• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK GOTONG ROYONG PADA MASYARAKAT JAWA PERANTAU (Studi Tentang Marginalisasi Makna Gotong Royong Pada Masyarakat Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ABSTRAK GOTONG ROYONG PADA MASYARAKAT JAWA PERANTAU (Studi Tentang Marginalisasi Makna Gotong Royong Pada Masyarakat Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah)"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

JAVANESE SOCIETY MIGRANT

(A Study about Marginalization of Social Cooperation Meaning in Society of Bandar Agung Village of Terusan Nunyai Sub District in Lampung Tengah)

By

Nurul Panji Kesuma Wardana

(2)

interest, because there was no reciprocity in conducting such social cooperation. It was proven that the Javanese philosophy suggesting Rame Ing Gawe, Sepi Ing Pamrih (sincerity and voluntary in social working without expecting individual benefit) had turned into Sepi Ing Gawe, Rame Ing Pamrih (every work should be induced by individual benefit). Sense of togetherness without expecting benefit had turned into desire to expect something without sincerity and willingness. Keywords: Social Cooperation (Gotong Royong), Trans-migration,

(3)

Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah)

Oleh

Nurul Panji Kesuma Wardana

(4)

sudah bergeser menjadi timbul adanya keinginan mendapat sesuatu tanpa rasa ikhlas.

(5)

(Studi Tentang Marginalisasi Makna Gotong Royong Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah)

Oleh

NURUL PANJI KESUMA WARDANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA SOSIOLOGI

Pada Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

Pada Masyarakat Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah)

Nama Mahasiswa : Nurul Panji Kesuma Wardana No. Pokok Mahasiswa : 0816011008

Jurusan : Sosiologi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Drs. Susetyo, M.Si. Dr. Bartoven Vivit Nurdin, S.Sos, M.Si NIP. 19581004 198902 1 001 NIP. 19770401200501 2 002

2. Ketua Jurusan Sosiologi

Drs. Susetyo, M.Si.

(7)

Ketua :Drs. Susetyo, M.Si. ...

Penguji Utama :Dr. Bartoven Vivit

Nurdin, S.Sos, M.Si ...

2. Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik

Drs. H. Agus Hadiawan, M.Si NIP. 19580109 198603 1 003

(8)

Penulis bernama Nurul Panji Kesuma Wardana dilahirkan di Bandar Jaya, 13 September 1990. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Dwiyono dan Ibu Rosnani.

Jenjang pendidikan formal yang telah penulis tempuh antara lain Taman Kanak-kanak (TK) Islam Terpadu Bustanul Ulum Lampung Tengah pada tahun 1995, Sekolah Dasar (SD) Islam Terpadu Bustanul Ulum Lampung Tengah dan lulus pada tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 3 Terusan Nunyai dan lulus pada tahun 2005, Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 1 Terbanggi Besar dan lulus pada tahun 2008.

(9)

1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Magister/Sarjana/Ahli Madya), baik di Universitas Lampung maupun di perguruan lain. 2. Karya tulis ini murni gagasan, perumusan, dan penelitian saya

sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan Penguji.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Lampung.

Bandar Lampung, Juli 2012 Yang Membuat Pernyataan,

(10)

Barangsiapa yang datang dengan perbuatan baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat, dan barang siapa yang datang dengan kejahatan maka dia tidak dibalas melainkan seumpamanya dan mereka

tidak akan dianiaya (dirugikan)

(Al AN’AAM : 160)

Kesalahan yang sebenarnya adalah punya kesalahan dan tak memperbaikinya

Confusius

Kemenangan terbesar kita bukan terletak pada tidak pernah gagalnya kita, tetapi pada kemampuan kita untuk bangkit lebih tinggi lagi setiap

(11)

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan nikmat yang tak henti-hentinya kepada umat-Nya. Solawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafaatnya kelak. Ku persembahkan skripsi sederhana ini kepada :

• Sang Pencipta Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan, kesempatan,

dan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

• Bapak dan Ibu tersayang, terima kasih atas semua doa dan kasih sayang

yang telah diberikan. Tak ada yang bisa menggantikan pengorbanan kalian, semoga Allah senantiasa melindungi dan memberikan kesehatan pada kalian.

• Semua keluarga ku yang telah memberikan nasehat-nasehatnya demi

kelancaran skripsi ini. Untuk adikku Duta Akbar Puja Kesuma.

• Semua teman-teman Sosiologi 2008, terima kasih atas perhatian, bantuan,

(12)

Alhamdulilah segala puji bagi Bagi allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan syarat mencapai gelar sarjana sosiologi. Tak lupa shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi dengan judul “Gotong Royong Pada Masyarakat Jawa Perantau” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosiologi di Universitas Lampung. Dalam penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak lepas dari peran, bantuan, bimbingan, saran, dan kritik dari berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati dan keyakinan bahwa Allah SWT yang bisa membalasnya, penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si. selaku Dekan FISIP Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Effendi, M.M. selaku Dekan I FISIP Universitas Lampung.

(13)

yang sifatnya membangun. Serta saya ucapkan terima kasih juga untuk setiap waktu yang telah bapak luangkan untuk membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Dr. Bartoven Vivit Nurdin, S.Sos, M.Si. selaku Dosen Pembahas, saya ucapkan terima kasih untuk semua ilmu, saran, dan kritik yang sifatnya membangun untuk lebih baik lagi. Semoga ilmu yang yang diberikan ibu selama ini, bisa menjadi bekal hidup saya kelak.

6. Ibu Dra. Erna Rochana, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik, saya ucapkan terima kasih untuk semua bantuannya baik berupa ilmu, motivasi, saran dan waktunya.

7. Ibu Endri Fatimaningsih, S.Sos,M.Si selaku dosen Sosiologi. Saya ucapkan terima kasih atas motivasi-motivasi yang diberikan kepada saya serta ilmu yang telah diberikan dalam proses pembelajaran. 8. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Sosiologi yang penulis tidak dapat

sebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas ilmu pengetahuan yang diberikan kepada saya.

9. Bapak Ikhlas Transada selaku Kepala Desa Bandar Agung yang telah memberikan izin sebagai tempat untuk dilakukan penelitian. 10. Ayuk Yana Sekeluarga di Asrama Imanuel, selaku keluarga kedua

(14)

11. Kedua orang tuaku, terima kasih atas semua yang telah kalian berikan padaku. Apapun yang kulakukan tidak akan mungkin bisa menggantikan seluruh doa serta pengorbanan kalian. Semoga Allah SWT melindungi dan memberikan kebahagian pada kalian.

12. Saya ucapkan terima kasih kepada sahabatku Rahmat, Sutikno, Mijwad (Ayo bang, cepetan lagi nyusun lah lo itu), Arfani, Supendi, Yunari Setiawan(tolenk), Hendi, Agus, Fitra (Semangat Fit!!,maju terus pantang mundur) dan Sebastian. Terima kasih atas waktu, dukungan, dan kebersamaan kita sejak awal hingga sekarang ini. Susah dan senang banyak kita lalui bersama semoga kita bisa menjadi sahabat sampai kapanpun dan menjadi orang yang sukses. Serta buruan kerjain skripsinya ya, pasti bisa kok, semangat ya!!.

(15)

Albert, Darma, Jaya, Rohim, dan Kiki. Terima kasih untuk kebersamaan kalian selama tiga tahun ini. Saya mendapatkan sebuah keluarga yang besar dengan berbeda-beda karakter, susah senang sering kita rasakan bersama-sama. Semoga kalian tidak melupakan saya ya..

15. Untuk semua rekan-rekan mahasiswa sosiologi FISIP UNILA, terima kasih atas kebersamaan kalian yang telah menggoreskan tinta emas dalam hidupku.

