(Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
RATNA PATRIANA I34061214
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
(Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
RATNA PATRIANA
SKRIPSI
Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
Indonesia is an archipelagic state which has a large number of peoples live in coastal areas and have a significant dependence to the coastal resources. These resources are vulnerable to several factors, including climate change, one of the most influencing factors. Climate change further threatens ocean with higher temperature, sea-level rise, and circulation shifts. The threats can be damage on many economic sectors, especially fisheries sector. The fishers tend to have more adaptive capacity and do some economic strategies to help themselves surviving their lives.
The research objective (1) to analyze the perception of fishers about recent impact of climate change on their coastal areas; (2) to identify the impacts of climate change on fisheries activity; (3) to identify fishers’s adaptation and economic strategies according to climate change.
The result shows that (1) almost all the fishers have a high perception about recent impact of climate change on their coastal areas. They have considered the ecological change based on their usual activity; (2) climate change affects the hurricane and damage on water resource in settlement areas. On the fisheries activity, climate change causes fishing season and location disorder. Storms and extreme waves on the ocean are the other challenges that cause the risk of fishing activity rise; (3) the fishers do the adaptation and economic strategies in terms of climate adaptation, coastal resources adaptation, division of work in the family, multiple livelihoods and escaping from fisheries.
RATNA PATRIANA. POLA ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM (Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat) (Di Bawah Bimbingan ARIF SATRIA).
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki jutaan masyarakat yang hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya pesisir. Kesejahteraan jutaan masyarakat ini sangat dipengaruhi oleh kelestarian ekosistem pesisir yang rentan akan ancaman dari berbagai faktor, salah satunya adalah perubahan iklim. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak-dampak perubahan iklim pada ekosistem pesisir yang mempengaruhi kegiatan ekonomi nelayan serta kehidupan sosialnya, untuk kemudian menganalisis pola adaptasi serta strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan tersebut untuk meminimalisir dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Tahap awal penelitian adalah melakukan survai kepada nelayan untuk menggambarkan persepsinya terhadap dampak ekologis perubahan iklim serta keterkaitan karakteristik dan perilaku komunikasi nelayan dengan dengan persepsi terhadap perubahan iklim tersebut. Dari survai yang dilakukan kepada 47 responden dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh nelayan Ciawitali memiliki persepsi yang tinggi akan terjadinya perubahan iklim di wilayah Ciawitali dan tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik nelayan serta perilaku komunikasi nelayan terhadap pembentukan persepsi ini. Eratnya hubungan antara nelayan dengan sumberdaya pesisir menyebabkan berbagai perubahan yang terjadi dapat ditafsirkan secara mandiri oleh nelayan sebagai dampak perubahan iklim tanpa terkait karakteristik serta perilaku komunikasi nelayan.
Berdasarkan perspektif nelayan Ciawitali, perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya dampak ekologis berupa perubahan musim ikan dan kekacauan musim angin. Pada kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat Ciawitali, perubahan iklim berdampak pada terganggunya sumber-sumber air serta ancaman angin puting beliung di wilayah pemukiman penduduk. Pada kegiatan perukanan tangkap, perubahan iklim menyebabkan sulitnya menentukan musim penangkapan ikan, sulitnya menentukan lokasi penangkapan ikan, meningkatnya resiko melaut, serta perubahan sistem pengetahuan dan kepercayaan nelayan, peran wanita, serta posisi sosial nelayan.
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“POLA ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM (STUDI KASUS NELAYAN DUSUN CIAWITALI, DESA PAMOTAN, KECAMATAN KALIPUCANG, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU
LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR
AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI
INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN
RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Februari 2011
Ratna Patriana
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:
Nama : Ratna Patriana
NRP : I34061214
Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi : Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim (Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Arif Satria, SP, M.Si NIP. 19710917 199702 1 003
Mengetahui,
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Ratna Patriana (penulis) lahir di Bogor pada 24 Oktober 1989. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Pramono dan Ibu Yuliati. Pendidikan yang ditempuh oleh penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) Cantang Jaya, di Kedung Halang, Bogor pada tahun 1993-1995, kemudian melanjutkan Sekolah Dasar (SD) Negeri Cantang Jaya, Bogor selama 1995-1999. Saat kelas 5 SD, orang tua penulis dipindahtugaskan ke Purwakarta, sehingga penulis melanjutkan pendidikan sejak kelas 5 SD hingga lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) di Purwakarta. Sekolah Dasar penulis lanjutkan di SD Negeri Cigelam 2 Purwakarta di tahun 1999-2001, setelah lulus penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Purwakarta pada tahun 2001-2004, kemudian Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Purwakarta, dengan program akselerasi, sehingga masa SMA penulis hanya dihabiskan dalam waktu dua tahun yaitu selama tahun 2004-2006. Setelah lulus jenjang pendidikan SMA, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2006, dan pada tahun 2007 penulis mulai menekuni bidang ilmu sosial dan menjalani masa studi sarjana di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta
penulisan skripsi yang berjudul Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim
ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini membahas mengenai pola adaptasi serta strategi ekonomi
yang dilakukan oleh nelayan untuk menyiasati berbagai dampak perubahan iklim
yang terjadi di wilayah pesisir. Penelitian dilakukan terhadap masyarakat nelayan
Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa
Barat pada bulan Juni hingga September tahun 2010. Penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing, serta pihak-pihak
yang telah banyak membantu baik dalam proses penelitian maupun penulisan
skripsi ini.
Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan
nyata terhadap berbagai kebijakan pengelolaan wilayah pesisir serta memutus
rantai kemiskinan yang masih menjerat nelayan hingga saat ini.
Bogor, Februari 2011
Alhamdulillah, puji dan syukur kepada Allah SWT atas karunia akal,
kemampuan, kesehatan, segala rahmat dan hidayah-Nya yang menyertai penulis
sehingga penulisan skripsi ini dapat dilakukan. Pada kesempatan ini penulis juga
menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang berperan baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini:
1. Dr. Arif Satria, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan,
pengetahuan serta dukungan moral yang sangat berharga sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Rizaldi Boer selaku direktur CCROM (Center for Climate Risk and
Opportunity Management).
3. Pak Kustiwa dan seluruh staf IPPHTI (Ikatan Petani Pengendalian Hama
Terpadu Indonesia) di Rawa Apu atas dukungan moral dan materil yang
diberikan kepada penulis selama masa penelitian.
4. Pak Jum’an dan seluruh nelayan Ciawitali atas ketulusan, semangat,
persaudaraan, pengetahuan serta pengalaman yang sangat berharga.
5. Bapak Pramono dan Ibu Yuliati, orang tua terhebat di muka bumi ini.
6. Dr. Arya H. Dharmawan dan Dr. Sarwititi S. Agung, selaku dosen penguji
skripsi.
7. Kakakku Rio dan adikku Krisna.
8. Bulek Muji, Mbah Mujiono, Mbah Budi, Bulek Ninik dan semua sanak
keluarga di Bogor atas dukungan moral dan materil kepada penulis.
9. Mustaghfirin, S.Pi sebagai pemecah batu pertama penelitian ini.
10. Rinaldi Yusuf, S.Kpm atas pencerahan data kuantitatif; Niaw dan Elhaq,
saudara satu bimbingan yang baik sekali; serta keluarga besar KPM ’43.
11. Ina Marina S.Kpm, sahabatku.
12. Mbak Eny, kakak yang sangat sabar mengajari banyak hal.
13. Mbak Dian, Kak Annas, Kak Beta serta seluruh keluarga besar
LAWALATA-IPB.
