KINERJA INDUSTRI TEPUNG TERIGU INDONESIA
DISERTASI
PUR WOTO R USLAN HIDAYAT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAMPAK KEBIJAKAN
TARIF DAN KUOTA IMPOR TERHADAP
KINERJA INDUSTRI TEPUNG TERIGU INDONESIA
DISERTASI
PUR WOTO R USLAN HIDAYAT
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PURWOTO RUSLAN HIDAYAT. 2012. Dampak Kebijakan Tarif dan Kuota
Impor Terhadap Kinerja Industri Tepung Terigu Indo nesia (BONAR M.
SINAGA sebagai Ketua, RINA OKTAVIANI, dan WILSON H. LIMBONG
sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Tujuan pe ne litian adalah untuk (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku impor, permintaan da n harga biji gandum, serta impor,
produksi, permintaan, ekspor dan harga tepung terigu Indonesia, (2) menganalisis
dampak kebijakan tarif dan kuota terhadap impor, permintaan da n harga biji
gandum terutama peruba han-perubahan kesejahteraan yang terjadi pada produsen
penggilingan biji gandum, konsumen, dan penerimaan pemerintah, (3)
menganalisis dampak kebijakan tarif dan kuota terhadap impor, produksi,
permintaan, da n harga tepung terigu terutama peruba han-perubahan
kesejahteraan yang terjadi pada produsen penggilingan biji gandum, konsumen,
dan pe nerimaan pe merintah, da n (4) menentuka n alternatif kebijakan dengan
mempertimbangkan kepentingan produsen tepung terigu, konsumen tepung terigu
dan penerimaan pemerintah dalam rangka meningkatkan kinerja industri tepung
terigu.
Alternatif kebijakan disimulasi
dengan menggunakan
mode l
ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan yang terdiri da ri 55 persamaan
strukt ural, 1 persamaan teknis produksi dan 9 persamaan ide ntitas. Metode
Two
Stage Least Squares (2SLS)
digunakan untuk menduga parameter persamaan
struktural.
Penelitian menganalisis 6 skenario peramalan instrumen tunggal dan satu
skenario peramalan instrumen gabungan, dengan hasil simulasi menunjukkan
bahwa skenario peramalan gabungan Kuota Impor Biji Gandum sebesar 90 persen
dan Pelarangan Impor Tepung Terigu adalah simulasi terbaik berdasarkan dari
dampak terhadap produsen dan konsumen, sedangkan simulasi kebijakan yang
memberikan dampak terburuk adalah simulasi kebijakan Peningkatan Impor Biji
Gandum sebesar 10 persen.
Kebijakan Peningkatan Impor Biji Gandum sebesar 10 persen sebagai
kebijaka n terburuk dilihat da ri peruba han kesejahteraan masyarakat yang terjadi.
Konsumen memperoleh tambahan surplus konsumen sementara produsen
mengalami penurunan surplus produsen namun ka rena tamba han surplus
konsumen lebih kecil penurunan surplus produsen sehingga secara keseluruhan
terjadi kesejahteraan masyarakat yang menurun. Konsumen tepung terigu
ditingkat pengecer, pedagang besar, dan industri memperoleh keuntungan karena
turunnya harga. Ditinjau dari sisi produsen industri penggilingan tepung terigu,
penerapan kebijakan ini berdampak pada produksi tepung terigu yang naik, namun
dengan harga jual yang naik sehingga prod usen mempe roleh penurunan surplus
produsen.
Skenario gabungan pengenaan Kuota Impor Biji Gandum sebesar 90
persen dan Pelarangan Impor Tepung Terigu yang dikombinasikan dengan
kebijakan terintegrasi pena nganan ketahanan pa ngan disarankan seba gai suatu
kebijaka n yang sesuai untuk memajuka n industri tepung terigu Indonesia karena
Kuota Impor Biji Gandum sebesar 90 persen dan Pelarangan Impor Tepung
Terigu merupakan representasi dari: (1) kepentingan pemerintah dalam menjaga
ketahanan pa ngan nasional, (2) kepentingan pengusaha melalui tamba han surplus
produsen yang diterima, dan (3) kepentingan konsumen melalui tamba han surplus
konsumen.
ABSTRACT
PURWOTO RUSLAN HIDAYAT. 2012. The Impact of Import Tariff and
Quota Policy on Perfor mance of the Indo nesian Wheat Flour Industry (BONAR
M. SINAGA as Chairman, RINA OKTAVIANI and WILSON H. LIMBONG as
Members of the Advisory Committee).
The objectives of this study are to analyze impor t tariff and quota po licy
on performance of the Indo nesian wheat flour industry, with particular objective is
to: (1) identify the factors that influence the behavior of impor t, demand, and
price of wheat, as well as the import, production, demand, and price of Indonesian
wheat flour, (2) analyze the impacts of tariff and quota on impor t, demand and
grain price, especially changes that occur in the welfare of milling grain
producers, consumer and government revenue
,
(3) analyze the impacts of tariff
and quota on impor t, production, demand and price of wheat flour, especially
changes that occur in well-being of milling grain producer, consumer, and
government revenue, and (4) determine the policy alternatives by considering the
interests of producers of wheat flour, wheat flour consumers and government
revenue in order to improve performance of wheat flour industry.
Alternative policies are simulated by using econometric models in form of
simultaneous equation consisting of 55 structural equations, one technical
equation of production, and 9 identity equations. Method Two Stage Least
Squares (2 SLS) is used to estimate the parameters of structural equations.
The study analyzed forecasting six single instruments scenarios, and one
combined tariff dan quotas instruments scenario. The results show that the
combined forecasting scenarios of Wheat Seed Impo rt Quota by 90 percent and
Import Prohibition o f Wheat Flour is the best simulation based on the impacts on
producers and consumers, while simulation of policies resulting the worst impact
is the policy of increasing Wheat Seed Imports by 10 percent.
Imposition of combined policy of Wheat Seed Import Quota by 90 percent
and Import Prohibition of Wheat Flour gives a positive impact upon producers
and consumers is recommended as an appropriate policy to promote wheat flour
industry in Indo nesia by considering that those policies representing: (1) interest
of Indonesian government to maintain national food security, (2) interest of wheat
flour enterprise through additional producer surplus, and (3) interest of consumers
through the additional consumer surplus.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
Institut Pertanian Bogor
2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
Judul Disertasi : DAMPAK KEBIJAKAN TARIF D AN KUOTA
IMPOR TERHAD AP KINERJA INDUSTRI
TEPUNG TERIGU INDONESIA
Nama
: Purwoto Ruslan Hidayat
Nomor Pokok
: A5460141614
Prog ram Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menye tujui,
1.
Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. D r. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Anggota
Prof. D r. Ir. Rina Oktaviani, MS
Anggota
Prof. D r. Ir. Wilson H. Limbong, MS
Menge tahui
2.
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. D r. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Dengan ini saya menyataka n bahwa disertasi yang berjudul:
DAMPAK KEBIJAKAN TARIF DAN KUOTA IMPOR TERHAD AP
KINERJA INDUSTRI TEPUNG TERIGU INDONESIA
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah
dipublika sikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Jakarta, Januari 2012
Dengan ini saya menyataka n bahwa disertasi yang berjudul:
DAMPAK KEBIJAKAN TARIF DAN KUOTA IMPOR TERHAD AP
KINERJA INDUSTRI TEPUNG TERIGU INDONESIA
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah
dipublika sikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Jakarta, Januari 2012
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan. Penyusunan disertasi ini
adalah merupakan salah syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yth:
1.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua komisi pembimbing, yang
telah secara intensif membimbing penulis mulai dari perumusan masalah,
penent uan mode l analisis, hingga penyajian hasil penelitian.
2.
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. dan Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS.
selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan masukan yang
sangat ko nstrukt if da n arahan yang memperluas wawasan penulis.
3.
Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS (Dekan Sekolah Pascasarjana IPB),
penulis mengucapka n terima kasih atas arahannya dalam penyelesaian studi
penulis di Institut Pertanian Bogor.
4.