Penulis hanya bisa mendoakan semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Juli 2012 Penulis

(16)

Halaman

2.1.3 Konsep Resiprositas (Timbal Balik) dalam Gotong Royong ... 12

2.1.4 Konsep Marginalisasi... 18

(17)

B. Transmigrasi ... 34

C. Motivasi dan Tujuan Trasmigran ... 38

2.5 Kerangka Pikir ... 40 4.1 Gambaran Lokasi Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai ... 48

4.2 Potensi dan Sumber Pendapatan Desa ... 49

4.3 Potensi Sumber Daya Manusia ... 50

4.3.1 Jumlah Warga... 50

(18)

5.7 Anak Muda Belum Waktunya ... 71

5.8 PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Mandiri): Menguntungkan Bagi Warga dan Sangat “Menguntungkan” Bagi Panitia ... 72

5.9 Tidak Ikut Gotong Royong LewatSMS (Short Massage Service ) AjaBisa... 77

5.10 Sanksi Keras Tidak Ada, Hanya Teguran, Uang dan Makanan Seikhlasnya... 79

5.11 Malu!!! Perasaan Itu Yang Kami Rasakan ... 81

B. Pembahasan... 82

1. Pemahaman Makna Gotong Royong ... 83

2. Proses Marginalisasi Makna Gotong Royong... 85

3. Marginalisasi Makna Gotong Royong ... 89

3.1 Konsep Resiprositas ... 89

3.2 Interaksi Simbolik Gotong Royong ... 91

3.3 Konsep Marginalisasi dan Proses Marginalisasi Makna Gotong Royong ... 93

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 97

B. Saran... 100 DAFTAR PUSTAKA

(19)

Tabel Halaman

Tabel 1. Sumber Pendapatan Desa... 49

Tabel 2. Jumlah Warga Berdasarkan Jenis Kelamin ... 50

Tabel 3.Tingkat Pendidikan Penduduk ... 51

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Agama... 52

Tabel 5. Sarana Peribadatan... 52

Tabel 6. Jumlah Lembaga Kemasyarakatan... 53

Tabel 7. Jumlah Kelembagaan Ekonomi ... 54

Tabel 8. Jumlah Prasarana Kesehatan ... 55

Tabel 9. Jumlah Aset Ekonomi Masyarakat ... 56

Tabel 10. Jumlah Lembaga Pendidikan ... 57

Tabel 11. Data Transmigrasi ... 58

(20)

Gambar Halaman Gambar 1. Monumen Transmigrasi Angkatan Darat (TRANSAD) ... 59 Gambar 2. Kondisi Salah Satu Jalan di Desa Bandar Agung ... 60 Gambar 3. Bangunan Balai Desa Bandar Agung yang tidak terawat ... 61 Gambar 4. Drainase merupakan salah satu bentuk PNPM untuk Masyarakat Desa Bandar Agung ... 61 Gambar 5. Kondisi Salah Satu Jembatan di Desa Bandar Agung yang tidak layak ... 62 Gambar 6. Jembatan Swadaya Murni ... 62 Gambar 7. Rapat Warga di Salah satu Lingkungan RT di Desa Bandar

Agung... 67 Gambar 8. Kegiatan Gotong Royong memperbaiki jalan di salah satu

Lingkungan RT di Desa Bandar Agung... 70 Gambar 9. Logo PNPM ... 71 Gambar 10. Jembatan, salah satu bentuk PNPM yang ada di Desa Bandar Agung... 74 Gambar 11. Bentuk ikut serta Gotong Royong dalam bentuk

(21)
(22)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pada permulaan abad kedua puluh kemiskinan sedang meningkat di Pulau Jawa

dikarenakan kepadatan penduduk yang semakin meningkat dari masa ke masa.

Hal ini menarik perhatian Hindia Belanda yang pada masa itu sebagai bangsa

penjajah yang cukup lama menguasai Pulau Jawa. Mengingat pertumbuhan

penduduk di Jawa sangat pesat dan sulitnya pekerjaan mengakibatkan banyak

pengangguran, diperkirakan dapat membahayakan keamanan, di samping itu

perusahaan milik pengusaha Belanda di luar Jawa yang bergerak di bidang

perkebunan sangat membutuhkan tenaga kerja murah. Hal ini mendorong

pemerintah Hindia Belanda untuk menyelenggarakan perpindahan penduduk dari

Jawa ke luar Jawa (Lestari, 2009).

Keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menyelenggarakan perpindahan

penduduk tersebut atas usulan Van deventer. Van deventer membuat suatu

rumusan pokok yang mana akhirnya pada tahun 1905 dikenal dengan nama

kebijakan Ethische Politiek yaitu educatie, irrigatie, dan emigaratie (Utomo dan Ahmad, 1997:53). Adapun kata lainnya, pemerintah Belanda melaksanakan

pembangunan sekolah-sekolah bagi rakyat yang dijajah, perbaikan kondisi bahan

pangan dengan membangun irigasi, serta mengadakan perpindahan penduduk dari

(23)

perpindahan penduduk tersebut adalah H.G Heyting yang pada saat itu menjabat

sebagai asisten residen Sukabumi. Setelah kemerdekaan, program tersebut

diteruskan oleh pemerintah Indonesia tetapi namanya diganti menjadi transmigrasi

(Joan, 1982:3).

Transmigrasi adalah peristiwa perpindahan penduduk dari suatu wilayah yang

padat penduduknya ke wilayah pulau lain yang penduduknya masih jarang atau

belum ada penduduknya sama sekali. Program transmigrasi ini biasanya diatur

dan didanai oleh pemerintah kepada warga yang umumnya golongan menengah

ke bawah dengan program yang diikuti adalah transmigrasi umum. Sesampainya

di tempat transmigrasi para transmigran akan diberikan sebidang tanah, rumah

sederhana dan perangkat lain untuk menunjang hidup di lokasi tempat tinggal

yang baru (Swasono dan Singarimbun, 1986:276).

Adapun tujuan transmigrasi adalah untuk meratakan persebaran penduduk di

seluruh wilayah Indonesia, untuk pertahanan dan keamanan/pertahanan keamanan

lokal nasional, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan memberikan

kesempatan merubah nasib. Dalam hubungan ini, transmigrasi akan membantu

dan merangsang peningkatan pembangunan di daerah-daerah yang relatif masih

terbelakang, sehingga menjamin adanya keserasian dalam laju pertumbuhan antar

daerah (Lestari, 2009).

Pelaksana dari transmigrasi biasanya disebut transmigran, akan tetapi peneliti

menyebutnya sebagai perantau. Masyarakat Jawa perantau merupakan bagian dari

bangsa Indonesia yang mau melakukan transmigrasi selain Bali, dan Lombok

(24)

perantau ini adalah untuk menyukseskan program pemerintah yang tujuannya

untuk mengurangi kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Dapat dikatakan

masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang taat dalam mengikuti program

pemerintah dikarenakan masyarakat Jawa perantau pada saat melakukan

transmigrasi membawa segala apapun yang dikenalnya dari Pulau Jawa ke daerah

barunya. Mulai dari nama tempat sampai terapan kebudayaan sehari-hari dalam

masyarakat dipakai pula di daerah rantau.

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kekompakan yang

sangat besar, dan itu dapat di lihat dalam segala bidang kehidupan. Terlebih dalam

bidang kehidupan sosial, apapun yang menjadi masalah bersama dikerjakan secara

bergotong royong. Ada filosofi Jawa yang menyatakan “rame ing gawe, sepi ing pamrih”, adapun makna dari pernyataan tersebut bahwa sebuah kegiatan sosial dilakukaan bersama dan tidak ada pamrih dalam pelaksanaannya. Kehidupan

manusia dalam masyarakat tidak terlepas akan adanya interaksi sosial antar

sesamanya. Menurut Satria (2011) pada dasarnya, manusia sesuai dengan

fitrahnya merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri melainkan

membutuhkan pertolongan orang lain. Adapun di dalam kehidupan masyarakat

diperlukan adanya kerjasama dan sikap gotong royong dalam menyelesaikan

segala permasalahan.

Perbedaan kelompok dan kualitas individu yang ada dalam masyarakat tersebut,

mengakibatkan munculnya ketertiban, keselarasan dan rasa solidaritas diantara

sesama. Solidaritas merupakan bangunan masyarakat yang didalamnya terdapat

saling pengertian antar berbagai individu dan kelompok yang berbeda-beda karena

(25)

membahu dalam menghadapi berbagai persoalan (Geovanie, 2011). Solidaritas

yang muncul dalam setiap kelompok masyarakat disebabkan adanya beberapa

persamaan, seperti persamaan kebutuhan, keturunan, dan tempat tinggal. Setiap

individu yang terikat dalam suatu ikatan solidaritas kelompok masyarakat,

memiliki kesadaran kolektif yang sama. Kesadaran kolektif adalah keseluruhan

keyakinan dan perasaan yang membentuk sistem tertentu dan dimiliki bersama.

Kesadaran kolektif dipicu dan didorong oleh suatu fakta bahwa di mana-mana

ternyata banyak orang yang merasakan hal yang sama, dan melakukan hal yang

sama pula (Jejak Leuser, 2012).