Nomor Teks Halaman
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian... 3
1.4 Kegunaan Penelitian ... 3
BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL... 5
2.1 Tinjauan Pustaka ... 5
2.1.1 Perubahan Iklim... 5
2.1.1.1 Dampak Ekologis Perubahan Iklim pada Ekosistem Laut dan Pesisir ... 8
2.1.1.2 Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Iklim pada Wilayah Pesisir.. 10
2.1.2 Masyarakat Nelayan... 12
2.1.2.1 Klasifikasi Nelayan ... 13
2.1.2.2 Karakteristik Nelayan... 14
2.1.3 Strategi Adaptasi... 16
2.1.4 Strategi Ekonomi ... 20
2.1.5 Persepsi ... 21
2.2 Kerangka Pemikiran ... 22
2.3 Hipotesis Pengarah ... 26
2.4 Hipotesis Uji... 26
2.5 Definisi Konseptual ... 26
2.6 Definisi Operasional ... 27
BAB III METODE PENELITIAN ... 32
3.1 Metode Penelitian ... 32
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 33
3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan... 33
3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 34
3.5 Teknik Analisis Data ... 35
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 38
4.1 Kondisi Geografis... 38
4.1.1 Konteks Desa... 38
4.4 Sarana dan Prasarana ... 45
4.5 Mata Pencaharian ... 46
BAB V SOSIO-EKOLOGI NELAYAN... 48
5.1 Kondisi Umum Sosio-Ekologi Nelayan ... 48
5.2 Karakteristik Nelayan ... 50
5.3 Pola Produksi Nelayan... 53
5.3.1 Armada dan Peralatan Tangkap... 54
5.3.2 Pemetaan Wilayah Tangkapan ... 55
5.3.3 Musim Penangkapan Ikan ... 58
BAB VI KARAKTERISTIK DAN PERILAKU KOMUNIKASI RESPONDEN PENELITIAN ... 61
6.1 Karakteristik Responden Penelitian... 61
6.1.1 Usia ... 61
6.1.2 Pendidikan ... 62
6.1.3 Lama Tinggal di Ciawitali... 62
6.1.4 Pengalaman Nelayan... 63
6.1.5 Klasifikasi Nelayan... 64
6.2 Perilaku Komunikasi Responden Penelitian ... 65
6.2.1 Kepemilikan Media... 65
6.2.2 Keterdedahan Terhadap Media Elektronik ... 66
6.2.3 Keterdedahan Terhadap Media Cetak... 67
6.2.4 Fungsi Komunikasi Interpersonal... 68
BAB VII PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SERTA PERILAKU KOMUNIKASI NELAYAN... 69
7.1 Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim ... 69
7.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan Karakteristik Individu ... 70
7.2.1 Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan Usia Responden ... 70
7.2.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan Pendidikan Responden... 71
7.2.3 Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan Lama Tinggal Responden di Ciawitali ... 72
7.2.4 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Pengalaman Nelayan... 73
Kepemilikan Media... 76
7.3.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Keterdedahan terhadap Media Elektronik... 77
7.3.3 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Keterdedahan Terhadap Media Cetak... 78
7.3.4 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Fungsi Komunikasi Interpersonal... 79
7.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim... 80
BAB VIII DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA KEGIATAN PRODUKSI NELAYAN... 82
8.1 Dampak Ekologis ... 82
8.2 Dampak Sosial-Ekonomi ... 84
BAB IX ADAPTASI DAN STRATEGI EKONOMI NELAYAN... 91
9.1 Adaptasi Iklim ... 91
9.2 Adaptasi Sumberdaya Pesisir ... 91
9.3 Adaptasi Alokasi Sumberdaya Manusia dalam Rumah Tangga ... 93
9.3.1 Optimalisasi Tenaga Kerja Rumah Tangga ... 94
9.3.2 Tani-Nelayan ... 95
9.3.3 Jasa Pengangkutan ... 96
9.4 Adaptasi Melalui Keluar dari Kegiatan Perikanan (Escaping from Fisheries) ... 97
9.4.1 Buruh... 98
9.4.2 Petani... 98
9.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Adaptasi dan Strategi Ekonomi serta Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan Nelayan... 99
BAB X PENUTUP ... 105
10.1 Kesimpulan ... 105
10.2 Saran... 106
DAFTAR PUSTAKA ... 108
Nomor Teks Halaman
Tabel 1. Negara-Negara Emiter Karbon... 7
Tabel 2. Dampak dan Strategi Adaptasi-Mitigasi Perubahan iklim... 19
Tabel 3. Peruntukan Lahan Desa Pamotan ... 42
Tabel 4. Jumlah Sawah di Setiap Dusun serta Kerawanannya Terkena Rob ... 43
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin... 44
Tabel 6. Jumlah Kepala Keluarga di Setiap Dusun... 44
Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 47
Tabel 8. Tipe Topografi, Karakter dan Potensi Sumberdaya Dusun Ciawitali .. 48
Tabel 9. Pranata Mangsa... 51
Tabel 10. Jenis Alat Tangkap (Jaring dan Pancing)... 55
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia ... 61
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan ... 62
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lamanya Tinggal di Ciawitali ... 63
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengalaman Bekerja Sebagai Nelayan ... 63
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Klasifikasi Nelayan.. 64
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kepemilikan Media.. 65
Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keterdedahan Terhadap Media Elektronik... 66
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Keterdedahan Terhadap Media Cetak... 67
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Fungsi Komunikasi Interpersonal ... 68
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Persepsinya Terhadap Perubahan Iklim ... 69
Tabel 21. Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan Usia Responden ... 71
Tabel 22. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Pendidikan Responden ... 72
Tabel 23. Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan Lama Tinggal Responden di Ciawitali ... 73
Tabel 24. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Pengalaman Nelayan... 74
Tabel 25. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Klasifikasi Nelayan... 75
Keterdedahan terhadap Media Cetak ... 78 Tabel 29. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Fungsi Komunikasi Interpersonal... 80 Tabel 30. Pilihan Strategi dan Adaptasi Nelayan, Faktor yang Mempengaruhi
Nomor Teks Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 25
Gambar 2. Komponen Analisis Data: Model Interaktif... 35
Gambar 3. Peta Wilayah Tangkapan Nelayan Ciawitali ... 57
Gambar 4. Kalender Musim Nelayan Ciawitali ... 59
Nomor Lampiran Halaman
Lampiran 1. Kebutuhan Data, Metode, Jenis, dan Sumber Data ... 111
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian ... 112
Lampiran 3. Daftar Responden... 116
Lampiran 4. Buku Kode... 117
Lampiran 5. Pedoman Wawancara Mendalam... 119
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara maritim dengan 70% wilayahnya
diliputi oleh lautan. Secara geografis, wilayah pesisir dan lautan Indonesia terletak
di antara dua benua yaitu Asia dan Australia, serta diantara dua samudra yaitu
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Letak yang strategis serta variasi iklim
musiman yang terjadi di dalamnya menyebabkan Indonesia memiliki
keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi (mega biodiversity) yang merupakan aset berharga bagi bangsa ini. Selain itu Indonesia juga merupakan
negara dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat,
Kanada dan Federasi Rusia, yaitu sepanjang 95.181 km sebagaimana dinyatakan
oleh PBB pada tahun 2008. Di sepanjang garis pantai inilah, hidup jutaan
masyarakat pesisir Indonesia. Satria (2002) menggambarkan karakteristik sosial
masyarakat pesisir yang berbeda dari masyarakat lainnya, karena perbedaan
karakteristik sumberdaya yang dihadapi.