Bapak Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc. Sekretaris Jenderal da n Dr. Ir. Slamet
Riyadhi, M.FR. yang telah memberikan ijin da n ke muda han kepada penulis
untuk meneruska n studi S3 di IPB.
5.
Bapak Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Dr. Rusman Heriawan
teman satu kelas yang telah memberikan teladan, semangat dan dorongan
ix
berbagai angkatan.
7.
Istri tercinta Ir. Ida Poespita, MSi. dan anak-anak tercinta Pradito Banu Jati,
Dwaya Putranti Sekarwening, Putranti Sekar Asri atas dorongan dan
pengorbanannya selama penulis menyelesaikan studi dan juga kepada ibu
mertua atas doanya yang tiada henti.
8.
Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu yang telah membantu
penulis baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaiannya studi.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik kepada semua pihak
atas terselesaikannya disertasi ini. Penulis menyadari bahwa dengan segala
keterba tasan yang dimiliki sehingga disadari bahwa disertasi ini jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik, masuka n da n saran dari segala pihak
sangat diharapkan penulis untuk perbaikan disertasi ini.
Jakarta, Januari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1962 dari ayah Drs.
Roeslan Hida yat (Almarhum) dan Ibu Sri Soekarni (Almarhumah). Penulis
merupakan putra keenam dari tiga belas bersaudara.
Penulis lulus Sekolah Dasar Taman Pusaka tahun 1974, Sekolah
Menengah Pertama Negeri XCV tahun 1977, Sekolah Menengah Atas Negeri XIII
tahun 1981. Pada tahun 1982, penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1986. Selanj utnya pada tahun 1993
penulis berkesempatan meneruskan studi Pascasarjana di Asian Institute of
Management, pada program Management Development dan selesai S2 pada
tahun 1994. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan studi program Doktor pada
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan biaya mandiri. Penulis
bekerja di Kementrian Kehutanan sejak tahun 1987 dan sekarang sebagai Kepala
Bidang Lingkungan, Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Jakarta.
iii
Halaman
DAFTAR TABEL………
v
DAFTAR GAMBAR………… ….……….
ix
DAFTAR LAMPIRAN………… ………
x
I. PENDAHULUAN………
1
1.1. Latar Belakang………...
1
1.2. Perumusan Masalah………
9
1.3. Tujuan Penelitian………
14
1.4. Kegunaan Penelitian.………..………
15
1.5. Ruang Lingkup……..……….
15
II. TINJAUAN PUSTAKA………..
17
2.1. Ekonomi Tepung Terigu Dunia…..………
17
2.2. Kebijakan Perdagangan Tepung Terigu Dunia…...………...
21
2.3. Liberalisasi Perdagangan Tepung Terigu………..
23
2.4. Eko nomi Tepung Terigu Indo nesia………
26
2.5. Kebijakan Tepung Terigu Indonesia……….
28
2.6. Studi Terdahulu Tentang Biji Gandum dan Tepung Terigu
32
2.6.1. Produksi………
32
2.6.2. Permintaan………
32
2.6.3. Perdagangan………...
34
iv
III. KERANGKA TEORI……….…
38
3.1. Tahapa n Prod uksi da n Pasar Tepung Terigu……...
38
3.2. Permintaan Input dan Penawaran Output………..
38
3.2.1. Perrmintaan Biji Gandum dan Penawaran Tepung
Terigu oleh Pengolah...
40
3.2.2. Permintaan Tepung Terigu dan Penawaran Prod uk
oleh Industri Maka nan Minum an...
41
3.3. Intervensi Kebijakan dan Liberalisasi Perdagangan……...
43
3.3.1.
Intervensi kebijakan, Pasar Biji Gandum dan
Tepung Terigu Dunia...
45
3.3.2.
Intervensi Kebijakan Fiskal Biji Gandum dan
Tepung Terigu...
50
3.4. Tingkat Intervensi dari Kebijakan………..
51
3.5. Dampak Ekonomi dari Kebijakan………..
53
IV. KONSTRUKSI MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS……...
57
4.1. Model………..………...
57
4.1.1.
Pasar Biji Gandum Dunia...
60
4.1.2.
Pasar Tepung Terigu Dunia...
68
4.1.3.
Industri Tepung Terigu Indonesia...
75
4.2. Prosedur Analisis………
83
4.2.1.
Data...
83
4.2.2.
Identifikasi dan Pendugaan Model...
84
4.2.3.
Metode Estimasi...
85
4.2.4.
Validasi Model...
85
V. HASIL PENDUGAAN MODEL TEPUNG TERIGU
INDONESIA...
89
5.1. Pasar Biji Gandum Dunia………...
90
5.1.1.
Ekspor Biji Gandum Dunia...
90
5.1.2.
Impor Biji Gandum Dunia...
97
v
5.1.5.
Harga Impor Biji Gandum... 110
5.2. Pasar Tepung Terigu Dunia……… 115
5.2.1. Ekspor Tepung Terigu Dunia... 115
5.2.2. Impor Tepung Terigu Dunia...
122
5.2.3. Harga Tepung Terigu Dunia...
128
5.2.4. Harga Ekspor Tepung Terigu... 129
5.2.5. Harga Impor Tepung Terigu...
134
5.3. Industri Tepung Terigu Indonesia……….
139
5.3.1. Permintaan Biji Gandum Indonesia... 139
5.3.2. Permintaan Biji Gandum Untuk Industri
Makanan...
139
5.3.3. Impor Biji Gandum Indonesia... 139
5.3.4. Harga Impor Biji Gandum Indonesia... 145
5.3.5. Produksi Tepung Terigu Indonesia... 146
5.3.6. Impor Tepung Terigu Indonesia... 146
5.3.7. Harga Impor Tepung Terigu Indonesia... 153
5.3.8. Harga Tepung Terigu di Tingkat Industri... 154
5.3.9. Harga Tepung Terigu di Tingkat Pedagang
Besar...
156
5.3.10. Harga Tepung Terigu di Tingkat Pedagang
Eceran...
157
5.3.11. Permintaan Tepung Terigu Indonesia... 158
VI. PERAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN TARIF DAN KUOTA
IMPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI TEPUNG TERIGU
INDONESIA TAHUN 2011-2015...
165
6.1. Hasil Validasi Model...
165
6.2. Hasil Peramalan Dampak Kebijakan……...
166
6.2.1.
Kuota Impor Biji Gandum sebesar 90 persen……
169
6.2.2.
Pelarangan Impor Tepung Terigu………... 176
vi
Terigu sebesar 5 persen………...
187
6.2.5.
Penamba han Kuota Impor Biji Gandum sebesar
10 persen………
192
6.2.6.
Penambahan Kuota Impor Tepung Terigu sebesar
50 persen………...……….
196
6.2.7.
Gabungan Kuota Impor Biji Gandum sebesar 90
persen dan Pelarangan Impor Tepung Terigu……
202
6.3. Rangkuman : Dampak Kebijakan terhadap Kesejahteraan ... 208
VII KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN…….. 213
7.1. Kesimpulan... 213
7.2. Implikasi Kebijakan...
219
7.3. Saran Penelitian Lanjutan... 222
DAFTAR PUSTAKA...
223
LAMPIRAN... 228
vii
Nomor Halaman
1. Impor Biji Gandum dan Tepung Terigu Indonesia Tahun
2001-2008…...
3
2. Besarnya Devisa Indonesia yang Harus dibayarkan karena
Kegiatan Impor dan Ekspor Biji Gandum dan Tepung Terigu
Tahun 2003-2008………...
4
3. Kapasitas Produksi Empat Besar Perusahaan Industri Tepung
Terigu Indonesia Tahun 2009..………...
5
4. Pangsa Pasar Produsen Tepung Terigu Indonesia………..
6
5. Produksi Biji Gandum di Beberapa Negara Produsen Utama ...
17
6. Produksi, Konsumsi, Ekspor, Impor dan Stock Biji Gandum di
Beberapa Negara Produsen Utama Tahun 2007...
18
7. Perkiraan Kebutuhan Biji Gandum unt uk Industri Tepung Terigu
Dunia Tahun 1985-2008……….…………
19
8. Ekspor dan Impor Biji Gandum dan Tepung Terigu Dunia Tahun
1980-2008 ...
