• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biosolubilisasi Batubara hasil iradiasi gamma dalam berbagai dosis oleh kapang Penicillium sp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biosolubilisasi Batubara hasil iradiasi gamma dalam berbagai dosis oleh kapang Penicillium sp"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

BIOSOLUBILISASI BATUBARA HASIL IRADIASI GAMMA

DALAM BERBAGAI DOSIS OLEH KAPANG Penicillium sp.

ASTRI ANA

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan tulus dipersembahkan kehadirat Allah SWT. Dia-lah Tuhan yang menurunkan agama melalui Wahyu yang disampaikan kepada Rasul pilihan-NYA Muhammad SAW. Melalui agama ini terbentang luas jalan lurus yang dapat mengantar manusia kepada kehidupan di dunia. Atas berkah dan Hidayah-NYA penulis dapat membuat dan menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa pula shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, semoga kita tetap beristiqamah mengikuti ajarannya.

Skripsi ini berjudul “Biosolubilisasi Batubara Hasil Iradiasi Gamma Dalam Berbagai Dosis Oleh Kapang Penicillium sp.”, yang disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana sains (S1) pada program studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuannya baik berupa material maupun moril. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(3)

ii

3. Priyanti, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Irawan Sugoro, M.Si dan Megga Ratnasari Pikoli, M.Si selaku Dosen Pembimbing. Penulis mengucapkan banyak terimakasih atas kesediaan dan kesabaran Bapak dan Ibu dalam menuntun, membimbing, serta nasihat yang membangun semangat dan pendirian penulis selama berlangsungnya penelitian.

5. Dra. Nani Radiastuti, M.Si dan Reno Fitri, M.Si selaku dosen penguji, terimakasih penulis ucapkan atas saran, masukan, serta nasihat yang membangun semangat bagi penulis.

(4)

iii

7. Untuk yang terspesial Abang Ryan yang selalu ada untukku, yang menemaniku dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Terimakasih banyak ku ucapkan untuk semua nasehat, masukan, saran, dan ketulusan hatimu untukku.Kasih sayangmu tak akan ku lupakan.

8. Saudaraku Eka dan mama eka di Mamuju, Sulawesi Selatan.

9. Sahabatku di SMA yang selalu setia dan kusayangi Yora, Ulan, Rara, Amel, dan Marzukoh yang selalu kurindukan serta sahabatku dari kecil Diah dan Dian yang selalu membuatku tersenyum dan bahagia.

10.Teman-teman Biologi angkatan 2006 yang tercinta yaitu; Nita (Cinta) yang selalu baik hati, sabar, serta memotivasiku, Hera yang selalu memberikan nasehat untuk kemajuanku dan kebahagiaanku, Fitri dan Anggi yang selalu buat aku rindu, Nana yang selalu membuatku bahagia dan selalu ngangenin, Lidia yang membuatku nyaman, Zihan yang baik hati dan suka menolong, Nunung yang buat aku mengerti arti teman, Apdus yang selalu memberi informasi dan baik hati, Adeng dan Iis yang rendah hati, dan teman-temanku yang lainnya yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan, perhatian, kebaikan, kasih sayang, nasihat, kesediaan, kepeduliaan, dan cinta kasih yang telah kalian berikan. Sampai kapanpun silahturahmi dan doa kita jangan pernah terputus walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu. Terimakasih kalian sudah menemaniku dalam susah maupun senang.

(5)

iv

12.Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya untuk kak Melly atas kebaikan dan ketulusan hatinya, dukungan serta informasi-informasi yang dibutuhkan yang

diberikan kepada penulis, Love u Kak…. Untuk kak Amy, kak Tiwi, kak Evi,

dan kak Bahri serta semua kakak-kakak yang tidak bisa saya sebutkan, terimakasih atas kebaikan dan informasi yang telah diberikan.

13.Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu karena

keterbatasan ruang, hanya Allah yang dapat membalasnya. Amin…

Demikianlah penyusunan laporan ini, disadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi, dan metodologi penulisan. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis, tetapi juga bagi pembaca pada khususnya untuk menambah wawasan, pengetahuan serta informasi dari skripsi ini.

Jakarta, 20 Mei 2010

(6)

v

2.1.1.Pembentukan Batubara……… 7

2.1.2. Klasifikasi Batubara……… 9

2.1.3. Batubara di Indonesia………. 13

2.1.4. Biosolubilisasi Batubara………. 15

2.2.Kapang……… 17

2.3.Kapang Penicillium sp. ……….. 20

2.4. Biosolubilisasi Batubara Oleh Kapang………..……… 22

2.5.Iradiasi Gamma………….……….. 26

(7)

vi

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat……… 31

3.2. Alat dan Bahan….………. 31

3.3. Prosedur Kerja….………... 32

3.3.1. Persiapan dan Sterilisasi Alat……… 32

3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara………. 32

3.3.3. Iradiasi Batubara Dengan Sinar Gamma……….………… 33

3.3.4. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar……… 33

3.3.5. Pembuatan Medium MinimalSalt (MMS)……… 33

3.3.6. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar Medium Minimal (PDAM)……….. 34

3.3.7. Pembuatan Medium Minimal Salt Sucrose (MMSS)………… 34

3.3.8. Kultur Isolat Kapang Penicilliumsp. ……… 34

3.3.9. Biosolubilisasi Batubara……….. 35

3.3.10.Pengukuran pH, Solubilisasi, dan Kolonisasi Miselia Kapang……….. 35

3.3.10.1. Pengukuran pH……….. 35

3.3.10.2. Solubilisasi Batubara……….. 36

3.3.10.3. Kolonisasi Miselia Kapang Batubara……….. 36

3.3.11. Analisis Aktivitas Enzim………..……… 37

3.3.12. Analisis Hasil Solubilisasi Batubara Oleh Kapang Penicillium sp. Dengan Menggunakan GC-MS……… 37

3.3.13. Analisis Data……….. 38

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kolonisasi Kapang Penicilliumsp. Pada Substrat Batubara…………... 39

4.2. Nilai pH Medium Solubilisasi Batubara... 42

4.3. Aktivitas Enzim Hasil Biosolubilisasi Batubara... 46

(8)

vii 4.5. Hasil Identifikasi Senyawa Hasil Solubilisasi Kapang Penicillium sp.

Pada analisis GC-MS……… 53

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan……….. 59

5.2. Saran……… 59

DAFTAR PUSTAKA………..………. 60

(9)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan Unsur Karbon, Hidrogen, dan Oksigen

Pada Tahap Pembentukan Batubara…... 6 Tabel 2. Bahan Mineral Yang Terdapat Dalam Batubara……… 13 Tabel 3. Produksi dan Pemasaran Batubara di Indonesia……..……… 15 Tabel 4. Enzim Ekstraseluler Pendegradasi Lignin Dari Kapang…………. 25 Tabel 5. Komposisi Medium Biosolubilisasi Batubara Oleh Penicillium sp.

.……… 32

(10)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Periode Pembentukan Jenis-jenis Batubara... 8

Gambar 2. Batubara Antrasit….……..………. 10

Gambar 3. Batubara Bituminus……… 11

Gambar 4. Batubara Subbituminus………. 11

Gambar 5. Batubara Lignit……… 12

Gambar 6. Peta Persebaran Cadangan Batubara di Indonesia………. 14

Gambar 7. Batubara Cair……….. 16

Gambar 8. Penicillium sp. ……… 20

Gambar 9. GC-MS Shimadzu... 28

Gambar 10. Interaksi antara batubara dengan kapang Penicillium sp. dalam periode inkubasi dan dosis tertentu……… 41

Gambar 11. Nilai pH Pada Berbagai Variasi Dosis Batubara... 44

Gambar 12. Absorbansi Aktivitas Enzim Hasil Biosolubilisasi Batubara Pada Dosis Yang Berbeda... 47

Gambar 13.Absorbansi Pada Panjang Gelombang 250 nm Hasil Solubilisasi Pada Berbagai Dosis Yang Berbeda……….. 51

Gambar 14. Absorbansi Pada Panjang Gelombang 450 nm Hasil Solubilisasi Pada Berbagai Dosis Yang Berbeda……….. 52

(11)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Komposisi Medium……….. 64

Lampiran 2. Skema Penelitian………. 65

Lampiran 3. Uji Biosolubilisasi Batubara... 66

Lampiran 4. Uji Statistik Anova... 67

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Minyak bumi merupakan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak dapat diperbaharui, sedangkan kebutuhan manusia terhadap sumber daya energi akan terus mengalami peningkatan seiring dengan berkembang pesatnya sektor industri, transportasi dan perumahan. Telah diketahui bahwa tingkat produksi minyak bumi di Indonesia sebesar 390 juta ton per tahun. Diperkirakan produksinya hanya dapat bertahan dalam 11 tahun ke depan saja (Beyond Petroleum, 2006).