Terancamnya ekosistem pesisir akibat berbagai gangguan dan potensi
kerusakan lingkungan yang marak akhir-akhir ini perlu disoroti lebih dalam
karena wilayah pesisir merupakan sumber penghidupan bukan hanya masyarakat
pesisir namun juga keseluruhan bangsa Indonesia. Pencemaran air sungai,
deforestasi dan degradasi hutan, praktek penangkapan ikan yang merusak serta
perubahan iklim merupakan sejumlah faktor yang dapat mengancam kelestarian
wilayah pesisir. Salah satu ancaman yang cukup besar datang dari perubahan
iklim yang terjadi akibat pemanasan global. Pemanasan global merupakan
peningkatan suhu rata-rata bumi akibat meningkatnya konsentrasi berbagai gas di
atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Fenomena ini terjadi akibat
aktivitas manusia itu sendiri. Penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan, serta
kerusakan lingkungan melalui deforestasi dan degradasi lahan memberi kontribusi
Kerusakan ekologi yang disebabkan oleh berbagai perubahan tentunya
akan mempengaruhi kondisi berbagai komponen ekosistem yang turut terganggu
akibat perubahan iklim. Menurut Chen (2008) salah satu kerusakan yang terjadi
akibat pemanasan global adalah pemutihan terumbu karang (coral bleaching). Pemutihan terumbu karang ini tentunya mempengaruhi biota laut lainnya yang
hidup dalam ekosistem tersebut. Selama ini telah diketahui bahwa terumbu karang
merupakan habitat hidup bermacam-macam jenis ikan. Kerusakan terumbu karang
yang terjadi dapat mempengaruhi populasi ikan dan kemudian mempengaruhi
aktivitas melaut para nelayan (Satria, 2009). Selain itu perubahan iklim juga
menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi badai di lautan dan pesisir
(Diposaptono, 2009). Hal ini tentunya juga menyebabkan terganggunya aktivitas
melaut para nelayan, bagian dari masyarakat pesisir yang memiliki
ketergantungan yang sangat besar terhadap sumberdaya laut dan pesisir.
Kondisi perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut tentunya dapat
memperpuruk kehidupan ekonomi para nelayan yang menggantungkan kehidupan
pada penangkapan ikan laut. Dahuri (2003) menyebutkan bahwa kebutuhan
manusia yang semakin meningkat, sementara daya dukung alam bersifat terbatas
menyebabkan potensi kerusakan sumberdaya alam menjadi semakin besar. Hal ini
menjadi suatu kekhawatiran tersendiri mengingat Kusnadi, dkk. (2007)
menyebutkan kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai
kawasan secara umum ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya,
rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) serta kapasitas berorganisasi
masyarakatnya. Dengan demikian dibutuhkanlah suatu strategi adaptasi yang
dapat diterapkan pada masyarakat nelayan tradisional untuk menyiasati berbagai
perubahan ekologis yang disebabkan oleh perubahan iklim global. Strategi
adaptasi ini tentunya bukan hanya bermanfaat untuk menyelamatkan
perekonomian nelayan tapi juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, adapun
perumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1) Bagaimana persepsi nelayan terhadap perubahan iklim?
2) Sejauh mana gejala-gejala perubahan iklim mempengaruhi kegiatan
ekonomi nelayan perikanan tangkap?
3) Bagaimana pola adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi
perubahan ekologis lautan sebagai dampak perubahan iklim?
4) Bagaimana strategi ekonomi yang dilakukan nelayan dalam menyiasati
kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, diperoleh tujuan penulisan
sebagai berikut:
1) Menganalisis persepsi nelayan terhadap perubahan iklim.
2) Menganalisis sejauh mana gejala-gejala perubahan iklim mempengaruhi
kegiatan ekonomi nelayan perikanan tangkap.
3) Mengidentifikasi pola adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi
perubahan ekologis lautan sebagai dampak perubahan iklim.
4) Menganalisis strategi ekonomi yang dilakukan nelayan dalam menyiasati
kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak:
1) Bagi akademisi, penelitian ini dapat menjadi referensi untuk penelitian
lebih lanjut mengenai adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim.
2) Bagi masyarakat luas, hasil dari penelitian ini dapat menjadi satu model
pola adaptasi yang dapat bermanfaat bagi pengembangan adaptasi
3) Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan informasi yang diharapkan
dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang menentukan kebijakan
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Perubahan Iklim
Menurut pendapat seorang pakar iklim IPB, Prof. Dr. Ir. Murdiyarso, yang
dituliskan dalam Diposaptono (2009), perubahan iklim merupakan perubahan
unsur-unsur iklim dalam jangka waktu panjang (50 sampai 100 tahun) yang
dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca
(GRK). Sejalan dengan pendapat tersebut, Tauli-Corpuz dkk. (2009) berpendapat
bahwa perubahan iklim adalah perubahan segala sesuatu dari iklim, dimana iklim
didefinisikan sebagai “cuaca rata-rata” dan merupakan perwujudan dari sebuah
sistem yang sangat rumit yang terdiri dari lima komponen yang saling
berinteraksi: atmosfer (udara), hidrosfer (air), kriosfer (bagian bumi yang
membeku), permukaan tanah, dan biosfer (bagian bumi tempat adanya
kehidupan).
Hal paling nyata dari perubahan iklim adalah pemanasan global.
Pemanasan global adalah pertambahan rata-rata suhu permukaan bumi dan lautan
yang tercatat dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya (Tauli-Corpuz dkk.,
2009). Pemanasan global terjadi akibat emisi dari gas rumah kaca (Diposaptono,
2009; Satria, 2009; Tauli-Corpuz dkk., 2008). Gas rumah kaca yang menangkap
panas di dalam atmosfer adalah karbondioksida (CO2), metana (NH4), klorofluorokarbon atau CFC (Satria, 2009), nitrat oksida, ozon, uap air
(Diposaptono, 2009), sulfur heksaklorida, HFCs (senyawa hidro fluoro) dan PFCs
atau Perfluorokarbon1. Diposaptono (2009) menggambarkan proses efek rumah kaca sebagai kondisi dimana sinar matahari yang memancarkan gelombang
pendek leluasa menerobos masuk ke rumah kaca. Namun, ketika bumi
memancarkan gelombang panjang ke atmosfer, gelombang ini tertahan oleh
rumah kaca. Akibatnya, gelombang panjang yang bersifat panas tadi terjebak di
dalam rumah kaca, kemudian suhu di dalam rumah kaca meningkat karena efek
1
pemanasan dari bumi tertahan di atap kaca tersebut. Tauli-Corpuz (2009)
menggambarkan efek rumah kaca terjadi ketika gas-gas ini menyerap sebagian
dari radiasi inframerah (panas) yang memantulkan kembali panas yang
terperangkap oleh GRK di dalam atmosfer kita dimana atmosfer bertindak seperti
dinding kaca dari rumah kaca, yang membiarkan sinar matahari masuk tetapi
menahan panasnya tetap di dalam.
Diposaptono (2009) berpendapat bahwa perubahan iklim terjadi secara
alami terkait dengan proses alam yang sangat panjang (evolusi) dalam rentang
waktu 4,5 milyar tahun silam. Namun fenomena yang terjadi saat ini adalah
perubahan yang terjadi lebih cepat dari yang seharusnya. Hal ini penting disoroti
mengingat penyebab-penyebab pemanasan global ini berasal dari faktor-faktor
antropogenis yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Meningkatnya emisi
GRK disebabkan oleh aktivitas ekonomi manusia yang mengkonsumsi energi
fosil seperti bahan bakar minyak, batu bara dan sejenisnya serta diperparah oleh
deforestasi (Diposaptono, 2009; Satria, 2009), degradasi lahan gambut serta
kebakaran hutan (Marr, 2009). Semenjak revolusi industri pertengahan abad 18,
intensitas dan inefisiennya pembakaran kayu, arang, minyak dan gas, diikuti oleh
konversi lahan besar-besaran telah mengakibatkan meningkatnya konsentrasi
GRK di atmosfer. Tumbuhan berperan dalam mengubah CO2 menjadi oksigen. Dengan tidak adanya tumbuhan, ketersediaan oksigen terbatas, sehingga bakteri
memproduksi metana. Penggunaan pupuk buatan di akhir abad 19 juga
menyebabkan pelepasan nitrogen oksida, salah satu GRK, ke udara. Selain itu,
semenjak tahun 1920 aktivitas industri menggunakan sejumlah campuran karbon
buatan yang digunakan untuk mesin pendingin, fire suppression, dan sebagainya yang menghasilkan GRK yang sangat kuat (UNEP, 2009).