20
9. Nilai Ekspor dan Impor Biji Gandum dan Tepung Terigu Dunia
Tahun 2003 ……….
22
10. Ekspor dan Impor Biji Gandum dan Tepung Terigu Indonesia
Tahun 1980-2007………
26
11. Perkembangnan Konsumsi Perkapita Tepung Terigu Indo nesia
Tahun 1980-2007.…..………...………..
27
12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Biji Gandum
Amerika Serikat …...
91
13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspo r Biji Gandum
Prancis ...
92
14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Biji Gandum Uni
Soviet...
93
15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Biji Gandum
Kanada...
viii
Australia...
96
17. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Biji Gandum Uni
Soviet...….
98
18. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Biji Gandum
Italia...
99
19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Biji Gandum
Brasil...
100
20. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Biji Gandum
Jepang...
101
21. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Biji Gandum
Aljazair...
103
22. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Biji Gandum
Dunia...
104
23. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Biji
Gandum Amerika Serikat...
106
24. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Biji
Gandum Prancis...
107
25. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Biji
Gandum Uni Soviet...
108
26. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Biji
Gandum Kanada……….
109
27. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Biji
Gandum Australia ...
110
28. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Biji
Gandum Uni Soviet...
111
29. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Biji
Gandum Italia...
112
30. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Biji
Gandum Brasilia...
113
ix
Gandum Aljazair...
115
33. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Tepung Terigu
Prancis...
116
34. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Tepung Terigu
Belgia...
118
35. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Tepung Terigu
Uni Soviet...
119
36. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Tepung Terigu
Turki...
120
37. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Tepung Terigu
Jerman...
121
38. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Tepung Terigu
Belanda...
123
39. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Tepung Terigu
Libya...
124
40. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Tepung Terigu Uni
Soviet...
125
41. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Tepung Terigu
Amerika Serikat...
126
42. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Tepung Terigu
Dunia...
128
43. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Tepung
Terigu Prancis………...………..
129
44. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Tepung
Terigu Belgia………...
131
45. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Tepung
Terigu Uni Soviet………....………
132
46. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Tepung
Terigu Turki...
133
x
Terigu Belanda………
136
49. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Tepung
Terigu Libya...
136
50. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Tepung
Terigu Uni Soviet………...………
138
51. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Tepung
Terigu Amerika Serikat………...………...
138
52. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Biji Gandum
Indonesia dari Australia...
141
53. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Biji Gandum
Indo nesia da ri Kanada...
142
54. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Biji Gandum
Indo nesia da ri Amerika Serikat...
144
55. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Biji
Gandum Indonesia…...
145
56. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Tepung Terigu
Indonesia dari Australia...
147
57. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Tepung Terigu
Indonesia dari Jepang...
150
58. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Tepung Terigu
Indonesia dari Singapura...
151
59. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Tepung
Terigu Indonesia...
153
60. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Tepung
Terigu d itingkat Industri Indo nesia……… ………...
154
61. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Tepung
Terigu d itingkat Pedagang Besar…....………...
157
62. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Tepung
Terigu d itingka t Peda gang Eceran………...
158
xi
Terigu Domestik untuk Industri Rumah Tangga………
161
65. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Tepung
Terigu Domestik untuk Industri Kecil dan Menengah...
162
66. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Impor Tepung
Terigu Domestik untuk Industri Makanan dan Minuman………..
163
67. Hasil Ramalan Terhadap Beberapa Variabel Endogen Tahun
2011 - 2015...
168
68. Dampak Simulasi Kuota Impor Biji Gandum sebesar 90 persen.... 169
69. Dampak Simulasi Kuota Impor Biji Gandum sebesar 90 persen
terhadap Kesejahteraan Konsumen da n Produsen Tepung
Terigu...
174
70. Dampak Simulasi Pelarangan Impor Tepung Terigu... 177
71. Dampak Simulasi Pelarangan Impor Tepung Terigu terhadap
Kesejahteraan
Konsumen
da n
Produsen
Tepung
Terigu...
180
72. Dampak Simulasi Pengenaan Tarif Bea Masuk Impor Biji
Gandum sebesar 5 persen...
183
73. Dampak Simulasi Pengenaan Tarif Bea Masuk Impor Biji
Gandum sebesar 5 persen terhadap Kesejahteraan Konsumen
dan Produsen Tepung Terigu...
186
74. Dampak Simulasi Pengenaan Tarif Bea Masuk Impor Tepung
Terigu sebesar 5 persen...
188
75. Dampak Simulasi Pengenaan Tarif Bea Masuk Impor Tepung
Terigu sebesar 5 persen terhadap Kesejahteraan Konsumen dan
Produsen Tepung Terigu...
191
76. Dampak Simulasi Penambahan Kuota Impor Biji Gandum
sebesar 10 persen...
193
77. Dampak Simulasi Penambahan Kuota Impor Biji Gandum
sebesar 10 persen terhadap Kesejahteraan Konsumen dan
Produsen Tepung Terigu...
195
xii
sebesar 50 persen terhadap Kesejahteraan Konsumen dan
Produsen Tepung Terigu...
200
80. Damapak Simulasi Gabungan Kuota Impor Biji Gandum sebesar
90 persen dan Pelarangan Impor Tepung Terigu...
202
81. Dampak Simulasi Gabungan Kuota Impor Biji Gandum sebesar
90 persen terhadap Kesejahteraan Konsumen da n Prod usen
Tepung Terigu ...
206
82. Rekapitulasi Peramalan Dampak Kebijakan Tarif dan Kuota
terhadap Kesejahteraan Konsumen dan Produsen Tepung
Terigu...
xiii
Nomor Halaman
1. Grafik Kecenderungan Impor Biji Gandum Indonesia Tahun
1995-2008...
9
2. Rantai Pengadaan Biji Gandum Sebelum Liberalisasi...
29
3. Rantai Pengadaan Biji Gandum Setelah Liberalisasi……….
31
4. Tahapan Produksi dan Pasar Produk Industri Tepung Terigu
Indo nesia...
39
5. Proses Pembentukan Harga Tepung/Biji Gandum Dunia, Jika
Negara Importir Memberlakukan Tarif…...
45
6. Proses Pembentukan Harga Tepung/Biji Gandum Dunia, Jika
Negara Eksportir Memberlakukan Tarif………...
47
7. Proses Pembentukan Harga Tepung/Biji Gandum Dunia, Jika
Negara Importir maupun Eksportir Memberlakukan Tarif...
48
8. Pengaruh Kuot a Impo r…………..……...………..
49
9. Pengaruh Pengenaan Tarif Bea Masuk Tepung Terigu ….…...
50
10. Dampak Pengenaan Tarif Bea Masuk terhadap S urplus Prod usen
dan Surplus Konsumen ………...….
53
11. Dampak Pengenaan Kuota Impor terhadap Surplus Produsen dan
Surplus Konsumen ………...……..
55
xiv
Nomor Halaman
1. Definisi Variabel: Berdasarkan Susunan Alphabetis... 228
2. Kinerja Industri Tepung Terigu Indonesia Tahun 1980-2003....
231
3. Produksi dan Permintaan Biji Gandum Utama Dunia Tahun
1980-2003...
234
4. Ekspor dan Impor Biji Gandum Utama Dunia Tahun
1980-2003...
238
5. Produksi dan Permintaan Tepung Terigu Dunia Tahun
1980-2003...
242
6. Ekspor dan Impor Tepung Terigu Utama Dunia Tahun
1980-2003...
246
7. Tingkat Suku Bunga Beberapa Negara Tahun 1980-2003... 250
8. Indeks Harga Konsumen Tahun 1980-2003... 253
9. Pendapatan Perkapita Negara Tahun 1980-2003... 256
10. Nilai Tukar Beberapa Negara Tahun 1980-2003... 259
11. Program Estimasi Model Industri Tepung Terigu Indonesia
dengan menggunakan Metode 2SLS, Prosedur SYSLIN,
Software SAS/ETS versi 6.12...