Menurut laporan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2008), potensi sumber daya batubara di Indonesia pada akhir tahun 2008 sebanyak 105 miliar ton. Potensi sumber daya batubara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Sumatera dengan kualitas yang rendah yaitu seperti lignit (batubara muda) dan subbituminus. Oleh karena itu, batubara merupakan sumber energi pilihan yang dapat menggantikan minyak bumi sebagai bahan bakar utama. Minyak bumi dan batubara memiliki kesamaan yaitu mengandung senyawa karbon (Sebayang et al., 2008).

(13)

2 batubara adalah dengan metode kimia dan fisika (Natural Resources Defense Council, 2007). Berdasarkan data statistik energi dunia, pengolahan batubara dengan metode tersebut menghasilkan 40% dari total emisi gas rumah kaca dunia. (International Energy Agency, 2006). Untuk itu, perlu dikembangkan suatu teknologi pengolahan batubara menjadi energi alternatif dengan meminimalisasi emisi gas rumah kaca. Metode yang bisa dikembangkan dalam pencairan (liquifikasi) batubara adalah penggunaan mikroorganisme. Istilah tersebut dikenal dengan biosolubilisasi.

Beberapa jenis fungi yang mampu mengubah batubara padat menjadi produk cair yang lebih ekonomis karena tidak membutuhkan tekanan dan temperatur yang tinggi, serta lebih ramah lingkungan. Cara yang digunakan dalam biosolubilisasi ini adalah dengan memanfaatkan jamur indigenous. Sejumlah strain jamur diketahui berinteraksi dengan batubara kualitas rendah, melalui proses ekstraselular untuk menghasilkan medium yang lebih gelap selama proses kultur (Cohen et al., 1990).

(14)

3 batubara (Hatakka, 2001). Pemanfaatan kapang Penicillium sp. akan memudahkan saat pengaplikasian, karena kapang tersebut secara alami telah teradaptasi dengan substrat batubara.

(15)

4

1.2. Perumusan Masalah

1.

Berapakah dosis iradiasi gamma yang terbaik dalam mempercepat degradasi

proses biosolubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp.?

2. Apakah produk batubara cair hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp.dari batubara subbituminus hasil iradiasi gamma dapat digunakan sebagai energi alternatif?

1.3. Hipotesis

1. Terdapat satu dosis yang terbaik dari hasil iradiasi gamma dalam mempercepat degradasi proses biosolubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp.

2. Produk batubara cair hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp. dari batubara subbituminus dengan pemanfaatan iradiasi gamma dapat digunakan sebagai energi alternatif.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mencari dosis yang terbaik dari hasil iradiasi gamma dalam mensolubilisasikan batubara.

(16)

5

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan pengetahuan tentang penggunaan dosis yang terbaik (optimal) hasil iradiasi gamma terhadap batubara dan proses biosolubilisasinya menggunakan kapang Penicillium sp.

1.6. Kerangka Berpikir

Kebutuhan masyarakat terhadap minyak bumi yang semakin bertambah

Melimpahnya cadangan batubara di Indonesia dengan kualitas rendah

Biosolubilisasi batubara untuk meningkatkan kualitas

Iradiasi gamma dengan dosis Kapang Penicillium sp. O kGy, 5 kGy, 10 kGy, dan 20 kGy

(17)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batubara

Batubara didefinisikan sebagai batuan sedimen yang berasal dari material organik (organoclastic sedimentary rock), dapat dibakar dan memiliki kandungan utama berupa karbon, hidrogen, dan oksigen. Secara proses, batubara adalah lapisan yang merupakan hasil akumulasi tumbuhan dan material organik pada suatu lingkungan pengendapan tertentu, sehingga menghasilkan peringkat dan tipe tertentu (Haris, 2009). Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara disebut dengan pembatubaraan (coalification).

Tabel 1. Kandungan Unsur Karbon, Hidrogen, dan Oksigen Pada Tahap Pembentukan Batubara

(18)

7 kandungan oksigen lebih rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur pembentukan batubara yang terjadi (Kentucky Geological Survey, 2006).

Batubara secara umum adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Analisa unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit, selain itu batubara juga diartikan sebagai sisa tumbuhan dari zaman prasejarah yang berubah bentuk yang awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan organik yang merupakan material karbonat (Speight, 1994).

2.1.1. Pembentukan Batubara

Periode pembentukan karbon atau batubara (Carboniferous Period) dikenal sebagai zaman batubara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas

organik’. Proses awal pembentukan batubara adalah gambut (peat) yang

(19)

8 mengalami perubahan yang secara bertahap dengan menambah maturitas organiknya, sehingga mengubah batubara muda menjadi batubara subbituminus. Periode pembentukan jenis-jenis batubara dapat dilihat pada Gambar 1. Perubahan kimia dan fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus atau antrasit yang merupakan jenis batubara dengan kualitas yang tinggi (Kentucky Geological Survey, 2006).

Gambar 1. Periode Pembentukan Jenis-jenis Batubara (Kentucky Geological Survey, 2006)

(20)

9 senyawa karbondioksida, air, dan asam nitrat untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Speight, 1994).

Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Kentucky Geological Survey, 2006). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang. Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, subbituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.

2.1.2. Klasifikasi Batubara

Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan zaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam) (Tekmira, 2005).

(21)

10 Batubara antrasit merupakan batubara yang memiliki rumus molekul C240H90O4NS, dikenal memiliki tampilan yang hitam mengkilat seperti permukaan

logam. Kandungan karbonnya mencapai 80-96 % dengan kadar air kurang dari 8% dari beratnya sehingga dapat menghasilkan energi paling tinggi dari jenis batubara lainnya, yaitu mencapai 20-28 juta British thermal unit (Btu)/ton. Meskipun sulit dibakar, pembakaran batubara antrasit tergolong pembakaran yang sangat bersih dan bebas asap. Antrasit merupakan golongan batubara yang tinggi (Tekmira, 2005).

Gambar 2. Batubara Antrasit (Myles, 2008 )

Batubara bituminus berwarna hitam dengan komposisi air sangat kecil, mengandung bahan yang mudah menguap seperti sulfur yaitu sekitar 15-20 %, yang memiliki rumus molekul C137H97O9NS, kandungan karbonnya sebanyak

(22)

11 Gambar 3. Batubara Bituminus (Departement of Geosciences, 2009)

Batubara subbituminus berwarna hitam dengan kandungan karbon sebesar 35-45 %, banyak mengandung air, dan merupakan energi yang dihasilkan berkisar antara 16-24 juta Btu/ton. Jika dibandingkan dengan batubara bituminus, batubara subbituminus menghasilkan pembakaran yang lebih bersih karena kandungan sulfurnya yang lebih rendah, selain itu juga menghasilkan sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus (Tekmira, 2005).

Gambar 4. Batubara Subbituminus (Farland, 2008)

(23)

12 yang terkena tekanan tinggi dan merupakan batubara yang sangat lunak. Kandungan karbon berkisar antara 20-35 % dari beratnya dan energi yang dihasilkan berkisar antara 9-17 Btu/ton. Kandungan airnya lebih tinggi (35-75%) daripada batubara subbituminus sehingga perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum dibakar. Sebagian besar lignit digunakan untuk keperluan pembangkit listrik (Tekmira, 2005).

Gambar 5. Batubara Lignit (Departement of Geosciences, 2009)

(24)

13 Beberapa kelompok mineral yang terkandung dalam batubara dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Bahan Mineral Yang Terdapat Dalam Batubara

Kelompok Senyawa Formula

(25)

14 Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah (kira-kira 45 juta tahun yang lalu) dan Miosen atau sekitar Tersier Atas (kira-kira 20 juta tahun yang lalu) (Indonesian Coal Mining Association, 1998). Persebaran cadangan batubara di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 6. Pada gambar tersebut dapat terlihat bahwa cadangan batubara di Indonesia yang paling banyak adalah di Sumatera dan Kalimantan.

Gambar 6. Peta Persebaran Cadangan Batubara di Indonesia

(Indonesian Coal Mining Association, 1998)

(26)

15 Data pada Tabel 3, dapat terlihat bahwa pada tahun 2007 dan 2008, menunjukkan produksi tambang skala kecil ini dapat mencapai 2 juta ton dengan harga jual internasional US $ 70-90 per ton (Firmansyah, 2010).