Salah satu dampak yang cukup parah dirasakan pada sektor pertanian dan
ketahanan pangan. Negara berkembang yang sebagian besar penduduknya
menggantungkan hidup di sektor pertanian memperoleh dampak yang besar dari
perubahan iklim sebagaimana disebutkan dalam IPCC (2007) bahwa perubahan
iklim mempengaruhi produksi pertanian terutama di wilayah Asia Timur dan Asia
(Peng et al., 2004 dalam IPCC, 2007). Dengan juga dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi yang tinggi serta urbanisasi, diproyeksikan angka
kelaparan di beberapa negara berkembang semakin tinggi (IPCC, 2007).
Diperkirakan di Afrika, sekitar 60-90 juta hektar akan terkena kekeringan dan
dirugikan sekitar 26 milyar USD di tahun 2060 (Satria, 2009). Siapakah
sebenarnya yang bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global ini?
Berikut tabel yang menunjukan negara-negara penghasil emisi karbon di dunia.
Tabel 1. Negara-Negara Emiter Karbon
Negara
Pangsa terhadap Total Dunia (%)
Emisi Karbon per Kapita (t CO2)
1990 2004 1990 2004
Amerika Serikat 21.2 20.9 19.3 20.6
Cina 10.6 17.3 2.1 3.8
Rusia 8.7 5.3 13.4 10.6
India 3.0 4.6 0.8 1.2
Jepang 4.7 4.3 8.7 9.9
Jerman 4.3 2.8 12.3 9.8
Kanada 1.8 2.2 15.0 20.0
Inggris 2.6 2.0 10.0 9.8
Indonesia 0.9 1.3 1.2 1.7
Brazil 0.9 1.1 1.4 1.8
Thailand 0.4 0.9 1.7 4.2
Sumber: Human Development Report (2007) dalam Satria (2009)
Data tersebut menunjukan bahwa hingga tahun 2004, negara-negara maju
masih mendominasi emisi karbon di dunia, meski jumlah penduduknya hanya 15
persen dari penduduk di dunia (Satria, 2009). Sementara dari data yang telah
disebutkan sebelumnya, dampak yang sangat besar menimpa penduduk di
negara-negara berkembang akibat perubahan iklim ini. Human Development Report
(2007 dalam Satria, 2009) melaporkan bahwa akibat dari pemanasan global, kurun waktu 2000-2004, sekitar 262 juta orang telah terkena bencana iklim
(climate disaster) dan 98 persen diantaranya adalah penduduk dari dunia ketiga. Di negara dunia ketiga sendiri, Cina dan India memberi kontribusi yang cukup
Cina dan India masih jauh dibawah emisi karbon per kapita negara-negara maju
seperti Amerika, Rusia, Jepang, Jerman, Kanada dan Inggris. Besarnya emisi
karbon yang dihasilkan oleh Cina dan India ini pun terjadi akibat jumlah
penduduk kedua negara tersebut yang tinggi.
2.1.1.1 Dampak Ekologis Perubahan Iklim pada Ekosistem Laut dan Pesisir Ekosistem diartikan sebagai kelompok makhluk hidup dan tak hidup yang
saling berinteraksi. Perubahan iklim menyebabkan berbagai perubahan dalam
ekosistem laut antara lain disebabkan oleh perubahan temperatur, dan keasaman
akibat penyerapan CO2oleh lautan (UNEP, 2009; Chen, 2008). Dampak-dampak yang ditimbulkan antara lain adalah sebagai berikut:
1) Naiknya permukaan air laut akibat meningkatnya suhu atmosfer dan
mencairkan lapisan gletser dan es abadi di kutub utara (Diposaptono,
2009; UNEP, 2009; IPCC, 2007; Chen, 2008; Tauli-Corpuz, 2009; Satria,
2009). Kenaikan permukaan air laut ini kemudian menyebabkan berbagai
dampak sebagai berikut:
a) Kerusakan ekosistem mangrove akibat naiknya permukaan air laut
(Satria, 2009; Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz,
2009) yang kemudian menyebabkan:
i) Meningkatnya erosi pantai karena hilangnya peredam ombak,
arus serta penahan sedimen (Dipsaptono, 2009; UNEP, 2009;
Tauli-Corpuz, 2009)
ii) Meningkatnya pencemaran dari sungai ke laut karena tidak
adanya penyaring polutan (Satria, 2009; Diposaptono, 2009)
iii) Terganggunya habitat berbagai makhluk hidup yang
menggantungkan hidupnya pada ekosistem mangrove. Hal ini
mengingat peran ekosistem mangrove yang merupakan
penyangga ekosistem disekitarnya dan berperan dalam
melestarikan keanekaragaman hayati, dimana berbagai jenis
wilayah tersebut. Selain itu hutan mangrove juga berperan
sebagai kawasan pemijahan, daerah asuhan, dan mencari
makan bagi ikan, udang dan kerang-kerangan (Diposaptono,
2009)
b) Banjir, badai dan gelombang ekstrim (Diposaptono, 2009)
c) Intrusi air laut ke daratan (Diposaptono, 2009; Tauli-Corpuz,
2009) yang juga menyebabkan:
i) Meningkatnya salinitas air di sumber-sumber air tawar
penduduk (Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz,
2009)
ii) Meningkatnya salinitas air di lahan-lahan budidaya perikanan
(Diposaptono, 2009)
d) Perubahan pola sedimentasi (Chen, 2008; Diposaptono, 2009)
2) Kenaikan suhu permukaan air laut (UNEP, 2009; Diposaptono, 2009;
Chen, 2008) yang kemudian menyebabkan:
a) Kerusakan terumbu karang melalui fenomena pemutihan terumbu
karang atau coral bleaching (Chen, 2008; UNEP, 2009; Satria, 2009; Tauli-Corpuz, 2009)
b) Perubahan upwelling, gerombolan ikan dan wilayah tangkapan ikan (Chen, 2008; Diposaptono, 2009)
c) Perpindahan berbagai spesies hewan karena ketidaksesuaian
kondisi tempat hidup yang berubah akibat meningkatnya suhu
(Chen, 2008; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009)
3) Menurunnya salinitas air laut (Chen, 2008; Satria, 2009) yang kemudian
menyebabkan perpindahan berbagai spesies hewan karena ketidaksesuaian
kondisi tempat hidup yang berubah (Chen, 2008; UNEP, 2009;
Tauli-Corpuz, 2009)
4) Perubahan curah hujan, pola hidrologi dan pola angin (Chen, 2008;
Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009). Hal ini kemudian
menyebabkan meningkatnya frekuensi dan intensitas badai di lautan
5) Meningkatnya keasaman air laut (menurunnya pH lautan),
menyebabkan:
a) Kerusakan terumbu karang melalui fenomena pemutihan terumbu
karang (Chen, 2008; UNEP, 2009; Satria, 2009; Tauli-Corpuz,
2009) yang kemudian menyebabkan terganggunya rantai makanan
di lautan (Satria, 2009; Diposaptono, 2009; Chen, 2008;
Tauli-Corpuz, 2009)
b) Perpindahan berbagai spesies hewan karena ketidaksesuaian
kondisi tempat hidupnya yang berubah, baik akibat kerusakan
terumbu karang, perubahan suplai nutrisi, serta menurunnya pH
(Chen, 2008; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009)
2.1.1.2 Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Iklim pada Wilayah Pesisir Berbagai kerusakan ekosistem pesisir terjadi akibat perubahan iklim
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya menyebabkan terganggunya aktivitas
masyarakat pesisir yang menggantungkan kehidupannya terhadap berbagai
sumberdaya pesisir, baik secara ekonomi maupun secara spasial. Dampak
sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim antara lain:
1) Pada kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat, perubahan iklim
menyebabkan:
a) Terancamnya persediaan air bersih penduduk akibat intrusi air laut ke
daratan dan perubahan curah hujan (IPCC, 2007; Diposaptono, 2009:
Tauli-Corpuz, 2009).