263
12. Hasil Estimasi Mode l Industri Tepung Terigu Indonesia dengan
menggunakan Metode 2SLS, Prosedur SYSLIN, Software SAS
/ETS versi 6.12...
291
13. Nilai Elastisitas Variabel Endogen Persamaan Struktural...
319
14. Program Validasi Model Industri Tepung Terigu Indonesia
dengan menggunakan Metode NEWTON, Prosedur SIMNLIN,
Software SAS/ETS versi 6.12...
326
15. Hasil Validasi Model Industri Tepung Terigu Indonesia dengan
menggunakan Metode NEWTON, Prosedur SIMNLIN, Software
SAS/ETS versi 6.12...
354
xv
16. Program Simulasi Peramalan Tahun 2011-2015 Kebijakan Tarif
dan Kuota Impor pada Model Industri Tepung Terigu Indonesia
dengan menggunakan Metode NEWTON, Prosedur SIMNLIN,
Software SAS/ETS versi 6.12...
356
17. Hasil Peramalan Kinerja Industri Tepung Terigu Indo nesia
Tanpa Peruba han Kebijaka n Tahun 2011-2015 dengan
menggunakan Metode NEWTON, Prosedur SIMNLIN, Software
SAS/ETS versi 6.12 ...
389
18. Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2011-2015 Kebijakan Tarif dan
Kuota Impor pada Model Industri Tepung Terigu Indonesia
dengan menggunakan Metode NEWTON, Prosedur SIMNLIN,
Software SAS/ETS versi 6.12...
392
1. 1. Latar Belakang
Perubahan gaya hidup sebagian anggota masyarakat Indonesia telah
mendorong terjadinya penambahan pilihan pola makan, antara lain dengan
dikenalnya pola makan berbahan dasar tepung terigu, seperti mie, roti, biskuit dan
berbagai pangan yang berbahan baku tepung terigu. Perubahan ini menyebabkan
tepung terigu menjadi salah satu komoditi pangan yang diperlukan oleh Indonesia
untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Selain itu, peningkatan permintaan
tepung terigu juga didorong dengan adanya penambahan jumlah penduduk yang
terus memanfaatkan pangan berbahan baku tepung terigu. Disisi lain, permintaan
yang terus meningkat ini belum didukung dengan kemampuan produksi dalam
negeri untuk memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan tepung terigu
dan biji gandum sebagai bahan dasar pembuatan tepung terigu. Untuk menutupi
kebutuhan dalam negeri tersebut sejumlah pengusaha melakukan impor tepung
terigu dan biji gandum dari luar negeri.
Ditinjau dari sisi ketahanan pangan, impor biji gandum atau tepung terigu
masih dapat ditolerir. Dalam tahun 2001, Sampai dengan tahun 2001,
rperbandingan antara jumlah total produksi komoditas pangan utama dengan
jumlah populasi penduduk Indonesia yang menunjukkan tingkat ketersediaan
pangan untuk pemenuhan kebutuhan penduduk belum memuaskan. Gumbira
(2003) menyatakan untuk tahun 2001, perbandingan pangan Indonesia sebesar
0.38. Nilai perbandingan tersebut diperoleh dari rata-rata jumlah produksi bahan
jagung 9.36 juta ton/tahun, kacang kedelai 1.31 juta ton/tahun, kacang tanah 0.70
juta ton/tahun, kacang hijau 0.32 juta ton/tahun, ubi kayu 15.73 juta ton/tahun, ubi
jalar 1.84 juta ton/tahun, kentang 1.27 juta ton/tahun, dan rata-rata jumlah
penduduk sejumlah 215 juta. Sedangkan Data BPS (2010) menunjukkan
perbandingan pangan utama Indonesia periode 2005-2009 sebesar 0.43. Nilai
perbandingan tersebut diperoleh dari rata-rata jumlah produksi bahan pangan
utama periode 2005-2009 sebagai berikut: padi 58.09 juta ton/tahun, jagung 14.27
juta ton/tahun, kacang kedelai 0.78 juta ton/tahun, kacang tanah 0.80 jut a
ton/tahun, kacang hijau 0.31 juta ton/tahun, ubi kayu 20.62 juta ton/tahun, ubi
jalar 1.91 juta ton/tahun, kentang 1.05 juta ton/tahun, dan rata-rata jumlah
penduduk sejumlah 224 juta. Perbandingan pangan penduduk Indonesia sebesar
0.38 tersebut mendekati perbandingan ideal sebesar 0.45.
Andrian (2009)1, mengabarkan bahwa berdasarkan data Badan Pusat
Statistik konsumsi tepung terigu di Indonesia pada tahun 1980-an sekitar 19.8
gram/kapita/hari meningkat mencapai 22.6 gram/kapita/hari pada tahun 2006, dan
pada tahun 2008 mencapai 38 gram/kapita/hari. Dilain pihak terjadi penurunan
konsumsi beras, Novita (2008)2
Lebih lanjut Gumbira (2003) menyatakan sekurang-kurangnya ada empat
alasan mengapa impor biji gandum membantu ketahanan pangan Indonesia.
menyatakan bahwa konsumsi beras pada 1980-an
mencapai 160 kg/kapita/tahun, turun menjadi sekitar 104 kg/kapita/tahun dalam
beberapa tahun belakangan.
1
Andrian. 2009. Ket ergant ungan Impor Gan dum Harus Dikurangi. Suara Karya April 2009.
2 Novit a, N. C. 2008. Mungkinkah Mi Instan Menggusur Nasi? Koran Indonesia 11 Sept ember
2008.
For m a t t e d: I talian (I taly )
For m a t t e d: I talian (I taly )
Pertama, ketersediaan biji gandum tahunan di pasar dunia adalah 130-200 juta ton,
dibandingkan dengan beras yang hanya 11-25 juta ton. Kedua, harga biji gandum
per ton lebih murah antara 70-100 USD dibandingkan dengan harga beras.
Ketiga, kandungan protein biji gandum sebesar 12.5 persen%, lebih tinggi dari
beras yang hanya 7.5 persen%. Keempat, turunan produk dari biji gandum ribuan
jenis, sedangkan dari beras hanya beberapa.hanya sebatas hitungan jari tangan
Tabel 1. Impor Biji Gandum dan Tepung Terigu Indonesia Tahun 2001-2008
Tahun Volume Impor Biji
Gandum (Ton)
Volume Impor Tepung Terigu (Ton)
2001 2 718 272 255 749
2002 4 250 353 343 479
2003 3 503 463 343 547
2004 *) 4 545 590 307 556
2005 *) 4 428 510 478 016
2006 *) 4 584 230 537 257
2007 *) 4 649 140 581 535
2008 *) 4 497 190 532 649
Sumber : FAO, 2011.
Keterangan : * = Unofficial Data
Kustiari dan Nuryanti (2009) menyatakan harga komoditas pertanian di
pasar dunia yang meningkat dari waktu ke waktu telah menimbulkan
permasalahan ketahanan pangan di tingkat rumahtangga/individu. Pola makan
pokok bergeser dari beras ke selain beras, antara lain beras jagung dan pangan
berbahan baku gandum, yaitu tepung terigu dan mi instan. Pergeseran pola makan
paling cepat terjadi di perdesaan. Masyarakat di daerah produsen pangan justru
lebih tergantung pada pangan impor. Djanuwardi dkk (1990) menunjukkan
For m a t t e d: Sw edish (Sw eden)
For m a t t e d: Sw edish (Sw eden)
For m a t t e d: Sw edish (Sw eden)
For m a t t e d: I ndonesian
bahwa antara beras dan terigu merupakan komoditi saling mesubstitusi, sementara
jagung tidak terdapat bukti yang kuat sebagai substitusi terigu.
.Masalah timbul ketika impor biji gandum dan tepung terigu terus
meningkat setiap tahunnya. Data Food and Agriculture Organizatin (FAO) pada
Tabel 1 menunjukkan bahwa impor biji gandum Indonesia tahun 2003 mencapai
3.5 juta ton, angka ini tidak berbeda dengan permintaan rata-rata tahun-tahun
sebelumnya berkisar 3.5 juta ton. Sedangkan untuk tahun 2004 sampai dengan
2008, data sement ara impor biji gandum Indonesia mencapai 4.5 juta ton/tahun.