Tabel 3. Produksi dan Pemasaran Batubara Indonesia

Pelaku

KP : Kepemilikan Kuasa Pertambangan

PKP2B: Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara

2.1.4. Biosolubilisasi Batubara

Menurut Crawford and Gupta (1990), biosolubilisasi adalah proses pelarutan batubara dalam suatu medium dengan bantuan mikroorganisme. Biosolubilisasi dapat berupa upaya untuk mencairkan batubara yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak bumi. Disamping untuk mencairkan batubara, biosolubilisasi dapat pula digunakan untuk mengurangi kandungan sulfur atau logam toksik pada batubara.

(27)

16 mikroorganisme dikenal dengan biosolubilisasi atau bioliquifaksi. Sejumlah strain jamur dan bakteri filamentous diketahui berinteraksi dengan batubara kualitas rendah, melalui proses ekstraselular untuk menghasilkan medium yang lebih gelap selama proses kultur atau cairan gelap pada permukaan batubara ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Crawford and Gupta, 1990).

Fungi yang dapat dimanfaatkan untuk proses biosolubilisasi ini diantaranya Polyporus versicolor, Trametes versicolor, Penicillium, Streptomyces, Phaerochaete chrysosporium, Candida sp., dan Cunninghamella sp. Pencairan batubara dengan metode biologi relatif dapat menekan biaya operasional karena tidak dilakukan dalam tekanan dan temperatur yang tinggi serta lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan produk sampingan yang berbahaya (Cohen et al., 1990).

Batubara

padat yang

terlarut

Gambar 7. Batubara Cair (Dokumen Pribadi, 2010)

(28)

17 adalah berupa campuran senyawa yang larut dalam air, senyawa polar dengan berat molekul yang relatif tinggi. Tanpa adanya air atau pelarut yang cocok, produk yang dihasilkan tetap padat. Kebanyakan mikroorganisme membutuhkan gula untuk media pertumbuhannya (Liu et al., 1990).

Biosolubilisasi batubara dengan bantuan mikroorganisme dapat menghasilkan produk yang biasanya setara dengan komponen minyak bumi. Produk biosolubilisasi yang setara dengan senyawa yang terdapat dalam bensin mempunyai rantai atom karbon yang pendek yaitu C4 sampai C12, sedangkan untuk komponen minyak solar mempunyai atom karbon C8 sampai C25 (American Petroleum Institute, 2001). Menurut Laboratorium Pangan PLT UIN Jakarta (2009), senyawa solar adalah senyawa yang mempunyai rantai karbon C10 sampai C13 dengan senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya berupa n-Dekana (C10H22), Trans-Decahidronapthalen, Undekana (C11H24), N-Dodekana (C12H26), dan Trigekana (C13H28).

2.2. Kapang

(29)

18 Kumpulan hifa yang bercabang-cabang membentuk suatu jala dan umumnya berwarna putih disebut miselium. Ada beberapa kapang dengan miselia longgar atau seperti bulu kapas sedangkan yang lainnya kompak. Penampakan miselia ada yang seperti beludru (velvet) pada permukaan atasnya, beberapa kering seperti bubuk (powdery), dan basah atau memiliki massa seperti gelatin (Hidayat et al., 2006).

Diameter hifa kapang umumnya tetap, yaitu berkisar 3-30µm dan ukuran diameter tersebut dapat juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Hifa yang tua mempunyai tebal berkisar antara 100-150µm sedangkan tebalnya pada bagian apeks kurang lebih 50µm. Hifa yang telah tua mempunyai tambahan bahan pada dinding selnya yaitu senyawa melanin dan lipid. Komponen penting dalam dinding sel sebagian besar fungi adalah kitin, suatu polisakarida yang merupakan komponen utama dari kerangka luar serangga dan arthropoda lainnya. Kitin adalah polimer linier dari N-asetil-glukosamin yang subunitnya dihubungkan oleh ikatan β-(1,4)-glukosida (Gandjar et al., 2006).

(30)

19 Setiap mikroorganisme memiliki fase-fase pada kurva pertumbuhannya, fase-fase tersebut meliputi; 1) fase permulaan atau fase adaptasi; 2) fase akselerasi atau fase pertumbuhan yang dipercepat; 3) fase eksponensial atau logaritma; 4) fase pertumbuhan yang mulai terhambat (fase deselerasi); 5) fase stasioner yang maksimum; dan 6) fase kematian dipercepat dan fase kematian logaritma (Hidayat et al., 2006).

(31)

20 mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluler untuk menguraikan senyawa kompleks menjadi sederhana (Gandjar et al., 2006).

2.3. Kapang Penicillium sp.

Kapang Penicillium sp. diklasifikasikan menurut sistem nama binomial, yaitu kingdom Fungi, filum Ascomycota, class Eurotiomycetes, ordo Eurotiales, famili Trichocomaceae, genus Penicillium, dan spesies Penicillium sp. Bentuk spesies kapang Penicillium sp. dapat dilihat pada Gambar 8.

hifa

konidiofora fialid

konidia

Gambar 8. Penicillium sp.(Kuraesin et al., 2009)

(32)

21 muncul di atas permukaan, berasal dari hifa di bawah permukaan, bercabang atau tidak bercabang; 3) kepala yang membawa spora berbentuk seperti sapu, dengan sterigmata atau fialida muncul dalam kelompok; 4) konidia membentuk rantai karena muncul satu persatu dari sterigmata; 5) Konidia pada waktu masih muda berwarna hijau, kemudian berubah menjadi kebiruan atau kecoklatan (Fardiaz, 1992). Penicillium sp. pada beberapa spesies, miselium berkembang menjadi sklerotium (Pelczar, 2005).

Kapang Penicillium sp. mempunyai hifa vegetatif yang disebut dengan hifa udara (aerial hyphae). Penicillium sp. berkembangbiak secara seksual dengan membentuk spora yang dihasilkan dalam suatu kantung (askus) yang disebut askospora dan secara aseksual dengan membentuk konidiospora, yaitu spora yang dihasilkan secara berantai pada ujung suatu hifa (Pohan, 2009). Bentuk sel konidiospora pada kapang Penicillium sp. adalah seperti botol dengan leher panjang atau pendek, jamur ini berwarna hijau kebiruan. Penicillium sp. termasuk jamur yang tidak bersifat patogen kecuali Penicillium marneffei (Gandjar et al., 2006).

(33)

22 Penicillium sp. mempunyai kebutuhan akan air untuk pertumbuhannya (water activity) yaitu 0,78-0,88. Penicillium sp. umumnya ditemukan pada berbagai substrat, khususnya dalam debu rumah. Beberapa spesies tumbuh di dalam ruangan yaitu di dinding, tanaman membusuk, kain lembab, dan cat. Selain itu, ditemukan pada apel yang membusuk, makanan kering, keju, rempah-rempah, biji-bijian kering, kacang-kacangan, bawang, dan jeruk (Gandjar et al., 2006).

Pertumbuhan kapang Penicillium sp. dipengaruhi oleh faktor-faktor yang penting, yaitu; substrat, kelembaban, suhu, dan pH (derajat keasaman). Substrat merupakan sumber nutrien utama yang dapat dimanfaatkan sesudah fungi mengekskresikan enzim-enzim ekstraselular, yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa-senyawa yang sederhana. Kapang Penicillium sp. dapat hidup pada kelembaban nisbi yang lebih rendah yaitu 80%. Suhu yang optimum bagi pertumbuhan Penicillium sp. sekitar 25°C. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Indahwati (2009), pH optimum yang dihasilkan oleh kapang Penicillium sp. berkisar 3,15 sampai 4,34. Fungi umumnya menyukai pH di bawah 7,0 yaitu sekitar 2-8,5 (Gandjar et al., 2006).

2.4. Biosolubilisasi Batubara Oleh Kapang

(34)

23 Batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dari karbohidrat dan lignoselulosa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Fungi diketahui melakukan dekomposisi selulosa secara aktif di alam dengan menghasilkan enzim selulase ekstraselular (Zabel and Morell, 1992). Mikroorganisme yang baik dalam mendegradasi batubara terdapat pada kelas Basiodiomycetes dan Ascomycetes, karena dapat mendegradasi lignin secara lebih cepat dan ekstensif dibandingkan dengan mikroorganisme lain. Kapang dari genus-genus seperti Aspergillus, Penicillium, Trichoderma, dan sebagainya diketahui memiliki kemampuan mendekomposisi kayu (Lynd et al., 2002).

Selulosa merupakan salah satu komponen pembangun tumbuhan. Selulosa

adalah polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui ikatan α

-1,4-glikosida. Enzim yang dapat mengurai selulosa adalah selulase dan merupakan enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen. Endoglukanase, mengurai

polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4-glikosida untuk

menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai bervariasi. Eksoglukanase, mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan nonpereduksi untuk menghasilkan

selobiosa/glukosa. Enzim α-glukosidase, mengurai selobiosa untuk menghasilkan

glukosa (Lynd et al., 2002).