b) Meningkatnya penyebaran berbagai penyakit yang dibawa oleh vektor
dan air seperti kolera, hepatitis, malaria dan demam berdarah (IPCC,
2007; Diposaptono, 2009).
c) Terancamnya pemukiman yang berada di wilayah pesisir akibat banjir
(rob), gelombang ekstrim dan badai (IPCC, 2007; Diposaptono, 2009). Dampak yang lebih buruk akan dialami oleh masyarakat di
2) Pada perikanan, perubahan iklim berdampak kepada:
a) Kerugian yang terjadi pada perikanan budidaya sebagai akibat dari:
i) Hilang/berkurangnya ikan-ikan di tambak karena tersapu banjir
ataupun tergenangnya lahan budidaya, baik karena curah hujan
yang tinggi ataupun akibat gelombang pasang (Diposaptono, 2009)
ii) Terganggunya kesehatan berbagai komoditas perikanan budidaya
akibat meningkatnya salinitas air di lahan perikanan budidaya
(Diposaptono, 2009).
iii) Kerusakan infrastruktur budidaya perikanan akibat kenaikan
permukaan air laut, erosi, banjir (rob), dan gelombang ekstrim (Diposaptono, 2009). Sebagai gambaran, saat ini Indonesia
memiliki sekitar 400 ribu ha lahan budidaya tambak dan berbagai
infrastruktur perikanan yang menjadi tumpuan ekonomi
masyarakat pesisir.
b) Menurunnya produksi perikanan tangkap, sebagai akibat dari:
i) Sulitnya menentukan musim penangkapan ikan karena perubahan
pola migrasi ikan akibat perubahan suhu permukaan laut,
stratifikasi kolom air yang menyebabkan perubahan proses
upwelling(Diposaptono, 2009; Chen, 2008; Satria, 2009).
ii) Sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan sebagai dampak dari
perubahan pola migrasi ikan serta kerusakan terumbu karang
(Diposaptono, 2009; Chen, 2008; Satria, 2009).
iii) Berkurangnya stok ikan-ikan karang akibat kerusakan terumbu
karang yang kemudian akan juga akan mempengaruhi kondisi
ekonomi sekitar 30 juta nelayan di dunia yang bergantung pada
ketersediaan ikan-ikan karang (Satria, 2009).
iv) Berkurangnya ketersedian stok ikan akibat peningkatan suhu dan
perubahan sirkulasi laut seperti yang diungkapkan dalam IPCC
report(2007) dimana tangkapan ikan tuna di Asia Timur dan Asia Tenggara yang memenuhi hampir seperempat total produksi tuna
v) Menurunnya produksi perikanan tangkap non-ikan akibat
kerusakan terumbu karang. Supriharyono (2007) menyebutkan
sejumlah organisme yang bernilai ekonomi yang kehidupannya
bergantung pada terumbu karang, yaitu penyu, udang barong,
octopus, conches, kerang, oyster, rumput laut, kima dan teripang. vi) Resiko melaut yang semakin tinggi akibat ancaman meningkatnya
badai dan gelombang ekstrim akibat perubahan iklim
(Diposaptono, 2009)
2.1.2 Masyarakat Nelayan
Horton et. al. (1991 dalam Satria, 2002) mendefinisikan masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup
bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan
melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut. Soekanto
(1990) menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki dua hasrat dalam
dirinya, yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan sesamanya atau manusia lain
di sekelilingnya serta keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungan alam
sekelilingnya. Suatu masyarakat merupakan sistem adaptif, oleh karena
masyarakat merupakan wadah untuk memenuhi pelbagai kepentingan dan untuk
dapat bertahan. Berkaitan dengan definisi masyarakat tersebut, Satria (2009)
mengartikan masyarakat pesisir sebagai sekumpulan masyarakat yang hidup
bersama dan mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan
yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya
pesisir.
Dalam Satria (2002) disebutkan bahwa sosiologi masyarakat pesisir
direkonstruksi dari basis sumberdaya. Berbeda dengan sosiologi pedesaan yang
berbasis pada society, sosiologi masyarakat pesisir lebih berbasis pada sumberdaya, sehingga kajian-kajian sosiologi masyarakat pesisir bersumber pada
aktivitas masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan. Nelayan
merupakan bagian dari masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan yang
tinggi terhadap sumberdaya perikanan. Kusnadi (2007) mendefinisikan desa
menangkap ikan di laut. Dalam Satria (2002) disebutkan bahwa nelayan sebagai
orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut terbagi berdasarkan
status penguasaan kapital, yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan
pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan, seperti
kapal/perahu, jaring dan alat tangkap lainnya. Sedangkan nelayan buruh adalah
orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan
ikan di laut, atau anak buah kapal (ABK).
Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (2007)
mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan
dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Sementara
orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut
alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan.
Tetapi ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap
dimasukkan sebagai nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan
penangkapan.
2.1.2.1 Klasifikasi Nelayan
Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (2007)
mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan
pekerjaan operasi penangkapan, yaitu:
1) Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan
untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air
lainnya/tanaman air.
2) Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktu
kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan
ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan
penangkapan, nelayan kategori ini dapat pula mempuyai pekerjaan lain.
3) Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu
Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan yang
dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan
karakteristik hubungan produksi, yaitu:
1) Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Umumnya masih menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau sampan tidak bermotor
dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.
2) Post-peasant fisher, yaitu nelayan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seiring dengan perkembangan
motorisasi perikanan. Dengan daya tangkap yang lebih besar dan surplus
dari hasil tangkapan itu, nelayan jenis ini sudah mulai berorientasi pasar
dan tenaga kerjanya tidak bergantung pada anggota keluarga saja.
3) Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan dengan skala usaha yang besar, jumlah tenaga
kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer, serta
teknologi yang digunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian
tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.
4) Industrial fisher, yaitu nelayan skala besar yang dicirikan dengan majuya kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya. Berorientasi
pasar ekspor (ikan kaleng dan ikan beku), relatif padat modal, dan
melibatkan buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan
organisasi kerja yang kompleks.
2.1.2.2 Karakteristik Masyarakat Nelayan
Satria (2002) menguraikan secara singkat karakteristik masyarakat pesisir
sebagai representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi, dari berbagai
aspek:
1) Sistem Pengetahuan
Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara
turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya pengetahuan
hidup sebagai nelayan. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan intelektual yang hingga kini terus
dipertahankan.
2) Sistem Kepercayaan
Secara teologi, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut
memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan
agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Namun seiring
berjalannya waktu, berbagai tradisi dilangsungkan hanya sebagai salah
satu instrumen stabilitas sosial dalam komunitas nelayan.
3) Peran Wanita
Umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik rumah tangga,
istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam kegiatan
penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan, maupun kegiatan jasa
dan perdagangan. Istri nelayan juga dominan dalam mengatur pengeluaran
rumah tangga sehari-hari sehingga sudah sepatutnya peranan istri-istri
nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap program
pemberdayaan.