Artinya permintaan pasar di dalam negeri setiap tahunnya terus meningkat
sejalan dengan adanya kecenderungan penambahan pola makan sebagian
masyarakat Indonesia.
Peningkatan jumlah impor biji gandum yang mencapai 4.5 juta ton/tahun
seperti yang diperkirakan, tidaklah bijaksana karena akan mensia-siakan potensi
sumber daya alam dan mengurangi cadangan devisa. Cadangan devisa yang
hilang pada tahun 2003 mencapai US$ 655 323 000, dan meningkat terus hingga
tahun 2008 sebesar US$ 2 246 922 000. Adapun besarnya cadangan devisa yang
harus dikeluarkan dengan adanya kegiatan impor biji gandum dan tepung terigu
selama lima tahun terakhir yang meningkat setiap tahunnya sebagaimana disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Besarnya Devisa Indonesia yang Harus di Bayarkan karena Kegiatan Impor
Biji Gandum dan Tepung Terigu Tahun 2003-2008
No Tahun Gandum (1000 $) Tepung
Terigu(1000 $) Jumlah(1000 $)
1 2003 579 925 75 398 655 323
2 2004 * 841 000 79 532 920 532
3 2005 * 799 003 128 045 927 048
4 2006 * 816 121 143 197 959 318
For m a t t e d: Space Before: 18 pt
For m a t t e d: Justified, I ndent: First line: 1,27 cm , Space Before: 0 pt, Line spacing: D ouble
For m a t t e d T a ble
For m a t t e d: I ndent: First line: 1,27 cm , Line spacing: D ouble
For m a t t e d: I ndent: First line: 1,27 cm , Line spacing: D ouble
For m a t t e d: I ndent: First line: 1,27 cm , Line spacing: D ouble
For m a t t e d: I ndent: First line: 1,27 cm , Line spacing: D ouble
For m a t t e d: I ndent: First line: 1,27 cm , Line spacing: D ouble
For m a t t e d: I ndent: First line: 1,27 cm , Line spacing: D ouble
6 2008 * 1 975 480 271 442 2 246 922
Sumber : FAO, 2011. Keterangan : * = Unofficial
Dilain pihak
, impor biji gandum ini sulit untuk tidak dipertahankan karena pabrik
pengolah biji gandum yang telah ada di Indonesia harus dianggap sebagai aset
nasional. Daryanto (2003), menyatakan bahwa ditinjau dari kapasitas
produksinya, Indonesia dapat dikatagorikan sebagai “raksasa terigu” yang pantas
[image:30.596.65.581.56.726.2]disegani di panggung dunia seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 1. Impor Biji Gandum dan Tepung Terigu Indonesia Tahun
1999-2003
N
o
Tah
un
Volume Gandum
(ton)
Volume Tepung Terigu
(ton)
1 1999 2 712 873 367 014
2 2000 3 576 665 459 070
3 200
1
2 718 272 255 749
4 200
2
4 250 353 343 479
5 200
3
For m a t t e d: Space A fter: A uto, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: I ndent: First line: 0 cm
For m a t t e d: I ndent: First line: 0 cm , Space Before: 0 pt, A fter: 0 pt, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Line spacing: D ouble
For m a t t e d T a ble
For m a t t e d: C entered, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Right, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Right, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Right, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Right, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Right, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Right, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Right, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Right, Line spacing: D ouble
Sumber : Badan Pusat Statistik, 1999-2003
Masalah timbul ketika impor biji gandum dan tepung terigu terus meningkat
setiap tahunnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa impor biji gandum Indonesia tahun 2003 mencapai 3.5 juta ton, angka ini
tidak berbeda dengan permintaan rata-rata tahun-tahun sebelumnya berkisar 3.5
juta ton. Sedangkan untuk tahun 2004, diperkirakan impor biji gandum Indonesia
mencapai 4.5 juta ton. Artinya permintaan pasar di dalam negeri setiap tahunnya
terus meningkat sejalan dengan adanya kecenderungan perubahan pola makan
sebagian masyarakat Indonesia belakangan ini.
Peningkatan jumlah impor biji gandum yang mencapai 4.5 juta ton/tahun
seperti yang diperkirakan, tidaklah bijaksana karena akan mensia-siakan potensi
sumber daya alam dan mengurangi cadangan devisa. Adapun besarnya
cadangan devisa yang harus dikeluarkan dengan adanya kegiatan impor biji
gandum dan tepung terigu selama lima tahun terakhir yang meningkat setiap
[image:31.596.73.579.48.763.2]tahunnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Besarnya Devisa Indonesia yang Harus di Bayarkan karena kegiatan
Impor dan Ekspor Biji Gandum dan Tepung Terigu Tahun 1999-2003
(1000 $)
No Tahun Gandum Tepung Terigu Jumlah
1 1999 404.319 67.502 471.821
2 2000 402.399 80.757 583.156
3 2001 399.486 47.955 447.447
5 2003 562.259 71.757 634.016
Sumber :FAO, 2004 dan Perhitungan
Dilain pihak, impor biji gandum ini sulit untuk tidak dipertahankan karena
empat pabrik pengolah biji gandum yang telah ada di Indonesia harus dianggap
sebagai aset nasional. Daryanto (2003), menyatakan bahwa ditinjau dari kapasitas
produksinya, Indonesia dapat dikatagorikan sebagai “raksasa terigu” yang pantas
disegani pentas dunia (Tabel 32).
Tabel 32. Kapasitas Produksi Lima Empat Besar Perusahaan Industri Tepung Terigu
Indonesia Tahun 2009Indonesia Tahun 2003
No Produsen
KapasitasIndonesia
(T(metrik ton/ per tahunhari) Prosentase (%)Kapasitas Dunia (metrik ton perhari)
1 PT. ISM Bogasari Flour Mills (Jakarta, Surabaya) *
4 905 00011 250
62.1-2 PT. Berdikari Sari Utama Flour Mills/ PT Estern Pearl Flour Mills
(Makasar) **
750 0002 150
9.5-3 PT. Sriboga Raturaya (Semarang) ***
450 0001 100
5.7-4 PT Fugui Flour dan Grain Indonesia
(Gresik)
324 000 4.1
5 PT. Panganmas Inti Persada (Cilacap)
300 000750
3.8-6 Perusahaan lain 1 165 14.8
Total 7 894 00015 250
100.00-Sumber : www://Aptindo.or.idBogasari,. 2011
Keterangan : * = Posisi ke- 1 dan 2, ** = Posisi ke-4, *** = Posisi ke- 9 dunia.03
For m a t t e d: Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Right, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Right, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: I ndent: First line: 1,27 cm , Space Before: 0 pt, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Space Before: 0 pt, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: I ndent: First line: 1,27 cm
For m a t t e d: Justified, Space Before: 0 pt, A fter: 0 pt
For m a t t e d: Justified, I ndent: Left: 1,27 cm , Space Before: 0 pt, A fter: 6 pt
For m a t t e d: Sw edish (Sw eden)
For m a t t e d T a ble For m a t t e d: Left
For m a t t e d: N orw egian (Bokm ål)
For m a t t e d: N orw egian (Bokm ål)
For m a t t e d: N orw egian (Bokm ål)
For m a t t e d: Finnish
For m a t t e d: Right
For m a t t e d: Right
For m a t t e d: Right
For m a t t e d T a ble For m a t t e d: Right
For m a t t e d: Right
For m a t t e d T a ble For m a t t e d: Right
[image:32.596.62.582.52.806.2]PT. ISM Bogasari Flour Mills sebagai industri yang memelopori
berkembangnya industri tepung terigu di Indonesia merupakan perusahaan yang
mempunyai kapasitas produksi terbesar dibandingkan perusahaan lainnya. Pada
tahun 200903, kapasitas produksi yang dimiliki PT ISM Bogasari Flour Mills
mencapai 62.173,77 persen% dari total kapasitas produksi Indonesia sebesar 7
894 00015.250 metrik ton/tahunhari.