Aktivitas gotong royong sering dijumpai disetiap daerah yang masing-masing

memiliki latar kebudayaan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kelompok

masyarakat Jawa pedesaan, hubungan sosial desa di Jawa sebagian besar

berdasarkan sistem gotong royong, walaupun gotong royong tidak terbatas pada

hubungan keluarga saja, namun sistem itu oleh kelompok masyarakat desa di

Jawa dipahami sebagai perluasan hubungan kekerabatan antarwarga (Abdillah,

2011).

Hukum adat di Jawa menuntut setiap laki-laki bertanggung jawab terhadap

keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja membantu kerabat lain dalam

hal-hal tertentu seperti mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah, memperbaiki

jalan desa, membersihkan lingkungan perkuburan dan yang lainnya. Semboyan

saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi

dari alam sehingga dapat menciptakan pondasi yang kuat dan mendasar pada

(26)

Interaksi yang terjadi karena adanya pergaulan, pada dasarnya dapat dilihat

apabila terjadi hubungan-hubungan kerjasama antara individu-individu, kelompok

dengan kelompok, individu dengan kelompok sesuai dengan status dan

peranannya yang mungkin terjadi dalam peristiwa bertemu, berbicara, makan

bersama dalam pekerjaan, upacara dan sebagainya. Semua itu dapat terwujud

apabila adanya rasa solidaritas yang tinggi antar warga di lingkungan tersebut.

Desa Bandar Agung merupakan salah satu tempat penempatan transmigran dari

Pulau Jawa di propinsi Lampung. Desa Bandar Agung dibuka pada tahun 22

Februari 1973 sebagai penempatan transmigran TNI-AD (TRANSAD). Jika

dilihat pada kelompok masyarakat Jawa perantauan di Desa Bandar Agung

hubungan sosial kelompok masyarakatnya tampak dalam aktivitas sosial maupun

dalam aktivitas keagamaan. Kelompok masyarakat Jawa perantauan di Desa

Bandar Agung ini memiliki hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan ini

tidak hanya ada karena ikatan darah ataupun perkawinan tetapi juga karena pernah

saling bertetangga dan menjadi sangat akrab sehingga mereka mengaku

bersaudara.

Gotong royong menjadi cara kerja sama antar warga yang sangat efektif baik yang

konteks pengerjaannya untuk kepentingan individu maupun kepentingan bersama,

contohnya hubungan yang merasa antar warga saling mempunyai kedekatan satu

sama lain ini akan membuat mereka akan segera datang menghadiri apabila ada

yang mengadakan pesta ataupun membuat jembatan untuk kepentingan bersama.

Adapun dengan seiring berjalannya waktu, masyarakat Jawa perantau mengalami

(27)

Faktor-faktor tersebut dalam prosesnya dipelajari oleh para perantau sehingga

terbentuk sebuah karakter masyarakat yang berbeda daripada ketika para perantau

tersebut pada awal hijrah ke Desa Bandar Agung. Adapun yang menjadi

permasalahan adalah paradigma makna gotong royong yang dipahami oleh

masyarakat Jawa perantau mengalami marginalisasi.

Kelompok masyarakat Jawa perantauan di Desa Bandar Agung mayoritas bekerja

sebagai pensiunan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), petani,

pedagang, karyawan pabrik, dan pegawai negeri sipil. Adanya perbedaan

pekerjaan kemudian berpengaruh terhadap pada status sosial ekonomi seorang

warga, masuknya kemajuan teknologi modern pun menjadikan masyarakat Jawa

perantau di Desa Bandar Agung memaknai gotong royong menjadi lebih pintar

dalam mengambil sikap untuk mengikuti atau tidak mengikuti sebuah gotong

royong. Keberadaan gotong royong di Desa Bandar Agung pada sampai saat ini

masih ada, akan tetapi keaktifannya sudah berkurang.

Berdasarkan pengamatan peneliti, perubahan dan termarginalkannya makna

gotong royong yang pada umumnya melekat erat pada masyarakat terlihat dalam

berbagai aktivitas gotong royong yang mulai berkurang, contohnya terlihat pada

aktivitas gotong royong di Desa Bandar Agung seperti mendirikan/memperbaiki

rumah (sambatan), kerja bakti memperbaiki jalan desa saat ini sudah mengalami marginalisasi, ini terbukti dikarenakan warga yang saat ini semakin sibuk dengan

kepentingan masing-masing dan kepentingan bersama tidak lagi menjadi prioritas

utama. Adapun pada tahun 1980-an masyarakat yang mayoritas besar dari Jawa

(28)

Adapun diterapkannya studi tentang marginalisasi makna gotong royong di desa

Bandar Agung maka masyarakat Jawa akan memperoleh kesempatan lebih besar

untuk meningkatkan solidaritas atau kekerabatan antarwarga. Penelitian ini

dilakukan di Desa Bandar Agung mengingat bahwa di desa tersebut rasa

solidaritas masyarakat mulai berkurang dikarenakan perubahan yang terjadi dalam

masyarakat dimana masing-masing warga saat ini lebih mementingkan

kepentingan individu daripada kepentingan bersama. Berdasarkan uraian tersebut

maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “GOTONG

ROYONG PADA MASYARAKAT JAWA PERANTAU (studi tentang

marginalisasi makna gotong royong pada masyarakat desa Bandar Agung

Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah).

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dikemukakan, maka pokok

permasalahan yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Bagaimana makna gotong royong pada masyarakat Jawa perantau di Desa

Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah?

b. Bagaimana proses marginalisasi makna gotong royong pada masyarakat

Jawa perantau di Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai

(29)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:

a. Menganalisis makna gotong royong pada masyarakat Jawa perantau di

Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah.

b. Menganalisis proses marginalisasi makna gotong royong pada masyarakat

di Desa Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Lampung Tengah.

1.4Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Secara Teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah dan

memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan secara umum

dan secara sosial pada khususnya sosiologi kebudayaan berkaitan dengan

gotong royong dalam masyarakat.

2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya dan masyarakat Desa Bandar

Agung khususnya, agar kegiatan gotong royong dapat terus dilestarikan

keberadaannya serta sebagai masukan pemikiran bagi instansi terkait agar

dapat membantu dalam memberikan sosialisasi pentingnya kegiatan gotong

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Gotong Royong

2.1.1. Pengertian Gotong Royong

Kata gotong royong dalam masyarakat terlihat hidup dalam mata pencaharian

sebagai petani tradisional. Ketika petani menggarap tanah, mereka

memerlukan tenaga kerja yang banyak untuk mencangkul tanah, menanam

benih, mengatur saluran air, memupuk tanaman dan menyiangi tanaman.

Demikian juga pada saat musim panen tiba. Warga masyarakat bergotong

royong memetik padi, mengeringkannya, dan memasukkannya ke dalam

lumbung (Abdillah, 2011).

Gotong royong berasal dari kata dalam Bahasa Jawa, atau setidaknya

mempunyai nuansa Bahasa Jawa. Kata gotong dapat dipadankan dengan kata

pikul atau angkat, sebagai contoh ada pohon yang besar roboh menghalangi

jalan di suatu desa. Masyarakat mengangkatnya bersama-sama untuk

memindahkan kayu itu ke pinggir jalan. Orang desa menyebutnya dengan

nggotong atau menggotong (Abdillah, 2011).

Kata royong dapat dipadankan dengan bersama-sama. Dalam bahasa Jawa

kata saiyeg saeko proyo atau satu gerak satu kesatuan usaha memiliki makna

yang amat dekat untuk melukiskan kata royong ini. Ibarat burung kuntul

(31)

menuju satu arah bersama-sama, dan orang kemudian menyebutnya dengan

holopis kuntul baris (Abdillah, 2011).

Adapun demikian gotong royong memiliki pengertian bahwa setiap individu

dalam kondisi seperti apapun harus ada kemauan untuk ikut berpartisipasi

aktif dalam memberi nilai tambah atau positif kepada setiap obyek,

permasalahan atau kebutuhan orang banyak disekeliling hidupnya. Partisipasi

aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan, tenaga

fisik, mental spiritual, ketrampilan atau skill, sumbangan pikiran atau nasihat

yang konstruktif, sampai hanya berdoa kepada Tuhan (Abdillah, 2011).

Bagi mereka yang masih belum mampu melakukan salah satu dari alternatif

bantuan diatas, maka mereka cukup dengan berdiam diri dan tidak berbuat

apapun yang bisa merusak situasi dan kondisi yang berlaku saat itu. Berdiam

diri dan tidak membuat keruh situasipun sudah merupakan implementasi

gotong royong yang paling minimal (Abdillah, 2011).