4) Struktur Sosial
Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi (termasuk pasar) pada
usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya,
umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang
penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Pada perikanan budidaya, patron
meminjamkan modal kepada para nelayan lokal untuk pembudidayaan
ikan. Dengan konsekuensi, hasilnya harus dijual kepada patron dengan
harga yang lebih murah. Ciri yang kedua adalah stratifikasi sosial. Bentuk
stratifikasi masyarakat pesisir Indonesia sangat beragam. Seiring
moderninasi akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin
bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi
bersifat horisontal, melainkan vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran
ekonomi, prestise atau kekuasaan.
5) Posisi Sosial Nelayan
Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status yang relatif rendah.
Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan
nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh
cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan
kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain karena
alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan dibanding
untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang
secara geografis relatif jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan kecil
terus dalam posisi dependen dan marjinal akibat dari faktor kapital yang
dimilikinya sangatlah terbatas.
2.1.3 Strategi Adaptasi
Soekanto (1983:7 dalam M. Mawardi J., 2003) mengartikan adaptasi sebagai proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan, memanfaatkan
sumber-sumber terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem, penyesuaian
dari kelompok-kelompok maupun pribadi terhadap lingkungan dan proses untuk
menyesuaikan dengan situasi yang berubah. Adaptasi sebagai suatu proses sosial
dapat diamati dari kegiatan-kegiatan yang sifatnya asosiatif dan disosiatif.
Kegiatan yang asosiatif dapat berbentuk kerjasama, akomodasi, dan asimilasi;
sedangkan yang disosiatif dapat berbentuk konflik, kontravensi, dan persaingan
(Pudjiwati Sayogyo, 1980:10 dalam M. Mawardi J., 2003)
Diposaptono (2009) mendefinisikan adaptasi perubahan iklim merupakan
upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif
maupun antisipatif. Sedangkan mitigasi perubahan iklim sebagai upaya yang
dilakukan untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dari sumbernya atau
dengan meningkatkan kemampuan alam dalam menyerap emisi tersebut. Wacana
perubahan iklim di Indonesia sendiri sebenarnya telah muncul sejak masa
Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan yang disusun oleh Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup tahun 1997, telah dipaparkan mengenai strategi
pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan berkaitan dengan pengelolaan
dampak perubahan iklim dan tsunami. Rencana pengelolaan ini mencakup:
1) Observasi yang sistematik dan penelitian masalah samudera, dinamika
atmosfir, sosial-ekonomi, dampak lingkungan terhadap perubahan iklim,
kenaikan permukaan laut, dan penyimpangannya.
2) Pengembangan pencegahan, penanggulangan, dan upaya perbaikan atas
dampak tsunami, perubahan iklim, dan kenaikan permukaan laut bagi
populasi manusia dan sumberdaya laut yang ada.
3) Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap dampak kenaikan permukaan
laut dan tsunami.
Perencanaan adaptasi pada suatu daerah tidak dapat berdiri sendiri
melainkan berjalan dengan inisiasi sektoral yang lebih luas seperti perencanaan
pengelolaan sumberdaya air, perlindungan wilayah pesisir serta perencanaan
manajemen bencana (IPCC, 2007). IPCC Third Assesment Report (TAR) yang
dikutip kembali dalam IPCC Fourth Assesment Report (2007) telah
mengemukaan pentingnya pemahaman mengenai:
1) Adaptasi aktual untuk mengobservasi perubahan iklim serta
variabilitasnya
2) Perencanaan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam desain
infrastruktur, manajemen wilayah pesisir serta aktivitas lainnya
3) Mengukur kerentanan kondisi alam akibat perubahan iklim serta kapasitas
adaptasinya
4) Kebijakan pembangunan, di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) serta internasional, nasional dan inisiatif lokal lainnya, yang memfasilitasi program mengenai proses
dan aksinya (Adger et al., 2005; Tompkins et al., 2005; West and Gawith, 2005).
Dalam IPCC report (2007) dikatakan bahwa strategi adaptasi dan mitigasi
aktor yang terlibat di dalamnya, climatic zone, level pembangunan negara tersebut ataupun kombinasi dari kategori-kategori yang telah disebutkan ataupun
kategori lainnya. Dengan demikian, strategi yang diterapkan pada suatu daerah
tentu disesuaikan dengan fenomena perubahan iklim yang terjadi pada suatu
wilayah, seberapa besar dampak dan pada sektor apa dampak tersebut
memerlukan strategi adaptasi dan mitigasi.
Berikut disajikan sejumlah strategi adaptasi yang dapat dilakukan
Tabel 2. Dampak dan Strategi Adaptasi-Mitigasi Perubahan iklim
No. Dampak Ekologis
Dampak
Sosial-Ekonomi Adaptasi Mitigasi
1. Kenaikan permukaan air laut , banjir (rob), dan gelombang ekstrim Terancamnya wilayah pemukiman Terancamnya infrastruktur masyarakat
Kerugian pada budidaya perikanan
Meningkatnya penyebaran penyakit kolera, malaria dan demam berdarah
Membuat penahan gelombang
Memindahkan lokasi pemukiman ke tempat yang lebih tinggi
Memindahkan lahan budidaya ke tempat yang lebih tinggi
Penanaman mangrove
2. Intrusi air laut Terancamnya sumber-sumber air tawar penduduk serta budidaya perikanan
Menempatkan blok-blok karang/struktur keras di sekeliling lahan air tawar
Menampung air hujan
Menggunakan bibit perikanan budidaya yang tahan terhadap perubahan salinitas
Penanaman mangrove
3. Perubahan wilayah tangkap dan musim ikan
Menurunnya produksi perikanan tangkap
Mengadopsi teknologi dan cara-cara baru dalam perikanan tangkap
Mengadopsi metode baru dalam
memprediksi musim ikan
Diversifikasi alat tangkap
Perbaikan terumbu karang
4. Badai Terancamnya berbagai infrastruktur di wilayah pesisir
Resiko nelayan dalam melaut yang semakin tinggi
Adopsi teknologi pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap badai&angin
Adopsi teknologi kapal nelayan penangkap ikan yang lebih tahan terhadap badai dan gelombang 5. Menurunnya keanekaragaman hayati pesisir Terancamnya sumber mata pencaharian penduduk
Mencari alternatif lain dalam menambah penghasilan penduduk
2.1.4 Strategi Ekonomi
Carner (1984 dalam Widodo, 2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh rumah tangga miskin pedesaan antara lain:
1) Melakukan beraneka ragam pekerjaan meskipun dengan upah yang
rendah.
2) Memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam
pemberian rasa aman dan perlindungan.
3) Melakukan migrasi ke daerah lain biasanya migrasi desa-kota sebagai
alternatif terakhir apabila sudah tidak terdapat lagi pilihan sumber nafkah
di desanya.
Dharmawan (2001 dalam Iqbal, 2004) mengklasifikasikan dua jenis strategi nafkah dalam keluarga petani, yaitu:
1) Strategi nafkah normatif, yaitu strategi dalam kategori tindakan positif dengan basis kegiatan sosial-ekonomi, misalnya kegiatan produksi,
migrasi, strategi substitusi dan sebagainya. Kategori ini juga disebut
‘peaceful ways’, karena sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
2) Strategi nafkah ilegal, yaitu strategi dalam kategori negatif, dnegan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Seperi merampok, mencuri,
melacur, korupsi dan sebagainya. Kategori ini disebut non-peaceful ways, karena cara yang ditempuh umumnya dengan melakukan tekanan fisik dan
tekanan.