Selanjutnya, untuk mengatur perdagangan dan industri tepung terigu,
Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa kebijakan. fiskal. Pada
awalnya, Bulog merupakan satu-satunya institusi yang diperkenankan untuk
menjaga stabilitas baik bagi produsen maupun konsumen sesuai dengan kebijakan
Pemerintah. Sejak tahun 1998 dengan keluarnya keputusan Ment eri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 21/MPP/Kep/I/1998 tentang Pencabutan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor:
407/MPP/Kep/11/1997 tentang Pengadaan dan Penyaluran Tepung Terigu di
Dalam Negeri, liberalisasi serta deregulasi industri tepung terigu telah dimulai.
Hambatan masuk ke industri tepung terigu dicabut untuk memberikan kesempatan
bagi importir umum untuk mengimpor biji gandum dan tepung terigu secara
langsung tanpa dikenakan tarif impor. Peraturan deregulasi ini memberikan
kebebasan kepada produsen tepung terigu untuk mendapatkan harga bahan baku
biji gandum yang terbaik dan kompetitif terhadap harga tepung terigu itu sendiri.
Dampak diberlakukannya SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan
tersebut, pangsa pasar tepung terigu lokal menurun dari 97.7 persen% pada tahun
1998 menjadi 85.4 persen% pada tahun 2000, namun demikian pada tahun
berikutnya pangsa pasar industri tepung terigu domestik meningkat kembali.
For m a t t e d: I ndent: First line: 1,27 cm , Space Before: 18 pt, Line spacing: M ultiple 1,9 li
For m a t t e d: Finnish
For m a t t e d: Finnish
For m a t t e d: Finnish
Pada tahun 2001, industri domestik berhasil mengembalikan pangsa pasar tepung
terigu lokal dari 85.4 persen% pada tahun 2000 menjadi 91.4 persen%, namun
kembali turun menjadi 84.5 persen pada tahun 2009 seperti terlihat pada (Tabel
43).
Tabel 43. Pangs a Pasar Masing-masing Produsen Tepung Terigu Indonesia
Tahun2000, 2001, 2004 dan 2009
No. Produsen Pangs a Pasar (%)
2000 2001 2004 2009* 1 PT. ISM Bogasari Flour Mills 67.9 70.5 69 57.3 2 PT. Berdikari Sari Utama Flour Mills/
PT Estern Pearl Flour Mills
8.2 8.9 12 10.3
3 PT. Sriboga Raturaya 4.8 6.0 5 5.5
4 PT. Panganmas Inti Persada 4.5 6.0 4 3.2
5 Total Domestik 85.4 91.4 90 84.5
6 Impor 14.6 8.6 10 15.5
(dalam persen) No
Produsen
Tahun Perubahan (%) 2000 (%) 2001 (%) 1 PT. ISM Bogasari Flour Mills 67.9 70.5 2 PT. Berdikari Sari Utama Flour
Mills
8.2 8.9
3 PT. Sriboga Raturaya 4.8 6.0
4 PT. Panganmas Inti Persada 4.5 6.0
Total Domestik 85.4 91.4
Impor 14.6 8.6
Sumber : Indocommercial (2002) dan Aptindo (2004), Aptindo 2011. Keterangan : * = Sementara
Liberalisasi selain berdampak kepada industri tepung terigu juga
berdampak kepada industri pangan dengan akibat yang berbeda. Jika industri
tepung terigu mengalami kerugian karena masuknya tepung terigu impor, maka
indus tri pangan memperoleh keuntungan dengan kemudahan-kemudahan impor
ataupun berkurangnya harga bahan baku. Kemudahan ataupun perbedaan harga
...
For m a t t e d ... For m a t t e d ...
For m a t t e d ... For m a t t e d ...
For m a t t e d ... For m a t t e d T a ble ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ...
For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ...
For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d T a ble ...
For m a t t e d ... For m a t t e d ... For m a t t e d ...
walaupun sedikit, dirasakan sangat mempengaruhi biaya produksi yang pada
akhirnya akan bermuara kepada harga jual pabrik/produsen yang ditanggung
konsumen.
Berkaitan dengan harga tepung terigu, terdapat dua asosiasi yang
mempunyai kepentingan berbeda terhadap harga bahan baku tepung terigu, yaitu
Asosiasi Pengusaha Pangan Indonesia (ASPIPIN) sebagai salah satu konsumen
tepung terigu dan Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO). Oleh
karena itu, tidaklah heran apabila ASPIPIN sangat mendukung turunnya kebijakan
liberalisasi ini. Dilain pihak APTINDO, meskipun ditentang ASPIPIN, secara
aktif melobi Pemerintah agar tepung terigu impor dikenakan tarif bea masuk.
APTINDO berkepentingan agar produsen tepung terigu nasional tidak hancur atau
merelokasi pabriknya ke negara lain yang memberikan proteksi tarif bea masuk
yang memadai. Sebagai perbandingan tarif bea masuk, Indonesia menetapkan
tarif bea masuk sebesar 5 persen%, Cina 90 persen0%, Turki 80 persen%, dan
Thailand 40 persen%. Perbedaan kepentingan antara ASPIPIN dan APTINDO,
menyebabkan pemerintah menghadapi dilema, antara membela kepentingan
industri pangan nasional dan industri tepung terigu hancur, ataukah sebaliknya.
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, tahun 2003 melalui Surat
keputusan Menteri Keuangan Nomor 127/KMK/01/2003 tentang Perubahan Tarif
Bea Masuk atas Impor Tepung Gandum, Pemerintah mengenakan tarif bea masuk
atas impor tepung gandum sebesar 5 persen% yang berlaku sejak 1 Mei 2003
sampai dengan 31 Desember 2004, setelah itu bea masuk yang berlaku 0 persen%.
Selanjutnya pengenaan tarif bea masuk setiap komoditi setiap tahunnya dikaji
Menteri Keuangan No. 07/PMK.011/2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk
atas Impor Tepung Gandum, Impor Tepung Gandum dikenakan tarif bea masuk
sebesar 5 persen, sedangkan impor biji gandum dikenakan tariff bea masuk
sebesar 5 persen berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.
241/PMK.011/2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Tarif bea masuk atas impor
biji gandum dan tepung terigu tersebut dicabut melalui Peraturan Menteri
Keuangan No. 13/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang
dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor, sehingga semenjak 24
Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2011 besaran tarif impornya menjadi
nol. Keputusan ini sudah sesuai dengan sistem organisasi perdagangan dunia
(World Trade Organization) yang hanya mengijinkan tarif sebagai instrumen
untuk proteksi.
Dengan pPenerapan tarif bea masuk tepung terigufiskal diharapkan akan
berdampak kepada terhambatnya laju masuknya tepung terigu impor yang
harganya lebih murah dari tepung terigu domestik, sehingga industri tepung terigu
dapat bertahan dari gempuran harga masuknya tepung terigu impor. Lebih jauh
lagi dari dampak kebijakan tersebut, diharapkan tetap dapat mendukung daya
saing produk pangan nasional.
Industri tepung terigu, dan industri pangan serta pelaku ekonomi terkait
sebagai aset nasional sangatlah wajar apabila mendapat perhatian yang sama dari
Pemerintah. Berkenaan dengan itu, Pemerintah sebagai pengambil kebijakan
harus mengetahui dan dapat mengantisipasi dampak dari suatu kebijakan. Apakah
mendorong atau mematikan. Untuk itu, adalah hal yang bijaksana apabila
dilakukan analisa dampak kebijakan tarif dan kuota impor fiskal terhadap
keragaan industri tepung terigu sehingga dampak dari kebijakan fiskal yang akan
diterapkan atau sedang ataupun telah diterapkan Pemerintah dapat secara jelas
diketahui.
1. 2. Perumusan Masalah
Keberadaan industri tepung terigu di Indonesia merupakan dilema yang
terus berlangsung dan belum terpecahkan hingga kini. Pada satu sisi industri
tepung terigu telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi negara terutama
dalam bentuk penerimaan pemerintah dari pajak dan penyerapan lapangan kerja.
Pada sisi lain industri tepung terigu domestik merupakan industri yang
menghabiskan devisa karena bahan bakunya secara keseluruhan dipenuhi dari biji
gandum impor.