2.1.2. Jenis-Jenis Gotong Royong

Sistem tolong-menolong dalam kehidupan masyarakat desa yang di dalam

bahasa Indonesia disebut sistem gotong royong, menunjukkan

perbedaan-perbedaan mengenai sifat lebih atau kurang rela dalam hubungan dengan

beberapa macam lapangan aktivitas lapangan sosial. Berhubungan dengan hal

tersebut dapat dibedakan adanya beberapa macam tolong-menolong, ialah

misalnya:

(32)

2. Tolong-menolong dalam aktivitas-aktivitas sekitar rumah tangga.

3. Tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara.

4. Tolong-menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana dan kematian

(Koentjaraningrat, 1985:168).

Tolong-menolong dalam aktivitas pertanian, orang bisa mengalami

musim-musim sibuk ketika masa bercocok tanam. dalam musim-musim-musim-musim sibuk itu

kalau tenaga keluarga batih atau keluarga luas tidak cukup lagi untuk

menyelesaikan sendiri segala pekerjaan di ladang atau di sawah, maka orang

bisa menyewa tenaga tambahan atau bisa meminta bantuan tenaga dari sesama

warga komunitasnya. Sistem ini bersifat universal dalam semua masyarakat di

dunia yang berbentuk komunitas kecil, kompensasi untuk jasa yang

disumbangkan itu bukan upah melainkan tenaga bantuan juga

(Koentjaraningrat, 1985:168).

Pada aktivitas-aktivitas sekitar rumah tangga, ialah kalau misalnya orang

memperbaiki atap rumahnya, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah

dari tikus, menggali sumur di pekarangan. Pada masyarakat desa, warga sering

meminta pertolongan dari tetangganya, dengan begitu seorang individu harus

memperhatikan segala peraturan sopan santun dan adat istiadat yang biasanya

bersangkut paut dengan aktivitas serupa. Adapun sikap tuan rumah juga

menjamu para warga yang sudah membantu dengan menyajikan makanan, di

samping kewajiban untuk membalas jasa kepada semua tetangga yang datang

tersebut pada saat mereka masing-masing memerlukan tenaga bantuan dalam

(33)

tolong-menolong dalam sektor rumah tangga sering mengurangi rasa kesadaran dari

dalam diri seorang warga (Koentjaraningrat, 1985:167).

Adapun tolong-menolong dalam aktivitas mempersiapkan pesta dan upacara

biasanya berjalan dengan rasa kesadaran diri yang besar, karena warga yang

ikut membantu dapat langsung menikmati makanan enak di acara pesta,

merayakan pesta dan ikut merasakan suasana gembira. Pada sikap

tolong-menolong pada peristiwa-peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian,

biasanya dilakukan oleh seseorang dengan amat rela, tanpa perhitungan akan

mendapat pertolongan kembali, karena menolong orang yang mendapat

kecelakaan didasari oleh rasa belasungkawa yang universal dalam jiwa

makhluk manusia (Koentjaraningrat, 1985:167).

2.1.3. Konsep Resiprositas (Timbal Balik) dalam Gotong Royong

Terjadinya sebuah resiprositas dalam sebuah komunitas kecil, contoh

masyarakat di desa disebabkan adanya hubungan simetris antar kelompok atau

antar individu. Hubungan simetris ini adalah hubungan sosial dengan

masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama

ketika proses pertukaran berlangsung, contohnya adalah dalam waktu yang

sama dan di sebuah lingkungan yang sama terdapat dua orang yang

mengadakan selamatan, namun salah satunya punya kedudukan lebih tinggi

dalam stratifikasi sosial di masyarakat. Adapun dalam aktivitas tersebut

mereka tidak menempatkan diri pada kedudukan sosial yang berbeda. Mereka

(34)

mereka mempunyai derajat kekayaan dan prestise sosial yang berbeda-beda.

Peristiwa tersebut menunjukkan adanya posisi sosial yang sama, pada suatu

saat menjadi pengundang dan yang diundang (Pandupitoyo, 2010).

Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok individu atau beberapa

kelompok dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan

personel diantara mereka. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam

komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang

sama. Dalam komunitas kecil itu kontrol sosial sangat kuat dan hubungan

sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat untuk mematuhi adat

kebiasaan. Sebaliknya, hubungan impersonal tidak bisa menjamin berlakunya

resiprositas karena interksi antar pelaku kerjasama resiprositas sangat rendah

sehingga pengingkaran pun semakin mudah muncul (Pandupitoyo, 2010).

Proses pertukaran resiprositas lebih panjang daripada jual beli. Proses jual beli

biasanya terjadi dalam waktu yang sangat pendek, misalnya jual beli barang di

pasar.Kalau pembeli telah menawar barang dan mampu membayar kontan,

maka kalau barang telah dibayar berarti proses jual beli tersebut berakhir.

Proses pertukaran resiprositas ada yang relatif pendek,namun juga ada yang

panjang. Adapun dikatakan pendek, kalau proses tukar menukar barang atau

jasa dilakukan dalam jangka waktu tidak lebih dari satu tahun, misalnya

tolong menolang antar petani dalam mengerjakan tanah. Tolong menolong ini

dapat berlangsung hanya dalam satu musim tanam,dan kalau kedua belah

pihak telah memberikan bantuan dan menerima kembali bantuan yang

diberikan,maka proses resiprositas tersebut dapat dikatakan telah berakhir

(35)

Proses resiprositas yang panjang jangka waktunya sampai lebih dari satu

tahun ,misalnya sumbang-menyumbang dalam peristiwa perkawinan. Tidak

setiap rumah tangga yang membudayakan tradisi sumbang menyumbang.

Dalam kenyataannya,proses resiprositas dapat berlangsung sepanjang hidup

seorang individu dalam masyarakat, bahkan mungkin sampai diteruskan oleh

anak keturunannya. Seorang petani,misalnya, sejak kecil dia mewakili orang

tuanya ikut gotong-royong dengan tetangganya serta keturunam mereka.

Situasi seperti ini dapat terjadi karena komunitas tempat hidup petani tersebut

merupakan perwujudan dari nilai-nilai kebersamaan (Pandupitoyo, 2010).

Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah

berkaitan dengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas. Motif

tersebut adalah harapan untuk mendapatkan prestise sosial seperti,misalnya:

penghargaan, kemuliaan, kewibawaan , popularitas ,sanjungan ,dan berkah.

Motif tersebut tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang melakukan

kerjasama resiprositas, tetapi juga lingkungan dimana mereka berada

(Pandupitoyo, 2010).

Keberadaan resiprositas juga ditunjang oleh struktur masyarakat yang egaliter

yaitu suatu masyarakat yang ditandai oleh rendahnya tingkat stratifikasi sosial,

sedangkan kekuasaan politik relatif terdistribusi merata dikalangan warganya.

Struktur masayarakat yang egaliter ini memberikan kemudahan bagi warganya

untuk menempatkan diri dalam kategori sosial yang sama ketika mengadakan

(36)

Menurut Sahlins (1974) dalam Pandupitoyo (2010),ada tiga macam

resiprositas umum, resiprositas sebanding, dan resiprositas negatif.

Resiprositas yang terakhir ini sebenarnya kata lain dari pertukaran pasar atau

jual beli dan lebih tepat dibicarakan diluar kesempatan ini. Secara umum

dapatdikatakan bahwa jenis-jenis resiprositas tersebut berhubungan dengan

pola-pola organisasi sosial ,ukuran kekayaan ,dan tipe barang yang

dipertukarkan (Pandupitoyo, 2010).

Dalam resiprositas umum tersebut tidak ada hukum –hukum yang dengan

ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau mengembalikan. Hanya moral

saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima

resiprositas umum sebagai kebenaran yang tidak boleh dilanggar .Orang yang

melanggar kerjasma resiprositas ini bisa mendapat tekanan moral dari

“masyarakat” atau “kelompok”yang mungkin berupa umpatan, peringatan

lisan,atau gunjingan yang dapat menurunkan martabat dalam pergaulan di

masyarakat atau kelompoknya (Pandupitoyo, 2010).

Sistem resiprositas umum dapat menjamin individu-individu terpenuhi

kebutuhannya pada waktu mereka tidak mampu ”membayar” atau

mengembalikan atas apa yang mereka terima dan pakai . Sejak lahir manusia

telah tergantung dari orang lain ,misal ibunya. Manusia membutuhkan teman

untuk berbagi rasa dalam memecahkan masalah hidup dan menikmati

kebahagiaan (Pandupitoyo, 2010).

Tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat industri yang relatif baik membuat

(37)

Masyarakat nampaknya menempatkan resiprositas ini sebagai sarana maupun

produk dan simbol dari hubungan kesetiakawanan atau cinta kasih. Bentuk

resiprositas yang cocok untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah

resiprositas simbolik (Pandupitoyo, 2010).

Resiprositas simbolik sebagai salah satu bentuk resiprositas umum merupakan

suatu adat kebiasaan memberi dan menerima sebagai sarana untuk menjalin

hubungan persahabatan semata, tanpa mempunyai makna yang dekat dengan

usaha memenuhi kebutuhan ekonomi. Dalam masyarakat sederhana,

resiprositas umum cenderung memusat dikalangan orang yang mempunyai

hubungan kerabat dekat. Dalam masyarakat desa agraris, meskipun struktur

keluarga yang berlaku misalnya keluarga kecil, namun resiprositas di kalangan

keluarga dekat nampak lebih kuat dibanding masyarakat kota (Pandupitoyo,

2010).

Golongan masyarakat yang nafkahnya dekat dengan batas substansi seringkali

melembagakan resiprositas umum sebagai mekanisme untuk mengatasi

kondisi tersebut.Dalam masyarakat ini,orang memberi nilai tinggi terhadap

teman dan kerabat. Saling memberi hasil buruan merupakan kebiasaan yang

lazim dalam masyarakat pemburu. Kebiasaan tersebut dapat berfungsi sebagai

alat untuk distribusi pangan yang merata. Namun demikian, kebiasaan tersebut

dapat memacu aktivitas kegiatan berburu dan meramu di kalangan kelompok

pemburu (Pandupitoyo, 2010).

Resiprositas sebanding menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan

(38)

pula dengan kapan pertukaran itu berlangsung. Dalam pertukaran ini,

masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari pertnernya, namun

masing-masing tidak menghendaki untuk memberi dengan nilai lebih dibandingkan

denganyang akan diterima. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa

individu-individu atau kelompok-kelompok yang melakukan transaksi bukan sebagai

satu unit-unit sosial, melainkan sebagai unit-unit sosial yang otonom

(Pandupitoyo, 2010).

Resiprositas sebanding berada di tengah-tengah antara resiprositas umum

dengan resiprositas negatif, kalau resiprositas sebanding bergerak ke arah

resiprositas umum, maka hubungan sosial yang terjadi mengarah ke hubungan

kesetiakawanan dan ke arah hubungan yang lebih intim, sebaliknya kalau

bergerak ke arah resiprositas negatif maka hubungan sosial yang terjadi

bersifat tidak setia kawan yakni masing-masing pihak mencoba untuk

mengambil keuntungan dari lawannya (Pandupitoyo, 2010).

Resiprositas negatif, transformasi ekonomi di bidang system pertukaran yang

terjadi dinegara berkembang merupakan suatu proses yang terus berjalan.

Proses ini sementara menggambarkan dua pola besar.Pertama, hilangnya

bentuk-bentuk pertukaran tradisional diganti oleh bentuk pertukaran modern.

Kedua, adalah munculnya dualisme pertukaran. Dengan berkembangnya uang

sebagaia alat ukar, maka barang dan jasa akan kehilangan nilsi simbolik yang

luas dan beragam maknanya karena uang dapat berfungsi memberikan nilai

standart obyektif terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan. Hal inilah yang

disebut negatif, karena dapat menghilangkan suatu tatanan pertukaran yang

(39)

kegiatan masyarakat yang semakin money oriented membuat nilai nilai

keikhlasan untuk saling membantupun berkurang (Pandupitoyo, 2010).

2.1.4 Konsep Marginalisasi

Menurut Horton (1993) dalam Putra (2011) menyebutkan marginal sebagai

keadaan menjadi sebuah bagian suatu budaya atau masyarakat yang tidak

utuh. Definisi ini lebih menekankan pada sudut pandang sosial budaya, yang

mana sebuah kelompok terpinggirkan karena kondisi budaya yang belum ter

internalisasi secara utuh. Termarginalkan atau terpinggirkan juga merupakan

suatu keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang karena sesuatu sebab

tertentu seperti akibat norma sosial ekonomi tertentu, hubungan ekonomi,

keterpencilan geografis, perbedaan budaya dan lain-lain menjadi terpinggirkan

secara ekonomi dan sosial.

Adapun menurut Pablo Gonzales Casanova dalam Kurnia (2011),

marginalisasi adalah fenomena pedesaan yang menimbulkan kemelaratan dan

ciri kebudayaan pribumi tertentu yang biasanya tertahan yang menunjukan

fenomena integral dalam masyarakat artinya peminggiran oleh sekelompok

orang.

Pada khasanah ilmu sosial, ada beberapa definisi dan penjelasan teoritis

mengenai marginalisasi. Menurut Mullaly (2007) dalam Kurnia (2011),

marginalisasi merupakan sebuah proses sosial yang membuat masyarakat

menjadi marginal, baik terjadi secara alamiah maupun dikreasikan sehingga

(40)

Marginalisasi memiliki atau mempunyai aspek terkait pada bidang sosiologi,

ekonomi dan politik. Adapun dimana marginalisasi sebenarnya telah

memanifestasikan dirinya dalam bentuk yang sangat familiar di mata

penduduk di dunia ini, misalnya budaya, struktur keluarga hingga spektrum

yang negatif pada masyarakat (Opini Power). Menurut Aditya Anupkumar

(2009) dalam Hardin (2011)

“Marginalisasi merupakan sebuah proses sosial untuk menjadi terpinggirkan, tersudutkan, terjadinya kesenjangan ekonomi dan terintermidasinya sebuah kelompok dalam masyarakat ketentuan marginalisasi sesungguhnya dapat di deskripsikan sebagai reaksi yang berlebihan atau kecenderungan dari sosial masyarakat yang menjadi tidak berfungsi dari sistem yang lazim dari bentuk perlindungan dan pengintegrasian, yang bertujuan untuk membatasi kesempatan untuk bertahan hidup dengan baik (Hardin, 2011).”

Adapun kesimpulan dari penjelasan mengenai konsep marginalisasi di atas

yang dimaksud dengan marginalisasi makna gotong royong merupakan sebuah

proses sosial yang membuat makna solidaritas kekerabatan dalam gotong

royong menjadi terpinggirkan, baik terjadi secara alami maupun dikreasikan

oleh masyarakat.

2.1.5 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Makna Gotong Royong

Termarginalisasi

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan sebuah kegiatan gotong royong

mengalami marginalisasi diakibatkan oleh adanya perubahan sosial dalam

(41)

1. Perubahan Penduduk

Perubahan penduduk berarti bertambah atau berkurangnya penduduk

dalam suatu masyarakat. Hal itu bisa disebabkan oleh adanya kelahiran

dan kematian, namun juga bisa karena adanya perpindahan penduduk,

baik transmigrasi maupun urbanisasi. Transmigrasi dan urbanisasi

dapat mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk daerah yang

dituju, serta berkurangnya jumlah penduduk daerah yang ditinggalkan.

Akibatnya terjadi perubahan dalam struktur masyarakat, seperti

munculnya berbagai profesi dan kelas sosial (Alfin, 2010).

2. Penemuan-Penemuan Baru

Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan manusia akan barang

dan jasa semakin bertambah kompleks. Oleh karena itu berbagai

penemuan baru diciptakan oleh manusia untuk membantu atau

memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Penemuan

baru yang menyebabkan perubahan pada masyarakat meliputi proses

discovery, invention, dan inovasi.

a. Discovery , yaitu suatu penemuan unsur kebudayaan baru oleh

individu atau kelompok dalam suatu masyarakat. Unsur baru itu

dapat berupa alat-alat baru ataupun ide ide baru.

b. Invention, yaitu bentuk pengembangan dari suatu discovery,

sehingga penemuan baru itu mendapatkan bentuk yang dapat

(42)

apabila masyarakat sudah mengakui, menerima, serta menerapkan

penemuan baru ini dalam kehidupan nyata di masyarakat.

c. Inovasi atau proses pembaruan, yaitu proses panjang yang meliputi

suatu penemuan unsur baru serta jalannya unsur baru dari diterima,

dipelajari, dan akhirnya dipakai oleh sebagian besar warga

masyarakat (Alfin, 2010).

Suatu penemuan baru, baik kebudayaan rohaniah (imaterial) maupun

jasmaniah (material) mempunyai pengaruh bermacam-macam.

Biasanya pengaruh itu mempunyai pola sebagai berikut.