Selulosa merupakan polisakarida komplek yang tersusun dari polimer linier

ikatan glukosa melalui ikatan α-1,4- dan biasanya tersusun dalam struktur

mikrokristalin yang sangat sulit dilarutkan atau dihidrolisis pada kondisi alami.

(35)

β-24 glukosa. Selulase tersusun dari campuran komplek protein enzim dengan spesifitas berbeda-beda dalam menghidrolisis ikatan glikosidik. Selulase terbagi menjadi tiga kelas; endoglukanase, eksoglukanase, dan β-glukosidase. Selulase

dari Lysobacter sp., Phaseolus vulgaris, Humicola grisea, Bacillus sp. Aspergillus niger, dan Trichoderma viridae mempunyai kestabilan pada pH 6-10 dan suhu 25-35°C (Kuraesin et al., 20009).

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah, relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabiosa. Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan, lebih dari 30 % tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh. Lignin sulit didegradasi karena strukturnya kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin berarti mampu mendegradasi batubara (Cohen et al., 1990).

(36)

25 merupakan salah satu kapang yang dapat mendegradasi batubara, hal tersebut diperkuat dengan penelitian bahwa proses solubilisasi pada batubara dikatalis melalui aktivitas enzim ekstraseluler (Ward, 1985). Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang ke luar tubuhnya untuk mendegradasi substrat. Enzim ekstraseluler tersebut akan menghasilkan medium yang lebih gelap selama proses kultur cair atau cairan gelap pada permukaan batubara ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison et al., 1989). Enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh kapang dpat dilihat pada Tabel berikut ini.

Tabel 4. Enzim Ekstraseluler Pendegradasi Lignin Dari Kapang (Akhtar et al., 1997).

Enzim Tipe enzim Peran dalam degradasi Kerja bersama dengan LiP Peroksidase Degradasi unit non–fenolik H2O2

MnP Peroksidase Degradasi unit fenolik dan

non-fenolik dengan lipid H2O2, lipid

penghasil H2O2 Produksi H2O2 Peroksidase

(37)

26 yang digunakan. Pengetahuan mengenai faktor-faktor ini diperlukan untuk memperoleh hasil yang paling optimal (Laborda et al., 1999).

2.5. Iradiasi Gamma

Iradiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam bentuk panas, partikel atau gelombang elektromagnetik dari sumber iradiasi, sedangkan secara umum iradiasi diartikan sebagai pemancaran suatu energi elektromagnetik atau partikel-partikel dengan kecepatan tinggi (Darussalam, 1996).

Iradiasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu iradiasi panas dan iradiasi pengion. Iradiasi panas menggunakan frekuensi rendah atau dengan panjang gelombang, misalnya infra merah. Iradiasi pengion menggunakan frekuensi tinggi, misalnya sinar alfa, beta, dan gamma. Iradiasi dibagi berdasarkan bentuknya, yaitu iradiasi dalam bentuk partikel dan iradiasi dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Dalam bentuk partikel adalah jenis iradiasi yang mempunyai massa terukur. Iradiasi dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau disebut juga dengan foton adalah jenis iradiasi yang tidak mempunyai massa dan muatan listrik, misalnya adalah gamma (Darussalam, 1996).

(38)

27 kurang mengionisasi. Sinar gamma adalah radiasi elektromagnetik berenergi tinggi, tidak bermuatan dan tidak bermassa. Sinar gamma bermuatan netral, panjang gelombang pendek, dan daya tembus paling tinggi sehingga energi sinar gamma yang dipancarkan sumber terhadap target dapat menimbulkan perubahan pada komposisinya (Darussalam, 1996).

Iradiasi pengion yang mengenai suatu medium akan menyerahkan sebagian energinya kepada medium tersebut. Dalam kejadian ini medium menyerap iradiasi. Untuk mengetahui banyaknya iradiasi yang terserap oleh suatu medium digunakan satuan dosis terserap. Jadi dosis serap (absorpsi), merupakan ukuran banyaknya energi yang diberikan oleh iradiasi pengion kepada medium. Satuan dosis iradiasi dalam penelitian ini yang dipakai adalah Gray (Gy). Gray (Gy) adalah satuan SI diserap dosis. Dosis iradiasi mempengaruhi pH, dimana pH makin rendah sebanding dengan meningkatnya dosis iradiasi (Rahayu et al., 2009). Alat iradiasi gamma yang banyak digunakan dalam penelitian adalah iradiator gamma IRKA (Iradiasi Karet Alam) yang dipasang pada tahun 1982 dengan sumber radiasi gamma C0-60 dan volume maksimum bahan yang diiradiasi per batch ialah + 1,2 m3 (BATAN, 1995).

2.6. Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GCMS)

(39)

28 menjadi bentuk molekul-molekul yang lebih kecil (hasil pemisahan dapat dilihat berupa kromatogram). Sedangkan spektroskopi massa adalah metode analisis, dimana sampel yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion gasnya, dan massa dari ion-ion tersebut dapat diukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa. Pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen yang diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai detektor) akan dapat mengidentifikasi komponen tersebut, karena bisa membaca spektrum bobot molekul pada suatu komponen, juga terdapat reference pada software (Hermanto, 2008).

Gambar 9. GC-MS Shimadzu (Dokumen Pribadi, 2010)

(40)

29 molekul di dalam kolom. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan afinitas antar molekul dengan fase diam yang ada di dalam kolom. Selanjutnya komponen-komponen yang telah dipisahkan tersebut masuk ke dalam ruang MS yang berfungsi sebagai detektor secara instrumentasi, MS adalah detektor bagi GC (Hermanto, 2008).

(41)
(42)

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Juni 2010. Penelitian bertempat di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Lebak Bulus, Jakarta Selatan dan Laboratorium Pangan Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah Erlenmeyer, timbangan analitik, mikroskop dan kamera, pH meter, corong Buchner, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), Gas Chromatograph Mass Spectrometer (GC-MS) Shimadzu dan Spektrofotometer UV-Vis Genesys 2, Shacking incubator, mortar, saringan, mikropipet, cawan petri, tabung reaksi, vortex, penangas air, autoklaf, iradiator IRKA (Iradiator Karet Alam), sentrifuse, oven, dan ependorf.

(43)

32 Komposisi medium yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut.

Tabel 5. Komposisi Medium Biosolubilisasi Batubara Oleh Penicillium sp.

Nama

Alat-alat gelas yang akan digunakan dibersihkan, lalu disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC pada tekanan 1 atm selama 15 menit. Peralatan yang tidak tahan panas disterilkan dengan menggunakan alkohol 70%.

3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara

(44)

33 Sebanyak 5 g sampel batubara yang sudah halus ditimbang dan dimasukkan ke dalam plastik polyetilen serta ditutup rapat menggunakan sealer.

3.3.3. Iradiasi Batubara Dengan Sinar Gamma

Serbuk batubara ditimbang dalam plastik polyetilen masing-masing 5 g dan ditutup dengan menggunakan sealer, kemudian batubara diiradiasi dengan iradiasi gamma dengan dosis 0 kGy, 5 kGy, 10 kGy, dan 20 kGy di iradiator IRKA-Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) BATAN.

3.3.4. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar (PDA)

Sebanyak 2,92 g medium PDA ditimbang, lalu ditambahkan sebanyak 0,75 g agar bakto dan dilarutkan ke dalam 75 ml akuades di atas penangas air hingga larut. Setelah larut kemudian disterilisasi ke dalam autoklaf dengan suhu 121°C pada tekanan 1 atm selama 15 menit.

3.3.5. Pembuatan Medium Minimal Salt (MMS)

(45)

34

3.3.6. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar + Medium Minimal Salt

(PDAM)

Medium PDAM dibuat dengan mencampurkan medium PDA dan Medium Minimal Salt (MMS) dengan perbandingan 1:1 dari volume medium yang telah dibuat. Kemudian medium PDAM dihomogenkan dengan cara pengadukan. Medium PDAM disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 1210C pada tekanan 1 atm selama 15 menit.

3.3.7. Pembuatan Medium Minimal Salt + Sukrosa (MMSS)

Medium MMSS dibuat sebanyak 600 ml medium MMS dengan komposisi yang dapat dilihat pada Lampiran 1 dan ditambahkan sukrosa sebanyak 1% b/v, lalu dihomogenkan. Setelah itu, disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 1210C pada tekanan 1 atm selama 15 menit.