1000 $
0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Sumber : FAO, 2011.
For m a t t e d: Justified
For m a t t e d: Justified, I ndent: First line: 1,27 cm , Space Before: 0 pt, A fter: 0 pt, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Space Before: 0 pt, A fter: 0 pt, Line spacing: D ouble
For m a t t e d: Justified, Space Before: 0 pt, A fter: 0 pt, Line spacing: D ouble
[image:38.596.83.584.23.836.2]Gambar 1. Grafik Kecenderungan Impor Biji Gandum Indonesia Tahun 1995-2008
Gambar 1 memperlihatkan bahwa impor biji gandum Indonesia
menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya dan mencapai
puncak pada tahun 1996 ketika krisis ekonomi belum melanda Indonesia,
kemudian terus menurun sampai tahun 2002. Selanjutnya cenderung meningkat
terus sampai dengan tahun 2008.
Pada awal berdirinya sampai dengan tahun 1998, industri penggilingan
tepung terigu sangat dilindungi oleh Pemerintah. Perlindungan dan proteksi
pemerintah menjadikan industri tepung terigu Indonesia tumbuh dan
berkembangbesar, namun hanya dikuasai oleh PT. Bogasari Flour Mills, PT.
Berdikari Sari Utama Flour Mills, PT. Panganmas Inti Persada, dan PT. Sriboga
Raturaya sehingga stuktur pasar bersifat oligopoli. Struktur pasar oligopoli
tersebut menyebabkan harga tepung terigu yang terbentuk dan produk yang
dipasarkan sangat ditentukan oleh produsen.
Gambar 2. Struktur Pasar Monopoli dan Persaingan Sempurna
Gambar 2 memperlihatkan bahw a ketika pasar berstruktur monopoli, maka
produsen akan memproduksi komoditi (QM) lebih sedikit dibandingkan ketika
pasar berstruktur persaingan sempurna (QPPS) tetapi dengan harga yang lebih
mahal (PM) dibandingkan harga ketika pasar persaingan sempurna (PPPS). D MC
S Harga
QPPS Q
m cS
MR
QM PM
Memasuki era liberalisasi, dukungan pemerintah terhadap industri tepung terigu
secara drastis dihilangkan. Liberalisasi industri tepung terigu menyebabkan pasar
tepung terigu domestik dengan mudah dimasuki oleh tepung terigu impor tanpa
hambatan tarif maupun non tarif. Keadaan ini menguntungkan konsumen,
sehingga konsumen rumahtangga maupun produsen pangan dapat secara bebas
memilih produk yang diinginkan dengan harga bersaing. Dampak negatif secara
langsung yang dirasakan oleh produsen tepung terigu dengan adanya liberalisasi
adalah penguasaan pangsa pasar tepung terigu oleh pengusaha domestik
berkurang dari 97.7 persen% pada tahun 1998 menjadi hanya 845.54 persen%
pada tahun 20090. Berkurangnya penguasaan pangsa pasar oleh industri tepung
terigu domestik menimbulkan pertanyaan pelaku bisnis di industri penggilingan
tepung terigu lokal, akankah penguasaan pangsa akan terus berkurang akibat
dimasuki oleh tepung impor ataukah mampu bertahan dan bahkan kembali
merebut pangsa pasar yang telah diambil oleh tepung terigu impor ?.
Menindaklanjuti permintaan asosiasi produsen tepung terigu agar Pemerintah
membantu industri tepung terigu, Pemerintah menetapkan tarif bea masuk sebesar
5 persen% kepada tepung terigu impor yang hanya berlaku sampai dengan akhir
2004.
Pengenaan tarif bea masuk sebesar 5 persen% kepada tepung terigu impor
mengundang ketidakpuasanpr otes baik dari APTINDO maupun ASPIPIN.
APTINDO merasa bahwa besaran tarif bea masuk dirasakan kurang besar dan
berharap agar Pemerintah lebih memperhatikan produsen tepung terigu yang
sudah terlanjur besar. Produsen tepung terigu beralasan bahwa industri tepung
kegiatan penambahan nilai dari biji gandum menjadi tepung terigu. Selain itu,
data Departemen Perindustrian menunjukkan bahwa kapasitas produksi dari
masing-masing industri belum sepenuhnya dimanfaatkan, utilisasi industri tepung
terigu tahun 2006 hanya mencapai 64.5 persen, dan tahun 2007 sebesar 66.6
persen, serta 2008 (triwulan II) sebesar 42.9 persen sSehingga adalah layak
apabila industri tepung terigu dibantu dan dilindungi keberadaannya. Dilain
pihak pengenaan tarif bea masuk 5 persen% pada tepung terigu berdampak kepada
meningkatnya harga tepung terigu impor sehingga konsumen tepung terigu harus
membayar lebih mahal, begitupula dengan industri pangan.
Industri pangan sebagai “secondary industri” dari industri tepung terigu
yang mendapat tekanan dari pengenaan tarif bea masuk tepung terigu berargumen
bahwa pengenaan tarif bea masuk akan berimplikasi kepada meningkatnya biaya
produksi yang pada akhirnya akan bermuara kepada harga produk. Harga produk
yang tinggi akan menyebabkan produk tidak kompetitif, yang pada akhirnya akan
kalah bersaing dengan produk makanan impor. Pada tahun 2002, Kompas (2002),
menginformasikan bahwa pada saat tepung terigu impor tidak dikenakan tarif bea
masuk, produsen makanan dapat membeli tepung terigu impor dengan harga 20
persen% lebih murah dari tepung terigu lokal.
Dengan kondisi pasar terdistorsi, selanjutnya Pemerintah diminta oleh
asosiasi produsen tepung terigu untuk dapat membantu pengusaha lokal dalam
menghadapi masuknya tepung terigu impor. Asosiasi berharap agar Pemerintah
dengan kewenangan yang dimilikinya dapat menerapkan tarif bea masuk yang
lebih tinggi diharapkan harga tepung terigu impor menjadi lebih tinggi
dibandingkan harga tepung terigu lokal atau paling tidak sama dengan harga lokal.
Selain itu, kebijakan pengenaan tarif bea masuk pada tepung terigu impor
diharapkan mampu mengurangi upaya impor disatu sisipihak dan meningkatkan
penerimaan negara disisi lain. Masalah yang timbul dari pengenaan tarif bea
masuk adalah semakin meningkatnya harga jual produk tepung terigu yang pada
akhirnya harus ditanggung oleh masyarakat sebagai konsumen akhir.
Dampak peningkatan harga jual akibat adanya tarif menyebabkan
berkurangnya surplus konsumen dan bertambahnya surplus produsen serta adanya
penerimaan negara, sehingga pada akhirnya akan berdampak kepada
berkurangnya kesejahteraan, sehingga akhirnya akan berdampak pada
kesejahteraan masyarakat. Sedangkan pembebasan tarif bea masuk selain akan
mengurangi penerimaan negara, juga berdampak kepada peningkatan surplus
konsumen dan pengurangan surplus produsen.
Masalah lain yang perlu mendapat perhatian, yakni masalah kemungkinan
adanya konflik kepentingan antara produsen dan konsumen tepung terigu.
Sebagai konsumen tepung terigu, industri pangan dan rumahtangga menuntut
harga tepung terigu yang murah. Harga tepung terigu yang murah dapat dicapai
apabila di pasar terdapat banyak produsen yang mampu memasarkan produknya
secara bebas. Sementara itu produsen tepung terigu berharap memperoleh
keuntungan dari penguasaan pangsa pasar domestik yang bebas dari produsen
asing sehingga industrinya tetap berjalan.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Pada era perdagangan bebas dimana dukungan Pemerintah terhadap
industri domestik dikurangi, dapatkah industri tepung terigu domestik
bertahan dari masuknya tepung terigu impor ?
2. Efektifkah penetapan kuota impor biji gandum atau tepung terigu dilihat
dari sisi produsen dan konsum en ?
23. Dapatkah permintaan tepung terigu domestik dipenuhi seluruhnya dari
industri tepung terigu domestik ?