1. Suatu penemuan baru menyebabkan perubahan dalam bidang

tertentu, namun akibatnya memancar ke bidang lainnya. Adapun

contohnya yaitu penemuan handphone yang menyebabkan

perubahan di bidang komunikasi, interaksi sosial, status sosial, dan

lain-lain.

2. Suatu penemuan baru menyebabkan perubahan yang menjalar dari

satu lembaga ke lembaga yang lain. Adapun contohnya yaitu

penemuan internet yang membawa akibat pada perubahan terhadap

pengetahuan, pola pikir, dan tindakan masyarakat (Alfin, 2010).

3. Apabila terjadi hubungan primer, maka akan terjadi pengaruh

timbal balik atau saling mempengaruhi.

4. Apabila kontak kebudayaan terjadi melalui sarana komunikasi

(43)

majalah, yang terjadi adalah pengaruh sepihak, yaitu pengaruh

dari masyarakat yang menguasai sarana komunikasi massa

tersebut.

2.2 Konsep Interaksi Simbolik Gotong Royong Pada Masyarakat Jawa

Perantau

Pada tanggal 1 juni 1945 Bung Karno dalam pidatonya mengenai dasar negara

pada sidang BPUPKI ternyata tidak hanya menawarkan kelima sila yang kini

menjadi dasar Negara diantaranya adalah (1) kebangsaan, (2) internasionalisme,

(3) mufakat, (4) kesejahteraan dan (5) ketuhanan, dan lima bilangan tersebut

dinamakan Pancasila, namun beliau juga merangkumnya untuk memberikan

alternatif untuk peserta sidang yang tidak menyukai bilangan lima. Sehingga

Bung Karno memeras kelima sila tersebut menjadi Tri Sila bahkan bisa

dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila :

“…Atau barang kali ada saudara - saudara yang tidak suka bilangan lima itu?saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja.Saudara - saudara Tanya pada saya apakah “perasaan” yang tiga itu? Berpuluh – puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar – dasarnya Indonesia Merdeka/ Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, Kebangsaan dan internasionalisme, Kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu : itulah yang dahulu saya namakan socio – nationalism…”

“…Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke – democratie dengan socialerechtvaardigheid : inilah yang dahulu saya namakan socio-democratie…”

(44)

“…Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia,yang kita semua harus mendukungnya. semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, Bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia,bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia-semua buat semua!. Jikalau saya peras kelima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong – royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong – royong”(Penaaksi, 2011).

Dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong-royong. Maknanya adalah:

a. Prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong-royong, yaitu ketuhanan yang

berkebudayaan, yang lapang dan toleran; bukan ketuhanan yang saling

menyerang, merusak dan mengucilkan.

b. Prinsip intenasionalismenya harus berjiwa gotong-royong, yakni yang

berperikemanusian dan berperikeadilan; bukan menjajah dan eksploitatif.

c. Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong yakni mampu

mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, “bhineka tunggal ika”;

bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan.

d. Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan

musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas

(mayorokrasi) atau minoritas elit penguasa-pemodal (minorokrasi).

e. Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan

partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat

kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis

individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti

dalam sistem etatisme , yaitu suatu paham dalam pemikiran politik yang

(45)

Dari kutipan pidato bung Karno sangatlah jelas dasar dari kesemua sila tersebut

adalah sifat gotong royong . Jiwa gotong royong sudah sangat mendarah daging

dalam diri masyarakat Indonesia.kita harus menjiwai kelima sila yang menjadi

dasar negara saat ini dengan jiwa gotong – royong.

Memahami “Ke-Tuhanan yang Maha Esa” dengan jiwa gotong – royong. bukan

ke-Tuhanan yang saling menyerang atau menjatuhkan. Bukan kemanusiaan yang

bandel dan biadab.bukan persekutuan Indonesia.bukan juga keadilan sosial yang

memihak.

Sekali lagi perlu dipahami bahwa jiwa gotong – royong haruslah ada dalam setiap

diri rakyat Indonesia. Adapun karena ini merupakan suatu hal yang sangat

mendasar dalam memaknai nilai-nilai Pancasila, dikarenakan gotong – royong

merupakan jati diri bangsa Indonesia yang murni. Sehingga diperlukan sesuatu

yang murni untuk membangun negara yang mandiri dan kuat pada era globalisasi.

Gotong royong merupakan paham dinamis, maksud dari paham dinamis adalah

paham kekeluargaan dalam kebersamaan untuk membangun Indonesia yang lebih

maju berdasar landasan dasar Negara yaitu pancasila. Gotong royong, menurut

Harjono (2011), telah tumbuh dan berkembang dalam diri masyarakat Indonesia,

dan Pancasila bukan merupakan pandangan hidup yang diimpor dari luar.

”..pancasila atau gotong royong tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuh berkembangnya bangsa Indonesia”.

Budaya gotong royong pada masyarakat Jawa, tidak hanya dimaknai sekedar

saling bantu-membantu antar-sesama, lebih dari itu juga bahwa gotong royong

(46)

Terkait hal tersebut, masyarakat Jawa dalam membangun hubungan sosial selalu

mendahulukan kepentingan umum dibandingkan kepentingan individu tanpa

membandingkan dari segi apapun, baik suku dan agama. Demikian yang

melatarbelakangi masyarakat Jawa menjadikan budaya gotong royong sebagai

simbol dalam kehidupan bermasyarakat (Harjono, 2011).

Menurut keberadaan kegiatan gotong royong pada masyarakat Jawa telah

dijadikan sebagai budaya oleh masyarakat Jawa dengan makna simbolik

diantaranya menjadikan hubungan kekerabatan antar warga menjadi lebih erat.

Pada ilmu antropologi, kajian tentang makna digawangi oleh paradigma

antropologi simbolik. Simbol selalu berkaitan dengan makna, karena pada

dasarnya paradigma simbol mempelajari signifikansi makna bagi kehidupan

manusia.

Geertz (1992) dalam Prasetijo (2008) secara jelas mendefinisikan bahwa

kebudayaan adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian

di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan

memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara

historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana

orang-orang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan mengembangkan

pengetahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan

simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik. Adapun

alasannya karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses

(47)

Geertz (1992) menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang

menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam mengahadapi berbagai

permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya lebih sebagai

pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku

kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam

kebudayaan tersebut. Adapun dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual

tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu

kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara historis

terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem konsep

yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya

manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan

mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan (Geertz, 1992:3).

2.3 Tinjauan Masyarakat Jawa

Suku Jawa adalah suku bangsa yang terbesar di Indonesia, dengan jumlahnya di

sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan menghuni khususnya di

provinsi Jawa Tengah serta Jawa Timur tetapi terdapat juga di provinsi Jawa

Barat, Banten dan di Jakarta (Apvalentine, 2010).

Adapun sebagian besar suku bangsa Jawa menuturkan bahasa Jawa sebagai

bahasa percakapan harian. Sebuah tinjauan pendapat yang dijalankan oleh

Majalah Tempo pada awal dekad 1990-an menunjukkan bahwa hanya sekitar 12%

daripada orang-orang Jawa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa

(48)

Indonesia, dengan yang lain menuturkan bahasa Jawa sebagai bahasa utama

mereka (Apvalentine, 2010).

Menurut konsepsi orang Jawa mengenai pelapisan sosial dalam masyarakatnya,

penduduk desa termasuk lapisan paling rendah, lapisan wong cilik, atau “orang

kecil”. Adapun wong cilik di kota-kota adalah mereka yang melakukan pekerjaan

tangan dan pertukangan. Mereka yang menganggap diri mereka termasuk lapisan

masyarakat yang lebih tinggi adalah golongan pegawai atau priyayi

(Koentjaraningrat, 1984:279).

Suatu pembagian lain dari masyarakat Jawa, berbeda daripada pembedaan

menurut lapisan-lapisan, adalah pembagian vertikal ke dalam abangan dan santri.

Abangan adalah orang-orang yang tidak mentaati pelajaran-pelajaran agama

Islam, terutama mengenai salat lima kali sehari, berpuasa dalam bulan Puasa, dan

memakan makanan yang diharamkan. Santri adalah orang-orang yang taat

menuruti pelajaran Islam. Adapun pengecualian perbedaan lahir mengenai

ketaatan kepada pelajaran-pelajaran agama Islam tersebut di atas, perbedaan

antara abangan dan santri terletak juga kepada hal-hal yang lebih mendalam,

ialah kepada perbedaan dalam hal gaya hidup dan pandangan hidup

(Koentajaraningrat, 1984:279).