3.3.8. Peremajaan Kapang dan Kultur Isolat Kapang Penicillium sp.

(46)

35

3.3.9. Biosolubilisasi Batubara

Penelitian ini dilakukan duplo atau dengan pengulangan. Kultur inokulum spora Penicillium sp. sebanyak 10 % v/v dimasukkan ke dalam 30 ml medium MMSS dengan jumlah spora yang diinginkan 108 sel/ml, lalu dihomogenkan. Kemudian, ditambahkan sebanyak 2% b/v serbuk batubara ke dalam tabung dengan masing-masing dosis 0 kGy, 5 kGy, 10 kGy, dan 20 kGy, lalu diinkubasi menggunakan shacking incubator dengan kecepatan 120 rpm, pada suhu ruang, selama 28 hari. Pencuplikan sampel kultur dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, 21, dan 28 untuk dilakukan pengamatan kolonisasi miselia kapang, pH medium, dan solubilisasi terhadap batubara. Untuk perlakuan biosolubilisasi batubara dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perlakuan Biosolubilisasi Batubara Oleh Penicillium sp.

3.3.10.Pengukuran pH, Solubilisasi, dan Kolonisasi Miselia Kapang

(47)

36 3.3.10.2. Solubilisasi Batubara

Sampel diambil sebanyak 10 ml pada tiap pencuplikan, kemudian dipisahkan antara supernatan dan pellet dengan sentrifugasi kecepatan 5400 rpm selama 15 menit. Supernatan kemudian diukur nilai absorbansinya menggunakan Spektrofotometer UV-Vis Genesys 2 pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm untuk mengetahui tingkat biosolubilisasi batubara padat yang diurai menjadi batubara terlarut (Selvi and Banerjee, 2007). Pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 250 nm ini bertujuan untuk mendeteksi adanya gugus fenolik dan pada panjang gelombang 450 nm bertujuan untuk mendeteksi gugus karbonil dan hidroksil hasil solubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp. Blanko yang digunakan adalah medium MMSS. Nilai absorbansi yang tinggi berbanding lurus dengan tingkat solubilisasi batubara yang tinggi pula. Supernatan dengan nilai absorbansi tertinggi akan diuji lanjut menggunakan GC-MS Shimadzu.

3.3.10.3. Kolonisasi Miselia Kapang Pada Batubara

(48)

37 yang terjadi pada kapang sehingga dapat diketahui kapang tersebut mampu menggunakan substrat batubara.

3.3.11.Analisis Aktivitas Enzim

Sampel sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 4 ml KH2PO4 buffer (pH 7,6) 60 mM. Reaksi dimulai dengan menambahkan 80µg FDA (Fluorescen Diacetat). Setelah itu, Pengocokkan dilakukan selama beberapa menit sampai terjadi reaksi yang ditandai dengan terbentuknya warna kuning akibat reaksi penambahan FDA. Sebanyak 4 ml aseton ditambahkan ke dalam medium untuk menghentikan reaksi, lalu suspensi disaring dengan menggunakan kertas Whatman No.1 dan filtrat dimasukkan ke dalam tabung lalu ditutup kertas parafilm dan disimpan di dalam lemari es selama 24 jam untuk menguapkan aseton. Nilai OD (Optical Density) filtrat yang sudah dipersiapkan ditera dengan menggunakan spektrofotometer Genesys 2 pada panjang gelombang 490 nm (Breeuwer, 1996).

3.3.12.Analisis Hasil Solubilisasi Batubara oleh Kapang Penicilium sp.

Dengan Menggunakan GC-MS

(49)

38 batubara dan menentukan kadarnya dengan menggunakan GC-MS Shimadzu. Kolom yang digunakan adalah Dimetil polysiloxana dengan kondisi suhu kolom oven 50 0C, suhu injeksi 280 0C, laju alir 1,54 ml/menit, dan fase gerak gas helium. Kontrol yang digunakan adalah medium MMSS yang ditambahkan serbuk batubara yang diiradiasi dan tidak diiradiasi (Silva et al., 2007).

3.3.13. Analisis data

Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak lengkap (RAL) yang dianalisis dengan Analisis Varian (ANOVA) satu arah untuk mengetahui apakah ada perbedaan atau pengaruh pada tiap perlakuan. Uji Analisis Varian ini (ANOVA) dibantu dengan bantuan program SPSS 16.

Uji Anova dengan hipotesis :

H0 : Tidak ada perbedaan antara rata-rata nilai parameter yang diuji pada tiap dosis iradiasi.

H1 : Ada perbedaan antara rata-rata nilai pada parameter yang diuji pada tiap dosis iradiasi.

Jika probabilitasnya (signifikansinya) > 0,05 maka H0 diterima.

(50)

39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kolonisasi Kapang Penicillium sp. Pada Substrat Batubara

Kapang Penicillium sp. dapat tumbuh pada substrat batubara yang ditandai dengan adanya kolonisasi berupa terselimutinya substrat batubara oleh hifa kapang Penicillium sp. Hasil pengamatan kolonisasi pada substrat batubara memperlihatkan bagaimana hifa kapang Penicillium sp. mengkolonisasikan dirinya pada substrat batubara dengan perlakuan dosis berbeda. Pada Gambar 10 adalah contoh hasil pengamatan yang diambil pada hari ke-0 dan hari ke-7 inkubasi. Untuk gambar selengkapnya pada setiap dosis iradiasi dan hari inkubasi dapat dilihat pada Lampiran 5.

(51)

40 senyawa kompleks menjadi senyawa yang sederhana dengan panjang rantai karbon yang berbeda sehingga kolonisasi pun terjadi perbedaan pada tiap perlakuan.

Pada dosis 0 kGy hari ke-7 inkubasi kolonisasi belum mengalami kerapatan hifa dan pemanjangan hifa kapang Penicillium sp (Gambar 10), panjang hifa pun masih dapat diukur. Pada dosis 5 kGy hari ke-7 jika dibandingkan dengan dosis 0 kGy hari ke-7 inkubasi terlihat kolonisasi kapang Penicillium sp. memperbanyak sporanya untuk menghasilkan kolonisasi yang lebih banyak lagi, sedangkan pada dosis 10 kGy dan 20 kGy hari ke-7 telah mengalami kolonisasi yang kerapatannya sudah mulai padat dan panjang hifa kapang yang tidak dapat terukur (Gambar 10). Terjadinya kolonisasi membuktikan bahwa kapang Penicillium sp. dapat menggunakan substrat batubara untuk proses metabolismenya dan dapat mensolubilisasi batubara dengan bantuan enzim sehingga dihasilkannya senyawa yang lebih sederhana. Enzim-enzim yang dihasilkan oleh kapang Penicillium sp. terikat di permukaan hifa sehingga terjadi kontak dengan lignin yang ada pada batubara (Cathcheside and Ralph, 1994).

(52)

41 kapang makin lama dapat menjebak air serta partikel batubara yang terlarut dalam medium.

Dosis 0 kGy H-0 Dosis 0 kGy H-7 Dosis 5 kGy H-7

Dosis 10 kGy H-7 Dosis 20 kGy H-7

Gambar 10. Interaksi antara batubara dengan kapang Penicillium sp. dalam periode inkubasi dan dosis iradiasi yang berbeda (Pembesaran 400X). Keterangan: Tanda Panah hijau menunjukkan miselia fungi, panah kuning menunjukkan partikel batubara, dan panah orange menunjukkan spora fungi.

(53)

42 kapang dapat dipacu dengan pemberian medium yang mengandung gula sehinga batubara dapat tersolubilisasikan. Produk hasil solubilisasi akan tetap padat tanpa adanya medium yang cocok, sehingga pertumbuhan kapang terhambat dan kolonisasi kapang tidak dapat terlihat.

Terjadinya kolonisasi kapang Penicillium sp. dapat juga dilihat dari perubahan nilai pH yang menjadi lebih asam pada masa inkubasi (Gambar 11). Telah diketahui bahwa kapang dapat tumbuh pada pH berkisar antara 2 sampai 8,5. pH yang asam menunjukkan bahwa kapang Penicillium sp. dapat tumbuh dan dapat menggunakan substrat batubara, sehingga kapang dapat mengkolonisasi dengan substrat batubara. Hasil yang didapatkan dari penelitian Scott and Lewis (1990), menunjukkan bahwa terjadinya proses kolonisasi pada substrat batubara karena kapang mampu mengkolonisasi dirinya dengan partikel batubara yang berada pada medium. Proses pengkolonisasian yang telah dilakukan oleh kapang Penicillium sp. merupakan cara yang dilakukan kapang agar mempermudah proses degradasi substrat batubara sehingga terjadi pelarutan senyawa di dalam medium.