3. Efektifkah penetapan harga tepung terigu lebih rendah daripada tingkat
harga yang berlaku, sehingga perusahaan industri pangan tidak tertekan
karena sifat monopoli atau oligopoli dari industri penggilingan tepung
terigu ?
4. Seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan oleh intervensi pemerintah,
apabila terjadi pengenaan tarif bea masuk tepung terigu , dan adanya
pengenaan tarif ekspor tepung terigu ?
5. Seberapa besar perubahan-perubahan kesejahteraan yang akan terjadi
sebagai akibat adanya pengenaan tarif bea masuk/kuota impor terhadap
biji gandum/tepung terigu, tarif bea masuk tepung terigu, penghentian
ekspor tepung terigu, penghentian impor tepung terigu ?.
6. Mungkinkah Pemerintah melindungi industri tepung terigu dan industri
pangan nasional secara bersama-sama sehingga menjadi industri yang
Mengingat permasalahan yang dihadapi industri tepung terigu tersebut,
maka penyederhanaan masalah industri tepung terigu memerlukan seperangkat
model ekonometrika yang mampu mengintegrasikan perubahan-perubahan
kedalam suatu kebijakan industri tepung terigu domestik yang berdayaguna bagi
pabrik tepung terigu, konsumen, industri pangan maupun perekonomian nasional
di era perdagangan bebas.
1. 3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis dampak kebijakan
tarif dan kuota imporfiskal terhadap keragaan industri tepung terigu Indonesia,.
sSedangkan tujuan khusus penelitian adalah untuk:
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku impor deman dan
harga impor biji gandum, serta impor, produksi, permintaandeman, ekspor
dan harga tepung terigu Indonesia.
2. Menganalisis dampak kebijakan tarif dan kuota fiskal impor biji gandum
terhadap kinerja industri tepung terigu dan kesejahteraan produsen dan
konsumendeman.
3. Menganalisis dampak kebijakan tarif dan kuota fiskal impor tepung terigu
terhadap kinerja industri tepung terigu dan kesejahteraan produsen dan
konsumendeman.
Menentukan alternatif kebijakan dengan mempertimbangkan kepentingan
produsen tepung terigu, konsumen tepung terigu dan penerimaan
pemerintah dalam rangka meningkatkan kinerja industri tepung terigu.
4.
1.4. Kegunaan Penelitian
Model Industri Tepung Terigu Indonesia (ITTI) eksportir dan importir
digunakan untuk mengevaluasi dan meramalkan dampak alternatif kebijakan tarif
dan kuota impor biji gandum dan tepung terigu terhadap kinerja industri tepung
terigu Indonesia dan kesejahteraan produsen dan konsumen. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi empiris aspek perdagangan dan ekonomi
tepung terigu untuk penyusunan strategi domestik yang berorientasi pasar global.
Simulasi evaluasi dan ramalan dampak diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan Pemerintah, sehingga kebijakan yang diterapkan menjadi lebih
efektif dan efisien bagi pengembangan industri tepung terigu domestik dan
industri pangan makanan.
1. 5. Ruang Lingkup
Untuk memperoleh gambaran yang baik, maka penelitian ini didasarkan
kepada data statistik sejak 1980 sampai dengan 2003. Periode waktu dari tahun
1980 ditetapkan atas dasar pertimbangan bahwa pada tahun tersebut merupakan
sebagai awal kegiatan impor biji gandum sebagai bahan baku tepung terigu secara
besar-besaran oleh Badan Urusan Logistik (BULOG). Sedangkan data sampai
dengan 2003, dikarenakan data tersebut merupakan data yang telah dinyatakan
tidak akan ada perubahan lagi ketika penelitian dan model dibangun pada tahun
2007.
Penelitian ini tidak mengkaji input budidaya gandum, input industri tepung
terigu dan produk industri tersier yang terkait. Keterbatasan lain yang terdapat
pada penelitian ini, adalah:
1. Model Industri Tepung Terigu Indonesia dibangun secara agregat
berdasarkan aspek-aspek impor dan ekspor yang mengintegrasikan industri
tepung terigu domestik dan pasar tepung terigu dunia dengan
mendisagregasikan menjadilima negara eksportir biji gandum dan tepung
terigu ke Indonesia dan lima negara importir utama dunia namun tidak
mengkaji pengaruh blok-blok perdagangan.
2. Jenis biji gandum yang diimpor tidak dipisahkan berdasarkan jenisnya,
tetapi diagregasi seluruhnya. Pada pasar internasional biji gandum yang
diperdagangkan terdiri atas tiga jenis biji gandum, namun impor biji
gandum Indonesia didominasi oleh satu jenis (99.,99 persen%). Sehingga
untuk mempermudah analisis, jenis biji gandum yang diimpor tidak
didisagregasikan.
3. Konsumen tepung terigu Indonesia didisagregasikan berupa permintaan
rumahtangga, dan usaha kecil menengah, serta industri makanan dan
minuman. Disagregasi ini dilakukan dalam upaya mengetahui secara
nyata faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dari masing-masing
kelompok permintaan. Seperti dilaporkan APTINDO (20110), permintaan
tepung terigu kelompok rumahtangga mencapai 99 persen%, permintaan
tepung terigu kelompok industri kecil menengah 60 persen%, sedangkan
permintaan tepung terigu oleh kelompok industri makanan dan minuman
311 persen%.
4. Semenjak 2007 sampai dengan tahun 2011 diasumsikan tidak ada
perubahan struktural yang berdampak signifikan terhadap kinerja industri
5. Ekstrapolasi, intrapolasi dan proksi akan dilakukan untuk mengatasi
keterbatasan ketersediaan data dalam seri dan jenis, tanpa mengurangi
2. 1. Ek onomi Tepung Terigu Dunia
Biji gandum merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar
penduduk dunia, sedangkan biji gandum yang berkualitas rendah dimanfaatkan
sebagai makanan ternak. Adapun negara produsen biji gandum dunia disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5. Produksi Biji Gandum di Beberapa Negara Produsen Utama Tahun 1980, 2003 dan 2008
Negara 1980
(t on)
2003 (t on)
2008 (Ton) *
∆ (%) (3-2)/2
∆ (%) (4-3)/3
∆ (%) (4-2)/2
1 2 3 4 5 6 7
Asia 122 533 346 230 997 049 242 312 492 88.51 4.90 97.75 1. China 55 212 830 86 100 250 112 463 292 55.94 30.62 103.69 2. India 31 830 000 65 129 300 78 570 200 104.61 20.64 146.84 3. Pakistan 10 856 500 19 210 200 20 958 800 76.94 9.10 93.05 4. Turki 16 554 000 19 000 000 17 782 000 14.77 -6.41 7.42
5. Kazasktan - 11 518 500 12 538 200 - 8.85 -
6. Iran 5 849 000 12 900 000 79 566 650 120.55 516.80 1260.35 Afrika 6 534 887 17 019 678 7 977 050 160.44 -53.13 22.07 1. Mesir 1 736 440 6 150 000 7 977 050 254.17 29.71 359.39
2. Aljazair 1 511 426 2 970 000 - 96.50 - --
3. Marocco 1 811 000 5 146 820 - 184.19 - --
Amerika 86 877 176 90 141 829 3.75 0.53 13.95
1. Argentina 7 974 700 14 530 000 8 508 160 82.20 -41.44 6.696
2. Mexico 2 784 914 3 000 000 - 7.72 - --
3. Brazil 2 701 613 5 899 800 6 027 130 118.38 2.16 123.09 4. Kanada 19 292 000 23 552 000 28 611 100 22.08 21.48 48.31 5. USA 64 799 504 63 589 820 68 016 100 -1.86 6.96 4.96 Eropa 161 639858 148 614 723 171 307 440 -8.06 15.27 5.98 1. Italia 9 156 000 6 234 390 8 855 440 -31.91 42.04 -3.28
2. Spanyol 6 039 500 6 290 100 - 4.15 - -
3. Polandia 4 175 486 7 858 160 9 274 920 88.20 18.03 122.13 4. Rumania 6 264 000 2 479 052 7 180 980 -60.42