Menurut Geertz (1992) dalam Sentosa (2010) pembagian masyarakat yang

ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan atas perbedaan pendangan

hidup di antara masyarakat Jawa. Subtradisi abangan yang menurut Geertz (1992)

dalam Sentosa (2010) diwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan

(49)

pada kehidupan di pedesaan. Subtradisi santri yang ditandai oleh ketaatan pada

ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi sosial dan politik

yang bernafaskan Islam dijumpai di kalangan pengusaha yang banyak bergerak di

pasar maupun di desa selaku pemuka agama. Subtradisi ketiga, priayi, ditandai

pengaruh mistik Hindu-Budha prokolonial maupun pengaruh kebudayaan Barat

dan dijumpai pada kelompok elite kerah putih (white collar elite) yang merupakan

bagian dari birokrasi pemerintah. Adapun dengan demikian Geertz (1992) dalam

Sentosa (2010) melihat adanya keterkaitan erat antara ketiga subtradisi ini

abangan, santri, dan priayi dengan tiga lingkungan desa, pasar, dan birokrasi

pemerintahan.

Perkampungan masyarakat Jawa pun mempunyai keunikan tersendiri, dengan

bentuk rumah desa yang berbentuk persegi yang berukuran kira-kira empat kali

lima meter. Rangka rumah terdiri atas suatu sistem tiang-tiang kayu beserta

alat-alat penahannya, tembok-temboknya adalah bidang –bidang anyaman bambu, dan

atapnya adalah lapisan-lapisan daun kelapa kering, yang diikat dengan tali temali

bambu pada kerangka atap. Bagian dalam rumah terdiri atas bagian-bagian kecil,

yang masing-masing dipisahkan oleh dinding-dinding bambu yang dapat

dipindahkan. Pintu-pintunya adalah pintu seret; jendela-jendela tidak ada dan

sinar matahari masuk melalui lubang-lubang besar di bagian atas dari

dinding-dinding samping (Koentjaraningrat, 1984:281).

Pada kehidupan masyarakat Jawa sangat beragam, seperti pada kebiasaan

sehari-hari masyarakat Jawa yang bekerja sebagai petani. Sesuatu hal yang sangat

diinginkan oleh keluarga tani Jawa, ialah keadaan selamat, yaitu keadaan aman

(50)

tersebut. Keadaan tegang seolah-olah menarik dan mendatangkan bahaya,

kecelakaan, penyakit, ataupun maut. Suatu jalan yang sangat penting untuk

mengatasi rasa takut akan bencana-bencana tersebut adalah jalan berlaku prihatin.

Keadaan prihatin dapat dikuatkan dengan memperhatikan pantangan –pantangan

dan dengan menjalankan upacara-upacara selamatan, yang bertujuan untuk

memperoleh keadaan selamat (Koentjaraningrat, 1984:284-285).

Geertz (1992) dalam Koentjaraningrat (1984:285) selamatan merupakan upacara

yang utama dalam kehidupan seorang petani Jawa terdiri atas suatu upacara

makan makanan suci bersama, yang tergantung kepada pentingnya perayaan,

dapat diadakan dengan cara sederhana ataupun dengan sangat luas. Sebuah

selamatan yang diselenggarakan oleh suatu rumah tangga, biasanya hanya dihadiri

oleh tetangga –tetangga yang paling dekat dan ada juga yang tidak mengundang

tamu-tamu sama sekali, akan tetapi mengirimkan makanan kepada para tetangga

yang telah didoakan.

Suatu keluarga petani Jawa berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan

tetangga–tetangga dekat, akan tetapi juga dengan keluarga –keluarga tetangga

lainnya. Hubungan baik ini dinyatakan oleh mereka dengan berbagai

sistemtolong-menolong. Menurut tatacara Jawa, jiwa tolong-menolong harus

dinyatakan dalam berbagai kewajiban terhadap tetangga yang harus diperhatikan

oleh setiap kepala keluarga. Seseorang berkewajiban untuk mengundang seorang

tetangga pada waktu mengadakan selamatan; pada peristiwa sakit, kecelakaan,

dan kematian seseorang wajib memberi pertolongannya (Koentjaraningrat,

(51)

Pada peristiwa kematian, semua tetangga berkewajiban untuk mengerjakan semua

pekerjaan yang berhubungan dengan persiapan untuk pemakaman, sehingga

keluarga yang sedang berduka tidak perlu memikirkan segalanya. Adapun di

samping memberi pertolongan, tetangga-tetangga sering juga menyumbangkan

uang bersama-sama untuk meringankan biaya pemakaman, atau memberikan

makanan untuk selamatan untuk dihidangkan kepada tamu-tamu. Pertolongan

semacam ini biasanya mereka berikan sengan sukarela, dengan tidak

mengharapkan apa-apa atas jasa-jasa mereka. Seringkali tetangga memerlukan

pertolongan untuk bermacam-macam pekerjaan, antara lain untuk memperbaiki

rumah, mengganti dinding bambu, mengusir tikus, dan menggali sumur di kebun

serta kegiatan lainnya yang membutuhkan tenaga masyarakat (Koentjaraningrat,

1984:292).

Permintaan untuk pertolongan seperti di atas, apabila dilakukan dengan sauatu

tatacara yang sopan, yaitu nyambat, tidak boleh ditolak. Seorang warga desa yang

diminta pertolongannya untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan bagi tetangganya,

mencatat dalam ingatannya bahwa tetangganya berhutang pekerjaan kepadanya

dan hutang pekerjaan semacam ini tidak akan dilupakannya dan akan

diperhitungkan dengan seksama (Koentjaraningrat, 1984:293).

2.4 Sejarah Transmigrasi Orang Jawa di Lampung A. Sejarah Transmigrasi

Sejarah transmigrasi di Indonesia sudah mencapai satu abad, yang dimulai

dilaksanakan sekitar tahun 1950 pada masa penjajahan Hindia Belanda.

(52)

hindia Belanda mengadakan kolonisasi ini didasarkan atas semakin

meningkatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa dan perlunya tenaga kerja

sektor perkebunan di luar Pulau Jawa.

Peningkatan jumlah penduduk di pulau Jawa tersebut menyebabkan

pemerintah Hindia Belanda mencari suatu cara untuk melaksanakan

pemindahan penduduk secara besar-besaran dari Pulau Jawa ke pulau lain

yang penduduknya masih jarang di Indonesia, dengan efisiensi yang tinggi

dan biaya yang dapat ditanggung oleh Negara.

Swasono dan Singarimbun (1986:8) mengungkapkan bahwa,

Transmigrasi di jaman kolonial Belanda di mulai sejak pertengahan abad ke-19 yang dikenal dengan Ethiesche Politiek ”.

Belanda mulai membuat percobaan, sebelum program ini dilaksanakan

Pemerintah Belanda menugaskan seorang Assisten Resident bernama H.G

Heyting untuk mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi

dalam pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke pulau yang kurang

penduduknya dengan tanah yang belum digarap masih sangat luas (Swasono

dan Singarimbun, 1986:8)

H.G Heyting dalam Swasono dan Singarimbun (1986:9) mengusulkan suatu

sistem yang akan digunakan dalam kolonisasi kepada pemerintah Belanda,

yaitu:

1) Membangun desa-desa inti (kern desa’s) dengan jumlah penduduk 500

(53)

2) Penduduk desa diberi bantuan secukupnya agar tingkat ekonomi

mereka menguat, dengan harapan bahwa desa-desa inti itu akan

menjadi basis bagi koloni-koloni untuk membuka daerah disekitarnya.

Gagasan dari H.G. Heijting diterima oleh pemerintah Belanda dan pada tahun

1905 transmigrasi dilaksanakan dengan daerah tujuannya Gedong Tataan

Lampung. Swasono dan Singarimbun (1986:11) mengemukakan mengenai

periode transmigrasi,

“…yaitu terdiri atas periode awal transmigrasi, periode tahun 1927-1930, periode tahun 1930-1935 dan periode sesudah pengakuan kemerdekaan”.

Transmigrasi merupakan salah satu unsur utama rencana pembangunan

Indonesia. Tujuan sosial transmigrasi adalah menolong rakyat Indonesia yang

termiskin, yaitu petani tanpa lahan, penganggur di kota dan gelandangan.

Transmigrasi bertujuan pula untuk membangun daerah luar Jawa, dengan

memanfaatkan lahan-lahan luas yang belum diolah, mengubah tanah yang

belum digarap menjadi tanah yang lebih produktif (Levang, 2003:7).