Menurut Scoones (1998 dalamIqbal, 2004), terdapat empat sumber yang dibutuhkan dalam ekonomi rumah tangga, agar strategi nafkah bisa
dioperasionalkan, yaitu:
1) Ketersediaan modal alam dalam bentuk sumber-sumber alam
2) Modal ekonomi atau keuangan
3) Ketersediaan sumberdaya manusia dalam bentuk pendidikan, keahlian dan
pengetahuan
4) Ketersediaan modal sosial (dan politik) dalam bentuk hubungan dan
Menurut Widodo (2009) terdapat dua macam tipe strategi yang tidak
dapat terpisahkan dalam strategi nafkah rumah tangga miskin, yaitu strategi
ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi bekaitan dengan pola nafkah ganda,
optimalisasi tenaga kerja rumahtangga dan migrasi. Sedangkan strategi sosial
adalah pemanfaatan asuransi sosial pada lembaga kesejahteraan lokal dan
penggunaan jejaring sosial.
Satria (2009) menyebutkan beberapa strategi mata pencaharian yang dapat
dilakukan untuk memutus rantai kemiskinan nelayan. Pertama, mengembangkan strategi nafkah ganda. Tujuannya agar nelayan tidak bergantung pada hasil
penangkapan saja. Pengembangan dan penguatan strategi ganda ini perlu
dilakukan terutama pada nelayan lapisan bawah. Salah satu aspek yang
diperlukan untuk mendukung strategi ini adalah kebijakan permodalan. Kedua, mendorong ke arah laut lepas. Kendalanya tidak hanya teknologi, tapi juga modal
dan budaya. Menangkap ikan di laut lepas sangatlah kompleks, mencakup
manajemen usaha, organisasi produksi, perbekalan, ketahanan fisik, pemahaman
perilaku ikan, pengoperasian kapal, jaring dan lainnya. Sehingga selain
dibutuhkan teknologi, para nelayan ini juga membutuhkan pelatihan (magang)
untuk menggali pengalaman dan pengetahuan di usaha penangkapan skala
menengah dan besar. Ketiga, mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk mengantisipasi variasi musim. Dengan diversifikasi alat tangkap ini
memungkinkan nelayan bisa melaut sepanjang tahun.
2.1.5 Persepsi
Rakhmat (2005) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman tentang
objek, pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubugan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah
memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Akibat adanya stimulus, individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan atau penolakan
terhadap stimulus tersebut. Thoha (1983 dalam Erwina 2005) mendefinisikan persepsi sebagai proses kognitif yang dapat terjadi pada setiap orang dalam
memahami informasi mengenai lingkungannya, yang dapat diperoleh melalui
merupakan penafsiran unik terhadap suatu situasi, bukan merupakan suatu
pencatatan yang sebenarnya dari situasi tersebut.
David Krech dan Richard S. Crutchfield (1977 dalam Rakhmat, 2005) menyebutkan dua faktor yang menentukan persepsi, yaitu:
1) Faktor fungsional, yaitu faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk faktor personal. Persepsi bersifat
selektif secara fungsional. Hal ini berarti bahwa objek-objek yang
mendapat tekanan dalam persepsi biasanya objek yang memenuhi tujuan
individu yang melakukan persepsi, seperti pengaruh kebutuhan, kesiapan
mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya terhadap persepsi.
2) Faktor struktural, yaitu faktor yang berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Sifat-sifat
perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh
sifat-sifat struktur secara keseluruhan.
Persepsi berhubungan dengan karakteristik individu dan perilaku
komunikasi. Jenis dan bentuk rangsangan (stimuli) yang diterima merupakan
faktor struktural dan secara fungsional, persepsi individu ditentukan oleh
karakteristiknya (Rahmat, 1989 dalam Danudireja, 1998). Karakteristik personal seperti umur, tingkat pendidikan, pengalaman, status sosial ekonomi,
keanggotaan pada suatu organisasi, serta perilaku mencari informasi, merupakan
peubah yang berhubungan dengan persepsi dan sikap terhadap inovasi (Harun,
1987 dalamDanudireja, 1998).
2.2 Kerangka Pemikiran
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, perubahan iklim di wilayah
pesisir menyebabkan terjadinya kenaikan permukaan air laut, perubahan pola
hidrologi, pola angin, perubahan suhu dan keasaman air laut. Berbagai perubahan
ini menyebabkan terjadinya perubahan ekologis, antara lain: intrusi air laut ke
daratan; gelombang ekstrim dan badai; genangan dan banjir; erosi pantai;
kerusakan terumbu karang; perubahan proses upwelling, gerombolan ikan;
meningkatnya salinitas air, kerusakan lahan budidaya perikanan dan
sumber-sumber air tawar; meningkatnya frekuensi dan intensitas badai di lautan.
Perubahan pola hidrologi di lautan menyebabkan perubahan proses
upwelling. Perubahan upwellingmenyebabkan perubahan lokasi gerombolan ikan atau fish schooling. Sementara kenaikan suhu dan keasaman air laut juga menyebabkan perubahan pola migrasi ikan. Perubahan lokasi gerombolan ikan
dan pola migrasi ikan ini tentunya menyebabkan perubahan musim dan wilayah
tangkapan ikan (fishing ground) para nelayan ikan tangkap.
Perubahan pola hidrologi, pola angin disertai dengan kenaikan permukaan
air laut menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi badai serta
gelombang ekstrim yang terjadi di lautan. Hal ini juga menjadi kendala serius
bagi para nelayan perikanan tangkap terutama para nelayan tradisional dengan
keterbatasan teknologi penangkapan ikan.
Perubahan tingkat keasaman air laut dapat menyebabkan kerusakan
terumbu karang. Terumbu karang juga merupakan biota laut yang peka terhadap
kenaikan suhu lautan. Perubahan iklim yang telah menyebabkan kenaikan suhu
air laut dan tingkat keasaman air laut ini menyebabkan terjadinya pemutihan
terumbu karang atau coral bleaching, satu bentuk kerusakan terumbu karang. Sejumlah organisme yang bergantung kepada terumbu karang sebagai habitat
hidupnya seperti ikan karang, penyu, udang barong, octopus, conches, kerang, oyster, rumput laut, kima dan teripang yang juga merupakan sumber makanan yang bernilai ekonomis bagi masyarakat pesisir, dan mengalami penurunan akibat
kerusakan terumbu karang ini.
Secara teoritis, berbagai perubahan yang terjadi pada ekosistem laut dan
pesisir ini dapat mempengaruhi berbagai aktivitas nelayan dalam mencari ikan
dengan dampak yang sangat mungkin terjadi adalah penurunan produksi
perikanan tangkap. Pola adaptasi bagi para nelayan dibutuhkan untuk menyiasati
berbagai perubahan ekologis yang dapat mengganggu aktivitasnya mencari ikan.
Hal ini perlu dilakukan mengingat nelayan merupakan bagian masyarakat yang
paling rentan terhadap dampak buruk perubahan iklim karena kehidupan
Persepsi sebagai suatu proses kognitif dapat terjadi pada nelayan dalam
memahami informasi mengenai lingkungannya yang mengalami perubahan
tersebut. Persepsi nelayan mengenai perubahan iklim ini dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu karakteristik nelayan serta perilaku komunikasi nelayan tersebut.
Terbentuknya suatu persepsi mengenai perubahan lingkungan ini selanjutnya
dapat mempengaruhi aspek psikomotorik berupa adaptasi terhadap perubahan
yang dipersepsikannya tersebut.
Pola adaptasi nelayan dalam menghadapi perubahan iklim ini terbagi
menjadi dua. Pertama, adaptasi perikanan tangkap yang dapat berupa adaptasi
teknologi penangkapan ikan, teknologi memprediksi musim ikan dan sebagainya.