4.2. Nilai pH Medium Solubilisasi Batubara

(54)

43 inkubasi lebih rendah dibandingkan pada hari ke-0. Nilai pH medium pada hari ke-0 tiap varian dosis iradiasi memiliki kesamaan derajat keasamannya, namun pada dosis 20 kGy terjadi perbedaan nilai pH mediumnya dibandingkan dengan dosis lainnya. Pada hari ke-7 inkubasi pH medium mengalami penurunan yang tidak jauh berbeda dengan varian dosis lainnya, namun setelah hari ke-7 inkubasi pH medium solubilisasi mengalami peningkatan yang cenderung stabil sehingga tampak stasioner pada kurva. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa nilai pH medium kapang Penicillium sp. pada seluruh varian dosis iradiasi tidak signifikan (probabilitas > 0,05) (Lampiran 4).

Perubahan pH merupakan hal yang menjadi salah satu faktor pengukuran dalam proses solubilisasi batubara. Proses solubilisasi yang dilakukan oleh kapang cenderung menghasilkan pH asam. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Indahwati (2009), didapatkan hasil bahwa aktivitas kapang Penicillium sp. cenderung menghasilkan pH yang asam dengan kisaran pH 3,15 sampai 4,34. Nilai pH yang asam menunjukkan bahwa kapang mampu tumbuh pada medium batubara. Kebanyakan kapang mampu tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu 2 sampai 8,5, akan tetapi pertumbuhannya akan lebih baik lagi pada kondisi asam atau pH rendah. pH yang optimum untuk pertumbuhan fungi pada umumnya 3,8 sampai 5,6 (Pelczar dan Chan, 2005).

(55)

44 iradiasi dapat menyebabkan pemecahan senyawa kompleks yang ada pada lignin menjadi senyawa yang sederhana yang menghasilkan gugus hidroksil dan karbonil dari pemecahan senyawa hidrokarbon. Menurut Indahwati (2009), material organik batubara terbentuk dari makromolekul yang tersusun dari unit dasar berupa cincin benzena dan cincin aromatik (misal gusus metil atau hidroksil). Interaksi diantara molekul tersebut ternyata diketahui sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan sifat material dan karakteristik reaksi termokimia pada batubara saat mendapat perlakuan panas sehingga iradiasi dapat mempengaruhi perubahan dari sifat material batubara.

Gambar 11. Nilai pH Pada Berbagai Variasi Dosis Batubara

(56)

45 yang menghasilkan asam organik. Menurut Hammel et al. (1993), nilai pH yang menurun pada hari inkubasi merupakan hasil dari degradasi proses biosolubilisasi batubara oleh kapang akibatnya terbentuklah asam-asam organik hasil degradasi komponen lignin pada batubara.

Penurunan pH yang terjadi kemungkinan disebabkan pula telah terjadinya proses desulfurisasi sehingga sulfur dalam batubara terlarut ke dalam medium cair dalam bentuk ion sulfat (SO42-). Batubara mengandung senyawa kompleks yang salah satunya adalah senyawa pirit (FeS2) (Speight, 1994). Pemanfaatan mikroorganisme dapat mempercepat reaksi oksidasi senyawa sulfur sehingga menghasilkan pH yang asam pada medium yang mengandung senyawa terlarut. Reaksi terjadinya proses desulfurisasi dapat dilihat dalam persamaan reaksi berikut ini:

2FeS2+ 7O2+2H2O 2FeSO4 + 2H2SO4 Pirit as.sulfat

Pada hari inkubasi selanjutnya setelah hari ke-7 inkubasi, pH cenderung mengalami peningkatan yang relatif stabil dengan peningkatan nilai pH yang tidak terlalu tinggi (Gambar 11). Menurut Mustikasari (2009), kenaikan pH medium dikarenakan terbentuknya gugus hidroksil (OH-) hasil degradasi senyawa komplek yang merupakan komponen lignin pada batubara serta dihasilkannya protein enzim untuk mendegradasi lignin di dalam batubara sehingga meningkatkan kandungan hidroksil. Proses degradasi akan menurunkan kandungan gugus metoksil (-OCH3) serta meningkatkan kandungan oksigen dan gugus hidroksil sehingga di dapatkan meningkatnya nilai pH (Indahwati, 2009).

(57)

46

4.3. Aktivitas Enzim Hasil Biosolubilisasi Batubara

Nilai absorbansi aktivitas enzim yang didapatkan dari hasil biosolubilisasi oleh kapang Penicillium sp. mengalami kenaikan ataupun penurunan nilai yang berfluktuatif antara tiap varian dosis. Nilai absorbansi aktivitas enzim yang di dapatkan dari hasil solubilisasi dengan hari ke-7, 14, 21, dan 28 inkubasi menunjukkan nilai yang lebih tinggi aktivitas enzimnya jika dibandingkan dengan hari ke-0 (Gambar 12). Aktivitas enzim tertinggi terjadi pada dosis 20 kGy dengan inkubasi 14 hari. Kenaikan terjadi lebih besar bila dibandingkan dengan dosis yang lainnya yaitu dengan nilai absorbansi sebesar 0,068. Pada hari ke-7 inkubasi aktivitas enzim mengalami kenaikan absorbansinya dibandingkan hari ke-0. Hal tersebut dapat terlihat pada seluruh varian dosis. Kenaikan absorbansi aktivitas enzim tersebut terlihat pada dosis 10 kGy hari ke-7. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa nilai aktivitas enzim antara tiap dosis iradiasi tidak signifikan (nilai probabilitas > 0,05) (Lampiran 4).

(58)

47 Pada nilai absorbansi aktivitas enzim terjadi penurunan dan kenaikan yang berfluktuatif (Gambar 12). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Laborda et al. (1999), batubara mempunyai struktur yang kompleks dan heterogen yang tidak diduga sehingga enzimnya pun berbeda-beda dari mikroba. Kemampuan Penicillium sp. dalam mendegradasi batubara disebabkan oleh perbedaan sistem enzim yang dimiliki oleh kapang. Penicillium sp. selain menghasilkan enzim ligninolitik ekstraseluler juga menghasilkan enzim intraseluler yang merupakan kofaktor penting untuk ligninolisis oleh enzim lignin peroksidase (Indahwati, 2009).

Gambar 12. Absorbansi Aktivitas Enzim Hasil Biosolubilisasi Batubara Pada Dosis Yang Berbeda

(59)

48 (Breeuwer, 1996). Bila jumlah kapang banyak, maka enzim yang dihasilkan akan banyak. Jika dilihat kurva nilai absorbansi aktivitas enzim tersebut berkorelasi dengan pertumbuhan kapang dan perkembangbiakan sel kapang. Pada dosis 20 kGy tersebut menunjukkan bahwa kapang Penicillium sp. kemungkinan memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menghasilkan enzim ektraseluler yang mampu mendegradasi batubara.

Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang ke luar tubuhnya untuk mendegradasi substrat batubara. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Faison et al. (1989), enzim ekstraseluler akan menghasilkan medium yang lebih gelap selama proses kultur cair atau cairan gelap pada permukaan batubara ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar. Enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh kapang Penicillium sp. diantaranya adalah enzim laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk dengan berat molekul rendah, larut dalam air dan CO2 (Kuraesin et al., 2009).

(60)

49

4.4. Absorbansi Solubilisasi Pada Panjang Gelombang 250 nm dan 450 nm

Proses solubilisasi batubara dapat diamati tingkat solubilisasinya dengan absorbansi pada panjang gelombang 250 nm (sinar tak tampak) dan panjang gelombang 450 nm (sinar tampak), yang tujuannya untuk mendeteksi senyawa fenolik, senyawa karboksil, dan senyawa karbonil hasil dari pemecahan senyawa yang lebih sederhana dari komponen lignin. Senyawa-senyawa tersebut merupakan produk hasil solubilisasi batubara oleh kapang Penicillium sp.

Nilai absorbansi dari supernatan hasil fermentasi kapang selama inkubasi bernilai antara 0,21 sampai 2,744 pada panjang gelombang 250 nm (Gambar 13) dan untuk panjang gelombang 450 nm berkisar antara 0,08 sampai 0,097 (Gambar 14). Jika dibandingkan dengan hari ke-0, hasil solubilisasi pada panjang gelombang 250 nm mengalami kenaikan absorbansi pada masa inkubasi. Penurunan terjadi pada hari ke-14 inkubasi pada tiap varian dosis iradiasi, namun pada dosis 20 kGy tetap mengalami peningkatan di hari ke-14 inkubasi dan baru mengalami penurunan nilai absorbansi pada hari ke-28. Peningkatan solubilisasi berdasarkan nilai absorbansi pada panjang gelombang 450 nm sebanding dengan semakin tingginya dosis iradiasi. Berdasarkan pengujian statistik menunjukkan bahwa nilai absorbansi pada panjang gelombang 450 nm dan 250 nm adalah tidak signifikan pada tiap dosis (nilai probabilitas > 0,05) (Lampiran 4).