Program transmigrasi telah dimulai sejak Indonesia masih dibawah

pemerintahan kolonial Belanda yaitu pada Fase Percobaan (1905-1931). Pada

masa ini dalam setiap proyek, pemerintah Belanda membangun kelompok inti

yang terdiri atas 500 kepala keluarga. Keluarga-keluarga tersebut mendapat

jaminan selama satu tahun pertama. Setiap keluarga juga diberi subsidi yang

mendorong mereka mendatangkan sanak keluarganya, sehingga memicu

(54)

Fase Transmigrasi Kedua (1931-1941). Tahun 1931 terjadi krisis pada sektor

perkebunan besar yang mengakibatkan ribuan buruh Jawa diberhentikan dari

pekerjaannya. Tahun 1905-1941, pemerintah Belanda secara keseluruhan

memindahkan sekitar 200 ribu jiwa dari Jawa ke luar Jawa (Levang, 2003:10).

Fase Pemecahan Masalah Pascaperang. Pada fase ini pemimpin Republik

Indonesia tetap menerapkan cara dan pola yang sama seperti yang dilakukan

oleh pemerintah Belanda. Tetapi tahun 1947 istilah kolonisasi diganti menjadi

transmigrasi dibawah Departemen Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 1948

urusan transmigrasi dipindahkan dibawah Depertemen Dalam Negeri. Kondisi

ini terus berlangsung, dan tahun 1983 transmigrasi sepenuhnya dibawah

Departemen Transmigrasi (Levang, 2003:11).

Pelita I yang dimulai pada tahun 1969 terutama menciptakan stabilitas

nasional. Tujuan utamanya adalah mencapai swasembada beras yang berarti

meningkatkan produksi sebesar 50% dalam jangka waktu lima tahun. Untuk

mencapai hal itu, para perencana dapat menempuh dua jalur, yakni:

1. Intensifikasi pembudidayaan padi, berkat program Revolusi Hijau;

2. Perluasan lahan garapan, berkat program transmigrasi (Levang, 2003:12).

Pelaksanaan kedua Pelita pertama ditandai oleh pembangunan infrastruktur

secara besar-besaran. Di Lingkungan aparatur Negara, korps insinyur dari

Departemen Pekerjaan Umum yang sangat terstruktur memegang peran yang

sangat menentukan. Ambisi dari insinyur tersebut adalah menyulap dataran

(55)

Pelita III dan IV merupakan masa target. Pada Pelita III (1979-1984),

pemerintah memutuskan untuk membagi tugas kepada

departemen-departemen terkait. Departemen pekerjaan umum bertugas mempersiapkan

lokasi, departemen transmigrasi bertugas merekrut, memindahkan, dan

membina para transmigran. Departemen pertanian mengurus masalah

pertanian, departemen agama mengurus masalah tempat ibadah dan

departemen kesehatan mengurus masalah puskesmas. Untuk memecahkan

masalah koordinasi antar dinas dari departemen-departemen ersebut, maka

pemerintah menciptakan instansi baru yang dinamakan Badan Koordinasi

Transmigrasi (Bakortrans). Pada Pelita IV (1984-1989), pemerintah

memindahkan 750 ribu kepala keluarga. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan,

karena lama kelamaan penduduk asli menjadi minoritas di daerahnya sendiri

(Levang, 2003:13).

Pada Pelita V kebijaksanaan penyelenggaraan transmigrasi ditangani oleh satu

departemen yaitu departemen transmigrasi. Pola usaha pertanian tetap

dilanjutkan, tetapi lebih ditingkatkan pada pola-pola perkebunan, perikanan,

dan perindustrian. Pada Pelita VI, kebijaksanaan pembangunan transmigrasi

diarahkan pada kawasan Indonesia Timur, mendukung pembangunan wilayah,

penanggulangan kemiskinan dan menggalakkan Transmigrasi Swakarsa

Mandiri.

B. Transmigrasi

Transmigrasi dalam bahasa latin yaitu transmigrates, dalam bahasa Inggris

(56)

kemudian diadaptasi di Indonesia atas jasa Bung Karno dan Bung Hatta.

Beliau menggunakan kata tersebut, sebagai cara pengertian kepada masyarakat

mengenai program pemerintah memindahkan penduduk melewati laut, atau

dari daerah padat ke daerah yang jarang penduduknya.

Transmigrasi menurut bahasa berasal dari dua kata, trans dan migrasi. Kata

trans berarti pindah atau perpindahan dan migrasi adalah perpindahan

penduduk. Adapun dengan kata lain transmigrasi adalah perpindahan atau

perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain dalam hal ini

perpindahan dari pulau yang padat penduduknya ke pulau yang jarang

penduduknya. Menurut UU Nomor 2 tahun 1972 transmigrasi adalah

perpindahan penduduk atau perpindahan dari suatu daerah untuk menetap ke

daerah lain, yang ditetapkan dalam wilayah Republik Indonesia guna

kepentingan pembangunan Negara atas alasan yang dianggap perlu oleh

pemerintah. Adapun secara mendasar pengertian transmigrasi tetaplah sama,

yaitu memindahkan penduduk dari sebuah pulau ke pulau lain dengan tujuan

peningkatan kesejahteraan masyarakat, program pemindahan penduduk

tersebut difasilitasi dan dibiayai oleh Negara.

Transmigrasi diyakini sebagai salah satu solusi bagi masalah peningkatan

jumlah penduduk khususnya di Pulau Jawa, Bali dan Lombok. Pada situasi di

tengah-tengah krisis ekonomi dan meningkatnya pengangguran, kebutuhan

untuk memindahkan penduduk menjadi lebih besar dari sebelumnya karena

kelangkaan lapangan kerja, kemiskinan meningkat, dan adanya urbanisasi.

(57)

transmigrasi dan menjadi dasar transmigrasi di Indonesia menurut keputusan

menteri transmigrasi Republik Indonesia (RI) tahun 1984 tentang

ketransmigrasian bahwa yang disebut transmigrasi adalah perpindahan

penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di

wilayah pengembangan transmigrasi atau lokasi permukiman.

Terdapat bermacam-macam transmigrasi yang dikenal di Indonesia.

Berdasarkan jenis bantuan yang diberikan oleh pemerintah, transmigrasi dapat

dibedakan menjadi dua jenis, diantaranya :

1. Transmigrasi Umum

Transmigrasi umum adalah transmigrasi yang pembiayaannya dari

pemberangkatan sampai penempatan dalam jangka waktu tertentu biaya

sebagian besar ditanggung oleh pemerintah pusat.

2. Transmigrasi Swakarya

Transmigrasi swakarya adalah transmigrasi yang diselenggarakan oleh

departemen transmigrasi dengan jaminan hidup beberapa tahun,

selanjutnya diberikan tanah kepada transmigran untuk dikerjakan.

3. Transmigrasi Swakarsa atau Spontan

Transmigrasi swakarsa atau spontan adalah transmigrasi yang

diselenggarakan atas biaya sendiri dengan bimbingan dan fasilitas dari

Gambar

Tabel 12. Profil Informan
Gambar 7. Rapat Warga di salah satu lingkungan RT di Desa Bandar Agung
Gambar 8. Kegiatan gotong royong memperbaiki jalan di salah satu lingkungan RT di Desa Bandar Agung
Gambar 9. Logo PNPM
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari laporan akhir ini adalah untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan jasa pendidikan terhadap kepuasan siswa pada MA MIftahul Ulum Makarti

Strategi komunikasi pemasaran terpadu (IMC) yang diimplementasikan oleh SFA Steak dan Resto Surakarta dalam menarik minat konsumen untuk membeli ini menggunakan

Pemberian parit pada areal tidak meningkatkan berat biji per hektar dibandingkan tanpa parit namun pemberian bahan organik di dalam parit meningkatkan berat biji per

Besaran Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berlaku sepenuhnya terhadap barang impor kain yang dokumen pemberitahuan pabean

SDLC atau Software Development Life Cycle atau sering disebut juga System Development Life Cycle adalah proses pengembangan atau mengubah suatu sistem perangkat

Gerak langkah yang dilakukan orang tua pesisir pantai dalam merealisasikan model dakwah secara internal rumahtangganya tentunya mempolarisasi sistem pendidikan kepada

Dengan tujuan menghasilkan potensi gas Landfill yang dihasilkan dari penguraian limbah organik Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang Kabupaten Bekasi sebagai

Kurs historis , merupakan kurs nilai mata uang asing yang digunakan pada saat suatu aktiva atau kewajiban dalam mata uang asing dibeli atau terjadi. Mata uang pelaporan , merupakan