mereka; (g) Menyediakan keterkaitan antara petani, peneliti dan pelayanan

penyuluhan; (h) Meningkatkan akses populasi penduduk desa kepada informasi;

(i) Meningkatkan aliran informasi dari pemerintah dan lembaga swadaya

masyarakat; (j) Meningkatkan kohesi sosial; (k) Menyediakan kerangka kerja

untuk kegiatan kerjasama; (l) Membantu mengatur masyarakat untuk

menghasilkan dan menggunakan pengetahuan dan penelitian mereka untuk

advokasi hak mereka; dan (m) Menjadi mediator untuk akses terhadap

sumberdaya bagi kelompok terpilih.

Menurut Ostrom (1990) dan Roling (1994), diacu dalam Pretty (1995),

proses pembentukan kelompok mandiri pada tingkat lokal harus merupakan

sebuah proses dalam masyarakat itu sendiri (organik) dan harus tidak ditekan atau

dikerjakan terlalu cepat. The International Federation of Agricultural Procedures

-IFAP (1992) menyatakan ada empat elemen penting dalam mendukung penguatan

organisasi petani, yaitu: (1) mengembangkan kemampuan keuangan (financial)

dengan sumberdaya yang dimiliki, terutama yang diperoleh secara langsung atau

tidak langsung dari anggota kelompok; (2) pembentukan struktur pemilihan wakil

(42)

mengembangkan perencanaan mandiri, pengelolaan dan penyediaan pelayanan

yang efektif.

Untuk pembangunan pertanian berkelanjutan, Pretty (1995)

mengungkapkan enam tipe kelompok atau institusi lokal yang secara langsung

berhubungan dengan kebutuhan pertanian berkelanjutan, yaitu: (1) organisasi

komunitas/masyarakat, seperti kelompok tani; (2) kelompok pengelolaan

sumberdaya alam, seperti untuk kelompok petani pengguna irigasi; (3) kelompok

petani peneliti; (4) kelompok penyuluhan petani kepada petani (farmers to

farmers); (5) kelompok pengelola kredit; dan (6) kelompok konsumen.

Kelembagaan berisikan dua aspek penting yaitu “aspek kelembagaan” dan

“aspek keorganisasian”. Aspek kelembagaan meliputi perilaku atau perilaku

sosial, dimana inti kajiannya adalah tentang value, norm, custom, mores, folksway,

usage, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain. Sementara dalam aspek keorganisasian meliputi struktur atau

struktur sosial dengan inti kajiannya terletak pada aspek peran.

Perhatian pokok aspek kelembagaan adalah perilaku dengan faktor-faktor

yang menyebabkan perilaku tersebut. Sekumpulan faktor-faktor tersebut

disetarakan dengan apa yang disebut Koentjaraningrat (1997) dengan “wujud

ideel kebudayaan” yaitu berupa ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan

sebagainya yang disebut sebagai adat istiadat atau adat. Wujud ideel kebudayaan

terbagi menjadi 4 lapisan mulai dari yang paling abstrak yaitu sistem nilai-budaya,

sistem norma-norma, sistem hukum dan peraturan-peraturan khusus.

Norma merupakan aturan sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau

tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Kekuatan mengikat sistem norma

terbagi menjadi empat tingkatan dari yang paling ringan yaitu cara (usage),

kebiasaan (folksways), tata kelakuan (mores) dan adat istiadat (custom). Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai. Dalam norma

termuat hal-hal tentang keharusan, dianjurkan, dibolehkan, atau larangan. Norma

mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma tersebut, dalam

setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control

Gambar

Tabel 1. Perbandingan perangkat kelembagaan pembelajaran lama dan baru
Tabel 3. Lima Ragam Kapabilitas Belajar, Kinerja/Unjuk Kerja
Tabel 4. Perbandingan Pendekatan Cetak Biru dan Proses Belajar
Gambar 1.  Kerangka Konseptual Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

β3 = 0,462; berarti apabila variabel Jaminan (X1.4) meningkat, maka akan mengakibatkan peningkatan pada Kepuasan Pelanggan (Y), dengan asumsi variabel bebas yang dianggap

Bukti pembayaran Pajak tahun terakhir (SPT Tahunan) serta laporan bulanan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 (bila ada transaksi), PPh Pasal 25/Pasal 29 dan PPN (bagi Pengusaha Kena

Demikian pengumuman ini untuk diketahui umum dan apabila ada pihak-pihak yang keberatan dengan terbitnya pengumuman ini dapat mengajukan Keberatan tertulis kepada

Konsep dari acara screening ini bertemakan unsur budaya, dengan nama acara “PESONA” yang memiliki tema pesona budaya Indonesia dikarenakan dari masing-masing karya film

Sebagai salah satu inovasi teknologi pada arus globalisasi, sekarang ini televisi mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat dan telah menyentuh kepentingan masyarakat

Kajian ini tidak hanya membahas fenomena kebahasaan dari segi kata dan kalimat, pengucapan, makna dan struktur kalimat tetapi lebih dari itu mengkaji fenomena kebahasaan yang

SHU adalah selisih antara penghasilan yang diterima selama periode tertentu dan pengorbanan yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan.. SHU sangat penting untuk

Jurnal Manajemen Pendidikan 600 Dengan demikian, maka dapat disintesiskan bahwa penjaminan mutu (Quality Assurance) merupakan sebuah sistem yang terencana, terarah