(61)

50 kekeruhan supernatan pada hari ke-0 dan seterusnya. Pada hari ke-0 perbedaan sangat jelas pada tiap dosis iradiasi yang pada umumnya supernatan berwarna kuning bening dan pada hari inkubasi selanjutnya berubah menjadi cokelat. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Cohen et al. (1990), perubahan tersebut menunjukkan bahwa batubara yang terlarut bercampur dengan medium. Perbedaan absorbansi menunjukan adanya perbedaan pada tingkat degradasi atau solubilisasi batubara oleh kapang melalui aktivitas enzim ekstraseluler menjadi produk yang larut dalam air.

Secara kualitatif pengujian supernatan dari hasil inkubasi diukur dengan menentukan nilai absorbansinya. Perbedaan absorbansi menunjukkan adanya perbedaan pada tingkat degradasi atau biosolubilisasi batubara oleh kapang melalui aktivitas enzim ekstraselulernya menjadi sebuah produk yang mencair (terlarut) dan dihasilkan pula gas CO2 (Ward, 1985).

(62)

51 Gambar 13. Absorbansi Pada Panjang Gelombang 250 nm Hasil Solubilisasi Pada

Berbagai Dosis Yang Berbeda

Pada dosis 20 kGy pada hari ke-14 inkubasi nilai absorbansinya mengalami kenaikan yang sangat drastis, sehingga dapat dikatakan bahwa pada dosis 20 kGy dapat mendegradasi batubara dengan baik. Nilai absorbansi tertinggi menunjukkan tingkat degradasi batubara yang dilakukan oleh kapang Penicillium sp. Kapang Penicillium sp. mampu tumbuh menggunakan substrat batubara dengan nilai pH yang rendah dan nilai absorbansi solubilisasi yang tinggi. Menurut Selvi and Banerjee (2007), nilai absorbansi yang tinggi berbanding lurus dengan tingkat solubilisasi batubara yang tinggi pula.

(63)

52 nilai absorbansi solubilisasi pada dosis 20 kGy terjadi pada hari ke-14 masa inkubasi.

Gambar 14.Absorbansi Pada Panjang Gelombang 450 nm Hasil Solubilisasi Pada Berbagai Dosis Yang Berbeda

Jika dicocokkan dengan data pH maka dapat dilihat adanya hubungan yang terbalik antara pH dengan absorbansi yang terukur. Ketika pH mengalami penurunan maka nilai absorbansi mengalami peningkatan sedangkan jika pH meningkat, absorbansi menurun. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Selvi and Banerjee (2007), yang menghasilkan solubilisasi tertinggi dengan pH yang rendah.

(64)

53 yang kaya dengan gugus karbonil dan hidroksil. Degradasi yang dilakukan oleh kapang merupakan proses oksidatif dan tidak spesifik dengan mengurangi kandungan metoksi, fenolik, dan alifatik lignin yang memecah cincin aromatik serta membentuk kelompok karbonil baru, hal tersebut merupakan proses dekolorisasi. Berdasarkan data solubilisasi, maka sampel yang akan di analisis lanjut dengan GC-MS adalah nilai absorbansi solubilisasi yang tertinggi yaitu pada dosis 0 kGy, 5 kGy, dan 10 kGy hari ke-7 serta dosis 20 kGy hari ke-14.

4.5. Hasil Identifikasi Senyawa Hasil Solubilisasi Kapang Penicillium sp.

Pada analisis GC-MS

(65)

54 dosis iradiasi 10 kGy hari 7 inkubasi, dan sampel dosis iradiasi 20 kGy hari ke-14 inkubasi. Hasil identifikasi senyawa dengan menggunakan GC-MS dari ekstraksi campuran senyawa heksana, dietil eter dan benzena (Tabel 7) menunjukkan terdeteksi 35 senyawa yang didominasi oleh struktur rantai hidrokarbon (C7 – C22). Dengan produk yang dihasilkan adalah produk yang setara dengan minyak solar pada dosis 5 kGy dan produk yang setara dengan bensin pada dosis 10 kGy.

Pada puncak-puncak hasil kromatogram (Lampiran 5) jika dibandingkan dengan kontrol, tampak adanya senyawa baru yang terbentuk dari hasil solubilisasi batubara. Berdasarkan pada puncak kromatogram terlihat adanya empat senyawa hidrokarbon yang mendominasi yaitu senyawa n-Nonena (C9H20), 2,4-dimetilheptana (C9H20), dan tetradekana (C14H30). Hasil identifikasi senyawa solubilisasi telah terjadinya peningkatan persentase area pada rantai karbon pendek dibandingkan dengan kontrol, seperti peningkatan persentase senyawa n-Oktana (C8H18) pada dosis 10 kGy hari ke-7 menjadi 35,47 dan pada dosis 20 kGy hari ke-14 inkubasi nampak adanya senyawa rantai pendek yaitu n-Nonena (C9H20) dengan persentase area yang tinggi sebesar 27,26.

(66)

55 menunjukkan adanya senyawa lain yang terbentuk dan mengalami peningkatan serta pengurangan luas area puncak dibandingkan dengan kontrol merupakan akibat dari degradasi batubara yang dilakukan oleh kapang Penicillium sp..

(67)

56

(68)

57 Komponen utama solar adalah panjang rantai karbon 10 sampai 13 (Lampiran 5), akan tetapi hasil penelitian yang lainnya menunjukkan bahwa fraksi minyak solar mempunyai rantai atom karbon 8 sampai 25 (American Petroleum Institute, 2001). Hasil degradasi batubara menunjukkan bahwa produk solubilisasi kapang Penicillium sp. berpotensi sebagai energi alternatif peganti bahan bakar minyak yang setara dengan komponen minyak solar. Berdasarkan hasil analisis GC-MS, pada dosis 5 kGy hari ke-7 didapatkan persentase area yang tertinggi (Gambar 15) yang setara dengan minyak solar yaitu sebesar 48,05.

Gambar 15. Produk Biosolubilisasi Batubara Pada Dosis Yang Berbeda Oleh Kapang Penicillium sp. Hasil Analisis GC-MS

(69)
(70)

59

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Dosis iradiasi gamma dapat meningkatkan proses biosolubilisasi batubara. Dosis yang terbaik dalam proses solubilisasi batubara jenis subbituminus oleh kapang Penicillium sp. adalah dosis 20 kGy pada hari ke-14 inkubasi.

2. Batubara cair hasil biosolubilisasi kapang Penicillium sp. dari batubara subbituminus Sumatera Selatan dapat digunakan sebagai energi alternatif dari minyak bumi. Hasil produk biosolubilisasi ini dihasilkan dengan baik pada hari ke-7 inkubasi yang setara dengan komponen minyak solar pada dosis 5 kGy, sedangkan yang setara dengan bensin pada dosis 10 kGy.

5.2. Saran

(71)

60

DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, M., R.A. Blanchette and T.K. Kirk. 1997. Fungal delignification and biomechanical pulping of wood. Advances in Biochemical Enginering Biotechnology. 57:138-144.

American Petroleum Institute. 2001. Properties of Fuels. http://www.Afdc.energy.gov.pdf, 5 Mei 2010, pk 13.00 WIB.

BATAN. 1995. Kelompok Iradiasi. http://www.batan.go.id, 5 Maret 2010, pk 16.00WIB.

Beyond Petroleum. 2006. Statistic Data of Energy Source. http://www.bni.co.id,10 Februati 2010, pk. 15.00 WIB.

Breeuwer, P. 1996. Assesment of Viability of Microorganism Employing Fluorescene Techniques. Wageningen.

Calvin, F. 2007. Cadangan Batubara Indonesia Terbukti Mencapai 5,3 Miliar Ton. http://www.antara.co.id,10 Februari 2010, pk. 15.00 WIB.

Catcheside, D.E.A and J.P. Ralph.1994. Decolourisation and Depolymerisation of Solubilised Low Rank Coal by The White-rot Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Appl Microbial Biotechnol. 42: 536-542.

Cohen, S.M., B.W. Wilson and R.M. Bean. 1990. Enzymatic solubilization of coal. In: Wise, L. D (editor). Bioprocessing and Biotreatment of Coal. Marcel Dekker Inc. New York.

Crawford, D.L., and R.K. Gupta 1990. Characterization of Extracellular Bacterial Enzymes Which Depolymerize & Soluble Lignite Coal polimer. Appl Biochem Biotechnol. 24: 899–911.

Darussalam, M. 1996. Radiasi dan Radioisotop. Penerbit Tarsito. Bandung. Departement of Geosciences. 2009. Sedimentary Rocks and Associated Minerals.

http://www.uwm.edu, 21 Maret 2010, pk.13.00WIB.