Kedua, strategi ekonomi nelayan dalam menghadapi kerugian ekonomi akibat
kerusakan ekologi. Strategi ekonomi ini dapat berupa berbagai alternatif yang
dilakukan nelayan untuk menunjang kehidupan ekonominya yang mengalami
kerugian akibat menurunnya produksi perikanan tangkap. Alur kerangka
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan:
: Hubungan Pengaruh
Perikanan Tangkap: Sulitnya menentukan musim ikan
Sulitnya menentukan wilayah tangkapan
Resiko melaut yang tinggi akibat badai dan gelombang ekstrim
Sulitnya memperoleh komoditi perikanan tangkap, baik ikan maupun sumberdaya laut lainnya
Kerusakan Ekologi: Intrusi air laut ke daratan
Gelombang ekstrim dan badai
Genangan dan banjir
Erosi pantai
Kerusakan terumbu karang
Perubahan proses upwelling, gerombolan ikan
Perubahan pola migrasi ikan
Perubahan morfologi pantai dan mangrove
Meningkatnya salinitas air, kerusakan lahan budidaya perikanan dan sumber-sumber air tawar
Meningkatnya frekuensi dan intensitas badai di lautan
Dampak Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Laut: Kenaikan permukaan air laut
Perubahan pola angin
Perubahan pola hidrologi
Kenaikan suhu air laut
Kenaikan pH air laut
Meningkatnya frekuensi dan intensitas
badai serta gelombang ekstrim di lautan Perubahan wilayah
gerombolan ikan, dan pola migrasi ikan Menurunnya kualitas
dan kuantitas sumberdaya hayati laut
Adaptasi dan Strategi Ekonomi Nelayan
Kondisi Ekonomi Nelayan Persepsi Nelayan
terhadap Perubahan Iklim
Perilaku Komunikasi Nelayan: Kepemilikan Media
Keterdedahan terhadap Media Elektronik
Keterdedahan terhadap Media Cetak
Fungsi Komunikasi Interpersonal
Karakteristik Individu: Usia
Pendidikan
Lama Tinggal
Pengalaman Nelayan
2.3 Hipotesis Pengarah
1) Diduga terjadi penurunan produksi perikanan tangkap akibat perubahan
ekologis yang terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim.
2) Diduga terdapat strategi adaptasi yang diterapkan nelayan dalam
menghadapi perubahan kondisi ekosistem laut akibat perubahan iklim
yang meliputi:
a) Adopsi teknologi penangkapan ikan yang lebih canggih/adaptif, baik
dalam alat tangkap, maupun kapal penangkapan ikan yang diterapkan
oleh nelayan.
b) Teknik dalam memprediksi musim ikan dan wilayah tangkapan ikan
untuk menyiasati permasalahan penentuan musim ikan dan wilayah
tangkap yang diterapkan oleh nelayan.
c) Strategi dalam memprediksi musim melaut serta frekuensi badai di
lautan yang diterapkan oleh nelayan.
3) Diduga terdapat strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan untuk
menyiasati kondisi perekonomian yang terganggu akibat penurunan
produksi perikanan.
4) Diduga persepsi masyarakat terhadap perubahan iklim mempengaruhi
keputusannya dalam melakukan adaptasi perubahan iklim.
2.4 Hipotesis Uji
1) Diduga karakterisitik individu berhubungan terhadap persepsi nelayan
mengenai perubahan iklim.
2) Diduga perilaku komunikasi berhubungan terhadap persepsi nelayan
mengenai perubahan iklim.
2.5 Definisi Konseptual
1) Perubahan iklim adalah perubahan unsur-unsur iklim yang mempengaruhi
berbagai perubahan pada atmosfer (udara), hidrosfer (air), kriosfer (bagian
bumi yang membeku), permukaan tanah, dan biosfer (bagian bumi tempat
2) Dampak ekologis perubahan iklim pada ekosistem laut adalah berbagai
perubahan yang terjadi pada keseluruhan komponen biotik dan abiotik
yang terdapat pada laut dan pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari perubahan iklim.
3) Dampak ekonomi perubahan iklim pada wilayah pesisir adalah perubahan
pendapatan masyarakat yang bermatapencaharian dan menggantungkan
hidup pada sumberdaya pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari perubahan iklim.
4) Dampak sosial perubahan iklim pada wilayah pesisir adalah perubahan
berbagai aspek kesejahteraan masyarakat pesisir sebagai akibat langsung
maupun tidak langsung dari perubahan iklim.
5) Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memiliki ketergantungan
ekonomi terhadap sumberdaya perikanan tangkap, secara aktif melakukan
pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman
air, serta membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait
dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir.
6) Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya untuk mengatasi dampak
perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif.
7) Adaptasi perikanan tangkap adalah berbagai upaya yang dilakukan
nelayan untuk menyiasati dampak buruk yang ditimbulkan perubahan
iklim yang mempengaruhi aktivitasnya mencari ikan di laut.
8) Strategi ekonomi nelayan merupakan bentuk adaptasi lainnya yang
berkaitan dengan pola nafkah ganda, optimalisasi tenaga kerja
rumahtangga dan migrasi nelayan untuk meminimalisir kerugian ekonomi
akibat menurunnya produksi perikanan sebagai dampak perubahan iklim.
2.6 Definisi Operasional
1) Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim adalah penafsiran masyarakat
nelayan terhadap perubahan-perubahan ekologis yang terjadi akibat
perubahan iklim. Pengukuran persepsi dilihat melalui
pernyataan tentang pengalaman dan pengetahuan responden mengenai
perubahan iklim. Penilaian menggunakan skala berjenjang, dengan
ketentuan, 1 = tidak setuju; 2 = ragu-ragu; dan 3 = setuju. Penilaian
persepsi responden terhadap perubahan iklim ini terbagi menjadi dua
kategori:
a) Rendah, apabila total skor berkisar antara 10 sampai 19.
b) Tinggi, apabila total skor berkisar antara 20 sampai 30.
2) Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang melekat pada individu meliputi
usia, pendidikan, lama tinggal di Ciawitali, pengalaman nelayan serta
klasifikasi nelayan.
a) Usia adalah lama hidup responden dari sejak lahir sampai dengan saat
dilakukannya penelitian, terbagi dalam kategori:
i) Umur muda, jika umur responden yang sama atau di bawah
rata-rata.
ii) Umur tua, jika umur responden di atas rata-rata.
b) Pendidikan adalah tingkat belajar yang pernah dilalui oleh responden.
Tingkat belajar ini meliputi pendidikan formal responden yang terbagi
dalam kategori:
i) Rendah, jika tamat atau tidak tamat SD atau sederajat.
ii) Sedang, jika tamat SMP atau sederajat.
iii) Tinggi, jika tamat SMA atau sederajat.
c) Lama tinggal di Ciawiali adalah jumlah waktu yang telah dilalui oleh
responden menempati tempat tinggalnya di Ciawitali, dengan kategori
sebagai berikut:
i) Rendah, jika responden tinggal di Ciawitali selama 15 tahun
atau kurang dari 15 tahun.
ii) Tinggi, jika responden telah tinggal di Ciawitali selama lebih
dari 15 tahun.
Penggunaan skala ini berdasarkan diskusi yang dilakukan bersama
Terpadu Indonesia) yang telah melakukan survai di Desa Pamotan
sebelumnya.
d) Pengalaman nelayan adalah lamanya responden bekerja sebagai
nelayan yang dikategorikan sebagai berikut:
i) Rendah, jika responden bekerja sebagai nelayan selama 15
tahun atau kurang dari 15 tahun.
ii) Tinggi, jika responden telah bekerja sebagai nelayan selama
lebih dari 15 tahun.
Penggunaan skala ini berdasarkan diskusi yang dilakukan bersama
nelayan serta LSM IPPHTI yang telah melakukan survai di Desa
Pamotan sebelumnya.
e) Klasifikasi nelayan adalah penggolongan nelayan berdasarkan
prioritasnya bekerja sebagai nelayan dibandingkan dengan pekerjaan
lain ya