Faison, B.D., C.D. Scott and B.H. Davidson. 1989. Biosolubilization of Coal In Aqueous and Non-Aqueous Media. Abstract Paper American Chemical Society

85:196.

(72)

61 Farland, R. 2008. Sub-bituminous Coal. http://www.rzfarland.com, 21 Maret 2010,

pk.13.30 WIB.

Firmansyah, F. 2010. Batubara Kecil Itu Emas. TEMPO 10: 1-7.

Gandjar, I., W. Sjamsuridzal dan A. Oetari. 2006. Mikologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Hall, E.J. 1994. Radiobiology of Radiobiologist. Lipicontt Williams and Walkin. Philadelphia.

Hammel, KE., K.A.Jensen, M.D.Mozuch, L.L.Landucci, M.Tien, and E.A.Pease. 1993. Ligninolysis by A Purified Lignin Peroxidase. J Biol Chem. 268: 12274-12281.

Haris, A. 2009. Ganesa Batubara. www. http:// Batubara.com, 9 Februari 2010, pk.14.00 WIB.

Hatakka, A. 2001. Biodegradation of lignin. Biopolymers. 1: 129-180.

Hermanto, S. 2008. Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi dan Spektrofotometri. Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.

Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Indahwati, E. 2009. Degradasi Batubara Subbituminus Asal Kalimantan Timur Menggunakan Fungi Aspergillus sp. dan Penicillium sp. Skripsi Sarjana Biologi. UIN Syahid. Jakarta.

Indonesian Coal Mining Association. 1998. Cadangan Batubara. http://www.dtwh2.esdm.go.id, 11 Maret 2010, pk 17.00 WIB.

Kentucky Geological Survey. 2006. How Is Coal Formed?

http://www.uky.edu/KGS/coal/ coalform.htm, 10 Maret 2010, pk. 19.00 WIB. Kuraesin, T., I. Sugoro, M.R.Pikoli, S. Hermanto dan P.Aditiawati. 2009. Isolasi dan

Seleksi Fungi Pelaku Solubilisasi Batubara Subbituminus. Jurnal Biologi Lingkungan3(2): 75-87.

(73)

62 Liu, R.Q., N.L. Johson, G.C.Magruder, M.D.Ackerson, J.L.Vega, E.C.Clausen, and J.L. Gaddy. 1990. Serial Biological Conversion of Coal Into Liquid Fuels. Biotechnol. Bioeng. 40: 1107–1114.

Lynd, L.R., P.J. Weimer., W.H. Van Zyl and I.S. Pretorius. 2002. Microbial cellulose utilization : Fundamentals and Biotechnology. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 66 (3): 506-577.

Mustikasari, N.S. 2009. Pengaruh Jumlah Inokulum Phanerochaete chrysosporium dan Konsentrasi Batubara Pada Pencairan (Solubilisasi Batubara). Skripsi Sarjana Mikrobiologi. ITB. Bandung.

Myles, L. 2008. COAL – The Other Black Gold. http://www.larrymylesreports.com, 21 Maret 2010, pk.13.00 WIB.

Natural Resources Defense Council, Climate Fact. 2007. Why liquid coal is not aviable option to move Amerika beyond oil?. http://www.nrdc.org, 5 Februari 2010, pk. 16.00 WIB.

Pelczar, M.J. dan E.C.S. Chan. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. UI-Press. Jakarta. Pohan, A. 2009. Kapang Penicillium sp. www. arthur@fk. Unair.ac.id, 10 Januari

2010, pk. 15.00 WIB.

Rahayu,L.F., M. R. Pikoli dan I. Sugoro. 2009. Pengaruh Tapioka Hasil Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Pertumbuhan Khamir. Jurnal Radiasi 1:1-7.

Ralph, J.P. 1997. Catabolism of Brown Coal Macromolecules by The White Roi Fungus Phanerochaete chrysosporium and Other White-rot Fungi. Fuel Process Technol.52:79-93.

Scott, C. 1986. Biological Coal Conversion. Biotechnol. Prog. 2:131-139.

Scott, C.D. and S.N. Lewis. 1990. Solubilization of coal by microbial action. In : Wise, L. D (editor). Bioprocessing and Biotreatment of Coal. Marcel Dekker Inc. New York.

Sebayang, P., K.A.Z. Thosin, dan A.P. Tetuko. 2008. Pengaruh Aditif Lempung Terhadap Sifat Mekanik dan Nilai Kalor dalam Pembuatan Briket Batubara. www. Lemlit.unila.ac.id, 8 Maret 2010, pk.16.00 WIB.

(74)

63 Selvi, V.A. and R. Banerjee. 2007. Coal Biotechnlogy : Bio-conversion of Different Rank Indian Coal for The Extraction of Liquid Fuel and Fertilizer 25:1713– 1720.

Silva, M.E., C.J.Vengadajellum, H.A.Janjua, S.T. L. Harrison, S.G.Burton, and D.A.Cowan. 2007. Degradation of low rank coal by Trichoderma atroviride. Jurnal Ind Microbiol Biotechnol . 34:625–631

Speight, J.G. 1994. The Chemistry and Technology of Coal, 2nd edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker Inc. New York.

Tekmira. 2005. Teknologi Mineral dan Batubara. www.tekmira.esdm.go.id, 5 Maret 2010, pk.15.00 WIB.

Ward, B. 1985. Isolation and application of coal-solubilizing microorganism. In: Wise, L.D (editor). Bioprocessing and Biotreatment of Coal. Marcel Dekker Inc. New York.

(75)

64

LAMPIRAN

Lampiran 1. Komposisi Medium

Medium Potato Dextrose Agar (PDA)

Bahan Jumlah

Medium Minimal Salt Sucrose (MMSS)

Bahan Jumlah

(76)

65

Lampiran 2. Skema Penelitian

Batubara Subbituminus Isolat kapang Penicillium sp.

Iradiasi Gamma Peremajaan

0 kGy 5 kGy 10kGy 20 kGy Inokulum Spora

Inkubasi suhu ruang, shacking incubator 120 rpm

0 hari 7 hari 14 hari 21 hari 28 hari

Parameter

pH Solubilisasi Kolonisasi Karakterisasi senyawa Analisis aktivitas hasil biosolubilisasi enzim (FDA) GC-MS 250 nm 450 nm

(77)
(78)

67

(79)

68

Lampiran 5. Hasil Pengamatan Biosolubilisasi Batubara

Gambar 1. Contoh Hasil Solubilisasi Batubara Oleh Kapang Penicillium sp.

Kiri: dosis 0 kGy; Kanan: dosis 20 kGy. Tanda panah kuning menunjukkan hifa kapang menempel dan menutupi seluruh partikel batubara dan terlihat jelas perbedaan warna hasil solubilisasi antar dosis. Pada dosis 20 kGy warna medium menjadi lebih keruh dibandingkan yang tidak diiradiasi (kontrol)

Gambar

Tabel 1. Kandungan Unsur Karbon, Hidrogen, dan Oksigen Pada Tahap
Gambar 1. Periode Pembentukan Jenis-jenis Batubara  (Kentucky Geological Survey, 2006)
Gambar 2. Batubara Antrasit (Myles, 2008 )
Gambar 3. Batubara Bituminus (Departement of Geosciences, 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

PMTS (Program Pencegahan HIV- AIDS melalui Transmisi Seksual) merupakan program pencegahan HIV-AIDS yang dicetuskan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN),

Penelitian ini juga akan mengikuti prinsip yang mirip dengan penelitian yang dilakukan Agusta (2014) di mana diskursus akan dicari dan dianalisis hingga batas kritis

Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rizqullah (2013), beliau melakukan penelitian mengenai pemilihan metode pemisahan unit usaha syariah bank umum

Titik didih suatu larutan bergantung pada tekanan luar, dimana suhu pada saat tekanan uap jenuh cairan itu sama dengan tekanan luar, sehingga gelembung uap yang terbentuk dalam

Supaya berhasil, auditor membutuhkan kesadaran khusus terhadap redflag dari fraud.Untuk memahami bagaimana redflag fraud dimaskukkan kedalam penilaian resiko fraud

Kemudian hasil crosstabulation pada kekambuhan diketahui jumlah prevalensi kekambuhan pada pasien rawat jalan skizofrenia yang kambuh sebanyak 23 responden 71,87% sedangkan yang

Kelebihan Wingeom dalam menyajikan visualisasi objek geometri diharapkan mampu memfasilitasi siswa dalam pemahaman geometri secara lebih lengkap dan real.Berdasarkan

Ia mengandung informasi sejarah kebahasaan yang luar biasa, serta objektifitasnya dalam menerangkan makna ayat dengan memaparkan riwayat yang berkaitan dengannya, baik